Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 20


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 20




   Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Petani Lautan. Dia sudah lebih dulu dapat menguasai posisinya dan melihat betapa lawan masih bersalto untuk mengatur keseimbangan tubuh, dia sudah mendesak dengan cangkulnya, mainkan Ilmu Silat Ban-seng-kun yang dahsyat! Didesak seperti itu, Rajawali Lautan Timur terpaksa memutar kipasnya dan mengandalkan jubah emasnya untuk mempertahankan diri dan sampai belasan jurus dia tidak sempat membalas serangan lawan yang bertubi-tubi. Memang hebat sekali permainan cangkul dari Petani Lautan. Selama tiga tahun ini dia sudah memperdalam gerakan-gerakannya, bahkan memperkuat sinkangnya dengan latihan-latihan. Selain gerakannya cepat dan kuat, langkah-langkah kedua kakinya aneh sekali dan tubuhnya seperti dapat pindah-pindah posisi diluar perhitungan lawan,

   Juga kini peluh-peluhnya mulai berpercikan disekitar tubuhnya dan terutama sekali dibagian depan tubuh sehingga butiran-butiran keringat itu menyambar kearah lawan seperti senjata-senjata rahasia. Memang tentu saja butiran-butiran peluh ini tidak berbahaya, akan tetapi bagaimanapun juga harus diakui bahwa sambaran air-air yang berbau kecut ini cukup membingungkan lawan, apa lagi kalau menyambar kearah muka dan terutama mata. Tiga tahun yang lalu, dalam pertandingan yang sama, yaitu memperebutkan kedudukan Raja Lautan, Rajawali Lautan Timur menang tipis. Hanya sesedikit selisih tingkat diantara mereka. Andaikata tingkat kepandaian Si Rajawali Lautan masih sama dengan tiga tahun yang lalu, sekali ini mungkin dia akan kalah.

   Akan tetapi, sebagai seorang Raja lautan, tentu saja selama ini dia tidak tinggal diam. Dia tahu bahwa mempertahankan lebih sukar dan berat ketimbang merebut karena yang hendak merebut tentu berusaha mati-matian untuk merebut kedudukan itu. Maka selama tiga tahun ini Si Rajawali Lautan Timur juga telah menggembleng diri dan mencapai kemajuan-kemajuan besar. Setelah agak terdesak selama belasan jurus, akhirnya Tung-hai-tiauw dapat mengatur kembali posisinya dan dapat menguasai perkelahian itu. Kipas besinya mengebut runtuh semua butiran keringat yang menyambar kearahnya dan sekaligus menangkis setiap serangan cangkul dan gagangnya. Kipas besinya itu seolah-olah membentuk benteng baja yang membuat cangkul lawan tidak dapat menembusnya, dan sebagai pembalasan, tangan kanannya membentuk cakar Rajawali dan menyambar-nyambar kedepan.

   Kipas telah dipindahkan ketangan kiri, dan kini lengan kanannya berobah keras dan amat kuat, kuku-kuku jari tang"n kanannya tajam dan runcing melengkung. Betapapun juga, Si Rajawali Lautan Timur hanya dapat melindungi dirinya karena semua cengkeramannya tidak pernah mengenai sasaran. Agaknya langkah-langkah ajaib dari lawannya amat luar biasa pula. Membuat tubuh lawannya itu kadang-kadang seperti lenyap dari depannya dan tahu-tahu muncul disebelah kiri, kanan atau bahkan dibelakangnya! Karena merasa jengkel melihat kelincahan lawan, Rajawali Lautan Timur lalu sengaja memperlambat gerakannya. Melihat lowongan ini Si Petani Lautan girang sekali dan cangkulnya menyambar dengan dahsyatnya kearah kepala lawan.

   "Wuuuuttt!" Mata cangkul berobah menjadi sinar berkilat ketika menyambar muka Tunghai-tiauw. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu tidak mengelak atau menangkis, bahkan meloncat keatas sehingga mata cangkul menyambar kearah dadanya! Raja Lautan itu sengaja menerima hantaman cangkul itu dengan dadanya yang tentu saja terlindung oleh jubah emasnya yang membuatnya kebal. Dan satu-satunya bahaya hanyalah tenaga pukulan itu yang mengandung sinkang amat kuat, maka diapun mengerahkan tenaga sinkang kearah dada untuk melawan tenaga penyerangnya.

   "Desss!" Pada saat mata cangkul menghantam dadanya, pada saat itupun Tung-hai-tiauw menggunakan tangan kiri yang memegang kipas menotok kearah jalan darah didada lawan. Si Petani Lautan terkejut sekali. Mata cangkulnya terpental ketika mengenai dada lawan dan melihat totokan gagang kipas, dia cepat mengelak. Akan tetapi, kini tangan kanan Tung-hai-tiauw yang membentuk cakar telah mencengkeram kearah ubun-ubun kepalanya. Melihat ini, Si Petani Lautan cepat membalikkan cangkulnya, menangkis dengan gagangnya. Akan tetapi, Tiing-hai-tiauw melanjutkan serangannya dan ketika gagang cangkul menangkis, dia mencengkeramnya.

   "Krekkkk...!" Gagang cangkul itu hancur lebur dicengkeram oleh cakar Rajawali! Dengan wajah pucat, Si Petani Lautan meloncat dua meter kebelakang sambil menjura.

   "Hai-ong, kepandaianmu makin hebat saja dan engkaulah yang pantas menjadi Raja Lautan. Aku mengaku kalah!" Semua orang yang mengikuti jalannya perkelahian itu memandang terbelalak dan merasa ngeri membayangkan betapa kuatnya cakar Rajawali itu. Kalau anggauta badan lawan yang kena dicengkeram, tentu akan cabik-cabik dagingnya dan remuk-remuk tulangnya. Setelah Si Petani Lautan mengaku kalah, terdengar tepuk tangan memuji. Tepuk tangan itu tiba-tiba terhenti ketika semua orang melihat majunya lamsiauw-ong. Si Raja Muda Selatan. Dengan sikapnya yang angkuh, pakaiannya yang mewah seperti seorang bangsawan tulen, tubuhnya yang gendut, dia melangkah kedepan menghampiri tuan rumah.

   "Hebat, hebat... kepandaian Si Rajawali Lautan Timur semakin tangguh saja, membuat aku merasa jerih untuk dapat merebut kedudukan. Hai-ong, terimalah persembahanku ini!" Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba kebalik jubahnya yang lebar panjang dan pada saat itu, seorang pembantunya melontarkan sebuah bungkusan kecil yang kelihatan berat kearahnya. Nampak kilat menyambar menyilaukan mata dan tahu-tahu Raja Muda Selatan ini telah memegang sebatang pedang didepan dadanya, pedang ditodongkan kedepan dan bungkusan kecil yang berat itu telah berada diujung pedangnya!

   "Tunggu sebentar, Siauw-ong!" kata Rajawali Lautan Timur dan diapun sudah menghampiri meja tempat ditaruhnya barang-barang bingkisan, menyimpan kipasnya dan mengambil bungkusan panjang pemberian Si Petani Lautan tadi. Dibukanya bungkusan itu dan ternyata benda itu adalah sebatang golok dengan sarungnya yang amat indah. Sebuah golok pusaka yang telah dirampas oleh Si Petani Lautan dari perahu kerajaan! Rajawali Lautan Timur agaknya sudah tahu ketika tadi menerima benda itu dan untuk menghadapi pedang Raja Muda Selatan, tidak cukup kalau hanya mempergunakan kipas besinya.

   Dia sudah mendengar bahwa lawan ini telah memperdalam ilmu pedangnya dan menguasai Ilmu Pedang Hun-kin-kiam (Pedang Pemutus Urat) yang amat berbahaya. Untuk menghadapi ilmu pedang itu, Raja Lautan ini sengaja menciptakan sebagai tandingannya ilmu golok yang hebat. Dia memang ahli main golok disamping ilmu silat lainnya dan dianggapnya bahwa satu-satunya senjata yang tepat untuk menghadapi pedang lawan hanya ilmu golok. Dia sendiri memiliki sebatang golok yang baik, akan tetapi karena dia tahu bahwa golok yang dipersembahkan oleh Si Petani Lautan itu adalah golok pusaka yang ampuh, maka diapun segera mengambilnya. Si Petani Lautan tersenyum. Memang dia sengaja menyerahkan golok itu karena dia mendengar akan persiapan tuan rumah menghadapi Raja Muda Selatan.

   Memang sudah direncanakan demikian. Kalau dia kalah, biarlah tuan rumah ini tetap menjadi Raja Lautan dan mengalahkan Raja Muda Selatan pula. Dia tidak rela kalau kedudukan Raja Lautan itu akan terampas oleh lamsiauw-ong, saingan besarnya... Tung-hai-tiauw kini melangkah kedepan dan berdiri dilantai atas, lebih tinggi dua anak tangga dari pada lamsiauw-ong yang berdiri dibawah. Raja Lautan ini nampak gagah perkasa dengan pakaian yang mewah pula, gelung rambut diatas kepala itu dihias dengan hiasan rambut seperti yang biasa dipakai oleh para bangsawan, agaknya untuk menandakan bahwa dia adalah Raja Lautan, walaupun Raja kaum bajak! Tubuhnya yang tinggi itu berdiri tegak, tangan kanan memegang golok pusaka didepan dada, tangan kirinya siap pula membantu, dan matanya memandang tajam kearah lawan.

   "Lam-siauw-ong, aku telah siap menghadapi Ilmu Hun-kin-kiam dari pedangmu!" katanya dengan sikap tenang. lamsiauw-ong berdiri tegak dengan kaki kanan didepan. Suasana amat sunyi dan menegangkan hati. Orang bertubuh gendut yang mengaku sebagai Raja Muda Selatan ini, sejenak menoleh dan memandang kearah Petani Lautan dengan alis berkerut. Agaknya diapun dapat "mencium" rencana siasat yang dijalankan oleh saingannya itu dengan memberi sumbangan berupa sebuah golok pusaka kepada tuan rumah. Melihat Si Petani lautan yang sudah kalah itu tersenyum, lamsiauw-ong mengeluarkan suara menggumam dari kerongkongannya, kemudian dia memandang lagi kepada tuan rumah yang sudah siap.

   "Hai-ong, terimalah!" Tiba-tiba dia berseru dan sekali pedangnya tergetar, tiba-tiba bungkusan diujung pedang itu seperti hidup, bergerak-gerak dan akhirnya meloncat kearah tuan rumah! Menyusul itu, nampak sinar pedang bergulung-gulung dan terdengar suara berdesing-desing disertai angin yang membuat lampu-lampu gantung bergoyang dan api lilin berkelap-kelip.

   "Haiiiittt!" lamsiauw-ong mengeluarkan suara melengking nyaring dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu kini meluncur kearah tuan rumah, mengikuti bungkusan barang sumbangannya tadi. Tung-hai-tiauw sudah menggerakkan goloknya menyambut bungkusan.

   "Trakkk!" Bungkusan yang berat itu menempel pada golok itu seperti besi dengan sembrani. Akan tetapi sinar pedang lawan sudah datang menyerang. Menerima bungkusan sumbangan haruslah dengan hormat dan pantang untuk menjatuhkan bungkusan itu. Akan tetapi kalau bungkusan yang menempel pada golok itu tidak dilempar, tentu akan sukar baginya menghadapi serangan lawan yang demikian dahsyat! Maka Tung-hai-tiauw lalu menggetarkan goloknya dan bungkusan itu terbang keatas. Pada saat itulah sinar pedang datang menyambar dan golok yang diputar itupun berobah menjadi gulungan sinar putih cemerlang.

   "Trang-cringgg... tranggg, tranggg!!" Empat kali beruntun dua senjata itu bertemu. bunga api berpijar dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar hebat. Pada saat itu, bungkusan sumbangan sudah melayang turun kembali, disambut oleh Tung-hai-tiauw dengan tangan kiri sedangkan kakinya meloncat kebelakang untuk menghindarkan diri kalau-kalau lawan kembali menyerang. Akan tetapi, sinar pedang itu berkelebat panjang mengitari tubuh lamsiauw-ong dan ketika dia berdiri tegak, ternyata ada tiga batang lilin pendek bernyala diatas pedangnya!

   Kiranya pedang itu telah menyambar tiga batang lilin yang bernyala diatas meja tak jauh dari situ dan sedemikian hebat gerakan pedang itu sehingga mampu membabat tiga batang lilin yang potongannya melekat pada pedang, sedangkan api ketiga lilin itu tidak padam! Kecepatan gerak disertai tenaga sinkang yang amat kuat ini membuat semua orang melongo karena gerakan pedang membabat dan membawa potongan lilin itu seperti permainan sulap saja. Maka terdengarlah tepuk tangan memuji. lamsiauw-ong memandang dengan mata bersinar mengejek ketika tuan rumah melemparkan bungkusan sumbangan itu kepada seorang pembantunya yang segera menaruhnya dengan sikap hormat keatas meja, diantara tumpukan barang-barang sumbangan lain.

   Kemudian, lamsiauw-ong menggerakkan tangan yang memegang pedang dan tiga batang lilin pendek yang bernyala itu menyambar berturut-turut kearah Tung-hai-tiauw. Laki-laki tinggi kurus ini menggerakkan goloknya dan nampak sinar golok berkelebat menyilaukan mata tiga kali dan tiga batang potongan lilin itu berobah menjadi enam potong dengan apinya masih menyala ketika enam potong itu runtuh keatas lantai dan apinya padam. Kiranya golok itu dengan kecepatan kilat telah membelah potongan lilin itu menjadi dua dengan belahan ditengah-tengah sehingga sumbunyapun terbelah dua dan masing-masing masih bernyala! Tentu saja demonstrasi penggunaan golok yang luar biasa hebatnya ini disambut dengan tepuk sorak oleh para tamu. lamsiauw-ong memandang dengan hati panas dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang kedepan, pedangnya bergerak dengan cepat.

   Lawannya menyambut dan mereka sudah saling serang dengan serunya, tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang dan golok yang seolah-olah berobah menjadi dua ekor naga yang saling belit dan saling himpit. Dua orang Raja kaum sesat yang hadir sebagai tamu, yaitu Sin-go Mo Kai Ci dan Sanhek-houw, memperhatikan gerakan mereka berdua yang berkelahi itu dan diam-diam mereka terkejut dan kagum bukan main, maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menandingi tuan rumah dan saingannya itu. Apa lagi mengingat bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh darat dan sungai kini berada di "Dunia lain," yaitu didaerah kekuasaan bajak-bajak laut sehingga mereka terpencil dan merasa amat asing. Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa mereka berdua adalah utusan Raja Kelelawar dan mengandalkan iblis yang amat lihai itu, tentu mereka berdua akan merasa jerih sekali.

   "Cring-trang-tranggg!!" Untuk kesekian kalinya pedang bertemu dengan golok dan nampaklah bunga api berpijar menyilaukan mata. kedua orang yang telah mengadu tenaga lewat senjata mereka itu cepat memeriksa senjata masing-masing dan legalah hati mereka melihat bahwa senjata mereka tidak menjadi rusak. lamsiauw-ong yang tadinya mengandalkan pedangnya dengan Ilmu Pedang Hun-kin-kiam-sut itu, merasa penasaran sekali bahwa lawannya mampu mematahkan semua serangannya dengan ilmu goloknya.

   Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang lagi kedepan dengan dahsyat, pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar panjang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya. Hun-kin-kiam-sut (Ilmu Pedang Pemutus Urat) adalah ilmu pedang yang dilatihnya selama tiga tahun ini, dan merupakan ilmu pedang yang amat dahsyat. Ujung pedang itu seperti hidup saja, dapat mencari urat-urat halus dan jalan-jalan darah yang mematikan, maka setiap tusukan atau bacokan merupakan serangan maut. Karena lamsiauw-ong menggerakkan pedangnya dengan pengerahan sinkang, maka selain pedang itu lenyap berobah menjadi sinar bergulung-gulung, juga dari gulungan sinar itu kadang-kadang mencuat sinar menyambar kearah lawan dan setiap kali nampak sinar menyambar ini, terdengar bunyi bercuitan mengerikan.

   Akan tetapi, ternyata ilmu golok yang dimainkan oleh Tung-hai-tiauw juga hebat sekali. selain golok yang dimainkannya merupakan golok pusaka, juga ilmu goloknya amat hebat. Golok itu adalah golok pusaka yang tadinya merupakan pusaka Istana Kaisar, bernama Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebenarnya, kalau dibandingkan dengan ilmu golok yang dimainkan tuan rumah dengan Ilmu Pedang Hun-kin-kiam-sut, maka ilmu golok itu masih kalah hebat. Sekiranya Tung-hai-tiauw hanya mengandalkan ilmu goloknya menghadapi lamsiauw-ong, agaknya dia akan kalah. Akan tetapi, kekalahannya dalam hal mainkan senjata itu tertutup oleh keuntungannya karena dia memakai baju emas yang membuatnya kebal itu.

   Beberapa kali ketika ujung pedang menyambar kearah dadanya, dengan berani dia menerima tusukan itu dengan baju emasnya dan membarengi dengan bacokan golok sehingga lamsiauw-ong menjadi sibuk bukan main karena tusukannya meleset dan dirinya bahkan terancam bacokan maut! disamping baju emas yang membuatnya kebal itu, juga Tung-hai-tiauw masih memiliki cengkeraman kukunya dari tangan kiri dan cengkeraman ini amat berbahaya, tidak kalah dari serangan goloknya. Karena bantuan baju emas dan cengkeraman kuku inilah maka Tung-hai-tiauw mulai dapat mendesak lawannya! Kembali pedang itu meluncur kearah leher dengan tusukan yang halus dan cepat sekali sampai mengejutkan hati Tung-hai-tiauw. Kalau tusukan itu mengenai jalan darah dilehernya, tidak usah dalam-dalam tusukan itu, tentu dia akan roboh dan tak mungkin dapat bangkit kembali.

   Maka cepat dia menangkis dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga. Pedang tertangkis, terpental dan dengan cepatnya pedang yang tertangkis itu meluncur kebawah, membacok kearah urat dipundak. Untuk kesekian kalinya, lamsiauw-ong yang bergerak menurut ilmu pedangnya, lupa bahwa lawannya memakai baju emas yang membuatnya kebal, maka pedangnya membacok pundak lawan. Tung-hai-tiauw membiarkan saja pundaknya diserang bacokan dan sebagai balasan, goloknya menyambar kearah paha kanan lawan dan tangan kirinya mencengkeram kearah pusar! Sungguh luar biasa dahsyat dan berbahayanya serangan balasan Tung-hai-tiauw ini! Pada detik terakhir yang amat menegangkan dan berbahaya bagi nyawanya ini, terdengar lamsiauw-ong mengeluarkan suara melengking, pedangnya berkelebat dan tubuhnya dilemparkan kebelakang.

   "Bretttt!!" Terdengar suara nyaring dan lamsiauw-ong berjungkir balik dan dapat berdiri dengan terhuyung, mukanya pucat sekali karena bajunya bagian pusar telah koyak-koyak. Nyaris perutnya yang koyak oleh cengkeraman tadi dan pedangnya mampu menyerempet punggung tangan kiri lawan, menimbulkan luka sedikit dan berdarah sedikit. Mengertilah lamsiauw-ong bahwa pihak tuan rumah telah bersikap murah hati terhadap dirinya, karena kalau Tung-hai-tiauw tadi menghendaki, tentu kini dia telah roboh dengan isi perut berantakan! Maka diapun tahu diri, maklum bahwa sampai saat itu tingkat kepandaiannya masih kalah sedikit. Diapun menjura dan berkata dengan suara mengandung kekecewaan besar,

   "Hai-ong, aku mengaku kalah!" Tung-hai-tiauw merasa girang bukan main telah dapat mengalahkan lawan yang paling berbahaya ini. Dia tersenyum lebar dan balas menjura.

   "Ah, Siauw-ong telah bersikap merendahkan diri dan sengaja telah mengalah terhadapku. Terimakasih, Siauw-ong. Nyaris tanganku buntung oleh pedangmu yang amat lihai!" Raja Muda Selatan itu kembali ketempat duduknya dengan lesu dan tepuk sorak para hadirin yang menyambut kemenangan Rajawali Lautan itu baginya seperti ejekan terhadap dirinya sehingga mukanya menjadi kemerahan.

   Setelah Petani Lautan dan Raja Muda Selatan kalah, tidak ada lagi kepala bajak yang berani maju mencoba kepandaiannya terhadap Rajawali Lautan, oleh karena itu, jelas bahwa kedudukan Hai-ong (Raja Lautan) masih dimiliki Tung-hai-tiauw untuk jangka waktu tiga tahun lagi. Kursi singgasana yang tadinya ditutupi kain putih kini dibuka dan dengan resmi, dibawah tepuk tangan para hadirin, Tung-hai-tiauw duduk diatas kursi singgasana itu dengan sikap gagah dan gembira. Semua orang lalu mengangkat cawan memberi selamat kepada Raja Lautan. Sin-go Mo Kai Ci dan Sanhek-houw yang; datang sebagai tamu yang tidak mempunyai hubungan dengan pemilihan Raja Lautan, juga sebagai rekan-rekan dari Tung-hai-tiauw karena mereka bertiga pernah dikenal didunia kang-ouw sebagai Sam-ok (Si Tiga Jahat), juga bangkit dari kursi mereka, menghampiri Tung-hai-tiauw sambil mengangkat cawan arak mereka.

   "Hai-ong, kami berdua dalam kesempatan ini mengucapkan selamat atas kemenanganmu!" kata Sanhek-houw dan dia mengangkat cawan araknya, diikuti oleh Si Buaya Sakti. Karena dua orang ini merupakan tokoh-tokoh besar didunia hitam, Tung-hai-tiauw menerima ucapan selamat itu sambil tertawa gembira dan bangga, mengucapkan terimakasih sambil mengangkat cawan dan sekali tenggak habislah arak dalam cawannya. Sebelum kedua orang rekannya itu kembali ketempat duduk mereka, Tung-hai-tiauw berkata kepada mereka,

   "Dua sahabat baik yang jauh-jauh datang tentu membawa keperluan penting. Nah, setelah kini upacara pemilihan Raja lautan yang baru telah selesai, harap kalian suka. menceritakan keperluan penting itu." Dua orang itu lalu menarik bangku dan duduk didepan Rajawali Lautan itu, dan Si Buaya Sakti dengan suaranya yang tinggi lalu berkata,

   "Sesung-guhnya kami berdua diutus oleh keturunan dari junjungan golongan kita, yaitu yang mulia Raja Kelelawar, untuk menemuimu dan menanyakan apakah engkau sudah menerima surat undangan beliau beberapa bulan yang lalu?" Tung-hai-tiauw mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada kedua orang tamunya. Kalau bukan dua orang ini yang datang bercerita, tentu dia tidak akan mau percaya. Dua orang ini adalah Raja-Raja kaum sesat golongan darat dan sungai, mana mungkin dapat menjadi utusan kalau yang mengutusnya itu bukan orang yang benar-benar hebat sekali kepandaiannya? Mereka itu memiliki kedudukan dan kepandaian yang setingkat dengan dirinya, dan kini mereka datang sebagai utusan, agaknya untuk menegurnya karena dia telah mengabaikan surat undangan yang diterimanya secara aneh itu.

   "Memang benar, aku telah menerimanya. Akan tetapi aku harus hati-hati. Siapa tahu ada orang yang memalsukan nama junjungan kita itu dan mengaku-aku saja. Kita sendiri kan belum pernah bertemu dengan tokoh yang disebut Raja Kelelawar itu. Kita cuma mendengar saja dari dongeng nenek moyang kita. Mana kita bisa tahu apakah yang muncul ini tulen ataukah palsu?"

   San-hek-houw mengerutkah alisnya dan pandang matanya mengandung kemarahan. Dia sudah takluk benar kepada Raja Kelelawar dan dia sudah yakin bahwa Raja iblis itu memang benar amat sakti dan memiliki kesaktian-kesaktian seperti yang terdapat dalam dongeng tentang Raja Kelelawar. Kini sebagai orang kepercayaan Raja Kelelawar, dia mendengar bahwa keaselian junjungannya itu diragukan orang, maka hatinya menjadi panas. Akan tetapi dia bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa dia sebagai seorang tamu disarang bajak, mempunyai kedudukan yang amat lemah dan berbahaya. Oleh karena itu, diapun menelan saja perasaan dongkolnya dan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Buaya Sakti agar mereka cepat-cepat pergi dari tempat itu. Si Buaya Sakti maklum akan kemarahan kawannya, maka diapun berkata dengan suara datar,

   "Kami berdua hanya utusan saja, dan jawaban Hai-ong tentu akan kami sampaikan seperti apa adanya kepada Raja Kelelawar yang mengutus kami. Nah, sekarang kami berdua terpaksa mohon diri untuk kembali ketempat kami masing-masing."

   "Ah, kenapa tergesa-gesa?" Tung-hai-tiauw berkata, merasa tidak enak juga karena tidak ingin dianggap kurang ramah apa lagi mengusir dua orang tamunya ini. Diapun tahu bahwa didarat, dua orang ini jauh lebih terkenal dari pada dirinya dan juga kedudukan mereka berdua ini lebih kuat. Dengan dua orang seperti ini, yang telah dirangkaikan dengan dia sebagai Si Tiga Jahat, lebih aman kalau bersahabat, bukan bermusuhan.

   "Apakah kalian tidak ingin melihat perlumbaan perahu-perahu kita malam nanti? Dan yang lebih menarik lagi, apakah kalian tidak ingin melihat upacara penyerahan korban perawan jelita di Pusaran Maut?"

   "Tidak, terimakasih." Kini Harimau Gunung, yang menjawab.

   "Kami harus cepat-cepat pulang untuk membuat laporan kepada Raja Kelelawar."

   Rajawali Lautan Timur bukan tidak berkesan mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Kalau dua orang rekannya ini sudah begitu tunduk, tentu tokoh yang mengaku sebagai Raja Kelelawar ini benar-benar hebat kepandaiannya. Akan tetapi, dia sendiri baru saja menangkan kedudukan Raja Lautan, mana mungkin dia memperlihatkan kelemahan dan rasa jerihnya terhadap tokoh yang baru muncul dan yang belum dikenal serta diketahui sampai dimana kelihaiannya itu? Pula, dia berada ditempat sendiri, didaerah bajak, dimana hadir orang-orang lihai yang akan membantunya dan membela kawan sendiri seperti Petani Lautan, Raja Muda Selatan dan semua anak-buah yang demikian banyaknya. Takut apa? Maka diapun tersenyum mengejek mendengar ucapan Harimau gunung tadi.

   "Hemm, baiklah. Aku tidak akan menahan lagi. Akan tetapi, kita bertiga yang sudah lama menjadi rekan-rekan, yang nama kita dikaitkan orang sebagai Sam-ok, sungguh sayang kita kini berbeda pendapat dalam hal kekuasaan dan kedaulatan kita. Sampaikan saja salam kami kepada orang yang mengaku keturunan Raja Kelelawar itu. Katakan bahwa kami, orang-orang lautan, ingin hidup bebas tanpa, harus diperintah orang dari golongan lain."

   Ucapan ini merupakan tantangan halus yang ditujukan kepada Raja Kelelawar! Dua orang tokoh sesat itu marah dan mendongkol sekali. Kalau saja mereka tidak berada diwilayah bajak, tentu mereka akan menyerang Rajawali Lautan. Akan tetapi mereka tahu diri, maka mereka tidak menjawab dan hanya mengangguk. Tung-hai-tiauw juga tidak mau banyak cakap lagi, lalu dia sendiri mengantar dua orang tamu ini keluar dan melihat sampai keduanya benar-benar telah pergi meninggalkan pulau itu.

   Setelah dua orang yang dianggapnya saingan berbahaya itu pergi, Tung-hai-tiauw yang kini untuk ketiga kalinya kembali telah menduduki singgasana Raja Lautan dan berhak menjadi majikan dari pulau dengan Istananya itu, lalu mengajak dua orang tangan kanannya, yaitu Petani Lautan dan juga Raja Muda Selatan untuk melihat perlumbaan perahu. Dengan diiringkan oleh para pengawal, para dayang dan juga isteri dari Rajawali Lautan, mereka semua lalu pergi kepanggung yang didirikan ditepi telaga, dengan wajah gembira nonton perlumbaan yang baru akan dimulai setelah Raja Lautan itu hadir dipanggung. Senja telah mendatang, matahari telah condong jauh ke barat. Perlumbaan yang hendak diadakan sekarang adalah perlumbaan terakhir yang merupakan puncak pertunjukan karena kini yang akan berlumba hanya tiga buah sampan saja.

   Akan tetapi, para penumpangnya adalah thouwbak-thouwbak (mandor-mandor bajak) yang merupakan pembantu-pembantu utama para Raja bajak yang telah memiliki kepandaian tinggi. Tentu saja keadaan menjadi menegangkan dan panas, karena tiga perahu yang akan berlumba itu seakan-akan mewakili golongan masing-masing, yaitu golongan anak-buah tuan rumah yang menjadi Raja Lautan, golongan anak-buah Petani Lautan dan anak-buah Raja Muda Selatan. Setelah tiga buah perahu yang ditumpangi masing-masing oleh tiga orang itu siap, dimulailah perlumbaan dan terjadilah perlumbaan seperti yang sudah terjadi kemarin. Akan tetapi sekarang lebih ramai lagi karena para penghuni perahu itu adalah orang-orang yang lihai, bukan hanya lihai ilmu silatnya akan tetapi juga lihai dalam mengemudikan dan melayarkan perahu mereka.

   Dan seperti juga kemarin, perlumbaan ini lebih berupa, perkelahian diatas perahu atau usaha untuk saling menenggelamkan perahu lawan dari pada perlumbaan adu cepat. Setiap kali ada sebuah perahu yang agaknya meluncur paling cepat, yang dua lalu menggunting dari kanan kiri dan menyerang perahu itu dengan dayung-dayung panjang mereka, bukan hanya berusaha menghantam badan perahu atau merusak layar atau merobohkan tiang layar, akan tetapi bahkan tidak segan-segan untuk saling hantam! Mereka sungguh ahli mengemudikan perahu. Perahu-perahu itu sampai miring, saling, serobot dan saling tabrak, akan tetapi dengan cekatan mereka mampu menghindar dan balas menyerang untuk menggenjot perahu lawan dari samping dalam usaha mereka menggulingkan lawan.

   Perlumbaan atau perkelahian antara tiga perahu itu terjadi dalam suasana panas, apa lagi karena tepuk sorak para pendukung masing-masing tak pernah berhenti memberi semangat kepada jagoan masing-masing. Beberapa kali ada perahu yang tertabrak dan terguling. Akan tetapi dengan cekatan para penumpangnya sudah berhasil membalikkan perahu mereka dan mendayung lagi. Ada yang kepalanya benjol-benjol terkena hantaman dayung. Akhirnya, dengan kepala benjol-benjol dan perahu dalam keadaan tidak utuh lagi, perahu anak-buah Raja Muda Selatan keluar sebagai pemenang setelah lebih dulu berhasil mencapai garis yang ditentukan. Mereka menerima sambutan sorak-sorai dan juga menerima hadiah-hadiah dari Raja Lautan.

   Sementara itu, matahari telah terbenam dan sebagai gantinya, bulan yang amat besar dan merah muncul dari permukaan laut sebelah timur. Setelah perlumbaan selesai, kini disusul pesta air! Raja Lautan dan keluarganya, juga para kepala bajak seperti Petani Lautan dan Raja Muda Selatan, naik perahu yang dihias meriah dengan lampu-lampu gantung yang berwarna-warni, dan berpesta-pora diatas telaga. Terdengar bunyi musik mengiringi nyanyian wanita-wanita penghibur dan semua orang mulai bermabok-mabokan. Acara terakhir malam itu adalah penyembahan korban untuk Dewa Laut yang akan dilakukan di Pusaran Maut. Seorang perawan jelita akan dikorbankan, seperti yang terjadi setiap tiga tahun sekali! Tiupan rumah kerang raksasa menjadi tanda bahwa upacara itu akan segera dilaksanakan.

   Perahu-perahu dipersiapkan dan semua perahu yang berpesta-pora lalu minggir. Perahu Rajawali lautan dan perahu-perahu para pimpinan bajak telah siap mengikuti upacara itu. Sebuah perahu yang dihias secara khas nampak diturunkan keair dari pantai. Lalu dari pantai nampak sebuah gerobak dorong yang didorong orang keatas perahu. Diatas gerobak dorong ini nampak seorang gadis yang duduk bersandar tiang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Gadis itu dalam keadaan sadar dan dengan sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi-api, gadis itu memandang kekanan kiri. Jelas bahwa ia berada dalam keadaan terancam, akan tetapi hebatnya, sedikitpun ia tidak kelihatan takut. Kedua lengannya terbelenggu kebelakang tubuhnya, diikat oleh belenggu besi pada tiang, dan kedua pergelangan kakinya juga dibelenggu dengan belenggu besi yang dipasang dipapan gerobak.

   Dara itu bukan lain adalah Ho Pek Lian! Seperti telah kita ketahui, dara itu memasuki pulau dengan berani dalam usahanya mencari Bu Seng Kun, A-hai, dan juga Bu Bwee Hong, disamping juga berusaha untuk mencari ayahnya yang pernah didengar suaranya didalam sebuah perahu. Akan tetapi, karena terkejut melihat patung yang tiba-tiba hidup, ia ketahuan dan akhirnya dikeroyok dan tertawan. Sungguh malang baginya, pada waktu itu Raja Lautan membutuhkan seorang dara jelita yang pantas untuk menjadi korban yang akan dipersembahkan kepada Dewa Laut, dan iapun terpilih! Bahkan Tung-hai-tiauw merasa bangga dapat mempersembahkan seorang dara yang bukan hanya cantik jelita melainkan juga gagah perkasa.

   Dia percaya bahwa Dewa lautan akan merasa girang sekali dengan persembahan istimewa ini dan tentu akan memberi berkah kepada semua bajak sehingga dimasa mendatang akan berhasil baik dalam pekerjaan mereka membajak! Perahu kecil terhias yang membawa Pek Lian itu pun meluncur perlahan, diiringkan oleh perahu-perahu Rajawali Lautan, Petani Lautan, Raja Muda Selatan dan para kepala bajak lainnya. Iring-iringan perahu itu amat banyak, seperti armada saja akan tetapi suasananya tetap gembira, apa lagi karena bulan purnama yang bundar besar kemerahan itu nampak cemerlang tidak terhalang awan seolah-olah sang bulan ikut merestui kesibukan mereka yang akan mempersembahkan korban sedemikian mulusnya kepada Dewa Laut! Bulan purnama yang kemerahan itu nampak besar dan perlahan-lahan naik menjauhi permukaan laut. Malam yang amat indah.

   Lautpun tenang sekali, seolah-olah tidak ada keriputnya sedikitpun juga. Langit bersih sekali sehingga nampak bintang-bintang dengan cahayanya yang pudar karena dikalahkan oleh sinar bulan. Akan tetapi, kini para anak-buah bajak mulai tenang dan suara kegaduhan merekapun mereda, bahkan lalu menghilang. Mereka maklum bahwa perjalanan sekali ini bukan lagi kelanjutan dari pesta-pora, melainkan perjalanan yang keramat dan penting, juga berbahaya! Mereka akan melakukan upacara persembahan korban seorang perawan suci, kebiasaan tradisionil nenek moyang mereka. Yang membuat mereka merasa ngeri adalah karena persembahan korban itu dilakukan didaerah yang teramat berbahaya dan yang amat mereka takuti, yaitu daerah pusaran maut, tempat yang mereka anggap sebagai pintu gerbang menuju keneraka.

   Oleh karena itu, makin dekat dengan tempat mengerikan itu, makin teganglah hati mereka dan makin sunyilah keadaan diatas perahu-perahu yang beriringan itu. Pek Lian yang duduk terbelenggu diatas gerobak dorong yang berada diatas perahu itu, memandang semua kegiatan ini. Ia tahu bahwa ia menghadapi bahaya maut walaupun ia belum mengerti bahaya maut macam apa yang dihadapinya. Ia tertawan dan dalam keadaan tertotok, ia telah ditelanjangi dan dimandikan oleh para dayang, dimandikan dengan air yang diberi wangi-wangian seperti seorang calon mempelai saja. Kemudian, pakaian yang baru dari sutera dikenakan pada tubuhnya. Sampai ia dibelenggu diatas gerobak dan didorong menuju keperahu itu, ia masih belum mengerti apa yang akan dilakukan orang terhadap dirinya.

   Namun, ia bersikap tenang walaupun hati dan pikirannya tak pernah berhenti berusaha mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri. Ia sudah terbebas dari totokan dan sudah beberapa kali ia mengerahkan tenaga mencoba kekuatan belenggu kaki tangannya. Maka satu-satunya harapan hanyalah pada saat orang membebaskannya dari belenggu itu, baru ia akan bergerak mengamuk mati-matian. Kalau perlu, ia akan meloncat kedalam lautan dari pada mati ditangan iblis-iblis berwajah manusia ini. Satu-satunya hal yang membuatnya berduka hanyalah bahwa ia belum berhasil menemukan ayahnya dan yang amat aneh terasa olehnya adalah betapa dalam keadaan menghadapi bahaya maut seperti itu, yang terbayang olehnya hanya wajah ayahnya dan wajah A-hai!

   Dimanakah pemuda itu sekarang? Masih hidupkah? Apakah masih ingat kepadanya? pertanyaan-pertanyaan ini tanpa disengaja menyelinap dalam hatinya dan membuatnya heran sendiri. Kini semua orang mulai dapat mendengar suara itu. Suara yang selalu mendatangkan rasa ngeri dihati setiap orang bajak laut. Suara gemuruh bagaikan guntur. Wajah para bajak laut menjadi pucat. Itulah suara Pusaran Maut! Dan sungguh luar biasa sekali, berbareng dengan terdengarnya suara gemuruh itu, seperti secara mendadak sekali, nampak awan tebal hitam bergulung-gulung datang dan menutupi bulan purnama. Keadaan yang tadinya terang-benderang itu tiba-tiba menjadi gelap-gulita dan lampu-lampu perahu kini baru nampak terang berkelip-kelip. Semua orang memandang kearah bulan yang menyelinap kebalik awan hitam itu dengan hati cemas.

   Suara gemuruh semakin keras terdengar, membuat semua orang menjadi gelisah. Tiba-tiba sekali sehingga membingungkan semua orang, terdengarlah suara mengiang yang merupakan lengking tinggi, seperti suara nyamuk didekat telinga. Mengiang tajam sekali, membuat semua orang menjadi semakin ngeri. Semua orartg yang memandang keatas mengharapkan agar awan yang menutup bulan cepat berlalu. Mereka tidak ingin datang kedaerah Pusaran Maut dalam cuaca yang gelap-gulita seperti itu. Terlalu berbahaya! Akhirnya, awan tebal itu sedikit demi sedikit meninggalkan bulan purnama. Para pengawal yang menjaga Pek Lian bernapas lega. Calon korban masih terikat ditempatnya seperti tadi. Akan tetapi, tiba-tiba juru mudi perahu calon korban itu mengeluarkan teriakan tertahan, disusul kata-katanya yang gagap,

   "Heiii! Lihatlah! Lihatlah bulan itu! Ada manusia didalamnya!!" Semua orang, diatas perahu-perahu itu memang sudah melihatnya dan semua mata terbelalak. Memang benar ucapan juru mudi perahu calon korban itu! disana, diatas leher burung Rajawali sebagai penghias ujung perahu Rajawali lautan, nampak seorang laki-laki berpakaian hitam-hitam dan bermantel hitam pula, berdiri membelakangi bulan purnama, maka dia kelihatan seolah-olah berada didalam bulan yang besar itu!

   Karena pakaiannya serba hitam dan bulan itu sendiri kuning keemasan, maka nampak kontras dan indah seperti lukisan saja. Pek Lian sendiri juga sudah melihat bayangan itu dan jantungnya berdebar tegang ketika ia mengenal bahwa orang itu serupa benar dengan orang yang pernah dijumpainya diatas pulau nelayan. Raja Kelelawar! Semua orang masih memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, wajah pucat. Mereka tidak tahu bagaimana orang itu tahu-tahu dapat berada diburitan perahu! Dan melihat keadaan orang itu, semua orang yang sudah mendengar desas-desus tentang si Raja iblis Raja Kelelawar, menjadi ketakutan. Kini terdengar suara melengking nyaring.

   Banyak anak-buah bajak yang menggunakan kedua tangan untuk menutupi kedua telinga mereka karena suara lengkingan itu seperti akan memecahkan kendangan telinga mereka. Tiba-tiba tubuh orang berpakaian serba hitam itu melayang dengan kecepatan seperti burung terbang saja menuju kearah perahu dimana Pek Lian terbelenggu. Mantel hitam itu berkibar dibelakangnya seperti sayap yang lebar dan tahu-tahu dia sudah berada diatas dek perahu dekat gerobak dimana Pek Lian terikat. Kedua tangannya bergerak-gerak dan terdengarlah besi belenggu itu patah-patah dan dalam sekejap mata saja Pek Lian telah bebas! Akan tetapi, Pek Lian masih belum mampu bergerak. Tubuhnya masih kaku-kaku karena terlalu lama dibelenggu. Para pengawal tadinya tertegun seperti orang-orang terpesona oleh permainan sulap yang mengherankan saja.

   Akan tetapi, mereka segera sadar bahwa tawanan telah dibebaskan orang, maka empat orang pengawal dengan senjata ditangan menerjang dan menyerang pria tinggi kurus berjubah hitam itu. Bit-bo-ong atau Raja Kelelawar, orang yang mukanya kaku seperti topeng itu, seperti tidak memperdulikan datangnya empat buah senjata tajam yang menyerangnya. Dia hanya mendengus, tangan kirinya bergerak cepat dan terdengar empat kali suara pekik mengerikan dan empat orang pengawal itu roboh terpelanting dengan kepala berlubang tertembus jari-jari tangan yang runcing bagaikan pedang. Tentu saja para pengawal lain yang berada diatas perahu itu menjadi ngeri dan jerih. Bunyi terompet tanda bahaya segera ditiupkan orang dan perahu-perahu yang lain berdatangan mengepung perahu calon korban.

   "Hemmmm!" Raja Kelelawar mendengus, tangan kirinya bergerak kearah Pek Lian dan gadis ini mengeluh karena ia telah tertotok dan dilain saat tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul diatas pundak iblis itu.

   Gilanya, agaknya sesuai dengan watak iblisnya yang biadab, tangan kanan iblis itu mengelus-elus pinggul dara yang membusung itu, sedikitpun tidak merasa takut atau malu biarpun ditonton oleh begitu banyaknya musuh yang mengepungnya! Kasihan Pek Lian yang hanya dapat mematikan rasa malunya karena ia sama sekali tidak berdaya biarpun ia merasa betapa pinggulnya dielus-elus dan beberapa kali dicubit! Terdengar aba-aba dari Rajawali Lautan dan ratusan anak panah menyambar kearah Raja Kelelawar. Agaknya tak mungkin orang dapat menghindarkan diri dari sambaran ratusan anak panah itu kecuali kalau dapat memutar senjata menang kis atau kalau mengelakpun harus meloncat keluar perahu.

   Akan tetapi, iblis itu sama sekali tidak mengelak, juga tidak menggunakan senjata untuk menangkis, melainkan menggerakkan tangannya dan jubah lebarnya bergerak melingkari dan menyelimuti seluruh tubuhnya dan tubuh Pek Lian yang dipanggulnya. Anak panah yang ratusan banyaknya itu begitu menyentuh jubahnya, berjatuhan disekeliling badannya sampai bertumpuk-tumpuk. Tidak ada sebatangpun yang mampu menembus jubah itu. Anak panah yang ratusan banyaknya itu berserakan disekeliling kakinya. melihat kesaktian ini, para anak-buah perahu calon korban cepat-cepat meninggalkan perahu, pindah keperahu lain karena merasa takut dan ngeri terhadap iblis itu. Para thauwbak dengan suara gagap dan kaki gemetaran mencoba untuk mengumpulkan kembali anak-buah masing-masing yang dilanda ketakutan.

   Melihat munculnya orang yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka itu, apa lagi karena tadi Raja Lautan memang membicarakan, iblis ini dengan kedua orang pembantunya, maka Tung-hai-tiauw, Petani Lautan dan Raja Muda Selatan serentak berloncatan dari perahu masing-masing menuju keperahu calon korban dimana iblis itu masih berdiri sambil memanggul tubuh Pek Lian, dengan sikap yang amat tenang. Tiga Raja bajak itu tiba diperahu calon korban hampir berbareng, dari tiga jurusan. Melihat ini, tiba-tiba Raja Kelelawar mengeluarkan suara melengking nyaring dan begitu dia menggerakkan jubahnya yang dikembangkan dengan kekuatan dahsyat, tumpukan anak panah disekelilingnya itu terbang berhamburan kembali ketempat masing-masing!

   Kembali terdengar jerit-jerit mengerikan dan belasan orang anak-buah bajak roboh dengan tubuh tertembus anak panah! Ada pula yang sempat menyelamatkan diri dibalik perisai mereka. Tiga orang Raja bajak itu sendiri cepat mengibaskan tangan mereka dan runtuhlah anak panah yang meluncur kearah mereka. Kini Tung-hai-tiauw, Petani Lautan, dan Raja Muda Selatan sudah berdiri berhadapan dengan iblis itu. Mereka bertiga tentu saja sudah mendengar dongeng penuturan nenek moyang mereka tentang Raja Kelelawar dan kini, berhadapan dengan orang yang mengaku keturunan Raja Kelelawar, mereka memandang tajam penuh selidik.

   Terutama sekali Tung-hai-tiauw yang baru saja tadi menolak untuk menakluk kepada iblis ini karena bagaimanapun juga, dia masih belum dapat menerima begitu saja munculnya seseorang yang mengaku sebagai keturunan Raja di Raja penjahat yang hanya hidup sebagai dongeng itu. Apa lagi kalau dia, seorang Raja Lautan, harus takluk begitu saja! Bagaimanapun juga, hati tiga orang Raja bajak ini gentar juga. Orang yang berdiri dengan tegak didepan mereka itu memang mempunyai ciri-ciri seperti Raja Kelelawar dalam dongeng yang mereka dengar dari orang-orang tua dan guru-guru mereka. Orangnya tinggi kurus dengan pakaian serba hitam, mantel atau jubah hitam pula dan mukanya tersembunyi dalam gelap karena membelakangi bulan, muka yang nampak kaku seperti topeng.

   Dipinggangnya sebelah kiri terselip dua buah pisau panjang yang gagangnya indah bertabur batu pennata. Tiga orang Raja bajak itu tertarik dan juga merasa tergetar hatinya, Menurut dongeng yang pernah mereka dengar, Raja iblis ini memiliki ilmu-ilmu yang sakti dan tidak lumrah. Kabarnya memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang tidak ada bandingnya yang disebut Bu-Eng Hwee-teng (Loncat Lari Tanpa Bayangan), ilmu silat sakti Kim-liong Sin-kun (Naga Emas) dan tenaga sinkang yang dinamakan Pat-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Delapan Dewa). Akan tetapi, mereka bertiga memberanikan diri dan mengandalkan ilmu kepandaian mereka sendiri yang tidak boleh dipandang rendah. Maka, merekapun bersikap menantang dan bersiap untuk melayani iblis itu. Raja Kelelawar melangkah maju dan dengan suaranya yang tajam dan tinggi dia bertanya,

   "Siapakah diantara kalian yang berjuluk Rajawali Lautan Timur?" Tung-hai-tiauw juga maju selangkah dengan berani, kemudian menjawab dengan suara nyaring, lebih nyaring dari biasanya untuk menambah semangatnya sendiri,

   "Akulah Tung-hai-tiauw yang juga menjadi Hai-ong! Siapakah engkau?" Iblis itu mendengus.

   "Huh, mengapa engkau tidak mau datang memenuhi perintahku menghadiri pertemuan dikuil atas bukit itu? Kenapa pula engkau tidak menerima kedua orang utusanku siang tadi secara baik? Benarkah engkau tidak mau bersatu dibawah benderaku, seperti yang terjadi pada jaman nenek moyang kita dahulu? Apakah engkau masih meragukan aku? Nah, kalau begitu, majulah, akan kuperlihatkan bahwa aku adalah keturunan Raja Kelelawar yang sejati!" Sambil berkata demikian, dengan lengan kiri masih memanggul tubuh Pek Lian diatas pundaknya, tangan kanan bertolak pinggang, Raja iblis itu melangkah maju dengan sikap menantang sekali! Tung-hai-tiauw adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Apa lagi dia merasa sebagai Raja Lautan, tentu saja dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk undur selangkah.

   "Bagus! Hendak kulihat macam apa adanya orang yang berani menggunakan nama Raja Kelelawar untuk mengacau" Tung-hai-tiauw sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu Tiauw-jiauwkang (Ilmu Kuku Rajawali) yang begitu dipergunakan, kuku-kuku jarinya menjadi kaku dan keras seperti baja.

   Akan tetapi, cakaran-cakaran kedua tangannya itu disambut oleh tangan kanan Bit-bo-ong seenaknya saja dan setiap kali cakar yang kuat itu bertemu dengan tangan Raja Kelelawar, Tung-hai-tiauw merasa betapa tangannya panas dan tergetar hebat! Padahal, lawannya itu menyambut serangan-serangannya hanya dengan sebelah tangan saja karena tangan kirinya masih memanggul tubuh Pek Lian dipundaknya! Tung-hai-tiauw merasa penasaran sekali dan dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu kipas besi dan segera menubruk kedepan, tangan kirinya tetap mencengkeram kearah kepala lawan sedangkan kipas besinya sudah menotok kearah pusar. Kembali Raja Kelelawar memperlihatkan kelihaiannya. Dengan mudah saja dia menangkis cengkeraman pada kepalanya sedangkan totokan kipas besi itu diterimanya dengan badan yang terlindung jubah pusakanya.

   "Trakkk!" Tubuh Tung-hai-tiauw terpental kebelakang karena ketika kipas besinya menotok, senjatanya itu membalik dengan amat kerasnya. Dia menjadi semakin penasaran dan dicabutlah golok pusaka Toat-beng-to hadiah dari Petani Lautan. Kini golok dan kipasnya berkelebatan cepat menyerang Bit-bo-ong tanpa memperdulikan kalau-kalau senjatanya itu akan mengenai tubuh nona yang dipanggul oleh Raja iblis itu. namun, tiba-tiba saja tubuh Raja Kelelawar itu lenyap dari pandang matanya dan dari samping, tangan kanan iblis itu sudah mencengkeram kearah pelipisnya! Demikian cepat gerakan iblis itu sehingga Tung-hai-tiauw tidak mampu mengikuti gerakannya dengan pandang mata! Namun, Raja Lautan inipun lihai dan dari angin pukulan yang menyambar dia tahu dimana lawan yang pandai "menghilang" itu, dan diapun membacokkan golok nya menangkis untuk membuntungi lengan lawan.

   Kembali Bit-bo-ong mengelak dan dengan mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya yang seolah-olah pandai menghilang atau beterbangan amat cepatnya itu, dia dapat mempermainkan Tung-hai-tiauw! Raja Lautan itu merasa terkejut bukan main. Lawannya itu memanggul tubuh dara itu, dan hanya mempergunakan sebelah tangan saja, tangan kosong pula, namun sanggup menghadapi golok dan kipas besinya. Maklumlah dia bahwa memang benar lawan ini sakti bukan main, maka diapun lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantunya. Memang sejak tadi Petani Lautan dan Raja Muda Selatan sudah merasa penasaran. Mereka berduapun merasa tidak rela kalau sampai kedaulatan mereka diatas lautan digeser dan dikuasai oleh seorang asing yang berada didaratan. Maka, begitu melihat isyarat Raja Lautan, mereka berdua lalu terjun kedalam perkelahian itu dan mempergunakan senjata mereka.

   "Plakkk!" Tiba-tiba sebuah tamparan tangan kanan Raja Kelelawar mengenai punggung Raja Lautan. Tamparan itu memang bertemu dengan baju emas yang melindungi tubuh Tung-hai-tiauw sehingga tidak sampai terluka.

   Akan tetapi hawa tamparan itu sedemikian kuatnya sehingga dia merasa seolah-olah isi dadanya rontok semua! untung bahwa pada saat itu, kedua orang pembantu utamanya sudah menerjang. Petani Lautan mempergunakan senjata cangkul bergagang panjang sedangkan Raja Muda Selatan mempergunakan pedang pemutus urat yang berbahaya itu. Bit-bo-ong mengeluarkan suara mendengus keras dari hidungnya. Harus diakuinya bahwa setelah tiga orang Raja bajak ini mengeroyoknya, dia tidak mungkin dapat melayani mereka seenaknya seperti itu. Betapapun lihainya, harus diakuinya bahwa tiga orang itupun memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Maka diapun lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu dia sudah mencabut keluar sebatang pisau panjang yang gagangnya indah bertaburan batu permata itu.

   Karena tangan kirinya masih merangkul Pek Lian yang dipanggulnya, maka dia hanya dapat mempergunakan sebatang pisau panjang saja. namun, ini juga sudah cukup karena dengan ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa, ditambah pula lindungan yang kuat dari jubah hitamnya, tiga orang lawannya itu tidak mampu berbuat banyak. Senjata mereka hanya dapat mengenai jubah hitam dan selalu senjata mereka terpental tanpa dapat melukai lawan, sedangkan gerakan iblis itu memang amat cepat, sukar diikuti dengan pandang mata. Betapapun juga, karena mereka bertiga itu dapat bekerja-sama dan saling bantu, bagi Raja iblis itupun tidak mudah untuk dapat merobohkan seorang diantara mereka. Kalau saja iblis itu tidak memanggul tubuh Pek Lian, kiranya tiga orang jagoan laut itu tidak akan mampu bertahan sedemikian lamanya.

   Pertempuran satu melawan tiga ini sungguh amat seru dan mati-matian. Sebetulnya, kalau saja Raja Kelelawar menghendaki, biarpun dia memanggul tubuh Pek Lian, dengan ilmunya yang mujijat, agaknya dia masih mampu merobohkan dan membunuh para lawannya dengan serangan-serangan maut. Akan tetapi, dia tidak menghendaki demikian. Dia membutuhkan bantuan Rajaraja bajak ini untuk memperluas kekuasaannya, maka dia harus mampu menaklukkan mereka, bukan membunuh mereka. Tenaga mereka akan sangat berguna baginya kelak. Karena inilah maka pertempuran itu berjalan seru dan sampai lewat ratusan jurus belum ada yang kelihatan menang atau kalah. Perkelahian tingkat tinggi ini amat menegangkan hati para anak-buah bajak, juga para Raja bajak kecil yang tidak berani maju karena merasa betapa tingkat kepandaian mereka masih belum cukup untuk membantu Raja mereka.

   Mereka demikian tegang dan tertarik, hampir tak pernah berkedip menyaksikan pertempuran diatas perahu calon korban itu sehingga mereka tidak sadar bahwa perahu-perahu itu bersama-sama terbawa arus yang halus mendekati daerah Pusaran Maut! Baru setelah sebagian dari mereka terkena percikan air laut yang halus seperti kabut, mereka sadar! Tadi, suara gemuruh itu seolah-olah tertelan oleh suara mengaungnya senjata-senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan yang memiliki tenaga sakti amat kuat itu. Kini, tahu-tahu mereka sadar bahwa perahu-perahu mereka telah berada didaerah Pusaran Maut. Semburan air akibat berpu-singnya air di Pusaran maut itu telah mengenai mereka, padahal pusaran itu masih jauh sekali.

   Setelah mereka sadar, kini suara gemuruh itu menggeratak dan tiba-tiba saja seperti menulikan telinga. Mulailah mereka menjadi panik dan berteriak-teriak, apa lagi setelah perahu-perahu mereka itu mulai terasa oleng terbawa arus dan gelombang yang amat kuat menyeret perahu-perahu itu kesatu jurusan. Tadi mereka tidak merasakan bahwa perahu-perahu mereka terseret karena perkelahian tingkat tinggi itu memang hebat bukan main. Demikian cepatnya gerakan Raja Kelelawar menghindarkan diri dari kepungan tiga orang lawannya sehingga perkelahian itu dilakukan sambil berloncatan diantara perahu-perahu, tiang-tiang layar, atap dan bergantungan pada tali-tali layar. Memang menakjubkan sekali menyaksikan kehebatan ginkang dari Raja Kelelawar yang seolah-olah memang hendak mendemonstrasikan kepandaiannya sambil memanggul tubuh dara yang masih lemas tertotok itu.

   Setelah kini mereka sadar, mereka semua terkejut bukan main dan mereka menjadi ketakutan karena mereka maklum akan ancaman bahaya maut yang amat mengerikan. Bagaikan orang-orang yang baru sadar dari mimpi buruk, semua orang tidak lagi memperdulikan pertempuran yang masih berlangsung mati-matian itu dan mereka semua berusaha untuk mendayung perahu masing-masing menjauhi atau keluar dari daerah berbahaya itu. Akan tetapi, arus air begitu kuatnya menarik perahu-perahu itu kearah satu jurusan dan kini terasa hembusan angin yang amat kuat disertai alunan gelombang yang makin meninggi. Perahu-perahu itu menjadi cerai-berai. Semua perahu seperti tersedot kearah suara gemuruh sehingga suasana menjadi semakin kacau dan semua orang menjadi panik ketakutan.

   Kabut tebal menggelapkan cuaca. Semua orang berteriak-teriak ketakutan. Perahu-perahu mereka tak dapat mereka kuasai lagi, tersedot aras yang amat kuat dan melaju melingkari kabut tebal itu. Mereka telah berada dalam kekuasaan cengkeraman Pusaran Maut! perahu-perahu berputaran semakin cepat dan semakin ketengah. Kabut air makin tebal, orang-orang berteriak dan tiba-tiba terdengar suara gemeratak seperti benda kayu patah-patah disusul jeritan-jeritan mengerikan. Pusaran Maut telah mendapatkan korban pertama dengan pecahnya sebuah perahu dan menghanyutkan semua penumpangnya, tersedot oleh air yang berpusing itu entah kemana. Para bajak yang berada diatas perahu-perahu yang agak besar dan yang belum benar-benar tercengkeraman sedotan air berpusing itu berusaha mati-matian untuk menjauhi tempat berbahaya itu.

   Akan tetapi perahu mereka itu rasanya seperti ada yang menahan dari belakang dengan kekuatan yang mengerikan, seperti ada tangan tak nampak yang memegangi buritan mereka. Saking panik dan ketakutan, ada bajak yang meloncat kelaut, ingin berenang menjauhi tempat itu. Akan tetapi justeru-dengan perbuatan itu, mereka itu seperti benda kecil ringan yang dengan mudahnya terseret kepusat dari Pusaran Maut. Hanya terdengar teriakan-teriakan mereka yang minta tolong melolong-lolong lalu sunyi, sunyi yang mengerikan. Korban-korban berikutnya berjatuhan ketika ada tiga buah perahu yang seperti saling diadu oleh tangan raksasa yang tidak nampak, pecah berantakan dan para penumpangnya terlempar disambut air berpusing lalu disedot entah kemana.

   Para bajak itu menjadi semakin panik. Biasanya, dalam upacara persembahan korban kepada Dewa Laut di Pusaran Maut, mereka tidak pernah sampai ketempat sedekat itu dengan air berpusing itu. Tadi, saking terpesona oleh perkelahian tingkat tinggi diatas perahu, mereka tidak sadar dan tahu-tahu semua perahu telah berada begitu dekat ditempat berbahaya itu. Perahu dimana tiga orang itu bertanding kini juga sudah berada ditepi pusaran dan diseret berputar-putar tak dapat dikendalikan lagi. Tentu saja perkelahian itu terhenti secara mendadak. Tiga orang Raja bajak itu memandang keluar perahu dengan muka pucat dan mata terbelalak, tidak perduli lagi kepada Raja Kelelawar yarig berdiri tegak diatas dek sambil memanggul tubuh Pek Lian. Anak-buah bajak yang kebetulan berada diperahu itu sibuk berusaha mendayung, namun usaha mereka sia-sia belaka, bahkan ada dayung yang patah ketika melawan arus.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 4 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 10 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 15

Cari Blog Ini