Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 35


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 35




   "Siapa engkau berani memasuki tempat ini tanpa ijin!" bentak peronda dan enam orang penjaga sudah menghampirinya.

   "Hemm, apakah kalian tidak melihat bendera pengenalku ini?" Orang itu mengacungkan sebuah bendera kecil, tanda bahwa dia adalah seorang utusan dari pasukan perbekalan yang dipimpin oleh nona Ho Pek Lian.

   "Aku diutus untuk menghadap Panglima Yap Kim."

   "Engkau juga anggauta barisan kita, tentu engkau sudah tahu akan peraturannya! Untuk menghadap Panglima Yap Kim, harus menanti dan kami akan membuat laporan dulu. Bukannya berindap-indap seperti maling begitu!" kepala jaga membentak marah. Mendengar ini, sepasang mata itu melotot dan mukanya berobah gelap mengerikan. Kemudian orang pendek gendut itu tersenyum menyeringai, lalu menggerakkan kedua tangan kedepan seperti orang menghormat.

   "Aku salah... aku salah maafkanlah!" Setelah berkata demikian, diapun membalikkan tubuhnya dan pergi. Akan tetapi, pada saat itu, terjadilah kegemparan diantara para penjaga. Seorang demi seorang menjerit dan roboh, tubuh mereka kejang-kejang dan mata mereka mendelik, mulut berbuih dan kulit tubuh mereka, terutama dibagian muka nampak kehijauan.

   Tentu saja jeritan-jeritan mereka menarik perhatian. Semua orang keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat enam orang penjaga itu tewas tak lama kemudian, tewas dalam keadaan mengerikan karena muka mereka berobah hijau. Tentu saja suasana menjadi gempar dan orang-orang mulai mencari-cari orang pendek gendut tadi. Sementara itu, si pendek gendut mempergunakan kesempatan selagi keadaan kacau untuk menyelinap mendekati perkemahan terbesar. Dengan gerakan yang amat gesit dia berhasil menyelinap masuk. Akan tetapi ketika dia tiba disebuah ruangan, mendadak muncul Pek Lian yang juga sudah mendengar akan adanya keributan itu. Si gendut tidak sempat bersembunyi lagi dan perjum-paan itu tidak dapat dihindarkan.

   "Kau! Si Kelabang Hijau! Awas!"

   "Siapppp..., ada pengacau disini!" Pek Lian berteriak-teriak setelah mengenal si pendek gendut itu yang bukan lain adalah Thian-te Tok-ong atau cengyakang, Si Kelabang Hijau yang merupakan tokoh kelima dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to! Pek Lian tahu bahwa dalam hal ilmu silat, memang tokoh ini tidak sangat lihai, akan tetapi Raja Racun ini sungguh amat berbahaya dengan racun-racunnya. Ketika banyak penjaga menyerbu kesitu, Pek Lian cepat berseru,

   "Awas, dia membawa racun-racun berbahaya. Jangan dekati dia!" Akan tetapi banyak diantara para penjaga yang marah-marah karena mendengar bahwa orang ini sudah membunuh enam orang penjaga, tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan senjata mereka. Akan tetapi, iblis gendut itu meniupkan sesuatu kearah mereka dan orang-orang itupun berjatuhan dan kejang-kejang keracunan!

   "Iblis busuk!" Pek Lian membentak dan menyerang dengan pedangnya. Ia berhati-hati maka ketika si gendut meniupkan racun kearahnya, Pek Lian dapat meloncat kesamping, mengelak sambil menggerakkan pedangnya menyerang dari samping. Karena ilmu pedang nona Ho Pek Lian cukup berbahaya, tokoh ketujuh Pulau Ban-kwi-to itupun tidak berani lengah dan cepat dia mengelak mundur. Pek Lian merasa sukar untuk dapat menangkap atau merobohkan tokoh ini. pertama, bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya sudah kalah, apa lagi ditambah dengan kehebatan kakek itu dalam menggunakan racun, membuat ia tidak berani terlalu mendekatinya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah Yap Kim.

   "Engkau!" bentak Yap Kim melihat bekas sahabatnya itu.

   "Keparat, apakah engkau mau membiusku lagi?" Melihat pemuda tampan ini, wajah yang menyeramkan itu berseri, akan tetapi agaknya bentakan Yap Kim membuat alisnya berkerut dan hatinya tertusuk.

   "Aih, adikku yang baik, janganlah berkata kasar begitu. Telah lama aku mencarimu, mari engkau ikut pergi bersamaku." Suaranya halus dan penuh bujukan. Pada saat itu, Liu Pang dan para pendekar lain sudah pula berada disitu dan Yap Kim yang sudah marah sekali, kini menubruk maju dan menyerang dengan pedangnya. Sepasang pedangnya berkelebatan menjadi dua gulung sinar dan pemuda itu telah mainkan sepasang pedangnya dengan Ilmu Pedang Langit yang amat ampuh dari perguruannya. Menghadapi serangan Yap Kim, Si Kelabang Hijau terdesak. Dia merasa sayang kepada Yap Kim, maka masih merasa ragu-ragu untuk mencelakai pemuda itu. Melihat lawan terdesak, dengan kemunculan Yap Kim, hati Pek Lian menjadi besar dan dengan penuh semangat, gadis inipun maju membantu Yap Kim. Pemuda ini terkejut sekali dan cepat mencegah.

   "Nona, jangan dekat" Akan tetapi terlambat sudah. Nampak asap mengepul dan Pek Lian mengeluh. Tahu-tahu tubuhnya sudah disambar oleh Si Kelabang Hijau. Dalam keadaan pingsan, nona itu berada dalam kekuasaan si gendut pendek yang mengangkatnya tinggi-tinggi diatas kepala.

   "Ha-ha, majulah kalian dan nona ini akan kubunuh lebih dulu!" Melihat ini, Yap Kim menjadi pucat dan tidak berani bergerak. Suasana menjadi tegang.

   "Tahan, jangan menyerangnya!" Tiba-tiba Liu Pang membentak keras melarang para penjaga yang marah dan hendak menyerang orang itu.

   "Ha-ha, itu baru baik. Nah, Kim-te, ayo engkau ikut bersamaku, kalau tidak, nona ini akan kubunuh didepanmu!" Yap Kim ragu-ragu. Liu Pang juga menjadi tak berdaya dan serba salah. Tiba-tiba Yap Kim mendengar bisikan suara kakaknya, mengiang didekat telinganya,

   "Kim-sute, turuti kemauannya dan bawalah dia lewat mayat-mayat diluar itu. Aku akan menolong." Singkat saja pesan itu akan tetapi Yap Kim mengerti sudah. Sambil tersenyum pahit seperti orang yang tidak berdaya lagi diapun menyimpan sepasang pedangnya.

   "Tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menuruti kehendakmu, Tok-ong. Akan tetapi, awas, kalau engkau mengganggu nona itu aku bersumpah untuk membunuhmu!" Dia sengaja bersikap keras agar lawan tidak curiga akan adanya siasat kakaknya, dan juga untuk memberi kesempatan kepada kakaknya melakukan siasat yang belum dia ketahui bagaimana itu.

   "Heh-heh, baiklah, adikku yang ganteng. mari, engkau membuka jalan, aku tidak mau kalau ada kecurangan." Yap Kim lalu melangkah keluar, memperlihatkan sikap ragu-ragu dan bingung. Seperti tanpa disengaja, dia berjalan melalui mayat-mayat para penjaga yang tadi roboh dan tewas menjadi korban keganasan racun Si Kelabang Hijau.

   Ratusan perajurit berbaris dikanan kiri, siap dengan senjata mereka. Akan tetapi Liu Pang selalu menahan mereka agar jangan turun tangan. Semua orang bergerak memberi jalan ketika Yap Kim dan Si kelabang Hijau yang masih memondong tubuh Pek Lian yang pingsan itu lewat. Diam-diam tokoh kelima Ban-kwi-to itu bergidik juga ketika melewati barisan perajurit yang semua memandang kepadanya penuh kebencian itu. Yap Kim kini melalui depan pos penjagaan dimana terdapat mayat-mayat malang-melintang, yaitu mayat para penjaga yang tadi dibunuh oleh Si Kelabang Hijau. Tokoh sesat ini, sambil memondong tubuh Pek Lian, mengikuti langkah-langkah Yap Kim, melangkahi mayat-mayat itu sambil menyeringai dan memandang kearah para perajurit yang berdiri dikanan kiri.

   "Heh-heh, kalian lihat mereka ini! Jangan memaksa aku membunuh lagi. Begitu ada yang bergerak melawanku, aku akan membuang racun-racun yang akan membunuh seluruh pasukan yang berada disini. Yang tidak langsung mati akan tersiksa, tubuhnya akan ditumbuhi jamur-jamur menular yang tidak dapat diobati dan nyerinya bukan main, heh-heh-heh. Dan dia akan mati perlahan-lahan aduhhh!!"

   Ketika sambil mengejek tadi Si Kelabang hijau melangkahi sesosok mayat lainnya, tiba-tiba "mayat" itu menggerakkan tangan dan iblis itupun terjungkal dan tubuhnya lemas karena tertotok, sedangkan tubuh Pek Lian sudah pindah ketangan "mayat" itu yang bukan lain adalah Yap Kiong Lee! Kiranya pendekar ini merebahkan diri diantara mayat-mayat itu dan ketika Yap Kim mengenal suhengnya yang rebah miring, segera dia tahu siasat apa yang dijalankan kakaknya itu, maka diapun lalu melangkahi tubuh kakaknya. Melihat iblis itu terjungkal dan Pek Lian sudah diselamatkan, para perajurit bersorak dan mereka itu langsung saja menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh iblis itu. Tiba-tiba, membuat semua orang terkejut sekali, terdengar suara melengking tinggi disusul bentakan,

   "Tahan! Jangan serang dia!!!" Tentu saja semua orang, termasuk Yap Kim dan Liu Pang yang sudah mengejar kesitu, terkejut dan heran mendengar bahwa Yap Kiong Lee yang membentak melarang semua orang membunuh Si Kelabang Hijau.

   "Suheng, iblis ini layak mampus!" Yap Kim sendiri sampai menegur suhengnya atau kakak angkatnya itu. Akan tetapi Kiong Lee tidak menjawab, melainkan melangkah mendekati Si Kelabang Hijau sehingga timbul dugaan dihati semua orang bahwa pemuda ini hendak membunuh iblis itu dengan tangannya sendiri maka mencegah orang lain membunuhnya. Akan tetapi Kiong Lee hanya membentak,

   "Iblis keji, hayo serahkan obat penawar racunmu untuk nona Ho!" Barulah semua orang tahu dan Liu Pang cepat memandang kearah wajah Pek Lian yang berada dipondongan pemuda murid pertama dari Thian kiam-pang itu.

   Kiranya wajah itu pucat kehijauan seperti wajah mayat! Terkejutlah dia dan seperti juga Yap Kim, kini dia mengerti mengapa tadi Kiong Lee melarang iblis itu dibunuh. Tentu karena satu-satunya orang yang dapat menolong nyawa Pek Lian hanya iblis itu sendiri! Dugaan Liu Pang dan Yap Kim memang tepat. Begitu merampas tubuh Pek Lian dari tangan Si Kelabang Hijau, Kiong Lee merasa sesuatu yang tidak wajar pada diri gadis itu. Cepat dia memeriksa dan tahulah dia bahwa iblis itu telah meracuni Pek Lian! Sungguh licik dan keji sekali iblis itu, lebih dahulu menciptakan perisai atau semacam sandera agar dia tidak sampai dicelakai lawan. Maka Kiong Lee lalu melarang iblis itu diserang. Si Kelabang Hijau tak mampu bergerak. Hebat sekali totokan jago muda Thian-kiam-pang itu. Akan tetapi dia masih mampu menggerakkan mata dan mulutnya untuk bicara.

   "Heh-heh-heh, satu nyawa ditukar satu nyawa, itu sudah adil namanya. Bunuhlah aku, dan aku akan pergi berdua bersama nona manis itu kealam baka. Betapa menggembirakan! Mungkin dia akan menjadi pelayanku disana, tidak ada yang melindunginya seperti disini, heh-heh-heh!" Tentu saja Kiong Lee dan semua orang marah sekali. Kalau mungkin, mereka tentu takkan segan untuk mencincang hancur tubuh ibhs itu. Akan tetapi Kiong Lee menahan kemarahannya.

   "Keluarkanlah obat penawarnya dan kami akan membebaskanmu."

   "Heh-heh, bagaimana aku dapat mempercayaimu?"

   "Iblis busuk! Aku adalah seorang pendekar, bukan seorang penjahat macam engkau!" Kiong Lee membentak. Pemuda yang pendiam ini marah juga mendengar kata-kata yang menghina itu.

   "Uhhh, siapa percaya ucapan pendekar?" Kiong Lee sadar bahwa iblis ini sengaja membakar hatinya, maka diapun menjadi tenang kembali. Menghadapi iblis Ban-kwi-to harus tenang dan tidak boleh menuruti perasaan marah.

   "Lalu apa kehendakmu? Nona Ho terancam maut, akan tetapi engkaupun tak mungkin dapat terlepas dari ancaman maut."

   "Hanya ada satu orang yang kupercaya janjinya, dia adalah Liu-Bengcu. Biarkan dia yang berjanji bertukar nyawa, dan aku akan percaya." Liu Pang melangkah maju. Menghadapi orang jahat seperti itu, yang amat keji, haruslah tegas.

   "Baiklah, aku berjanji akan membebaskanmu kalau engkau memberikan obat penawar racun untuk nona Ho Pek Lian."

   "Bagus! Nah, bebaskan aku." Terpaksa Kiong Lee membebaskan totokannya dan siap untuk menghantam kalau-kalau iblis itu melakukan kecurangan. Akan tetapi, setelah kini tidak ada sandera ditangannya, Si Kelabang Hijau juga tidak terlalu bodoh untuk menggunakan kekerasan. Sambil menyeringai dia mengeluarkan sebungkus obat seperti gajih, lalu mengoleskan obat itu pada leher Pek Lian dimana terdapat luka kecil berwarna hijau gelap bekas tusukan jarumnya.

   "Minumkan pel ini padanya," katanya menyerahkan tiga butir obat pel berwarna merah kepada Kiong Lee. Dengan bantuan Yap Kim, Kiong Lee lalu memaksakan tiga butir pel itu memasuki perut Pek Lian. Tak lama kemudian, gadis itu mengeluh dan membuka matanya, warna hijau pada kulit mukanyapun meluntur dan akhirnya hilang. Begitu sadar dan melihat Si Kelabang Hijau, Pek Lian mencabut pedangnya yang tadi terlepas dan sudah disarungkan kembali oleh Yap Kim. Akan tetapi Liu Pang memegang lengannya, kemudian pemimpin ini memberi perintah kepada para pembantunya.

   "Biarkan dia pergi!" Semua orang mengepal tinju dan menggigit gigi saking gemasnya melihat betapa iblis itu dibiarkan pergi. Iblis itu telah membunuh banyak perajurit dan sekarang terpaksa dibiarkan pergi begitu saja! Sebaliknya, sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi Si Kelabang Hijau yang merasa kecewa sekali karena tidak berhasil membawa pergi Yap Kim, bahkan mengalami kekalahan, memandang kepada mereka semua dan berkata mengancam,

   "Awas kalian semua! Beberapa hari lagi akan kuhancurkan kalian dengan pasukan kami yang tidak kalah banyaknya dengan pasukan kalian!" Diapun pergi tanpa diganggu karena tidak ada yang berani melanggar janji sang pemimpin. Setelah iblis itu pergi, Liu Pang memerintahkan agar mayat para perajurit diurus baik-baik dan agar penjagaan dilakukan lebih ketat lagi. Kemudian dia mengajak semua pembantunya masuk kemah dan berunding. Liu Pang mengerutkan alisnya, nampak khawatir.

   "Ancaman iblis tadi bukanlah gertak sambal belaka. Aku sudah melihat sendiri betapa para iblis Ban-kwi-to telah bersekutu dengan pemberontak dan pasukan asing. Hanya belum kita ketahui berapa besarnya kekuatan mereka dan dimana mereka bersarang. Untuk mengetahui keadaan mereka ini amatlah penting, maka biarlah besok aku akan pergi lagi bersama nona Ho untuk melakukan penyelidikan." Para pembantunya menyatakan tidak setuju dan kekhawatiran mereka kalau kembali pemimpin mereka akan pergi sendiri melakukan penyelidikan. Akan tetapi pemimpin besar itu membantah.

   "Penyelidikan ini merupakan suatu tindakan perjuangan yang amat penting, maka harus aku sendiri yang pergi. Sementara itu, sebagai wakil yang menggantikan aku memimpin barisan kita, kuserahkan kepada saudara muda Yap Kim." Semua pemimpin menyambut gemibira karena mereka sudah mengenal kegagahan pemuda ini. Akan tetapi Yap Kim sendiri menjadi gugup dan wajahnya berobah, tangannya digoyang-goyang menolak.

   "Aih, Liu-twako, mana saya berani menerima tugas yang demikian amat pentingnya? Saya... saya masih terlalu muda, saya tidak berani menerimanya"

   "Saya kira, kedudukan wakil Bengcu itu dapat diserahkan kepada saudara Yap Kiong Lee yang memiliki kepandaian paling tinggi diantara kita, dan dibantu oleh saudara Yap Kim" kata Pek Lian.

   "Aih, mana berani menerimanya?" Yap Kiong Lee juga menolak. Kini semua pemimpin, didahului oleh Liu Pang dan Pek Lian, bangkit dan menjura dengan hormat kepada dua orang murid Thian-kiam-pang itu.

   "Kami semua memohon kepada ji-wi agar sudi menerima dan membantu perjuangan para pendekar dan rakyat!" kata Liu Pang. Yap Kiong lee saling pandang dengan adiknya ketika mereka cepat membalas penghormatan itu dan Kiong Lee berkata,

   "Baiklah, sebaiknya sute Yap Kim yang menerimanya karena diapun telah menjadi seorang diantara para pejuang, bahkan sudah mengenakan pakaian seragam perwira. Biarlah saya membantu dari belakang saja, sebagai orang luar yang menaruh perasaan kagum terhadap perjuangan ini. Akan tetapi, kalau saya harus langsung memimpin pasukan melawan Kaisar, sungguh sama artinya dengan saya menentang suhu dan subo yang melindungi Kaisar."

   Akhirnya Yap Kim menerima pula kedudukan wakil Bengcu itu dan pada keesokan harinya pagi-pagi buta, Liu Pang dan Pek Lian berangkat melakukan perjalanan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh.
Liu Pang menyamar sebagai seorang dusun pencari kayu sedangkan Pek Lian juga mengenakan pakaian sederhana seorang gadis dusun dengan bertopi lebar dan kulit mukanya yang putih mulus itu dilumuri warna kecoklatan sehingga kecantikannya tidak lagi menyolok. Sambil memikul kayu kering, berangkatlah Liu Pang bersama muridnya yang dalam penyamaran itu diaku sebagai anaknya.

   "Suhu, kita menuju kemanakah?" tanya Pek Lian setelah mereka keluar dari dalam hutan yang menjadi pintu masuk benteng mereka itu.

   "Pasukan musuh itu hanya berselisih setengah malam saja dengan barisan kita, dan mereka juga menuju kearah barat laut. Tentu mereka menuju ke Kotaraja. Kita harus berjalan menuju ke barat, tentu akan bertemu dengan barisan mereka."

   Mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Akan tetapi setelah lewat setengah hari dan matahari sudah naik tinggi diatas kepala mereka, belum juga mereka bertemu dengan barisan musuh. Mereka melihat suasana panik dan kacau sudah melanda kota-kota dan dusun-dusun yang mereka lalui. Berita tentang kemungkinan pecahnya perang sudah sampai didaerah dekat Kotaraja dan banyak penduduk yang merasa resah dan siap-siap mengemasi barang agar memudahkan mereka kalau sewaktu-waktu harus lari mengungsi. Karena merasa lapar dan perlu beristirahat, Liu Pang dan Pek Lian lalu memasuki sebuah kedai makan disebuah kota kecil. Baru saja mereka makan, datang empat orang laki-laki berpakaian pemburu dan wajah serta tubuh mereka nampak lesu dan lelah. Pemilik kedai makanan menyambut mereka yang agaknya sudah menjadi langganan lama.
(Lanjut ke Jilid 25)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 25
"Mana hasil buruan kalian? Apakah sudah habis terjual semua? Aih, agaknya kalian lupa untuk menyisihkan daging kijang untukku!" katanya ramah. Seorang diantara mereka yang pipinya codet bekas terluka kuku harimau, mengeluh dan menjawab,

   "Ah, A-Kiu, engkau tidak tahu betapa sialnya kami! Sebetulnya kami telah memperoleh hasil buruan yang lumayan juga. Akan tetapi kemarin sore kami bertemu dengan pasukan tentara yang banyak sekali dan mereka itu dikawlal orang-orang yang memiliki ilmu seperti iblis. Hasil buruan kami dirampas semua, bahkan nyaris kami dibunuh kalau kami tidak cepat-cepat melarikan diri."

   "Tapi tapi kalian adalah orang-orang gagah" Pemilik warung itu merasa penasaran.

   "Hemm, apa daya kami melawan pasukan besar? Apa lagi mereka dikawal oleh orang-orang kang-ouw yang menyeramkan. Bayangkan saja, seorang diantara mereka yang seperti raksasa makan seekor anak harimau hidup-hidup!"

   "Hidup-hidup?" Mata pemilik warung terbelalak.

   "Ya, induk harimau kami robohkan dan tewas, anaknya masih hidup kami tangkap. Ketika dirampas oleh mereka, raksasa itu langsung menerkam anak harimau dan tanpa membunuhnya lebih dulu, tanpa memanggang dagingnya, begitu saja leher anak harimau itu digigit dan darahnya dihisap."

   "Hiiihhh!" Pemilik kedai itu bergidik dan nampak ketakutan, lalu mengundurkan diri untuk mempersiapkan hidangan bagi empat orang langganannya. Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian yang mendengarkan semua itu merasa tertarik dan juga girang. Besar kemungkinan yang diceritakan mereka itu adalah pasukan musuh yang mereka sedang kejar dan cari.

   "Ah, keamanan terancam oleh perang" Liu Pang mendekati mereka dan berkata.

   "Kami orang-orang dusun sungguh merasa bingung harus mengungsi kemana. Kalau boleh saya bertanya, dimanakah saudara sekalian bertemu dengan pasukan itu?"

   Dengan gaya bahasa dusun, Liu Pang dapat mengelabuhi empat orang pemburu itu yang agaknya masih merasa tegang sehingga mereka suka sekali menceritakan pengalaman hebat yang baru saja mereka temui itu. Dengan pancingan-pancingan yang tidak kentara, akhirnya Liu Pang dapat mengumpulkan keterangan bahwa pasukan itu adalah pasukan besar yang mengawal iring-iringan kereta para pembesar beserta keluarganya, dan bahwa diantara para pemimpinnya terdapat orang-orang kang-ouw yang menyeramkan. Dari keterangan mereka, Liu Pang dapat mengetahui bahwa semua tokoh Ban-kwi-to telah lengkap bersama pasukan musuh itu. Dengan aksi seolah-olah ketakutan dan hendak cepat pulang untuk mempersiapkan keluarganya mengungsi, Liu Pang mengajak Pek Lian meninggalkan kedai dan kota kecil itu.

   "Wah, sungguh berbahaya! Semua tokoh Ban-kwi-to agaknya sudah lengkap berkumpul dan membantu pasukan musuh. Belum lagi tokoh-to-koh sesat yang lain dan belum kita ketahui. Mari kita cepat menyusul dan menyelidiki keadaan mereka." Akan tetapi, ketika mereka tiba ditepi kota, mereka melihat dua orang laki-laki tua berjubah coklat sedang berjalan dengan cepat. Melihat mereka, Liu Pang berbisik kepada muridnya,

   "Lihat, orang-orang Liong-i-pang itu lagi! Mau apa mereka? Dan dimana Lai-goanswe yang mereka culik?" Guru dan murid ini cepat membayangi mereka yang berjalan cepat keluar kota. Baiknya mereka mengambil jalan disepanjang jalan umum yang cukup ramai sehingga perbuatan guru dan murid itu tidak menarik perhatian. Pek Lian yang pernah bentrok dengan kedua orang kakek Liong-i-pang itu, membenamkan topinya lebih dalam untuk menyembunyikan mukanya. Dua orang berjubah naga itu menuju kesebuah kedai arak yang berdiri terpencil sendirian disebuah tikungan jalan. Disinilah para pedagang, perantau, dan mereka yang kebetulan lewat dijalan raya ini, melepaskan lelah dan makan-minum. melihat warung arak ini, Pek Lian terkejut.

   "Suhu, teecu pernah melihat tempat ini." Ia lalu menceritakan betapa ia pernah bersama Seng Kun dan Bwee Hong dalam perjalanan mencari ayahnya dahulu itu, sampai diwarung ini. Disinilah ia berjumpa dengan A-hai yang menjadi tukang pengantar arak dan kusir gerobak arak.

   Ditempat ini pula muncul tokoh-tokoh sesat anak-buah Raja Kelelawar, yaitu Sanhek-houw dan Si Buaya Sakti yang kemudian menawan Seng Kun dan A-hai. Liu Pang berbisik kepada muridnya agar berhati-hati. Setelah dia meneliti penyamaran muridnya dan merasa yakin bahwa penyamaran itu cukup sempurna, mereka berdua lalu memasuki warung itu pula, memilih tempat disudut sebelah dalam. Matahari mulai condong ke barat dan wajah mereka tertutup bayangan dinding, akan tetapi dari tempat itu mereka dapat melihat dua orang Liong-i-pang itu dengan jelas Dua orang Liong-i-pang itu duduk dikursi agak luar dan tak lama kemudian, selagi mereka berdua minum, datanglah seorang pemuda yang memakai jubah hijau. Pemuda itu disambut oleh kedua orang Liong-i-pang, duduk semeja dan mengeluarkan sehelai surat untuk diserahkan kepada dua orang itu.

   Tiba-tiba nampak, bayangan orang berkelebat cepat dan tahu-tahu seorang wanita cantik telah menerjang kearah kakek jubah coklat yang tinggi besar dan yang sedang membaca surat. Penyerangan itu dibarengi bantuan dua orang lain yang juga menyerang si pemegang surat sedangkan wanita cantik itu memukul tangan yang memegang surat untuk merampas surat itu. Hebat dan cepat sekali gerakan wanita cantik itu bersama dua orang kawannya, akan tetapi kakek jubah naga itu lebih hebat lagi. Dia memang terkejut diserang tiba-tiba, akan tetapi sambil membentak keras, kedua tangannya bergerak dan tubuhnya bangkit berdiri. Sekaligus dia menangkis dan akibatnya, wanita cantik itu bersama dua orang kawannya terdorong sampai terjengkang dan terhuyung!

   Akan tetapi, surat yang dipegang oleh kakek jubah naga itu terlepas dan terdorong oleh angin pukulan mereka yang berkelahi, surat itu terbang kedekat meja dimana Liu Pang dan Pek Lian duduk. Dua orang kakek Liong-i-pang itu memang lihai bukan main. Padahal, dengan kaget sekali Pek Lian mengenal bahwa wanita cantik itu adalah Pekpi Siauw-kwi Si Maling Cantik, tokoh sesat yang amat lihai itu! Dan empat orang temannya juga kesemuanya memiliki gerakan yang lihai tanda bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan. Namun, mereka berlima itu kewalahan menghadapi dua orang kakek Liong-i-pang. Bahkan, kakek Liong-i-pang yang tinggi besar, yang dikenal oleh Pek Lian sebagai Bhong Kim Cu yang pernah menyerbu kerumah keluarga Bu Kek Siang, dengan tendangannya membuat Maling Cantik kembali terhuyung.

   Ketika itu, Maling Cantik hendak menubruk surat yang terlepas tadi, akan tetapi ia terhuyung oleh tendangan dan kakek Bhong Kim Cu kini telah menyambar kembali surat yang tadi terlepas dan memasukkannya kedalam saku jubahnya. Melihat betapa ia dan kawan-kawannya kewalahan, Si Maling Cantik lalu mengeluarkan suara tinggi melengking, lalu bersama empat orang kawannya iapun meloncat keluar warung melarikan diri. Dua orang kakek jubah coklat tidak mengejar, melainkan cepat membayar harga minuman dan meninggalkan tempat itu pula. Tinggal Liu Pang dan Pek Lian yang masih duduk disitu. Warung itu sudah sepi karena perkelahian tadi membuat semua tamu lari cerai-berai ketakutan.

   "Tadi aku sempat membaca beberapa huruf disurat itu. Sayang aku tidak dapat merampasnya. Aku membaca beberapa huruf yang penting, yaitu kata-kata "Kaisar, pemberontakan, dan Pesanggrahan Hutan Cemara." Huruf-huruf itu dapat memberi petunjuk. Tentu ada hubungannya dengan Kaisar, juga dengan pemberontakan."

   "Dan apa artinya Pesanggrahan Hutan Cemara itu, suhu?" Pek Lian bertanya.

   "Aku sedang memikirkan itu ah, sekarang aku ingat., Tak jauh dari sini, di puncak bukit terdapat sebuah hutan cemara dan memang disitu terdapat sebuah pesanggrahan milik Kaisar yang dipergunakan untuk beristirahat diwaktu berburu dihutan-hutan liar dibalik bukit. Tentu ada apa-apa disana. Mari kita kesana!" Mereka lalu membayar harga minuman dan meninggalkan pemilik kedai yang mengomel panjang pendek karena perkelahian itu amat merugikannya. Banyak tamu yang lari tanpa lebih dulu membayar harga makanan dan minuman, juga ada beberapa buah bangku dan meja yang rusak, belum lagi perabot-perabot makan yang pecah-pecah. Hutan cemara itu memang merupakan tempat indah dan tidak mengherankan apabila Kaisar memerintahkan pembangunan sebuah pesanggrahan ditempat ini.

   Hutan itu cukup luas dan ditengah-tengah hutan, dikurung pohon-pohon cemara, terdapat sebuah danau. Pesanggrahan yang merupakan bangunan indah itu berdiri ditepi danau, agak ketengah sehingga sebagian besar bangunan itu dikelilingi danau. Air danau yang jernih memantulkan bayangan pesanggrahan, mendatangkan pemandangan yang amat indah. Liu Pang dan Pek Lian tiba dihutan itu menjelang tengah malam. Dengan hati-hati sekali mereka memasuki hutan. Ketika mereka menyelinap diantara pohon-pohon cemara memasuki hutan hendak menuju kebangunan pesanggrahan ditepi danau, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkelahi dan dengan berindap-indap merekapun menuju kearah suara itu. Setelah mereka dapat mendekati tempat perkelahian itu, dibawah sinar bulan mereka dapat mengenal tiga orang yang sedang berkelahi itu.

   Kiranya pemuda Tai-bong-pai, yaitu Song-bun-kwi Kwa Sun Tek, putera ketua Tai-bong-pai yang lihai dan yang bersekongkol dengan orang-orang asing dan para pembesar yang mengkhianati pemerintah, kini sedang bertanding dikeroyok dua oleh orang-orang berjubah biru dan rambutnya riap-riapan. Disitu berdiri pula empat orang berjubah hijau menonton perkelahian. Kini nampak betapa Kwa Sun Tek Si Setan Berkabung itu mengeluarkan ilmu silatnya yang aneh, yaitu Ilmu Silat Pukulan Mayat Hidup dan seorang diantara kedua pengeroyoknya yang menangkis pukulan itu, terjengkang! Seperti lengan mayat yang kaku, Kwa Sun Tek mencengkeram kedepan, kearah orang kedua yang mengeroyoknya sambil membalikkan tubuh. Orang inipun menangkis dengan tangan kirinya.

   "Plakk!" Dan tubuh orang inipun terpelanting.

   Akan tetapi, kedua orang jubah biru itupun lihai sekali. Mereka sudah mampu berloncatan bangun kembali dan dibantu oleh empat orang kawan mereka yang berjubah hijau, mereka maju lagi. Kwa Sun Tek dikeroyok enam orang yang lihai. Namun, pemuda tampan berwajah dingin menyeramkan seperti wajah mayat ini tidak gentar dan gerakan-gerakannya yang aneh membuat enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan. Akan tetapi, seorang diantara dua kakek berjubah biru kini mengeluarkan suitan-suitan nyaring, agaknya untuk memanggil teman-temannya. Melihat ini, Kwa Sun Tek terkejut sekali. tadinya dia sedang melakukan penyelidikan kedaerah yang akan dilewati barisannya. Tak disangkanya disitu bertemu dengan orang-orang Liong-i-pang yang lihai dan agaknya banyak anggauta Liong-i-pang berada disitu.

   Untung dia hanya bertemu yang berjubah hijau dan biru saja, yang tingkatnya masih belum tinggi. Kalau berjumpa dengan yang tingkatnya lebih tinggi, tentu dia celaka. Berpikir demikian, Kwu Sun Tek berkelebat pergi melarikan diri dari tempat itu. Liu Pang yang mengintai merasa bimbang. Ingin dia membayangi pemuda Tai-bong-pai itu, akan tetapi diapun ingin sekali menyelidiki apa yang dilakukan oleh perkumpulan Liong-i-pang maka mereka berkumpul ditempat ini. Dia mengambil keputusan untuk menyelidiki tempat itu. Apa lagi, pemuda Tai-bong-pai itu lihai sekali. Kalau dia bersama muridnya melakukan pengejaran dan membayanginya, hal itu amatlah berbahaya. Dia harus menyelidiki barisan itu dengan cara yang lebih aman dan bersembunyi. Setelah Kwa Sun Tek pergi, seorang diantara dua kakek berjubah biru itu berkata kepada teman-temannya,

   "Orang itu lihai sekali. Seorang yang berkepandaian tinggi telah menemukan tempat ini. Mungkin dia tadi seorang diantara kaki tangan Perdana Menteri Li Su dan sekutunya. siapa tahu kalau orang tadi diutus untuk mencari Tong-taihiap. Kita harus cepat memberi laporan kedalam. Hayo!" Enam orang itu lalu memasuki hutan. Liu Pang memberi tanda kepada muridnya dan merekapun cepat membayangi. Bulan kadang-kadang tertutup awan sehingga memudahkan guru dan murid ini melakukan pengintaian tanpa diketahui enam orang itu. Akan tetapi, ketika enam orang itu memasuki bangunan pesanggrahan, Liu Pang tidak berani mengambil jalan dari pintu depan.

   Dia mengajak muridnya untuk mengambil jalan dari belakang, melalui air danau dan mereka berenang diantara pohon-pohon teratai yang rimbun. Karena permukaan air itu cukup gelap, dengan agak menjauh dari gurunya, Pek Lian berani berenang dengan telanjang bulat, membawa pakaiannya diatas kepala. Juga Liu Pang yang berenang lebih dahulu, melepaskan pakaiannya. Setelah tiba dibagian belakang bangunan, barulah mereka mengenakan pakaian mereka. Mereka bergantung pada tiang-tiang bangunan dan menanti dengan hati-hati sekali. Dalam keadaan seperti ini, Pek Lian termenung. Banyak sudah yang aneh-aneh dialaminya semenjak ayahnya ditawan, semenjak di Istana terjadi kekacauan. Kini hidupnya sebatangkara dan setelah kini berdekatan dengan gurunya, baru terasa olehnya bahwa didalam diri gurunya ini dia menemukan pengganti segala-galanya.

   Pengganti orang tua, juga pengganti guru-gurunya yang kebanyakan telah gugur dalam perjuangan, pengganti sahabat-sahabatnya yang kini berpisah darinya. Kalau dia teringat kepada A-hai, jantungnya masih berdebar keras. Entah bagaimana, di. Dalam hatinya terdapat suatu perasaan yang aneh terhadap pemuda yang aneh itu. Akan tetapi, iapun harus mengakui bahwa gurunya ini juga mendapatkan tempat yang istimewa dalam hatinya! Liu Pang yang usianya belum ada empat puluh tahun mi juga hidup sendirian. Isterinya gugur dalam perjuangan pula dan belum mempunyai anak. Dan iapun dapat merasakan sesuatu yang aneh dalam pandangan Liu Pang terhadap dirinya, walaupun ia tidak berani memastikan apakah gurunya itu jatuh cinta kepadanya,

   Seperti juga ia sendiri tidak tahu apakah ia mencinta A-hai, ataukah mencinta Liu Pang, bahkan ia tidak tahu pasti apakah ada orang yang dicintanya! Tiba-tiba gurunya memberi isyarat. Mereka tadi duduk ditiang melintang dipermukaan air. Ada suara disebelah kiri dan suhunya kini sudah memanjat tiang bangunan yang terendam air. Iapun mengikuti jejak gurunya, memanjat tiang kedua. Setelah tiba diatas, kini mereka dapat mengintai kedalam, juga suara mereka yang sedang bercakap-cakap didalam itu terdengar cukup jelas. Mereka berdua mengenal suara Tong Ciak yang berjuluk Pek-lui-kong itu. Si pendek cebol yang amat lihai dan menjadi jagoan Istana itu. Liu Pang dan Pek lian mengintai dan Pek Lian merasa jantungnya seperti hendak copot saking kagetnya.

   Pek-lui-kong Tong Ciak yang lihai itu ternyata sedang bercakap-cakap dengan seorang kakek berambut putih yang amat dikenalnya dan kakek ini bahkan lebih sakti dibandingkan dengan Tong Ciak. Kakek itu berpakaian serba putih sederhana dan dia bukan lain adalah Yap Cu Kiat atau Yap-lojin, ketua Thian-kiam-pang, ayah kandung Yap Kim dan ayah angkat Yap Kiong Lee! Untunglah bahwa air danau itu mengeluarkan bunyi. Riak air itulah yang menyelamatkan guru dan murid itu sehingga kemunculan mereka tidak didengar oleh dua orang sakti yang berada didalam pesanggrahan. Si Malaikat Halilintar Tong Ciak tidak memakai pakaian seragam, melainkan memakai pakaian biasa dan sebuah topi caping lebar. Kiranya dia sedang menyamar. Sikapnya amat menghormat terhadap Yap-lojin dan suaranya seperti orang melapor kepada atasannya ketika dia berkata,

   "Lo-cianpwe, ternyata bahwa Kaisar telah benar-benar dibunuh oleh mereka. Persekutuan pengkhianat itu telah menyewa orang-orang dari golongan hitam untuk menjatuhkan Sribaginda Kaisar. Kaisar telah dibunuh oleh mereka dipantai timur. Rencana ini sebenarnya telah diketahui Sang puteri Siang Houw Nio-nio, dan beliau telah mengutus saya ketempat itu. Namun, kedatangan saya terlambat. Kaisar telah mereka bunuh dan saya hanya mampu merebut dan melarikan jenazah Sribaginda saja." Yap-lojin mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Kelemahan Sribaginda sendirilah yang menciptakan munculnya pengkhianat-pengkhianat." Sementara itu, Liu Pang merasakan tubuhnya menggigil. Kaisar telah dibunuh oleh para pengkhianat itu! Betapapun juga, dia masih mempunyai perasaan setia kepada Kaisar dan mendengar nasib Kaisar itu, tanpa disadarinya, kedua matanya menjadi basah. Kaisar dibunuh orang dan jenazahnya sampai dibuat rebutan!

   "Saya berhasil menyembunyikan jenazah itu dan membawanya sampai kesini, Lo-cianpwe. Sungguh bukan sebuah pekerjaan yang mudah! pengkhianat-pengkhianat itu mengerahkan tokoh-tokoh sesat untuk merebut kembali jenazah Kaisar. Sanhek-houw dan Si Buaya Sakti yang lihai itu selalu membayangi saya. Mereka ingin merebut jenazah karena mereka membutuhkannya untuk menjadi bukti kematian Sribaginda. Tanpa adanya bukti jenazah tak mungkin mereka dapat mengangkat Kaisar baru menurut pilihan mereka. Demikian sukarnya saya melarikan jenazah Sribaginda sehingga terpaksa saya sembunyikan kedalam pedati ikan asin." Yap-lojin mengangguk-angguk.

   "Sungguh buruk sekali nasib Sribaginda. Akan tetapi engkau bertindak benar, demi tugasmu. Perdana Menteri Li Su dan kawan-kawannya memang berusaha mati-matian untuk merebut kekuasaan. Mereka telah berhasil menyingkirkan pangeran mahkota. Bahkan Jenderal Beng Tian juga mereka singkirkan bersama sang pangeran, juga para pembesar yang jujur. Mereka sudah mencalonkan pula pangeran pilihan mereka sendiri untuk diangkat menjadi Kaisar, tentu saja pangeran yang dapat menjadi boneka mereka. Mereka ingin menggantikan Kaisar secepat mungkin sebelum pangeran mahkota dan Jenderal Beng Tian kembali dari perang diperbatasan."

   Liu Pang termangu-mangui mendengarkan itu semua. Kaisar telah dibunuh. Keadaan di Istana dalam kemelut. Pangeran mahkota disingkirkan. Mereka saling memperebutkan kekuasaan, tanpa mengetahui banwa kini pasukan-pasukan pemberontak dari daerah bersama pasukan asing sudah mendekati Kotaraja dan siap menyerbu dan menguasai Kotaraja! Kemudian terdengar suara kakek itu, halus penuh keharuan,

   "Tong-ciangkun, setelah Sribaginda Kaisar wafat, perlukah beliau disiksa lagi dengan membiarkan jenazahnya membusuk? Apakah tidak lebih baik kalau kita membakar saja jenazah itu?"

   "Saya sudah memikirkan hal itu, akan tetapi sungguh sayang bahwa hal itu tidak mungkin dapat kita lakukan, Lo-cianpwe. Para sesepuh dan yang berwenang di Istana tidak akan dapat mengangkat Kaisar baru kalau Kaisar lama belum wafat dan sebagai buktinya tentu harus ada jenazah beliau. Kalau kita bakar jenazah itu, nanti apabila putera mahkota pulang, tentu akan terdapat kesukaran dalam mengangkatnya sebagai Kaisar baru. Bukti berupa abu tentu kurang meyakinkan, apa lagi kalau diingat bahwa terdapat banyak pihak yang menghendaki diangkatnya pangeran yang jahat itu!"

   "Benar pula apa yang kau katakan, Tong-ciangkun."

   "Selain itu, Sribaginda Kaisar sendiri selama hidupnya sangat mendambakan agar hidupnya langgeng. Beliau pergi kemana-mana, kadang-kadang sendirian saja, hanya karena ingin mencari ilmu hidup abadi. Beliau pernah berkata kepada saya bahwa beliau tidak menginginkan badannya rusak sampai akhir jaman." Yap-lojin mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Akupun sudah mendengar akan hal itu. Beliau terlalu dipengaruhi oleh pelajaran Agama To, akan tetapi secara keliru sehingga beliau menghendaki hal yang aneh-aneh. Itulah sebabnya beliau suka mengembara seorang diri, ketempat-tempat sepi, kegunung-gunung tanpa pengawal sehingga kesukaan beliau itu kini dimanfaatkan oleh pengkhianat Li Su untuk menghadang dan membunuhnya."

   "Masih untung saya berhasil mengamankan jenazahnya sehingga niat busuk mereka itu gagal." Pada saat itu terdengar bunyi langkah orang dan muncullah enam orang murid Liong-i-pang diambang pintu. Ketika dua orang berjubah coklat itu memandang kedalam ruangan dan melihat Yap-lojin, mereka terkejut sekali dan seperti orang bingung.

   "Ahhh... maaf... kami... kami tidak tahu bahwa Yap-Lo-cianpwe berada disini" kata Bhong Kim Cu dengan gugup sambil memberi hormat, diturut oleh para sutenya pula yang kesemuanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati mereka tidak senang.

   "Hemm, Bhong Kim Cu, apa artinya kemunculanmu yang tiba-tiba ini bersama saudara-saudaramu, dan apa artinya sikapmu yang gugup ini?" Yap-lojin yang mengenal baik murid-murid sahabatnya itu menegur. Bhong Kim Cu menjawab dengan hati-hati,

   "Yap-Lo-cianpwe, kami berenam menerima tugas dari suhu agar turut melindungi jenazah Sribaginda Kaisar. Suhu mendengar desas-desus bahwa Raja Kelelawar sendiri akan keluar membantu anak-buahnya mencari dan merampas jenazah itu."

   "Hemm, begitukah? Dan dimana adanya suhumu sekarang?"

   "Suhu juga sedang berkeliling untuk mencari Raja Kelelawar dan menghadapinya!"

   "Bhong Kim Cu, apa lagi yang hendak kau sampaikan kepadaku? Bicaralah!" tanya pula Yap-lojin melihat betapa pandang mata tokoh Liong-i-pang itu masih membayangkan keraguan dan kebingungan. Bhong Kim Cu cepat menjura dengan hormat.

   "Saya sendiri merasa bingung dan hanya karena perintah suhu maka saya berani menyampaikan hal ini kepada Lo-cianpwe. Saya dan sute ini menerima tugas untuk menyelamatkan Jenderal Lai dari tawanan kaum pemberontak Liu Pang dan ketika kami melaksanakan tugas itu, kami melihat hal yang amat mengejutkan hati, yaitu bahwa kedua putera Lo-cianpwe, saudara Yap Kiong Lee dan Yap Kim, berada bersama para pemberontak itu, bahkan mereka telah membantu pasukan pemberontak Liu Pang."

   "Hemm!" Wajah kakek itu berobah merah dan juga berduka, sedangkan si cebol Tong Ciak tidak berani mengangkat mata memandang, maklum betapa terpukulnya hati ketua Thian-kiam-pang itu ketika mendengar berita ini.

   Dia sendiri tidak merasa heran karena mendengar betapa para pendekar banyak yang membantu gerakan Liu Pang. Dan para murid Thian-kiam-pang memang sejak dahulu menganggap diri mereka sebagai pendekar. Sejenak suasana menjadi sunyi, seolah-olah mereka semua tenggelam dalam lamunan masing-masing. Kembali terdengar langkah-langkah kaki dan kini muncul dua orang gadis cantik yang segera menjatuhkan diri berlutut didepan Yap-lojin. Melihat dua orang gadis ini, hampir saja Pek Lian berseru memanggil. Mereka adalah Pek In dan Ang In, dua orang murid dan juga pengawal pribadi Siang Houw Nio-nio yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Akan tetapi teringat bahwa ia sedang mengintai bersama gurunya, Liu Pang, yang merupakan pemimpin pergerakan para pendekar, tentu saja ia menahan diri dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara.

   "Suhu, teecu berdua diutus oleh subo untuk menjemput suhu. Ini surat dari subo yang harus teecu haturkan kepada suhu."

   Pek In mengeluarkan sepucuk surat yang diberikannya kepada Yap-lojin. Dengan sikap tenang, walaupun hatinya masih terpukul oleh berita tentang kedua orang puteranya tadi, Yap-lojin menerima dan membuka surat dari isterinya yang lalu dibacanya itu. Isi surat itu menyatakan bahwa pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian dan putera mahkota, mengalami gempuran-gempuran musuh dari luar dan kini mengundurkan diri sudah mendekati Kotaraja. Juga barisan pemberontak Chu Siang Yu yang makin kuat itu makin mendekati Kotaraja. Karena itu Yap-lojin diminta datang oleh bekas isterinya itu untuk berunding dan membantunya ikut memikirkan keadaan Kotaraja yang semakin gawat. Sejenak Yap-lojin termangu-mangu, lalu menarik napas panjang, terdengar dia mengeluh duka.

   "Ahhh, agaknya Thian telah menentukan semuanya, agaknya saat-saat terakhir dari Dinasti Cin Si Hongte sudah berada diambang pintu" Kalau orang lain yang berani mengeluarkan ucapan seperti ini tentu akan dianggap pemberontak dan mungkin ditangkap, akan tetapi karena yang mengucapkan adalah Yap-lojin dan semua orang tahu bahwa kakek ini benar-benar berduka, maka mereka semua kelihatan prihatin dan suasana menjadi sunyi.

   Hati siapa yang tidak akan menjadi prihatin memikirkan keadaan kerajaan disaat itu? Kaisar telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan. Semua pejabat yang setia, seperti Jenderal Beng Tian, putera mahkota, Siang Houw Nio-nio, Tong Ciak, dan juga mereka yang berpihak kerajaan menentang para pemberontak seperti Yap-lojin dan Liong-i-pang, agaknya kini tidak akan dapat berbuat apapun untuk menyelamatkan Istana dan kerajaan. Mereka harus menghadapi dua pemberontakan yang kuat, yaitu pemberontakan barisan Chu Siang Yu dan juga barisan Liu Pang. Padahal didalam tubuh pemerintah sendiri muncul sekelompok musuh dalam selimut dibawjah pimpinan Perdana Menteri Li Su, pangeran kedua, dan kepala thaikam Chao Kao. pengkhianat-pengkhianat ini bahkan tidak segan-segan untuk menarik golongan hitam untuk membantu mereka.

   "Yap-Lo-cianpwe," kata Bhong Kim Cu si jubah coklat,

   "Pada saat ini, barisan besar Liu Pang juga sudah tiba didaerah Kotaraja. Negara kita benar-benar terjepit, sedangkan para pejabat di Istana yang gila kekuasaan hanya saling memperebutkan kekuasaan." Yap-lojin menghela napas dan si pendek Tong Ciak mengerutkan alisnya sambil mengepal tinju! Yap-lojin lalu bangkit dan berkata kepada jagoan cebol itu,

   "Sayang aku tidak dapat ikut menjaga jenazah Sribaginda. Aku harus kembali kekota raja sekarang juga." Yap-lojin lalu pergi dikawal oleh dua orang gadis cantik. Mereka pergi dengan cepat. Bhong Kim Cu lalu berkata kepada Tong Ciak,

   "Tong-ciangkun, tadi dua orang sute berjubah biru dan empat orang sute berjubah hijau telah memergoki seorang mata-mata yang sangat lihai. Sayang bahwa mereka tidak berhasil membekuknya. Aku khawatir bahwa tempat ini sudah dike tahui pihak musuh" Tiba-tiba dia menghentikan bicaranya karena Tong Ciak sudah meloncat keluar, diikuti oleh para murid Liong-i-pang. Sementara itu, Liu Pang yang tadinya mendengar semua percakapan yang amat penting, tiba-tiba dikejutkan oleh suara air bergelombang.

   Dia bersama Pek Lian cepat merosot dan bersembunyi dibawah bangunan yang gelap. Kiranya yang muncul adalah Si Buaya Sakti, Sin-go Mo Kai Ci bersama belasan orang anak-buahnya yang semua mengambil jalan air. Mereka tadi mendekati bangunan itu dengan jalan menyelam dan barisan katak ini sekarang bermunculan lalu berloncatan keatas bangunan dengan sigapnya. Tak lama kemudian, bangunan itu dibakar dan terjadilah pertempuran antara para penyerbu dan Tong Ciak yang dibantu oleh murid-murid Liong-i-pang. Terdengar auman-auman harimau dan muncullah Sanhek-houw bersama anak-buahnya, juga Si Maling Cantik, si Jai-hwa-cat Jai-hwa Toat-beng-kwi, dan yang lain-lain. Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Diantara berkobarnya api yang membakar pesanggrahan, mereka berkelahi.

   "Tahan mereka!" Pek-lui-kong Tong Ciak berbisik kepada Bhong Kim Cu.

   "Aku akan menyelamatkan!" Dia tidak berani melanjutkan, akan tetapi murid Liong-i-pang itu sudah mengerti. Tentu si cebol itu akan menyelamatkan jenazah Sribaginda. Maka, kini Bhong Kim Cu dan sutenya yang juga berjubah coklat, dibantu oleh dua orang berjubah biru dan empat orang berjubah hijau, mengamuk dan menahan serbuan para pengeroyok yang jumlahnya banyak itu.

   Tong Ciak sendiri cepat menyelinap dan menyusup kehutan lebat disebelah utara danau. Disanalah dia menyembunyikan pedatinya dan peti mati Kaisar berada didalam pedati, dicampur dengan keranjang-keranjang ikan asin. Bulan bersinar cukup terang dan dari jauh dia melihat pedatinya masih berdiri dengan selamat. Dengan hati girang Tong Ciak lalu berlari cepat, akan tetapi ketika dia tiba didekat pedati, tiba-tiba terdengar suara ketawa mendengus. Dia terkejut dan cepat menoleh. Ternyata disitu telah berdiri seorang laki-laki tinggi kurus memakai pakaian dan jubah serba hitam, mukanya seperti mayat akan tetapi matanya mencorong mengerikan. Jantung didalam dada jagoan Istana cebol itu berdebar tegang.

   "Raja Kelelawar!" bentaknya.

   "Ha-ha-ha, cebol sombong engkau mengantarkan nyawa!" Biarpun sudah mendengar akan kelihaian iblis ini namun Tong Ciak tidak gentar. Jagoan Istana ini adalah seorang ahli waris Soa-hu-pai (Partai Persilatan Danau Pasir), mewarisi ilmu keturunan dari Kim-mo Sai-ong. Dia sudah mematangkan ilmu-ilmu kesaktian dari perguruan itu dan dia berhak mengaku sebagai ahli waris tunggal atau yang paling lihai dari Soa-hu-pai. Ketika dia mendengar munculnya Raja Kelelawar, bahkan hatinya merasa penasaran dan dia ingin sekali bertemu dengan Raja iblis itu untuk mengadu ilmu. Maka kini, begitu melihat Raja Kelelawar berada disitu, diapun menjadi marah sekali. Jelaslah bahwa Raja Kelelawar hendak merampas jenazah Sribaginda.

   "Engkaulah yang datang mengantar nyawa!" bentaknya dan si cebol ini langsung saja menyerang dengan ganasnya. Begitu menyerang, dia sudah mainkan ilmu inti dari perguruannya, yaitu Ilmu Silat Teratai atau Soa-hu-lian. Begitu dia mainkan ilmu ini, kedua lengannya bergerak sedemikian cepatnya sehingga dilihat oleh mata biasa kedua lengannya berobah menjadi puluhan, bahkan ratusan banyaknya! Dan setiap pukulannya mendatangkan angin halus yang bersiutan! Tentu saja Raja Kelelawar tidak berani memandang rendah karena diapun sudah tahu akan kelihaian lawan ini. Maka, begitu melihat lawan langsung mengeluarkan ilmu simpanannya, diapun tidak segan-segan untuk mainkan ilmu simpanannya pula, yaitu Pat hong Sin-ciang (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).

   Karena dua macam ilmu silat itu sama-sama mengandalkan kecepatan, maka tubuh kedua orang sakti itupun lenyap dan yang nampak hanya bayangan mereka berkelebatan dan bayangan banyak sekali lengan dan kaki sehingga kalau ada yang menonton, dia tentu akan bingung mengenal mana Pek-lui-kong dan mana Bit-bo-ong. Si cebol yang segera merasa betapa hebatnya lawan, cepat mengeluarkan tenaga sakti yang ampuh, yaitu Pukulan Pusaran Pasir Maut yang mendatangkan angin puyuh dan hawa dingin itu. namun, lawannya mendengus dan Raja Kelelawarpun mainkan Kim-liong Sin-kun yang tidak kalah hebatnya. Terjadilah perkelahian yang amat hebat, kadang-kadang mereka mengandalkan kecepatan sehingga tubuh mereka lenyap,

   Ada kalanya mereka bahkan tidak bergerak atau hanya bergerak sedikit sekali karena mereka saling dorong dan saling serang dengan menggunakan kekuatan sinkang! Diam-diam Raja Kelelawar terkejut juga menyaksikan kehebatan si cebol ini. Sejak tadi dia mempelajari gerakan lawan dan tahulah dia bahwa ilmu-ilmu yang dikeluarkan oleh si cebol ini memang hebat, setingkat dengan ilmu perguruannya sendiri. Hanya dalam kecepatanlah dia unggul. Oleh karena itu, setelah perkelahian berlangsung seratus jurus lebih, Raja Kelelawar mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya sehingga Pek-lui-kong Tong Ciak mengeluarkan seruan kaget karena sukarlah baginya untuk mengikuti gerakan lawan yang sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang itu.

   Kecepatan luar biasa inilah yang membuat Tong Ciak akhirnya terkena tamparan pada tengkuknya dan diapun roboh terguling. Pada saat itu terdengar suitan nyaring dan dari jauh nampak berkelebatan tiga bayangan orang. Melihat ini, Raja Kelelawar maklum bahwa yang datang adalah orang-orang yang tinggi ilmunya. Dia tidak merasa gentar untuk menandingi siapapun juga, akan tetapi urusan yang lebih penting harus diselesaikannya dahulu. Maka diapun mengeluarkan suara mencicit seperti kelelawar sebagai tanda kepada anak-buahnya untuk mundur, sedangkan dia sendiri membuka pintu pedati, tanpa memperdulikan bau busuk yang menyambut hidungnya, dia lalu menyambar peti jenazah Sribaginda dan membawanya pergi dengan kecepatan luar biasa. Pakaian dan jubahnya yang serba hitam itu membuat dia seperti menghilang saja ditelan kegelapan malam.

   Anak-buahnya yang dipimpin oleh Sanhek-houw dan Si Buaya Sakti, mendengar isyarat pimpinan mereka itupun lalu berloncatan pergi diikuti oleh anak-buah mereka. Ketika terjadi perkelahian, Liu Pang dan Pek Lian sudah keluar dari tempat persembunyian mereka dibawah bangunan pesanggrahan yang terbakar itu. Mereka lalu bersembunyi dibalik semak-semak belukar dan dapat menyaksikan semua hal yang terjadi disitu, yakni penyerbuan para kaum sesat yang dilawan oleh para tokoh Liong-pang. Mereka tidak dapat mengikuti Tong Ciak dan tidak tahu bahwa si cebol yang lihai itu sudah terluka oleh Raja Kelelawar dan bahwa jenazah Sribaginda telah terampas oleh Raja iblis itu. Tiga bayangan yang datang dengan cepat sekali itu ternyata adalah kakek Kam Song Ki, bersama Kwee Tiong Li yang menjadi muridnya dan Seng Kun.

   Seperti telah diceritakan dibagian depan, mereka bertiga ini sedang mencari jejak Sanhek-houw dan Si Buaya Sakti yang menculik Bwee Hong. Akhirnya mereka terbawa oleh jejak kedua orang tokoh jahat itu ketempat itu dan kedatangan mereka menyelamatkan nyawa Tong Ciak yang sudah roboh. Kalau mereka tidak datang, tentu Raja Kelelawar akan memberi pukulan terakhir kepadanya. Tiga orang itu datang terlambat juga karena peti mati berisi jenazah Kaisar telah dilarikan Raja Kelelawar. Akan tetapi, Seng Kun segera berlutut memeriksa keadaan Tong Ciak yang menggeletak pingsan. Ternyata si cebol menderita luka hebat sekali oleh pukulan tangan ampuh Raja Kelelawar dan kalau saja dia sendiri bukan orang yang memiliki kesaktian, pukulan itu telah merampas nyawanya.

   "Kita lihat dulu apa yang telah terjadi dipesanggrahan yang terbakar itu," kata kakek Kam Song Ki. Seng Kun memondong tubuh Tong Ciak dan merekapun pergi menghampiri para murid Liong-i-pang yang sedang sibuk berusaha memadamkan api yang tadi dipergunakan oleh para anak-buah penjahat untuk membakar pesanggrahan.

   Melihat betapa mereka sibuk memadamkan api yang membakar dan menjalar keruangan tengah, kakek Kam Song Ki lalu meloncat dan sekali bergerak saja tubuhnya sudah melewati para murid Liong-i-pang, kemudian dia melakukan gerakan seperti mendorong dengan kedua tangan dirangkapkan kedepan dada. Angin kuat menyambar kearah api yang segera padam! Melihat gerakan ini, Bhong Kim Cu dan para sutenya terkejut sekali karena mereka mengenal ilmu pukulan paling hebat dari perguruan mereka, yaitu Ilmu Pai-hud-ciang, akan tetapi dilakukan dengan tingkat yang amat tinggi! Bhong Kim Cu cepat memandang dan begitu melihat tanda-tanda pada kakek itu, diapun cepat menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh para sutenya.

   
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, kiranya Kam-susiok yang datang. Harap maafkan bahwa teecu sekalian tidak tahu akan kedatangan susiok!" Kam Song Ki tersenyum dan menggoyangkan tangannya.

   "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kedatanganku inipun kebetulan saja. Jadi kalian adalah murid-murid Ouwyang-suheng yang menjadi ketua Liong-i-pang? Ini adalah Kwee Tiong Li muridku dan pemuda itu adalah"

   "Adalah orang yang hendak membalas kematian kakek Bu Kek Siang dan isterinya!" Seng Kun berseru. Dia sudah menurunkan tubuh Tong Ciak dan kini dengan muka merah saking marahnya dia mencabut pedang dan siap untuk menyerang Bhong Kim Cu dan para sutenya yang menyebabkan tewasnya kakeknya dan neneknya.

   "Hemm, kiranya engkau!" Bhong Kim Cu berseru kaget dan siap melayaninya. Melihat ini, kakek Kam Song Ki terkejut dan cepat melangkah maju untuk melerai.

   "Hemm, apa-apaan ini? Kita semua masih satu keturunan perguruan, kenapa harus bentrok sendiri? Aku sudah mendengar tentang kematian Bu Kek Siang, dan murid-murid Liong-i-pang ini hanya mentaati perintah guru mereka. Dimana guru kalian, Ouwyang-suheng? Akupun hendak minta pertanggungan jawabnya atas perbuatannya terhadap Bu Kek Siang." Melihat sikap paman gurunya ini, Bhong Kim Cu menundukkan muka.

   "Teecu tidak tahu dimana suhu sekarang, tadinya suhu pergi untuk mencari dan menandingi Raja Kelelawar dan kami diperintahkan untuk membantu melindungi jenazah Sribaginda "

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 3 Naga Beracun Eps 4

Cari Blog Ini