Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 13


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




   Pek Lian melihat betapa dua orang gadis murid-murid Siang Houw Nio-nio itu berkedip-kedip memberi isyarat kepadanya agar ia menghentikan ucapannya, akan tetapi ia tidak perduli Orang-orang lain boleh takut setengah mati kepada nenek bangsawan ini, akan tetapi ia tidak! Ia menganggap bahwa nenek ini terlalu angkuh, terlalu tinggi hati dan kejam sehingga mendengar putera kandungnya diculik orang dan terluka parah, agaknya bersikap tidak perduli saja. Hal ini sudah membuat hati Pek Lian memberontak dan marah.

   "Bocah lancang mulut! Berani engkau mencampuri urusan kami?" Akan tetapi, dengan pandang mata yang berani dan jujur Pek Lian menghadapi nenek itu.

   "Biarpun saya menjadi tawanan dan orang yang dicurigai, akan tetapi selama ini Lo-cianpwe dan terutama kedua orang cici bersikap baik kepada saya sehingga saya sama sekali tidak merasa menjadi tawanan. Sebaliknya, saya merasa sebagai sahabat atau tamu yang diperlakukan dengan baik. Setelah mengalami suka-duka, bahkan sudah sama-sama menghadapi lawan tangguh, bagaimana mungkin saya bersikap tidak perduli dengan malapetaka yang menimpa keluarga Lo-cianpwe? Sedapat mungkin, saya tentu akan menyumbangkan tenaga saya yang tidak seberapa ini untuk membantu." Sejenak dua orang wanita itu saling berpandangan. Akhirnya nenek itu menarik kembali kepalanya kedalam kereta dan terdengar ia menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya,

   "Hemm, engkaupun seorang yang keras hati dan keras kepala. Akan tetapi engkau memiliki keberanian dan kejujuran." Dan tiba-tiba kereta itupun bergerak lagi. Pek In menyentuh lengan Pek Lian.

   "Adik Lian, engkau sungguh membuat kami menahan napas. Kami tidak mengira engkau masih dapat hidup setelah berani bersikap seperti itu." Pek Lian tersenyum.

   "Kenapa, enci Pek? Aku merasa benar, dan matipun bukan apa-apa kalau berada dalam kebenaran." Biarpun ia dapat mengerti akan kata-kata ini, namun didalam hatinya Pek In harus mengakui bahwa ia tidak mempunyai keberanian yang sedemikian besarnya seperti gadis ini. Kereta nenek itu berhenti didepan pintu gerbang Kotaraja. Para penjaga pintu gerbang berbaris rapi dikanan kiri, dengan tombak ditangan kanan dan perisai ditangan kiri.

   Pakaian seragam mereka mengkilap tertimpa sinar matahari dan mata tombak mereka juga berkilauan karena setiap hari digosok. Seorang komandan jaga yang pakaiannya lebih mentereng lagi, nampak berlutut dengan kaki kiri ditengah jalan dan inilah yang membuat nenek itu menghentikan kereta. Sambil membawa tongkatnya nenek Siang Houw Nio-nio turun dari atas keretanya. Pek In dan Ang In juga meloncat turun dari atas kuda mereka dan menyerahkan kendali kuda kepada Pek Lian. Dua orang gadis ini cepat mendampingi subo mereka memasuki pintu gerbang. Para penjaga bersikap hormat melihat nenek ini. Siang Houw Nio-nio sendiri melangkah dengan tenang, tangan larinya membawa tongkat kepala naga dan dua orang muridnya berjalan dikanan kirinya. Komandan jaga yang setengah berlutut itu memberi hormat.

   "Hamba menerima perintah dari Istana untuk melapor kepada paduka tuan puteri."

   "Perintah apa yang datang dari Istana? Lekas laporkan kepadaku," jawab Siang Houw Nio-nio. Komandan itu adalah perwira penjaga yang bertugas diluar Istana, dan hal ini dikenalnya dari pakaian seragamnya.

   "Sribaginda Kaisar menanyakan apakah paduka sudah tiba kembali. Dan baru saja beliau mengutus Hek-tai-ciangkun untuk menyusul paduka ke Istana Wakil Perdana Menteri Kang." Nenek itu mengerutkan dahinya dan mengangkat tangan kanan kedepan.

   "Baiklah, kau pergi dan laporkan kedalam Istana bahwa aku akan segera menghadap Sribaginda." Komandan jaga itu memberi hormat, lalu bangkit dan dengan sigapnya meninggalkan pintu gerbang untuk membuat laporan ke Istana. Derap kaki kuda terdengar lantang dan gagah. Siang Houw Nio-nio diikuti oleh dua orang muridnya kembali kekereta.

   "Pek-ji dan Ang-ji, kita terus saja ke Istana. Ajak sekalian nona itu dan beri pinjam pakaianmu. Agaknya ada perkembangan baru di Istana. Mari!" Pek Lian diberi pinjam pakaian dan mereka bertiga lalu berganti pakaian sebagai dayang atau pelayan puteri bangsawan itu. Nenek itu sendiripun berganti pakaian, karena biarpun ia masih bibi dari Kaisar sendiri,

   Kalau menghadap Kaisar, ia tidak dapat meninggalkan peraturan-peraturan yang sudah ditentukan. Setelah selesai berdandan, mereka berempat lalu menuju ke Istana. Ho Pek Lian merasa girang sekali dan jantungnya berdebar keras. Ia merasa girang karena tahu bahwa nenek bangsawan itu agaknya sudah mulai menaruh kepercayaan kepadanya, bahkan merasa suka seperti juga kedua orang muridnya itu. Kalau tidak demikian tak mungkin ia diajak, masuk ke Istana sebagai dayang sang puteri tua. Tidak akan sukar bagi nenek itu untuk menyerahkannya kepada pasukan untuk dijebloskan kedalam tahanan! Suasana menegangkan yang membayangkan bahwa ada apa-apa di Istana nampak dari pintu gerbang Istana yang paling depan. Penjagaan amat ketat dan ada belasan orang perajurit jaga disitu, padahal biasanya hanya ada enam orang saja.

   Dan dibalai perajurit yang luas itu, nampak banyak sekali pengawal-pengawal resmi para Menteri sedang duduk beristirahat. Hal ini menandakan bahwa para Menteri sedang berada di Istana, menghadap Sribaginda Kaisar. Siang Houw Nio-nio tahu akan hal ini dan diam-diam iapun menduga-duga apa gerangan yang terjadi maka Kaisar mengumpulkan semua Menteri negara. Setelah tiba diserambi Istana, nampak bahwa penjagaan dilakukan oleh para pengawal yang disebut pasukan pengawal Gin-i-wi (Pengawal pakaian Perak). Mereka itu rata-rata bersikap gagah, bertubuh kuat dan pakaian mereka yang berlapis perak itu nampak gemerlapan. Komandan mereka juga berpakaian serba mengkilap berlapis perak, dan nampaknya keren berwibawa sekali. Ketika dia melihat datangnya Siang Houw Nio-nio yang diikuti oleh tiga orang dayang cantik, segera maju memberi hormat.

   "Paduka tuan puteri telah dinanti-nanti oleh yang mulia Sribaginda Kaisar. Silahkan!" Komandan itu dengan sikap hormat lalu mengantar nenek bangsawan dan tiga orang dayangnya itu sampai kepintu induk.

   Disini, tugasnya diambil alih oleh komandan pasukan Kim-i-wi (Pengawal Pakaian Emas). Pasukan Kim-i-wi nampak tidak kalah gagahnya dibandingkan pasukan Gin-i-wi, bahkan pakaiannya yang berlapis emas itu amat megah dan mewah. Pasukan Kim-i-wi ini bertugas menjaga dibagian dalam Istana, sedangkan pasukan Gin-i-wi bertugas dibagian luar Istana. Akan tetapi keduanya adalah pasukan-pasukan pengawal Istana yang terkenal dan mereka dipimpin oleh komandan masing-masing yang merupakan pembantu-pembantu dari Pek-lui-kong Tong Ciak, itu jagoan terkenal yang bertubuh pendek dari Istana! Di dekat pinta gerbang induk ini, terdapat bangunan samping dimana nampak beberapa belas orang-orang yang sikapnya aneh-aneh dan membayangkan kepandaian tinggi.

   Mereka ini adalah pengawal-pengawal pribadi para Menteri yang tentu saja hanya diperbolehkan mengawal sampai disitu dan tidak diperkenankan ikut masuk menghadap Kaisar. Disekitar tempat itu nampak pengawal-pengawal Kim-i-wi berjalan hilir-mudik dengan tombak ditangan, sedangkan dibagian luar pintu gerbang nampak pengawal-pengawal Gin-i-wi yang juga berjaga-jaga. Nampak angker dan gagah. Juga nampak pengawal-pengawal dari kedua pasukan ini berjaga-jaga digardu-gardu ronda, diatas dinding dan dimenara-menara. Mereka semua sjap siaga dengan ketat. Siang Houw Nio-nio dengan sikap tenang dan agung, diiringkan oleh tiga orang gadis dan didahului oleh komandan pasukan Kim-i-wi sebagai penunjuk jalan atau penjemput, berjalan disepanjang ruangan-ruangan yang amat luas itu.

   Ho Pek Lian berjalan dibelakangnya bersama Pek In den Ang In. Pek Lian adalah puteri seorang bekas Menteri. Gedung ayahnya sendiri sangat indah dan gadis ini sejak kecil sudah terbiasa dengan kemewahan dan keindahan. Akan tetapi baru pertama kali ini ia memperoleh kesempatan memasuki Istana dan melihat segala kemewahan yang terham-par didepannya, ia merasa dirinya kecil dan merasa seperti seorang miskin yang baru pertama kali melihat kekayaan berlimpah. Ia merasa seolah-olah keindahan yang luas itu amat besar, seperti hendak menelan dirinya. Setelah mereka tiba didepan sebuah pintu besar yang berkilauan dan dilapis emas, komandan Kim-i-wi itu berhenti.

   Agaknya kedatangan mereka sudah nampak dari dalam karena tirai sutera merah yang menutupi pintu itu terbuka dan muncullah dua orang yang nampak gagah perkasa. Yang seorang bertubuh tinggi tegap, mukanya brewok dan dia memakai pakaian panglima yang berlapis perak. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dan dia ini memakai pakaian panglima yang berlapis emas. Melihat mereka, komandan Kim-i-wi segera memberi hormat, lalu membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Agaknya tugasnya mengawal Siang Houw Nio-nio telah selesai dan kini kedua orang panglima itulah yang menggantikannya, menyambut kedatangan nenek bangsawan itu. Dua orang panglima itu memberi hormat lalu mempersalahkan nenek bangsawan itu melanjutkan perjalanan melalui pintu emas. Ang In yang berjalan disamping Pek Lian, berbisik didekat telinga nona ini,

   
"Mereka itu berilmu tinggi, memiliki tenaga berlawanan. Kim-i-ciangkun (Panglima Baju Emas) itu memiliki pukulan telapak tangan panas yang dapat membakar pakaian lawan dan Gin-i-ciangkun (Panglima Baju Perak) itu memiliki pukulan tangan dingin yang membuat darah lawan membeku." Pek Lian memandang kedepan dan mengangguk. Ia tidak merasa heran mendengar ini karena ia sudah sering mendengar bahwa di Istana Kaisar terkumpul jagoan-jagoan yang amat lihai.

   "Akan tetapi semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan atasan mereka, yaitu Tong-tai-ciangkun yang berjuluk Pek-lui-kong," bisik Pek In. Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kedua kakinya agak gemetar. Kiranya dua orang panglima, ini adalah tangan kanan si pendek itu. Bagaimana kalau si pendek itu berada disitu pula dan mengenalnya? Akan tetapi Pek Lian meneliti pakaiannya dan hatinya lega.

   Tidak mungkin si cebol yang lihai itu akan mengenalnya. Mereka baru saling berjumpa satu kali saja, yaitu ketika ia menghadang bersama empat orang suhunya untuk membebaskan ayahnya. Ketika itu, ia berpakaian sebagai seorang gadis kang-ouw, tidak seperti pakaian puteri atau dayang Istana seperti sekarang ini. Pula, kalau ia datang sebagai dayang nenek bangsawan yang menjadi bibi Kaisar ini, siapa yang berani mencurigai dan mengganggunya? Memang kedudukan Siang Houw Nio-nio di Istana amat tinggi. Orang lain, betapapun tinggi kedudukannya, tidak boleh menghadap Kaisar membawa pengawal atau pengikut. Akan tetapi nenek ini masuk diiringkan tiga orang dayangnya dan tidak ada orang berani menentangnya. Bagaikan bayangan saja, Pek Lian mengikuti gerak-gerik dua orang gadis itu dan ketika mereka semua memasuki ruangan pertemuan dimana duduk Kaisar dihadap oleh para Menterinya,

   Pek Lian juga ikut pula menjatuhkan diri berlutut dibelakang Ang In. Ketika ia mengerling, jantungnya berdebar tegang melihat ada dua orang berdiri dibelakang Kaisar. Dua orang itu bukan lain adalah Pek-lui-kong Tong Ciak si cebol yang lihai itu dan yang kedua adalah Jenderal Beng Tian yang tidak kalah lihainya! Tentu saja Pek Lian diam-diam mengeluarkan keringat dingin ketika melihat "singa dan harimau," dua jagoan pengawal Kaisar yang amat terkenal itu. Pernah ia bertemu, bahkan bentrok dengan mereka berdua! Kini, mereka berdua itu berdiri dibelakang Kaisar, berdampingan dan mata mereka itu menyapu ruangan dengan sinar mata yang mencorong tajam dan menyeramkan. Pek Lian cepat-cepat menundukkan mukanya dan ini tidak menarik perhatian karena memang sikap para dayang harus begitu, takut-takut dan malu-malu!

   Penyamaran ini menguntungkan Pek Lian karena selain ia diperbolehkan selalu menyembunyikan muka tanpa dicurigai, juga siapakah yang akan memperhatikan seorang dayang? Dua orang lihai itupun tentu tidak akan memandang sebelah mata kepada seorang dayang! dikanan kiri, berderet-deret duduk para Menteri menghadapi meja masing-masing. Nenek Siang Houw Nio-nio yang memasuki ruangan itu, dengan sikap angkuh dan kesadaran bahwa kedudukannya lebih tinggi dari pada para Menteri itu, mengangguk kekanan kiri membalas penghormatan para Menteri yang hadir. Wanita tua ini sadar akan harga dirinya. Ia adalah pengawal pribadi, juga kepercayaan, juga bibi sendiri dari Kaisar! kemudian, dengan sikap tenang nenek itu berlutut menghormati Kaisar yang masih keponakannya sendiri itu.

   "Selamat datang, bibi!" kata Kaisar dengan ramah dan dengan tangannya mempersilahkan nenek itu untuk bangkit dan mengambil tempat duduk dikursi yang telah disediakan untuknya.

   Biarpun para dayang pengikut nenek ini diperbolehkan ikut masuk, akan tetapi tentu saja mereka tidak boleh mengganggu persidangan dan Pek In lalu mengajak adiknya dan Pek Lian untuk berkumpul dipinggir, bersama dengan para dayang Istana, dimana mereka duduk berkelompok dan tidak berani mengeluarkan suara, seperti sekelompok bunga ditaman yang ringkih dan takut terlanda angin. Setelah Siang Houw Nio-nio tiba, maka persidangan dilanjutkan dan nenek itu kini mengerti bahwa Sribaginda memang mengadakan sidang darurat, memanggil semua Menteri untuk membicarakan keadaan yang membuat Sribaginda Kaisar merasa khawatir. Kaisar Cin Si Hong-te mengerti bahwa beberapa tindakannya telah menimbulkan heboh dan kegemparan diseluruh negeri.

   Kaisar merasa marah sekali. Menurut hematnya, semua tindakan yang dilakukannya adalah benar dan tepat, dan demi kebaikan pemerintahnya. Pembakaran kitab-kitab Guru Besar Khong Cu dianggap amat tepat karena pelajaran dalam kitab-kitab itu dianggap menghasut rakyat untuk tidak tunduk dan setia kepada Rajanya. Banyak isi pelajaran yang dianggap memburuk-burukkan Kaisar, merendahkan Kaisar merendahkan martabat Kaisar sebagai Wakil atau Utusan Tuhan! Dan tindakan ini ditentang oleh para sasterawan lemah itu, bahkan beberapa orang Menteri ikut menentangnya. Tentu saja mereka yang menentang itu harus dibasmi habis! Kalau tidak demikian, kewibawaan Kaisar akan merosot, demikian pendapat orang-orang kepercayaan Kaisar seperti kepala thaikam Chao Kao dan Perdana Menteri Li Su, yang dibenarkan oleh Kaisar.

   Selain itu, juga pembangunan tembok besar diutara banyak ditentang oleh Menteri dan orang-orang yang menamakan dirinya pendekar. Katanya usaha itu menyiksa rakyat! Padahal, pembangunan itu adalah untuk keselamatan negara, untuk keselamatan rakyat pula, untuk membendung datangnya orang-orang dari utara yang akan menyerbu keselatan. Soal pembangunan tembok besar inipun menimbulkan geger dan pemberontakan. Untuk melihat reaksi yang sesungguhnya dari rakyat jelata, Kaisar sudah mengutus dua orang jagoan Istana itu, Pek-lui-kong Tong Ciak dan Jenderal Beng Tian, sekalian untuk menumpas pihak pemberontak yang menentang kekuasaan pemerintah. Ketika kedua orang utusan itu tiba kembali dan membuat laporan mereka, Kaisar menjadi terkejut, marah dan segera mengumpulkan para Menteri untuk diajak bermusyawarah.

   Menurut pelaporan dua orang jagoan itu, rakyat memang sedang bergolak dan nampak tanda-tanda bahwa rakyat akan bergerak menentang pemerintah, dipanaskan oleh gerakan para pendekar. Pelopor utama adalah seorang jago pedang yang terkenal bernama Liu Pang yang oleh rakyat jelata diangkat menjadi semacam Bengcu (pemimpin rakyat) dan yang bermarkas di puncak Awan Biru diPegunungan Fu-niu-san. Selain Liu Pang ini, juga masih ada seorang lagi keturunan Jenderal Chu yang pernah menjadi musuh besar Kaisar ketika masih menjadi Raja Chin, yaitu yang bernama Chu Siang Yu yang bermarkas disepanjang Lembah Yang-ce. Anak-buah Chu Siang Yu telah banyak dihancurkan oleh dua orang jagoan Istana ini disepanjang Sungai Yang-ce, akan tetapi itu hanya merupakan sebagian saja dari pada kekuatan para pemberontak yang masih berkeliaran.

   Menurut penyelidikan dua orang jagoan Istana itu, Liu-twako, demikian sebutan umum untuk Liu Pang, memiliki pengaruh yang amat besar dikalangan rakyat dan para pendekar. Anak-buahnya banyak sekali. Juga dia memiliki hubungan yang amat luas didunia kang-ouw. Bukan ini saja yang dilaporkan oleh dua orang jagoan itu. Juga mereka melaporkan bahwa kaum sesat didunia hitam juga bergolak dan mulai berani muncul ditempat ramai. Para pendekar yang sedang mencurahkan perhatian untuk menentang pemerintah agaknya tidak mempunyai waktu untuk menentang kaum sesat seperti yang biasa mereka lakukan. Oleh karena ini, pemerintah seakan-akan dirongrong oleh kedua pihak. Selain itu, juga akhir-akhir ini muncul keanehan-keanehan yang membuat panik para pejabat tinggi.

   Diatas Istana-Istana mereka kadang-kadang nampak bayangan dua orang yang berkeliaran dan yang berilmu amat tinggi. Para pengawal tidak ada yang mampu mengejar mereka sehingga mereka itu tidak diketahui benar bagaimana macamnya. Bahkan dua bayangan orang itu pernah muncul diatas Istana Kaisar! Peristiwa ini terjadi ketika dua orang jagoan itu sedang melaksanakan perintah Kaisar sehingga tidak berada di Istana. Juga Siang Houw Nio-nio tidak berada di Istana karena diutus membujuk Wakil Perdana Menteri Kang yang ikut-ikut menentang pemerintah dan hendak mengundurkan diri itu. Demikianlah, para Menteri, juga Siang Houw Nio-nio, mendengarkan penuturan ini dengan hati ikut gelisah melihat perkembangan keadaan yang tidak menguntungkan itu. Bagaimanapun juga, tentu saja Kaisar dan juga mereka tidak ingin melihat rakyat memberontak.

   "Semua ini adalah kesalahan para Menteri yang tidak setia!" Tiba-tiba terdengar Perdana Menteri Li Su berkata setelah memberi hormat kepada Kaisar.

   "Para Menteri dan pejabat yang menentang kebijaksanaan Sribaginda, itulah yang menyebarkan hasutan kepada rakyat, memberi contoh ketidak--setiaan yang besar. Dosa mereka itu amat hebat dan mereka sepatutnya dihukum berat beserta seluruh keluarga mereka. Kalau tidak demikian, kalau pemerintah hanya menghukum orangnya saja, tentu sanak keluarganya akan mendendam dan menghasut rakyat untuk memberontak!"

   Ucapan Perdana Menteri Li Su ini memancing datangnya pendapat-pendapat yang berbeda antara para Menteri dan pejabat tinggi yang hadir sehingga keadaan menjadi ramai dengan suara mereka, seperti sarang tawon yang diganggu. Melihat ini Kaisar mengerutkan alisnya dan memberi isyarat kepada Pek-lui-kong Tong Ciak. Si cebol ini mengangkat kedua tangan keatas dan terdengar suaranya yang bergema dan melengking nyaring, mengandung getaran kuat karena dikeluarkan dengan dorongan tenaga khikang.

   "Cu-wi harap tenang dan dengarkan amanat Sribaginda!" Mendengar suara yang amat berpengaruh ini, suasana menjadi sunyi sekali dan semua orang memandang kearah Kaisar, walaupun mereka segera menundukkan muka kembali karena menentang wajah Kaisar lama-lama merupakan dosa besar! Kaisar menarik napas panjang. Dalam keadaan seperti itu, terasa benar olehnya betapa para pembantunya itu hanya merupakan sekelompok orang-orang tolol yang pandainya hanya menjilat-jilat saja. Maka diapun lalu memandang kepada Siang Houw Nio-nio dan berkata,

   "Bibi yang baik, bagaimanakah hasil pertemuan bibi dengan Menteri Kang? Maukah dia kembali dan memangku jabatannya sebagai wakil Perdana Menteri?" Pertanyaan ini menimbulkan ketegangan dan semua mata memandang kepada nenek itu. Memang harus mereka akui bahwa diantara semua Menteri, maka Wakil Perdana Menteri Kang adalah orang yang paling berani bertindak tegas, bahkan paling berani menentang kebijaksanaan Kaisar. Menteri Kang adalah seorang yang memiliki wibawa besar sekali, dan juga amat bijaksana dan cerdik pandai. Setelah Menteri itu meletakkan jabatannya, keadaan menjadi semakin kacau dan banyak pejabat tinggi seperti kehilangan pegangan.

   Andaikata Menteri itu masih ada, tentu dia akan dapat bertindak dengan tegas dan cepat menghadapi pergolakan yang sedang terjadi. Semua orang tahu bahwa seperti juga Menteri Kebudayaan Ho, maka wakil Perdana Menteri itupun seorang yang amat disegani, bahkan dihormat dan dikagumi oleh para pendekar didunia kang-ouw. Dengan suara tenang dan sikap hormat, nenek Siang Houw Nio-nio lalu menceritakan hasil pertemuannya dengan Menteri Kang. Diceritakannya betapa bekas wakil Perdana Menteri itu mau menjabat lagi kedudukannya sebagai wakil Perdana Menteri asal dipenuhi syarat yang dimintanya, yaitu dibebaskannya bekas Menteri Ho dan juga para Menteri yang ditahan atau dihentikan agar diampuni, dibebaskan dan dipekerjakan kembali.

   "Menurut pendapat bekas Wakil Perdana Menteri Kang, penangkapan dan pemecatan para Menteri yang setia itulah yang menyebabkan terjadinya pergolakan dan ketidak--puasan dikalangan rakyat. Oleh karena itu, dia sanggup bekerja lagi kalau syarat itu dipenuhi." Demikianlah Siang Houw Nio-nio mengakhiri pelaporannya.

   "Kalau tidak, maka dia menyerahkan jiwa raganya kepada paduka Sribaginda." Pelaporan nenek ini mengejutkan semua orang dan menimbulkan perdebatan sengit diantara mereka yang hadir. Ada yang setuju agar Kaisar memenuhi tuntutan atau syarat itu, akan tetapi ada pula yang tidak setuju.

   "Bagaimana pendapatmu, Perdana Menteri Li Su?" Akhirnya Kaisar mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam dan dia bertanya kepada Perdana Menterinya. Selama ini, Perdana Menterinya itulah yang menjadi penasihat utamanya, yaitu dikalangan para Menterinya, sebagai orang yang amat dipercayanya. Didalam Istana, sebagai penasihat pribadi, terdapat Chao Kao kepala thaikam yang amat dipercayanya. Diantara kedua orang pembesar ini memang terdapat suatu persekongkolan untuk mempertahankan kedudukan, kekuasaan dan kepentingan-kepentingan pribadi mereka.

   "Hamba sangat khawatir kalau syarat yang diajukan oleh Menteri Kang itu dipenuhi, Sribaginda. Pertama, Menteri Kang telah mengajukan permintaan berhenti sendiri, berarti dia telah kehilangan kesetiaan. Oleh karena itu, pengangkatannya kembali dengan memenuhi syarat yang dimintanya, akan membuat dia merasa dimanja dan dipakai dan hal ini pasti akan menimbulkan watak angkuh, sombong dan selanjutnya segala buah pikiran dan keinginannya tentu harus dipenuhi. kedua, membebaskan para Menteri dan pejabat yang berkhianat dan berani menentang kebijaksanaan paduka, apa lagi memakai mereka kembali sebagai pejabat, sama saja dengan mengumpulkan pengkhianat-pengkhianat yang kelak akan membahayakan kedudukan paduka. Dan ketiga, Menteri Ho adalah orang yang paling besar dosanya, yang terang-terangan menentang kebijaksanaan paduka dan menghasut orang-orang kang-ouw untuk memberontak. Pergaulannya dengan orang-orang kang-ouw amat luas, maka kalau dia dibebaskan, tentu akan menambali berani kepada para pemberontak."

   "Akan tetapi, justeru Menteri Ho itulah yang menjadi tuntutan utama dari Menteri Kang, karena Menteri kebudayaan itu adalah sahabat baiknya, juga merupakan penasihat utamanya," nenek Siang Houw Nio-nio memotong. Mendengar ini, Kaisar lalu mempersilahkan para Menteri dan ponggawa yang hadir untuk mengajukan pendapat-pendapat mereka masing-masing. Dan terjadilah perdebatan sengit, Tentu saja banyak Menteri dan pejabat yang diam-diam telah menjadi kaki tangan Perdana Menteri Li Su dan mereka ini dengan sendirinya mendukung pendapat Perdana Menteri itu.

   Akan tetapi ada beberapa orang Menteri yang menjadi sahabat bekas wakil Perdana Menteri, mencoba untuk mendebat mereka. Perdebatan itu dibiarkan saja oleh Kaisar yang mendengarkan dengan penuh perhatian, mendengarkan setiap pejabat yang mempertahankan kebenaran pendapatnya sendiri. Tentu saja, disamping Kaisar yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, terdapat seorang lain yang juga mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan dengan jantung berdebar tegang dan badan terasa panas dingin. Orang ini bukan lain adalah Ho Pek Lian! Siapa orangnya yang tidak akan menjadi tegang hatinya kalau mendengarkan betapa ayahnya dijadikan pokok pembicaraan, bahkan persidangan itu seolah-olah merupakan pengadilan terhadap nasib ayahnya?

   Mati hidup ayahnya tergantung dalam keputusan persidangan itu dan ia menghadiri dan menyaksikannya tanpa ada seorangpun diantara mereka yang tahu bahwa anak tunggal dari Menteri Ho berada disitu! Siang Houw Nio-nio mengerutkan alisnya mendengar dalih-dalih yang dikemukakan oleh kelompok pendukung Perdana Menteri Li Su. Nenek ini memang sudah mempunyai perasaan tidak suka terhadap Perdana Menteri itu yang ia tahu adalah seorang yang pandai sekali mengambil hati Kaisar, dan pandai pula merebut kepercayaan Kaisar, menjilat-jilat dan bermuka-muka. Akan tetapi ia sendiri tidak mau berpihak dalam urusan ini. Melihat betapa Kaisar nampak bingung mendengar pendapat-pendapat para Menterinya yang seolah-olah terpecah menjadi dua itu, nenek Siang Houw Nio-nio lalu mengemukakan pendapatnya dengan suara lantang.

   "Cu-wi telah memperbincangkan keadaan sekarang, maka sekarang tinggal melakukan pilihan antara dua kemungkinan. Pertama, menuruti permintaan Wakil Perdana Menteri Kang dan dialah orangnya yang akan sanggup untuk menyelesaikan segala pergolakan dan keruwetan yang mengancam negara ini dengan jalan damai. Atau, cuwi menolak pemintaannya dan kita semua menghadapi pemberontakan-pemberontakan dunia kang-ouw dan juga menghadapi pengacauan kaum sesat. harap cuwi suka mempertimbangkan baik-baik. Memilih yang pertama berarti keadaan akan tetap tenang dan damai baik dikalangan pemerintah maupun dikalangan rakyat, atau memilih yang kedua dan berarti akan terjadi kerusuhan dan pembunuhan dimana-mana. Harap cuwi ingat! Orang-orang kang-ouw itu dengan ilmu mereka yang tinggi sanggup berkeliaran diwuwungan rumah-rumah, baik rumah rakyat, rumah cuwi sendiri maupun di Istana-Istana."

   Tentu saja peringatan ini membuat semua orang merasa ngeri. Akan tetapi Perdana Menteri Li Su sudah memandang kepada nenek itu dengan sinar mata penuh selidik dan penasaran.

   "Apakah Nio-nio hendak berpihak kepada para Menteri jahat yang tidak setia dan berani membangkang terhadap Sribaginda itu? Dosa mereka terlalu besar. Mereka sepatutnya dihukum mati bersama seluruh keluarga mereka untuk menjadi contoh bagi rakyat agar tidak ada yang berani menentang kekuasaan Sribaginda, bukannya diangkat kembali yang akan membuat mereka menjadi kepala besar!"

   "Harap paduka tidak menuduh yang bukan-bukan. Saya sama sekali tidak mau memihak siapapun juga dalam soal ketidak-cocokan pendapat antara kalian! Akan tetapi, betapa bodohnya untuk bertengkar antara rekan sendiri selagi negara berada dalam bahaya pergolakan dan pemberontakan. Dalam keadaan seperti ini, seorang pejabat yang setia akan memikirkan keselamatan negara, sama sekali tidak akan memperdulikan perasaan-perasaan pribadi. Saya bicara bukan karena berpihak, melainkan mengingat akan keselamatan negara!"

   Mendengar semua perdebatan itu, Kaisar Cm Si Hong-te menjadi semakin bingung. Memang pendapat yang saling bertentangan itu ada benarnya. Dan para Menteri yang menunjang pendapat Perdana Menteri Li Su adalah Menteri-Menteri yang pandai menyenangkan hatinya, selalu setia dan taat, tidak pernah membantah atau menentang kebijaksanaannya, bahkan mendukung semua kebijaksanaan yang diambilnya sepenuhnya. Mereka itu selalu berusaha untuk menyenangkan diri, sedangkan para Menteri yang bertentangan dan yang mendukung pihak Menteri Kang adalah mereka yang suka cerewet, banyak membantah dan banyak menentang kebijaksanaannya, membuat dia kadang-kadang merasa penasaran dan marah.

   Tentu saja didalam hatinya dia condong membenarkan perdana Mentei Li Su dan para Menteri pendukungnya. Akan tetapi, Kaisar juga bukan seorang bodoh yang tidak dapat melihat keadaan. Keadaan negara benar-benar terancam. Kalau api pemberontakan yang baru mulai bernyala ini tidak segera dipadamkan, maka keadaan akan benar-benar berbahaya dan api pemberontakan itu akan dapat membakar seluruh negeri. Dan agaknya, satu-satunya jalan untuk mencegah api itu berkobar, adalah kembalinya wakil Perdana Menteri Kang. Akan tetapi, dia tahu bahwa kembalinya Menteri yang keras hati ini tidak menyenangkan hati Perdana Menteri Li dan teman-temannya. Lalu bagaimana baiknya? Akhirnya, dengan pandang mata penuh harap Kaisar itu menoleh kearah Siang Houw Nio-nio dan bertanya,

   "Bibi yang baik, bagaimanakah menurut pendapatmu?"

   "Harap paduka mengampuni hamba kalau hamba katakan bahwa hak itu sepenuhnya terserah kepada kebijaksanaan paduka sendiri. Bagi hamba, yang terpenting adalah keselamatan Sribaginda dan kerajaan, hal-hal lainnya hamba tidak perduli. Bagi hamba, siapa saja yang membahayakan keselamatan Sribaginda maupun tahta paduka, baik itu datang dari orang-orang yang memberontak maupun dari orang-orang kita sendiri yang tidak becus mengatur negara sehingga membikin bahaya kedudukan paduka, akan hamba sikat dan basmi sampai habis!"

   Suara nenek itu berapi-api penuh semangat ketika ia mengucapkan kata-kata ini dan Perdana Menteri Li Su bersama teman-temannya mengerutkan alis karena mereka merasa seolah-olah sebagian dari pada ancaman nenek itu ditujukan kepada mereka. Sribaginda Kaisar mengangguk-angguk mendengar ini. Kemudian dia menoleh kearah dua orang jagoannya yang berdiri dibelakangnya, dan berkata kepada jenderal tinggi besar yang gagah perkasa itu,

   "Jenderal Beng Tian, bagaimana pendapatmu?" Jenderal itu terkejut, tidak menyangka bahwa pendapatnya ditanya oleh junjungannya. Biarpun dia merupakan seorang yang amat dipercaya oleh Kaisar, akan tetapi dia hanyalah petugas pelaksana, melaksanakan semua perintah Kaisar dan tidak pernah mencampuri urusan politik, walaupun disudut hatinya dia merasa kagum dan suka sekali kepada Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong dan juga Wakil Perdana Menteri Kang.

   "Hamba? Pendirian hamba tiada bedanya dengan pendirian yang mulia Siang Houw Nio-nio tadi. Hamba bukanlah seorang ahli pikir yang pandai. Yang hamba ketahui hanyalah perang dan berkelahi dengan setia untuk menjunjung paduka dan negara yang akan hamba bela sampai titik darah terakhir. Siapapun yang berani merongrong kekuasaan paduka dan kerajaan akan hamba musnahkan!" Kembali Kaisar mengangguk-angguk dan kini dia memandang kepada si cebol Pek-lui-kong Tong Ciak.

   "Dan bagaimana dengan pendapatmu?" Tong Ciak menjatuhkan diri berlutut.

   "Hamba adalah seorang pengawal Istana yang bertanggung jawab atas keselamatan Sribaginda dan keluarga, oleh karena itu, segalanya terserah kepada keputusan paduka. Hanya satu hal yang hamba ketahui, yaitu menyerahkan nyawa bagi keselamatan paduka Sribaginda dan sekeluarga kerajaan. Persoalan lain-lainnya hamba tidak bisa memikirkannya." Pada hakekatnya, pendapat tiga orang pelindungnya itu sama saja. Kaisar menjadi semakin bingung. Pikirannya bercabang dua dan dia merasa sulit untuk dapat mengambil keputusan, memilih mana yang tepat, baik dan menguntungkan. Tiba-tiba seorang kakek berpakaian seperti pendeta yang sejak tadi diam saja dan duduk dengan antengnya disebelah kanan Kaisar, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menghampiri kearah Kaisar dan mengebut-ngebutkan ujung lengan bajunya sebagai tanda penghormatan lalu menjura dengan dalam.

   Semua orang memandang dan ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh pendeta ini. Kakek ini adalah Bu Hong Sengin, berusia hampir tujuh puluh tahun, berwajah lembut. Bu Hong Sengin adalah seorang tosu (pendeta Agama To) yang menjadi kepala paderi dari kuil agung yang berada didalam lingkungan Istana. Kuil Thian-to-tang itu adalah kuil bagi Kaisar dan para bangsawan, dan mereka yang menjadi tosu dalam kuil itu adalah para bangsawan kerajaan sendiri. Bu Hong Sengin sendiripun seorang bangsawan karena dia masih terhitung paman dari Kaisar sendiri. Pada waktu itu, banyak sekali bangsawan-bangsawan yang setelah tua lalu menjadi paderi dengan maksud untuk menyucikan diri atau untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian agar jiwanya bersih!

   Betapa palsunya kita manusia ini! Kita selalu ingin senang, ingin enak sendiri. Sewaktu muda, kita mengumbar nafsu angkara sesuka hati, tanpa memperdulikan apakah tindakan-tindakan kita itu merugikan orang lain ataukah tidak. Hidup kita dipenuhi dengan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain dan bergelimang dengan dosa. setelah kita menjelang tua, barulah kita ingin merobah jalan hidup, bukan karena penyesalan dan karena kesadaran bahwa jalan hidup kita yang lalu itu kotor dan tidak benar, melainkan terdorong rasa takut akan akibat perbuatan-perbuatan itu, takut kalau-kalau setelah mati kita akan tersiksa dan terhukum, akan tidak kebagian tempat yang baik dan menyenangkan.

   Betapa palsunya ini. Diwaktu muda mengejar kesenangan sampai lupa diri, diwaktu tua masih saja mengejar kesenangan yang diharapkannya akan didapatkan di "sana" kelak. Apa bedanya ini? Yang terpenting sekali adalah sekarang ini! Saat ini! Setiap saat kita harus sadar dan mawas diri. Perbuatan tidak dapat dinilai dan dibanding-bandingkan. Manusia hidup berhak untuk mengecap dan menikmati kesenangan hidup. Bukan berarti kita harus sejak muda hidup sebagai pertapa dan pantang akan segala kesenangan, menjauhi segala kesenangan! Sama sekali tidak, karena inipun pada hakekatnya hanyalah mengejar kesenangan yang lain lagi, yang kita namakan kebahagiaan batin dan sebagainya. Akan tetapi, yang penting kita harus selalu mengamati semua gerak-gerik badan dan batin kita penuh kewaspadaan.

   Hanya perbuatan yang didasari cinta kasih sajalah yang murni dan tidak dapat dinilai baik atau buruk. Dan perbuatan yang didasari cinta kasih sudah pasti tidak akan merugikan orang lain baik lahir maupun batinnya. Karena cinta kasih itu berarti bebas dari kebencian, iri hati, cemburu, pementingan diri pribadi. Baik hanya sebuah kata sebutan, hanya sebuah pendapat. Maka kalau kita INGIN baik, berarti kita ingin disebut baik, dan dibalik "Keadaan baik" ini tentu mengandung pamrih untuk mendapatkan sesuatu, pahala anugerah maupun imbalan jasa dari "Kebaikan" itu sendiri. Dan jelas ini bukan baik lagi namanya, melainkan kemunafikan, kepu-ra-puraan karena "Kebaikan" itu hanya dilakukan secara palsu, untuk memperoleh pamrih yang tersembunyi dibaliknya. Karena itu, bagi orang yang memiliki cinta kasih dalam hatinya, dalam setiap perbuatannya yang disinari cinta kasih, tidak ada istilah baik atau buruk.

   Dia tidak akan menilai, tidak akan tahu apakah yang dilakukannya itu baik atau buruk, dan penilaian orang lain tidak akan mempengaruhinya. Cinta kasih itu indah, cinta kasih itu sederhana, seperti indah dan sederhananya bunga mawar yang harum semerbak, seperti indah dan sederhananya sinar matahari pagi. kesederhanaan bukanlah hidup bercawat di puncak bukit memamerkan "Kesederhanaannya" kepada setiap orang yang datang untuk memujanya. Kesederhanaan berarti kewajaran tanpa pamrih, tanpa kepalsuan, tidak dibuat-buat, hanya didasari cinta kasih. Setelah memberi hormat, Bu Hong Sengin lalu menanti teguran atau pertanyaan Sribaginda. melihat kakek ini bangkit berdiri, agaknya Kaisar itu baru sadar bahwa kepala kuil Istana ini selain menjadi pamannya, juga menjadi seorang diantara para penasihat Kaisar. Maka diapun cepat berkata setelah menerima penghormatan itu,

   "Ahh..., hampir aku melupakan kehadiran orang-orang tuaku yang dapat menasihatiku. Paman yang mulia, bagaimanakah menurut pendapatmu?" Pendeta itu dengan tenangnya menjura lagi, kemudian terdengar suaranya yang lembut. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga suasana diruangan itu sunyi sekali dan suara yang lembut dan tenang itu terdengar satu-satu,

   "Bagi seorang yang mencinta kedamaian seperti hamba, cara yang terbaik haruslah mengingat akan keselamatan semua pihak. Baik keselamatan paduka dan kerajaan, keselamatan para pejabat, keselamatan rakyat dan lain-lain. Kita harus menghindarkan segala pertentangan yang mengakibatkan pertumpahan darah. Hamba kira, jalan satu-satunya untuk itu hanya memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang yang telah kita ketahui pengaruhnya terhadap rakyat, agar dia memangku kembali jabatannya agar suasana keruh dapat dijernihkan kembali. Mengenai para Menteri yang dijadikan syarat kembalinya Wakil Perdana Menteri Kang, dapat dipertimbangkan dan dimusyawarahkan kembali tanpa meninggalkan kepentingan yang menyangkut persoalan itu dari segala pihak. Misalnya, pengampunan dan penempatan kembali para Menteri itu dapat dilakukan dengan syarat-syarat berat tertentu yang akan mengikat mereka."

   Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan kata-kata yang lugu, suara yang lembut dan jelas itu, wajah Sribaginda Kaisar nampak berseri. Kaisar Cin Si Hong-te bangkit dari tempat duduknya dan menggerakkan tangannya menunjuk kepada jenderal Beng Tian, tangan kirinya memegangi kalung mutiara dan matanya bersinar-sinar.

   "Bagus! Benar sekali itu! Begitulah keputusanku. Jenderal Beng Tian, sekarang juga kau pergilah dan panggil Menteri Kang kesini! Semua syaratnya akan kupenuhi. Bawalah surat perintah dariku!" Kaisar menengok kearah sudut dimana seorang petugas yang berpakaian sebagai sasterawan telah menuliskan surat perintah itu dengan cekatan. Setelah membubuhi cap sebagai tanda kekuasaan Kaisar, surat itu diberikan kepada Jenderal Beng Tian dan Kaisar berkata,

   "Selain Menteri Kang, juga perintahkan agar para Menteri yang ditahan agar semua menghadap kesini!" Para pejabat tinggi yang mendukung Menteri Kang tentu saja menjadi gembira sekali dan hati mereka merasa lega. Tentu saja Perdana Menteri Li Su dan kaki tangannya mengerutkan alis dan merasa penasaran, tidak puas walaupun mereka tidak berani membantah keputusan yang diambil oleh Kaisar.

   Mereka juga merasa khawatir karena mereka tahu bahwa para Menteri itu, dibawah pimpinan Wakil Perdana Menteri Kang, akan selalu menentang dan memusuhi mereka. Ho Pek Lian merupakan orang yang paling gembira mendengar keputusan Kaisar itu. Hampir saja ia lupa diri dan bersorak kegirangan. Untung ia masih ingat akan keadaan dan ia hanya menundukkan muka menyembunyikan senyum diwajahnya yang mendadak menjadi berseri-seri itu. Setelah Jenderal Beng Tian berangkat, persidangan dibubarkan. Para Menteri siap untuk mengundurkan diri. Sebelum Kaisar meninggalkan ruangan, Siang Houw Nio-nio yang bertugas mengawal Kaisar sampai kebagian dalam Istana, berkata kepada dua orang muridnya,

   "Ajaklah kawanmu pulang dulu. Nanti aku menyusul setelah selesai tugasku disini." Setelah Kaisar meninggalkan ruangan itu, barulah para Menteri bubaran dan mereka itu tentu saja berkelompok, memilih kelompok masing-masing dan ramailah mereka membicarakan keputusan menghebohkan yang baru saja diambil oleh Kaisar. Rakyat dimanapun juga didunia ini mengharapkan kemakmuran dalam hidup. Makmur dalam arti kata lahir batin. Makmur lahiriah adalah murahnya sandang pangan sehingga nilai tenaga manusia dihargai dan cucuran keringat dari pekerja mendatangkan hasil yang lebih dari cukup untuk keperluan hidup yang pokok.

   Makmur batiniah adalah hidup dalam suasana aman tenteram bebas tanpa adanya penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah, dari yang berkuasa terhadap rakyat jelata, merasa terjamin keselamatan dan kebebasan dirinya lahir batin. Dan kemakmuran seperti itu tidak mungkin terlaksana kalau pemerintahnya tidak baik. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang dikemudikan oleh alat pemerintah yang cakap dan sehat lahir batin. Karena alat pemerintah merupakan kelompok bertingkat, maka sudah barang tentu tingkat yang tertinggi haruslah benar dan bersih. Dalam sebuah kerajaan, kalau sang Raja tidak bersih dan korup, mana mungkin mengharapkan para pejabat dan pembantunya bersih?

   Sebaliknya kalau sang Raja benar-benar bersih dan sehat, tentu dia akan mampu untuk menegur, memecat atau menghukum para pembantunya yang menyeleweng dan korup, lalu memilih pembantu-pembantu puncak yang jujur dan bersih agar para pembantu puncak ini dapat pula membersihkan bawahan-bawahannya. Karena, kalau bukan atasannya sendiri, siapa lagi diantara rakyat yang berani menentang kekuasaan orang yang sedang diberi kursi kekuasaan? Rakyat tidak akan berani menentang lurahnya yang korup. Yang dapat menentangnya hanyalah atasan sang lurah itu, yaitu camat atau bupati misalnya. Dan sang bupatipun kalau menyeleweng hanya dapat ditentang oleh atasannya pula. Jadi jelaslah bahwa sang atasan yang duduk paling tinggi dan memegang Kekuasaan paling besar yang harus lebih dulu bersih, dalam hal sebuah kerajaan adalah sang Raja sendiri.

   Sayanglah bahwa kebanyakan Raja bersikap keras menekan justeru terhadap rakyatnya, bukan terhadap para pembantunya. Para pembantu itu hanya menurut atasan. Kalau atasannya korup, maka para pembantunya juga mendukung kekorupan itu atau penyelewengan itu. Kalau atasannya jujur dan bersih, para pembantunya akhirnya terpaksa akan mendukung kejujuran dan kebersihan itu. Ini sudah menjadi watak manusia pada umumnya yang ingin bermuka-muka kepada atasan. Raja juga seorang manusia. Dan manusia itu lemah terhadap kesenangan. Oleh karena itu, banyak Raja yang jatuh hanya karena mengejar kesenangan sehingga melupakan kewajibannya yang besar, yaitu mengatur pemerintahan yang bersih agar kemakmuran mungkin dapat dinikmati oleh rakyat jelata.

   Rakyat jelata yang selalu diam itu amatlah awas. Kalau ada Raja yang bertindak bijaksana dan membersihkan para pembantunya dari penyelewengan, maka sudah dapat dipastikan bahwa rakyat pada umumnya akan setuju sepenuhnya. Yang dimaksudkan dengan rakyat disini adalah rakyat jelata yang tidak ada sangkut-pautnya dengan segala perbuatan korupsi. Tentu saja tindakan Raja yang membersihkan para pembantunya dari tindakan korupsi itu akan ditentang oleh mereka yang sudah biasa melakukan perbuatan itu, sudah biasa menyalahgunakan kedudukannya untuk memeras dan memperoleh hasil-hasil yang tidak wajar dari rakyat. Akan tetapi mereka ini tidak masuk hitungan rakyat, bahkan menjadi penjegal kemakmuran rakyat!

   Tak dapat disangkal bahwa ada sebagian rakyat yang sengaja mempergunakan uang untuk menyogok para pejabat. Hal ini dilakukan bukan karena paksaan pejabat itu lagi, melainkan karena si penyogok itu mempunyai pamrih lain, yaitu dengan jalan menyogok dia akan memperoleh kesempatan dan wewenang yang akan mendatangkan hasil yang lebih besar lagi. Penyogokannya itu sama dengan memberi umpan untuk mendapatkan ikan. Akan tetapi, hal ini hanya merupakan akibat atau lanjutan dari pada penyelewengan si pejabat. Karena kalau Raja sudah berhasil membersihkan seluruh pembantunya dari pada watak menyeleweng, maka para pejabat yang sudah bersih itu sendiri yang akan menindak dan menghukum orang-orang yang membujuk dan hendak menyogoknya dengan uang. Dengan demikian, maka segalanyapun akan beres dan bersih.

   Atasan ditindak oleh atasannya, atasan menindak bawahan dan bawahan yang menjadi petugas dan pelaksana menindak rakyat yang hendak menyeret mereka kedalam penyelewengan. Tentu saja hal ini tidaklah semudah dibicarakan. Untuk dapat berhasil membutuhkan suasana dan keadaan yang dapat menimbulkan gairah dan semangat untuk kebersihan itu. Dan rakyat sudah pasti akan mendukung sekuat tenaga. Rakyat selalu mengidamkan kemakmuran dan kesejahteraan. Sayang bahwa Kaisar Cin Si Hong-te masih terombang-ambing oleh pengejaran kesenangannya diri sendiri. Bahkan keputusan yang dikeluarkannya itu pun bukan didasari kesadaran hatinya, melainkan didasari perhitungan untung rugi bagi dirinya, bagi kerajaan, bukan bagi rakyat jelata. Dia lupa bahwa Raja dan pemerintah diadakan untuk rakyat jelata! Tanpa rakyat, apa artinya negara? Apa artinya Kaisar?

   ***

   Ho Pek Lian ikut bersama Pek In dan Ang In keluar dari Istana Kaisar melalui pintu samping yang menembus melalui sebuah taman yang luas dimana terdapat banyak jembatan-jembatan yang bercat dan terukir indah menyeberangi sungai-sungai buatan kecil yang penuh dengan ikan-ikan emas dan bunga teratai. Kembali Pek Lian merasa kagum bukan main karena selama hidupnya belum pernah ia melihat taman bunga seluas dan seindah ini. Kiranya tempat tinggal Siang Houw Nio-nio juga berada dikompleks Istana, tidak begitu jauh dari bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Kaisar.

   Sebagai seorang pengawal pribadi, tentu saja ia harus selalu dekat dengan Kaisar sehingga dalam sekejap saja dapat dipanggil kalau Kaisar memerlukannya. Bahkan ada rahasia antara kamar Kaisar dan kamar Siang Houw Nio-nio, rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Kalau Kaisar menarik tali tertentu, sebuah kelenengan kecil akan bergenta dikamar nenek itu. Genta kecil ini tentu saja dihubungkan dengan tali halus yang dipasang secara rahasia, melalui taman bunga. Ketika Pek In dan Ang In tiba dipintu gedung yang cukup indah itu, mereka disambut oleh para pelayan wanita yang bukan hanya berwajah cantik-cantik akan tetapi juga dari gerak-gerik mereka dapat diketahui bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi!

   "Heii! Nona Pek dan nona Ang sudah kembali!" kata mereka dengan nada suara gembira.

   Kedua orang nona itu tersenyum lalu memperkenalkan Pek Lian kepada mereka. Para pelayan itu yang berpakaian sebagai dayang-dayang menyambut Pek Lian dengan ramah. Kemudian Pek Lian diajak melihat-lihat gedung kecil mungil yang indah itu. Disitu terdapat ruangan berlatih silat yang cukup luas, ada tempat samadhi, tempat dimana disimpan abu leluhur yang menjadi semacam tempat sembahyang, ada ruangan tamu yang indah, mangan duduk, ruangan makan dan sebagainya. Gedung itu sungguh indah sekali, jauh lebih megah dan indah dibandingkan dengan gedung tempat tinggal keluarga ayannya sebagai Menteri kebudayaan. Mungkin kemenangan satu-satunya digedung keluarga Ho adalah tergantungnya lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan bagus yang dihadiahkan oleh para sasterawan dan seniman kepada Menteri Ho.

   "Apakah subomu tinggal disini?" tanya Pek Lian kepada mereka. Pek In menggeleng kepalanya.

   "Tidak. Hampir setiap malam subo tidur didalam Istana, tidak jauh dari kamar Sribaginda. subo mempunyai sebuah kamar indah pula disana. Hanya kadang-kadang saja subo kesini. Gedung ini adalah bekas tempat tinggal kakak sepupunya yang meninggalkan Istana dan tidak menempatinya lagi. Lalu gedung ini oleh Sribaginda Kaisar dihadiahkan kepada subo ketika subo meninggalkan suhu dan mengabdikan diri kedalam Istana. Karena subo sendiri bertugas menjaga keselamatan Sribaginda, maka gedung ini lalu oleh subo diserahkan kepada kami berdua untuk menempatinya bersama dayang-dayang kami." Pek In menunjuk kepada para dayang yang sedang sibuk bekerja dengan wajah berseri. Pek Lian memandang kepada mereka dan maklum bahwa mereka itu adalah anggauta-anggauta kelompok wanita bertusuk konde kemala yang lihai-lihai. Ia menghela napas panjang.

   "Dayang-dayangmu itu sungguh lihai-lihai sekali." Ia teringat betapa ia pernah jatuh ketangan mereka, bahkan menjadi tawanan mereka. Pek In dan Ang In tersenyum, lalu Ang In yang menjawab,

   "Hal itu tidak mengherankan karena mereka itu langsung menerima pelajaran dari subo, tidak ada bedanya dengan kami berdua. Hanya saja, kami berdua adalah murid-murid utama, tentu saja mempelajari ilmu yang lebih tinggi dari pada mereka."

   Ruangan sembahyang, dimana abu leluhur disimpan, merupakan bagian terakhir dari gedung itu yang mereka masuki. Ketika mereka masuk, Pek In mengerutkan alisnya. Sepasang matanya yang bening itu memandang kesana-sini dengan sinar mata menyelidik. Pandang mata tajam dari nona ini dapat melihat adanya bekas-bekas abu dan ada beberapa batang hio yang tinggal gagangnya saja menancap ditempat dupa, batang hio yang masih baru, berbeda dengan yang sudah lama. Dari ini saja Pek In dapat menduga bahwa baru beberapa hari yang lalu ada orang membakar hio ditempat itu. Segera dipanggilnya pelayan. Dengan cepat, tiga orang pelayan sudah berdatangan keruangan itu.

   "Siapakah yang datang untuk bersembahyang disini beberapa hari yang lalu?" tanya Pek In. Akan tetapi, sungguh mengherankan hati Pek In dan Ang In ketika mendengar bahwa tidak ada seorangpun diantara para pelayan yang tahu. menurut mereka, ruangan itu selalu tertutup pintunya dan jarang sekali dimasuki mereka, kecuali kalau mau membersihkan. Itupun dilakukan paling cepat dua minggu sekali. Selama ini, tidak ada pelayan yang masuk kesitu, sedangkan kedua orang nona itu bersama subo mereka juga selama beberapa hari. pergi keluar kota. Kalau ada orang luar memasuki ruangan itu, sudah pasti para pelayan itu akan melihatnya. Mereka semua adalah anggauta-anggauta pasukan wanita bertusuk konde kemala, rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga rasanya mustahil kalau ada orang masuk tanpa mereka ketahui.
(Lanjut ke Jilid 10)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 10
Melihat ketegangan menyelimuti wajah mereka itu, Ho Pek Lian lalu tersenyum dari berkelakar,

   "Wah, jangan-jangan yang datang adalah orang-orang yang dikabarkan berkeliaran di Istana-Istana diwaktu malam itu! Siapa tahu mereka itu mendengar akan kecantikan kalian berdua, lalu datang kesini akan tetapi karena kalian tidak ada, mereka lalu iseng-iseng membakar hio!"

   "Ih, genit kau!" Ang In berseru dan mencubit lengan Pek Lian yang mengelak sambil tertawa. Wajah Pek In dan Ang In berobah merah oleh kelakar itu. Sebelum dua orang gadis itu dapat membalas, tiba-tiba terdengar suara orang-orang diserambi depan. Kiranya nenek Siang Houw Nio-nio datang bersama seorang tamu.

   "Wah, subo datang membawa tamu," kata Pek In. Mereka lalu meninggalkan ruang sembahyang itu, menutupkan daun pintunya lalu menuju keruangan depan. Terdengar suara Siang Houw Nio-nio bercakap-cakap dengan tamunya. Pek Lian merasa jantungnya berdebar tegang ketika mengenal suara tamu itu. Ternyata ada dua orang tamu yang bukan lain adalah Jenderal Beng Tian dan si cebol Tong Ciak! Juga dua orang gadis itu menahan langkah, tidak berani mengganggu ketika mereka mengenal suara dua orang jagoan Istana yang sakti itu.

   "Kapankah Beng-goanswe berangkat ketempat Menteri Kang?" terdengar suara nenek itu bertanya.

   "Aku telah berjanji kepadanya untuk memberi kabar tentang keputusan Kaisar dan dua hari telah lewat. Tentu dia sangat menanti-nanti kedatanganku."

   "Saya menanti kembalinya Hek-ciangkun yang saya suruh menyusul paduka ketempat Menteri Kang, karena saya ingin memberi tugas baru kepada Hek-ciangkun agar pergi menjemput dan membawa kembali Menteri Ho ke Kotaraja."

   "Bagaimana dengan para Menteri yang lainnya?" tanya Siang Houw Nio-nio.

   "Saya telah memerintahkan Liok-ciangkun untuk menghubungi kepala penjara agar membebaskan para Menteri yang ditahan, dan menyuruh mencari para Menteri yang telah dipecat, mengundang mereka ke Kotaraja." Si cebol Pek-lui-kong Tong Ciak yang sejak tadi diam saja menarik napas panjang dan berkata, suaranya penuh kekecewaan,

   "Aah, banyak tenaga telah dibuang secara sia-sia belaka." Jenderal Beng Tian menjawab ramah,

   "Memang, akan tetapi siapa mengira keadaan akan menjadi berobah begini macam? Tong-ciangkun telah ikut memeras keringat membantuku ketika mengawal Menteri Ho sampai jauh sehingga tugas Tong-ciangkun sendiri yang menjadi pengawal di Istana hampir kebobolan! Untung bahwa dua orang maling yang aneh itu tidak membuat kerusakan apa-apa di Istana. Kalau kita tahu bahwa akhirnya Sribaginda akan mengampuni dan memanggil kembali para Menteri itu, tentu aku tidak sampai memohon kepada Sribaginda agar Tong-ciangkun membantu dalam tugas-tugasku itu."

   "Ah, Beng-goanswe terlalu sungkan. Kita sebagai rekan sudah selayaknya saling membantu. Pula, kita tidak bisa tahu apa yang akan terjadi. Akupun menyadari betapa beratnya tugas Beng-goanswe harus mengawal Menteri Ho yang terkenal dan dicinta oleh para pendekar itu secara rahasia, pada hal pada waktu itu juga Beng-goanswe bertugas menumpas para pemberontak di lembah Yang-ce. Sesungguhnya, saya harus merasa malu karena kebodohanku dalam mengatur siasat sehingga banyak anak-buah goanswe yang tewas ketika kawan-kawan Menteri Ho melakukan penghadangan ketika itu. Memang... aku cuma bisa berkelahi saja, sama sekali tidak mengerti akan siasat-siasat perang seperti Beng-goanswe."

   "Tidak mengapalah. Yang penting Menteri Ho dapat diselamatkan, dan itupun berkat bantuan ciangkun dan kami sudah amat berterimakasih." Pek-lui-kong Tong Ciak menarik napas panjang.

   Dia teringat akan peristiwa penghadangan kereta yang ditumpangi Menteri Ho sebagai tawanan itu. Betapa dia hampir saja gagal mempertahankan tawanan itu. Tak disangkanya akan muncul si pemuda kusir kereta yang memiliki kesaktian luar biasa itu. Untung pemuda itu berotak miring sehingga perkelahian tidak dilanjutkan. Kalau sampai dilanjutkan, mungkin saja tawanan sudah dirampas oleh para pemberontak. Pemuda itu lihai bukan main. Dia sendiri, yang sudah mampu menyempurnakan ilmunya sehingga mencapai tingkat terakhir, yaitu tingkat tingkat tiga belas terpaksa ketika beradu tenaga, terdorong mundur! Biarpun belum dapat ditentukan siapa yang akan kalah atau menang kalau perkelahian diteruskan, akan tetapi kalau dia harus sibuk menghadapi pemuda lihai itu, bukankah tawanan itu akan mudah dilarikan orang? Pasukannya sudah terdesak ketika itu.

   

Naga Beracun Eps 6 Naga Beracun Eps 2 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 5

Cari Blog Ini