Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Kerajaan Sung 4


Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




   "Ah, Ibu terlalu memuji saya," kata Ceng Ceng.

   "Hemm, aku menjadi tertarik. Siapakah pemuda yang kalian semua amat mengaguminya itu?" tanya Tan Kun Tek.

   "Dia memang seorang pendekar muda yang luar biasa, Ayah. Ilmunya amat tinggi, wataknya juga gagah perkasa dan bijaksana, akan tetapi......" Li Hong memandang Ceng Ceng dan tanpa diketahui orang lain, Ceng Ceng memberi isyarat dengan kedipan mata dan gelengan kepala agar tidak menceritakan tentang peristiwa asmara mereka bertiga.

   "Akan tetapi apa, Li Hong?" tanya ayahnya.

   "Tidak apa-apa, Ayah. Pendeknya, Giok-ko adalah seorang pendekar yang pantas menjadi keturunan keluarga Pouw yang gagah perkasa dan terkenal sebagai patriot-patriot besar, demikianlah yang kudengar."

   "Keturunan keluarga Pouw? Maksudmu, dia itu bermarga Pouw?" tanya Kun Tek dan tampaknya terkejut.

   Melihat Li Hong agak ragu-ragu seolah takut kesalahan bicara dan menoleh, memandang kepadanya, Ceng Ceng lalu menjawab.

   "Benar sekali...... Ayah. Giok-ko adalah keturunan keluarga Pouw yang terkenal sekali dan tinggal di So-couw."

   "Akan tetapi...... aku telah menyelidiki ke So-couw setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga itu. Menurut keterangan yang kuperoleh, mereka semua tewas dan tidak ada seorang pun keturunan keluarga Pouw yang tersisa dan selamat. Ceng Ceng, dari mana engkau mengetahui bahwa Pouw Cun Giok itu keturunan keluarga Pouw di So-couw?"

   "Saya mendengar cerita dari Giok-ko sendiri, Ayah," kata Ceng Ceng tenang.

   "Apakah dia menceritakan siapakah nama ayah ibunya?" Kini Tan Kun Tek bangkit dari tempat duduknya dan mengamati wajah Ceng Ceng penuh perhatian.

   "Kalau saya tidak salah ingat, nama ayahnya Pouw Keng In dan nama ibunya Tan Bi Lian......"

   "Tidak mungkin""!!" Tan Kun Tek berteriak sedemikian kuatnya sehingga mereka semua terkejut.

   "Ayah, apa artinya ini? Mengapa Ayah terkejut mendengar nama orang tua Giok-ko?"

   Juga Nyonya Tan dan Ban-tok Niocu memandang heran dan hampir mereka bertanya berbareng.

   "Apa artinya semua ini?"

   "Tan Bi Lian itu adalah Adikku yang menikah dengan Pouw Keng In! Ketika aku menyelidiki di So-couw, aku mendapat keterangan bahwa keduanya telah mati di tangan pasukan Mongol dan ketika mereka tewas, mereka belum mempunyai anak."

   "Ah, mengapa Ayah tidak pernah menceritakan hal ini kepada aku atau Ibu?" tanya Li Hong, dan ibunya juga memandang heran.

   Tan Kun Tek menghela napas.

   "Adikku Tan Bi Lian sudah ditunangkan dengan pemuda lain, akan tetapi ia jatuh cinta kepada Pouw Keng In dan melarikan diri, meninggalkan orang tua kami dan sejak itu kami putus hubungan. Belakangan aku mendengar bahwa mereka di So-couw, akan tetapi karena khawatir aku tidak akan diterima dengan baik, aku pun tidak berani berkunjung ke sana. Setelah aku mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Pouw, aku pergi ke sana dan mendengar bahwa mereka semua, termasuk Adikku Tan Bi Lian, telah tewas. Ceng Ceng, ceritakanlah apa lagi yang kau dengar dari Pouw Cun Giok? Apa dia menceritakan tentang orang tuanya?"

   "Dia menceritakan semuanya padaku, Ayah. Dia menceritakan bahwa ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw, dia masih berada dalam kandungan ibunya. Ayah dan ibunya melarikan diri, akan tetapi dapat dikejar Panglima Kong Tek Kok yang menyerang dengan anak panah sehingga Pouw Keng In tewas, juga ibu Giok-ko terluka dan hanyut di sungai. Akan tetapi ibunya ditolong oleh seorang pendekar......"

   "Wah, Bibi Tan Bi Lian tertolong? Bagaimana selanjutnya, Enci Ceng?" Li Hong bertanya, wajahnya berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Pouw Cun Giok itu kakak misannya!

   "Suma Tiang Bun adalah pendekar yang menyelamatkan Tan Bi Lian dan merawatnya sampai wanita itu melahirkan. Akan tetapi...... ia meninggal ketika melahirkan dan puteranya itu adalah......"

   "Pouw Cun Giok! Jadi benar, dia adalah putera Bibi Tan Bi Lian! Aku mempunyai seorang Piauw-ko (Kakak Misan)!" Kembali Li Hong berseru girang mendengar bahwa pemuda yang pernah dicintanya itu adalah kakak misannya.

   Wajah Tan Kun Tek berubah pucat dan bayangan duka menyelimuti wajahnya.

   "Aduh, kasihan Adikku Tan Bi Lian. Ceng Ceng, engkau yang sudah mendengar riwayat keponakanku Pouw Cun Giok itu, ceritakanlah bagaimana selanjutnya."

   Ceng Ceng menceritakan kembali apa yang pernah didengarnya dari Cun Giok. Betapa Cun Giok dibesarkan oleh Suma Tiang Bun sebagai muridnya dan betapa kemudian Cun Giok dapat membalas dendam, membunuh Panglima Kong Tek Kok. Akan tetapi gurunya juga tewas di tangan panglima itu.
Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tan Kun Tek berseru.

   "Terima kasih Tuhan! Aku bangga mempunyai seorang keponakan seperti Pouw Cun Giok!" Berita tentang Pouw Cun Giok itu bagaikan secercah sinar yang menerangi kegelapan yang menyelubungi hatinya mendengar akan nasib adiknya.

   "Ayah, ada yang lebih menggembirakan lagi! Kakak Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng saling mencinta""!"

   "Hong-moi......!" Ceng Ceng menegur Li Hong lalu menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.

   "Heh-heh, ketika Ceng Ceng datang ke sini bersama Cun Giok dahulu, aku sudah menduga bahwa di antara mereka terdapat hubungan batin yang erat, dapat dilihat dari pandang mata dan suara mereka ketika bicara!" Ban-tok Niocu tertawa.

   "Bagus sekali! Aku akan merasa berbahagia kalau keponakanku itu menjadi jodohmu, Ceng Ceng!" kata Tan Kun Tek sambil tertawa pula.

   "Akan tetapi, ......bolehkah anak kita menikah dengan keponakan kita? Mereka bersaudara misan......" Nyonya Tan ragu.

   "Mengapa tidak boleh? Biarpun kita telah menerima Ceng Ceng seperti anak kita sendiri, akan tetapi ia tidak mempunyai hubungan darah dengan Cun Giok!"

   "Kalau begitu, aku pun akan merasa gembira," kata Nyonya Tan.

   "Ayah dan Ibu berdua, saya harap janganlah membicarakan urusan ini lagi karena...... karena Giok-ko sudah mempunyai tunangan."

   "Hemm, ketika Giok-ko mengaku bahwa dia telah bertunangan, aku marah sekali dan menyerangnya! Karena itulah maka kami berdua berpisah darinya!" kata Li Hong cemberut.

   "Sudahlah, Ceng Ceng berkata benar. Untuk sementara ini kita tidak perlu bicara soal perjodohan ltu. Tunggu sampai kita bertemu dengan Cun Giok."

   Pada saat itu, seorang anak buah Pulau Ular datang berlari-lari memasuki gedung. Dengan terengah-engah dia berdiri di ambang pintu dan memberi hormat dengan membungkuk.

   Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong tanda kemarahan. Sebelum ia menjadi isteri Tan Kun Tek, kelancangan anak buah ini cukup untuk membuat ia menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar itu. Akan tetapi semenjak Tan Kun Tek berada di situ sebagai suaminya, wataknya sudah berubah sama sekali. Hal ini terjadi karena wajahnya yang dulu cacat kini mencadi sembuh dan mulus kembali, ditambah lagi Tan Kun Tek kini menjadi suaminya!

   Kebahagiaan ini mengubah wataknya yang kejam mengembalikan wataknya semula ketika ia masih muda dan menjadi seorang pendekar wanita. Bahkan kesembuhan wajahnya itu saja sudah membuat ia membuang julukan Kui-bo (Biang Iblis) menjadi Niocu (Nona). Akan tetapi karena mereka terganggu, ia menghardik anak buahnya itu.

   "Hemm, engkau datang mengganggu kami tanpa dipanggil ada kepentingan apakah?"

   "Ampunkan kalau saya mengganggu, Niocu. Saya hendak melaporkan bahwa tak jauh dari pulau ini tampak ada seorang laki-laki berperahu dikepung dan dikeroyok pasukan Mongol yang berada di empat buah perahu besar. Kami tidak berani mengambil tindakan sebelum ada perintah dari Niocu."

   "Ibu, kita harus bantu siapa saja yang dimusuhi pasukan Mongol!" kata Li Hong yang sudah bangkit berdiri. Ibu atau gurunya mengangguk.

   "Mari kita lihat!"

   Ban-tok Niocu, Tan Kun Tek, Li Hong, dan Ceng Ceng segera berlari keluar dari gedung itu mengikuti anak buah yang menjadi penunjuk jalan. Adapun Nyonya Tan yang tidak memiliki ilmu silat tinggl, tidak ikut dan berdiam di rumah saja.

   Setelah tiba di pantai pulau itu, mereka berempat melihat seorang laki-laki yang berpakaian serba biru sedang dikeroyok duapuluh orang lebih. Laki-laki itu bagaikan seekor burung berlompatan dari satu ke lain perahu besar, mengamuk dengan pedangnya dan tampak dia merobohkan beberapa orang pengeroyok. Biarpun dari pantai itu tidak dapat dilihat jelas, namun dari seragam para pengeroyok mudah dikenal bahwa mereka adalah para perajurit Mongol.

   "Mari kita bantu orang yang dikeroyok pasukan Mongol itu!" kata Tan Kun Tek.

   Dia dan Ban-tok Niocu masuk ke sebuah perahu kecil, sedangkan Li Hong dan Ceng Ceng masuk ke perahu lain. Dua buah perahu itu segera didayung cepat menuju ke tempat di mana perkelahian masih berlangsung seru.

   Setelah agak dekat, mereka melihat bahwa yang dikeroyok itu adalah seorang pemuda berpakaian serba biru yang cukup lihai. Biarpun dikeroyok demikian banyaknya lawan, dia dapat bergerak lincah dan tidak terdesak. Akan tetapi kini empat buah perahu besar itu saling mendekat dan para perajurit berkumpul di sebuah perahu di mana pemuda itu dikeroyok sehingga kini dia dikeroyok banyak perajurit Mongol.

   Karena yang mengeroyoknya banyak sekali, mulailah pemuda itu memutar pedang melindungi dirinya sambil mundur dan dia melompat ke arah perahu kecil yang tadi ditinggalkannya ketika dia melompat ke atas perahu besar para pengeroyoknya. Perahu itu berada di tempatnya karena sebelum melompat ke perahu besar, pemuda itu telah melepas jangkar untuk menahan perahu agar jangan hanyut oleh ombak.

   Pada saat dia melompat itu, beberapa orang perajurit melepaskan anak panah ke arah tubuh yang masih melayang dari perahu besar ke perahu kecil itu! Pemuda itu memutar pedangnya sehingga beberapa batang anak panah tertangkis dan terpental. Akan tetapi sebatang anak panah agaknya mengenai tubuhnya karena sebelum dia mencapai perahu kecil, tubuhnya sudah terjungkal ke air laut!

   "Ah, dia terkena anak panah!" seru Li Hong.

   "Kalian jaga serbuan mereka, biar aku yang menolongnya!" kata Tan Kun Tek yang mempunyai keahlian renang. Dia lalu terjun ke air dan berenang dengan cepat ke arah pemuda yang kini tampak tersembul di permukaan air dan berusaha untuk berenang dengan gerakan kaku karena dia telah terluka. Sementara itu, Ban-tok Niocu cepat mendayung perahunya ke arah perahu besar seperti yang dilakukan Li Hong dan Ceng Ceng.

   Ketika banyak anak panah meluncur ke arah mereka, Ceng Ceng memutar dayung menangkis sehingga banyak anak panah terpental. Li Hong dan Ban-tok Niocu berhasil menangkap masing-masing dua batang anak panah, lalu mereka melemparkan anak panah ke arah para perajurit di atas perahu besar. Terdengar teriakan mengaduh dan empat orang perajurit di perahu besar itu roboh!

   Melihat ini, perwira yang memimpin pasukan itu agaknya menjadi jerih dan dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk memutar perahu mereka dan meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Mereka agaknya maklum bahwa empat orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi mereka memang sudah mendengar akan berbahayanya Pulau Ular.

   Tan Kun Tek berhasil merangkul pemuda baju biru yang tampaknya sudah lemas dan membawanya berenang mendekati perahu Ban-tok Niocu. Pemuda itu lalu dinaikkan ke perahu dan mereka lalu mendayung perahu menuju pulau.

   Pemuda itu agaknya pingsan. Sebatang anak panah menancap di pundak kanannya. Untung tidak terlalu dalam dan Tan Kun Tek segera mencabut anak panah itu selagi pemuda itu masih pingsan sehingga tidak merasakan kenyerian hebat. Karena tidak membawa obat, maka Tan Kun Tek lalu menggunakan robekan baju pemuda itu untuk membalut luka itu. Agar darahnya tidak banyak keluar, dia menotok jalan darah di sekitar pundak.

   Pemuda itu masih pingsan dan suami isteri itu mengamati wajah itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh dua tahun. Tubuhnya sedang namun tegap berisi, dengan dada bidang dan pinggang kecil. Wajahnya berkulit putih bersih. Alisnya tebal hitam berbentuk golok. Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya bagus. Sebuah wajah yang amat tampan! Pakaiannya dari sutera biru dengan pakaian dalam putih. Melihat sutera yang dijadikan pakaian itu, dapat diduga bahwa dia pemuda dusun yang sederhana.

   Ketika dia ditolong oleh Tan Kun Tek, walaupun dalam keadaan pingsan pemuda itu masih memegang pedangnya! Kini pedang itu oleh Kun Tek diletakkan di perahu. Sebatang pedang yang indah, namun agak aneh karena ujungnya terbelah dua. Sebagai ahli silat tinggi, suami isteri itu maklum bahwa keadaan pedang yang ujungnya bercabang ini dapat dipergunakan untuk merampas senjata lawan.

   Dua buah perahu itu tiba di tepi pulau dan pada saat itu, pemuda baju biru itu siuman dari pingsannya. Begitu membuka kedua matanya, dia cepat bangkit duduk, lalu melompat ke daratan dalam sikap siap bertanding! Akan tetapi ketika melihat Tan Kun Tek, Ban-tok Niocu, Ceng Ceng dan Li Hong menghampirinya dan berdiri di depannya, dia membelalakkan sepasang matanya yang lebar dan bersinar tajam, memandang heran dan mengendurkan kembali urat-urat tubuhnya yang tadi siap membela diri.

   "Kami bukan musuh, orang muda. Kami bahkan tadi membantumu, mengusir para perajurit Mongol dan aku menolongmu dari air," kata Tan Kun Tek sambil tersenyum dan menjulurkan tangannya yang memegang pedang pemuda itu.

   "Ini pedangmu, terimalah."

   Akan tetapi pemuda itu tidak menerima pedangnya, melainkan menjatuhkan diri berlutut.

   "Ah, Lo-cianpwe (Orang Tuan Gagah) sekalian telah menolong dan menyelamatkan nyawa saya, sungguh saya berhutang budi dan nyawa. Banyak terima kasih saya haturkan......" Tiba-tiba dia terkulai dan terguling roboh. Pingsan!

   Ceng Ceng yang memiliki keahlian mengobati orang sakit tanpa disuruh lagi cepat menghampiri tubuh pemuda yang rebah telentang itu. Setelah memeriksa denyut nadi, biji mata, dan meraba dada pemuda itu, ia bangkit dan berkata kepada ayah, ibu, dan adiknya.

   "Bagaimana keadaannya, Enci Ceng?" tanya Li Hong yang sejak tadi memandang ke arah pemuda itu dengan jantung berdebar. Baginya, wajah itu tampan, dan gagah menarik sekali.

   "Luka tusukan anak panah di pundaknya itu tidak berbahaya, akan tetapi aku mendapatkan bahwa dalam tubuhnya terdapat luka-dalam yang cukup hebat, yang membuat detak jantungnya lemah sekali dan jalan darahnya kacau. Kalau tidak segera diobati, keadaannya dapat membahayakan nyawanya."

   Mendengar ini, Ban-tok Niocu berjongkok dan meraba-raba dada pemuda itu dengan tangan kirinya. Lalu ia bangkit berdiri dan berkata kepada Ceng Ceng.

   "Aku tidak menemukan akibat keracunan dalam tubuhnya."

   "Benar, Ibu. Luka dalam tubuhnya bukan karena hawa beracun, melainkan oleh getaran hebat, mungkin pukulan sakti yang membuat jalan darahnya kacau dan ini mengancam jantungnya."

   Tan Kun Tek lalu menyuruh anak buah Pulau Ular yang sudah berdatangan di situ untuk menggotong pemuda itu menuju perkampungan mereka.

   Ceng Ceng diserahi tugas merawat dan mengobati pemuda itu. Gadis itu memeriksa dengan teliti lalu memberi obat. Malam itu, dengan ditemani seorang pelayan wanita setengah tua yang siap membantu Ceng Ceng mempersiapkan keperluan berobat, Ceng Ceng menjaga pemuda yang dirawatnya. Hal ini adalah wajar saja karena memang ia yang menjadi tabibnya dan yang bertanggung jawab atas kesembuhan orang itu. Tadinya Li Hong menemaninya, akan tetapi gadis ini lalu kembali ke kamarnya sedangkan Ceng Ceng duduk di atas kursi, tak jauh dari pembaringan di mana pemuda itu rebah telentang.

   Sekitar tengah malam, keadaan yang sunyi itu membuat Ceng Ceng yang duduk di kursi mulai tenggelam dalam samadhi. Tubuhnya seperti orang tidur akan tetapi perasaannya masih peka sehingga apabila terdengar suara yang tidak wajar, ia pasti akan terbangun. Pelayan setengah tua itu sudah tidur nyenyak di atas lantai yang bertilam babut.

   Tiba-tiba Ceng Ceng membuka matanya. Ia melihat pemuda itu telah berdiri di depannya. Sepasang mata pemuda itu tampak bersinar-sinar tertimpa cahaya lampu dalam kamar itu. Sejenak pandang mata pemuda itu seperti terpesona, kemudian tiba-tiba saja dia menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng dan berkata lembut, dengan suara agak gemetar dan seperti kata-katanya ketika pertama kali dia bicara, dalam katanya terkandung logat asing yang aneh.

   "Saya telah merasa sehat, dalam dada saya sudah tidak ada lagi rasa nyeri dan sesak. Melihat Nona yang berada di sini, pasti Nona yang telah mengobati dan menyembuhkan saya. Ah, Nona seperti seorang bidadari yang menyelamatkan nyawaku." Dia memberi hormat sambil berlutut.

   Tentu saja Ceng Ceng menjadi tersipu dan cepat ia turun dari kursi dan mundur agak jauh sambil membalikkan tubuh, tidak mau menerima penghormatan yang berlebihan seolah-olah ia seorang bidadari yang menerima penghormatan seorang manusia biasa.

   "Jangan bersikap begitu, sobat. Aku hanya seorang manusia biasa. Bangunlah dan bersikaplah wajar saja!"

   "Hi-hik, engkau memang benar, sobat! Ia memang seorang dewi yang berjuluk Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), ahli pengobatan yang berhati mulia!" Tiba-tiba Li Hong muncul dan berkata sambil tersenyum lebar. Li Hong menghampiri pemuda itu yang kini sudah bangkit berdiri.

   "Engkau sudah sembuh? Bagus, sekarang engkau harus menceritakan siapa namamu, di mana tempat tinggalmu, dan mengapa engkau dikeroyok pasukan Mongol itu?" Li Hong menghujankan pertanyaannya.

   "Hong-moi, jangan ganggu dia. Dia baru saja sembuh dan masih lemah. Sobat, engkau istirahat dan tidurlah dulu agar kesehatanmu pulih. Besok saja engkau ceritakan keadaanmu kepada Ayah dan kedua Ibu kami." Setelah berkata demikian, Ceng Ceng memegang tangan Li Hong, membangunkan pelayan yang tidur lalu mereka semua keluar dari kamar itu.

   Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, Ceng Ceng dan Li Hong yang tidur sekamar keluar dari kamar mereka. Matahari pagi telah menyinari taman di luar rumah itu, sebuah taman yang penuh dengan bunga beraneka warna. Ketika mereka melewati kamar yang dipergunakan oleh pemuda baju biru itu untuk tidur, mereka melihat seorang pelayan wanita setengah tua sedang membersihkan kamar itu. Dari pintu yang terbuka Li Hong bertanya kepada pelayan itu.

   "Di mana tamunya yang tidur di kamar ini?"

   "Dia tadi menyuruh saya membersihkan kamar dan setelah mandi, dia keluar memasuki taman, Nona."
Li Hong dan Ceng Ceng saling pandang. Tentu pemuda itu telah sembuh betul. Pagi-pagi sudah bangun, mandi, dan berjalan-jalan di taman. Tanpa bicara, hanya dengan pandang mata, mereka berdua sepakat keluar dan memasuki taman. Di tengah taman itu, dari balik rumpun bambu, mereka melihat pemuda itu sedang berlatih silat pedang. Setelah menonton beberapa saat lamanya, Ceng Ceng berbisik.

   "Bagus, dia telah sembuh dan sehat kembali." Dari kecepatan gerakan dan tenaga yang mendukung gerakan itu Ceng Ceng maklum bahwa pemuda itu sudah sehat kembali.

   "Wah, kiam-hoat (Ilmu Pedang) itu lihai sekali!" Li Hong berseru dan suaranya cukup kuat sehingga terdengar oleh pemuda itu yang segera menghentikan latihan pedangnya dan dia pun dengan cepat menghampiri dua orang gadis yang berada di balik rumpun bambu.

   Dengan sikap hormat dan bibir tersenyum ramah pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi salam.

   "Maafkan, saya telah lancang berlatih di dalam taman ini, Nona."

   "Ah, tidak mengapa. Kami malah senang sekali melihat ilmu pedangmu yang hebat!" kata Li Hong dengan gembira.

   "Aih, harap jangan terlalu memuji, Nona. Saya hanya dapat mainkan beberapa gerakan sederhana saja dan masih banyak mengharapkan petunjuk dari Nona berdua," kata pemuda itu yang ternyata selain berwajah tampan dan bersikap gagah, juga pandai bicara dan sopan, juga rendah hati.

   Li Hong semakin tertarik. Memang tadinya, walaupun ia mengalah terhadap Ceng Ceng, hatinya masih terisi bayangan Pouw Cun Giok. Akan tetapi setelah mendengar dari ayahnya bahwa Cun Giok adalah kakak misannya, putera dari bibinya, ia sudah menghilangkan bayangan itu. Sekarang, ia benar-benar terpesona dan tertarik sekali kepada pemuda yang belum dikenalnya ini.

   "Sobat, mari kita menghadap Ayah dan kedua Ibu kami yang biasanya sepagi ini sudah berada di ruangan depan," kata Ceng Ceng.

   Pemuda itu mengangguk, menghapus keringatnya dengan saputangan dan menyimpan pedangnya, lalu mengikuti mereka memasuki gedung. Benar saja seperti dugaan Ceng Ceng tadi. Tan Kun Tek bersama dua orang isterinya telah duduk di ruangan depan menghadapi meja di mana dihidangkan minuman air teh dan makanan kecil.

   Melihat dua orang puterinya datang bersama pemuda yang menjadi tamu mereka, Kun Tek berkata dengan gembira,

   "Ah, orang muda, agaknya engkau telah sembuh benar!"

   Pemuda itu sudah memberi hormat kepada mereka dan berkata dengan lembut.

   "Berkat budi kebaikan Lo-cianpwe berlima yang telah menolong dan menyelamatkan saya."

   "Duduklah, orang muda. Kami sama sekali tidak melepas budi. Memang sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu orang yang dimusuhi pasukan Mongol."

   Pemuda itu mengangguk, lalu duduk di atas kursi. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Tan Kun Tek lalu melanjutkan kata-katanya.

   "Sebaiknya sebagai tuan rumah kami memperkenalkan diri kami lebih dulu. Orang muda, kini engkau berada di Pulau Ular dan kami sekeluarga berlima tinggal di pulau ini bersama anak buah kami. Aku bernama Tan Kun Tek, ini isteriku pertama bernama Lu Siang dan yang itu isteriku kedua bernama Gak Li. Dua orang gadis ini adalah anak-anak kami, yang ini bernama Ceng Ceng dan yang itu bernama Li Hong. Nah, sekarang kami ingin mendengar tentang dirimu dan bagaimana engkau sampai dikeroyok pasukan Mongol itu."

   "Sungguh berbahagia sekali saya dapat bertemu dengan keluarga Lo-cianpwe yang gagah perkasa......"

   "Mengapa menyebut Lo-cianpwe? Ayahku akan lebih senang kalau engkau menyebutnya Paman saja. Bukankah begitu, Ayah?" kata Li Hong.

   "Ha-ha-ha, memang lebih baik begitu, karena bukankah kita semua memiliki pendirian yang sama, yaitu menentang kejahatan, apalagi yang dilakukan oleh para pembesar Mongol?"

   "Terima kasih atas keramahan dan kehormatan yang diberikan kepada saya. Baiklah, Paman Tan, saya akan menceritakan tentang diri saya yang tak berharga dan bodoh ini. Nama saya Yauw Tek. Saya tidak tahu siapa orang tua saya. Ketika terjadi perang, balatentara Mongol menyerbu dan masuk desa kami. Ketika itu saya berusia tiga tahun dan tidak tahu apa-apa. Yang saya ingat hanyalah rumah-rumah terbakar dan saya lari keluar rumah. Saya ditolong seorang kakek tua yang membawa saya lari keluar dusun kami yang terbakar. Kakek itu menanyai saya, akan tetapi saya yang tahu hanyalah bahwa saya Yauw Tek. Maklum, ketika itu usia saya baru tiga tahun."

   "Aduh kasihan"' kata Nyonya Tan yang bernama Lu Siang.

   "Lalu bagaimana selanjutnya? di mana orang tuamu?"

   "Pendeta yang menolong saya itu sudah menyelidiki dan katanya seluruh dusun terbakar dan...... Ayah Ibu saya...... menjadi korban, tewas di tangan pasukan Mongol," kata pemuda itu dengan suara mengandung kedukaan.

   "Jahanam benar pasukan Mongol!" Li Hong berseru marah.

   "Sudah banyak sekali rakyat yang tidak berdosa menjadi korban!"

   "Tenanglah, Hong-moi, biarkan Yauw-twako (Kakak Yauw) melanjutkan ceritanya," kata Ceng Ceng.

   "Mulai hari itu saya menjadi murid Suhu Bu Beng Cu, yaitu pertapa yang telah menolong saya. Saya diajak pergi ke Pegunungan Himalaya dan hidup bersama Suhu selama belasan tahun sampai Suhu meninggal dunia karena usia tua."

   "Nanti dulu, Yauw-sicu, engkau belum menceritakan dari dusun mana asalmu."

   "Dusun kami yang dibasmi itu adalah dusun Kao-chun, sebuah dusun kecil di Propinsi Sin-kiang. Setelah Suhu meninggal dunia, saya lalu merantau sampai ke Tibet dan berguru kepada para Pendeta Lhama di Tibet."

   "Ah, pantas ilmu silatmu lihai sekali, Yauw-twako!" kata Li Hong.

   "Sekarang aku tahu mengapa logat bicaramu terdengar kaku dan asing. Kiranya engkau berasal dari Sin-kiang dan tumbuh besar di Himalaya dan Tibet," kata Ceng Ceng.

   "Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di Laut Timur ini dan dikeroyok pasukan Mongol!" tanya Ban-tok Niocu.

   Yauw Tek menghela napas dan termenung, agaknya mengumpulkan ingatannya lalu dia melanjutkan ceritanya.

   "Setelah saya mempelajari ilmu dari para Lhama di Tibet dan sudah merasa dewasa, maka sekitar dua tahun yang lalu saya meninggalkan Tibet. Saya pergi ke dusun Kao-chun untuk menyelidiki, dan memang benar, hampir seluruh penduduk dusun itu, termasuk Ayah ibu saya, tewas oleh pasukan Mongol yang lewat di dusun itu. Saya lalu mengambil keputusan untuk merantau ke timur dan membalas dendam dengan menentang para pembesar Mongol di mana pun saya berada. Sudah banyak saya menentang, memusuhi bahkan membunuh para pembesar yang menindas rakyat sehingga saya menjadi buronan. Saya terus merantau dan dalam perjalanan saya mendengar akan nama-nama besar para datuk dan tokoh kang-ouw yang berjiwa patriot dan menentang penjajah, di antaranya saya mendengar akan nama Pulau Ular. Maka, saya mencoba untuk datang berkunjung dan berkenalan dengan Paman sekalian. Akan tetapi ketika saya sedang mendayung perahu, ada empat perahu besar penuh perajurit Mongol mengejar dan mengepung. Agaknya mereka memang sudah membayangi saya sejak di daratan sana. Saya berusaha untuk melawan mati-matian, akan tetapi karena saya tidak biasa bermain di air, saya takut kalau terjatuh ke air sehingga saya harus berlompatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi akhirnya, ketika saya hendak melarikan diri dan melompat ke perahu kecil saya, saya dihujani anak panah. Saya sudah mencoba untuk menangkis, akan tetapi sebatang anak panah mengenai pundak saya sehingga saya terjatuh ke dalam air......"

   "Ya, selanjutnya kami sudah melihat sendiri," kata Ban-tok Niocu.

   "Untung Paman berempat datang menolong, kalau tidak, tentu saya tewas tenggelam dalam air laut, atau mati dihujani anak panah dari perahu mereka. Maka, sekali lagi saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Cu-wi (Anda Sekalian)." Yauw Tek segera berlutut dan memberi hormat kepada mereka berlima.

   Tan Kun Tek cepat menghampiri dan mengangkat bangun pemuda itu.

   "Sudahlah, Yauw Tek, jangan terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita adalah segolongan, sudah sepatutnya kalau di antara kita saling menolong. Tidak perlu berterima kasih kepada kami. Akan tetapi ada satu hal yang ingin kuketahui. Kemarin ketika aku melihat permainan pedangmu melawan pengeroyokan para perajurit, aku melihat ilmu pedangmu aneh dan lihai. Mirip ilmu pedang Go-bi-pai, akan tetapi agak lain. Apakah ilmu pedangmu itu, Yauw Tek?" kata Tan Kun Tek dengan ramah.

   "Paman, seperti sudah saya ceritakan, guru saya yang pertama adalah pertapa yang merawat dan membesarkan saya sejak dia menolong saya sewaktu saya kecil. Mendiang guru saya itu hanya saya ketahui mengaku bernama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama), juga tidak pernah mengatakan ilmu silatnya dari aliran perguruan mana. Kemudian, saya berguru kepada para pendeta Lhama di Tibet selama sekitar dua tahun dan saya menghimpun ilmu-ilmu yang saya pelajari dari Suhu Bu-beng-cu dan para Suhu Pendeta Lhama, maka terbentuklah ilmu pedang saya itu."

   "Wah, ilmu silatmu pasti lihai sekali, Yauw-twako!" kata Li Hong memuji. Lalu ia memandang ayahnya dan ibu tirinya.

   " Ayah dan ibu, kalau Yauw-twako mau membantu aku dan Enci Ceng mencari harta karun Kerajaan Sung itu, hal ini tentu baik sekali!"

   Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Harta karun......??" Yauw Tek bertanya, keheranan terbayang di wajahnya.

   "Ayah, Ibu, bolehkah aku menceritakannya kepada Yauw-twako?" tanya Li Hong.

   Tan Kun Tek dan Ban-tok Niocu yang percaya bahwa, pemuda yang dimusuhi pasukan Mongol ini tentu seorang pendekar yang berjiwa patriot, apalagi orang tuanya terbunuh oleh pasukan Mongol. Maka tidak ada lagi yang perlu dicurigakan dan Tan Kun Tek bersama kedua isterinya sudah percaya sepenuhnya kepada pemuda itu. Maka mendengar pertanyaan Li Hong, ayah dan ibu gadis itu mengangguk. Setelah memperoleh persetujuan ayah ibunya, Li Hong lalu bercerita kepada Yauw Tek dengan suara lantang.

   "Begini, Twako. Sebelum Lo-cianpwe Liu Bok Eng, Ayah dari Enci Ceng ini, tewas dibunuh Panglima Mongol dan pasukannya, dia meninggalkan sehelai peta harta karun kepada Enci Ceng dengan pesan agar harta karun itu ditemukan kemudian diberikan kepada para pejuang yang hendak menentang dan merobohkan kekuasaan orang Mongol."

   "Ah, baik sekali itu!" seru Yauw Tek.

   "Akan tetapi, milik siapakah harta karun itu?"

   "Harta karun itu berasal dari harta Kerajaan Sung yang dicuri dan disembunyikan oleh seorang Menteri Thaikam yang jahat dan korup. Thaikam itu dibinasakan oleh Panglima Kerajaan Sung, yaitu Lo-cianpwe Liu Bok Eng dan peta itu terjatuh ke tangannya. Setelah Kerajaan Sung jatuh, maka mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng meninggalkan pesan kepada Enci Ceng untuk mencari harta pusaka itu. Nah, ketika itu aku membantu Enci Ceng Ceng, dibantu pula oleh Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu."

   "Bu-eng-cu? Ah, mirip julukan Guru saya, Bu-beng-cu walaupun artinya jauh berbeda. Bu-eng-cu berarti Si Tanpa Bayangan sedangkan Bu-beng-cu berarti Si Tanpa Nama," kata Yauw Tek yang sejak tadi tertarik sekali mendengar cerita Li Hong.

   Li Hong lalu melanjutkan ceritanya sampai ditemukannya peti harta karun oleh Panglima Kim Bayan yang menangkap mereka bertiga dan betapa peti itu kosong. Pencurinya meninggalkan huruf THAI SAN di dasar peti.

   "Nah, begitulah ceritanya, Twako. Maka sekarang Enci Ceng Ceng dan aku bertekad untuk menyelidiki ke Thai-san, mencari pencuri itu dan berusaha mendapatkan kembali harta karun untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para pejuang yang berusaha membasmi penjajah Mongol. Sekarang setelah engkau mendengar cerita ini, maukah engkau membantu kami berdua untuk mencari harta karun itu?"

   Yauw Tek mengalihkan pandang matanya kepada Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya.

   "Tentu saja aku bersedia, Hong-moi, kalau Paman Tan dan kedua Bibi mengijinkannya."

   "Ayah dan Ibu tentu setuju, bukan? Kalau Yauw-twako mau membantu kami, selain keadaan kami menjadi lebih kuat, juga lebih besar kemungkinan kami akan berhasil mendapatkan kembali harta karun itu," kata Li Hong yang lalu bangkit dan merangkul Ban-tok Niocu.

   "Ibu, tentu boleh dia menemani kami, ya......?" Ia merengek manja. Li Hong tahu benar bahwa kalau gurunya ini menyetujui, tentu Ayah dan Ibu kandungnya juga tidak keberatan.

   Ban-tok Niocu tersenyum.

   "Perjalanan kalian berdua ke Thai-san mencari harta karun itu bukan pekerjaan ringan. Kukira banyak tokoh kang-ouw yang mendengar akan harta karun itu akan berdatangan dan memperebutkannya. Apalagi seperti telah kuberitahukan kepadamu, di Thai-san banyak terdapat tokoh yang sesat dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Oleh karena itu, Yauw Tek ini baru ada gunanya menemani kalian berdua kalau dia memiliki ilmu kepandaian yang dapat diandalkan. Untuk mengetahui kekuatannya, perlu diuji dulu. Nah, Yauw Tek, bersediakah engkau kami uji kemampuanmu?"

   Yauw Tek memberi hormat kepada Ban-tok Niocu Gak Li.

   "Bibi, saya adalah seorang yang bodoh, akan tetapi saya akan merasa sangat bahagia kalau sedikit kepandaian yang saya miliki ini dapat saya pergunakan untuk membantu Ceng-moi dan Hong-moi menemukan harta karun itu. Tentu saja saya tidak keberatan kalau akan diuji, hanya saya mohon Bibi agar mengasihani dan bertindak lunak terhadap diri saya."

   Ban-tok Niocu tersenyum, girang mendengar ucapan yang merendah itu, menandakan bahwa pemuda ini memang sangat rendah hati, sikap yang menyenangkan dari seseorang.

   "Kami ingin melihat kelihaian ilmu silatmu, maka biarlah Li Hong yang menguji ilmu silat tangan kosongmu, kemudian Ceng Ceng yang akan menguji ilmu pedangmu. Bagaimana, bersediakah engkau, Yauw Tek?"

   "Saya siap, Bibi."

   "Nah, mari kita ke Lian-bu-thia (Ruangan Berlatih Silat)," kata Tan Kun Tek yang gembira juga mendengar itu. Mereka lalu pergi menuju ke ruangan tempat latihan yang cukup luas.

   "Li Hong, engkau ujilah ilmu silat tangan kosong Yauw Tek dan jangan bersikap sungkan, pergunakan seluruh kemampuanmu untuk mengalahkan dia!" Ban-tok Niocu agaknya sudah melihat tanda-tanda bahwa murid yang menjadi anaknya itu agaknya tertarik dan suka kepada Yauw Tek maka dipesannya agar menguji dengan kesungguhan hati.

   "Baik, Ibu. Mari, Yauw-twako!" Li Hong mengajak pemuda itu dan ia sudah menuju ke tengah ruangan.
Setelah memberi hormat kepada Tan Kun Tek dan kedua isterinya, Yauw Tek menghampiri Li Hong dan setelah mereka saling berhadapan dia berkata.

   "Hong-moi, harap engkau menaruh iba kepadaku dan jangan menjatuhkan tangan maut."

   Li Hong tersenyum.

   "Bersiaplah, Twako." Ia memasang kuda-kuda dan setelah Yauw Tek juga memasang kuda-kuda dan siap, Li Hong berseru nyaring.

   "Twako, sambut seranganku!" Ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Karena selain untuk menguji pemuda itu, ia pun ingin memamerkan kelihaiannya, maka begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus Pai-in-jut-sui (Dorong Awan Keluar Puncak). Kedua tangannya terbuka dan menyerang dengan dorongan kuat ke arah dada Yauw Tek.

   Pukulan ini bukan main-main karena dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat kuat ke arah lawan. Hanya saja kalau dalam perkelahian menghadapi musuh Li Hong dapat mengisi serangan ini dengan dorongan yang mengandung hawa beracun, sekali ini ia tidak menggunakannya. Namun angin dorongan itu masih tetap kuat dan terasa menyambar dada pemuda itu sebelum kedua tangan yang menyerang itu menyentuhnya.

   Yauw Tek cepat miringkan tubuhnya dan dari samping kedua tangannya membuat gerakan melingkar untuk menangkis kedua tangan Li Hong. Akan tetapi gadis itu menarik kembali kedua tangannya yang gagal menyerang, lalu menyambung dengan tendangan kaki miring dari samping, tendangan yang mencuat dengan cepat ke arah leher lawan. Kaki kanannya itu mencuat tinggi dan mengandung kekuatan besar.

   Kembali Yauw Tek mengelak dengan mudah. Li Hong merasa kagum di samping penasaran juga karena dua serangannya yang cukup dahsyat itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Yauw Tek.

   "Haiiiittt......!" Kini ia menyerang lebih dahsyat lagi karena ia menggunakan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung Uruk Laut). Kedua tangannya menyerang dengan pukulan-pukulan kuat ke arah kepala dan diseling tendangan kaki ke arah perut. Yauw Tek terkejut juga dan diam-diam dia memuji ketangkasan gadis itu. Akan tetapi dengan tenang dia mundur dan setiap kali kaki dan tangan gadis itu menyambar, dia menyambut dengan tangkisan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk berulang-ulang. Li Hong merasa betapa lengan dan kakinya tergetar setiap kali bertemu tangan pemuda itu yang menangkisnya.

   "Twako, jangan mengalah terus. Balas seranganku!" Li Hong berseru ketika pada serangan selanjutnya pemuda itu hanya mengelak atau menangkis. Sampai belasan jurus semua serangannya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi pemuda itu belum pernah membalas.

   "Haiiiittt""!" Kini Li Hong mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang disebut Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan)! Gerakannya cepat sekali, tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan dari delapan penjuru, kedua tangannya menghujankan serangan berupa tamparan, dorongan, pukulan, atau totokan yang amat cepat dan dahsyat. Serangan kedua tangan yang bertubi-tubi masih diselingi tendangan-tendangan yang membahayakan lawan. Yauw Tek semakin kagum menghadapi serangan ini.

   "Bagus!" Dia berseru dan tiba-tiba tubuhnya berputar-putar seperti gasing! Demikian cepatnya tubuh itu berputar sehingga yang tampak hanya bayangannya saja, putarannya makin lama semakin cepat.

   "Silat Angin Puyuh!" Ban-tok Niocu Gak Li berseru heran dan memandang kagum. Ia pernah mendengar akan ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti itu yang disebut Silat Angin Puyuh dan menjadi andalan para ahli silat dari daerah barat, terutama dari Tibet!

   Li Hong sendiri terkejut sekali karena pandang matanya tidak dapat mengikuti gerakan tubuh lawan yang berpusing itu sehingga ia tidak dapat mengarahkan serangannya. Bahkan ketika pandang matanya mengikuti bayangan yang berpusing itu, kepalanya menjadi pening!

   "Haiiitt......!" Dengan nekat Li Hong kini menggunakan pukulannya yang terampuh yang biasanya disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Hati), akan tetapi sekali ini ia tidak menyertakan hawa beracun pukulannya. Namun tetap saja pukulannya mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang kuat sekali.

   Yauw Tek menyambut pukulan tangan kanan Li Hong yang terbuka dan didorongkan itu dengan tangan kirinya.

   "Plakk......!" Li Hong terkejut karena merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan dingin, lunak seperti karet. Ia hampir menjerit karena tangannya itu tidak dapat ditarik kembali, seolah melekat pada telapak tangan pemuda itu. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang tangguh, ia dapat menenangkan hatinya dan kini tangan kirinya menotok ke arah dada Yauw Tek. Kalau totokannya itu mengenai sasaran, tubuh Yauw Tek tentu akan menjadi lemas sehingga ia mampu merenggut lepas tangan kanannya yang melekat pada tangan kiri lawan. Akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangan kirinya dapat ditangkap oleh tangan kanan Yauw Tek!

   Ia berusaha untuk memutar lengannya dan berbalik menyerang, akan tetapi tiba-tiba, entah dengan gerakan bagaimana, tanpa dapat dia hindarkan lagi, kedua lengannya itu telah terputar ke belakang tubuhnya dan ia telah ditelikung ke belakang tubuhnya! Betapa pun kuat usahanya untuk melepaskan diri, ia sama sekali gagal. Akan tetapi tiba-tiba Yauw Tek melepaskan kedua lengannya dan tubuhnya berkelebat ke depan Li Hong sehingga mereka saling berhadapan lagi.

   "Hong-moi, maafkan aku dan terima kasih bahwa engkau telah banyak mengalah," kata pemuda itu dengan suara tulus, bukan mengejek.

   Muka Li Hong berubah kemerahan dan ia tetap gembira, hal yang bagi Ceng Ceng mengherankan karena ia mengenal adik angkatnya itu sebagai seorang gadis keras hati yang sukar menerima kekalahannya. Diam-diam ia menduga bahwa Li Hong tentu tertarik dan jatuh hati kepada Yauw Tek!

   "Aih, Yauw-twako, engkaulah yang banyak mengalah. Ilmu silatmu lihai sekali dan aku merasa kalah," kata Li Hong dan ia pun lari mendekati keluarganya dan duduk pula di atas bangku.

   "Bagus! Lihai sekali gabungan ilmu silat dan Siauw-kin-na-jiu-hwat (IImu Silat Menangkap dan Mencengkeram) itu!" seru Ban-tok Niocu.

   "Engkau lihai sekali, Yauw Tek. Kami merasa kagum!" kata pula Tan Kun Tek. Sebagai seorang murid Bu-tong-pai dia pun mengenal ilmu silat yang aneh dan yang memiliki ciri khas ilmu bela diri dari luar.
"Ah, Paman dan Bibi terlalu memuji. Saya harus menerima banyak petunjuk dari Paman sekalian," kata Yauw Tek merendah.

   "Ceng Ceng, sekarang giliranmu untuk menguji ilmu pedang Yauw Tek!" kata Ban-tok Niocu dengan gembira.

   Wanita majikan Pulau Ular ini sudah mendengar dari Li Hong bahwa selain ilmu pengobatannya yang manjur, Ceng Ceng juga memiliki ilmu pedang yang hebat walaupun ia hanya menggunakan sebatang ranting kayu sebagai pengganti pedang. Ceng Ceng mengangguk dan melangkah lembut ke tengah ruangan sambil memegang sebatang ranting yang sudah ia siapkan. Kini mereka berhadapan dan Ceng Ceng berkata lembut.

   "Yauw-twako, marilah kita berlatih pedang sebentar. Kami semua ingin menyaksikan kehebatann ilmu pedangmu. Cabutlah pedangmu, Twako."

   Yauw Tek memandang gadis itu dan ketika melihat gadis itu hanya memegang sebatang ranting yang besarnya seperti lengan tangannya, dia bertanya,

   "Ceng-moi, mana pedangmu? Mengapa engkau hanya membawa sebatang ranting kayu?"

   Ceng Ceng tersenyum,

   "Twako, aku tidak pernah menggunakan pedang. Aku ngeri melihat pedang yang tajam dan runcing, maka aku akan menggunakan ini sebagai pengganti pedang."

   Yauw Tek mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang bodoh. Kalau gadis ini berani menghadapi pedangnya dengan senjata ranting kayu maka sudah dapat diduga bahwa gadis cantik jelita yang lemah lembut ini pasti memiliki ilmu yang amat tinggi! Dia mencabut pedangnya yang ujungnya bercabang, lalu berkata dengan sikap lembut dan hormat.

   "Ceng-moi, sebelum kita mulai berlatih silat pedang, bolehkah lebih dulu aku memeriksa ranting yang kaujadikan senjata itu?"

   "Eh? Apakah engkau mencurigai rantingku ini, Twako? Kalau engkau ingin memeriksanya, boleh saja!" Ia lalu menjulurkan tangan menyerahkan ranting itu kepada Yauw Tek. Dengan tangan kirinya Yauw Tek menerima ranting itu dan tiba-tiba pedangnya berkelebat cepat.

   "Crakk!!" Ranting itu telah disambar pedang dan terbelah menjadi dua dengan membujur! Kini ranting itu telah menjadi dua batang yang sama panjangnya dan agak tipis. Yauw Tek lalu menyimpan pedangnya dan sambil memegang sebatang belahan ranting dengan tangan kanan seperti orang memegang pedang, dia menyerahkan belahan yang lain kepada Ceng Ceng sambil tersenyum dan berkata,

   "Maaf, Ceng-moi. Sebaiknya kita berlatih secara adil, masing-masing menggunakan sebatang ranting."

   Tadinya Ceng Ceng dan yang lain-lain terkejut melihat pemuda itu menggunakan pedang membacok ranting, akan tetapi setelah melihat maksud yang sebenarnya, Ceng Ceng menerima ranting itu sambil tersenyum.

   Ceng Ceng menerima dengan tangan kanan lalu berkata,

   "Gerakan pedang Yauw-twako membelah ranting tadi saja sudah membuktikan betapa hebatnya ilmu pedang Twako. Mari kita bermain pedang dengan ranting ini!" Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menyerang dengan tusukan. Akan tetapi sebagai pembukaan, untuk memberi kesempatan kepada lawan menjaga diri, tusukannya itu dilakukan dengan gerakan lambat.
Setelah Yauw Tek mengelak dan memutar rantingnya untuk menjaga diri, barulah Ceng Ceng melanjutkan serangannya dengan gerakan yang cepat bukan main. Yauw Tek terkejut sekali. Tak disangkanya Ceng Ceng memiliki gerakan yang demikian ringan dan cepatnya. Dia segera memutar rantingnya dan terjadilah pertandingan adu ilmu pedang yang seru.

   Ceng Ceng berseru lirih dan menyerang dengan tusukan dalam jurus Giok-li-tauw-so (Sang Dewi Menenun) dan begitu tusukannya tertangkis lawan, ia melanjutkan dengan jurus Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai). Serangannya ini hebat sekali, pedangnya menikam secara sambung menyambung dengan amat cepatnya sehingga sukar untuk dielakkan lawan. Melihat ini, Yauw Tek cepat melindungi dirinya dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Pelangi Putih Menutup Matahari).

   "Trik-trik-trikk......!" Tiga kali ranting itu bertemu dan sungguh hebat. Biarpun yang bertemu itu hanya ranting kayu, namun tampak bunga api berpijar!

   Makin lama pertandingan ilmu pedang itu menjadi semakin hebat, keduanya mengeluarkan jurus-jurus yang dahsyat, namun selalu dapat dielakkan atau ditangkis lawan. Semua serangan kedua pihak selalu gagal. Ceng Ceng mulai memperlihatkan andalannya, yaitu gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Kini gerakan tubuh sedemikian cepatnya sehingga tubuh gadis itu seolah berubah dan lenyap berganti bayangan putih yang berkelebatan ke sana-sini.

   Melihat ini, agaknya dia merasa tidak mampu menandingi kecepatan gerakan lawan, Yauw Tek mengambil sikap diam dengan kuda-kuda kokoh dan melindungi tubuhnya dengan perisai sinar rantingnya. Pertandingan itu menarik sekali, seolah melihat seekor burung yang amat cepat menyambar-nyambar ke arah lawannya yang seolah menjadi seekor ular yang melingkar diam akan tetapi selalu menyambut serangan burung dengan patukan moncongnya.

   "Ah, pantas ia dijuluki Pek-eng Sianli Bayangan Putih), lihat betapa cepat gerakannya!" kata Tan Kun Tek memuji anak angkatnya.

   "Bocah she Yauw itu pun hebat," kata Gak Li atau Ban-tok Niocu.

   "Lihat, dia menggunakan pertahanan Sin-coa-pai-bwe (Ular Sakti Menyabetkan Ekornya)."

   Pertahanan yang dipergunakan Yauw Tek itu memang kuat sekali sehingga semua serangan Ceng Ceng dapat ditangkisnya. Juga karena dia lebih banyak berdiam diri menanti serangan, maka dia tidak membuang banyak tenaga seperti halnya Ceng Ceng yang berkelebat ke sana-sini dan ini menyerap banyak tenaganya. Tentu saja dengan cara menutup diri dan hanya menangkis, Yauw Tek sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyerang balik. Setelah pertandingan lewat sekitar limapuluh jurus, Ceng Ceng melompat menjauhi dan berdiri sambil tersenyum dan mengusap keringat dari leher dan dahinya.

   Yauw Tek juga melompat ke depannya dan menjura.

   "Ah, Kiam-sut (Ilmu Pedang) Ceng-moi sungguh membuatku kagum sekali. Aku mengaku kalah."

   Ceng Ceng tersenyum dan menoleh ke arah keluarganya yang duduk di pinggir ruangan. Ia menggunakan tangan kirinya menunjuk ke arah rambut kepalanya, lalu menjura kepada Yauw Tek sambil berkata.

   "Ah, Yauw-twako terlalu merendahkan diri. Akulah yang mengaku kalah. Ilmu pedang Twako sungguh amat lihai, aku masih perlu mendapatkan banyak petunjuk tentang ilmu pedang darimu."
Semua orang melihat betapa pita sutera putih yang tadinya mengikat rambut Ceng Ceng telah terlepas. Hal ini berarti bahwa dalam gebrakan terakhir tadi ranting di tangan Yauw Tek telah berhasil "mencuri" dan membuat pita rambut itu terlepas!

   Li Hong bertepuk tangan dan ia pun melompat berdiri, menghadapi ayah ibunya.

   "Ayah, jelas bahwa Yauw-twako telah dapat menandingi dan mengungguli ilmu silat tangan kosongku dan ilmu pedang Enci Ceng! Dia pantas menemani kami mencari harta karun itu, bukan?"

   Tan Kun Tek dan dua orang isterinya tersenyum. Dia dan Gak Li tadi dapat melihat betapa dalam ilmu silat tangan kosong, Yauw Tek jelas lebih tangguh dibandingkan Li Hong dan dalam pertandingan ilmu pedang, walaupun Ceng Ceng unggul dalam kecepatan gerakan, namun pemuda itu memiliki ilmu pedang yang aneh sehingga tahu-tahu dapat mencuri di antara hujan serangan Ceng Ceng untuk menyentuh pita rambut gadis itu dengan ujung rantingnya. Jelas bahwa ilmu pedang pemuda itu memang hebat sekali.

   "Mari kita bicarakan hal ini di dalam," kata Tan Kun Tek dan mereka semua menuju ke ruangan dalam dan duduk mengelilingi meja besar yang bundar.
(Lanjut ke Jilid 05)

   Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
"Kami mengakui bahwa ilmu silat Yauw Tek cukup tangguh untuk dapat menemani kalian berdua dan memperkuat keadaan kalian. Akan tetapi, Yauw Tek, engkau harus mengetahui bahwa perjalanan mencari harta karun ini merupakan pekerjaan yang berat dan berbahaya. Banyak tokoh kang-ouw tentu akan berusaha untuk mendapatkannya karena berita tentang harta karun yang mungkin dicuri orang yang tinggal di Thai-san pasti tersiar luas. Pula, kami kira engkau perlu juga mengetahui siapa yang tinggal di Thai-san agar engkau dan dua orang anak kami tidak bertindak gegabah," kata Gak Li. Lalu ia menceritakan kepada Yauw Tek tentang tokoh-tokoh di Thai-san seperti yang pernah ia ceritakan kepada dua orang gadis itu.

   Setelah mendengarkan Gak Li memperkenalkan tokoh-tokoh itu sampai selesai, Yauw Tek berkata.

   "Bibi, maafkan pertanyaan saya. Karena saya masih hijau dan tidak banyak mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw (sungai telaga), maka mohon petunjuk Bibi sekalian, siapakah di antara para tokoh di Bu-lim (Rimba Persilatan) yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu?"

   Gak Li menghela napas panjang.

   "Inilah yang harus kalian bertiga selidiki. Tadi engkau telah mendengar cerita anak kami tentang hilangnya harta karun yang tersembunyi di Bukit Sorga. Pencuri itu hanya meninggalkan tulisan THAI SAN dalam peti harta. Tulisan ini dapat juga diartikan sebagai kesombongan Si Pencuri yang mengaku dan menantang bahwa dia berada di Thai-san, akan tetapi bukan tidak mungkin hal ini dilakukan Si Pencuri hanya untuk menipu dan menyesatkan para pencari harta karun. Karena itu, tugas kalian tidak ringan, sebelum berusaha merampas harta karun, haruslah lebih dulu menyelidiki secara teliti apakah benar pencuri itu tinggal di Thai-san dan kalau benar, siapa orangnya."

   Setelah menerima nasihat dari Ban-tok Niocu Gak Li dan Tan Kun Tek yang lebih banyak mengenal Bu-lim (Rimba Persilatan) dengan tokoh-tokohnya, dua hari kemudian berangkatlah Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong meninggalkan Pulau Ular. Kini dua orang gadis itu percaya betul kepada Yauw Tek yang selain lihai juga halus budi bahasanya dan sopan santun.

   Sementara itu Yauw Tek semakin kagum kepada keluarga Majikan Pulau Ular. Bukan hanya kagum kepada keluarganya yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi juga kagum akan kehebatan pulau yang selain mempunyai banyak anak buah, juga mengandung banyak rahasia sehingga kuat menghadapi penyerbuan dari luar.

   Setelah tiba di daratan, mereka bertiga menggunakan tiga ekor kuda yang sudah dipersiapkan, melanjutkan perjalanan jauh mereka menuju Thai-san. Selama dalam perjalanan ini, hubungan antara tiga orang itu semakin akrab dan dua orang gadis itu yakin benar bahwa Yauw Tek adalah seorang pendekar muda pilihan yang hanya dapat disejajarkan dengan seorang pendekar muda seperti Pouw Cun Giok.

   Bahkan mereka menganggapnya lebih baik dari Cun Giok karena pemuda itu telah mengecewakan hati mereka. Mengecewakan hati Ceng Ceng karena ternyata dia telah mempunyai tunangan sehingga Li Hong yang kini amat sayang kepada Ceng Ceng menjadi sakit hatinya. Setelah kini mendengar bahwa Pouw Cun Giok adalah kakak misannya, putera bibinya yang sudah meninggal, Li Hong menjadi semakin gemas dan ia berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau bertemu dengan Cun Giok nanti, ia akan memarahi kakak misannya itu!

   Laki-laki tinggi besar bermuka merah itu mengerutkan alisnya yang tebal. Jenggot dan kumisnya yang terawat baik itu menambah kegagahan dan kejantanannya. Usianya sekitar limapuluh enam tahun dan dia duduk di atas kursi yang diukir dengan kepala singa.

   Laki-laki gagah perkasa ini adalah Cu Liong yang berjuluk Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding). Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak membayangkan tenaga yang amat kuat. Dari julukannya saja, mudah diduga bahwa dia tentu seorang yang amat lihai dan tangguh sekali. Hanya ada kesan sombong dalam julukannya itu, seolah dia hendak mengatakan bahwa dialah orang yang paling kuat dan paling lihai ilmu silatnya sehingga tidak ada orang lain yang mampu menandingi dan mengalahkannya!

   Majikan Bukit Merak ini duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Pemuda berusia sekitar duapuluh empat tahun ini pun bertubuh tinggi besar dan gagah. Wajahnya cukup tampan, sepasang matanya membayangkan ketinggian hatinya. Mungkin karena dia merasa menjadi murid Naga Sakti Tanpa Tanding, dia pun merasa dirinya seperti naga muda yang tanpa tanding pula!

   Pemuda tinggi besar berpakaian mewah ini adalah murid Bu-tek Sin-liong yang bernama Kong Sek. Murid Cu Liong yang mendapatkan pelajaran ilmu silat secara khusus hanya Kong Sek seorang, di samping puteri datuk itu sendiri yang bernama Cu Ai Yin. Anak buah Pulau Merak yang berjumlah sekitar limapuluh orang hanya diberi pelajaran ilmu silat tingkat dasar saja.

   Bu-tek Sin-liong bukan seorang antek penjajah Mongol, juga bukan golongan patriot yang menentang Kerajaan Mongol. Dia tidak peduli akan pertentangan kekuasaan itu. Maka baginya tidak pantang untuk bersahabat dengan orang-orang Bu-lim yang menentang penjajah Mongol, juga memiliki sahabat orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadi pembesar Mongol.

   Satu di antara sahabatnya adalah mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok. Karena persahabatan inilah dia menerima putera panglima itu, ialah Kong Sek menjadi muridnya. Andaikata mendiang Kong Tek Kok dulu bukan seorang panglima Mongol, tetap saja dia akan menerima Kong Sek menjadi muridnya, mengingat bahwa ayahnya sahabat baiknya yang dengan dia saling mengagumi ilmu silat masing-masing.

   Akan tetapi terjadilah peristiwa itu. Puterinya, Cu Ai Yin, menyelamatkan nyawa pemuda bernama Pouw Cun Giok itu dari ancaman bahaya karena menderita sakit. Kemudian, diketahuinya bahwa Pouw Cun Giok adalah Si Tanpa Bayangan yang telah membunuh Kong Tek Kok dan Pangeran Lu, Cu Liong membela muridnya Kong Sek, yang dikalahkan Cun Giok untuk menangkap dan membawa Cun Giok ke kota raja sebagai pembunuh agar diadili. Hal ini tidak dapat diterima oleh Cu Ai Yin yang melarikan diri dari rumah tanpa pamit. Dan sekarang, muridnya, Kong Sek, datang menghadap sambil mengeluh dan lengannya terluka goresan pedang yang menurut laporan muridnya dilakukan oleh puterinya.

   Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengerutkan alis dengan marah sekali. Hampir dia tidak percaya akan laporan muridnya, maka dia membentak dengan kaku.

   

Naga Beracun Eps 34 Naga Beracun Eps 24 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 11

Cari Blog Ini