Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 37


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 37




   Melihat gadis itu terkulai lemas dan pingsan, Sanhek-houw mendengus tak senang. Watak manusia ini memang sudah mendekati harimau, mendekati binatang buas. Seperti juga harimau yang menerkam domba, dia tidak akan merasa puas kalau tidak melihat korbannya menggelepar-gelepar didalam gigitannya. Dia ingin korbannya meronta melawan, ingin melihat darah segar yang panas. Maka begitu gadis itu terkulai pingsan, dia lalu menggeram, dan tubuh Bwee Hong lalu dipanggulnya dan sekali meloncat dia sudah keluar dari dalam rumah dan membawa lari gadis itu dengan maksud akan diperkosa kalau gadis itu sudah siuman dari pingsannya, ditempat lain.

   Akan tetapi, tiba-tiba Bwee Hong menjerit. Si Harimau Gunung terkejut. Tak disangkanya gadis itu akan siuman sedemikian cepatnya. Dia lalu menekan leher Bwee Hong untuk membuat gadis itu tidak mampu berteriak lagi, dan melemparkan gadis itu keatas rumput. Dia sudah lari agak jauh dari rumah dan kini melihat Bwee Hong sudah siuman, hatinya girang dan diapun hendak memperkosa gadis itu ditepi jalan, dilereng gunung itu! Jeritan melengking yang hanya satu kali keluar dari mulut Bwee Hong itu telah didengar oleh Seng Kun, akan tetapi karena pada saat itu Seng Kun sendiri sedang berkelahi melawan Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, maka kakak ini tidak dapat menolong adiknya. Akan tetapi, bukan hanya Seng Kun yang mendengarnya. Seorang gadis lain juga mendengar jeritan ini dan cepat gadis itu berlari mendekat.

   Gadis itu adalah Kwa Siok Eng! Dapat dibayangkan betapa kaget hati gadis ini ketika melihat Bwee Hong yang sudah tidak mengenakan pakaian luar itu rebah terlentang pingsan diatas rumput dan kakek raksasa Harimau Gunung agaknya sedang bermaksud untuk memperkosanya. Kwa Siok Eng, gadis itu, maklum akan kelihaian Harimau Gunung dan mungkin saja datuk sesat itu masih mempunyai kawan-kawan lain seperti biasanya. Untuk melawan kakek itu ia tidak takut, akan tetapi bagaimana mungkin melawan kakek yang amat tangguh berbareng harus menyelamatkan Bwee Hong? Ia lalu mempergunakan akal. Siok Eng bersembunyi ditempat gelap, Kemudian mengerahkan tenaga sakti Asap Hio sehingga terciumlah bau dupa harum yang amat menyolok keluar dari tubuhnya, lalu ia menirukan suara ayahnya menggumam,

   "Hemrn, siapa berani menghina orang Tai-bong-pai dengan melakukan kecabulan didepan mataku?"

   Ketika hidungnya mencium bau dupa harum yang menyengat hidung itu, dan mendengar suara ini, terkejutlah Si Harimau Gunung. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang tokoh aneh itu. Tai-bong-pai adalah perkumpulan aneh, tidak condong kepada para pendekar akan tetapi juga tidak pernah mau merendahkan diri memasuki golongan kaum penjahat. Dan kabarnya Tai-bong-pai memiliki kekejaman yang tiada taranya disamping kelihaiannya yang mengerikan. Tak disangkanya bahwa ditempat ini dia akan bertemu dengan ketua Tai-bong-pai, dan dia mengerti bahwa perbuatannya hendak memperkosa gadis cantik itu tentu dianggap penghinaan karena tanpa disengajanya hal itu hendak dilakukan didepan si ketua Tai-bong-pai yang dia tidak tahu entah berada dimana.

   Lebih baik mencari rekannya, Si Buaya Sakti, baru dia akan menghadapi orang Tai.-bong-pai itu dan melanjutkan pemuasan nafsunya terhadap si gadis cantik, pikirnya. Maka tanpa banyak cakap Harimau Gunung membatalkan maksudnya dan meninggalkan Bwee Hong, pergi dari situ untuk mencari Buaya Sakti yang dia yakin tidak berada jauh dari tempat itu. Tak lama kemudian terdengarlah aumannya memanggil rekannya. Begitu melihat kakek raksasa itu pergi, Siok Eng cepat meloncat keluar dan memondong Bwee Hong, dibawa lari kebelakang semak-semak. Disini ia membebaskan totokannya. Bwee Hong sadar dan terkejut, juga girang melihat Siok Eng. Akan tetapi, gadis Tai-bong-pai ini menutupi mulutnya, berbisik.

   "Enci Hong, lekas kau pakai pakaianku ini, dan kita harus cepat pergi dari sini," katanya. Bwee Hong yang melihat bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, menjadi merah mukanya dan iapun cepat mengenakan pakaian cadangan dari Siok Eng yang diberikan kepadanya. Ia bersyukur sekali bahwa dirinya belum ternoda oleh Si Harimau Gunung dan kalau membayangkan apa yang akan terjadi andaikata tidak muncul Siok Eng yang menyelamatkannya, ia bergidik ngeri.

   "Mari kita pergi"

   "Akan tetapi, A-hai dan kakakku mereka dirumah mendiang gu-lojin"

   "Kita pergi dulu, baru nanti mencari jalan" kata Siok Eng yang sudah menarik tangannya dia-jak lari. Pada saat itu terdengar bentakan keras dari Harimau Gunung yang agaknya kembali ketempat tadi dan tidak lagi menemukan tubuh gadis yang hendak diperkosanya.

   "Ketua dari Tai-bong-pai, harap keluar untuk bicara!" terdengar bentakan suara Harimau gunung. Mendengar ini, Siok Eng lalu menarik tangan Bwee Hong dan merekapun melarikan diri. Agaknya berkelebatnya bayangan mereka nampak oleh Sanhek-houw yang cepat melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Dua orang gadis itu bergegas lari menyusup-nyusup diantara pohon-pohon dan semak-semak sehingga sukarlah bagi Sanhek-houw untuk dapat mencari mereka. Raksasa ini marah sekali. Dia tahu bahwa dia tadi telah dipermainkan orang. Tidak mungkin ketua Tai-bong-pai lari terbirit-birit seperti itu. Tadi, ketika dia meninggalkan korbannya, dia merasa menyesal dan sambil menanti datangnya rekannya yang sudah dipanggilnya melalui aumannya, dia hendak menemui dulu ketua Tai-bong-pai untuk diajak berdamai.

   Akan tetapi, ternyata gadis itu telah lenyap dan dia melihat berkelebatnya dua bayangan gadis yang bertubuh ramping maka segera dikejarnya. Dengan hati mengkal Sanhek-houw berputar-putar didalam hutan itu, mencari-cari korbannya. Akhirnya, dengan kesal dia lalu meninggalkan hutan, hendak kembali kedusun mencari Buaya Sakti yang belum juga datang membantunya. Ketika dia berlari sampai diluar dusun, tiba-tiba dia melihat bayangan dua orang dari jauh. Timbul lagi harapannya, dan dia mempercepat larinya mengejar. Akan tetapi setelah dekat, hatinya menjadi semakin kesal karena dua orang itu bukanlah dua orang gadis yang tadi dikejarnya, melainkan seorang laki-laki dan seorang perempuan setengah tua, keduanya mengenakan pakaian putih sederhana.

   "Heh, petani-petani busuk!" bentaknya dengan sikap kasar sekali.

   "Hayo katakan apakah kalian melihat dua orang gadis cantik lewat disini. Kalau tidak bicara dengan baik kalian akan kuhajar dan kupatah-patahkan tulang punggungmu!" Memang sengaja Harimau Gunung yang sudah marah ini mencari gara-gara agar ada tempat untuk melampiaskan kemarahannya. Dia mengharapkan dua orang itu marah-marah agar dia dapat membunuh mereka seperti ancamannya tadi! Siapapun orangnya tentu akan marah kalau mendengar ucapan seperti itu. Dan dua orang setengah tua itupun marah, walaupun kakek pakaian putih itu tidak berkata apa-apa. Si neneklah yang marah dan melangkah maju.

   "Harimau iblis, agaknya engkau sudah ingin disembahyangi!" katanya dan tiba-tiba saja nenek itu menerjang kedepan dan mendorongkan telapak tangannya kearah Si Harimau Gunung. Hawa pukulan yang kuat menyambar dan tercium bau dupa harum yang amat keras. Sanhek-houw terkejut dan cepat dia menangkis.

   "Desss!" Dia terhuyung kedekat kakek itu dan tubuhnya terasa panas seperti dibakar.

   "Huhh!" Kakek itupun mendengus dan tangannya menampar. Tercium bau hio yang lebih keras lagi. Melihat tangan yang menyambar kearah kepalanya, Si Harimau Gunung cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya walaupun kepalanya masih pening dan tubuhnya terasa panas.

   "Blarrrr!" Harimau Gunung mengeluh dan tubuhnya terpelanting. Seluruh tubuhnya kini terasa dingin sekali. Dia bergidik dan cepat menggulingkan tubuhnya, meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang kepada kakek dan nenek itu.

   "Kiranya kau, kau..." dan diapun meloncat kebelakang sambil bergidik, menyusut sedikit darah dari ujung mulutnya dan lari secepatnya. Sialan, pikirnya, kiranya dia benar-benar bertemu dengan ketua Tai-bong-pai! Siapa lagi kalau bukan ketua Tai-bong-pai, mungkin dengan isterinya, yang memiliki kepandaian sehebat itu? Kembali dia bergidik. Masih untung bahwa mereka tidak berniat membunuhnya! Kini dia maklum bahwa biar dibantu Si Buaya Sakti sekalipun, dia tidak akan kuat menandingi kakek dan nenek pakaian putih itu.

   Kecuali kalau Raja Kelelawar sendiri yang datang membantunya. Kakek dan nenek berpakaian putih itu memang suami-isteri Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai. Mereka berdua sedang mencari puteri dan putera mereka. Hati mereka kesal, maka mereka menghajar Si Harimau Gunung, walaupun mereka tidak bermaksud bermusuh dengan kaum sesat. Oleh karena itulah mereka tidak mengejar datuk itu dan melanjutkan perjalanan mereka menyelidiki dan mencari anak-anak mereka. Sementara itu, Siok Eng dan Bwee Hong sudah keluar pula dari dalam hutan. Dari jauh saja, Siok Eng telah dapat mencium bau hio keras itu ketika suami-isteri Kwa Eng Ki menghajar Si Harimau Gunung. Gadis ini nampak terkejut dan cepat ia menarik tangan Bwee Hong, diajaknya gadis itu masuk kedalam hutan.

   "Wah, enci Hong, itu ayah dan ibu telah datang pula kesini! Aku pergi dari rumah tanpa persetujuan mereka dan sudah beberapa bulan aku tidak pulang. Mereka tentu sedang mencariku dan aku belum mau pulang sekarang. Kita bersembunyi dulu disini sampai mereka pergi." Bwee Hong mengangguk. Ia dapat mengerti keadaan Siok Eng. Sahabatnya ini adalah puteri dari ketua Tai-bong-pai dan iapun mendengar bahwa keluarga Tai-bong-pai adalah orang-orang yang dianggap iblis oleh dunia kang-ouw. Tidak heran kalau cara hidup merekapun aneh sekali sehingga seorang anak perempuan pergi tanpa pamit dan takut ditemukan ayah-bundanya, takut dipaksa dan diajak pulang. Sungguh aneh!

   Akan tetapi ia tidak mau menyinggung hati sahabatnya dengan menyatakan keheranannya, dan iapun ikut bersembunyi. Pengalamannya ketika terculik oleh Harimau Gunung tadi saja sudah amat mengerikan, dan ia takut kalau-kalau bertemu lagi dengan iblis itu. Tentang keadaan A-hai, ia tidak khawatir karena bukankah disana terdapat kakaknya? malam itu mereka berdua bersembunyi didalam hutan, tidak berani banyak bersuara, bahkan tidak berani membuat api unggun. Mereka hanya mengandalkan tenaga sinkang untuk melawan dinginnya sang malam. Pada keesokan harinya, barulah kedua orang gadis itu berani keluar dari dalam hutan. Dengan hati-hati mereka menuju kerumah mendiang gu-lojin. Akan tetapi, ternyata rumah itu kosong.

   A-hai maupun Seng Kun tidak nampak berada didalam rumah. Bwee Hong lalu mengajak Siok Eng pergi kedusun nelayan untuk mencari mereka. Namun didusun ini juga mereka tidak menemukan dua orang pemuda itu. Dan dari para nelayan inilah mereka mendengar akan apa yang terjadi malam tadi. Mereka mendengar akan munculnya dua orang kakek iblis yang mereka dapat menduganya tentulah Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti. Kemudian datangnya seorang kakek dan seorang pemuda bersama Seng Kun yang mencari dua orang kakek iblis itu, kemudian betapa tiga orang ini melakukan pengejaran menggunakan perahu ketika mendengar betapa dua orang kakek iblis itu merampas perahu seorang nelayan. Kemudian mereka mendengar akan munculnya A-hai yang juga membeli sebuah perahu dan mendayung perahu itu seorang diri.

   "Demikianlah, kami berdua lalu menggunakan perahu melakukan pengejaran karena menurut para penghuni dusun, engkau pergi belum lama," kata Bwee Hong menutup ceritanya kepada A-hai.

   "Dan akhirnya kami dapat menemukanmu dalam keadaan hanyut dan hampir tenggelam."

   "Wah, wah, engkau selalu menjadi bintang penolongku, nona Hong." A-hai berkata dengan terharu. Dia teringat betapa baiknya gadis ini dan kakaknya, yang bahkan berjasa pula dalam mengobati dirinya dan berusaha memulihkan ingatannya.

   "Aih, jangan berkata demikian, A-hai. Bukankah engkau sebaliknya yang sudah berkali-kali menyelamatkan diriku dari bencana?" Melihat betapa dua orang ini saling merendah dan saling memuji, Siok Eng terbatuk-batuk. karena batuknya ini batuk buatan, Bwee Hong menoleh dan menegur dengan pipi merah,

   "Ih, apa artinya engkau batuk-batuk itu, adik Eng?" Siok Eng menutupi mulut dan tersenyum.

   "Kalian saling berebutan merendahkan diri dan saling memuji. Sudahlah, anggap saja kalian saling hutang budi dan saling berkewajiban untuk membalas budi, hi-hik " Bwee Hong mengerutkan alisnya.

   "Maksudmu?"

   "Maksudku adalah seperti yang kau maksudkan didalam lubuk hatimu, enci" Kedua pipi itu menjadi semakin merah.

   "Adik Eng, jangan main-main kau. Dan jangan bicara seperti main teka-teki. Apa yang kau maksudkan?" Siok Eng hanya tertawa dan sikap inilah yang membuat Bwee Hong tiba-tiba mengerti apa yang dimaksudkan sahabatnya itu, maka didalam, gelap ia mencubit lengan Siok Eng dengan keras, akan tetapi tidak berkata apa-apa karena takut kalau A-hai akan tahu apa yang dimaksudkan oleh Siok Eng dengan godaannya itu. Siok Eng telah menyindir dan menggoda mereka, menjodohkan mereka! Memang sesungguhnya A-hai tidak mengerti akan kelakar dua orang gadis itu dan diapun bertanya,

   "Kita kemana sekarang?" Pertanyaannya diajukan kepada Siok Eng yang mengemudikan perahu.

   "Sebaiknya kita pergi ketempat A-hai dikeroyok orang. Tentu ada sesuatu ditempat itu dan siapa tahu kalau-kalau kakakku juga berada disana."

   "Baik, kita kesana sekarang juga!" Tiba-tiba Siok Eng berkata dengan tegas sambil mendayung perahunya. Melihat ini, Bwee Hong tersenyum dan mendekati Siok Eng, berkata lirih didekat telinga gadis itu.

   "Engkau tentu sudah ingin sekali segera berjumpa dengan kakakku, bukan?" Akan tetapi, sejak kecil Siok Eng mempunyai lingkungan hidup yang berbeda dengan Bwee Hong. Sebagai puteri ketua Tai-bong-pai, ia sudah biasa bergaul dengan orang-orang aneh yang hidupnya tidak begitu terbelenggu oleh segala macam sopan-santun dan kepura-puraan yang munafik. Apa yang berada dalam hatinya tidak ditutup-tutupinya dengan malu-malu lagi, maka iapun mengangguk dan menjawab dengan suara serius,

   "Benar, enci Hong. Aku harus cepat bertemu dengan dia dan melihat dia dalam keadaan selamat, barulah hatiku akan merasa tenteram." Jawaban ini sudah jelas sekali bagi Bwee Hong, akan tetapi A-hai hanya termangu-mangu diujung perahu, masih berusaha mengeringkan bajunya yang basah. Dia mendengar ucapan itu dalam arti kata-kata biasa saja, sama sekali tidak melihat bahwa ucapan itu mengandung perasaan hati gadis Tai-bong-pai itu terhadap Seng Kun. Perahu didayung oleh A-hai menurut petunjuk Siok Eng dan menjelang sore hari tibalah mereka ditempat pengeroyokan itu. Akan tetapi tempat itu sunyi saja dan nampak perahu A-hai ditepi sungai.

   "Itu perahuku!" kata A-hai yang mendayung kepinggir. Dengan girang dia mengambil buntalan pakaiannya.

   "Aku mau berganti pakaian kering!" katanya sambil lari kebelakang semak-semak. Tak lama kemudian diapun keluar dan sudah memakai pakaian kering dan sikapnya gembira sekali. Memang hatinya gembira setelah dia dapat berkumpul kembali dengan Bwee Hong.

   "Disini sunyi tidak ada seorangpun manusia," kata Siok Eng.

   "Tapi ini banyak bekas kaki orang," kata Bwee Hong. Mereka lalu melalui jalan setapak, mengikuti jejak kaki banyak orang yang menuju kebukit-bukit didepan. Ketika melihat sebuah pondok bambu yang kosong, mereka masuk. Banyak terdapat bekas kaki disitu, juga diatas meja kasar terlihat corat-coret gambar semacam peta dan ada tulisan Pesanggrahan Hutan Cemara.

   "Wah, aku mengenal tempat itu!" Tiba-tiba A-hai berkata.

   "Telah beberapa kali aku kesana mengantarkan arak!" Hari telah malam, akan tetapi karena mengenal jalan, A-hai dapat membawa kedua orang temannya menuju kepesanggrahan yang dimaksudkan itu. Mereka melewati kedai arak yang pernah menjadi langganan A-hai. Kedai itu tertutup rapat, dan nampak bekas keributan dan perkelahian yang membuat beberapa bagian dari kedai itu jebol dan rusak. Agaknya keributan besar terjadi disitu. Sama sekali tidak mereka ketahui betapa didalam kedai itu telah terjadi keributan dan perkelahian antara rombongan para penjahat melawan para anggauta Liong-i-pang dan dikedai itupun hadir pula Liu Pang dan Ho Pek Lian seperti yang telah diceritakan dibagian depan.

   Tiga orang itu melanjutkan perjalanan, dengan A-hai sebagai penunjuk jalan, menuju ke Pesanggrahan Hutan Cemara, yaitu pesanggrahan Kaisar yang hanya dipergunakan diwaktu Kaisar mengadakan perburuan. Malam sudah larut,-sudah lewat tengah malam ketika mereka bertiga tiba dipesanggrahan itu. Dan disinipun mereka melihat bekas-bekas pertempuran hebat yang membuat bangunan pesanggrahan yang mungil itu porak-poranda. Melihat akibat yang demikian parah, dapat diduga bahwa pertempuran yang terjadi ditempat itu amatlah hebatnya. Sebagian bangunan nampak bekas terbakar dan darah masih nampak berceceran disana-sini, berwarna kehitaman dan sudah mengering.

   "Ssttt, ada orang!" kata Siok Eng berbisik dan mereka bertiga lalu menyelinap kebelakang semak-semak. Muncullah seorang laki-laki bertubuh pendek dari dalam bangunan yang bekas terbakar dan sinar bulan membuat wajah laki-laki pendek itu nampak pucat sekali. Melihat wajah itu, Bwee Hong segera mengenalnya. Orang itu bukan lain adalah Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan Istana yang setia itu. Tentu orang itu tahu akan semua hal yang terjadi, mungkin tahu pula dimana adanya kakaknya. Maka Bwee Hong lalu keluar dari tempat sembunyinya, diikuti oleh Siok Eng dan A-hai. Dua orang inipun telah mengenal muka cebol yang lihai itu dan mereka merasa agak khawatir. Tadinya Tong Ciak nampak terkejut, akan tetapi ketika dia mengenal Bwee Hong, diapun merasa lega dan menghampiri mereka.

   "Ah, kiranya nona Chu yang datang," katanya.

   "Tong-ciangkun, kenapa ciangkun berada disini dan apakah yang telah terjadi ditempat ini? Kulihat ada bekas-bekas pertempuran." Si pendek itu menarik napas panjang dan nampak berduka. Dia mengepal tinju yang diamangkan kearah bulan, menahan diri yang agaknya ingin menyumpah-nyumpah, lalu berkata,

   "Sudahlah, apa artinya dipertahankan lagi? Nona Chu, kalau nona bertemu dengan ayahmu, tolong sampaikan bahwa aku Tong Ciak mengirim hormat dari jauh dan bahwa aku tidak akan kembali lagi ke Istana." Bwee Hong mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa panglima ini menghormati ayahnya, yaitu Bu Hong Tojin dan ia tidak perduli apa yang akan dikerjakan oleh orang ini. Akan tetapi ia ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi maka panglima cebol yang lihai ini kelihatan murung, berduka dan putus harapan, maka iapun menjawab,

   "Baik, ciangkun, akan kusampaikan. Akan tetapi apakah yang terjadi dan ciangkun hendak pergi kemanakah?"

   "Aku akan kembali ke Bawa Pasir. Tidak ada gunanya lagi mengabdi di Istana setelah Kaisar terbunuh. Yang berada di Istana sekarang adalah kaum pencoleng dan penjahat, begundal-begundal Perdana Menteri Li Su yang lalim dan Chao thai-kam yang korup." Si cebol menarik napas panjang.

   "Mereka, dipimpin oleh Raja Kelelawar, telah berhasil merampas jenazah Sribaginda. Kakakmu dibantu oleh dua orang temannya melakukan pengejaran karena mereka mengira bahwa para penjahat itu membawamu, nona. Akan tetapi sungguh perbuatan mereka itu amat berbahaya. Raja Kelelawar sungguh amat lihai sekali dan dia masih dibantu oleh pentolan-pentolan kaum sesat yang berilmu tinggi."

   "Kalau begitu, aku harus menyusul Kun-koko," kata Bwee Hong.

   "Akupun akan pergi sekarang juga, harap engkau suka berhati-hati, nona. kaum sesat itu selain kejam dan jahat, juga amat lihai. Aku sendiri sudah terluka, dan perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga dan kesehatan."

   Mereka lalu berpisah dan Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai malam itu juga meninggalkan tempat itu. Mereka lebih suka melewatkan malam ditempat lain dari pada dibekas pesanggrahan yang terbakar itu. Mereka bermalam ditepi hutan dan pada keesokan harinya barulah mereka melanjutkan perjalanan ke Kotaraja, untuk menyusul Seng Kun. Tiga orang itu melakukan perjalanan cepat, akan tetapi kadang-kadang mereka terpaksa mengurangi kecepatan karena kalau dua orang gadis itu mengerahkan ilmu lari cepat mereka, tentu A-hai akan tertinggal. Selain itu, juga sering kali secara tiba-tiba A-hai berhenti dan termenung, memeras otaknya untuk mengingat-ingat ilmu silat yang pernah dipelajarinya.

   "Perlu apa melelahkan pikiran dengan mengingat-ingat ilmu silat yang pernah kau pelajari dalam keadaan seperti sekarang ini, A-hai?" pertanyaan Bwee Hong ini dimaksudkan bahwa mereka bertiga sedang tergesa-gesa mencari dan mengejar Seng Kun, maka bukanlah waktunya yang tepat untuk sering kali berhenti dan mengingat-ingat ilmu silat. Akan tetapi A-hai salah mengerti dan menjawab dengan sungguh-sungguh,

   "Justeru dalam keadaan seperti sekarang ini maka perlu aku mengingat semua ilmu yang pernah kupelajari, nona Hong. Dimana-mana terjadi kekalutan dan aku melihat betapa ilmu silat amat diperlukan pada waktu sekarang ini. Orang-orang jahat berkeliaran, kalau tidak memiliki kepandaian silat, tentu celaka karena tidak mampu melindungi diri sendiri. Maka perlu sekali aku mengingat-ingatnya, dan agaknya samar-samar aku mulai teringat akan gerakan ilmu silat yang pernah kupelajari." Sambil berkata demikian, kaki tangannya bergerak-gerak secara aneh dan mulutnya bicara kepada diri sendiri,

   "Setelah kaki digeser kekiri, tangan harus mencengkeram kearah ubun-ubun lawan. Begini! Ah, benar"

   Dia melakukan gerakan kaki menggeser kekiri itu dan tangannya mencuat dengan cengkeraman aneh keatas. Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi Bwee Hong dan Siok Eng dapat mengenal ilmu silat yang amat aneh dan hebat. Sayang hanya sepotong-sepotong, akan tetapi gerakan yang kelihatan sederhana itu memiliki dasar kecepatan yang mengerikan, bahkan setiap kali tangan digerakkan, terdengar suara mengaung atau berdesing seperti sebatang pedang yang baik disentil atau diayunkan. Tenaga sinkang yang hebat tersembunyi didalam gerakan itu tanpa disadari oleh A-hai sendiri! Siok Eng yang bahkan memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari Bwee Hong, juga memandang kagum lalu mengajukan usulnya,

   "Alangkah baiknya kalau engkau merangkai gerakan-gerakan itu, dari awal mula. Tentu saja yang engkau ingat, saudara A-hai. Tanpa dirangkai, gerakan-gerakan itu menjadi kacau tidak karuan ujung pangkalnya." A-hai yang mendengar usul ini termenung, mengangguk-angguk, lalu kedua alisnya yang tebal itu berkerut, tanda bahwa dia mulai mengerahkan ingatannya.

   "Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi harap nona berdua tidak mentertawakan." Siok Eng dan Bwee Hong lalu duduk dibawah pohon dengan hati gembira. Mereka ingin sekali melihat A-hai, dalam keadaan sadar, dapat mengingat dan menguasai ilmu-ilmunya yang mujijat. Setelah memandang kepada dua orang gadis itu dengan malu-malu, A-hai lalu agak menjauh dan mulailah dia memasang kuda-kuda. Mula-mula A-hai berdiri tegak, menghadap kearah dua orang nona yang menjadi penonton itu, lalu mengangkat kedua tangan kedepan dada sebagai tanda penghormatan. Kemudian dia menurunkan kedua tangannya, terus kedua lengan dibuka dan dipentang kekanan kiri dengan jari-jari terbuka membuat gerakan seperti burung terbang dan kedua lengan itu seperti menjadi sepasang sayapnya, perlahan-lahan kaki kanan diangkat dan diturunkan lagi kedepan dalam keadaan berjungkit.

   Tiba-tiba saja terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulang ditubuh pemuda itu dan sepasang matanya mencorong menakutkan, sedangkan dari ubun-ubun kepalanya nampak uap tipis mengepul. Bwee Hong terbelalak dan tak terasa lagi ia memegang lengan kawannya erat-erat saking tegang hatinya dan khawatir kalau-kalau A-hai kumat lagi! Tenaga dahsyat yang seolah-olah bangkit dalam diri A-hai itu, makin lama nampak semakin hebat sehingga mempengaruhi keadaan sekeliling. Bahkan dua orang nona itu merasakan getaran yang aneh walaupun A-hai belum menggerakkan kaki tangannya dan baru mulai dengan pemasangan kuda-kuda saja. Sepasang mata yang sudah mencorong hebat itu kini perlahan-lahan menjadi redup kembali, uap diatas kepalanyapun lenyap dan sikap A-hai nampak kebingungan dan ketolol-tololan lagi. Diapun menurunkan kedua tangannya dan nampak lesu.

   "Wah, sudahlah, aku lupa lagi bagaimana untuk melanjutkan!" katanya dengan nada suara kesal. Tentu saja Siok Eng dan Bwee Hong yang tadinya sudah merasa tegang sekali dan juga gembira, menjadi kecewa dan ikut lemas seperti balon kembung kini dikempiskan.

   "A-hai, jangan putus harapan. Cobalah lagi. Engkau sudah hampir berhasil tadi!" Bwee Hong membujuk.

   "Benar, saudara A-hai, engkau sudah berhasil dengan pasangan kuda-kuda itu," Siok Eng juga memuji.

   "Cobalah lagi, A-hai dan karena kuda-kudamu sudah benar, jangan terlalu kerahkan pikiranmu untuk itu, melainkan untuk mengingat gerak lanjutannya," sambung Bwee Hong. Didorong semangat oleh dua orang gadis itu, akhirnya A-hai menjadi gembira juga dan dicobanya lagi berkali-kali, kalau lupa dia mulai lagi dari permulaan. Akhirnya berhasil juga! Ketika dia melakukan gerakan pertama memasang kuda-kuda, agaknya kini gerakannya itu benar-benar sempurna.

   Uap yang mengepul diatas kepalanya semakin tebal dan tiba-tiba terjadilah keanehan yang membuat kedua orang dara itu terbelalak dan wajah mereka berobah. Mata mereka memandang kepada A-hai seperti orang yang tidak percaya akan apa yang mereka saksikan. Uap yang mengepul diatas kepala A-hai itu kini terbagi menjadi dua warna. Yang sebelah kiri berwarna putih seperti uap tebal biasa, akan tetapi yang sebelah kanan berwarna kemerahan! Uap itu mengepul keatas setinggi satu meter. Tentu saja dua orang dara yang selama hidupnya belum pernah melihat hal seperti itu, bahkan mendengarpun belum, menjadi melongo dan dapat menduga bahwa tenaga sinkang yang dimiliki oleh A-hai sungguh luar biasa anehnya dan amat hebat. Akan tetapi, mereka sengaja menahan mulut dan tidak mengeluarkan kata-kata agar A-hai tidak menjadi bingung atau kikuk.

   Mereka diam saja dan memperhatikan dengan kedua mata terbelalak, mengikuti setiap gerakan kaki dan tangan A-hai. Kini gerakan A-hai mulai lancar, walaupun masih dilakukan dengan perlahan dan lambat. biarpun begitu, dua orang dara itu memandang dengan melongo dan semakin takjub melihat keadaan yang benar-benar amat luar biasa dari pemuda itu. Kini perlahan-lahan anggauta tubuh A-hai juga mengalami perobahan warna. Agaknya warna pada uap yang mengepul diatas kepala pemuda itu kini mempengaruhi tubuhnya sehingga separuh tubuhnya yang sebelah kiri menjadi keputih-putihan, sedangkan separuh tubuh sebelah kanan menjadi kemerah-merahan. Tentu saja wajah yang tampan itu nampak aneh dan mengerikan karena menjadi dua warna, merah dan putih seperti dicat saja dengan warna muda.

   Dari perasaan takjub dan kagum, kini dua orang dara itu merasa khawatir juga. Bahkan Bwee Hong menjadi gelisah karena biarpun ia mengikuti kakaknya mengusahakan pengobatan terhadap A-hai, namun ia sama sekali tidak dapat mengetahui dengan pasti, apa yang sedang terjadi dan berobah didalam tubuh pemuda itu dan iapun merasa tidak berdaya untuk menghentikannya. Kalau saja disitu terdapat kakaknya. Kakaknya adalah seorang ahli pengobatan yang sudah mewarisi kepandaian mendiang kakek mereka, sedangkan ia sendiri hanya mengetahui cara pengobatan umum saja, tidak terlalu mendalam seperti kakaknya. Kalau kakaknya berada disini dan menyaksikan keadaan A-hai, tentu akan tertarik sekali dan mungkin dapat menerangkannya.

   Kini A-hai mengeluarkan suara mendengus beberapa kali dan gerakan tubuhnya sangat aneh. Dia hanya menggerakkan kaki dan tangan kirinya saja, bahkan yang bergerak hanya tubuh bagian kiri. Mata kirinya melirik-lirik akan tetapi mata kanannya bengong dan diam saja! Bagian tubuh kiri yang putih itulah yang bergerak, sedangkan bagian tubuh kanan yang merah hanya terseret, tidak ikut-ikut bergerak. Tentu saja dua orang dara itu terbelalak dan bulu tengkuk mereka meremang menyaksikan keanehan yang menggiriskan dan menakutkan ini. Bwee Hong makin gelisah. Gerakan itu kini terasa mendatangkan hawa dingin yang luar biasa sekali, yang seperti terasa menyusup tulang oleh dua orang dara. Uap berwarna putih diatas kepala A-hai itupun menghilang, tinggal yang berwarna merah saja yang mengepul.

   Akan tetapi, biarpun yang bergerak itu hanya anggauta tubuh kiri, hebatnya bukan kepalang. setiap jari tangan kiri yang bergerak melakukan totokan-totokan dan mengeluarkan bunyi mendesis-desis seperti bara api tersiram air hujan. Agaknya, kelancaran gerakannya membual A-hai menjadi semakin bersemangat. Kadang-kadang pemuda itu menghentikan gerakannya, mengingat-ingat sebentar lalu melanjutkan lagi. Akan tetapi, pada suatu gerakan yang nampak aneh dan indah, ketika dia menggeser kakinya kekiri, dia termangu-mangu dan tidak mampu melanjutkan lagi, tubuhnya masih condong kedepan dan karena dia mengingat-ingat dan menghentikan gerakannya, dia menjadi seperti patung yang lucu. Akhirnya dia menyerah karena tidak mampu mengingat kelanjutan gerakan ini.

   "Wah, sudahlah... cuma sampai disini saja ingatanku." Dan diapun menghentikan permainan silatnya dan duduk diatas rumput dengan hati kesal. Pagi telah menjelang. Kabut pagi yang dingin membuat dua orang dara yang seperti baru sadar dari mimpi itu kedinginan. Mereka menarik napas panjang, seperti baru kembali dari alam khayal yang mentakjubkan. Mereka disuguhi tontonan Ilmu silat yang langka dan yang hebat luar biasa.

   "Ehh? Putih-putih dirambutmu itu apakah hujan salju?" tiba-tiba Siok Eng menunjuk kearah rambut Bwee Hong. Dara ini mengangkat muka memandang dan iapun melihat betapa dirambut Siok Eng terdapat benda-benda putih seperti kapas, bahkan di Puncak-puncak daun dan rumput disekitar mereka terdapat salju.

   "A-hai, apakah hujan salju? Pantas begini dingin!" kata Bwee Hong sambil menoleh kepada A-hai.

   "Hujan salju? Entahlah, aku tidak tahu, nona," kata A-hai yang masih tenggelam kedalam lamunan, mengingat-ingat ilmu silatnya.

   "Hei, kenapa tidak ada salju dirambut A-hai?" Bwee Hong berseru sambil bangkit dan mendekati pemuda itu. Siok Eng juga memeriksa sekitar situ, yang kini tidak begitu gelap lagi karena fajar mulai menyingsing.

   "Eh, disinipun tidak ada salju, yang ada hanya kabut dan embun di Puncak-puncak daun." Siok Eng juga berseru. Mereka memeriksa keadaan yang aneh itu dan akhirnya mereka sadar dengan penuh takjub bahwa salju itu tercipta sebagai akibat dari pada pengaruh ilmu silat aneh dari A-hai! Kiranya, pukulan-pukulan yang dilakukan A-hai mengandung tenaga sinkang mujijat yang dingin, yang agaknya dapat membuat embun-embun tipis disekitar tempat itu berobah menjadi salju. Luar biasa sekali! Sambil menanti datangnya pagi, mereka duduk dan dua orang gadis itu memuji-muji ilmu silat yang baru saja diperlihatkan oleh A-hai. Akan tetapi A-hai menggeleng kepalanya.

   "Masih kacau-balau, belum tersusun baik," katanya, bukan untuk merendah melainkan karena dia memang belum merasa puas dan tahu bahwa ilmu yang diingatnya itu tidak lengkap.

   "Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku mendengar, apa lagi melihat, ilmu silat seperti yang kau mainkan tadi, saudara A-hai. Hanya sayang sekali, mengapa engkau bersilat hanya dengan sebelah kaki dan sebelah tangan? Kalau saja engkau menggunakan semua kaki tanganmu, tentu Ilmu itu akan menjadi semakin hebat dan ampuh." A-hai menunduk dari mukanya berobah merah, lalu dia mengangkat mukanya lagi, memandang kepada Siok Eng sambil tersenyum sedih.

   "Akan tetapi yang kuingat memang hanya digerakkan oleh satu tangan saja."

   "A-hai, tadi engkau mengatakan sebelum engkau mulai bersilat, bahwa ketika kakimu bergeser kekiri, seharusnya engkau mencengkeram kearah ubun-ubun lawan. Apa yang kau maksudkan dengan itu?" Bwee Hong mengingatkan. A-hai meloncat bangun, menepuk kepalanya.

   "Aih, benar! Seharusnya jurus terakhir tadi dilanjutkan, ketika kaki bergeser kekiri, tangan kananku harus mencengkeram kearah ubun-ubun lawan dengan jurus Pai-in-jut-sui (Mendorong Awan Keluar Puncak). Ya, begitulah!" katanya dengan girang seperti seorang anak kecil yang menemukan kembali mainannya yang hilang.

   Dengan semangat baru yang meluap-luap A-hai kembali memainkan ilmu silatnya, melanjutkan dengan gerakan yang terlupa tadi setelah keadaannya kembali seperti tadi, yaitu tubuhnya berobah menjadi dua warna. Dengan suara menggeram dahsyat, ketika kakinya bergeser kekiri, tiba-tiba tangannya mencuat kedepan dan mencengkeram keatas. Terdengar suara mendesis dan pohon didepan A-hai tergetar keras, air embun yang tadinya menempel diujung daun-daun berhamburan kebawah dalam keadaan berobah menjadi salju yang melayang turun seperti kapas. Sampai disini, A-hai berhenti dan mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Tiba-tiba, kaki kanannya yang sejak tadi seperti mati atau hanya mengikuti gerakan kaki kiri dalam keadaan terseret, kini ditekuk dan melangkah kedepan. Tangan kanannya dengan terbuka kini mencengkeram kedepan.

   "Wuuuuttt!" Hawa panas menyambar keluar dari telapak tangan itu dan uap merah yang mengepul diatas kepalanya lenyap. Cengkeraman tangan kanan itu menyambar keatas dan butiran-butiran salju yang teriadi oleh tenaga pukulan tangan kirinya tadi kini lenyap dan menguap menjadi seperti kabut. Lebih hebat lagi, daun-daun yang tergantung paling rendah dipohon itu menjadi layu seperti terlanda hawa panas yang hebat.

   "Bukan main!" Siok Eng berbisik kagum. Ia adalah puteri ketua Tai-bong-pai dan sudah banyak melihat ilmu-ilmu aneh dan hebat dari orang-orang pandai. Akan tetapi apa yang disaksikannya ini sungguh membuat ia takjub. Bagaimana seorang bisa bersilat seperti itu? Kedua kaki dan kedua tangan itu membuat gerakan sendiri-sendiri, seperti dikemudikan oleh dua otak. Bahkan kedua mata pemuda itupun bekerja sendiri-sendiri, melirak-lirik mengikuti gerakan bagian masing-masing.

   "Hebat sekali permainanmu, A-hai!" Bwee Hong juga memuji. Pujian ini membuat ingatan A-hai menjadi buntu lagi dan betapapun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu melanjutkan. Akan tetapi dia tidak kecewa lagi karena hasil ingatannya sekali ini sudah baik sekali. mereka lalu beristirahat sambil makan pagi yang dikeluarkan oleh Siok Eng dan A-hai, yaitu roti kering dan dendeng asin. A-hai masih mempunyai arak untuk menghangatkan perut melawan hawa dingin.

   Setelah makan pagi, mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Kini pandangan Siok Eng terhadap A-hai lain. Ia bersikap hormat dan didalam hatinya ia memandang pemuda itu sebagai seorang yang lebih pandai dari padanya, sama sekali tidak memandang rendah sebagai seorang pemuda yang kehilangan ingatannya. Ketika mereka tiba didataran rendah, dari jauh nampak iring-iringan tandu dikawal oleh belasan orang perajurit yang gagah perkasa. Mereka cepat menyelinap bersembunyi dan memperhatikan ketika iring-iringan itu lewat didepan tempat persembunyian mereka. Diam-diam Bwee Hong terkejut. Tidak salah lagi. Tandu-tandu yang terisi wanita-wanita tua muda dan anak-anak itu tentu datang dari Kotaraja, agaknya merupakan keluarga bangsawan.

   Timbul pertanyaan dihatinya. mengapa mereka meninggalkan Kotaraja dan siapakah mereka? Akan tetapi ia tidak mau mencari perkara dengan banyak bertanya, khawatir kalau-kalau dicurigai dan malah bentrok dengan para pengawal itu. Mereka sedang meninggalkan Kotaraja dan nampak tergesa-gesa, tentu banyak kecurigaan mereka kalau ada orang bertanya-tanya dijalan. Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dan disepanjang perjalanan Bwee Hong selalu mencari keterangan tentang Raja Kelelawar yang membawa jenazah, juga tentang kakaknya yang ditemani dua orang yang belum diketahuinya siapa. Menurut keterangan yang diperolehnya dari penghuni dusun nelayan, yang menemani kakaknya adalah seorang pemuda tampan dan seorang kakek tua memegang tongkat.

   Biarpun Bwjee Hong selalu bertanya kepada orang-orang didalam perjalanan tentang mereka itu, tidak ada seorangpun yang dapat memberi keterangan, tidak ada yang melihat orang-orang yang ditanyakannya itu. Pada suatu pagi perjalanan mereka terhalang oleh sebuah sungai. Mereka berhenti didusun penyeberangan. Untuk menyeberang, orang harus naik perahu penyeberangan yang disediakan didusun itu. Akan tetapi pada saat itu, tidak terdapat perahu ditepi sini karena semua perahu dikerahkan untuk menjemput orang-orang yang berjubel diseberang sana dan hendak menyeberang kesini. Melihat keadaan ini, A-hai mendekati seorang anak laki-laki belasan tahun yang berada disitu. Anak inipun membantu para tukang perahu dan nampaknya cerdik.

   "Adik kecil, kenapa banyak sekali orang-orang menyeberang dari sana, sedangkan aku tidak melihat seorangpun yang hendak menyeberang dari sini kesana?"

   "Mereka adalah para pengungsi," jawab anak itu.

   "Pengungsi dari mana dan kenapa mengungsi?" tanya pula A-hai. Anak itu memandang wajah A-hai seperti merasa heran mengapa ada orang yang tidak tahu akan keadaan geger pada waktu itu.

   "Kabarnya pasukan pemerintah telah mundur, dan pasukan pemberontak sudah mendekati Kotaraja. Pasukan yang mundur sudah sampai diseberang sana. Para pengungsi itu datang dari utara hendak keselatan." Mendengar jawaban ini, Bwee Hong dan Siok Eng saling pandang dengan A-hai. Kalau begitu, iring-iringan tandu yang mereka jumpai itu tentulah para pengungsi dari bangsawan atau pejabat Kotaraja yang hendak menyelamatkan diri karena Kotaraja sudah terancam oleh para pemberontak. Sebuah perahu dari seberang yang padat pengungsi tiba ditepi. Rombongan ini tentu keluarga hartawan, pikir Bwee Hong dan dua anak muda ini malah hendak menuju kesana? Ketika perahu menyeberangi sungai yang lebar itu, A-hai sempat mengajak tukang perahu bercakap-cakap.

   "Kami sudah lama meninggalkan utara dan kini hendak pulang kekeluarga kami," demikian A-hai bicara dan Bwee Hong melihat kenyataan bahwa setelah ingatannya agak dapat bekerja kembali, sikap A-hai sungguh amat berbeda dan kini nampaklah bahwa dia adalah seorang pemuda cerdik, sama sekali tidak tolol.

   "Kami sama sekali tidak tahu bagaimanakah keadaan disana. Apakah yang telah terjadi, lopek?" Tukang perahu menarik napas panjang.

   "Membanjirnya para pengungsi sungguh membikin panik. Kalau kami tidak ingat akan tugas, juga karena kami orang-orang miskin yang tidak mungkin pergi membawa bekal, tentu kamipun akan ikut-ikut lari. Kabarnya pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian telah dipukul mundur oleh pemberontak. Dan kini setelah Kaisar lenyap dan kabarnya ditemukan tapi sudah tidak ada, juga kabarnya Kaisar baru diangkat, keadaan di Kotaraja menjadi kalut. Kabarnya kaum penjahat merajalela di Kotaraja, para petugas keamanan tidak berdaya, rakyat tidak terlindung sama sekali dan peraturan-peraturan dilanggar secara berani. Kabarnya kini para pejabat malah bertindak sewenang-wenang dan bersekongkol dengan para penjahat, bahkan banyak keluarga Istana dan pejabat dihukum gantung dan dibunuh. Aku hanya mengumpulkan percakapan para pengungsi, aku sendiri tidak tahu apa-apa." Tukang perahu menutup ceritanya dan mengelak dari pertanggungan jawab.

   "Lopek, aku mencari tiga orang. Yang seorang adalah pemuda yang usianya dua puluh tahun lebih, bertubuh jangkung, wajahnya tampan dan gagah"

   "Di dagunya sebelah kanan ada tahi lalatnya" Siok Eng menyambung, kemudian mukanya menjadi agak merah ketika Bwee Hong menoleh kepadanya sambil tersenyum.

   "Ya, dan orangnya pendiam. Dia ditemani oleh seorang kakek yang bertongkat, juga seorang pemuda yang usianya agak lebih tua dari pada pemuda pertama, tubuhnya tegap sedang dan muka nya agak kemerahan"

   "Ah, jangan-jangan mereka yang nona maksudkan!" Tukang perahu berseru kaget.

   "Baru kemarin ada tiga orang seperti yang nona gambarkan tadi. Akan tetapi mereka itu menjadi tawanan. Tangan mereka dibelenggu kuat-kuat dan dijaga oleh beberapa orang yang bertampang bengis dan menakutkan, seperti tampang penjahat. Orang-orang bengis ini dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus dan pakaiannya serba hitam, juga mantelnya hitam dan mukanya... hihhh, menyeramkan sekali, seperti topeng mayat. Mereka menumpang perahu ini dan aku tidak berani berkutik atau bicara sedikitpun, bahkan memandangpun tidak berani"

   Tukang perahu itu tidak tahu betapa berita yang diceritakannya ini membuat tiga orang penumpangnya terkejut setengah mati. Mereka tahu bahwa orang yang dicari-cari itu ternyata telah terjatuh ketangan Si Raja Kelelawar dan anak-buahnya. Mereka itu tidak dibunuh, melainkan ditawan dan diajak menyeberang, maka mudahlah diduga bahwa Seng Kun dan dua orang kawannya itu tentu dibawa ke Kotaraja. Bwee Hong sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke Kotaraja, dan ia harus dapat menolong kakaknya.

   Keputusan hati ini terjadi juga didalam batin Siok Eng. Gadis puteri Tai-bong-pai ini telah jatuh cinta kepada Seng Kun, pemuda yang pernah menyelamatkan nyawanya. Kini, mendengar bahwa pemuda yang dicintanya itu terjatuh ketangan Raja Kelelawar dan dibawa ke Kotaraja, iapun mengambil keputusan untuk mencari sampai ke Kotaraja dan berusaha menolongnya. Hanya A-hai yang tidak berpikir apa-apa. Dia akan pergi kemana saja Bwee Hong mengajaknya. Dia merasa seolah-olah dia menjadi bagian tak terpisahkan dari gadis itu, atau gadis itu merupakan bagian tak terpisahkan darinya. Kini perahu mereka sudah tiba ditengah-tengah sungai dan dari depan nampak beberapa buah perahu yang penuh dengan para pengungsi dari seberang. Tiba-tiba A-hai menunjuk kearah hilir sungai.

   "Lihat, disana ada beberapa buah perahu besar juga sedang menyeberang!" Dua orang gadis itu memandang dan benar saja, disana nampak beberapa buah perahu besar sedang menyeberang.

   "Lopek, apakah disana terdapat tempat penyeberangan lain?" tanya Bwee Hong.

   "Tidak ada. Dibagian sana kedua tepinya hanya hutan belukar, tidak ada perkampungan. Entah perahu siapa itu," jawab si tukang perahu.

   "Lopek, seberangkan kita dibagian sana juga." Tiba-tiba Siok Eng berkata. Tukang perahu kelihatan tidak setuju.

   "Akan tetapi aku harus sampai keseberang sana untuk mengangkuti orang-orang yang masih berjubel"

   "Nih sebagai pengganti kerugianmu," kata pula Siok Eng sambil mengeluarkan beberapa keping uang perak. Melihat ini, si tukang perahu tidak banyak cakap lagi dan mengerahkan perahunya kehilir. Biarpun dia mengangkuti para penumpang hilir-mudik seharian, dia tidak akan bisa memperoleh hasil sebesar seperti yang diberikan nona ini kepadanya. Maka dia lalu menerima uang perak itu dan perahunya meluncur cepat. Bagaimanapun juga, tidak lebih cepat dari pada perahu-perahu besar yang sudah lebih dulu mendarat diseberang sana. Ketika melihat bahwa para penumpang perahu besar itu berpakaian seragam, Bwee Hong berbisik kepada Siok Eng,

   "Adik Eng, mau apa kita kesana?"

   "Mereka mencurigakan, sebaiknya kita selidiki."

   "Kalau begitu, kita menyeberang agak jauh dari perahu-perahu itu," kata Bwee Hong dan Siok Eng setuju. Perahu itu lalu mereka suruh daratkan diseberang yang agak jauh. Mereka berloncatan kedarat yang ternyata merupakan bagian hulan belukar. Setelah mendaratkan tiga orang itu, si tukang perahu menggerakkan perahunya kembali dan dia hanya menggeleng kepala keheranan melihat kelakuan tiga orang muda itu yang memilih pendaratan ditengah hutan!

   Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan yang terpenting dia sudah menerima upah yang besar. Tiga orang muda itu menyusup-nyusup diantara pohon-pohon menuju ketempat dimana perahu-perahu 'besar itu mendarat. Akhirnya mereka melihat banyak orang disebuah lapangan terbuka ditengah hutan. Mereka itu berpakaian seragam perajurit dan bersenjata lengkap. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang dan yang membuat tiga orang muda itu terkejut sekali adalah ketika mereka mengenal seorang kakek tinggi besar yang memakai pakaian perwira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu karena perwira ini bukan lain adalah Sanhek-houw Si Harimau Gunung! Tentu saja tiga orang muda itu terkejut bercampur heran. Mereka tahu bahwa Sanhek-houw adalah seorang datuk sesat, seorang diantara Sam-ok. Bagaimana kini tiba-tiba saja berpakaian perwira dan memimpin pasukan pemerintah?

   "Kalau dia berada disini, besar kemungkinan kakakku juga ditahan ditempat ini," bisik Bwee Hong kepada dua orang temannya. Akan tetapi karena mereka maklum akan kelihaian Sanhek-houw yang ditemani anak-buah puluhan orang banyaknya, apa lagi kalau diingat kemungkinan adanya pula Si Raja Kelelawar dihutan itu, tiga orang muda itupun tidak berani terlalu mendekat.

   "Mari kita mencoba untuk mencari sendiri dimana adanya sarang mereka dihutan ini dan menyelidiki kalau-kalau kakakku berada dihutan ini pula." Dua orang kawannya mengangguk dan mereka lalu menyusup-nyusup kedalam hutan, diantara pohon-pohon dan semak-semak. Mereka naik turun bukit kecil dan tiba didaerah yang banyak rawanya. Ketika mereka berdiri di puncak bukit kecil sambil meneliti kesekitar tempat itu, mereka melihat seorang gadis kecil asyik menjala ikan dirawa yang tidak begitu dalam itu. Menimbulkan perasaan aneh dan curiga melihat seorang gadis kecil menjala ikan seorang diri saja ditempat yang sunyi seperti itu.

   Gadis itu masih kecil, paling banyak dua belas tahun usianya. wajahnya cantik manis dan rambutnya dikepang dua, dipinggangnya tergantung kempis yang terisi ikan-ikan yang didapatkannya dalam menjala. Dengan heran dan menduga-duga, mereka bertiga lalu menghampiri tepi rawa. Pada saat itu, mereka melihat seekor ular yang meluncur diatas air rawa itu menghampiri dan menyerang gadis nelayan tadi yang berdiri didalam air setinggi pinggang! Tentu saja tiga orang itu terkejut sekali. Untuk menolong agak sukar karena jarak antara mereka dan gadis cilik yang berada didalam air itu cukup jauh. Akan tetapi, ternyata gadis itupun sudah tahu akan bahaya yang mengancam dirinya. Ular itu menyerang dari kanan dan dengan sigapnya, gadis itu memutar tubuhnya dan tangan kanannya yang membawa jala itu bergerak menyabet kearah ular.

   "Plakkk!" Ular itu terpukul keras, terlempar jauh dan jatuh keair, mengambang dan tidak bergerak lagi karena mati. Jatuhnya ular itu agak ditepi rawa, tidak jauh dari kaki A-hai. Pemuda ini segera menghampiri, membungkuk dan ketika menyentuh bangkai ular, dia mendapat kenyataan bahwa ular itu mati dengan tulang-tulang remuk!

   "Wah, adik kecil, engkau sungguh hebat! bolehkah kami berkenalan denganmu? Namaku A-hai. Siapakah engkau, adik kecil?" Gadis cilik itu menoleh dan memandang kepada mereka bertiga dengan alis berkerut tanda curiga. Ia tidak menjawab pertanyaan A-hai, akan tetapi ia menyudahi pekerjaannya menjala ikan dan berjalan menuju ketepi. Celananya basah kuyup dan tentu saja paha dan kakinya nampak membayang ketat dibalik celana yang basah. Akan tetapi gadis cilik itu bersikap biasa saja, tidak kikuk. Bwee Hong maklum bahwa gadis itu belum percaya kepada mereka dan merasa curiga, maka iapun melangkah maju menghampiri dan merang-kul anak perempuan itu.

   "Siauw-moi, jangan curiga dan khawatir. Kami bertiga bukanlah orang-orang jahat dan kami hanya kebetulan saja lewat disini dan melihatmu tadi. Kalau engkau tidak suka berkenalan dengan kami, kamipun tidak akan memaksa." Agaknya wajah cantik dan sikap halus dari Bwee Hong menimbulkan kepercayaan pada anak perempuan itu.

   "Namaku Cui Hiang, tinggal bersama ayah-ibuku dan adikku yang masih kecil. Kami hidup terpencil dan setiap hari mencari ikan dirawa. Kami hidup dengan tenteram. Akan tetapi beberapa hari ini kami didatangi orang-orang yang sikapnya kasar dan jahat. Mereka agaknya mencari seseorang yang mereka kira bersembunyi didaerah ini. Bahkan mereka mengira ayah menyembunyikan orang itu dan menanyai ayah. Ayahku melawan, akan tetapi para penjahat itu berkepandaian tinggi. Ayah dihajar babak belur dan menderita luka parah. Ibuku yang menolong ayah juga dihajar dan terluka parah. Ayah dan ibu hampir dibunuh, akan tetapi baiknya muncul seorang kakek berjubah hitam yang sakti dan menghajar semua penjahat itu. Kakek itu mengatakan bahwa orang yang dicari-cari berada dalam lindungannya dan dia malah menantang agar mereka menyuruh pemimpin mereka sendiri datang menghadapinya. Para penjahat itu lalu pergi membawa teman-teman mereka yang terluka."

   Anak itu melanjutkan ceritanya. Setelah para penjahat pergi membawa teman-teman yang terluka, kakek itu lalu mengobati ayah-ibunya. Dan karena ayah-ibunya terluka parah, sedang diobati dan perlu beristirahat, maka mereka tidak dapat mencari ikan seperti biasa.

   "Akulah yang menggantikan mereka mencari ikan." Ia menutup ceritanya. Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis cilik ini. Bwee Hong berpikir keras dan menduga-duga. Siapakah orangnya yang dicari-cari oleh para penjahat itu? Siapa pula kakek jubah hitam yang lihai itu, yang selain mampu memukul mundur para penjahat, juga berani sekali menantang pemimpin kaum sesat? A-hai lalu bertanya,

   "Adik kecil, apakah engkau melihat rombongan pasukan belum lama ini?" Yang ditanya menggeleng dan kelihatan khawatir sekali,

   "Jangan-jangan ada lagi orang jahat yang mengganggu ayah dan ibu yang belum sembuh," katanya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan kedua kakinya yang kecil untuk berlari pulang. Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai mengikuti dari belakang. Ternyata bahwa larinya gadis cilik secara tiba-tiba untuk pulang itu digerakkan oleh suatu perasaan yang tidak enak. Ketika ia tiba dirumahnya, ternyata rumah itu telah menjadi abu! Masih ada arang-arang membara mengepulkan asap. sedangkan ayahnya, ibunya dan adiknya yang masih kecil tidak nampak. Tentu saja Cui Hiang menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ayah-bundanya, dengan bingung lari kekanan kiri seperti seekor anak ayam mencari-cari induknya sambil berkotek-kotek. Melihat ini, tak terasa lagi kedua mata A-hai menjadi basah dan diapun menghampiri anak perempuan itu, lalu berlutut dan dirangkulnya anak itu.

   "Diamlah, nak, tenanglah besarkan hatimu. Karena tidak nampak jenazah mereka, maka aku yakin ayah-ibumu dan adikmu masih hidup. Sudahlah, jangan terlalu berduka" Anak perempuan itu merangkul A-hai dan menangis terisak-isak didada pemuda itu yang juga merangkul dan mengusap rambutnya.

   "Mari kita ikuti jejak iblis-iblis itu," kata Siok Eng melihat jejak banyak kaki orang yang masih baru. Tentu ini jejak kaki para penjahat yang membakar rumah keluarga itu. A-hai menggandeng tangan Cui Hiang dan mereka berempat, dipimpin oleh Siok Eng, lalu mengikuti jejak para penjahat. Jejak itu nampak jelas dan mudah diikuti. Dari jauh sudah dapat mereka dengar suara pertempuran itu. Siok Eng mempercepat langkahnya sehingga Bwee Hong juga berlari. A-hai memondong tubuh Cui Hiang dan dibawanya lari pula mengikuti. Mereka tiba didaerah yang lapang dimana terdapat batu-batu besar berserakan. Dan diatas batu-batu itu, sambil berloncatan, dua belas orang sedang dikeroyok oleh puluhan orang yang dipimpin oleh Sanhek-houw. Pasukan seragam itu mengeroyok sambil berteriak-teriak dan pertempuran itu sungguh tidak seimbang sama sekali.

   Apa lagi karena diantara dua belas orang itu, hanya dua orang saja yang lihai ilmu silatnya sedangkan yang sepuluh orang memiliki ilmu kepandaian yang biasa saja. Maka seorang demi seorang, sepuluh orang itu pun roboh dan tewas. Kini tinggal dua orang itu saja, seorang pemuda gagah dan seorang kakek berjubah hitam, yang masih bertahan dan mengamuk. Tiba-tiba Cui Hiang melepaskan diri dari gandengan A-hai dan berlari menghampiri kearah mayat-mayat yang bergelimpangan itu, kemudian ia menjatuhkan diri, menjerit dari satu kelain mayat karena ia mengenal mayat keluarganya! Sejenak ia menangis mengguguk, kemudian matanya menjadi beringas ketika ia bangkit berdiri dan memandang kearah pertempuran, dimana dua orang itu masih dikeroyok oleh Harimau Gunung dan anak-buahnya.

   Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mereka membunuh keluargaku!" teriaknya dan tiba-tiba anak perempuan itu dengan wajah beringas lari kemedan perkelahian. Pada saat itu, Sanhek-houw terhuyung mundur oleh desakan kakek berjubah hitam yang lihai.

   Anak perempuan itu sudah mengenal Sanhek-houw sebagai pemimpin gerombolan penjahat yang pernah melukai ayah-bundanya dan mengenal pula kakek jubah hitam yang pernah menolong orang tuanya, maka dengan kemarahan meluap karena kedukaan gadis cilik itu menyerang Sanhek-houw dengan pukulannya. Melihat ini, Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai terkejut, akan tetapi untuk mencegahnya sudah tidak keburu lagi. Apa artinya serangan seorang gadis cilik seperti Cui Hiang? Tanpa menoleh kebelakang dia sudah tahu akan datangnya serangan lemah itu. Tiba-tiba rantai baja ditangannya berkelebat kebelakang dan tombak jangkar diujung rantai itu membabat kearah lengan Cui Hiang yang menyerangnya. Cui Hiang hendak mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi tentu saja gerakannya kalah cepat.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 4 Naga Beracun Eps 32 Naga Beracun Eps 22

Cari Blog Ini