Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 36


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 36




   "Jenazah Sribaginda? dimana?" tanya kakek Kam Song Ki.

   "Di sana " Bhong Kim Cu tertegun memandang kepada Tong Ciak yang masih menggeletak pingsan. Baru dia teringat akan jenazah itu dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi tubuhnya melesat kedepan, lari memasuki hutan. Sebagai cucu murid Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan tentu saja ginkangnya hebat. Tak lama kemudian dia kembali dengan mata terbelalak dan muka pucat.

   "Celaka jenazah itu telah dicuri orang...!" Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang jenazah Kaisar itu, didengarkan oleh mereka bertiga dengan kaget.

   "Kalau begini, teecu sekalian harus cepat pergi mencari suhu untuk melaporkan peristiwa ini, susiok."

   "Baiklah, akan. tetapi, apakah kalian melihat penjahat-penjahat Sanhek-houw dan teman-temannya? Mereka telah menculik Bwee Hong..." tanya kakek itu.

   "Baru saja kami berkelahi melawan mereka! Merekalah yang tadi menyerbu dan membakar pesanggrahan. Kini mereka telah melarikan diri, tentu setelah jenazah itu berhasil mereka curi!" kata Bhong Kim Cu penuh geram.

   Setelah memberi hormat kepada susiok mereka, para murid Liong-i-pang itu segera pergi dari situ. Mereka merasa tidak enak untuk berlama-lama berada disuatu tempat bersama Seng Kun. Setelah dapat menyabarkan hatinya karena bujukan susioknya, Seng Kun lalu mengobati Pek-lui-kong Tong Ciak. Sementara itu, Pek Lian membuat gerakan hendak keluar dari tempat persembunyiannya. Melihat ini, gurunya cepat menyentuh lengannya dan memberi isyarat kepada muridnya untuk mengikutinya meninggalkan tempat itu. Setelah mereka pergi jauh dari situ, dia menegur,

   "Nona Ho, apa yang hendak kau lakukan tadi?" didalam percakapan resmi atau serius, Liu Pang selalu menyebut muridnya ini nona Ho. Hanya kadang-kadang saja dia menyebut nama muridnya seperti tak disadarinya.

   "Suhu, teecu mengenal baik mereka itu. Mereka bukan musuh, dan teecu mendengar betapa enci Bwee Hong diculik oleh Sanhek-houw. Teecu ingin membantu mereka mencari enci Hong" Gurunya tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Ingat, pada saat ini kita bukanlah bertugas sebagai pendekar, melainkan memiliki tugas perjuangan yang lebih penting lagi sehingga urusan-urusan pribadi harus disingkirkan atau dikesampingkan lebih dulu. Kalau engkau keluar dan terlihat oleh Tong Ciak atau orang-orang Liong-i-pang, tentu engkau akan ditangkap. Lupakah engkau bahwa kita ini telah dianggap pemberontak?" Pek Lian termangu-mangu dan terpaksa membenarkan ucapan gurunya. Ia menarik napas panjang.

   "Kasihan enci Bwee Hong"

   "Kita harus berhati-hati. Kurasa yang menggerakkan orang-orang jahat tadi adalah Raja Kelelawar sendiri. Siapa lagi yang akan mampu merobohkan Tong Ciak kalau bukan Raja iblis itu? Jangan sampai kita bertemu dengan dia. Mari kita mencari jejak pemuda Tai-bong-pai itu untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang bersekongkol dengan para pengkhianat." Guru dan murid itu melepaskan lelah sambil menanti datangnya fajar. Liu Pang segera dapat tertidur dan Pek Lian duduk termenung. Ia sendiri tidak dapat tidur, memikirkan keadaan Bwee Hong, sahabat yang disayangnya itu. Kalau Bwee Hong diculik Sanhek-houw, dimana nona itu ditawannya? Tadi Sanhek-houw menyerbu pesanggrahan bersama teman-temannya tanpa membawa Bwee Hong sebagai tawanan. Jangan-jangan sudah dibunuhnya! Ia bergidik dan mengepal tinju.

   Kalau saja tidak ada tugas perjuangan yang mengikatnya tentu ia akan membantu Seng Kun mencari Bwee Hong dan membalaskan dendam kepada para penjahat itu kalau benar Bwee Hong sudah terbunuh. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah melanjutkan perjalanan, menuju kearah larinya Kwa Sun Tek, pemuda Tai-bong-pai semalam. Menjelang senja, setelah melalui beberapa buah bukit dan banyak hutan liar, didalam sebuah hutan mereka mendengar derap kaki kuda. Mereka menyelinap bersembunyi dan dengan girang mereka melihat belasan orang penunggang kuda yang dipimpin oleh Kwa Sun Tek sendiri, menuju kedepan. Segera mereka membayangi dari jauh dan setelah matahari mulai tenggelam ke barat, akhirnya mereka menemukan barisan yang mereka cari-cari.

   Disebuah lembah barisan itu berkemah. Menurut taksiran Liu Pang yang sudah berpengalaman, jumlah pasukan asing yang dibantu oleh orang-orang lihai dari golongan sesat itu berjumlah paling sedikit seribu orang. Dan didalam pasukan itu terdapat banyak orang lihai dan berbahaya seperti pemuda Tai-bong-pai dan para iblis Ban-kwi-to itu. Setelah membuat perhitungan dan penggambaran dalam benaknya, Liu. Pang mengajak muridnya untuk pulang kebeteng mereka. Akan tetapi mereka telah pergi jauh dan untuk pulang kebenteng mereka, tentu mereka harus melakukan perjalanan kurang lebih dua hari dua malam! Malam itu mereka bermalam dihutan yang sepi. Ketika mereka sedang mencari tempat yang enak untuk beristirahat, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil,

   "Hei, sobat tukang kayu. kesinilah apabila kalian hendak beristirahat." Liu Pang dan Pek Lian terkejut, akan tetapi mereka datang juga menghampiri sebuah gua. Dan disitu terdapat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu sedang duduk bersila menghadapi api unggun. Gua itu cukup luas dan memang merupakan tempat yang cukup enak untuk melewatkan malam. Maka Liu Pang lalu menurunkan pikulan kayunya, lalu masuk kedalam gua dan bersama muridnya duduk bersandar dinding guha sambil memandang kepada dua orang tosu itu.

   "Terimakasih, ji-wi totiang," katanya.

   "Kami ayah dan anak memang kemalaman dan sedang mencari tempat untuk berteduh dan melewatkan malam." Dua orang pendeta itu ramah sekali. Mereka bahkan membagi roti kering kepada Liu Pang dan Pek Lian. Guru dan murid ini menerima dan memakannya, tidak berani mengeluarkan perbekalan mereka berupa roti dan daging kering yang tidak sesuai dengan keadaan mereka sebagai orang-orang miskin. Sekali ini, Pek Lian dapat mengaso dan tertidur pulas disudut guha, membelakangi mereka yang sedang bercakap-cakap. Liu Pang berlagak bodoh seperti penghuni dusun pencari kayu. Dia mengatakan bahwa dia dan puterinya terpaksa lari mengungsi karena ancaman perang, dan kini hidup dari mencari dan menjual kayu kering.

   "Siancai!" kata tosu yang matanya sipit sekali.

   "Dunia memang sedang kacau oleh ulah orang-orang jahat. Kami sendiri terpaksa turun gunung untuk membantu gerakan para pendekar yang dipimpin oleh Liu-Bengcu. Kabarnya pasukan Liu Pang Bengcu berada didekat tempat ini." Tentu saja Liu Pang tidak berani memperkenalkan diri karena dia tidak boleh percaya begitu saja kepada dua orang tosu ini. Siapa tahu mereka ini malah mata-mata pihak musuh? Maka diapun lebih banyak mendengarkan dari pada bicara. Dari percakapan itu Liu Pang mendapat kenyataan bahwa dua orang tosu itu amat membenci pasukan asing dan para tokoh sesat yang membantu para pengkhianat. Pada keesokan harinya, dua orang tosu itupun berangkat pergi, dan Liu Pang bersama muridnya juga meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan mereka kembali keinduk pasukan mereka.

   Malam berikutnya mereka tiba disebuah padang rumput yang sebenarnya sudah tidak jauh dari lembah dimana pasukan mereka berkumpul. Akan tetapi melanjutkan perjalanan dimalam hari amatlah berbahaya. Bukan saja jalan pendakian kebukit didepan itu cukup licin dan banyak terdapat jurang-jurang berbahaya, akan tetapi juga padang rumput itu sendiri dihuni banyak ular sehingga berjalan melalui tempat itu dimalam hari juga berbahaya dan mengerikan. Mereka tahu bahwa didekat padang rumput sebelah barat terdapat sebuah kuil tua yang sudah kosong maka kesanalah mereka menuju untuk melewatkan malam agar besok pagi-pagi dapat langsung kembali kelembah tempat pasukan mereka berada.

   Ketika mereka mendekati kuil, tiba-tiba Liu Pang memberi isyarat. Mereka berhenti karena hidung mereka mencium bau yang membuat mulut mereka berair, bau sedap daging dipanggang! Selama beberapa hari ini mereka melakukan perjalanan sukar dan mereka tidak memperoleh kesempatan untuk makan enak! Dan kini, sudah dekat dengan tempat sendiri, dalam keadaan letih dan lapar, mereka mencium bau yang demikian sedap. Siapa orangnya tidak mengilar! Seperti ditarik oleh tenaga sembrani, guru dan murid ini mendekati kuil. Akan tetapi, agaknya kedatangan mereka sudah diketahui orang dalam kuil. Buktinya, tidak ada api bernyala didalam kuil dan keadaannya sunyi saja. Bagaimanapun juga, bau sedap daging panggang tadi tidak mungkin mereka hilangkan dan masih mengambang diudara, dengan mudah dapat dicium.

   "Hati-hati," bisik Liu Pang.

   "Siapa tahu mereka adalah pihak musuh" Karena jelas bahwa orang yang berada didalam kuil bersembunyi. Liu Pang dan Pek Lian tidak berani sembarangan memasuki kuil. Mereka bahkan mengambil keputusan untuk bermalam ditempat lain saja. Akan tetapi, pada saat mereka hendak membalikkan tubuh pergi dari situ, tiba-tiba nampak dua sosok bayangan berkelebat keluar. Mereka adalah dua orang gadis cantik.

   "Lian-moi, kiranya engkau!." teriak gadis yang berbaju merah sedangkan gadis baju putih memandang Liu Pang dengan sinar mata penuh selidik.

   "Ah, Pek-cici dan Ang-cici!" Pek Lian berseru girang ketika mengenal dua orang gadis itu ternyata adalah Pek In dan Ang In yang beberapa hari yang lalu telah dilihatnya menghadap Yap-lojin didalam pesanggrahan.

   "Perkenalkan, ini adalah paman Kiang, seorang sahabat yang boleh dipercaya. Paman, mereka ini adalah enci Pek In dan enci Ang In, dua orang murid Siang Houw Nio-nio yang lihai. Eh, enci, kenapa kalian berada disini? Hendak kemanakah?" Pek In memandang kekanan kiri, kemudian menggandeng tangan Pek Lian.

   "Mari kita bicara didalam saja." Mereka berempat masuk kedalam kuil kosong itu. Api unggun dinyalakan lagi dan sebelum bicara, Pek Lian dan gurunya mendapat bagian daging panggang yang sedap tadi. Mereka berempat makan tanpa berkata-kata. Setelah kenyang, Pek In melirik kearah Liu Pang dan berkata kepada Pek Lian,

   "Adik Lian, aku mau bicara penting denganmu, akan tetapi jangan sampai terdengar orang diluar kuil. Maukah pamanmu ini berjaga diluar agar diketahuinya kalau ada orang datang?" Liu Pang maklum bahwa gadis baju putih ini masih belum percaya kepadanya, maka diapun bangkit dan berkata,

   "Biarlah aku berjaga diluar." Diapun melangkah keluar, duduk didepan kuil yang gelap dan sunyi, akan tetapi tentu saja dia memasang telinga karena biarpun nanti muridnya bisa bercerita kepadanya, namun hatinya sudah tidak sabar, ingin mendengar apa yang akan diceritakan oleh gadis yang baru keluar dari Istana ini. Tentu terdapat berita yang amat penting sehubungan dengan lenyapnya jenazah Kaisar yang diduganya tentu dicuri oleh Raja Kelelawar atau anak-buahnya, kaum sesat yang membantu para pengkhianat. Setelah Liu Pang keluar, Pek In berkata,

   "Maafkan kami, adik Lian. Yang akan kami ceritaka ini penting sekali dan terus-terang saja, hatiku tidak enak kalau terdengar orang lain. Kepadamu kami sudah percaya penuh, akan tetapi temanmu itu, kami belum tahu benar siapa dia"

   "Tidak mengapa, enci. Padahal, pamanku itu amat boleh dipercaya. Sudahlah, ada baiknya dia berjaga diluar. Nah, ceritakan, mengapa kalian disini dan apa yang telah terjadi?" Pek In lalu bercerita yang membuat Pek Lian dan Liu Pang yang ikut mendengarkan diluar, menjadi terkejut bukan main. Hal-hal yang amat hebat telah terjadi di Istana! Pek In menceritakan dari awal, dimulai dengan kepergian Kaisar yang melakukan perjalanan sendirian untuk mencari Ilmu hidup abadi! Semua pembesar yang bersih, bahkan mereka yang telah diangkat kembali oleh Kaisar, dipecat oleh komplotan Perdana Menteri Li Su dan kepala thaikam Chao Kao.

   Kemudian, dengan dalih berbakti kepada negara, mendapat dukungan para pembesar yang menjadi antek mereka, putera mahkota diperintahkan menyusul Jenderai Beng Tian ke garis depan. Dalam keadaan Istana kosong inilah, karena Kaisar tidak diketahui, kemana perginya, Li Su dan Chao Kao berkuasa didalam Istana! Kemudian terjadi kegegeran ketika Li Su menyatakan Kaisar telah tewas dan dapat membuktikannya dengan jenazah Kaisar yang telah mulai membusuk! Gegerlah seluruh pejabat Istana. Mereka berkumpul dan bersidang. Didalam persidangan ini, Perdana Menteri Li Su mengusulkan agar dilakukan pengangkatan Kaisar baru agar kedudukan jangan berlarut-larut kosong. Nenek Siang Houw Nio-nio mengusulkan agar ditunggu kembalinya pangeran mahkota.

   Akan tetapi usul ini ditentang oleh Li Su yang mengatakan bahwa adanya pangeran mahkota digaris depan amat perlu untuk membangkitkan semangat barisan. Dan kini pihak pemberontak telah mulai mendekati Kotaraja, maka perlu segera diangkat Kaisar baru. Karena Li Su memang menang suara dan memperoleh dukungan terbanyak, akhirnya pangeran muda yang pandainya hanya bersenang-senang itupun diangkat menjadi Kaisar dengan julukan Cin Si Hongte keDua! Tindakan pertama yang dilakukan oleh Kaisar muda ini dapat diduga. Dia mengangkat Li Su menjadi wakil penuh Kaisar, dan Chao Kao diangkat menjadi kepala Istana! Para pejabat yang berani memprotes, ditangkap dan dipecat. Yang lebih hebat lagi. para datuk sesat diberi pangkat dan kedudukan! Raja Kelelawar diangkat menjadi panglima! Dan orang-orang macam Sanhek-houw diangkat menjadi perwira yang berkuasa.

   "Adik Lian, pendeknya gegerlah Istana yang berobah seperti neraka. Tentu saja subo memprotes keras dan akibatnya beliau kini ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara!"

   "Ahhh!" Pek Lian berseru kaget. Nenek itu adalah pengawal Kaisar nomor satu dan masih bibi dari Kaisar lama, jadi nenek Kaisar baru, akan tetapi toh ditangkap.

   "Kami berhasil melarikan diri dan melapor kepada suhu. Kini kami diutus suhu untuk memberi kabar kepada Yap-suheng dan ji-suheng tentang hal itu sedangkan suhu sendiri berusaha untuk membebaskan subo," kata Pek In dengan suara duka.

   "Akan tetapi kami mendengar bahwa kedua suheng kami itu telah bergabung dengan pasukan para pendekar dibawah Liu-Bengcu!"

   "Kebetulan sekali! Kami juga mau pulang" Tiba-tiba terdengar suara dan Liu Pang melangkah masuk, wajahnya masih tegang mendengarkan penuturan tadi akan tetapi matanya memandang dua orang gadis itu dengan ramah. Pek Lian juga tahu bahwa kini tidak perlu lagi merahasiakan keadaan gurunya.

   "Pek-cici dan Ang-cici, kalian maafkanlah aku yang tadi berbohong. Beliau ini adalah Liu-Bengcu, juga guruku!" Dua orang gadis itu terkejut bukan main. Cepat mereka bangkit berdiri dan memandang dengan tajam. Sudah lama mereka mendengar nama Liu Pang atau Liu-Bengcu. Tak disangkanya mereka akan dapat bertemu dengan pemimpin besar itu disini dan melihat pemimpin besar itu mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa! Mereka lalu memberi hormat dan dibalas oleh Liu Pang.

   "Ji-wi lihiap, mari kita duduk dan bicara," ajaknya dan mereka kembali duduk mengelilingi api unggun.

   "Aku tadi sudah ikut mendengarkan dari luar, maafkan kelancanganku itu dan keadaan di Istana itu sungguh mengenaskan dan menggemaskan. Dua orang pengkhianat Li Su dan Chao Kao itu harus dibasmi. Akan tetapi kemana perginya Pek-lui-kong Tong Ciak? Dan juga Jenderal Beng Tian yang kabarnya sudah meninggalkan posnya dibarat? Mereka berdua adalah jagoan-jagoan Kaisar Cin Si Hongte yang setia dan lihai!"

   "Entahlah, Liu-Bengcu, karena keadaan amat kacau pada waktu itu dan mereka berdua itu tidak ada kabarnya lagi," jawab Pek In, yang kemudian menyambung cepat,

   "Benarkah pemberitahuan suhu kepada kami bahwa kedua orang suheng kami telah menggabungkan diri dengan pasukan Bengcu?" Liu Pang tersenyum dan mengangguk.

   "Bukan hanya menggabungkan diri, bahkan kini selagi kami pergi, yang menjadi wakil kami memimpin pasukan adalah saudara Yap Kim dibantu oleh suhengnya, saudara Yap Kiong Lee." Tentu saja dua orang gadis itu tercengang, akan tetapi juga merasa girang. Ketika untuk pertama kalinya mereka mendengar dari suhu mereka bahwa kedua orang suheng itu membantu pasukan pemberontak Liu Pang, mereka hampir tidak mau percaya. Subo mereka adalah kepercayaan Kaisar, bahkan suhu mereka akhir-akhir ini juga membantu Kaisar, bagaimana mungkin dua orang suheng itu menjadi pembantu-pembantu para pemberontak? Akan tetapi, setelah melihat suasana di Istana, kini mereka malah menjadi gembira mendengar bahwa dua orang suheng mereka itu malah menjadi pembantu-pembantu pemimpin besar, Liu Pang!

   Sikap kedua orang gadis ini sama sekali tidak perlu diherankan. Kalau kita mau membuka mata, memandang dengan waspada segala hal yang terjadi baik didalam maupun diluar diri kita sendiri, maka akan nampaklah dengan jelas betapa sikap dan perasaan kita, seperti dua orang gadis itu, selalu dikendalikan oleh pementingan diri pribadi atau keakuan. Kita selalu amat mudah mema-afkan kesalahan sendiri, siap membela diri sendiri untuk menutupi kesalahan yang kita perbuat. kita selalu menentang segala sesuatu yang merugikan diri kita, dan membantu sesuatu yang menguntungkan diri kita, karena yang menguntungkan itu, lahir maupun batin, adalah menyenangkan dan sebaliknya yang merugikan itu selalu tidak menyenangkan.

   Aku yang paling benar, aku yang paling baik, aku yang harus menang. Siaku ini bisa meluas menjadi anakku, keluargaku, sahabatku, kelompokku, bangsaku dan selanjutnya. Seorang yang berada disuatu kelompok, selama memperoleh keuntungan dan merasa disenangkan dalam kelompok itu, pasti akan membelanya mati-matian. Bukan karena setianya kepada si kelompok, melainkan karena setianya kepada diri sendiri, karena disitu terdapat kesenangan. Akan tetapi, begitu dia disisihkan dari kelompok, begitu dia tidak lagi memperoleh keuntungan, apa lagi begitu dia dirugikan dan tidak disenangkan, maka seketika dia akan berobah dan akan menentang kelompok itu dan memilih kelompok lain yang menentang kelompok lama! Pengejaran kesenangan dapat menyeret mamusia menjadi munafik, palsu, pengkhianat, kejam dan curang, dan segala macam, kejahatan lain.

   "Kalau begitu kami berdua akan mengikuti Bengcu ketempat kedua orang suheng kami!" kata Ang In dengan, wajah cerah, lalu ia menoleh kepada Pek Lian.

   "Apakah apakah Kim-su-heng baik-baik saja?" Pek Lian tersenyum.

   "Dia dalam keadaan sehat dan semakin gagah!" katanya sambil tersenyum, penuh arti dan wajah Ang In yang manis itu berobah kemerahan.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berempat meninggalkan kuil itu dan berangkat menuju keperkemahan para perajurit pendekar dibalik bukit. Dari puncak bukit itu tidak nampak apa-apa dan memang inilah yang dikehendaki oleh para pimpinan pasukan itu dan baru setelah mereka menuruni bukit, mereka memasuki daerah perondaan pasukan dan bertemulah mereka dengan dua orang peronda. Liu Pang dan Pek Lian segera mengenal dua orang pendeta atau tosu yang mereka jumpai didalam guha, maka mereka segera menegur. Akan tetapi dua orang tosu itu mengambil sikap keras.

   "Kalian telah melanggar wilayah kami, harus menyerahkan diri untuk kami tangkap dan kami bawa ke benteng!"

   "Ehh? Liu Pang berseru heran."

   "Apakah ji-wi kini sudah menjadi anggauta pasukan Liu-Bengcu?" Pek Lian bertanya.

   "Benar, karena itu, dalam tugas pertama kami, kalian harus kami tangkap sebagai orang-orang yang melanggar wilayah kami tanpa ijin." Sebelum Pek Lian menjawab, Liu Pang mendahuluinya bertanya,

   "Kalau aku tidak mau ditangkap?" Suaranya mengandung tantangan, akan tetapi sinar matanya dan wajahnya berseri.

   "Kami akan menggunakan kekerasan!" jawab tosu yang bermata sipit.

   "Totiang, aku sangsi apakah engkau akan mampu menangkap aku!" kata Liu Pang sambil melangkah maju. Tosu sipit itu memandang tajam, kemudian diapun melangkah maju.

   "Boleh kita coba!" Dan diapun sudah menubruk maju mencengkeram kearah pundak Liu Pang. Pemimpin besar ini cepat mengelak dan balas menyerang karena dia memang ingin sekali mencoba kepandaian dua orang tosu yang baru saja masuk menggabungkan diri dengan pasukannya itu. Dan hatinyapun puas dan kagum. Tosu sipit ini lihai sekali sehingga kalau Liu Pang benar-benar menghendaki, belum tentu dia akan mampu mengalahkan tosu ini dalam waktu seratus jurus! Gerakannya cepat dan tangkas, tenaganyapun kuat. Perkelahian itu amat seru dan semakin ramai.
Tiba-tiba terdengar bentakan,

   "Berhenti..." dan muncullah Yap Kim. Dua orang pertapa itu menghadap Yap Kim dan memprotes.

   "Mereka adalah pelanggar-pelanggar wilayah tanpa ijin!."

   "Ji-wi totiang, beliau ini adalah Liu-Bengcu, pemimpin kita!" kata Yap Kim.

   "Siancai siancai...Dan dia sudah bercakap-cakap semalam suntuk dengan pinto!" kata tosu kedua yang lebih tua. Mereka lalu memberi hormat yang dibalas oleh Liu Pang sambil tertawa dan memuji-muji kepandaian mereka. Sementara itu, Yap Kim sudah saling bertemu dengan Pek In dan Ang In. Pertemuan yang menggembirakan, juga mengharukan sekali. Apa lagi Ang In yang tiada kedip-kedipnya menatap wajah pemuda itu sehingga Pek Lian merasa geli hatinya. Ketika Yap Kim mendengar bahwa ibu kandungnya ditawan di Istana, dia mengepal tinju dan mukanya berobah pucat, kemudian merah karena marah.

   "Mari kita bicara disana!" kata Liu Pang dan mereka semuapun pergilah keperkemahan pasukan. Pertemuan antara Yap Kiong Lee dan Pek In yang memang sejak dahulu sudah ada rasa saling sayang, amat menggembirakan. Segera diadakan pertemuan antara para pemimpin dan para pendekar, bukan hanya untuk menyambut kembalinya Liu Pang akan tetapi juga untuk mengatur siasat selanjutnya. Situasi di Kotaraja sudah demikian berobah, maka harus diatur siasat yang sesu-ai dengan keadaan itu. Yap Kiong Lee tidak merasa ragu-ragu lagi untuk mencurahkan seluruh tenaganya membantu gerakan pasukan ini. Kini subonya ditawan. Kini Kotaraja dikendalikan oleh pengkhianat-pengkhianat yang menjadi musuhnya. Juga Pek In dan Ang In bertekad untuk membantu gerakan pasukan para pendekar dibawah pimpinan Liu Pang.

   ***

   Kita kembali menjenguk keadaan A-hai yang kini berada seorang diri saja didalam ruangan rumah tua mendiang gu-lojin. Dia ditinggalkan oleh semua orang dalam keadaan masih pingsan atau tertidur karena pengaruh totokan Seng Kun ketika mengobatinya. Pengaruh totokan itu makin menghilang dan akhirnya A-hai sadar. Begitu dia sadar dan dapat bergerak, dia segera bangkit duduk dan mencari kakak-beradik yang tadi mengobatinya. Akan tetapi tidak ada orang lain disitu. Dia berteriak memanggil.

   "Saudara Kun...! Nona Hong...!"

   Tidak ada jawaban. Dia melihat pakaian Bwee Hong bertumpuk disudut ruangan itu. Apakah nona itu berganti pakaian? Kalau benar demikian, kenapa pakaian yang kotor dibiarkan saja bertumpuk disitu? Mencurigakan benar keadaan ini, pikirnya dan kembali dia memanggil-manggil. Setelah yakin bahwa tidak ada suara jawaban, baik dari Seng Kun maupun dari nona itu, dia lalu bangkit berdiri dan mencari keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika dia melihat mayat si pemilik warung, dan disitu nampak bekas-bekas perkelahian. A-hai menjadi panik dan dia memanggil-manggil lagi sambil mencari kesekeliling rumah itu. Namun, tidak ada yang menjawab. Dengan hati penuh kekhawatiran dia lalu berlari mencari, menuju keperkampungan nelayan dengan melewati jalan setapak dalam hutan.

   Tiba-tiba dia memperlambat larinya dan hidungnya kembang-kempis, mendengus-dengus karena dia mencium bau harum yang aneh. Dia semakin terheran-heran karena tidak ada apa-apa disitu, cuaca yang suram karena hanya mendapat pene-rangan bulan lemah itu mendatangkan suasana menyeramkan. Setelah menoleh kekanan kiri dan belakang, dia memandang kedepan lagi untuk melanjutkan perjalanan. Begitu dia membalik, hampir dia menjerit kaget karena tiba-tiba saja didepannya kini sudah berdiri dua orang yang mukanya pucat seperti mayat! Seorang kakek dan seorang nenek. Kalau saja mereka itu tidak bergerak, tentu A-hai mengira berhadapan dengan mayat yang mengingatkan dia akan mayat tukang warung yang menggeletak diluar rumah mendiang gu-lojin itu. Ketika laki-laki setengah tua itu bertanya, suaranya juga kosong dan mengambang seperti bukan suara manusia!

   "Sobat, apakah engkau melihat seorang gadis cantik disekitar tempat ini? Seorang gadis cantik dengan kulit putih dan keringatnya berbau harum dupa?" Pertanyaan itu saja sudah membuat A-hai serem. Gadis cantik putih pucat berbau dupa hanyalah siluman!

   "Tidak ada... aku tidak tahu" jawabnya dengan suara gemetar. Dia tidak tahu bahwa laki-laki dan wanita yang berdiri didepannya itu adalah Kwa Eng Ki dan isterinya. Kwa Eng Ki adalah ketua Tai-bong-pai yang jarang keluar pintu dan kini keluar bersama isterinya untuk mencari anak-anak mereka.

   "Huhh!" Laki-laki setengah tua bermuka pucat itu mendengus dan berkata kepada isterinya,

   "Orang-orang dusun itu berkata bahwa anak kita menuju ketempat ini. Mari kita cari ditempat lain dan bertanya kepada orang yang lebih cerdik!" Mereka berkelebat dan lenyap. A-hai yang dianggap tidak cerdik itu tidak marah, bahkan merasa lega bahwa dua orang manusia yang seperti mayat hidup itu pergi meninggalkannya. Diapun melanjutkan perjalanan menuju kedusun nelayan. Keadaan dusun itu masih ribut. Para penduduknya masih diliputi suasana tegang dengan peristiwa aneh yang terjadi berturut-turut itu. mereka dipaksa keluar dengan ancaman rumah dibakar, lalu ada pemilik perahu yang perahunya dirampas. Melihat para penduduk belum tidur dan berkelompok sambil bicara secara serius dan geli-sah, A-hai lalu menghampiri mereka dan bertanya apa yang telah terjadi.

   "Ada terjadi apakah? Dan apakah kalian melihat sahabat-sahabatku, pemuda tampan dan gadis cantik itu?" Dari orang-orang ini A-hai mendengar bahwa Seng Kun pergi bersama seorang kakek dan seorang pemuda, katanya untuk mencari adik perempuannya yang diculik penjahat. Mendengar ini, A-hai terkejut. Ah, dia sendirian sekarang. Bwee Hong diculik orang dan Seng Kun melakukan pengejaran.

   "Dan disana kulihat pemilik warung sudah menjadi mayat, entah siapa yang membunuhnya," katanya. Kini para penghuni dusun itulah yang terkejut dan merekapun lalu ikut dengan A-hai menuju kerumah mendiang gu-lojin. Benar saja, pemilik warung itu mereka temukan tewas dalam keadaan mengerikan. Beramai-ramai mereka lalu mengurus mayat itu.

   A-hai duduk termenung sampai fajar menyingsing. Dia bingung sekali. Dia sekarang sendirian. Apa yang harus dilakukan? kemana dia harus pergi? Bagaimanapun juga, dia masih dalam waktu pengobatan oleh kakak-beradik itu. kemana dia harus mencari rnereka? Berkat pertolongan kedua orang kakak-beradik itu, sinar terang dalam kehidupannya mulai bercahaya untuk mengusir kegelapan rahasia yang menyelimuti dirinya. Akan tetapi kini dia terpisah dari mereka. Kini, dia harus hidup sendirian dan kalau pengobatan itu tidak dilanjutkan, dia akan celaka. Mungkin ingatannya semakin mundur, atau mungkin dia akan mati. Ah, dia kini hidup sendiri lagi, harus mengembara kesana kemari bertahun-tahun sambil bekerja sedapatnya, dengan tujuan mustahil, yaitu mencari seseorang yang akan dapat mengenalnya dan menceritakan siapa sebenarnya dia? dimana keluarganya? A-hai menengadah.

   Kini dia duduk diluar rumah tua itu, memandang langit yang mulai merah terbakar sinar matahari pagi yang baru terbit. Agaknya tidak ada seorangpun mengenalnya, mengenal keluarganya. Agaknya dia sekeluarga dahulu hidup terasing dari pergaulan umum. Tak terasa lagi kedua matanya basah. Dia mengusap air matanya dengan punggung tangan yang dikepal. Hatinya penasaran sekali. Masa ada orang tidak tahu siapa dirinya sendiri, siapa ayah-bundanya? Ketika lengannya bergerak, tanpa disadarinya tangannya menyentuh boneka batu giok yang tadi dibawanya keluar. Boneka yang tadi ditemukannya melalui nalurinya dirumah mendiang gu-lojin. Kini sinar matahari memungkinkan dia memandang boneka itu dengan jelas. Ada sesuatu pada boneka itu yang seperti membuka ingatannya.

   Batu giok yang berkilauan terkena cahaya matahari pagi itu seperti menyihirnya dan secara samar-samar ia membayangkan pemilik boneka ini. Seorang anak perempuan kecil yang lincah, yang suka berlari-lari dengan penuh kebahagiaan, berlarian dialam terbuka. Suka mengejar kupu-kupu. Anak perempuan kecil yang manja, berlari-larian didekat sebuah rumah yang bersih indah, ditepi sungai yang airnya jernih. Banyak batu menonjol tersembul disana-sini. Sungai itu mengalir mengeluarkan dendang dan terjun kebawah, tak jauh dibelakang rumah itu. Anak perempuan itu gemar sekali bermain ketepi sungai, berlari-larian biarpun sudah sering dilarangnya. Pada suatu hari, anak perempuan itu kembali berlari-lari dan kakinya tersandung, tubuhnya terguling dan jatuhlah anak perempuan itu kedalam lubuk air terjun yang sangat dalam. Badannya yang mungil tenggelam, membuat pelayannya menjerit keras.

   "Lian Cu!!" Tiba-tiba A-hai menjerit dan tubuhnya meloncat kedepan, tangannya menyambar kedepan secepat kilat dan ternyata tangannya itu telah menangkap seekor burung kecil yang kebetulan terbang lewat! A-hai sadar. Dengan terheran-heran dia melepaskan burung kecil itu cepat-cepat. Burung itu terbang menggelepar sambil mencicit ketakutan. A-hai mengamati tangannya yang tiba-tiba saja menjadi amat cepat gerakannya itu. Lalu dia menarik napas panjang dan duduk kembali.

   "Hemm, aku melamun. Tempat itu, rumah itu kenapa aku seperti mengenalnya? Dan... anak perempuan itu Lian Cu, ahhh!" Dia membalik boneka yang masih berada ditangan kirinya, lalu membaca tulisan yang terdapat dibelakangnya.

   "HADIAH ULANG TAHUN UNTUK PUTERIKU LIAN CU." Berkali-kali dibacanya tulisan itu.

   "Lian Cu, Lian Cu? Benarkah anak itu ada?" A-hai merasa pusing. Ingatan yang serba suram tentang anak perempuan itu, rumah dekat sungai dan air terjun itu, memusingkan kepalanya. Akhirnya dia bangkit berdiri.

   "Aku harus mencari rumah itu! Rumah indah bersih ditepi sungai jernih yang ada air terjunnya. Aku akan menyelusuri setiap sungai didunia ini sampai kutemukan rumah itu," tekadnya. Pikiran ini membuat hatinya tenang. Dia lalu mengumpulkan sisa uangnya, juga buntalan pakaiannya dan buntalan pakaian Seng Kun dan Bwee Hong yang ditinggalkan. Sisa uangnya masih cukup untuk membeli sebuah perahu kecil sederhana dari para nelayan didusun itu. Dengan semangat besar diapun meninggalkan rumah tua mendiang gu-lojin dan pergi menuju kedusun. Ketika penduduk dusun mendengar bahwa A-hai hendak menyusul sahabat-sahabatnya mencari nona yang diculik penjahat, mereka memberikan sebuah perahu kecil sederhana dengan harga murah.

   A-hai girang sekali, berterimakasih lalu berangkat dengan perahu kecilnya menyusuri sungai itu. Biarpun perahunya mudik dan melawan arus, akan tetapi dia mendayung penuh semangat, menggerakkan perahunya disepanjang pinggiran sungai dimana arusnya tidak sekuat ditengah. Setiap kali dia kelelahan dan hendak beristirahat, dia membawa perahunya ketepi dan menariknya kedarat, mengaso ditepi sungai. Biarpun ingatannya sudah tertutup rahasia gelap yang membuatnya tidak ingat apa-apa tentang masa lalunya, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki kecerdikan. Kini dia mempunyai pegangan, yaitu bahwa dia harus mencari sebuah rumah indah mungil ditepi pantai sebuah sungai kecil yang jernih airnya dan yang terdapat air terjunnya dibelakang rumah. Dia merasa yakin bahwa sungai didekat rumah itu tentu ada hubungannya dengan sungai yang ditelusurinya ini.

   Buktinya, bukankah rumah mendiang gu-lojin juga dekat dengan sungai ini dan bahwa anak kecil yang namanya terukir dibelakang boneka giok itupun menurut mendiang pemilik warung sering pula datang kesitu? Setidaknya, antara sungai kecil didekat rumah mungil dengan sungai ini tentu ada hubungannya. Karena perahunya mudik, maka perahu itu hanya dapat maju perlahan saja. Namun A-hai tidak pernah kehilangan kesabaran. Dia sudah mengambil keputusan untuk mencari terus disepanjang sungai ini, kalau perlu sampai selama hidupnya! Tiga hari sudah dia mendayung sambil memperhatikan keadaan dikanan kiri sungai. Kalau ada tempat yang agak mirip-mirip saja dia tentu berhenti dan mendarat untuk melakukan penyelidikan. Hari telah menjelang sore ketika perahunya memasuki bagian sungai yang lebar dan disini airnya tenang sehingga dia dapat mendayung lebih cepat.

   Beberapa kali sejak pagi tadi dia berpapasan dengan perahu-perahu lain yang lebih besar. Tiba-tiba muncul tiga buah perahu besar yang bergerak mudik dengan dorongan layar, juga dibantu dengan dayung-dayung anak-buah perahu-perahu itu. Sinar matahari senja membuat layar-layar itu berwarna kemerahan. Dengan cepat tiga buah perahu itu mendahului perahu A-hai. Dia melihat beberapa orang dengan sikap yang keren dan wajah serem berdiri diatas geladak, memandang kepadanya dengan sinar mata tajam, A-hai tidak perduli, akan tetapi hatinya tertarik juga karena dapat menduga bahwa orang-orang yang berada diperahu-perahu itu tentulah bukan nelayan atau pedagang biasa. Bulan menggantikan matahari dengan sinarnya yang cerah, membuat permukaan air nampak seperti perak. A-hai tidak mendarat.

   Malam terlalu indah dan terang, sedangkan air sungai tenang, enak untuk mendayung perahu. Malam sungguh indah. A-hai mendayung perahu sambil membuka matanya memandang kesekeliling. Matanya bersinar-sinar, ada rasa bahagia yang aneh memenuhi hatinya. Ataukah sinar bulan itu, keheningan yang mendalam itu yang menerangi batinnya? Keindahan terdapat disetiap tempat dan disetiap saat bagi mata yang waspada dengan batin yang kosong dari pada segala kesibukan pengejaran kesenangan. Keindahan menggetarkan jiwa yang bersih dari pada segala kesibukan senang susah, puas kecewa dan segala perasaan yang timbul karena pertentangan antara dua keadaan. Disetiap pucuk daun, disetiap sudut awan, disetiap batang rumput, disetiap tetes air, didalam setiap helai rambut kita, dimana-mana terdapat keagungan, keindahan dan kemujijatan itu.

   Namun sayang, mata kita telah menjadi buta, dibutakan oleh pikiran yang selalu mengejar-ngejar kesenangan sehingga bertemulah pikiran dengan kesusahan, kekecewaan, iri hati, kebencian, permusuhan, pemuasan nafsu dan sebagainya. Batin menjadi lelah dan lumpuh oleh hempasan-hempasan perasaan itu dan mata menjadi buta, tidak dapat lagi melihat keindahan, keagungan dan kemujijatan yang amat besar itu. Selagi A-hai tenggelam kedalam keindahan dan keheningan yang maha besar itu, tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh banyak benda yang mengapung dipermukaan air. Dan terkejutlah hatinya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu adalah pecahan-pecahan perahu yang hanyut dan lebih kaget lagi rasa hatinya ketika dia melihat betapa diantara pecahan-pecahan perahu itu terdapat pula beberapa mayat manusia mengambang.

   A-hai bergidik ketika mengenal mayat itu seperti wajah orang yang tadi dilihatnya diatas tiga buah perahu yang mendahuluinya. Karena merasa ngeri, A-hai lalu mempercepat gerakan dayungnya dan perahunya meluncur cepat mendahului benda-benda mengerikan yang terbawa arus air itu. Tak lama kemudian perahunya memasuki daerah yang berbukit-bukit dan kedua tepi sungai terdiri dari tebing-tebing yang terjal menjulang tinggi. Tempat ini memiliki keindahan yang lain lagi, yang megah dan jelas memperlihatkan keper-kasaan alam. Akan tetapi, perhatian A-hai tertarik oleh tiga buah perahu yang berlabuh disebuah lekukan bukit atau tebing karang. A-hai merasa tertarik sekali, apa lagi ketika dia mendengar gemuruh suara air memantul diantara tebing-tebing terjal itu, membuat dia teringat akan gemuruhnya air terjun dalam lamunannya.

   Diapun segera mengarahkan perahunya kepinggir mendekati tiga buah perahu yang disangkanya tentu perahu-perahu para nelayan. Akan tetapi, begitu perahunya tiba ditepi dan berada diantara tiga buah perahu itu, tiba-tiba muncul belasan orang dari dalam perahu-perahu itu dan perahu-perahu mereka bergerak mengepung perahu A-hai. Sebatang tombak panjang yang dipegang oleh seorang diantara mereka yang berdiri dikepala perahu, meluncur kearah dada A-hai yang masih duduk dengan kaget. Melihat ini, secara otomatis, diluar kesadarannya, tangan A-hai bergerak cepat meraih kedepan. Gerakannya persis seperti ketika dia menangkap burung kecil yang sedang meluncur terbang didepannya tempo hari, didepan rumah tua mendiang gu-lojin. Dengan amat tepatnya, tombak itu tertangkap ujungnya oleh tangan A-hai.

   Pemilik tombak terkejut dan tentu saja menahan tombaknya, lalu berusaha membetotnya kembali. A-hai juga otomatis berusaha merampas tombak yang dapat berbahaya bagi dirinya itu. Dia mengerahkan tenaga dan menggerakkannya melanjutkan gerakan menangkap tadi. Tanpa disadarinya, tenaga sinkang mengalir dari pusarnya, otot lengannya menggembung dan ketika tangannya menyentak, terdengarlah jeritan ketakutan! Tubuh pemilik tombak itu terpental dan terlempar tinggi keudara, seperti dilempar oleh tangan raksasa yang amat kuat saja. belasan orang yang berada diatas tiga perahu yang mengepung itu terbelalak kaget dan ngeri melihat betapa tubuh teman mereka itu terlempar begitu tingginya, kemudian terbanting jatuh keatas batu-batu tebing, mengeluarkan bunyi mengerikan karena tulang-tulang pecah dan patah. Orang itu tak dapat bergerak lagi.

   A-hai sendiri menjadi terkejut dan ngeri. Dia memandangi tangannya seperti orang tidak percaya. Memang terjadi keanehan pada dirinya. Tanpa disadarinya sendiri, pengobatan yang dilakukan oleh Seng Kun dan Bwee Hong telah memperlihatkan hasilnya. Sedikit demi sedikit A-hai mulai dapat mengingat masa lalunya, juga ilmu yang pernah dipelajarinya. Memang baru sedikit sekali yang diingatnya itu karena otaknyapun baru saja kealiran darah kembali, itupun belum lancar. Kebetulan sekali yang mula-mula dirangsang dan dihidupkan kembali sehingga dapat bekerja, adalah otak dibagian dia menyimpan kenangan ketika berada dirumah indah ditepi sungai bersama seorang anak perempuan bernama Lian Cu.

   Dia mengajarkan ilmu silat kepada bocah itu sambil menangkap kupu-kupu dan burung-burung. bagian inilah yang teringat sehingga bagian ini pula dari ilmu silat yang dapat diingatnya. Kini muncullah dua orang dari dalam bilik perahu lawan. Perahu A-hai kini sudah menempel dengan perahu lawan, bahkan sudah dikait sehingga tidak dapat melepaskan diri lagi. Melihat munculnya dua orang itu, A-hai mengerutkan alisnya, tahu bahwa dia berada dalam bahaya. Dua orang itu bukan lain adalah Pekpi Siauw-kwi, Si maling Cantik berusia tiga puluhan yang selain cantik juga cabul dan sesat itu. Sedangkan orang kedua adalah Jai-hwa Toat-beng-kwi, si penjahat cabul tukang pemerkosa yang amat keji.

   A-hai kini mulai sadar bahwa seperti pernah didengarnya dari orang-orang lain, dia sebetulnya mempunyai ilmu kepandaian silat. Maka diapun mulai memeras otaknya untuk mengingat-ingat. Dan mulailah dia melihat bayangan-bayangan ingatan dalam otaknya, dan dia mengerahkan tenaga otaknya sekuatnya dan sedapatnya. Ya, dia tahu bagaimana harus melayani pengeroyokan. Hemm, dia harus bersikap begini. Menurutkan jalan pikirannya, A-hai lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tegap jangkung itu kelihatan gagah sekali ketika dia berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang lebar, lutut agak ditekuk, tubuh tidak bergoyang dan kedua lengan ditekuk pula, yang kiri menyilang didepan dada dan yang kanan dengan jari terbuka menyentuh ujung hidung sendiri, matanya mengerling dari bawah kearah lawan!

   Biarpun Pekpi Siauw-kwi dan Jai-hwa Toat-beng-kwi merupakan dua orang tokoh sesat yang amat lihai, namun mereka kini memandang kepada pemuda itu dengan sikap ragu-ragu dan agak gentar. Mereka tadi telah melihat sendiri betapa hanya dengan satu sentakan saja, seorang anak-buah yang sebetulnya bukan orang lemah sampai terpental tinggi sekali dan terbanting tewas. Maka kini mereka berdiri dikepala perahu mereka dengan sikap hati-hati.
(Lanjut ke Jilid 26)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 26
Empat orang yang berada diperahu sebelah kiri, kini serentak meloncat dan menyerang dengan tombaknya kearah A-hai. A-hai membuat gerakan otomatis dengan tubuhnya dan ketika tangannya bergerak kekiri, ada hawa atau angin pukulan yang dahsyat menyambar keluar.

   "Wuuuttt, prakkkk!!" Empat batang tombak itu patah-patah dan empat orang pemegangnya terjengkang kembali kedalam perahu mereka! Si Penjahat Cabul dan Si Maling Cantik saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka tidak tahu siapa pemuda ini yang tak dapat mereka lihat jelas mukanya karena bulan tertutup awan. Akan tetapi harus mereka akui bahwa pemuda ini memiliki ilmu yang amat dahsyat. Angin pukulan ketika pemuda itu menangkis tadi, sampai terasa oleh mereka berdua, membuat mereka berdua bergidik ngeri. Akan tetapi kini mereka melihat hal yang aneh. Tadi, gerakan tangan pemuda itu selain dahsyat, juga gerakannya indah dan gagah. Akan tetapi, begitu menangkis, pemuda itu agaknya menjadi bingung, menggerakkan tangan kekanan, agaknya untuk menghantam kearah perahu dikanan.

   "Wutt!" Tidak ada apa-apanya dalam pukulan ini dan si pemuda sendiri agaknya menjadi bingung dan kaget, bahkan lalu terpelanting jatuh kedalam perahunya sendiri! Memang A-hai merasa bingung bukan main. Tadi, secara otomatis tangannya bergerak menyambut empat batang tombak dan dia ingat benar akan gerakan ini dan merasakan betapa tangannya yang menangkis dipenuhi tenaga yang amat kuat dan hangat.

   Akan tetapi setelah tangkisannya berhasil membuat o-rang-orang yang menyerangnya terjengkang dan tombak-tombak mereka patah-patah, dia menjadi bingung, tidak tahu harus melanjutkan bagaimana. Dia tidak ingat lagi, maka diapun membuat gerakan ngawur saja dengan menghantamkan tangannya kearah perahu kedua disebelah kanan. Akan tetapi dia semakin bingung karena kini tangannya itu kosong melompong tidak ada hawa saktinya, dan pukulannya ini bahkan membuat tubuhnya terpelanting kedalam perahunya sendiri. Cepat dia merangkak bangun. Tepat pada waktunya karena pada saat dia terpelanting tadi, Si Maling Cantik dan Si Penjahat Cabul sudah melayang keatas perahunya dan menyerangnya. Kini, dalam keadaan terjepit, kembali A-hai ingat akan gerakannya.

   "Plak! Plak!" Dua orang lawannya berteriak kaget dan meloncat mundur karena tangkisan A-hai itu membuat mereka merasa betapa kedua lengan mereka tergetar hebat dan nyeri. A-hai membalas dengan serangannya. Dua orang lawan yang lihai itu tidak berani menyambut dan melangkah mundur, sedangkan dua orang anak-buahnya yang lancang menyambut dengan golok, berteriak kaget dan terlempar kedalam air karena dorongan tenaga dahsyat yang keluar dari tangan A-hai.

   Kini A-hai dikeroyok dan terjadilah perkelahian yang seru, lucu dan aneh. Kadang-kadang gerakan A-hai demikian indah dan dahsyat sehingga dua orang lihai macam Si Penjahat Cabul dan Si Maling Cantik sekalipun tidak kuat menahan. Akan tetapi, kadang-kadang gerakan A-hai demikian kacaunya dan dari kedua tangannya sama sekali tidak keluar tenaga sakti sehingga bukan hanya lawan yang menjadi bingung, bahkan A-hai sendiripun bingung. Kini tiga perahu itu sudah menempel semua dan perahu A-hai dikurung. Para pengeroyok kini tinggal tiga belas orang, akan tetapi yang berani menyerang dekat hanyalah dua orang tokoh sesat itu sedangkan anak-buah mereka hanya menyerang dari jauh dengan tombak panjang.

   Memang hebat sekali kalau pemuda itu sedang "ingat" akan ilmunya. Bukan hanya gerakannya yang hebat dan tenaganya yang dahsyat, bahkan tubuhnya juga dialiri tenaga sinkang amat kuat yang membuat tubuhnya kebal dan mata-mata tombak yang berhasil menusuknya, membalik, bahkan ada pula yang patah! Kini Jai-hwa Toat-beng-kwi yang mulai mengerti bahwa pemuda yang lihai itu ternyata masih "mentah" ilmunya, mendesak maju. Mula-mula dia melakukan tendangan kilat, dibarengi oleh hantaman tangan Pekpi Siauw-kwi dari samping, kearah tengkuk A-hai. A-hai bergerak otomatis, merendahkan tubuhnya dan membiarkan pukulan dan tendangan lewat, lalu tangannya menyambar dan dia berhasil menangkap pergelangan kaki Jai-hwa Toat-beng-kwi yang menendang tadi. Tentu saja penjahat cabul itu terkejut dan ketakutan.

   Tubuhnya sudah diangkat, akan tetapi, tiba-tiba saja A-hai kehilangan ingatannya lagi, menjadi bingung harus bergerak bagaimana dan otomatis tenaga saktinya lenyap, seperti sebuah balon yang tadinya ditiup mengembung, mendadak menjadi gembos kehilangan anginnya. Dan sekali menggerakkan kaki yang kedua, menendang kearah dada A-hai, Jai-hwa-cat itu berhasil melepaskan kakinya dari cengkeraman. Beberapa kali A-hai berhasil mendesak lawan, akan tetapi karena tidak ingat lagi akan kelanjutan gerakan silatnya, dan tidak dapat menahan tenaga saktinya agar tetap didalam kedua lengannya, semua gerakannya mandeg ditengah jalan dan dari keadaan mendesak, berbalik dia malah menerima beberapa kali hantaman, tendangan dan gebukan yang membuatnya jatuh bangun diperahunya.

   Biarpun tubuhnya secara otomatis dilindungi sinkang yang kuat sehingga tidak terluka, akan tetapi hantaman bertubi-tubi itu membuatnya babak bundas dan benjut-benjut juga! Masih untung baginya bahwa yang menghajarnya hanyalah dua orang itu, kalau saja yang muncul orang-orang macam Sanhek-houw atau Si Buaya Sakti, tentu dia akan celaka, tewas atau setidaknya terluka parah. Karena kini mengetahui rahasia A-hai, kedua orang sesat itu bersikap cerdik. Mereka tidak terlalu mendesak dan kalau melihat pemuda itu bergerak hebat, mereka malah menjauh dan mundur. Akan tetapi begitu melihat gerakan pemuda itu terhenti tiba-tiba dan pemuda itu nampak bingung, mereka menyerbu dan menghajarnya. Akhirnya, A-hai tidak dapat tahan juga dan sebuah tendangan membuatnya terjungkal keluar dari perahunya.

   "Byurrr!" A-hai yang merasakan seluruh tubuhnya memar dan perih-perih, membiarkan dirinya hanyut terbawa arus air. Untung bahwa permukaan air itu cukup gelap, tidak memungkinkan musuh-musuhnya untuk menemukannya dan sebentar saja A-hai sudah hanyut jauh.

   Sial baginya, air semakin dalam dan semakin kuat arusnya sehingga ketika dia berusaha berenang ketepinya, dia terseret terus semakin jauh dan kadang-kadang tubuhnya dihantamkan pada batu-batu besar. Tadi dia dihajar oleh pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, kini dihajar oleh batu-batu yang menghadang, sungguh sial dan dia merasa tubuhnya semakin lemas, bahkan beberapa kali dia terpaksa menenggak air! Tiba-tiba A-hai yang sudah merasa betapa tubuhnya lemas itu, terkejut dan girang. Tadinya dia mengira bahwa yang menyambar dan mengangkat tubuhnya keatas perahu itu musuh dan dia sudah siap untuk melawan lagi mati-matian. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang berada diperahu itu adalah Bwee Hong dan seorang gadis lain, dia merasa gembira bukan main sehingga ingin rasanya dia bersorak dan menari-nari!

   "Ha-ha-ha, sungguh beruntung aku!" A-hai bangkit duduk dan tersenyum lebar, wajahnya yang basah kuyup itu berseri-seri. Melihat kegirangan meluap-luap pada diri pemuda itu, Bwee Hong dan Kwa Siok Eng, gadis yang menemani Bwee Hong diperahu itu, memandang dengan alis berkerut. Terutama sekali Bwee Hong. Jangan-jangan pengobatan yang diberikan kakaknya dan ia sendiri kepada A-hai mendatangkan akibat sampingan dan membuat pemuda ini benar-benar menjadi miring otaknya, pikirnya dengan gelisah. Pemuda ini baru saja terbebas dari maut, tubuhnya memar-memar dan babak bundas, hampir saja tenggelam dan kelihatan begitu kehabisan tenaga, akan tetapi dapat tertawa-tawa gembira seperti itu.

   "A-hai, apa saja yang kau lakukan disini? bagaimana engkau tahu-tahu hanyut disungai ini?" Bwee Hong bertanya. Akan tetapi pada saat itu A-hai memandang kepada Siok Eng dan hidungnya kembang kempis.

   "Aih, nona yang berbau dupa harum! Kita berjumpa lagi disini, sungguh senang hatiku. Bukankah nona bernama eh, nona Kwa Siok Eng?"

   "Benar sekali. Aih, ingatanmu sudah mulai baik, A-hai," kata Bwee Hong girang karena ternyata kini A-hai memperlihatkan kekuatan ingat-annya, tanda bahwa pengobatan itu memperlihatkan hasilnya. Juga Kwa Siok Eng yang sudah banyak tahu tentang keadaan A-hai yang aneh itu, tersenyum mengangguk.

   "Saudara A-hai, bagaimana engkau dapat berada dalam keadaan seperti ini?" A-hai lalu bercerita sambil memeras ujung baju dan celananya, juga rambutnya yang basah kuyup.

   "Ketika engkau hilang dan kemudian kakakmu juga pergi, agaknya mencarimu, aku bingung sekali, nona Hong. Aku tidak tahu harus mencari atau mengejar kemana. Maka aku lalu mengumpulkan ingatanku tentang boneka itu. Dan aku mulai dapat membayangkan adanya sebuah rumah indah ditepi sungai, dekat air terjun. Ditempat itu aku pernah bermain-main dengan seorang anak perempuan bernama Lian Cu.

   "Ah, nama yang terukir pada boneka itu." kata Bwee Hong.

   "Benar. Aku belum ingat betul apa hubunganku dengan Lian Cu, akan tetapi aku ingat bermain-main dengannya. Lalu aku mengambil keputusan untuk mencari tempat itu, mencari rumah indah mungil dekat air terjun ditepi sungai. Aku hendak menyusuri seluruh sungai sampai dapat kutemukan tempat itu. Dan aku dihadang orang-orang jahat aku dikeroyok, untung aku masih teringat akan beberapa jurus ilmu silat, sayang hanya sepotong-sepotong dan akhirnya aku terlempar keluar perahu dan hanyut sampai kesini."

   "Aih, untung kami menemukanmu," kata Bwee Hong menarik napas panjang, merasa kagum dan heran akan keadaan dan nasib pemuda itu yang aneh.

   "Dan engkau sendiri, kenapa pergi meninggalkan aku setengah jalan dalam pengobatan itu, nona?" A-hai bertanya, alisnya berkerut sedikit tanda bahwa kenyataan itu tidak menyenangkan hatinya.

   "Aku diculik orang, A-hai." Tiba-tiba A-hai meloncat berdiri, lupa bahwa dia berada diperahu sehingga perahu itu menjadi miring dan Siok Eng berteriak mengingatkan.

   "Heiii, hati-hati... kita bisa terguling dan engkau hanyut lagi!"

   "Wah, maaf..." A-hai duduk kembali dan memandang Bwee Hong.

   "Siapa yang berani menculikmu, nona Hong?"

   "Tenanglah." Bwee Hong tersenyum dan pipinya berobah merah. Pemuda ini begitu marah mendengar ia diculik orang dan sikap ini membuat jantungnya berdebar karena pemuda aneh ini memperlihatkan saja perasaan hatinya yang demikian jelas menaruh perhatian besar terhadap dirinya.

   "Baik kuceritakan saja apa yang telah kualami sejak kita terpaksa saling berpisah dari dalam pondok mendiang gu-lojin itu."

   Bwee Hong lalu bercerita, didengarkan oleh A-hai penuh perhatian. Juga Siok Eng mendengarkan sambil mendayung perahunya dengan hati-hati agar jangan sampai menabrak batu-batu yang menonjol disungai itu. Mari kita ikuti pengalaman Bwee Hong sebelum ia lenyap dari rumah mendiang gu-lojin. Seperti kita ketahui, setelah melakukan pengobatan atas diri A-hai yang kemudian tidur nyenyak, Seng Kun keluar dari dalam rumah, meninggalkan Bwee Hong yang masih berjaga-jaga didalam membenahi perabot-perabot pengobatan. Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat memasuki ruangan itu. Bwee Hong oepat meloncat dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya berubah pucat ketika dia melihat seorang kakek bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar dan kokoh kuat, mengenakan jubah kulit harimau dan pada pinggangnya nampak sehelai rantai baja yang ujungnya dipasangi tombak jangkar.

   
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kakek itu bukan lain adalah Sanhek-houw, Si Harimau Gunung! Bwee Hong maklum bahwa dia berhadapan dengan datuk sesat yang kejam, maka tanpa banyak cakap lagi iapun menyerang dengan tangan kosong. Pedangnya tidak ada pada tubuhnya, maka ia tidak sempat mengambil pedang yang disimpan disudut ruangan. Karena maklum bahwa lawannya ini tangguh, Bwee Hong mengerahkan tenaga sinkang ketika melakukan pukulan kearah leher lawan. Akan tetapi, kakek tinggi besar itu tertawa dan sama sekali tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan menyambar kedepan untuk menangkap pergelangan tangan gadis itu. Bwee Hong terkejut, menarik kembali tangannya dan menyusulkan tendangan kilat dari samping mengarah lambung.

   "Bukkk!!" Tendangan itu tepat mengenai lambung, akan tetapi Bwee Hong menjerit karena tahu-tahu pundaknya sudah dirangkul dan dilain saat ia sudah dipondong dan ditekan pundaknya sehingga tidak mampu bergerak lagi.

   Kiranya, ia tadi gugup sehingga tergesa-gesa. Kegugupannya dimanfaatkan lawan yang lebih tangguh itu. Tendangannya diterima begitu saja sambil melindungi tubuh dengan pengerahan sinkang dan sebaliknya, sambil menerima tendangan, Si Harimau Gunung sudah menangkap dan mencengkeram pundak Bwee Hong seperti seekor harimau mencengkeram anak domba saja. Sebetulnya, biarpun ia kalah lihai, akan tetapi kalau Bwee Hong tidak gugup atau terlalu bernapsu menyerang, melainkan lebih mencurahkan kepandaian untuk berjaga diri, mengandalkan ginkangnya yang membuat tubuhnya jauh lebih cepat dan ringan dari pada lawan, belum tentu Si Harimau Gunung akan mampu menangkapnya dengan cepat.

   "Ha-ha-ha-ha!" Harimau Gunung tertawa bergelak dengan girang sekali. Dia sudah menotok jalan darah ditubuh Bwee Hong, membuat gadis itu tidak mampu melawan lagi, dan sambil tertawa-tawa dia lalu melucuti pakaian Bwee Hong, dengan gerakan kasar sekali! Bwee Hong hendak melawan, hendak meronta, namun ia tidak mampu membebaskan diri dari totokan dan melihat betapa dirinya terancam malapetaka, agaknya akan diperkosa oleh iblis itu didepan A-hai yang masih tidur atau pingsan itu, ia mengeluarkan keluhan dari rongga dadanya kemudian lemas terkulai dan jatuh pingsan!

   

Naga Beracun Eps 22 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 4 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5

Cari Blog Ini