Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Kerajaan Sung 2


Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




   Tiba-tiba daun jendela yang menghadap ke taman terbuka dan sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu dalam kamar itu telah berdiri Cun Giok! Dua orang wanita penghibur itu terkejut dan menjerit, akan tetapi mereka segera roboh tertotok. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenalnya itu, Kui Con menjadi marah sekali.

   Dia bukan seorang pemuda lemah karena bersama Kim Magu dia telah mempelajari ilmu silat yang cukup lumayan. Segera dia menyambar sebatang golok yang tak pernah terpisahkan dari dirinya dan mencabut golok itu.

   "Jahanam busuk, siapa engkau berani mengacau di sini?" bentaknya.

   "Apakah engkau yang bernama Kui Con? Aku diutus oleh Kim Magu untuk menemuimu."

   Kui Con tertegun heran.

   "Kim-kongcu mengutusmu menemui aku? Benar, aku adalah Kui Con. Engkau siapakah dan diutus apa oleh Kim-kongcu?"

   "Aku diutus untuk mengajak engkau menemuinya."

   Kui Con mengerutkan alisnya, kecurigaannya muncul kembali, apalagi ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh dua orang gadis penghibur itu yang menggeletak di atas lantai tanpa dapat bergerak.

   "Tidak mungkin Kim-kongcu memanggilku tengah malam begini! Hayo katakan, siapa engkau dan apa maksudmu sebenarnya?"

   Cun Giok kini merasa yakin bahwa pemuda inilah yang bernama Kui Con yang dulu menculik Siok Hwa. Maka dia berkata,

   "Kui Con, engkau harus ikut denganku, mau atau tidak mau!"

   Kui Con marah sekali. Dia berteriak memanggil pengawal sambil menerjang ke depan, menyerang Cun Giok dengan goloknya. Akan tetapi menghadapi Cun Giok, ilmu silat pemuda ini sama sekali tidak ada artinya. Hanya satu kali tubuh Cun Giok bergerak dan golok itu telah terlepas dari tangan
(Lanjut ke Jilid 02)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
Kui Con dan di lain saat dia telah terkulai lemas karena ditotok jalan darahnya. Cun Giok segera menangkap dan memanggulnya.

   Pada saat itu, sepuluh orang pengawal yang mendengar teriakan Kui Con dan memasuki kamar itu, melihat Kui Con dipanggul seorang pemuda, mereka segera menyerang dengan senjata tajam mereka berupa golok atau pedang.

   Sambil memanggul tubuh Kui Con yang tak mampu bergerak atau bersuara, Cun Giok menyambut serangan sepuluh orang pengawal itu dengan tendangan kedua kakinya. Kedua kaki itu menyambar-nyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti penglihatan para pengeroyok itu dan tahu-tahu tubuh mereka terlempar dan berpelantingan. Mereka hanya dapat berteriak mengaduh dan setelah sepuluh orang itu roboh semua oleh tendangannya, Cun Giok lalu melompat keluar dari rumah pelesir itu dan menghilang dalam gelap. Sepuluh orang pengawal yang tidak terluka parah, merangkak bangkit dan mencoba mengejar, akan tetapi mereka tidak menemukan jejak Cun Giok yang menculik Kui-kongcu. Terpaksa mereka lalu beramai-ramai pergi ke gedung Kepala Pengadilan Kui Hok untuk melaporkan peristiwa itu.

   Kui-thaijin tadinya marah sekali karena pada tengah malam begitu dia terganggu dan harus bangun, akan tetapi setelah mendengar laporan mereka bahwa puteranya diculik orang, dia lalu mengerahkan semua perajurit pengawal yang ada untuk melakukan pencarian.

   Cun Giok dengan cepat membawa Kui Con ke tanah kuburan dan setelah melemparkan tubuh Kui-kongcu itu ke atas tanah, dia lalu menyeret keluar tubuh Kim-kongcu dari bawah semak-semak dan melemparkan tubuhnya dekat tubuh Kui-kongcu. Ketika dua orang pemuda itu mengetahui keadaan masing-masing, timbullah perasaan takut dan ngeri dalam hati mereka.

   Kurang puas dengan sinar bulan, Cun Giok lalu menyalakan empat batang obor yang memang sudah dia persiapkan sehingga tempat itu menjadi terang. Dua orang pemuda bangsawan itu ngeri melihat bahwa mereka berada di depan empat kuburan baru yang berjajar. Mereka tidak pernah berkunjung ke tanah kuburan dan tidak tahu kuburan siapakah yang berada di depan mereka itu.

   Cun Giok menghampiri Kim Magu dan sekali tangannya bergerak, pemuda Mongol itu telah terbebas dari totokan. Dia mencoba bangkit berdiri, akan tetapi karena tadi agak lama berada dalam keadaan lumpuh, dia terhuyung dan jatuh terduduk di atas tanah. Selain sudah dapat bergerak, Kim Magu juga sudah dapat bersuara. Dia memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak kepada Cun Giok. Lenyaplah kesombongannya dan dengan hati-hati dia bertanya.

   "Sobat, siapakah engkau ini? Dan mengapa engkau menangkapku dan membawaku ke sini? Tidakkah engkau tahu bahwa aku ini putera Panglima Besar Kim Bayan yang menguasai seluruh pasukan daerah ini?"

   Cun Giok menatap tajam wajah yang sebelah matanya tertutup kain sutera itu.

   "Kim Magu, engkau harus mengaku apa yang telah kaulakukan dengan mereka yang jenazahnya dikubur di sini!" Dia menuding ke arah empat gundukan tanah kuburan itu.

   Kim Magu terbelalak memandang empat batu nisan itu.

   "Ini...... ini"" kuburan siapakah? Aku tidak mengenal mereka......"

   "Tidak mengenal mereka? Coba ingat baik-baik, ini adalah makam Paman Siok Kan, Chao Kung, isterinya Siok Hwa dan Nona Siok Eng. Engkau masih hendak mengatakan bahwa engkau tidak mengenal mereka?"

   Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Kim Magu. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu dibuka lebar-lebar. Tidak mungkin lagi dia menyangkal, maka dia menjawab mencoba untuk membela diri.

   "Ya, aku ingat sekarang! Akan tetapi, Taihiap (Pendekar Besar), mereka ini adalah keluarga pemberontak yang hendak memberontak terhadap pemerintah. Kami mendapat tugas untuk membasmi keluarga pemberontak ini."

   "Hemm, begitukah?"

   "Sungguh, Taihiap, aku hanya membasmi keluarga pemberontak! Aku tidak bersalah......" kata Kim Magu penuh harap. Kui Con yang belum mampu bergerak atau bersuara, ikut mendengarkan, ikut merasa ketakutan dan kini juga mengharapkan agar pemuda lihai yang menawannya itu mau percaya keterangan Kim Magu.

   "Kalau begitu, mengapa engkau menculik Nona Siok Eng? Hayo jawab!"

   Tubuh Kim Magu gemetar ketika Cun Giok menyinggung soal Siok Eng. Akan tetapi pemuda ini cerdik dan cepat mendapatkan akal untuk membela diri.

   "Taihiap, terus terang saja, melihat Nona Siok Eng aku merasa kasihan dan aku ingin membebaskan dara itu dari hukuman dan mengangkatnya menjadi seorang selir. Akan tetapi gadis pemberontak liar itu malah menyerangku. Lihat, Taihiap, sebelah mataku menjadi buta karena ia tusuk dengan tusuk kondenya."

   Cun Giok menahan kemarahannya.

   "Lalu engkau membunuhnya?"

   "Tentu saja! Kalau tidak, tentu aku yang ia bunuh. Seperti kukatakan tadi, keluarga itu keluarga pemberontak dan gadis itu benar-benar liar, Taihiap."

   "Kim Magu, aku mendengar bahwa Nona Siok Eng adalah seorang gadis yang lemah, bagaimana mungkin ia dapat menyerangmu dan membutakan sebelah matamu?"

   Melihat Cun Giok bicara lembut kepadanya, Kim Magu mulai merasa tenang. Pemuda lihai ini agaknya seorang kang-ouw yang sehaluan dengannya, maka dia tersenyum.

   "Memang sesungguhnya demikian, Taihiap. Justeru itulah keliarannya, sebagai seorang gadis lemah dapat membutakan mataku. Akan tetapi itu salahku sendiri karena aku lengah......" Tiba-tiba dia berhenti karena merasa ragu. Jangan-jangan pemuda ini akan menjadi marah kalau dia bercerita bahwa ketika itu dia sedang hendak memperkosa Siok Eng sehingga lengah dan sebelah matanya diserang menjadi buta.

   "Mengapa berhenti? Tentu ketika itu engkau hendak memperkosanya, maka ia menjadi nekat menyerangmu, bukan?" Dalam pertanyaan ini terkandung kekerasan sehingga Kim Magu semakin ragu dan mulai ketakutan lagi.

   "Tidak...... tidak......"

   Cun Giok sudah tidak sabar lagi.

   "Kalau engkau tidak mau mengaku, engkau boleh rasakan ini!" Jari tangannya menekan tengkuk Kim Magu.

   Tiba-tiba Kim Magu terbelalak dan mengaduh-aduh karena dia merasa betapa ada hawa panas seperti api membakar dirinya, dari tengkuk turun melalui tulang belakang sehingga seluruh tubuh terasa nyeri bukan main.

   "Cepat katakan mengapa Siok Eng nekat menyerangmu, kalau engkau bohong, aku akan membakar seluruh tubuhmu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi!" Dia menekan semakin kuat sehingga Kim Magu menjerit-jerit kesakitan.

   Kui Con yang melihat ini, menjadi pucat dan merasa ngeri.

   "Aduhh...... aduhhh...... baik, baik...... aku mengaku......"

   Cun Giok melepaskan tekanan jarinya dan Kim Magu dengan tubuh gemetar dan air mata bercucuran karena saking sakitnya tadi dia tidak tahan lagi untuk tidak menangis, lalu berkata dengan terengah-engah.

   "Memang...... aku...... aku cinta padanya, aku...... hendak memaksanya untuk melayaniku agar ia mau menjadi selirku, akan tetapi tiba-tiba ia menyerangku......"

   "Jahanam busuk! Kim Magu, tahukah engkau siapa aku? Aku adalah tunangan mendiang Nona Siok Eng!"

   "Uhhhh......" Kini Kim Magu ketakutan sekali, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri hendak melarikan diri, akan tetapi saking takutnya, kedua kakinya tidak dapat dia gerakkan. Dia lalu berlutut menyembah-nyembah.

   "Taihiap...... ampunkan aku...... ampun......"

   "Manusia busuk macam engkau ini sebetulnya tidak layak untuk hidup. Akan tetapi terlalu enak bagimu kalau engkau kubunuh. Biar kulanjutkan apa yang belum selesai dan lengkap dilakukan oleh mendiang Nona Siok Eng!" Tampak sinar kuning emas berkelebat tiga kali dan terdengar Kim Magu menjerit-jerit.
"Aduhh...... tolooonggg...... tolooonggg......!" Kemudian dia roboh terkulai, matanya yang tinggal sebelah kiri itu bercucuran darah dan kedua tangannya sebatas pergelangan telah terbacok putus! Kim Magu tidak berkutik lagi karena dia sudah jatuh pingsan.

   Ketika Cun Giok menghampiri Kui Con, pemuda ini menjadi pucat sekali. Begitu Cun Giok membebaskan totokannya sehingga dia mampu bergerak dan bersuara, dia langsung berlutut menyembah-nyembah.
"Taihiap, ampunkan saya...... ampunkan saya......"

   "Hayo ceritakan apa yang telah engkau lakukan terhadap Nyonya Chao Kung yang kaubawa lari. Jangan bohong!"

   "Saya...... saya kasihan melihatnya dan ingin membebaskannya dari hukuman, maka ia saya bawa pulang...... dan...... dan...... maksud saya hendak menjadikan ia sebagai selir tercinta...... akan tetapi...... ia...... ia membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada dinding...... ampunkan saya, Thai-hiap......"

   Cun Giok tidak percaya. Orang macam ini tidak ada bedanya dengan Kim Magu, tidak mungkin bersikap lembut kepada seorang wanita yang sudah diculiknya dan berada dalam cengkeramannya.

   "Ia membunuh diri karena engkau memperkosanya, bukan? Hayo jawab dan jangan bohong atau aku akan menyiksamu seperti kepada Kim Magu tadi!"

   "Saya...... saya...... cinta padanya...... saya memang menggaulinya...... saya tidak mengira ia membunuh diri......"

   "Keparat! Manusia macam engkau juga tidak pantas hidup di dunia ini!" Kembali tiga kali sinar emas pedangnya berkelebat dan disusul jeritan Kui Con yang jatuh bergulingan seperti ayam disembelih karena bukit hidungnya telah terpotong semua, juga kedua kakinya buntung sebatas pergelangan kaki!
Merasa puas dengan pembalasan yang dia lakukan terhadap dua orang muda jahanam itu, Cun Giok lalu menotok bagian yang terluka untuk menghentikan darah yang mengalir keluar lalu dia memberi obat bubuk merah untuk mengobati luka-luka mereka. Dia lakukan ini karena dia tidak ingin melihat mereka mati. Dia ingin agar mereka itu menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan menderita dan tidak sempurna sehingga menjadi buah tertawaan orang. Setelah itu ia lalu memberi hormat di depan tiga buah makam itu dan di depan makam Siok Eng dia berkata lirih."

   "Eng-moi, isteriku, maafkan aku yang tidak dapat melindungimu, aku hanya dapat membalaskan dendam sakit hatimu ini dan selamanya engkau akan kuakui sebagai isteriku." Setelah itu dia melangkah dan hendak pergi.

   "Nanti dulu......, engkau...... katakan siapa namamu kalau memang engkau gagah dan tidak takut akan pembalasan kami kelak!"

   Cun Giok berhenti melangkah dan membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang bicara itu. Ternyata yang bicara itu adalah Kim Magu. Pemuda yang kini buta kedua matanya itu dan kedua tangannya buntung, ternyata sudah siuman dan bangkit duduk. Wajahnya mengerikan karena berlepotan darah yang tadi keluar dari mata kanannya.

   Mendengar ucapan itu, Cun Giok berkata lantang.

   "Namaku Pouw Cun Giok dengan sebutan Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan)!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Cun Giok lenyap dari tanah kuburan itu.

   Dua orang pemuda bangsawan itu kini merintih-rintih. Kalau saja Cun Giok tidak menotok jalan darah untuk menghentikan mengalirnya darah keluar dari luka mereka, keduanya tentu akan mati kehabisan darah. Juga obat luka itu amat manjur. Luka mereka itu cepat mengering. Hanya rasa nyeri yang hebat menyiksa mereka sehingga mereka merintih-rintih.

   Kim Magu tadi sudah melihat betapa Kui Con juga menjadi tawanan. Kini dia mendengar rintihan suara Kui Con, segera berkata sambil menahan rasa nyeri.

   "Kui Con, bagaimana keadaanmu? Apa yang diperbuat penjahat keji itu terhadap dirimu?"

   Kui Con menahan rasa nyeri dan menghentikan rintihannya. Obor-obor itu masih bernyala dan dia dapat melihat keadaan Kim Magu dengan jelas. Dia bergidik ngeri melihat betapa mata Kim Magu yang tinggal sebelah itu kini luka berdarah dan tentu menjadi buta pula. Juga dia melihat betapa kedua tangan putera panglima itu buntung sebatas pergelangannya.

   "Kim-twako, celaka...... dia menyiksaku juga. Kedua kakiku buntung sebatas pergelangan dan...... dan...... hidungku juga dibacok hingga putus......" Ucapannya tidak jelas karena kini Kui Con bicara dengan suara bindeng (sengau)!

   Mendengar ini, dalam kesedihan dan kemarahannya Kim Magu tiba-tiba merasa agak terhibur! Bagaimanapun juga, keadaannya masih lebih baik daripada Kui Con yang sekarang tentu tidak mampu berjalan lagi dan wajahnya tentu menjadi amat jelek karena bukit hidungnya buntung! Di lain pihak, ketika tadi Kui Con melihat keadaan Kim Magu, dia merasa ngeri dan kasihan, juga mendatangkan sedikit hiburan dalam hatinya karena betapa pun buruk keadaannya, keadaan Kim Magu lebih buruk lagi karena pemuda putera panglima itu kini buta kedua matanya dan hilang kedua tangannya sehingga tidak dapat memegang apa-apa lagi!

   Memang demikianlah watak orang-orang yang selalu hanya mementingkan diri sendiri. Melihat orang lain lebih beruntung daripada dirinya, timbul perasaan iri. Sebaliknya melihat orang lain dalam keadaan lebih payah atau susah daripada keadaan dirinya, muncul perasaan senang dan terhibur!

   "Si keparat itu ternyata adalah Si Pendekar Tanpa Bayangan bernama Pouw Cun Giok!" kata Kim Magu gemas.

   "Pendekar Tanpa Bayangan? Twako, bukankah dia yang menjadi pemberontak buruan pemerintah yang dulu membunuh Panglima Besar Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) Kong Tek Kok?"

   "Benar dan dia...... dia itu tunangan Siok Eng yang kubunuh, terhitung keluarga dari keluarga Siok yang kita basmi. Aku akan melapor kepada Ayah...... ah, Kui Con, obor-obor itu sudah akan padam dan di sini amat menyeramkan. Mari kita tinggalkan tempat ini agar ditemukan orang yang dapat membantu dan menolong kita."

   Karena Kui Con tidak dapat berjalan, sedangkan Kim Magu tidak dapat melihat, maka biarpun dengan susah payah karena kedua tangannya buntung, Kim Magu akhirnya menggendong Kui Con di punggungnya sedangkan Kui Con yang menjadi penunjuk jalan karena dia yang dapat melihat. Keadaan mereka serupa dengan dongeng tentang Si Buta dan Si Lumpuh yang saling bantu sehingga dapat melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, bagaimanapun juga keadaan kedua orang itu sungguh amat menyedihkan dan mengerikan.

   Sesungguhnya, akibat perbuatan mereka sendiri yang menimpa diri mereka seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan mereka bahwa perbuatan yang tidak baik tentu akan mendatangkan akibat yang buruk pula dan hal itu mungkin dapat membuat mereka menjadi jera dan bertaubat. Akan tetapi dasar mereka orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan jiwanya tertutup kotoran tebal yang ditimbulkan dari merajalelanya nafsu mereka sendiri, mereka sama sekali tidak menyesali perbuatan mereka. Mereka hanya menyesali keadaan mereka itu dengan hati penasaran dan timbul dendam sakit hati kepada Cun Giok. Mereka sama sekali tidak merasa menyesal akan perbuatan mereka, sama sekali tidak merasa bersalah.

   Celakalah orang yang menjadi hamba nafsu sehingga selalu membenarkan diri sendiri, merasa baik sendiri, merasa benar sendiri dan segala apa pun di dunia ini harus bermanfaat dan menguntungkan bagi mereka! Sebaliknya, berbahagialah orang yang selalu meneliti perbuatannya sendiri, menganggap bahwa perbuatan mereka merupakan benih yang mereka tanam dan apa pun yang menimpa mereka adalah buah dari benih yang mereka tanam sendiri.

   Dengan kesadaran seperti ini, orang bijaksana menghadapi segala keadaan yang menimpa dirinya dengan ikhlas, tidak menyalahkan orang lain melainkan yakin bahwa semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Karma akan terus mengejar manusia ke mana pun dia pergi dan Karma akan selalu memaksa orang membayar semua hutangnya yang terjadi karena perbuatannya sendiri.

   Setelah keluar dari tanah kuburan, dua orang pemuda bangsawan itu bertemu dengan beberapa orang perajurit yang memang dikerahkan oleh Kui-thaijin untuk mencari puteranya yang diculik orang. Saking leganya bertemu dengan para perajurit, dua orang pemuda bangsawan itu jatuh pingsan. Mereka lalu cepat-cepat digotong oleh para perajurit dan dibawa ke rumah masing-masing.

   Kui Con langsung dibawa ke rumah gedung Pembesar Kui Hok dan melihat keadaan Kim Magu, Kui-thaijin memerintahkan para perajurit untuk cepat membawanya ke gedung tempat tinggal Panglima Besar Kim Bayan. Akan tetapi pada waktu itu, Kim Bayan tidak berada di rumah karena dia sedang sibuk berusaha mencari harta karun Kerajaan Sung. Keluarga panglima itu lalu menyambut Kim Magu dengan tangisan dan segera mengundang tabib terpandai di kota Cin-yang untuk mengobati dan merawat pemuda itu.

   Biarpun keluarga Kim dan Kui hendak merahasiakan dan menutupi peristiwa itu, namun karena banyak perajurit yang mengetahui, juga para pelayan di kedua keluarga bangsawan itu, akhirnya berita itu tersiar juga dan menjadi bahan percakapan seluruh penduduk Cin-yang. Diam-diam mereka bergembira dan merasa puas dengan hukuman berat yang diberikan Pendekar Tanpa Bayangan kepada dua orang muda bangsawan yang dibenci masyarakat itu.

   Dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan itu, Kim Magu dan Kui Con kini hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak berani kelihatan orang lain karena merasa malu dengan keadaan mereka. Mereka merasa tersiksa dan biarpun rasa nyeri akhirnya dapat dihilangkan, namun mereka merasa betapa hidup mereka tidak ada gunanya lagi. Bahkan sering mereka menangis meratapi nasib mereka dan merasa lebih baik mati saja daripada hidup tersiksa lahir batin seperti itu. Akan tetapi watak buruk mereka tidak pernah hilang sehingga mereka tidak menyesali perbuatan sendiri melainkan setiap hari mencaci-maki dan mengutuk Bu-eng-cu Pouw Cun Giok.

   Bahkan Kepala Pengadilan Kui Hok mengerahkan pasukan pemerintah untuk melakukan pencarian terhadap diri pendekar yang namanya amat dikenal itu. Juga pihak keluarga Kim, walaupun Kim Bayan sendiri belum pulang, mereka juga minta kepada para perwira pasukan untuk mencari Pendekar Tanpa Bayangan yang menjadi buronan pemerintah itu.

   Cun Giok meninggalkan tanah kuburan dan dia tidak mau singgah di rumah keluarga Siok yang dijaga Ciu-ma. Tidak ada orang mengetahui ketika dia berkunjung ke rumah itu dan dia tidak ingin ada orang mengetahui agar Ciu-ma tidak terbawa-bawa sebagai akibat dari perbuatannya menghukum Kim-kongcu dan Kui-kongcu.

   Setengah malam itu dia berlari cepat. Setelah malam berganti pagi, dia telah berada jauh sekali dari kota Cin-yang. Ketika melihat sebatang sungai yang airnya jernih mengalir di luar sebuah hutan, dia pun berhenti berlari dan duduk di tepi sungai di mana terdapat banyak batu-batu kali yang besar. Dia duduk di atas batu besar yang licin bersih, dan segera tenggelam dalam lamunan.

   Semula dia merasa lega dan puas telah memberi hajaran keras kepada dua orang pemuda bangsawan itu untuk membalas dendam Siok Eng sekeluarganya. Rasa lega dan puas itu muncul sebagai akibat dari kemarahan yang membakar hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah balas dendam itu dia laksanakan, dan dia duduk termenung memandang air bening yang mengalir di depannya dan matahari pagi membuat garis merah di permukaan sungai, kelegaan dan kepuasan itu tidak terasa lagi.

   Dia membayangkan wajah Siok Eng yang bergerak-gerak di permukaan air sungai. Tanpa disadari tangannya merogoh ke balik bajunya dan dia mengeluarkan sebuah benda putih mengkilap. Itulah tusuk sanggul perak berbentuk pohon yang-liu (cemara) pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan perjodohan.
Seperti dalam mimpi dia bicara kepada bayangan wajah Siok Eng di permukaan air setelah menghela napas panjang dan mengeluarkan keluhan merintih.

   "Eng-moi"" aku memang bersalah, aku berdosa kepadamu...... akan tetapi lihatlah, isteriku, lihat, tusuk sanggul pemberianmu ini tak pernah terpisah dari tubuhku. Sekali engkau menjadi jodohku, biar kini engkau tidak ada lagi, sampai aku mati pun engkau akan tetap kuanggap sebagai isteriku......"

   Kembali dia mengeluh dan tiba-tiba wajah Siok Eng di permukaan air itu berubah, membentuk sebuah wajah lain yang amat dikenalnya. Wajah Liu Ceng Ceng yang tersenyum lembut kepadanya, akan tetapi pandang mata Ceng Ceng kepadanya penuh teguran. Dia mengenal betul watak Ceng Ceng. Selama melakukan perjalanan bersama, seringkali gadis itu membuka rahasia-rahasia tentang kehidupan. Dia merasa yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak membenarkan tindakannya terhadap dua orang pemuda bangsawan itu.

   Dia teringat akan apa yang diceritakan Ciu-ma kepadanya bahwa dulu pernah kedua orang pemuda bangsawan itu mengganggu keluarga Siok dan ketika itu Pek-eng Sianli menolong mereka. Ceng Ceng yang telah menolong Siok Eng sekeluarga dan Ceng Ceng telah memberi hajaran keras kepada Kim Magu dan Kui Con, dengan jalan menggantung mereka di pohon tepi jalan raya sehingga semua orang melihat mereka. Ceng Ceng memang memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi tidak membunuh atau menjadikan mereka penderita cacat berat seperti yang dia lakukan itu.

   Pernah gadis itu mengatakan bahwa dendam dapat menimbulkan perilaku yang kejam sekali. Seperti yang dia lakukan terhadap Kim Magu dan Kui Con? Ceng Ceng pernah berkata kepadanya bahwa dendam merupakan racun dalam hati, merupakan ulah nafsu pementingan diri yang berbahaya karena kalau kita diperbudak oleh dendam, kita dapat melakukan hal-hal yang tidak kalah jahatnya dengan apa yang dilakukan orang kepada siapa kita mendendam.

   Benarkah bahwa dia terlalu kejam? Dipengaruhi nafsu mendendam? Dia mengerutkan alisnya dan seolah mendengar pula suara lembut Ceng Ceng bahwa menuruti dendam dan balas membalas berarti menyambung terus rantai Karma yang melibat diri tiada hentinya. Balas dendam yang dia lakukan itu akan menimbulkan dendam lain di pihak Kim Magu dan Kui Con! Mereka pasti menaruh dendam dan akan berusaha untuk membalas dendam mereka kepadanya! Dia telah menanam bibit dendam yang akan membuahkan dendam lain lagi.

   Cun Giok menghela napas panjang dan teringat kembali kepada Siok Eng sehingga wajah di permukaan air itu berubah menjadi wajah Siok Eng kembali. Wajah yang seolah memandang kepadanya penuh penantian, wajah yang menimbulkan rasa sedih dan haru.

   "Tidak, Eng-moi, aku tidak menyesal. Aku melakukan semua itu untuk membalas apa yang mereka lakukan terhadap dirimu, Ayahmu, Encimu, dan Cihumu (Kakak Iparmu). Aku akan menanggung semua akibatnya. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku mengabaikanmu selama ini, Eng-moi, kulakukan untuk membuat arwahmu tenang, isteriku."

   Dia mengamati tusuk sanggul perak di tangannya dan teringat bahwa Siok Eng sudah tidak ada lagi, hampir dia membuang tusuk sanggul itu ke air sungai. Tanda perjodohan itu hanya akan mengingatkan dia akan Siok Eng dan mendatangkan kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan wajah Ceng Ceng yang seolah menegurnya.

   "Giok-ko, bukan watak seorang gagah untuk membiarkan dirinya terlalu lama tenggelam ke dalam kesedihan. Segala hal yang telah terjadi tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi, namun dapat menjadi contoh yang menambah kesadaran kita akan yang salah dan yang benar."

   Seolah ucapan gadis itu terngiang di telinganya dan Cun Giok bangkit dari kesedihannya. Ceng Ceng benar! Tak perlu terbenam ke dalam kesedihan. Betapa sering dia membiarkan dirinya hanyut dalam duka. Pertama ketika dahulu dia kehilangan adik misannya, Lu Siang Ni yang membunuh diri di depannya tanpa dia dapat menghalanginya. Sekarang dia pun hanyut dalam kesedihan dan penyesalan karena kematian Siok Eng dan keluarganya. Tidak, dia tidak boleh hanyut dalam kesedihan. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Kalau ada akibatnya kelak, akan dia hadapi dengan gagah dan penuh tanggung jawab. Dia mencium tusuk sanggul perak itu dan menyimpannya kembali.

   "Eng-moi, biarpun engkau sudah meninggal, namun tusuk sanggulmu ini akan selalu kusimpan dan tidak akan terpisah dariku sampai hayat meninggalkan badanku."

   Setelah berkata demikian, Cun Giok menjadi tenang kembali dan tidak ada lagi kesedihan atau penyesalan mengganggunya dan tidak ada lagi bayangan Siok Eng atau Ceng Ceng tampak. Tiba-tiba dia merasa lesu dan tidak nyaman. Dia lalu melihat keadaan sekelilingnya dan setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain dan juga tidak ada tanda-tanda tempat itu dekat dengan rumah orang, dia lalu menanggalkan pakaian dan masuk ke dalam air sungai yang jernih. Bukan main segar rasanya ketika tubuhnya terendam dalam air itu. Bukan hanya badan terasa segar, juga pikiran menjadi terang seolah air jernih itu telah membawa hanyut semua masalah yang memenuhi benaknya.

   Saking segarnya mandi dalam air sungai yang jernih itu, pendengaran Cun Giok terganggu percikan air sehingga dia tidak mendengar sedikit suara tak wajar yang terdengar tak jauh dari situ. Akan tetapi kemudian suara tawa cekikikan membuat dia terkejut dan cepat menoleh ke tepi sungai.

   Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa pakaiannya yang tadi ditanggalkan dan ditaruh di atas batu, telah lenyap. Juga buntalan pakaiannya, di mana terdapat pula pedang Kim-kong-kiam, juga tidak tampak! Celaka, pikirnya. Semua pakaiannya dicuri orang, padahal dia mandi dalam keadaan telanjang bulat! Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air dalam keadaan seperti itu? Dia memandang ke sana-sini, akan tetapi dia tidak melihat orang yang mencuri pakaiannya. Dia teringat akan suara tawa cekikikan itu. Seperti suara tawa wanita! Maka dia menduga bahwa tentu ada orang bersembunyi di balik batu-batu besar di tepi sungai itu.

   Dia lalu mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) ke dalam suaranya dan berseru.

   "Nona yang mencuri pakaianku! Bagaimana engkau tidak tahu malu mencuri pakaianku? Kembalikan pakaianku!"

   Kembali terdengar suara tawa cekikikan seperti tadi dan dari suara itu Cun Giok dapat menduga bahwa di balik batu-batu besar di tepi sungai itu tentu ada dua orang wanita yang bersembunyi dan menertawakannya.

   "Hi-hi-hik, ambil saja sendiri pakaianmu ke sini!"

   Cun Giok menjadi malu dan mendongkol. Sungguh nakal dan kurang ajar sekali gadis atau wanita itu. Dia menduga bahwa pencurinya tentulah seorang gadis, suara tawanya menunjukkan bahwa ia tentu masih muda. Gadis-gadis yang nakal sekali. Kalau dia membujuk terus, mungkin saja mereka itu akan makin menggodanya. Maka dia lalu mendapatkan akal.

   "Baiklah, kalau begitu aku akan datang kepada kalian dalam keadaan seperti ini. Telanjang bulat!!" Cun Giok menjadi merah mukanya ketika mengucapkan ini, akan tetapi karena itu cara satu-satunya untuk menghadapi gadis-gadis nakal itu, dia memberanikan diri dan melangkah hendak naik ke sungai!

   "Hi-hi-hik! Jangan! Jangan ke sini, kau laki-laki tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu!" terdengar mereka cekikikan lagi. Hati Cun Giok menjadi semakin panas.

   "Siapa yang tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu? Kalian berdua yang mencuri pakaianku! Hayo kembalikan, kalau tidak aku akan nekat menemui kalian dalam keadaan telanjang bulat!"

   "Nanti dulu!" terdengar suara seorang gadis lain.

   "Kami melihat sebatang pedang yang baik sekali dalam buntalan pakaianmu. Nah, berjanjilah dulu bahwa engkau akan menandingi ilmu silat tangan kosong melawan Adikku, kemudian engkau menandingi ilmu silat pedangku. Kalau engkau mau berjanji, baru aku akan melemparkan pakaian ini kepadamu!"

   Kurang ajar. Gadis-gadis itu sungguh nakal sekali dan juga berani menantangnya. Dia pasti akan menghajar mereka untuk kekurangajaran itu.

   "Baik, aku berjanji bahwa kalau kalian mengembalikan pakaianku aku akan menandingimu berkelahi sampai seribu jurus!"

   Kembali terdengar suara cekikikan dan tiba-tiba buntalan pakaian berikut pakaian yang tadi ditanggalkan Cun Giok dan ditaruh di atas batu, meluncur ke arahnya dengan luncuran kuat dan cepat sekali!

   Cun Giok cepat menangkap pakaiannya dan buntalan pakaiannya, dan ketika dia menangkap buntalan itu, dia dapat merasakan betapa kuatnya tenaga lontaran itu, juga merasa bahwa pedangnya sudah tidak berada dalam buntalan itu lagi.

   "Heii! Kalian mencuri pedangku! Hayo kembalikan!" teriaknya marah, lalu dia cepat mengenakan pakaiannya sambil bersembunyi di balik batu.

   Kembali dua orang gadis itu cekikikan.

   "Enak saja. Kalau sudah kami kembalikan engkau lalu melarikan diri, ya? Tidak akan kami kembalikan sebelum engkau memenuhi janjimu untuk bertanding melawan kami."

   Cun Giok cepat membereskan rambutnya yang basah kuyup, mengikatnya dengan pita biru, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya dia melompat ke arah batu besar di balik mana dua orang gadis itu bersembunyi.

   Dua sosok bayangan hitam berkelebat keluar dari balik batu besar dan Cun Giok berhadapan dengan dua orang gadis. Dia berdiri tercengang dan terheran-heran menatap wajah dua orang gadis itu. Mereka benar-benar cantik jelita dan dengan pakaian mereka yang serba hitam itu, kulit tangan, muka dan leher mereka tampak amat putih mulus seperti salju! Yang membuat Cun Giok memandang tercengang bukan sekadar kecantikan mereka karena dia pernah bertemu dengan gadis-gadis cantik seperti Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, Pek-hwa Sianli, dan Tan Li Hong yang ketiganya juga cantik jelita.

   Akan tetapi sekali ini dia benar-benar tercengang dan kagum karena melihat betapa dua orang gadis itu sama benar, seperti pinang dibelah dua. Sanggul rambutnya sama, disanggul ke atas dan dihias burung Hong dari emas. Pakaiannya yang dari sutera hitam itu pun serupa, bentuk tubuh mereka juga sama tinggi semampai dan ramping, dan wajah itu! Tak mungkin agaknya membedakan antara satu dengan yang lain karena wajah itu persis sama, seperti seorang gadis dan bayangannya di cermin! Gadis kembar, pikirnya dan dia menduga-duga siapa yang kakak dan siapa pula yang adik dan harus mengakui bahwa dia tidak dapat menduganya!

   Dua orang gadis itu melihat wajah Cun Giok yang keheranan, lalu tertawa cekikikan, mereka tertawa tanpa menutupi mulut, menunjukkan bahwa sepasang gadis kembar ini adalah gadis-gadis yang biasa dengan kehidupan di dunia kang-ouw di mana para wanitanya tidak terlalu keras terikat oleh adat istiadat kuno. Gadis-gadis pingitan selalu bersikap sopan, tidak banyak bicara, gerak-geriknya halus dan diatur, kalau tertawa tidak bersuara dan itu pun masih dipersopan dengan menutupkan tangan di depan mulut. Akan tetapi gadis kang-ouw sikapnya lebih terbuka dan tidak malu-malu, lebih bebas sehingga bagi rakyat Cina yang pada masa itu masih berpendidikan kolot, gadis-gadis kang-ouw dianggap binal dan kasar.

   Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cun Giok yang sudah banyak bergaul dengan gadis-gadis kang-ouw yang bebas sekali seperti itu, misalnya dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin puteri Bu-tek Sin-liong Cu Liong, datuk besar yang menjadi majikan Bukit Merak, lalu dengan Tan Li Hong, murid Ban-tok Kuibo Gak Li, datuk wanita yang menjadi majikan Pulau Ular, tentu saja tidak merasa heran melihat sikap sepasang gadis kembar ini. Hanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, puteri mendiang pendekar besar Liu Bok Eng, biarpun memiliki kepandaian tinggi dan sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, sikapnya tetap halus lembut dan sopan, bukan dibuat-buat karena memang watak dasarnya demikian. Liu Ceng Ceng adalah seorang gadis yang lembut lahir batinnya, bukan hanya lembut sikapnya, melainkan juga amat lembut hatinya.

   "Hi-hi-hik, Enci Lan. Lihat muka pemuda ini kemerahan. Agaknya dia seorang berasal dari dusun yang malu-malu!"

   "Adik Lin, belum tentu orang dusun itu malu-malu! Buktinya kita ini orang dusun, bahkan orang gunung, tidak malu-malu!" kata gadis kedua.

   "Aih, dia tampan juga, Enci Lan!" kata gadis yang disebut Adik Lin sambil tersenyum.

   Di sini Cun Giok mulai melihat perbedaan antara kedua orang gadis itu. Gadis pertama yang disebut Enci Lan wajahnya lebih serius dan sejak tadi belum pernah tersenyum, sedangkan yang disebut Adik Lin selalu tersenyum dan dia menduga bahwa yang tadi tertawa cekikikan tentulah gadis kembar yang menjadi adik ini walaupun di antara mereka tidak ada yang tampak lebih tua atau lebih muda.

   "Kui Lin, jangan bicara sembarangan! Kita belum tahu dia ini orang macam apa!" Gadis yang jarang tersenyum itu berkata dengan suara keren. Kedua orang gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin mengetahui keadaan Cun Giok yang sebenarnya.

   Setelah keduanya bersikap serius, tidak tampak senyum di bibir Sang Adik, Cun Giok tertegun. Sungguh tidak ada perbedaan sedikitpun juga di antara mereka berdua kalau senyum itu menghilang dari wajah Sang Adik! Akan tetapi dia masih dapat membedakan karena seorang di antara mereka mempunyai dua buah pedang tergantung di punggungnya dan sebuah di antaranya adalah Kim-kong-kiam miliknya. Tentu yang membawa pedang itu Sang Enci karena mereka tadi mengatakan bahwa dia harus menandingi ilmu silat tangan kosong Sang Adik dan ilmu pedang Sang Enci!

   Tiba-tiba wajah Cun Giok berseri. Dia menemukan lagi tanda yang dapat membedakan antara mereka berdua. Biarpun senyum Sang Adik sudah menghilang dan wajahnya serius seperti wajah encinya, namun pada sinar matanya masih tampak kelincahannya yang nakal! Mata itu lebih hidup, penuh gairah dan selalu terdapat senyum di sana! Dia kini akan dapat mengenal dan membedakan mereka dengan mudah, hanya dengan melihat mata dan sinar mata mereka.

   Cun Giok mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat.

   "Ji-wi Siocia (Nona Berdua), di antara kami tidak pernah terdapat hubungan persahabatan, apalagi permusuhan, akan tetapi mengapa kalian menggangguku?"

   Sang Enci yang bernama Lan itu menjawab dengan alis berkerut.

   "Hemm, siapa yang mengganggu? Jangan memutar balikkan kenyataan! Engkaulah yang mengganggu kami dan kalau Adikku menyembunyikan pakaianmu itu hanya untuk memberi peringatan kepadamu!"

   Kini Cun Giok yang mengerutkan alisnya.

   "Eh, Nona, apa sih yang kalian maksudkan? Aku mandi dalam sungai, tidak memikirkan kalian, tidak bicara apa-apa atau melakukan sesuatu kepada kalian, bagaimana kini dituduh mengganggu? Gangguan apa yang telah kulakukan terhadap kalian berdua?"

   Kini Sang Adik yang dipanggil Lin itu yang menjawab. Suaranya lantang dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia berkata.

   "Huh, berlagak bodoh, ya? Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu, ya? Hanya pengecut yang tidak mengakui kesalahannya dan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya!"

   "Eh-eh! Nona-nona ini menuduh seenaknya saja. Aku belum pernah bertemu dengan kalian, bagaimana mungkin mengganggu kalian? Apakah gangguan itu kulakukan dalam penjelmaanku dahulu? Jelaskanlah dan jangan membuat aku penasaran dengan fitnah!"

   "Hemm, engkau belum merasa bersalah?" kata Kui Lan dengan sinar mata mencorong.

   "Sekarang aku hendak bertanya, kalau ada seorang asing memasuki rumahmu, berbuat sesukanya dengan tidak sopan, tidak tahu malu dan melanggar kesusilaan, apa yang akan kaulakukan terhadap orang itu?"

   "Aku tidak mempunyai rumah," kata Cun Giok,

   "akan tetapi andaikata aku mempunyai rumah dan orang yang berbuat seperti itu, tentu aku akan menghajar si kurang ajar itu."

   "Nah, engkaulah si kurang ajar itu! Tempat ini termasuk wilayah kami, air sungai yang mengalir di sini juga termasuk milik kami, tempat di mana kami biasanya mandi. Sekarang, tanpa minta ijin, tanpa permisi dulu, engkau mandi begitu saja di sini, bertelanjang bulat pula! Apakah itu bukan kurang ajar namanya?" kata Kui Lin.

   Cun Giok tertegun dan baru dia tahu mengapa dua orang gadis ini marah-marah kepadanya!

   "Ah, kiranya begitu duduknya perkara. Kalau begitu, aku mengaku bersalah, Nona-nona. Akan tetapi karena pelanggaran itu kulakukan tanpa sengaja dan di luar pengetahuanku, maka kuharap kalian berdua suka memaafkan aku." Dia kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.

   "Enak saja minta maaf!" Kui Lin berkata sambil tersenyum mengejek.

   "Tadi engkau sudah berjanji bahwa engkau akan melawan ilmu silat tangan kosong dariku, dan ilmu pedang dari Enci Lan. Hayo bersiaplah untuk menandingi aku!"

   Setelah berkata demikian, Kui Lin dengan gesitnya telah melompat ke depan Cun Giok dan memasang kuda-kuda yang lucu dan gagah. Kaki kanannya diangkat menempel di betis kaki kiri, tubuhnya tegak dan kedua lengannya dipentang lurus ke kanan kiri dengan kedua tangan menunjuk ke atas, kepalanya agak menoleh ke kiri dan matanya melirik ke kanan memandang Cun Giok.

   Pemuda itu mengenal kuda-kuda yang disebut Pek-ho-tian-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) itu, akan tetapi dilakukan dengan cara yang kocak, dengan kepala menoleh dan mata mengerling tajam. Lucu dan lincah sekali gadis ini.

   Cun Giok masih berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak membuat pasangan kuda-kuda seperti biasanya orang bersilat. Setelah menanti beberapa lamanya, Kui Lin menjadi kesal melihat lawannya diam saja, tidak segera memasang kuda-kuda. Kalau dibiarkan begini, kakinya bisa pegal sendiri!

   "Hayo cepat mulai!" bentaknya dan kerling matanya makin tajam.

   "Mulai apa, Nona?" tanya Cun Giok.

   Gadis itu menurunkan kaki kanannya dan kedua lengannya, lalu membanting kaki beberapa kali dan mukanya merah karena marah. Susah-susah memasang kuda-kuda sejak tadi sampai kakinya pegal dan matanya pedas, eh, pemuda itu malah bertanya mau mulai apa!

   "Mulai apa! Mulai apa! Ya mulai memasang kuda-kuda, siap bertanding!" katanya gemas, mulutnya cemberut.

   "Lho! Sejak tadi saya sudah siap, Nona."

   "Mana siap? kuda-kuda kok begitu?"

   "Memang begini kuda-kudaku, akan tetapi aku sudah siap!"

   "Kalau sudah siap, mulailah menyerang!" tantang Kui Lin sambil memasang kuda-kudanya lagi, seperti tadi.

   "Engkau yang menantang, Nona, sudah semestinya engkau pula yang mulai menyerang!"

   "Hoho! Engkau mau menipuku, ya? Kaukira aku tidak tahu bahwa menyerang lebih dulu berarti membuka pula dirinya untuk diserang balik! Akan tetapi aku tidak takut. Nah, terimalah!" Dengan gerakan cepat sekali gadis itu menyerang, kedua lengan yang dipentang itu kini menyambar dari kanan kiri. Itulah pembukaan dari jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan), kedua tangan itu membentuk paruh burung dan menotok ke arah kedua telinga Cun Giok.

   Serangan ini cukup ampuh dan berbahaya, akan tetapi dengan menarik tubuh atas ke belakang, Cun Giok dapat menghindarkan kedua telinganya dipatuk tangan tangan mungil itu. Dari sambaran angin pukulan itu, tahulah Cun Giok bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan karena memiliki sin-kang yang cukup kuat! Melihat patukan kedua tangannya luput, gadis itu melanjutkan jurusnya dengan tendangan kaki dengan tubuh melayang, seolah seekor bangau mengejar buruannya setelah patukannya luput.

   Tendangan sambil melayang itu pun berbahaya sekali. Akan tetapi dengan tenang Cun Giok menggunakan kedua lengannya untuk menangkis. Akan tetapi dia mengerahkan sin-kang lunak sehingga ketika kedua kaki gadis itu bertemu dengan kedua lengan Cun Giok, Kui Lin merasa seperti kakinya bertemu dengan karet yang lentur dan kuat sehingga begitu tertangkis, tubuh gadis itu terpental ke belakang! Akan tetapi dengan amat lincahnya ia membuat pok-sai (salto) sampai lima kali sebelum kedua kakinya menginjak tanah dengan tegak!

   Marahlah gadis itu. Sambil mengeluarkan seruan melengking ia maju menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Akan tetapi Cun Giok memang tidak berniat menyakiti atau merobohkan lawan, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya yang istimewa untuk mengelak dan menghindarkan semua serangan gadis itu. Gadis itu menjadi semakin penasaran.

   Ibu dan encinya selalu memujinya yang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong dan sudah banyak jagoan di dunia kang-ouw dikalahkannya. Akan tetapi sekarang, menyerang seorang pemuda tak terkenal, walaupun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan sampai tigapuluh jurus lebih, belum juga ia mampu mengalahkan lawan ini. Jangankan mengalahkan atau merobohkan, bahkan semua pukulannya tidak ada yang menyentuh sasaran!

   Saking penasaran, gadis itu lalu memainkan ilmu silat simpanannya yang jarang dimainkan karena ilmu ini berbahaya sekali bagi lawan dan dapat mematikan. Ilmu silatnya itu disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) dan di dalamnya terkandung jurus-jurus pukulan mematikan seperti Pek-lek-jiu (Pukulan Tangan GeIedek), Cam-liong-jiu (Pukulan Membunuh Naga), Tok-ciang (Tangan Beracun) dan beberapa macam pukulan yang mengandung hawa beracun pula!

   Cun Giok terkejut. Gadis ini sungguh tak boleh dipandang ringan karena tingkat kepandaiannya agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Ceng Ceng, dan beberapa orang gadis lain yang pernah dijumpainya! Maka, dia pun cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya sehingga tiba-tiba saja gadis itu berseru kaget karena ia kehilangan lawannya!

   "Pengecut! Kalau berani jangan lari sembunyi, hayo balas serang aku!" Gadis itu berteriak-terlak dan ketika Cun Giok muncul pula di depannya, ia cepat menyerang lagi dengan lebih gencar!

   Tubuh Cun Giok berkelebat lenyap dan tiba-tiba gadis itu' berseru kaget karena ubun-ubun kepalanya disentuh orang! Kalau saja yang menyentuh itu berniat buruk, mengganti sentuhan dengan totokan atau pukulan, ia tentu sudah tewas seketika! Maka wajahnya berubah pucat lalu kemerahan ketika ia melompat ke belakang dan memandang Cun Giok yang sudah berdiri di depannya dengan mata terbelalak.

   Cun Giok membungkuk, mengambil sesuatu dari atas tanah lalu bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya kepada gadis itu dan berkata.

   "Maaf, Nona, hiasan rambutmu terjatuh!"

   Wajah gadis itu semakin merah karena tadi ia melihat bahwa pemuda itu hanya berpura-pura mengambil hiasan rambutnya dari atas tanah karena sebetulnya hiasan rambutnya itu sudah berada di tangan pemuda itu yang tentu tadi telah merampasnya dari rambutnya. Tanpa bicara sesuatu ia menjulurkan tangan menerima hiasan rambut itu dari Cun Giok dan memasangnya kembali ke atas kepalanya.

   Gadis pertama yang bernama Lan kini maju. Ia melepaskan pedang Kim-kong-kiam berikut sarungnya yang ia ikatkan di punggungnya lalu melemparkan kepada Cun Giok. Pemuda itu menerima pedangnya dan dia mulai merasa kagum karena dengan mengembalikan pedangnya membuktikan bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat jahat kepadanya.

   "Sobat, ilmu silat tangan kosong yang engkau perlihatkan tadi sungguh lihai. Engkau sudah mengalahkan Adikku dalam ilmu silat tangan kosong. Sekarang coba kau tandingi ilmu pedangku!" Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika pedang itu dicabutnya.

   Ternyata pedang di tangan gadis itu bentuknya seperti seekor naga. Cun Giok pernah mendengar bahwa di antara pedang-pedang ampuh yang terdapat di dunia persilatan, adalah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Tentu pedang di tangan gadis itu yang dimaksudkan!

   "Hek-liong-kiam yang ampuh!" katanya sambil mencabut pedangnya sendiri.

   "Engkau mengenal Hek-liong-kiam?" gadis itu bertanya, dan melihat pedang yang mengeluarkan sinar keemasan dan dipegang pemuda itu, ia berkata bimbang.

   "Kim-kong-kiamkah itu?"

   "Benar, Nona. Sebaiknya kita tidak mengadukan pedang kita agar tidak ada yang rusak," kata Cun Giok. Sebetulnya, menghadapi gadis berpedang itu dengan tangan kosong pun dia tidak takut, akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, dia tentu akan dianggap meremehkan dan memandang rendah gadis pendiam itu.

   "Bukan pedang yang kita adu, melainkan keahlian memainkannya. Nah, bersiaplah engkau dan sambut seranganku ini!" setelah berkata demikian gadis itu lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Berantai). Gerakannya cepat sekali dan pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dan menyerang dengan tikaman bertubi, tiga kali sambung menyambung. Cun Giok menjadi kagum juga sambil mundur, dua kali mengelak dan yang terakhir ditangkisnya.

   "Cringgg......!" Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu. Gadis itu terkejut, merasa tangannya tergetar hebat sehingga ia melompat ke belakang. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar, bahkan kini menerjang lagi sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung.

   Tahulah Cun Giok bahwa gadis ini memang lihai bukan main dan memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat. Maka dia pun mengandalkan gin-kangnya untuk mengelak dari serangan lawan. Saking cepatnya dia bergerak, sampai tidak tampak bayangannya, seolah tubuhnya dapat menghilang. Akan tetapi gadis itu yang dari perkelahian melawan adiknya tadi maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kini memutar pedangnya lebih cepat lagi, menggunakan gerak tipu yang disebut Hui-pau-liu-coan (Air Terjun Berpancaran). Cepat sekali gerakannya sehingga ujung pedangnya seolah menjadi titik-titik air yang menyerang bagaikan hujan ke arah sekelilingnya.

   Kalau bayangan Cun Giok tampak, maka serangan itu sepenuhnya menjurus ke arah pemuda itu. Cun Giok semakin kagum dan tahu akan bahayanya serangan itu, dia lalu menggerakkan pedangnya, diputarnya sehingga membentuk sinar emas yang melindunginya. Itulah jurus Kim-kong-koan-jit (Sinar Emas Menutupi Matahari).

   Sejak tadi Cun Giok, seperti ketika melawan Kui Lin, kini juga banyak mengalah dan belum pernah membalas serangan pedang lawan yang susul-menyusul dengan cepatnya itu. Dia hanya membela diri dengan elakan atau tangkisan. Jurus Kim-kong-koan-jit yang dimainkannya benar-benar membuat gadis itu kehabisan akal karena ke mana pun sinar pedangnya berkelebat menyerang, selalu bertemu dengan perisai sinar emas itu, seolah air hujan yang tidak mampu menembus atap rumah yang kokoh kuat dan rapat. Ia mulai merasa penasaran sekali. Sudah hampir limapuluh jurus mereka berkelahi dan tak pernah satu kalipun pemuda itu membalas serangannya! Ia merasa seperti seorang anak kecil yang baru mulai belajar menggunakan pedang dipermainkan oleh seorang dewasa yang ahli.

   "Balas seranganku!" bentaknya dan bentakan ini membuat Cun Giok menyadari bahwa kalau dia terus mengalah, tentu gadis itu merasa dipermainkan. Dengan jurus Po-in-gan-jit (Menyapu Awan Melihat Matahari) pedangnya kini menyambut pedang gadis itu.

   "Takk!" Dia mengerahkan tenaga saktinya dengan daya menempel sehingga kedua pedang itu menempel dan biarpun gadis itu berusaha melepaskan tempelan tetap saja ia gagal dan tiba-tiba Cun Giok menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan...... pedang hitam itu terlepas dari pegangan pemiliknya, terlempar ke atas dan disambut tangan kiri Cun Giok. Gadis itu terbelalak, kaget dan bingung melihat betapa pedangnya telah pindah tangan! Akan tetapi Cun Giok lalu membalikkan pedang hitam itu, memegang ujungnya lalu menjulurkan gagangnya ke arah Si Pemilik Pedang.

   "Maafkan aku, Nona," katanya lembut.

   Dengan wajah berubah merah gadis itu menerima kembali pedangnya, lalu ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata.

   "Sobat, sekarang kami berdua mengaku kalah dan maafkanlah sikap kami tadi yang mempermainkanmu."

   Cun Giok cepat membalas penghormatan itu dan kini sambil menghadapi dua orang gadis kembar yang berdiri berjejer, dia berkata.

   "Ah, sama sekali tidak, Ji-wi Siocia (Nona Berdua). Bukan kalian yang bersalah, melainkan aku yang bersalah walaupun tidak kusengaja aku telah melanggar wilayah yang menjadi milik kalian. Maafkan aku, Nona."

   "Dia benar, Enci Lan. Dia lah yang bersalah lebih dulu karena dia melanggar wilayah kita. Akan tetapi setelah dia dapat mengalahkan kita, dia bukan pelanggar lagi, melainkan menjadi tamu kita. Tidakkah begitu, Enci?" kata gadis kedua yang lincah.

   Encinya mengangguk dan menahan senyum, lalu memandang kepada Cun Giok.

   "Adikku berkata benar. Sobat, sekarang kami menganggap engkau sebagai tamu kami. Mari, silakan singgah di rumah kami agar dapat kami perkenalkan dengan Ibu kami."

   Cun Giok yang merasa tidak enak telah mengganggu orang, hendak menolak, akan tetapi baru saja dia menggerakkan tangan menolak dan belum sempat bicara, gadis kedua yang lincah sudah berkata.

   "Enci, bagaimana dia dapat menjadi tamu kalau kita belum berkenalan dengannya? Sobat, perkenalkan, kami berdua sebagai nona rumah adalah puteri kembar Ibu kami. Namaku The Kui Lin dan ini Enciku, The Kui Lan. Ibu kami biasa disebut The Toanio (Nyonya Besar The) dan menjadi majikan dari Lembah Seribu Bunga. Nah, perkenalkan dirimu, sobat, agar engkau tidak menjadi tamu yang asing."

   The Kui Lan hendak melarang adiknya memperkenalkan keluarga mereka seperti itu, akan tetapi mana ia mampu menghentikan adiknya yang bicara seperti hujan deras tak dapat dihentikan lagi itu? Maka ia diam saja dan hanya menegur adiknya dengan pandang matanya. Akan tetapi The Kui Lin pura-pura tidak tahu akan kemarahan encinya.

   Cun Giok tersenyum melihat kelincahan Kui Lin dan sambil membungkuk hormat dia terpaksa memperkenalkan dirinya.

   "Namaku Pouw Cun Giok," katanya singkat.

   "Di mana tempat tinggalmu?" tanya Kui Lin.

   "Aku pengembara, tidak mempunyai tempat tinggal."

   "Siapa orang tuamu?"

   "Orang tuaku sudah meninggal dunia."

   "Jadi engkau yatim piatu? Tiada sanak keluarga?"

   "Aku yatim piatu dan sebatang kara, tiada sanak keluarga lagi."

   "Lalu apa maksud dan tujuanmu datang ke sini?"

   "Aku hanya menuju ke mana saja hati dan kakiku membawaku."

   "Apakah......"

   "Lin-moi (Adik Lin), engkau sungguh keterlaluan, menanyai tamu seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Tidak sopan itu!" tegur Kui Lan yang memotong pertanyaan berikutnya.

   "Ah, Lan-ci (Kakak Lan), nona rumah harus mengenal betul siapa tamunya. Betul tidak, Tuan Pouw Cun Giok?" Kui Lin membantah lalu bertanya kepada Cun Giok mengharapkan dukungannya.

   Akan tetapi Cun Giok tidak mau berpihak melihat kakak dan adik itu bercekcok.

   "Nona, harap engkau tidak memanggil aku Tuan, aku bukan hartawan atau bangsawan."

   "Hemm, mau enaknya sendiri saja!" kata Kui Lin.

   "Engkau sendiri memanggil kami Nona, tentu saja kami memanggilmu Tuan. Kalau bukan Tuan, lalu memanggil apa?"

   "Sebut saja aku Saudara, atau Kakak, atau namaku saja, Nona."

   "Hemm, dan engkau tetap menyebut Nona? Aku akan menyebutmu Kakak Pouw Cun Giok, atau Giok-ko (Kakak Giok) kalau engkau mau menyebutku Lin-moi (Adik Lin). Kalau engkau tetap menyebut Nona, akupun akan tetap menyebutmu Tuan."

   Diam-diam Cun Giok merasa girang. Gadis ini ternyata ramah, di samping wataknya yang agak liar
(Lanjut ke Jilid 03)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
dan galak. Dia tersenyum dan berkata,

   "Baiklah, Lin-moi, asal saja...... Lan-moi tidak keberatan!"

   Dengan tenang Kui Lan menjawab,

   "Mengapa keberatan? Bagaimanapun juga, engkau pasti lebih tua daripada kami, Giok-ko."

   "Terima kasih, Lan-moi dan Lin-moi, kalian sungguh ramah dan baik budi terhadap aku, seorang perantau sebatang kara dan miskin lagi bodoh."

   "Aih, sudahlah, Giok-ko. Tidak perlu merendahkan diri. Setelah kami berkenalan, kami persilakan engkau untuk singgah di rumah kami. Kami jarang kedatangan tamu, maka ibu kami tentu akan girang melihatmu," kata Kui Lin.

   

Naga Sakti Sungai Kuning Eps 21 Naga Beracun Eps 3 Naga Beracun Eps 6

Cari Blog Ini