Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 40


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 40




   "Be... benarkah itu?" Dia bertanya gagap. Jenderal Lai menatap tajam.

   "Ma-ciangkun, engkau mengenal aku, bukan? puluhan tahun aku menjadi atasanmu, pernahkah aku bicara sembarangan kepada bawahanku? Atau engkau ingin membuktikan sendiri kata-kataku dan pergi ke kotaraja?"

   "Maaf, goanswe. Mana saya berani? Akan tetapi, kalau begitu keadaannya lalu... lalu apa yang harus saya kerjakan?"

   "Begini. Engkau tidak perlu membawa pasukanmu ke Kotaraja. kau tetap saja didusun ini. Aku akan pergi menghadap Jenderal Beng Tian untuk merundingkan langkah-langkah selanjutnya. Engkau menanti perintah saja disini."

   "Baiklah, goanswe!" kata Ma-ciangkun dengan lega karena tugas itu ternyata ringan saja. Malam itu juga Jenderal Lai pergi bersama para pengawalnya dan pasukan itupun mengaso. Setelah pertemuan penting itu bubaran, A-hai yang juga mendengar percakapan itu dari lain ruangan, lalu bertanya kepada kakek Gu Tek,

   "Lo-pek, aku mendengar tentang adanya sebuah benteng tua yang kini dipergunakan sebagai tempat tawanan. Dimanakah letak benteng itu dan bagaimana keadaannya? Apakah terjaga kuat dan sukar dimasuki?"

   "Ah, benteng itu? Sekarang menjadi tempat pembuangan para pejabat Istana. Tempatnya kurang lebih sepuluh li dari sini, terletak diatas puncak sebuah bukit gundul yang terjal. Tempat itu sukar didekati, tak dapat dicapai lewat samping atau belakang. Jalan satu-satunya hanyalah dari depan, jalannya lebar dan baik. Akan tetapi kenapa kongcu menanyakan tempat itu?"

   "Hemm, aku hendak kesana, lopek."

   "Ah, apakah ada seorang kerabat yang dibuang disana?" A-hai hanya mengangguk dan tahulah Gu Tek bahwa dia tidak boleh banyak bertanya. Maka diapun lalu memberi keterangan tentang jalan yang menuju ke benteng itu. A-hai merasa girang sekali.

   "Lopek, karena tempat itu cukup berbahaya, maka aku ingin menitipkan Cui Hiang agar berdiam disini lebih dulu. Aku akan menjemput dua orang wanita yang menjadi sahabatku dan yang kutinggalkan dihutan. Kalau sudah selesai urusan kami, aku akan datang kesini untuk menjemput Cui Hiang." Kakek itu girang sekali. Bagaimanapun juga, gadis berlengan buntung sebelah ini adalah keturunan keluarga Souw pula, maka termasuk sanaknya juga melalui puteri angkatnya.

   "Baik, jangan khawatir, kongcu. Kami akan menjaganya baik-baik."

   "Kakek Gu. jangan kaget kalau kelak engkau melihat seorang diantara dua nona itu. Wajahnya mirip sekali dengan gambar puterimu itu," kata Cui Hiang dan kakek itu mengangguk-angguk, dalam hatinya terheran-heran mengapa begini banyak hal-hal yang "Kebetulan." A-hai lalu berangkat keluar dari dusun, meninggalkan Cui Hiang dirumah si kepala kampung karena dia merasa kurang leluasa kalau harus rttengajak anak itu, padahal dia dan teman-temannya akan menyerbu benteng menyelamatkan Seng Kun dan yang lainnya. Ketika A-hai berjalan keluar dari dusun, beberapa orang perajurit peronda menegurnya.

   "Hei, berhenti! Siapa itu?" A-hai berhenti dan dua orang peronda itu menghampiri.

   "Ah, kiranya engkau!" kata mereka yang sudah mengenal A-hai yang pernah membantu mereka mencari air, pemuda yang berada dirumah kepala kampung dan menjadi keluarga kepala kampung itu.

   "Hendak kemana engkau?"

   "Aku disuruh oleh Gu-lopek untuk mencari ayam."

   "Bagus! Cari yang banyak, kalau ada telurnya juga, ya? Sudah lama aku tidak makan telur ayam!" A-hai melanjutkan perjalanan dengan cepat, menuju kehutan dimana dia meninggalkan Bwee Hong dan Siok Eng. Ketika dia sudah jauh meninggalkan perajurit: perajurit itu, dia berpikir bahwa dia harus mempergunakan ilmu berlari cepat agar kedua orang gadis itu tidak menunggu terlalu lama. Akan tetapi ketika dia hendak mengerahkan tenaganya tiba-tiba saja dia lupa sama sekali bagaimana harus mengerahkan tenaga saktinya. Lupa sama sekali cara atau jalannya. Dia berdiri tegak dan menggerak-gerakkan perut dan dadanya, namun hasilnya sia-sia karena memang belum ditemukan kembali jalannya. Dia menjadi uring-uringan dan menyumpahi diri sendiri.

   "Otak udang!" Tanpa disadarinya, sikapnya kembali seperti A-hai yang ketolol-tololan. Hal ini adalah karena dia masih sedang dalam proses pengobatan. Kalau terlambat jalan darahnya diperlancar dengan bantuan jarum yang tepat, maka darahnya tidak lancar lagi dan ingatannyapun semakin buntu lagi. Dia belum sembuh, dan masih tergantung kepada bantuan Bwee Hong yang sewaktu-waktu harus mempergunakan jarum-jarumnya agar jalan darahnya lancar kembali. Selagi dia berkutetan dan memarahi dirinya sendiri itu sehingga dia kelihatan lucu dan aneh,

   Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, suara ketawa yang ditahan-tahan akan tetapi tetap memberobot keluar sehingga terdengar agak cekikikan. Tentu saja A-hai menjadi terkejut dan juga marah. Dia memaki-maki dan memarahi diri sendiri, akan tetapi sekarang malah ada orang mentertawakannya! Itu penghinaan namanya. Akan tetapi ketika dia membalikkan tubuh dan memandang, dia terbelalak dan bulu tengkuknya meremang. Didepannya berdiri dua orang kakek dan nenek yang pakaiannya serba putih dan wajahnya juga putih seperti mayat! Bau harum semerbak tercium olehnya dan diapun bergidik. Sinar bintang-bintang dilangit menyinari dua wajah yang pucat seperti mayat itu. Karena keduanya menahan tawa dan bergerak, mereka kelihatan seperti sepasang mayat hidup. Akan tetapi, kakek itu lalu berkata, suaranya halus,

   "Saudara yang gagah perkasa. Tak dapat kami menahan tawa melihat tingkah lakumu yang aneh dan konyol itu. Agaknya engkau baru saja memperoleh pelajaran lweekang dari gurumu, akan tetapi kini engkau sudah lupa lagi sehingga gagal ketika mencobanya. Benarkah?" Mendengar pertanyaan ini, tentu saja seketika wajah A-hai menjadi merah sekali, merah karena malu rahasianya dapat diterka sedemikian tepatnya dan marah karena orang ini sungguh telah mencemoohkannya dengan sikapnya yang dianggapnya sombong sekali. Karena malu dan marah, juga karena merasa tidak berdaya setelah sama sekali tidak mampu mengingat ilmunya, dia mendengus dan membalikkan tubuhmu, melangkah lebar meninggalkan dua orang aneh itu. Akan tetapi tiba-tiba kakek aneh itu menahannya,

   "Saudara yang baik, jangan engkau pergi dulu!"

   "Huh!" A-hai tidak perduli dan mempercepat langkahnya, bahkan mulai menggerakkan kakinya untuk lari. Akan tetapi mendadak dia merasa ada angin bertiup didekat tubuhnya dan terpaksa dia berhenti karena tahu-tahu kakek itu sudah berada didepannya sambil menyeringai! Dengan mendongkol A-hai hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi ternyata nenek itupun sudah berada dibelakangnya dengan tatapan mata yang dingin menyeramkan. A-hai menjadi marah sekali dan tiba-tiba saja dia teringat akan semua ilmu silatnya. Agaknya, kemarahannya membuat jalan darah keotak yang mulai menciut itu menjadi lancar kembali. Dia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan seketika kedua orang suami-isteri aneh itu terkejut sekali. Uap merah putih mengepul dari kepala pemuda yang mereka anggap lucu tadi.

   "Awas, itu adalah Tenaga Sakti Merah Putih!" teriak kakek itu kepada isterinya.

   "Eh, orang muda, siapakah engkau?" Akan tetapi A-hai tidak memperdulikan kekagetan mereka. Telapak tangannya sudah bergerak menyerang kearah kakek itu, bukan maksudnya untuk menyerang sebenarnya, melainkan mendorong dengan tangannya. Sementara bau dupa harum semakin menusuk hidung. Teringatlah dia kepada Siok Eng yang juga memiliki ilmu seperti itu. Ah, pikirnya, jangan-jangan kedua orang ini masih keluarga nona Siok Eng. Maka diapun lalu melangkah mundur lagi sambil berseru,

   "Berhenti!" Kakek itupun sudah dapat menekan hatinya yang terguncang. Dia memandang tajam penuh selidik, dan tidak menyembunyikan keheranannya.

   "Orang muda, engkau sungguh hebat! Siapakah engkau?" A-hai tidak menjawab pertanyaan ini, melainkan mengamati kedua orang itu bergantian, lalu bertanya,

   "Apakah ji-wi Lo-cianpwe ini dari Tai-bong-pai?"

   "Orang muda, aneh kalau seorang dengan tingkat kepandaian sepertimu masih belum mengenal kami. Aku adalah ketua Tai-bong-pai dan ia ini adalah isteriku."

   "Ah, kiranya ji-wi Lo-cianpwe adalah ayah dan ibu nona Kwa Siok Eng?" seru A-hai dengan girang.

   "Hemm, engkau mengenalnya? dimanakah anak kami itu sekarang?" Nenek itu bertanya, sikapnya masih dingin.

   "Kami bersahabat baik sekali! Ia kini sedang menantikanku didalam hutan. Apakah ji-wi hendak mencarinya? Mari, ikut bersamaku." Karena memang dua orang itu sudah amat mengkhawatirkan anak gadis mereka dan sudah lama mencarinya, tentu saja mereka girang sekali mendengar keterangan A-hai. Akan tetapi kegirangan hati mereka itu tidak nampak pada wajah mereka yang pucat dingin, dan kakek Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai itu berkata,

   "Mari antar kami bertemu dengannya!" Kakek Kwa Eng Ki dengan isterinya, sebagai ketua Tai-bong-pai, tidak pernah mencampuri urusan dunia. Mereka telah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari Tai-bong-pai dan mereka tidak ingin melihat Tai-bong-pai terseret kedalam suatu kelompok atau golongan. Karena watak mereka yang aneh dan kadang-kadang dalam melakukan hukuman dan balas dendam mereka amatlah keras dan kejam, maka golongan pendekar menganggap mereka sebagai kaum sesat. Sebaliknya, golongan sesatpun tidak bersahabat dengan mereka karena Tai-bong-pai tidak pernah mau bergaul dengan mereka, Jadi Tai-bong-pai merupakan perkumpulan yang berdiri ditengah-tengah, tidak bersahabat dengan kedua golongan, juga tidak bermusuhan secara terbuka.

   Pendeknya, Tai-bong-pai ingin berdiri sendiri dan tidak mau tunduk, tidak mau dijajah. Mereka terkenal sebagai orang-orang yang keras hati dan bersikap dingin seperti mayat, tidak perdulian. Kalau mereka tidak diganggu, merekapun tidak akan memperdulikan apapun yang terjadi asal bukan urusan mereka. Karena, itu. kini mereka menjadi pusing sekali karena kedua orang anak mereka, yaitu Kwa Sun Tek dan Kwa Siok Eng, lebih sering berkelana dan mencampuri urusan luar sehingga terbuka bahaya terlibatnya Tai-bong-pai. Hal ini memusingkan mereka dan setelah gagal mengutus murid-muridnya untuk memanggil pulang kedua orang anak itu, kini mereka berdua berangkat sendiri untuk mencari dan memaksa kedua orang anak mereka pulang! A-hai lari kedalam hutan, diikuti oleh suami-isteri itu. Setelah tiba ditempat dia meninggalkan Bwee Hong dan Siok Eng, A-hai berseru,

   "Nona Hong dan nona Eng, aku sudah datang! Keluarlah dan temuilah dua orang tamu kita ini!" Tentu saja Siok Eng sudah tahu akan kedatangan, ayah-bundanya. Ia terkejut dan mendongkol kepada A-hai. Mengapa si tolol itu pulang mengajak ayah-bundanya? Ia sudah selalu berusaha menghindarkan diri agar jangan bertemu ayah-bundanya. Eh, kini tahu-tahu mereka malah diajak oleh A-hai ketempat itu. Akan tetapi, iapun maklum bahwa kalau ia tidak mau menjumpai mereka, tentu A-hai yang akan dipersalahkan, maka dengan cemberut iapun keluar menyambut bersama Bwee Hong. Melihat puterinya bersama Bwee Hong, nenek itu lalu menjura kearah Bwee Hong.

   "Ah, kiranya nona penolong juga berada disini bersama Siok Eng. Suamiku, inilah nona Bwee Hong dari keluarga Bu yang telah menyelamatkan puteri kita dengan berkorban nyawa itu!" Kwa Eng Ki sudah banyak mendengar penuturan isterinya tentang keluarga Bu Kek Siang yang telah menyelamatkan puterinya dengan mengorbankan nyawa kakek Bu dan isterinya, bahkan membuat putera mereka yang bernama Bu Seng Kun terluka parah, maka diapun mengangguk kearah Bwee Hong.

   "Nona, aku girang sekali dapat bertemu dengan penyelamat nyawa puteri kami." Disebut nona penolong dan penyelamat nyawa, Bwee Hong merasa kikuk sekali. Ia cepat membalas dengan penghormatan kepada kakek dan nenek itu sambil berkata,

   "Harap ji-wi Lo-cianpwe tidak bersikap sungkan. Adik Eng adalah seorang sahabat baikku, diantara kita tidak ada lagi tolong-menolong, melainkan hanya merupakan kewajiban hidup yang lumrah saja." Kini Kwa Eng Ki memandang kepada puterinya dan menghardik,

   "Eng-ji, kenapa engkau tiada hentinya membikin pusing orang tua, selalu pergi tanpa pamit? Apakah engkau tidak betah tinggal dirumah sendiri? kemana lagi engkau hendak pergi? Hayo ikut kami pulang!" Kwa Siok Eng menggeleng kepalanya dan mulutnya cemberut, alisnya berkerut.

   "Ayah, aku belum ingin pulang!"

   "Siok Eng, jangan kau bantah ayahmu yang sudah pusing karena kepergianmu. Sudah lama kami mencarimu, setelah bertemu, tak mungkin engkau menolak ajakan kami untuk pulang."

   "Tidak, ibu, aku belum mau pulang. Aku harus membalas budi orang. Aku tidak mau hidup sebagai orang yang tidak mengenal budi. Aku sudah diselamatkan nyawaku, bahkan dengan pengorbanan dua orang tua yang berbudi mulia seperti mendiang kakek Bu Kek Siang dan isterinya. Apakah sekarang aku harus berdiam diri saja melihat putera angkat mereka, juga cucu keponakan atau murid mereka, terancam bahaya?" Ayah dan ibu yang biasanya tidak mau memperdulikan urusan orang lain itu, saling pandang dan kemudian menoleh lagi kepada puteri mereka.

   "Apa yang kau maksudkan? Siapa yang terancam dan hendak kau tolong itu?"

   "In-kong (tuan penolong) Chu Seng Kun, kakak kandung enci Bwee Hong ini yang harus kuselamatkan. Baru aku mau pulang." Ibunya yang sudah mengenal Seng Kun dengan baik terkejut.

   "Apa? Tuan penolong kita terancam bahaya? Apa yang terjadi dengan dia?" Kini Bwee Hong yang memberi penjelasan, menceritakan bahwa kakaknya telah tertawan oleh Raja Kelelawar dan anak-buahnya dan sekarang kemungkinan besar kakaknya itu ditawan didalam benteng kuno yang kini menjadi semacam penjara.

   "Kami bertiga malam ini juga akan pergi ke benteng itu untuk berusaha menolong saudara Chu Seng Kun keluar dari sana. Aku sudah menyelidiki dan tahu dimana adanya tempat itu," kata A-hai yang menceritakan kepada dua orang gadis itu bahwa dia menitipkan Cui Hiang kepada kepala kampung didusun. Akan tetapi dia tidak menceritakan tentang keadaan dirinya dan pertemuannya dengan kakek Gu Tek yang membuka rahasia hubungannya dengan keluarga Souw.

   "Kalau begitu, aku harus ikut dengan kalian dan membantu usaha membebaskan inkong!" kata ibu Siok Eng penuh semangat. Suaminya mengangguk.

   "Memang dia harus diselamatkan," kata ketua Tai-bong-pai.

   "Akan tetapi, Eng-ji apakah engkau tahu dimana adanya kakakmu.? Kami pun mencarinya sampai hampir putus asa tanpa hasil." Tiba-tiba Siok Eng cemberut dan kelihatan tak senang.

   "Ayah, perlu apa mencarinya? Orang macam dia tidak perlu dicari lagi!"

   "Eh, Siok Eng, kau bicara apa itu?" Ibunya membentak marah.

   "Ibu, puteramu itu telah melakukan penyelewengan besar dan hanya membikin malu keluarga kita saja. Dia telah menyeret nama Tai-bong-pai kedalam lumpur!"

   "Hemm, jelaskan ucapanmu itu!" Ayahnya juga membentak.

   "Ayah, kakak Sun Tek telah bersekongkol dengan pasukan asing dan membantu pemberontak. Dia merendahkan diri menjadi kaki tangan penjual negara!" Dara itu lalu menceritakan tentang kakaknya seperti yang diketahuinya. Mendengar ini, ayah-ibunya menjadi marah sekali.

   "Hemrn, anak itu perlu dihajar! Aku akan mencarinya sendiri. Akan tetapi sekarang mari kita berangkat untuk membebaskan dan menyelamatkan tuan penolongmu itu."

   Berangkatlah mereka berlima menuju kebenteng tua dengan A-hai sebagai penunjuk jalan. Dia sudah memperoleh keterangan secara jelas sekali dari kepala kampung, maka tanpa ragu-ragu diapun memimpin teman-temannya memasuki hutan cemara. Setelah mereka keluar dari hutan itu, nampaklah benteng tua itu. Malam gelap gulita, hanya diterangi bintang-bintang dilangit. Benteng itu memang besar dan kokoh kuat, juga dijaga dengan ketat. Tidak ada jalan lain memasuki benteng, kecuali dari pintu gerbang didepan yang terjaga kuat itu. Sisi benteng yang lain merupakan dinding-dinding karang, jurang yang amat terjal dan tak mungkin dilalui manusia. Dan satu-satunya jalan menuju kepintu gerbang merupakan sebuah lorong anak tangga yang kadang-kadang terputus dan disambung jembatan-jembatan gantung besar.

   Sehingga dengan adanya lorong ini, maka setiap orang luar yang naik kebukit menuju ke benteng yang berada di Puncak, baru tiba dikaki bukit saja tentu sudah diketahui oleh para penjaga. Melihat sulitnya jalan naik dan mereka tentu akan ketahuan dan diserang sebelum sempat memasuki benteng sehingga usaha mereka akan sia-sia, ketua Tai-bong-pai lalu mengajak mereka berunding dikaki bukit, duduk bersembunyi dibalik semak-semak dibawah pohon-pohon cemara. Disini terdapat tanah kuburan tua dan ditempat inilah mereka berlima duduk untuk mengadakan perundingan. Anehnya, kalau Bwee Hong dan A-hai merasa seram dan ngeri berada ditanah, kuburan diwaktu malam gelap seperti itu, adalah ayah-ibu dan anak dari Tai-bong-pai itu merasa betah dan enak! Tidaklah mengherankan karena memang mereka berasal dari perkumpulan Makam Kuburan!

   "Tempat itu sungguh terjaga ketat dan sukar dimasuki," kata Kwa Eng Ki.

   "Andaikata kita nekat mendaki dinding karang yang terjal itu dan berhasil mencapai tembok, tentu setibanya diatas tembok kita akan diketahui oleh para penjaga disana. kita belum tahu dimana para tawanan itu berada, maka kalau sampai kita ketahuan sebelum berhasil membebaskan tawanan, tentu mereka akan bersiap-siap dan penjagaan diperkuat sehingga makin sulit bagi kita untuk membebaskan tawanan!" Selagi lima orang itu berunding dan belum menemukan jalan baik, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara hiruk-pikuk dan sorak-sorai diantara bunyi terompet. Jelas bahwa itu adalah suara pertempuran! Dan suara itu makin jelas terdengar, mendekati kearah hutan cemara itu. Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai itu berkata,

   "Sebaiknya kita berlindung dan bersembunyi keatas pohon!" Berkata demikian, kakek ini lalu meloncat keatas, diikuti oleh isterinya dan puterinya. Bagaikan burung saja mereka bertiga melayang keatas dan hinggap didahan pohon cemara. Bwee Hong juga meloncat dengan ringannya, dan gerakannya amat indah. Akan tetapi baru saja ia tiba diatas dahan pohon dan melihat kebawah, dara ini sudah berjungkir balik dan meloncat turun lagi. Dari atas ia melihat A-hai berdiri bengong dan ragu-ragu, maka iapun turun lagi dan menghampiri pemuda itu.

   "Kau... kau kenapakah?" tanyanya. A-hai menghela napas panjang.

   "Ah, sungguh celaka, nona aku... aku telah mulai lupa lagi, tidak ingat lagi bagaimana harus mengerahkan tenaga agar dapat meloncat keatas." Bwee Hong teringat bahwa sudah tiba waktunya pemuda itu harus menerima bantuan pengobatan. Maka iapun cepat mengeluarkan jarum-jarumnya dan dengan meraba-raba, ia menusukkan jarum-jarum itu pada pelipis, tengkuk dan pundak A-hai. Dan seperti biasa setelah mengalami pengobatan ini, A-hai tertidur pulas dibawah pohon! Bwee Hong duduk tersimpuh menjaganya.

   "Ssttt, enci Hong, cepat naik" terdengar suara Siok Eng, Akan tetapi Bwee Hong tidak menjawab. Bagaimana ia dapat meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur seperti itu? Akhirnya Siok Eng dan ayah-bundanya turun kembali.

   "Ada apakah dia itu?" tanya ketua Tai-bong-pai dengan terheran-heran melihat pemuda yang pernah dirasakan kehebatannya itu kini enak-enak tidur pulas.

   "Lo-cianpwe, saudara A-hai selalu tertidur setiap kali habis diobati. Untuk membantu ingatannya yang selalu lupa, aku dan kakakku melakukan penusukan jarum, dan baru saja aku melakukan penusukan lagi dan akibatnya dia tertidur."

   "Sampai berapa lama dia akan tidur?" tanya Kwa Eng Ki sambil mengerutkan alisnya. Suara pertempuran itu makin mendekat, agaknya ada pihak yang dikejar-kejar dan lari masuk kedalam hutan sambil melakukan perlawanan.

   "Biasanya agak lama, sedikitnya satu jam."

   "Wah, kalau begitu biar kita bawa dia bersembunyi diatas pohon saja. Pertempuran itu sudah dekat dan tentu akan memasuki hutan ini!" kata ketua Tai-bong-pai dan dia lalu memanggul tubuh A-hai lalu didudukkan diatas dahan dan cabang, bersandar batang pohon.

   Bwee Hong memegang pundak dan menjaganya. Karena pohon cemara itu bukan pohon yang terlalu kuat untuk ditempati terlalu banyak orang, maka ketua Tai-bong-pai, isterinya dan puterinya bersembunyi dipohon lain dan membiarkan Bwee Hong berdiam dipohon itu bersama A-hai yang dijaga agar tidak sampai terguling kebawah. Agaknya karena posisi yang tidak menyenangkan itulah yang membuat A-hai terbangun atau sadar lebih cepat dari pada biasanya. Ketika pertempuran itu mulai memasuki hutan, diapun terjaga. Dari atas pohon dapat dilihat pertempuran yang tidak seimbang dari dua pasukan yang sama-sama berpakaian seragam.

   Pasukan yang jumlahnya hanya dua ratus lebih itu diserbu dan didesak oleh pasukan lain yang juga berpakaian seragam perajurit pemerintah daerah yang jumlahnya seribu orang lebih! Dan kini jumlah pasukan yang dikejar-kejar itu sudah banyak berkurang, agaknya sudah banyak yang roboh dan tewas sejak mereka diserbu kemudian dikejar sampai kehutan itu. Pasukan kecil ini mati-matian mempertahankan diri, akan tetapi karena mereka itu sudah nampak kelelahan sekali dan satu orang dikeroyok oleh lebih dari lima orang, maka apa yang terjadi dihutan itu bukan lagi pertempuran, melainkan pembantaian. Lima Orang yang berada diatas pohon, termasuk A-hai yang kini sudah sadar kembali, menonton pertempuran itu dengan penuh keheranan. Mengapa dua pasukan yang sama-sama pasukan pemerintah itu saling gempur sendiri?

   "Ah, pasukan kecil itu adalah pasukan yang berada didusun itu!" A-hai berbisik kepada Bwee Hong.

   "Dan lihat, komandan pasukan itu... ah, bukankah dia itu kakak nona Eng? Dan disana itu, mereka adalah pasukan asing yang pernah kita jumpai" Bwee Hong mengangguk. Iapun mengenal Kwa Sun Tek yang berpakaian perwira, dan melihat pula adanya pasukan orang-orang asing bukan Bangsa Han yang berada diantara pasukan yang sedang melakukan pembantaian.

   Tahulah mereka bahwa yang dibantai itu adalah pasukan kecil anak-buah pasukan induk dari Jenderal Beng Tian, yaitu pasukan yang setia kepada kerajaan, sedangkan pasukan besar itu adalah pasukan daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing. Akhirnya, pasukan kecil yang bertahan itu habis dibasmi dan mungkin hanya beberapa orang saja diantara mereka yang berhasil meloloskan diri didalam kegelapan hutan. Setelah musuh tidak ada yang bergerak melawan lagi, pasukan asing itupun berhenti dan melepaskan lelah dihutan. Kebetulan sekali para pimpinan pasukan yang menang itu, terdiri dari beberapa orang pembesar kepala daerah dan beberapa perwira, beristirahat dan berkumpul dibawah pohon dimana lima orang itu bersembunyi. Mereka membuat api unggun dan kini lima orang yang bersembunyi diatas pohon itu dapat melihat wajah mereka.

   Terheran-heranlah lima orang itu. Jelas bahwa pasukan ini menang perang, akan tetapi kenapa wajah para pemimpinnya nampak tidak bergembira, seperti orang berduka dan gelisah, bahkan dua orang diantara para pembesar sipil itu nampak menghapus air matanya? A-hai membuat gerakan, mendekatkan mulutnya kearah telinga Bwee Hong. Dia ingin mengatakan atau membisikkan sesuatu, akan tetapi begitu dia mendekatkan mulutnya dengan kepala dara itu, hidungnya mencium bau sedap khas wanita yang membuat dia merasa jantungnya berdebar keras dan diapun tidak mampu mengeluarkan kata-kata, dan mukanya menjadi merah sekali. Melihat betapa A-hai mendekatkan mulutnya dekat telinga akan tetapi tidak jadi mengeluarkan kata-kata itu, Bwee Hong terheran-heran dan berbisik,

   "Engkau kenapakah? Apa yang akan kau katakan?" A-hai tergagap

   "Anu... eh, aku heran sekali kalau tidak salah ingat, pasukan asing dan komplotannya itu tadinya berjumlah banyak sekali. Kenapa kini tinggal sekian?" Bwee Hong mengangguk-angguk dan memandang penuh perhatian. Tiba-tiba seorang diantara dua kepala daerah yang nampak menghapus air mata itu bangkit berdiri dan wajahnya merah padam, tangan kanannya dikepal dan dipukulkan ketelapak tangan kirinya sendiri penuh geram dan penyesalan.

   "Sungguh kurang ajar! Tak kusangka Liu Pang dan pasukannya itu sedemikian cerdik dan kuatnya. Sebenarnya, pasukan gabungan kita itu lebih kuat dari pada mereka. Akan tetapi karena kelalaian kita, kita menjadi buruan seperti ini! Untung yang kita temui tadi hanya sebagian kecil saja pasukan pemerintah. Andaikata kita bertemu dengan pasukan besar Jenderal Beng Tian, kita akan hancur lebur. Aihhh... kita telah gagal, hancurlah semua rencana dan cita-cita kita" Seorang perwira menarik napas panjang.

   "Kita memang bernasib malang. Bukan hanya kehilangan pasukan, bahkan semua anak isteri dan keluarga dan harta benda kitapun musnah" Apakah yang telah terjadi dengan pasukan gabungan yang tadinya amat kuat itu? Seperti telah kita ketahui, Liu-Bengcu atau Liu Pang, berdua dengan muridnya, Ho Pek Lian, melakukan penyelidikan terhadap pasukan gabungan antara pasukan pemerintah daerah dan pasukan asing yang menjadi sekutunya.

   Pasukan itu amat kuat, bukan hanya terdiri dari pasukan para kepala daerah dan pasukan asing, akan tetapi mereka dibantu dan diperkuat pula oleh para iblis Ban-kwi-to dan anak-buah mereka. Akan tetapi, setelah Liu-Bengcu mengetahui tempat mereka berkumpul, tempat itu dikepung dan dengan cara perang gerilya, sergap dan lari, kekuatan mereka itu dapat dicerai-beraikan dan akhirnya mereka mengalami kekalahan besar terhadap penyerbuan pasukan pendekar. mereka dapat dibuat cerai-berai dan akhirnya mereka dikejar-kejar sampai ketempat itu. Selagi para pimpinan pejabat daerah yang berkhianat itu bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang perajurit yang segera memberi laporan dengan napas terengah-engah,

   "Pasukan Liu Pang makin dekat, tinggal dua dusun lagi dari sini. Mereka beristirahat disana dan menjelang fajar nanti akan berangkat melanjutkan pengejaran mereka."

   "Keparat!" Tiba-tiba Kwa Sun Tek bangkit berdiri dan mengepal tinju.

   "Biarkan mereka datang, kita akan hadapi mereka disini!" Seorang perwira yang berada diantara para pimpinan itu melangkah maju dan suaranya lantang terdengar oleh semua rekannya,

   "Cu-wi (tuan sekalian), bagaimanapun juga, agaknya kita tidak mempunyai jalan keluar, dan terpaksa kita harus menghadapi mereka. Kekuatan mereka jauh lebih besar dan melakukan pertempuran secara terbuka berarti menghancurkan diri sendiri bagi kita. Didepan terdapat sebuah benteng tua, di puncak bukit itu. Tempat itu sekarang dijadikan tempat tahanan dan tempat itu amatlah baik untuk dipergunakan sebagai benteng pertahanan. Mari kita kuasai tempat itu dan kita jadikan sebagai tempat pertahanan menghadapi pasukan-pasukan Liu Pang. Mereka tidak akan mampu mengalahkan kita dengan mudah kalau kita bertahan disana."

   "Akan tetapi kalau tempat itu sukar diserbu, bagaimana mungkin kita dapat merampasnya?" kata Kwa Sun Tek.

   "Aku mengenal baik para komandan disana karena aku pernah bertugas disana selama beberapa tahun. Biarlah aku membawa pasukan dan mengatakan bahwa kita adalah pasukan pembantu dari ibu kota untuk memperkuat penjagaan ditempat tawanan ini. Mereka tentu akan percaya dan setelah berada disana, kita kuasai benteng itu," kata si perwira. Semua orang menyetujui.

   "Mari kita laksanakan rencana itu sebelum barisan Liu Pang tiba disini," kata seorang pembesar sipil yang sudah merasa ketakutan. Sementara itu, tiba-tiba A-hai dan Bwee Hong mendengar bisikan suara ketua Tai-bong-pai yang agaknya dikirim dengan kekuatan khikang sehingga biarpun kakek itu berada dipohon lain, suaranya dapat terdengar oleh mereka dengan jelas tanpa terdengar oleh mereka yang berada dibawah pohon.

   "Kebetulan sekali bagi kita rencana mereka itu. Mari kita mencari pakaian perajurit dan menyamar sebagai anggauta pasukan mereka. Kita menyusup dibagian pedati-pedati perbekalan agar tidak mudah mereka ketahui. Jangan bertindak apa-apa, dan kita ikut menyelundup kedalam benteng itu."

   Bwee Hong lalu memberi isyarat kepada A-hai dan keduanya lalu meloncat kepohon lain. Mempergunakan kegelapan malam, mereka berloncatan dan setelah berada ditempat sepi, mereka dapat mencari pakaian dari perajurit-perajurit yang tewas dalam pertempuran tadi. Mereka melucuti pakaian mayat perajurit yang cocok besarnya untuk mereka, lalu menyamar sebagai perajurit. Karena malam itu gelap dan semua perajurit sedang sibuk dan tegang mendengar betapa para penyerbu sudah semakin dekat, dengan mudah Bwee Hong dan A-hai menyusup diantara kereta-kereta perbekalan dan bersikap sebagai pengawal-pengawal. Mereka juga dapat melihat kakek dan nenek Tai-bong-pai bersama puteri mereka.

   Bahkan kakek itu kini memegang kendali kuda yang menarik kereta perbekalan. Entah apa yang telah mereka lakukan dengan kusirnya. Berkat akal si perwira, dengan mudah pasukan yang berjumlah seribu orang lebih itu dapat memasuki pintu gerbang benteng dan begitu mereka berada didalam, segera mereka menyergap dan melucuti para penjaga. Tentu saja para penjaga yang jumlahnya hanya seratus orang dan yang mengandalkan kekuatan benteng itu, tak berani melawan dan akhirnya menyerahkan benteng untuk dikuasai para pendatang baru ini. Segera pasukan itu diatur untuk melakukan penjagaan sekuatnya dibenteng yang amat kokoh itu. Hati mereka agak lega karena kini mereka memperoleh tempat perlindungan yang boleh diandalkan. Sementara itu, lima orang perajurit palsu yang ikut menyelundup masuk, kini berpencar untuk menyelidiki keadaan benteng penjara itu.

   Bwee Hong pergi bersama A-hai, Siok Eng bersama ibunyanya sedangkan ketua Tai-bong-pai yang lihai itu pergi menyendiri. Mereka tentukan tempat untuk pertemuan mereka setelah penyelidikan masing-masing, yaitu dibagian belakang benteng, tak jauh dari sumber air yang berada disebelah belakang dibalik tembok belakang. Bwee Hong dan A-hai menuju kebelakang bangunan benteng, kebagian dapur. Karena yang bertugas didapur adalah perajurit-perajurit lama dan mereka tidak dapat membedakan mana kawan dan lawan, apa lagi melihat betapa diantara pasukan baru yang mengambil alih benteng itu terdapat banyak pula orang-orang liar atau orang asing, maka kemunculan Bwee Hong dan A-hai yang menyamar sebagai perajurit-perajurit itu tidak menimbulkan kecurigaan.

   "Sobat baik, tolonglah beri makanan kepada kami yang kelaparan ini," kata A-hai dan diam-diam Bwee Hong melihat betapa kawannya itu telah mendapatkan kembali kecerdikannya, bukan seperti A-hai yang biasanya ketololan itu. Dua orang petugas dapur itu memandang kepada A-hai dan agak lama memandang wajah "perajurit" yang bertubuh kecil ramping itu. Seorang diantara mereka tersenyum dan tangannya diulur untuk menyentuh lengan Bwee Hong sambil berkata,

   "Anak masih begini kecil dan tampan sudah menjadi perajurit." A-hai memegang tangan orang itu dan pura-pura marah.

   "Jangan goda adikku! Dia tidak bisa pisah dariku, maka terpaksa ikut menjadi perajurit. Dan jangan tertawakan dia, karena dia dia gagu."

   "Gagu? Wah, sayang begini tampan gagu"

   "Sudahlah, kami lapar, tolong beri makanan."

   "Sebentar lagi, belum matang roti yang kami masak," kata seorang diantara mereka.

   "Duduklah dulu dan ceritakan jalannya pertempuran melawan pemberontak." A-hai lalu bercerita bahwa dia ikut pula bertempur melawan para pemberontak didaerah selatan. Akan tetapi karena selalu kalah, pasukannya ditarik kembali ke Kotaraja dan pagi tadi mendadak pasukannya menerima perintah untuk menduduki benteng itu dan mempertahankannya dari pemberontak Liu Pang yang menuju kesitu. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki dan Bwee Hong bersama A-hai sudah siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Yang muncul adalah dua orang perajurit lagi yang berjalan sempoyongan, tanda bahwa mereka sedang mabok.

   "Ha-ha-ha... kepala jaga penjara itu selalu mempunyai arak dan kami diberi seguci arak yang amat baik. Tapi... eh, mereka minta tukar dengan roti. A-khun, tolonglah beri roti kepadaku untuk kepala jaga."

   "Tunggu sebentar, rotinya sedang dipanaskan," kata si tukang masak. Dua orang perajurit itu duduk dan menghabiskan arak mereka. Ketika roti yang diminta akhirnya sudah siap, seorang diantara mereka sudah rebah tidur mengorok, yang seorang mencoba untuk membangunkannya namun sia-sia karena orang itu sudah tidur seperti bangkai. Melihat ini, A-hai menghampiri.

   "Sobat, temanmu itu sudah tidur pulas, mana mungkin bisa disuruh bangun? Kalau ada tugas, biarlah aku dan adikku ini membantumu, menggantikan temanmu yang tidur." Melihat wajah yang mabok itu memandang ragu, A-hai cepat menyambung,

   "Dan engkau sendiripun perlu mengaso, kalau kami berdua dapat menggantikan, engkau kan dapat tidur pula disana." Mendengar bahwa ada orang mau menggantikannya berjaga sehingga dia dapat mengaso dan tidur, perajurit itu nampak girang. Dia mengangguk-angguk.

   "Baik, sungguh membosankan memang berjaga dipenjara itu. Apanya sih yang dijaga?"

   A-hai dan Bwee Hong lalu mengikuti penjaga itu sambil membawakan roti. Mereka berdua merasa betapa jantung mereka berdebar tegang ketika perajurit yang jalannya sempoyongan itu membawa mereka memasuki sebuah bangunan besar yang terjaga oleh pasukan yang nampak tak acuh. Mereka bertiga terus masuk kelorong dalam penjara itu, melewati kamar-kamar tahanan. Didalam sebuah ruangan tahanan yang besar dan agak gelap nampak tiga orang tahanan yang diborgol kaki tangannya. Tiba-tiba Bwee Hong mencubit lengan A-hai. Pemuda ini memandang dan diapun mengenal Seng Kun bersama seorang kakek dan seorang pemuda lain. Melihat betapa keadaan tiga orang tawanan itu diborgol dengan ketat dan penjagaan disitu amat kuat, A-hai memberi isyarat kepada Bwee Hong agar tidak melakukan tindakan sesuatu.

   Yang berada didalam ruangan itu memang Seng Kun dan dua orang penolongnya, yaitu kakek Kam Song Ki dan muridnya, yaitu Kwee Tiong Li bekas pemberontak yang kini telah meninggalkan pasukannya dan menjadi murid kakek sakti itu. Mereka bertiga melihat adanya dua orang perajurit penjaga yang datang bersama perajurit mabok, akan tetapi karena penyamaran kedua orang itu amat baik dan mereka hanya melihat dari jauh, mereka tidak mengenal dua orang itu. Apa lagi karena memang mereka bertiga tidak menaruh perhatian terhadap para perajurit penjaga. Bwee Hong juga cerdik dan ia tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan, pura-pura tidak perduli dan tidak mengenal tiga orang tawanan itu walaupun ingin ia cepat turun tangan menolong kakaknya.

   Ia harus menahan kesabarannya. Biarpun saat itu amat berbahaya kalau ia dan A-hai mencoba untuk menolong tawanan, melihat penjagaan yang cukup kuat. namun setidaknya ia sudah tahu benar dimana tempat kakaknya ditahan. Setelah perajurit mabok itu menyerahkan roti yang dimintanya dari dapur kepada kepala jaga dan dia sendiri lalu tertidur ditempat penjagaan dengan membiarkan A-hai dan Bwee Hong menggantikannya, A-hai lalu mengajak Bwee Hong diam-diam meninggalkan tempat itu dan menyelinap pergi untuk menemui teman-temannya. Ditempat yang sudah ditentukan, tak lama kemudian merekapun sudah berkumpul kembali dengan Kwa Eng Ki ketua Tai-bong-pai, Siok Eng dan ibunya. Mereka bertiga tidak berhasil mencari dimana adanya tiga orang yang ditahan itu dan tentu saja mereka girang mendengar akan hasil penyelidikan A-hai.

   "Mereka ditahan didalam ruangan tahanan yang menembus kedapur," kata A-hai.

   "Kami sudah tahu tempatnya dan kami sudah melihat mereka diruangan itu, diborgol kaki tangan mereka."

   "Akan tetapi penjagaan disitu amat kuat, agaknya amat sukar kalau kita menyerbu dengan kekerasan. Sebelum kita berhasil melepaskan mereka, terdapat bahaya kalau-kalau para perajurit penjaga menyerang mereka yang diborgol," sambung Bwee Hong.

   "Tadipun kita beruntung karena dapat pergi bersama seorang perajurit penjaga mabok. Kalau bukan perajurit penjaga penjara itu, agaknya sukar untuk dapat masuk, dan kita tidak tahu pula siapa pemegang kunci-kunci pintu besi dan kunci-kunci borgol besi itu. Padahal, memasuki ruangan itu saja harus melalui lima pintu besi yang hanya dapat dibuka dengan kunci," A-hai menerangkan lebih lanjut. Ketua Tai-bong-pai mengangguk-angguk.

   "Kita harus pergi kesana dan membebaskan mereka sekarang juga."

   "Tapi... tapi... itu membahayakan kakakku" Bwee Hong membantah.

   "Nona, harap jangan khawatir. Percayalah kepada suamiku. Dia tidak akan bertindak sembrono dan dia pasti akan berusaha sampai berhasil." Isteri ketua Tai-bong-pai menghibur Bwee Hong ketika melihat suaminya mengerutkan alisnya, tanda tidak senang hatinya karena dibantah.

   Memang sudah menjadi watak ketua Tai-bong-pai ini yang akan merasa terhina kalau sampai tidak dipercaya orang, apa lagi kalau sampai dibantah kehendaknya dia akan marah sekali. Andaikata bukan Bwee Hong yang membantahnya, yaitu nona keluarga penolong puterinya, tentu dia akan memberi hajaran! Mendengar kata-kata nyonya itu, hati Bwee Hong menjadi lega. Bagaimanapun juga, ia sudah mengenal Siok Eng dan tahu betapa lihainya temannya itu, dan kini, ayah temannya itu yang akan turun tangan membantunya membebaskan kakaknya, tentu saja ia percaya akan kesaktian kakek ketua Tai-bong-pai itu.

   Dipimpin oleh kakek Kwa Eng Ki, mereka dengan hati-hati lalu bergerak menuju kebangunan depan, bersikap sebagai serombongan perajurit yang sedang meronda. Tiba-tiba mereka melihat adanya kesibukan. Beberapa orang perwira nampak bergegas memasaki sebuah ruangan. Kwa Eng Ki memberi isyarat dan mereka cepat menyelinap dan melakukan pengintaian kedalam ruangan itu karena mereka dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang penting. Dan ternyata didalam mangan itu berkumpul para pimpinan pasukan yang menguasai benteng itu. Para gubernur pelarian beserta para perwiranya sudah berkumpul. Mereka mendengarkan pelaporan seorang perwira yang bertugas menyelidiki keadaan diluar dan wajah mereka berobah tegang ketika mendengar bahwa barisan pemberontak yang dipimpin oleh Liu Pang telah menuju ke benteng itu.

   "Ah, barisan orang she Liu itu benar-benar datang!" kata seorang gubernur.

   "Mereka agaknya tidak berhenti malam ini dan terus melakukan pengejaran, langsung menuju kesini. Kalau begitu, malam ini juga tentu mereka akan sampai disini. Kita harus cepat mengatur penjagaan yang kuat. Untung bahwa benteng ini merupakan tempat bertahan yang amat baik." Kwa Eng Ki memberi isyarat kepada teman-temannya dan mereka menyelinap pergi menjauhi ruangan itu. Ditempat sunyi mereka berkumpul dan membuat rencana.

   "Wah, kita akan terlibat dalam pertempuran lagi malam ini. Dan mereka ini pasti akan mempertahankan diri mati-matian dibenteng ini sedangkan pasukan-pasukan Liu-Bengcu juga tentu akan mengerahkan kekuatan untuk menghancurkan musuh."

   "Lo-cianpwe, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Bwee Hong, hatinya tidak sabar dan penuh ketegangan. Ia mengkhawatirkan terjadinya perobahan kalau sampai pasukan Liu-Bengcu menyerbu. Kalau terjadi pertempuran yang kacau-balau, tentu keselamatan kakaknya terancam. kakaknya harus dapat dibebaskannya sebelum terjadi pertempuran, pikirnya.

   "Kalian berempat tetaplah menanti disini. Aku akan menyiapkan rencanaku. Nanti tepat tengah malam kalian harus menyerbu dan membersihkan sudut pojok tembok belakang bagian barat itu dari para penjaga. Aku telah menyelidiki bagian itu. Hanya ada belasan orang penjaga saja, tempatnya sunyi dan dibelakang tembok itu tebingnya biarpun curam akan tetapi terdapat banyak tonjolannya sehingga kita akan dapat menuruninya. Dibawah tebing terdapat sebuah sungai yang dangkal sehingga mudah bagi kita untuk menyeberanginya dan menghilangkan jejak."

   "Akan tetapi... apa yang akan Lo-cianpwe lakukan? Agar kami dapat mengetahuinya sehingga hati kami menjadi tenang," kata A-hai. Ketua Tai-bong-pai itu tersenyum dan wajahnya yang pucat seperti mayat itu nampak semakin menyeramkan.

   "Tentang cara-caraku untuk menyelamatkan kawan-kawan kita, kalian tidak perlu turut campur. Aku yakin pasti usahaku akan berhasil. Mungkin bagi orang-orang golongan bersih seperti kalian, cara-caraku itu akan kelihatan agak mengerikan. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin akan dapat membebaskan tiga orang tawanan itu." Beberapa orang perajurit muncul ditempat itu dan mereka berlima menghentikan percakapan mereka. Seorang diantara perajurit-perajurit itu, yang agaknya memiliki pangkat, melihat lima orang "perajurit" bergerombol itu, menegur,

   "Hei, apa yang kalian lakukan disini? Kita semua sedang sibuk melakukan persiapan untuk menghadapi penyerbuan musuh, kalian malah enak-enakan disini. Hayo, kembali keinduk pasukan kalian dan mempersiapkan diri!" A-hai mendahului kawan-kawannya, mengambil sikap tegak dan menjawab,

   "Siapp!!" Lalu mereka berlima pergi meninggalkan tempat itu. Setelah memberi isyarat dengan tangannya, ketua Tai-bong-pai lalu menggerakkan tubuhnya dan lenyap ditempat gelap.

   "Dimana kita harus menanti ayah? Kalau kita ikut berkumpul dan berbaris, ada bahayanya penyamaran kita akan ketahuan," kata Siok Eng.

   "Kita kedapur saja! Aku telah mereka kenal dan kita dapat membohong, mengatakan bahwa kita diberi tugas memperkuat penjagaan didapur," kata A-hai dan mereka semua tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik, maka pergilah mereka kedapur.

   Menjelang tengah malam yang menyeramkan dan menegangkan. Para perajurit yang berjaga dibenteng itu merasa betapa waktu merayap amat lambatnya, semakin lama semakin menegangkan hati. Sedikit suara saja sudah membuat mereka terperanjat dan jantung mereka berdebar-debar penuh rasa gelisah. Mereka secara bergilir melakukan penjagaan diatas tembok benteng, disekitar pintu gerbang dan bagian-bagian yang sekiranya akan menjadi sasaran penyerbuan musuh. Tiba-tiba, seorang perajurit yang berjaga dimenara membunyikan terompet. Itulah tanda bahaya, tanda bahwa pihak musuh sudah nampak! Seperti berebutan, para komandan pasukan berlari-larian keatas tembok benteng untuk menyaksikan sendiri dan mereka semua menahan napas ketika melihat cahaya terang dari kejauhan yang semakin lama semakin terang, seolah-olah matahari terbit difajar menyingsing.

   Padahal, saat itu masih menjelang tengah malam! Dan tak lama kemudian, terdengarlah derap kaki yang membuat benteng itu seperti tergetar dan nampaklah barisan obor yang memenuhi lembah dan kaki bukit yang luas itu. Tentu saja semua perajurit yang berjaga dibenteng merasa ngeri. Kekuatan pihak musuh itu tentu puluhan kali lebih besar dari pada kekuatan mereka sendiri. Kini ribuan obor yang berada dilereng itu perlahan-lahan terpencar dan tersebar mengepung benteng Itu. Bukan main banyaknya, kemudian terdengar bunyi terompet yang memecah keheningan angkasa malam. Begitu terompet terdengar, semua obor yang bergerak naik keatas bukit itu padam! Keadaan menjadi gelap pekat dan tidak terdengar suara sedikitpun. Derap kaki musuhpun lenyap seolah-olah mereka itu barisan setan yang pandai menghilang.

   Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tentu saja keadaan ini membuat semua perajurit yang berjaga diatas tembok benteng menjadi tegang hatinya dan ketakutan. Mereka menjadi kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan karena pimpinan merekapun tidak memberi isyarat apa-apa, agaknya sama bingungnya dengan mereka menghadapi siasat musuh yang luar biasa ini. Bagaimana kalau musuh itu tahu-tahu muncul didepan hidung mereka? Malam demikian gelapnya! Untuk memasang penerangan diatas tembok benteng, sama saja dengan membuat mereka menjadi sasaran anak panah pihak musuh. Sungguh celaka, belum apa-apa, sebelum bertempur, nyali para perajurit dibenteng itu sudah hilang separuh. Segerombolan perajurit yang berjaga dibelakang pintu gerbang, berkelompok dan biarpun hawa malam itu tidak begitu dingin, mereka itu sering kali menggigil seperti orang kedinginan.

   "Kawan-kawan," kata seorang diantara mereka setelah mereka turun lagi dari atas benteng untuk melihat keadaan diluar tembok benteng,

   "Mereka itu seperti setan saja! Mereka menggunakan akal busuk, membikin kita tegang dan ketakutan terlebih dahulu dengan cara memadamkan obor-obor itu. Kita menjadi seperti menanti musuh yang seperti iblis bangkit dari kuburan, menanti munculnya mereka yang siap untuk mencekik leher kita, entah dari arah mana..., huh, sungguh gila...!"

   "Ahhh jangan bicara tentang iblis dan setan..., aku juga takut. Siapa tahu tiba-tiba mereka muncul disini dan... hiiiihhh... sssettt... sseeetann!" Dan orang itupun jatuh terduduk dengan celana basah, mukanya pucat dan matanya terbelalak, telunjuknya menuding kearah depan, yaitu diarah belakang teman-temannya. Semua orang membalikkan tubuh dan merekapun terbelalak, ada yang menahan jerit, bahkan ada yang langsung roboh pingsan. Apakah yang mereka lihat? Sungguh penglihatan yang mendirikan bulu roma dan amat menakutkan, apa lagi terjadi dimalam sunyi yang menegangkan itu, dimana mereka semua berada dalam keadaan dicekam ketakutan.

   Siapa yang tidak akan merasa takut kalau dimalam gelap itu mereka melihat seorang perajurit berdiri, hanya tiga meter jauhnya, dengan dadanya masih ditembusi tombak? Jelaslah bahwa orang itu tidak mungkin dapat berdiri, bahkan bergerakpun tak mungkin, karena orang yang dadanya tertembus tombak seperti itu tentu sudah mati. Pakaiannya berlepotan darah kering, dan mukanya putih pucat, mulutnya ternganga dan matanya mendelik, juga bau bangkai busuk menyerang hidung mereka. Yang membuat mereka semua amat ketakutan adalah ketika mereka mengenal perajurit ini sebagai seorang teman mereka yang tewas dalam pertempuran dilereng bukit melawan sisa pasukan Jenderal Lai itu. Dan kini mayat hidup itu melangkahkan kaki, menghampiri mereka dengan gerakan meloncat-loncat kaku! Ternyata bukan ditempat itu saja muncul mayat hidup.

   Juga diatas tembok benteng, bermunculan mayat-mayat hidup, mayat para perajurit yang tewas didalam pertempuran, baik perajurit dari pasukan Jenderal Lai maupun perajurit teman-teman mereka yang berjaga dibenteng itu. Mayat-mayat hidup berkeliaran, gentayangan dengan bau busuk dan tubuh masih berlepotan darah kering, Gegerlah tempat penjagaan. Siapa tidak akan merasa ngeri melihat mayat-mayat itu berjalan, ada yang lengannya buntung, bahkan ada yang tanpa kepala. Para perajurit penjaga yang panik ketakutan itu ada yang berlaku nekat, menyerang mayat-mayat hidup itu dengan golok dan pedang, juga menusuk dengan tombak. Akan tetapi, mayat-mayat itu tidak mengenal sakit. Biarpun tubuh mereka ditembusi senjata tajam dan leher mereka putus ditebas golok, tetap saja mereka itu tertatih-tatih berjalan, ada yang meloncat-loncat dan bau busuk amat memuakkan perut.

   Banyak sekali mayat-mayat itu, seperti tiada habisnya bermunculan dari luar tembok benteng. Tadinya para komandan jaga mengira bahwa ini tentu siasat musuh yang melakukan penyamaran, akan tetapi betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka merobohkan dan menangkap sebuah mayat hidup dan memeriksa, ternyata yang diperiksanya itu benar-benar mayat yang sudah hampir busuk! Benar-benar mayat hidup yang gentayangan dan berkeliaran menyerbu benteng itu! Bukan hanya puluhan, bahkan ratusan banyaknya. Mayat-mayat itu terus bergerak dengan kaku menuju kepenjara! Dapat dibayangkan betapa panik dan takutnya para perajurit yang berjaga dipenjara. Keadaan menjadi kacau-balau. Memang sebelumnya mereka sudah ketakutan mendengar bahwa benteng diserbu oleh ratusan mayat hidup dan kini tahu-tahu mayat-mayat itu bermunculan ditempat jaga mereka.

   Tanpa banyak cakap lagi merekapun melarikan diri ketakutan, ada yang terkencing-kencing. Sebentar saja, penjara itupun kosong ditinggalkan para penjaga. Betapapun gagahnya, para penjaga yang hanya manusia-manusia biasa itu tentu saja tidak mempunyai nyali yang cukup besar untuk melawan pasukan mayat hidup! Mayat-mayat itu menyusup kemana-mana. Bahkan dapurpun mereka masuki. A-hai, Bwee Hong, Siok Eng dan ibunya yang ikut berjaga didapur, melihat kawan-kawan mereka lari ketakutan dan merekapun bangkit dan keluar dari dalam dapur untuk menyaksikan apakah benar ada mayat-mayat mengamuk seperti yang diteriakkan orang-orang itu. Dan baru saja mereka keluat pintu dapur, mereka berhadapan dengan beberapa sosok mayat hidup yang berjalan dengan gerakan kaku dan ada yang berloncatan.

   "Heiii itu be... benar mayat-mayat hidup...!" A-hai berseru, matanya terbelalak karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan keanehan seperti itu.

   "Hiiihhhh, mengerikan!" Bwee Hong memandang pucat dan ketakutan. Akan tetapi, Sok Eng dan ibunya nampak tenang-tenang saja, bahkan mereka berdua lalu meloncat kedepan menghadapi lima sosok mayat hidup itu dan mereka lalu merangkapkan kedua tangan didepan dada seperti orang-orang memberi hormat, mulut mereka berkemak-kemik dan mayat-mayat itupun lalu membalikkan tubuh dengan kaku, kemudian melangkah pergi meninggalkan tempat itu! Tentu saja A-hai dan Bwee Hong memandang dengan mata terbelalak heran.

   "Jangan takut," kata isteri ketua Tai-bong-pai.

   "Semua itu adalah perbuatan suamiku. Dia menggunakan ilmunya untuk membangkitkan mayat-mayat perajurit yang tewas dalam pertempuran, mengerahkan mayat-mayat itu untuk mengacau musuh dan kesempatan ini harus kita pergunakan untuk membebaskan tawanan, sebelum pengaruh Ilmu 'Memanggil Roh' itu habis."

   Mendengar ini, Bwee Hong dan A-hai merasa girang sekali dan mereka berempat lalu cepat-cepat memasuki penjara. Akan tetapi, baru saia mereka tiba dipintu penjara, mereka bertemu dengan Seng Kun, kakek Kam Song Ki dan Kwee Tiong Li. Belenggu mereka telah lepas dan dikanan kiri mereka berjalan belasan sosok mayat hidup yang membebaskan mereka. Tiga orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, akan tetapi merekapun kagum dan juga merasa ngeri menyaksikan sepak terjang para mayat hidup itu. Akan tetapi, melihat munculnya Bwee Hong, Seng Kun terbelalak dan wajahnya memperlihatkan rasa girang dan haru, hampir tidak percaya dia bahwa dia akan dapat bertemu dengan adiknya ditempat berbahaya dan mengerikan itu.

   "Hong-moi!"

   "Koko!" Keduanya berangkulan dan Bwee Hong yang masih memakai pakaian perajurit kedodoran itu menangis didada kakaknya. A-hai memandang dengan hati terharu. Sementara itu, kakek Kam Song Ki yang sakti itu bengong memandang kearah mayat-mayat yang berkeliaran disitu.

   "Ya Tuhan! Hanya orang-orang dari Tai-bong-pai sajalah yang akan mampu bermain-main dengan mayat-mayat seperti ini! Demikian banyaknya mayat yang berkeliaran. Aku berani bertaruh bahwa yang bermain-main ini tentulah tokoh Tai-bong-pai yang berkedudukan tinggi!" Mendengar ucapan itu, ibu Siok Eng menjura kepada kakek itu dan berkata,

   "Maafkan, Lo-cianpwe. Suamikulah yang membuat onar disini karena kami ingin membebaskan Lo-cianpwe bertiga dari penjara ini." Kam Song Ki cepat membalas penghormatan nyonya itu dan hidungnya kembang kempis. Dia dapat mencium bau harum dupa dari tubuh nyonya yang berwajah pucat ini, maka diapun tertawa gembira.

   "Ha-ha-ha, ditempat seperti ini dapat bertemu dengan isteri ketua Tai-bong-pai, sungguh menggembirakan sekali! Bukankah toanio ini nyonya Kwa Eng Ki ketua Tai-bong-pai dan dia yang mempunyai ulah begini?"

   "Benar, Lo-cianpwe," jawab nenek itu.

   "Dan menurut penuturan puteri kami, Lo-cianpwe adalah Kam Song Ki, murid bungsu dari mendiang Lo-cianpwe Bu-Eng Sin-yok-ong." Kembali kakek itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, hanya nama kosong belaka, mana mampu menandingi ilmu mujijat dari perguruanmu ini?" Sementara itu Siok Eng berkata,

   "Sebaiknya kita menyelamatkan diri dulu melalui tebing sebelah barat seperti telah dipesan oleh ayah." Semua orang lalu berangkat menuju ketembok benteng sebelah barat dan dengan kepandaian tinggi yang mereka miliki, tidak sukar bagi mereka untuk menuruni tebing curam itu hanya dengan bantuan obor yang mereka pegang. Akhirnya dengan selamat mereka tiba didasar tebing dimana terdapat sebuah sungai dangkal dan merekapun menyeberangi sungai dan tiba ditepi sebelah seberang dengan selamat.

   "Mari kita mencari suamiku. Dia tentu berada dibekas pertempuran itu, dimana dia mengerahkan mayat-mayat untuik menyerbu benteng," kata nyonya Kwa dan dengan petunjuknya, mereka semua lalu menuju ketempat dari mana mayat-mayat hidup itu berasal.

   Dan benar saja, ditempat itu, disebuah lereng yang amat sunyi, seorang kakek sedang duduk bersila menghadapi sebongkok besar dupa wangi yang mengepulkan asap tebal keudara. Kakek ini agaknya sedang mengerahkan tenaga batinnya, duduk bersila dalam samadhi. Seorang pria tinggi tegap nampak berdiri dibelakangnya, seperti sedang menjaganya. Dan memang orang itu sedang menjaga keselamatan kakek yang raganya seperti sedang kosong ini, dan orang itu bukan lain adalah Liu Pang atau Liu-Bengcu, pemimpin besar barisan yang sedang bergerak menuju ke Kotaraja itu dan yang kini sedang mengepung dan hendak menyerbu benteng!

   "Suamiku, bangunlah, usahamu telah berhasil," kata nenek itu dengan girang. Kwa Eng Ki menarik napas panjang beberapa kali, dari mulutnya keluar suara bisikan membaca mantera dan membuka matanya, lalu bangkit berdiri.

   Kiranya ketika ketua Tai-bong-pai ini pergi ketempat mayat-mayat bergelimpangan untuk memulai usahanya membangkitkan mayat-mayat itu untuk mengatur siasatnya mengacau benteng, dia bertemu dengan Liu Pang dan anak-buahnya. Mendengar rencana kakek itu, Liu Pang lalu memerintahkan anak-buahnya untuk membiarkan mayat-mayat itu memasuki benteng, sedangkan dia sendiri menjaga tubuh kakek Kwa kalau-kalau ada yang akan mengganggunya selagi dia menjalankan ilmunya memanggil roh dan menghidupkan orang-orang mati. Bwee Hong, A-hai dan Siok Eng memberi hormat kepada pemimpin pemberontak itu, dan Seng Kun bersama dua orang kawannya yang baru saja dibebaskan dari penjara itupun memberi hormat, lalu menghaturkan terimakasih kepada Kwa Eng Ki.

   

Naga Beracun Eps 22 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 3 Naga Beracun Eps 25

Cari Blog Ini