Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 15


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 15




   Tapi tiba-tiba Yang Kun terdiam. Sejak ia belajar menenangkan pikiran dan perasaan hati di dalam istana itu, ia seperti mempunyai kelebihan dalam mencium suasana yang belum terlihat maupun terdengar oleh indera tubuhnya. Seperti ketika ia dapat merasakan adanya penjahat yang memasuki kompleks istana tempo hari padahal Liu-Twakonya yang Iihai itu belum mendengar sama sekali. Juga yang terjadi beberapa saat yang lalu. Perasaannya seperti sudah memberi isyarat, sehingga apa yang terjadi kemudian benar benar seperti yang telah terbayangkan sebelumnya. Gila! Lambat laun aku bisa sinting seperti kakek ini nanti, pemuda itu menggeram dalam hati. Tampaknya kakek itu merasakan juga apa yang sedang bergejolak di dalam pikiran Yang Kun. Oleh karena itu sebelum pemuda itu membuka mulutnya, ia telah lebih dahulu mengalihkan pembicaraan mereka.

   "Lojin-ong, kau jangan terlalu menurutkan perasaan marahmu. Sebab dengan berbuat begitu, sama saja Lojin-ong mempercepat proses luka yang ada di dalam dadamu. Coba Lojin-ong periksa kembali luka itu! Kerahkan sedikit saja tenaga sakti ke dalam dada! Sekarang tentu lebih sakit dari pada tadi..."

   Bagai dihentak rasanya dada Yang Kun mendengar peringatan itu. Sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi ternyata ia masih melupakan juga hal yang sangat penting tersebut. Maka dengan tergesa gesa ia menggerakkan sedikit tenaga dalamnya ke arah dada. Benarlah! Dengan mulut meringis menahan sakit Yang Kun menarik kembali tenaga saktinya ke arah tan-tian (pusat). hampir saja pemuda itu tak kuasa menahan perasaan sakit yang menyengat di dalam dada. Untunglah pemuda itu segera menghentikan arus tenaganya, kalau tidak, mungkin ia telah jatuh pingsan untuk kedua kalinya.

   "Nah... benar bukan?" kakek itu menegaskan sambil mendekati tempat tidur Yang Kun.

   "...Berbaring sajalah yang tenang, hamba akan berusaha mengobatinya! Biasanya luka dalam yang diakibatkan oleh tenaga sakti yang membalik seperti ini, sangat mudah disembuhkan dengan Im-yang-kang golongan kami. Itulah sebabnya gadis buntung itu minta dibawa ke Kuil Im-yang-kauw...!"

   "Gadis itu...!" Yang Kun tersentak kaget. "Kakek, di manakah dia?" pemuda itu mencengkeram lengan orang tua tersebut. Orang tua itu tersenyum. Perangainya ternyata telah sedikit berubah setelah berada di antara anak buahnya. Sekarang telah tidak begitu sinting dan konyol lagi. Sikapnya juga tidak lagi gemetar dan ketakutan terhadap Chin Yang Kun. Cuma anggapannya terhadap diri pribadi Yang Kun tetap belum berubah, kakek itu masih menganggap Yang Kun sebagai Toat-beng-jin!

   "Lojin-ong, kau tak usah khawatir! Gadis itu berada di kamar sebelah! Tubuhnya juga terluka dalam seperti Lojin-ong. Hamba sedang berusaha untuk mengobatinya pula. Nah, sekarang kami harap Lojin-ong beristirahat dahulu. Besok pagi sebelum matahari terbit, hamba akan datang kemari untuk memulai pengobatan tersebut," kakek itu berkata sambil terus memohon diri. Sudahlah, biarkan saja orang tua itu bersandiwara, Yang Kun berdesah di dalam hati. Nanti akan terbuka juga kedoknya! Maka dengan perasaan tenang pemuda itu memejamkan matanya untuk istirahat. Seorang penjaga telah memukul lonceng dua kali berturut turut ketika Yang Kun terjaga dari tidurnya.

   "Ah, sudah lewat tengah malam." pemuda itu bergumam.

   "Sungguh enak sekali! Aku tertidur sejak sore tanpa terganggu..." Pemuda itu bangkit lalu duduk di tepi tempat tidurnya. Matanya nyalang mengawasi kamarnya yang gelap, agaknya lampu kamar itu telah dibawa keluar oleh penjaga atau penjaga penjaga itu memang sengaja tidak menaruh lampu di dalam kamarnya. Tapi dari sela-sela lobang angin dan jendela, Yang Kun melihat sorot sinar bulan yang terang benderang.

   "Hem... terang bulan agaknya!" pemuda itu berdesah pula perlahan. Perlahan-lahan pula Yang Kun turun dari tempat tidurnya. Sinar bulan yang putih cemerlang itu seolah olah menarik hati pemuda itu untuk keluar menikmatinya. Pintu itu mengeluarkan suara bergerit ketika Yang Kun menguakkannya, tapi dua orang penjaga yang tertidur di samping tangga tak bergerak sedikitpun. Mereka masih terdengar mendengkur perlahan, meskipun kedua tangan mereka tak pernah lepas dari tangkai tombak masing-masing. Sambil menghirup udara segar sebanyak banyaknya Yang Kun menuruni tangga di samping kamarnya, kemudian melangkah perlahan ke halaman samping yang penuh dengan tanaman bunga beraneka warna.

   Tak dia sangka orang-orang Im-yang-kauw itu pandai juga mengatur halaman, sehingga kuil yang megah dan besar ini menjadi semakin semarak dan menarik. Yang Kun berdiri diantara jajaran patung yang banyak terdapat diantara pohon-pohon bunga. Matanya memandang redup, mengagumi segala keindahan yang tergelar luas di hadapannya. Bunga bunga yang indah, tanah berlekuk diantara bukit-bukit menghijau dan hamparan lembah yang berumput. Semuanya benar benar mentakjubkan. Kuil itu dibangun di lereng bukit yang landai, menghadap ke arah timur, sehingga Yang Kun yang berdiri di halaman samping, benar-benar dapat melepaskan seluruh pandangannya ke bawah.

   Ke arah hamparan lembah hijau yang terbentang luas dan jauh sampat ke tepi langit. Sementara di tengah-tengah jalur lembah yang berkelok-kelok itu tampak sebatang sungai kecil, yang apabila dilihat dari tempatnya berdiri seperti seekor ular putih yang melingkar-lingkar di dalam sarangnya. Pemuda itu menatap lagi lebih teliti. Di tepi sungai tersebut tampak bangunan-bangunan rumah penduduk yang bergerombol dalam sebuah dusun kecil dan bertebaran di sepanjang alirannya. Beberapa orang yang memperoleh giliran tugas jaga tampak melintas di dekat Yang Kun. Mereka berjalan mengelilingi setiap sudut kuil untuk menjaga keamanannya. Semuanya mengangguk hormat ketika melewati pemuda itu.

   "Selamat malam, Lojin-ong...!" Mereka menyapa halus sambil berjalan terus tanpa berhenti. Yang Kun hanya mengangguk tak acuh. Hati dan perasaannya sedang tenggelam dalam arus keindahan alam yang terpampang di sekitarnya. Perlahan-lahan pemuda itu melangkah menaiki tangga batu yang menuju ke tempat yang lebih tinggi, ke tempat dimana didirikan sebuah patung besar setinggi manusia. Patung seorang kakek tua berjenggot panjang sedang meniup suling.

   Patung itu terbuat dari perunggu dan benar-benar terawat bersih. Dari tempat itu Yang Kun bisa memandang ke seluruh bangunan kuil. Dan agaknya maksud dari ditempatkannya patung tersebut disana memang agar bisa dilihat oleh semua orang. Sambil menebarkan pandangannya Yang Kun menghela napas berkali-kali. Sungguh takjub hatinya melihat semua itu. Sinar bulan yang putih cemerlang, tampak seperti hamparan perak yang menyepuh setiap benda yang disentuhnya, batu batuan,rumput, daun-daun dan air sungai yang mengalir. Semuanya mengkilap keputih-putihan! Tak heran kalau seorang pujangga sering terhanyut untuk menciptakan syair atau Iagu tentang keindahan seperti itu. Tak terasa pemuda itu juga berdendang lirih sekedar untuk ikut mengagumi semuanya itu,

   Sinar bulan di antara bintang,
Membasahi padang di antara ilalang.
Hamparan perak luas membentang,
Alas tidur menentang awan.
Dua sejoli bergandeng tangan,
Mempererat tali kasih dalam pandangan
Bagai tak ada batu rintangan,
Naik jenjang sorga idaman.

   Saking asyiknya, alunan irama itu makin lama makin tinggi, sehingga menggema mengarungi udara di sekitar bangunan kuil tersebut. Tidak begitu keras sebenarnya, tapi karena suasana malam itu memang sangat sunyi dan desau angin pegunungan yang tajam ikut pula mendorong dan menggetarkan alunan suara yang keluar dari mulutnya, maka suara itu jelas sekali kedengarannya.

   Selesai berdendang pemuda itu semakin tenggelam dalam suasana malam yang mengesankan tersebut. Dipandangnya patung perunggu di depannya, terasa patung itu ikut tersenyum melihat keasyikannya. Ah, betapa tampannya kakek dalam patung itu ketika masih muda! Tak terasa Yang Kun melangkah mendekati patung tersebut. Dengan sikap hormat ia memperhatikan patung itu dari dekat sekali. Wajahnya, ikat kepalanya, baju longgar yang dikenakannya, jari jari tangan yang memegang suling dan suling itu sendiri! Semuanya dari perunggu, sehingga dalam keremangan sinar bulan memang persis seperti manusia yang bernyawa. Tapi ketika Yang Kun memperhatikan lebih lanjut terasa ada sesuatu yang berbeda pada batang suling tersebut. Kalau yang lain berwarna kemerahmerahan seperti batu bata, suling itu sendiri berwarna mengkilap kehitam-hitaman.

   Dan pemuda itu menjadi terperanjat ketika tangannya mencoba memegang, benda tersebut terasa goyah dan bergerak. Perlahan-Iahan Yang Kun menarik suling tersebut dari tempatnya. Ternyata suling itu benar-benar suling sungguhan, jadi bukanlah bagian dari patung perunggu tersebut. Suling itu memang sengaja diletakkan pada genggaman tangan si patung yang berlubang. Ternyata suling tersebut terbuat dari besi baja yang amat kuat, panjangnya hampir menyamai panjang lengannya. Tak secercah debupun yang melekat pada batang suling itu, suatu tanda bahwa benda tersebut selalu dibersihkan pula. Secara iseng pemuda itu menempelkan suling tersebut pada bibirnya, dan sekejap kemudian terdengar alunan suaranya yang bening melengking dalam lagu seperti tadi...

   Malam terasa semakin dingin. Kabut pagi juga telah mulai turun. Namun demikian pemuda itu tidak merasa dingin sama sekali. Badannya malah terasa nyaman luar biasa, sehingga luka yang dideritanya seperti sudah hilang dari tubuhnya. Luka tersebut bagai larut terbawa oleh getaran suara suling yang menggema di atas bukit dan lembah. Begitu rampung, Yang Kun menghempaskan tubuhnya perlahan di atas rumput sambil menarik napas panjang sekali. Tapi pemuda itu kembali terlonjak berdiri ketika tarikan napasnya tersebut dijawab oleh belasan bahkan puluhan tarikan napas yang lain. Gila! Ketika Yang Kun memandang ke bawah, tampak puluhan penghuni kuil itu telah keluar semua dan berlutut ke arah dirinya. Di halaman samping, halaman tengah, halaman belakang, semuanya penuh orang-orang Im-yang-kauw yang berlutut ke arah dirinya!

   "Sucouw...!" orang-orang tersebut berdesah perlahan. Pemuda itu justru terdiam bagai patung. Rasa kaget dan bingung malah membuat pemuda itu termangu-mangu seperti orang yang kehilangan akal. Akhirnya seperti seorang gadis yang bangun pagi kesiangan, pemuda itu tergagap dari lamunannya dan bergegas turun dari tempat tersebut. Tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri ia langsung kembali ke kamar melewati orang-orang itu. Tanpa menutup pintunya lagi Yang Kun memasuki kamarnya, kemudian menghempaskan diri ke atas pembaringan. Dan...

   "Kurang ajar! kau... kau mau apa?" tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita di sampingnya. Bagai orang disengat lebah, Yang Kun melompat turun kembali dengan gugup. Begitu gugupnya pemuda itu sehingga ia meloncat terlalu keras, akibatnya kakinya menghajar rak buku dengan kuatnya.

   "Braak!" Rak buku setinggi dua meter itu roboh dengan suara yang hiruk-pikuk! Sedangkan pemuda itu sendiri tersungkur pula ke lantai.

   "Aduuuuh...!" Yang Kun menyeringai sambil mendekap dadanya yang sakit. Terdengar suara langkah kaki berlari lari mendatangi tempat itu. Dan sekejap kemudian kakek sinting dan beberapa orang pembantunya telah masuk ke kamar dengan membawa lampu. Mereka semuanya tampak siap siaga menghadapi sesuatu yang gawat. Agaknya pengalaman yang terjadi dalam kuil mereka kemarin, sehingga salah seorang anggota mereka menjadi korban, membuat mereka berhati-hati sekali. Tapi mereka tidak mendapatkan siapapun di dalam kamar itu selain kedua orang tamu mereka. Yaitu Lojin-ong yang tadi baru saja mempesonakan mereka dengan lagu dan tiupan sulingnya, dan si Gadis Buntung yang terluka dalam itu.

   "Ohh, Lojin-ong... ada apa ini! Mengapa Lojin-ong menggeletak di sini? Apakah... oh, nona sudah siuman pula?" Kakek Sinting itu menyapa kedua orang itu bergantian.

   "Kalian siapa"? Mengapa aku berada di sini? Dan... si"siapakah... pemuda ku-kurang ajar itu?" gadis tersebut bertanya garang. Biarpun wajahnya pucat, tapi sikap gadis itu masih menunjukkan sikap seorang pendekar wanita yang galak. Tampak beberapa kali ia mengawasi tubuh dan pakaiannya, kalau-kalau ada sesuatu yang tak beres di sana. Tapi wajahnya tampak menjadi lega begitu terasa tak ada sesuatu yang perlu dicurigai.

   "Ah, tak apa-apa... tak apa-apa! Marilah kita berbicara yang baik! Nona tidak perlu bercuriga kepada kami." Kakek itu menerangkan, lalu bersama para pembantunya ia menolong Yang Kun berdiri.

   "Ohh... kau!" tiba-tiba gadis itu menggeram begitu melihat dengan jelas siapa yang tadi telah begitu berani naik ke atas pembaringannya.

   "Ohh... sabar... sabar!" Kakek itu menengahi.

   "Maaf, nona... maafkanlah aku! Karena tergesa-gesa, apalagi baru semalam di sini, maka aku telah salah masuk kamar tadi. Sekali lagi... maafkan, bukan maksudku mau kurang ajar kepadamu. Sungguh!" Yang Kun meminta maaf dengan suara parau.

   "Hmh!" gadis itu mendengus.

   "Ah, sungguh sial benar nasibku! Dua kali aku bertemu dengannya, tapi selalu saja dalam suasana yang tak mengenakkan hati." Yang Kun menyesali nasibnya yang sial. Mereka keluar bersama-sama dan duduk di kursi yang telah disediakan. Dengan dada masih dipenuhi oleh berbagai macam perasaan curiga gadis itu duduk menghadapi mereka.

   "Nona..." kakek itu membuka pembicaraan.

   "Lebih dulu kami akan memperkenalkan diri kami. Kami semua ini... adalah penganut-penganut Im-yang-kauw." katanya sambil mengedarkan pandangannya ke arah para pembantunya, termasuk juga Chin Yang Kun! (Karena tak ingin berbantah lagi, maka pemuda itu diam saja tak bereaksi)

   "...Dan bangunan besar ini adalah kuil kami, tempat kami semua melaksanakan dan mengamalkan ajaran-ajaran yang kami peroleh." Kakek itu menghentikan keterangannya sebentar. Lalu, "Kemarin kami mendapat kunjungan dua orang tamu dari Bing-kauw, yang bernama Put-gi-ho dan Put-chih-to. Mereka datang membawa tubuh nona yang pingsan karena menderita sebuah luka dalam yang hebat. Sebenarnya kedatangan mereka kemari hanya untuk memenuhi dan melaksanakan pesan yang telah nona berikan kepada mereka. Mereka mau memenuhi pesan itu karena mereka telah berhutang nyawa kepada nona. Tapi karena nona keburu pingsan, maka keterangan yang mereka peroleh dari nona itu ternyata belum begitu jelas dan terang bagi mereka, sehingga hal itu menyebabkan terjadinya kesalahpahaman di antara mereka dan penghuni kuil ini. Salah seorang pimpinan kuil ini telah menjadi korban dalam perselisihan itu. Sekarang mayatnya telah kami tempatkan di ruangan samping..."

   "Oh.,..?!" gadis itu terbelalak sambil menutupi mulut dengan telapak tangannya. "...Aku... aku tak mengira, kalau akan sampai terjadi demikian. Aku sungguh berdosa kalau begitu!" serunya dengan wajah penuh rasa sesal. Semuanya juga menghela napas menyesali peristiwa itu. Tapi bagaimanapun juga semuanya telah terlanjur terjadi dan mereka tak dapat menyalahkan siapa-siapa. Begitu juga terhadap gadis buntung yang belum pernah mereka kenal sebelumnya itu! Keadaanlah yang membuat semua itu terjadi tanpa dapat mereka kendalikan lagi.

   "Sungguh suatu kebetulan yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya, bahwasanya antara salah seorang dari kedua orang Bing-kauw itu dengan kawan kami yang mati, telah ada permusuhan sebelumnya. Sehingga ketika mereka datang ke kuil ini, pertempuranpun tak dapat dielakkan lagi..." kakek sinting itu memberi keterangan lebih lanjut. Gadis Buntung itu semakin tampak merasa bersalah. Wajahnya yang pucat itu tertunduk dalam, hilang sudah semua kegalakannya tadi. Dengan suara serak gadis itu menyesali keadaannya.

   "Betapa malangnya orang itu... hanya karena memikirkan kepentingan diri sendiri, aku telah menyebabkan dia mati secara sia-sia. Maka... sungguh tidak berbudi kalau aku masih mengharapkan pertolongan..."

   "Oh, nona tak perlu menyesali diri. Kami tahu maksud nona minta dikirim ke kuil Im-yang-kauw... karena memang hanya lweekang kepunyaan kamilah yang sanggup memulihkan kesehatan nona. Kudengar tenaga sakti Pai-hud sinkang kepunyaan mendiang Bu Eng Sin-yok-ong dengan disertai ilmu tusuk jarumnya, juga dapat untuk mengobati luka dalam seperti itu. Tapi untuk mencari anak muridnya memang bukanlah hal yang mudah, karena..."

   "Yang melukai siauwte (aku yang rendah) justru muridnya...," gadis itu menukas dengan cepat.

   "Hah? Yang melukai nona adalah murid Bu Eng Sin-yok ong...?" kakek itu berseru kaget, Yang Kun juga tak kalah kagetnya. Pikiran pemuda itu langsung tertuju ke arah temannya, Chu Seng Kun! Menurut penuturan Liu-Twako, kawannya itu adalah Cicit murid dari tokoh besar tersebut. Benarkah kawannya yang baik hati itu yang melukai gadis ini? Tapi kelihatannya gadis itu tidak ingin memperpanjang persoalannya lagi. Dengan wajah yang semakin memucat ia berdiri menjura kepada semua orang yang berada di tempat tersebut. Lalu dengan berdiri tegak gadis itu menghadap ke arah kakek tua itu kembali.

   "Lo-Cianpwe, karena terlalu bodoh dan miskin pengalaman, maka siauwle benar benar tidak tahu dengan siapa siauwte sekarang berhadapan. Oleh karena itu, siauwte sungguh amat menyesal dan meminta maaf yang sebesar besarnya..! Tetapi, biarpun tidak tahu, siauwte yakin bahwa sekarang siauwte tentu sedang berhadapan dengan salah satu diantara kelima tokoh besar Im-yang-kauw yang terkenal itu. Maka siauwte kira tidaklah keliru alamat apabila siauwte sekarang berkeinginan untuk memaparkan semua isi hati siauwte pada Lo-Cianpwe..." katanya merendah. Kakek itu berdiri pula dengan tersipu-sipu. Beberapa kali matanya yang keriput itu melirik kepada Yang Kun, seolah olah semua perkataan yang dikeluarkan oleh gadis tersebut amat mengganggu perasaannya.

   "Ah, nona tak perlu sungkan sungkan kepada kami. Di sini memang ada salah seorang dari kelima Tokoh pimpinan kami itu, beliau..." kakek itu melirik sekali lagi kepada Yang Kun. Tapi begitu dilihat olehnya pemuda itu melotot dengan muka beringas, kakek itu tak berani meneruskan ucapannya. Sebagai gantinya, kakek tersebut lalu membelokkan kata katanya.

   "Tapi... baiklah! Nona dapat mengatakan kepadaku, apa yang menjadi keinginan nona..." Tentu saja gadis itu menjadi bingung melihat sikap yang aneh tersebut. Tapi karena kakek itu telah mempersilahkan dia untuk bicara, maka gadis tersebut tak memikirkan pula hal ini lebih lanjut.

   "Lo-Cianpwe, nama siauwte adalah Souw Lian Cu. Karena terlalu usil mencampuri urusan orang, maka siauwte terpaksa berhadapan dengan Ketua Mo-kauw..."

   "...Dengan Pek-i Liong ong (Raja Naga Berjubah Putih)?" Kakek Sinting itu menegaskan.

   "Lalu apa sebabnya tubuh nona yang terluka itu dibawa kemari oleh orang Bing-kauw?"

   "Itulah persoalannya, Lo-Cianpwe... Pada suatu hari siauwte melihat perkelahian yang tidak seimbang antara para pengikut Bing-kauw dan para pengikut Mo-kauw. Sebenarnya dalam hati siauwte tidak ingin mencampuri urusan mereka, tapi melihat dua orang anggota Bing-kauw hendak dibunuh oleh para pengikut Mo kauw, siauwte menjadi tidak tega. siauwte menolong kedua orang tersebut, sehingga siauwte menjadi bentrok dengan mereka. Kebetulan sekali ketua mereka datang pula ke tempat itu, maka siauwte terpaksa berhadapan dengan dia pula..."

   "Dan nona Souw dilukainya..." kakek sinting memotong, kemudian sambungnya lagi. "Karena nona teringat bahwa yang bisa mengobati luka dalam seperti itu hanya lweekang golongan kami, maka nona meminta tolong kepada dua orang Bing-kauw itu agar segera membawa nona kemari"" Gadis itu menjura kembali dengan hormat.

   "Benar, Lo-Cianpwe. Tapi tak siauwte sangka keadaan bisa berkembang menjadi begini menyedihkan, sehingga sekarang siauwte tak mempunyai keberanian lagi untuk meminta pertolongan Lo-Cianpwe. Dengan tulus hati siauwte sekarang justru minta agar diberi hukuman yang setimpal..."

   "Ah, nona... mana ada aturan begitu? Dalam hal ini nona Souw tidak bersalah sama sekali. Sejak dahulu orang-orang Bing-kauw dan Mo-kauw memang sering berselisih dengan golongan kami, sehingga persoalan seperti ini masih belum apa-apa bila dibandingkan dengan peristiwa lima tahun yang lalu. Bentrokan yang terjadi antara Im-yang-kauw dan Bing-kauw pada lima tahun yang lalu begitu hebat sekali, sehingga antara ketua kami yang lama dan ketua Bing-kauw yang lama sampai terlibat dalam sebuah pibu yang maha dahsyat! Coba kalau pada saat itu suasana negara tidak sedang tenggelam dalam kekalutan dan kekeruhan akibat pemberontakan, kejadian tersebut tentulah akan menggegerkan dunia persilatan..." kakek itu cepat-cepat memotong pula.

   Gadis itu mendengarkan keterangan tersebut dengan mengangguk-angguk. Tampak betapa hatinya merasa sedikit terhibur dengan keramahan yang diterimanya dari tuan rumah itu.

   "Nona Souw, kami tak pernah mengecewakan tamu kami. Nona jauh jauh telah sampai di tempat kami, maka kami juga akan berusaha pula sekuat tenaga untuk mengobati luka itu. Sekarang fajar sudah hampir menyingsing, lebih baik nona masuk kembali ke kamar dan beristirahat dulu barang sejenak...!"

   "Terima kasih, Lo-Cianpwe. Tapi kalau diperbolehkan, siauwte ingin menengok jenazah itu dahulu..."

   "Oho, tentu saja boleh. Biarlah salah seorang dari kami mengantarkan nona kalau begitu..." Maka dengan diantar oleh salah seorang dari mereka, gadis itu melangkah menyeberangi halaman tengah menuju ke ruang samping. Sedangkan yang lain segera membubarkan diri pula untuk kembali kepada tugas masing-masing. Sekarang tinggal Yang Kun dan kakek sinting yang masih berada di tempat itu. Tapi pemuda tersebut segera bangkit pula dari tempat duduknya, lalu melangkah perlahan ke kamarnya sendiri tanpa mengacuhkan si kakek sinting.

   "Lojin-ong...!" Kakek itu mengejar dengan tergopoh-gopoh. Tampak sikapnya telah kembali pula seperti semula, konyol serta ketolol-tololan. Pemuda itu berhenti dengan mendadak. Tubuhnya berbalik dengan cepat, sehingga kakek itu hampir saja menabraknya.

   "Kakek tua, dengarlah! Apakah engkau menghendaki aku berbuat kurang ajar serta tak sopan kepadamu?" Yang Kun menggeram dengan mata melotot. "Kalau kau memang menghendaki demikian... nah, panggil aku dengan sebutan Lojin-ong lagi! Akan kuhitung sampai hitungan ketiga..., satu... dua..." pemuda itu berhenti sebentar, lalu, "Tiga!"

   "'Huh! Mengapa engkau tidak berani juga?" Yang Kun menghardik. Kakek sinting itu meringis seperti kucing mencium terasi.

   "Ba-baiklah...!" katanya terpaksa. "Saudara memang seorang pemuda yang hebat. Mungkin saudara inilah pemuda yang dimaksudkan oleh Sucouw kami itu... Dan dalam beberapa hari ini mata perasaanku memang telah menangkap pula isyarat isyarat tentang kedatangan saudara..."

   "Sucouw..." pemuda itu berdesah perlahan, pikirannya segera terbayang pada orang orang yang berlutut kepadanya tadi malam. Kakek itu tersenyum melihat Yang Kun tidak segera tahu apa yang ia maksudkan.

   "Saudara, marilah kita kembali dulu ke kamarmu! Nanti akan kuterangkan semuanya kepadamu..." Dengan hati masih ragu-ragu dan bimbang. Yang Kun mengikuti kakek itu ke kamarnya. Kakek itu bersikap kembali seperti ketika berada di antara anak buahnya, keren dan berwibawa! Bayangan wajah yang konyol dan ketolol-tololan itu lenyap pula dari mukanya.

   Dan kini muka itu tampak kaku serta dingin, malahan matanya yang semula kocak itupun berubah menjadi tajam, sekilas orang tua itu menoleh. Yang Kun menjadi kaget dan meremang bulu tengkuknya! Mata itu berkilat seperti cahaya petir menyambar! Ayam jantan telah mulai berkokok bersahut-sahutan ketika keduanya memasuki kamar. Dengan suara pelan tapi tegas, kakek itu mempersilakan Yang Kun duduk, kemudian dia sendiri berjalan kearah almari besar yang berada di sudut kamar. Dari dalam almari kakek itu mengeluarkan lembaran lembaran kulit domba, yang saking tuanya sampai berwarna coklat kehitam-hitaman. Lembaran-lembaran kulit itu digulung satu persatu dan terikat oleh tali yang kuat. Kakek tua itu meraupnya menjadi satu, lalu dibawanya ke atas meja yang berada di depan Yang Kun.

   "Saudara... em, maaf... bolehkah lohu (aku yang tua ini) mengetahui nama saudara? Nama saja, tak usah yang lain! Lohu memahami, seperti juga gadis itu, saudara tentu merasa keberatan pula untuk menceritakan asal-usul saudara. Lohu dapat membaca hal itu lewat pandang mata saudara, itulah sebabnya tadi lohu juga tidak menanyakan kepada gadis itu..." Kakek tersebut bertanya tanpa memandang kepada Yang Kun, tangannya asyik melepas tali pengikat gulungan kulit itu.

   "Aku yang muda bernama Yang Kun..." pemuda itu memperkenalkan dirinya. Suaranya sedikit bergetar, bagaimanapun juga sikap kakek itu benar-benar mencerminkan sikap seorang Lo-Cianpwe sekarang.

   "Yang-hiante, kau tentu merasa heran melihat sikap para anggota kami tadi malam. Yaitu ketika Yang-hiante selesai mendendangkan sebuah lagu dan meniup seruling itu...!" kakek tersebut berkata lagi sambil menunjuk suling yang sampai sekarang ternyata masih berada dalam genggaman Yang Kun.

   "Ohh!? Maaf... maafkan aku!" pemuda itu kaget begitu menyadari kekeliruannya. Dengan tergesa-gesa diletakkannya benda tersebut di atas meja. "Saking terburu-buru, siauwte sampai lupa mengembalikan suling ini di tempat semula," katanya terbata-bata. Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mukanya tetap dingin ketika berkata.

   "Tak apalah! Kami semua memang telah mengikhlaskannya untuk Yang-hiante miliki. Lihatlah!" kakek itu menyorongkan selembar kulit yang sudah dibuka kepada Yang Kun. Pemuda itu terpaksa menerimanya dengan wajah masih penuh tanda tanya. Benda tersebut lalu diletakkannya di atas meja, kemudian dia perhatikan lembaran kulit itu dengan seksama.

   "Yang-hiante tentu kaget melihat tulisan yang berada di atas kulit itu, seperti juga yang kami alami tadi malam ketika Yang-hiante menyanyikan lagu itu serta mengiringinya dengan tiupan suling." kakek itu berkata lagi. Memang benar. Begitu Yang Kun membaca tulisan kuno yang tertulis dengan indah pada kulit tersebut, seketika menjadi tertegun. Perlahan-lahan dibacanya tulisan itu dari atas sampai di bawah.

   Sinar bulan di antara bintang,
Membasahi padang di antara ilalang
Hamparan perak luas membentang,
Alas tidur menentang awan.
Dua sejoli bergandeng tangan,
Mempererat tali kasih dalam pandangan.
Bagai tak ada batu rintangan,
Naik jenjang sorga idaman.

   "Hei, ini... ini..." Yang Kun tergagap.

   "Benar! Ini naskah asli dari lagu yang Yang-hiante nyanyikan itu," kakek itu menerangkan. "Tapi itu belum lengkap. Itu baru lembar pertama. Ini masih ada sebelas lembar lagi, lihatlah...! Tiap tiap lembar berisi dua bait pula seperti lembar pertama, sehingga kalau dijumlah semuanya ada dua belas kali dua, yaitu dua puluh empat bait. Kalau setiap bait berisi empat baris kalimat, maka seluruhnya akan terdiri dari dua puluh empat kali empat, yaitu sembilan puluh enam baris kalimat..."

   "Oh?! Lalu... lalu apa maksud kakek memperlihatkan naskah yang lengkap dari lagu yang kunyanyikan itu?"

   "Begini..., Yang-hiante!" kakek itu memperbaiki duduknya. "Gulungan kulit domba ini adalah warisan dari nenek moyang kami, yaitu pendiri Im-yang-kauw yang pertama. Sebenarnya jumlah kulit domba ini tidak hanya dua belas, tapi tiga belas lembar... Yang-hiante, ketahuilah! Selama berpuluh-puluh tahun ini tak seorangpun dari anggota aliran kami yang bisa melagukan isi dari kulit domba ini. Sebenarnya kami semua tahu bahwa tulisan dalam kulit domba ini adalah lagu, tapi karena tak seorangpun yang mengetahui nada lagunya, maka kami cuma dapat menghapalnya saja selama ini. Dan semua hal tersebut menyebabkan kami tidak bisa melatih diri secara sempurna."

   "Melatih diri secara sempurna? Apakah itu?" Kakek itu menatap Yang Kun dengan tajamnya, kemudian dengan menarik napas dalam dalam ia memberi keterangan lagi secara lebih jelas.

   "Baiklah! Akan kujelaskan semuanya! Akhirnya Yang-hiante toh akan menjadi orang kami pula..."

   "Aku...? Apa maksudmu?" pemuda itu semakin tak mengerti.

   "Sudahlah! Nanti Yang-hiante akan mengetahuinya juga. Sekarang kumohon untuk mendengarkan lebih dahulu keteranganku...!" kakek itu memberi penjelasan.

   "Begini Yang-hiante...! Ketahuilah, selain bait bait pantun dalam kulit domba itu merupakan sebuah lagu yang indah, sesungguhnya setiap kalimat dalam pantun tersebut adalah jurus rahasia dari pada ilmu silat kami! Ilmu Silat Im-yang-kauw!"

   "Ohhh..." Yang Kun berdesah. "...Jadi, sembilan puluh enam baris kalimat yang tertulis dalam dua belas lembar kulit domba ini adalah jurus jurus rahasia ilmu silat Im-yang-kauw?" tegas pemuda itu pula.

   "Benar! Aneh sekali, bukan?" kakek itu menjawab, "Tapi sebenarnya tidaklah aneh. Pendiri Im-yang-kauw kami adalah seorang sastrawan pandai, maka setiap huruf dan kalimat yang dia gubah di dalam lagu itu adalah sari pelajaran ilmu silat yang sangat dalam. Semuanya tinggal tergantung kepada kita, apakah kita bisa menangkap maksud beliau atau tidak..."

   "Hmm... jadi setiap orang yang ingin mempelajari ilmu silat tersebut harus mencari sendiri makna dari setiap huruf yang terlukis dalam kulit domba ini?" Yang Kun bertanya. Hatinya semakin merasa tertarik.

   "Ya! Seharusnya memang demikian! Tapi kenyataannya, irama ini hanya beberapa orang saja dari anggota Im-yang-kauw yang berbuat demikian. Yaitu menelaah dan mempelajari sendiri makna dari pantun dan lagu tersebut. Sebagian besar dari kami biasanya hanya mencontoh saja dari buku tulisan salah seorang nenek moyang kami juga, yang selama ini kami anggap paling berhasil dalam mempelajari isi lagu tersebut."

   "Ah, mengasyikkan juga kalau begitu. Dapat kubayangkan, betapa anehnya ilmu silat dari orang-orang yang berusaha mencari sendiri makna dari lagu tersebut. Nama jurus mereka sama, tetapi gerakan mereka berbeda, tergantung selera mereka masing-masing."

   "Yang-hiante, bayanganmu itu memang betul. Tapi meskipun berbeda, ternyata perbedaan tersebut tidaklah banyak..." Pemuda itu memandang orang tua di hadapannya.

   "Lalu..., masih adakah para anggauta Im-yang-kauw yang nekad mempelajari ilmu tersebut dengan cara mencari sendiri makna dari lagu itu sekarang?" ia bertanya.

   "Masih ada juga! Tapi di antara jutaan pengikut Im yang kauw sekarang... hanya dua orang yang berbuat demikian. Itupun yang seorang hanya melanjutkan usaha kakek gurunya..."

   "Hanya dua orang saja? Ah... lalu siapakah mereka itu?" Kakek itu tidak segera menjawab. Beberapa kali ditatapnya muka Yang Kun yang penuh minat dan perhatian terhadap ceritera itu.

   "Yang pertama adalah Tong Ciak Cu-si, pengurus keagamaan kami yang baru. Dia menggantikan pengurus lama yang kini telah terpilih sebagai Tai si ong (Kepala Kuil Agung). Tong Ciak Cu-si inilah yang meneruskan usaha kakek gurunya dalam mempelajari isi lagu tersebut. Sekarang Tong Ciak Cu-si telah sampai pada tahap terakhir, yaitu lembar ke tiga belas dari kulit domba itu. Nah, itulah sebabnya tadi kukatakan bahwa gulungan kulit domba tersebut berjumlah tiga belas, bukan dua belas. Lembar terakhir sekarang dibawa oleh Tong Ciak Cu-si..."

   "Lalu... siapakah orang yang ke dua?" Sekali lagi kakek itu terdiam untuk beberapa saat lamannya sehingga pemuda tersebut menjadi penasaran dibuatnya.

   "Siapakah orang yang kedua itu?" desak pemuda itu lagi.

   "Yang ke dua adalah Toat-beng-jin!"

   "Kurang ajar! kau mau menggoda aku lagi? Kubunuh kau...!" Yang Kun berteriak marah. Kakek itu meloncat ke tengah kamar dengan tangkas. Gerakannya ringan bukan main, sehingga Yang Kun yang berada di dekatnya hampir hampir tak merasakan hembusan anginnya.

   "Yang-hiante, sabarlah! Aku yang tua ini tidak mengolok-olok lagi! Apa yang kukatakan tadi adalah yang sebenarnya. Orang ke dua itu memang Toat-beng-jin! Dengarlah! Toat-beng-jin, bukan kau!!"

   "Ohh! Maafkan aku...!" pemuda itu kembali ke tempat duduknya dengan lemah. "Maafkan aku... aku benar benar keterlaluan!" Kakek itu kembali duduk pula,

   "Tak apalah..." katanya. Pemuda itu benar-benar merasa tak enak di dalam hati. Sejak pertemuan mereka kemarin, ia selalu membentak bentak dan memperlakukan kakek tua itu seperti seorang pesuruh saja. Padahal kakek itu demikian baik dan ramah. Ah, jangan-jangan ia telah salah menduga terhadap kakek tua ini, Yang Kun membatin. Jangan-jangan kakek tua ini justru salah seorang dari kelima tokoh lm yang kauw itu! Yah, siapa tahu?

   "Lalu di mana kedua orang itu kini berada?" Yang Kun bertanya sekedar untuk menghilangkan kekakuan di antara mereka. Tapi jawaban yang dia peroleh benar-benar mengagetkan hatinya.

   "Di sini!"

   "Hah? Di dalam kuil ini?"

   "Benar!"

   "Oh! Lalu... di mana mereka sekarang?"

   "Ada di luar pintu!... Tong-hiante, silahkan masuk!" tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah pintu. Dengan diiringi suara tertawa perlahan pintu kamar itu terbuka lebar lebar, sehingga cahaya matahari yang remang-remang menerobos masuk. Seorang laki-laki pendek kekar dengan kumis dan jenggot terpotong rapi tampak melangkah masuk.

   "Haha, Lojin-ong! Baru sebulan kita berpisah, rasanya ilmu Lojin-ong makin bertambah hebat saja..." orang itu tertawa pendek.

   "Ah, Tong-hiante ini bisa saja memuji orang. Kukira kalau berbicara soal ilmu kepandaian, mana ada di antara penganut Im-yang-kauw kita ini yang mampu melebihi kepandaian Tong Ciak Cu-si? Dalam sejarah Im-yang-kauw selama ini, baru Tong Ciak Cu-si saja yang berhasil menekuni ilmu kita sampai ke lembar tiga belas. Padahal usia Tong Ciak Cu-si masih muda..." kakek tua yang ternyata adalah Toat-beng-jin sendiri itu tersenyum, matanya menatap rambut kepala Tong Ciak Cu-si yang hitam dan belum banyak ditumbuhi uban itu.

   "Ah, perkataan Lojin-ong ini sepintas lalu seperti tidak ada salahnya, tapi di dalam kenyataannya hal itu belum tentu benar," kata Tong Ciak Cu-si sambil duduk pula di antara mereka.

   "Contoh yang mudah saja yaitu antara Lojin-ong dan aku dipandang sepintas lalu ilmu silatku tentu lebih tinggi dari pada ilmu silat Lojin-ong, karena aku telah sampai ke lembar tiga belas sementara Lojin-ong baru sampai ke lembar sebelas. Tetapi kalau dipandang dari sudut yang lain, kepandaian yang kumiliki ternyata benar-benar masih sangat jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian Lojin-ong..."

   "Eh??" tanpa terasa Yang Kun mengeluarkan suara dengusan. Pada mulanya Yang Kun memang belum mempunyai dugaan apa-apa tentang kakek tua itu, tapi setelah beberapa saat yang lalu kakek itu rnemperlihatkan sikap dan kepribadiannya sendiri yang asli ia mulai punya gambaran tentang tokoh aneh tersebut. Meskipun dalam gambarannya itu ia juga hanya bisa menduga secara samar samar saja. Maka begitu tahu siapa sebenarnya kakek sinting itu, Yang Kun sudah tidak begitu kaget lagi. Yang agak mengagetkan pemuda itu malah bukan kenyataan tentang siapa adanya kakek sinting tersebut, tetapi justru tentang ketiga belas lembar kulit domba dan cara-cara mempelajarinya yang aneh. Apalagi ketika dia ikut mendengarkan percakapan kedua tokoh Im-yang-kauw itu!

   "Ehh, mengapa... mengapa kalau dipandang dari sudut yang lain, Tong Ciak Cu-si masih berada di bawah Toat-beng-jin?" begitu terpikatnya Yang Kun terhadap percakapan mereka tentang ilmu silat, sehingga tanpa sadar ia ikut memotong pembicaraan mereka. Tong Ciak memandang Yang Kun beberapa saat lamanya, kemudian menoleh ke arah Toat-beng-jin.

   "Lojin-ong, siapakah dia? Pemuda inikah yang Lojin-ong maksudkan itu?"

   "Demikianlah, Tong-hiante. Kalau aku tidak salah, memang dialah pemuda yang tersirat dalam ramalan itu. Sebulan yang lalu aku pernah mengatakan kepada Tong-hiante bahwa aku telah dibayangi oleh firasat itu, maka aku yang tua ini akan mencarinya. Nah, setelah aku mengelilingi hampir ke seluruh pelosok negeri, bertemulah aku dengan dia di balik bukit ini..."

   "Aha... selamat kalau begitu!" Tong Ciak Cu-si menyalami Toat-beng-jin dengan wajah gembira. Kemudian dengan kepala tegak tokoh terlihai dari Im-yang-kauw itu menghadapi Chin Yang Kun.

   "Hiante (saudara muda), marilah kita berkenalan! Lohu bernama Tong Ciak. Di dalam kepengurusan Im-yang-kauw, lohu menjabat sebagai Kauwcu-si." Yang Kun membalas pula dengan menjura, ia tidak ingin dikatakan sebagai pemuda yang tidak tahu kesopanan.

   "Nama siauwte adalah Yang Kun..."

   "Haha... bagus! Yang-hiante, kalau tak salah engkau tadi menanyakan sesuatu kepadaku. Apakah itu?"

   "Ah, terima kasih! siauwte tadi sangat penasaran mendengar ucapan Tong Ciak Cu-si. Semula Tong Ciak Cu-si mengatakan bahwa ilmu silat Tong Ciak Cu-si lebih tinggi dari pada ilmu silat Toat-beng-jin, tapi akhirnya Tong Ciak Cu-si mengatakan pula bahwa kalau dipandang dari sudut lain, ilmu silat Toat-beng-jin malah berkali-kali lebih hebat dari pada ilmu silat Tong Ciak Cu-si! Wah, bagaimana bisa begitu?" Tong Ciak Cu-si tersenyum lebar. Sambil mempersilahkan Yang Kun agar duduk kembali orang itu mengangkat pundak ke arah Toa beng-jin berkali-kali.

   "Ha-ha-ha... duduklah, Yang-hiante! Akan kuterangkan hal itu kepadamu..."

   "Ah, sudahlah! Jangan didengarkan omongan Tong Ciak Cu-si itu!" Toat-beng-jin segera menengahi mereka.

   "...Paling paling Tong Ciak Cu-si tentu akan membual tentang kepandaian seseorang yang beraneka macam dan hebat-hebat!"

   "Ah, Lojin-ong jangan marah. Bukankah semuanya itu benar belaka?" Tong Ciak Cu-si cepat berkata pula.

   "Yang-hiante, marilah kukatakan kepadamu, agar engkau tidak penasaran lagi!" Orang itu memperbaiki letak duduknya, kemudian dengan muka bersungguh sungguh ia meneruskan keterangannya.

   "Yang-hiante... kalau orang hanya berbicara soal ilmu silat saja, maka sesungguhnyalah dalam Im-yang-kauw kami itu akulah yang terunggul. Tak seorangpun melebihi aku, termasuk pula Tai-si-ong dan Lojin-ong ini!" Tong Ciak mulai dengan ceritanya,

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tapi kalau yang dibicarakan itu tentang kepandaian seseorang secara menyeluruh artinya selain kepandaian ilmu silat juga kepandaian lweekang, ginkang dan lain lainnya, maka hanya Toat-beng-jin sajalah dalam Im-yang-kauw yang patut mendapat gelar nomer satu!"

   "Nah, bukankah kata kataku tadi benar! Tong Ciak Cu-si tentu akan membual!" Toat-beng-jin menyela.

   "Biarlah Yang-hiante mengetahuinya sekalian." Tong Ciak menyambung ceritanya, sedikitpun tidak ambil pusing terhadap kata kata Toat-beng-jin.

   "Dalam hal tenaga dalam, misalnya. Setiap jago-jago persilatan tahu belaka, bahwa Im-yang-kang (Tenaga Sakti Im dan Yang) dari golongan kami adalah satu satunya inti pelajaran ilmu Iweekang yang tak bisa diukur kedalamannya. Semakin tekun dan berbakat orang yang mempelajarinya, semakin tinggi dan hebat pula yang diperolehnya..."

   "Im-yangkang memang satu satunya lweekang yang tidak mempunyai batas akhir untuk dipelajari...!" Toat-beng-jin menyambung cerita Tong Ciak tanpa sadar.

   "Nah, ucapan Lojin-ong itu benar!" Tong Ciak tersenyum geli sehingga Toat-beng-jin buru-buru menutup mulutnya dengan mata melotot.

   "Im-yang-kang memang satu-satunya ilmu menghimpun tenaga sakti di dunia ini yang tidak mengenal batas puncak!... Dan apabila Yang-hiante menanyakan juga kepada kami, siapakah di antara kami yang telah mencapai tingkat tertinggi dalam Im-yang-kang... beliau itu adalah..." orang itu menghentikan ucapannya lagi, tapi matanya melirik ke arah Toat-beng-jin dengan penuh arti.

   
"Huh, Tong Ciak Cu-si "ngecap' lagi! Yang-hiante, jangan kau percaya bualannya itu!" Toat-beng-jin berseru dengan suara mendongkol.

   "Lo-Cianpwe, kali ini siauwte memang kurang begitu percaya pada ucapan Tong Ciak Cu-si," Yang Kun menyetujui kata-kata Toat-beng-jin.

   "Hei? Mengapa Yang-hiante tidak percaya padaku?" Tong Ciak penasaran.

   "Maaf, Tong Ciak Cu-si. Meskipun kepandaian siauwte tidak begitu tinggi, tapi siauwte cukup mengerti bahwa seorang yang belajar ilmu silat tak mungkin dapat meniti ke jenjang yang tinggi tanpa mengikutsertakan semua unsur yang menunjangnya. Contohnya, bagaimanapun hebat mutu sebuah ilmu silat, tapi kalau gerakan-gerakannya tidak ditunjang oleh Iwee kang dan ginkang yang sepadan, artinya sesuai dengan kehebatan ilmu silat tersebut, sama halnya dengan seekor harimau buas yang tak punya gigi...! Nah, oleh karena itulah siauwte kurang mempercayai ucapan Tong-Cu-si tadi. Apabila Tong Ciak Cu-si sudah dapat mempeIajari isi kulit domba ini sampai ke lembar yang ketiga belas, maka sungguh tidak mungkin kalau Iwee kang dan gin kang Tong Ciak Cu-si berkali-kali lebih rendah dari lweekang dan ginkang Toat-beng-jin yang baru belajar sampai ke lembar yang ke sebelas," jawab Chin Yang Kun tegas.

   "Hura! Tahu rasa kau sekarang!" Toat-beng-jin bertepuk senang. Kauwcu-si dari Im-yang-kauw itu tampak sedikit tersipu sipu.

   "Yang-hiante, pendapatmu itu memang betul. Tapi apa yang kukatakan tadi juga tidak salah," katanya membela diri. Kemudian begitu dilihatnya pemuda itu menatap dia dengan pandang mata bingung, ia segera menjelaskan apa yang ia maksudkan.

   "Baiklah, aku akan menjelaskannya kepada Yang-hiante, biarpun hal ini sebenarnya menyangkut rahasia kaum kami," kata Tong Ciak sambil menoleh kepada Toat-beng-jin.

   "Lebih dari seratus tahun yang lalu... salah seorang dari murid Im-yang-kauw telah berbuat suatu kesalahan besar sehingga ia diusir dan dipecat dari keanggotaan Im-yang-kauw. Sebenarnya orang itu harus dihukum mati karena kesalahannya, tapi oleh karena gurunya yang pada saat itu menjabat sebagai Tai-si-ong sangat menyayanginya, maka dia hanya diusir dari kuil. Ia tidak boleh sama sekali menginjak lantai kuil dimana ia selama ini dibesarkan. Selain itu, ia tidak diperbolehkan pula mempergunakan semua ilmu kepandaian yang ia peroleh dalam kuil tersebut."

   "Ah, Tong-hiante berani pula mengungkat-ungkat rahasia lama. Apakah Tong-hiante tidak takut kuwalat pada kakek gurumu itu?" Toat-beng-jin memotong cerita itu.

   "Lojin-ong, mendiang Sucouw Kim-mo Sai ong telah menebus kesalahannya itu selama tiga turunan, dan hal itu sudah sesuai dengan keputusan gurunya. Maka kalau saya sekarang sebagai keturunan beliau yang ke empat, telah diperkenankan kembali ke kuil Im-yang-kauw lagi, mengapa saya harus takut menceritakan peristiwa? Semuanya telah dimaafkan, tak perlu ada yang ditakutkan lagi."

   "Hai, Tong-hiante benar. Semuanya telah berlalu dan sekarang sudah tidak ada persoalan apa-apa lagi. Tong-hiante memang benar. Akulah yang benar-benar sudah pikun...maafkanlah!" Toat-beng-jin buru-buru mengakui kekeliruannya. Sementara itu Yang Kun sudah tidak sabar lagi menunggu kelanjutan cerita itu.

   "Tong Ciak Cu-si... apakah nenek moyang Tong Ciak Cu-si yang bergelar Kim-mou Sai-ong itu adalah tokoh pendiri Soa-hu-pai (Partai Danau Pasir) yang terkenal sebagai salah seorang dari Empat Datuk Besar itu?" Tong Ciak cepat mengangguk.

   "Betul! Pada saat itu Sucouw baru berusia dua puluh lima tahun dan oleh para pimpinan Im-yang-kauw, ia sebenarnya telah disebut-sebut sebagai calon terkuat untuk menggantikan gurunya sebagai Tai-siong." Tong Ciak berhenti sebentar untuk mengambil napas.

   "Tapi nasi telah menjadi bubur, keputusan para pimpinan Im-yang-kauw untuk mengusir Sucouw tidak dapat diganggu gugat lagi. Terpaksa dengan perasaan hancur Sucouw pergi meninggalkan kuil yang dihormatinya itu. Beliau telah mengakui kesalahannya, dan untuk itu beliau akan menebusnya dengan mengasingkan diri di tempat sepi selama hidup." Tong Ciak mengambil napas lagi.

   "...Beliau mempunyai bakat ilmu silat yang luar biasa. Semuda itu usianya, ternyata beliau telah mampu mempelajari ilmu yang tertera pada kulit domba itu. Biarpun cara yang ditempuh oleh beliau dalam mempelajari ilmu tersebut sama dengan yang ditempuh oleh rata-rata anggota Im-yang-kauw yang lain, yaitu mencontoh dari buku tulisan itu... tapi ketika beliau sudah berada di tempat pengasingannya, beliau menciptakan ilmu silat yang lain, meskipun dasar gerakannya masih beliau ambilkan dari catatan dalam buku tulisan itu. Beberapa puluh tahun kemudian beliau mendirikan perguruan tersendiri dan mulai menerima murid. Kesaktian beliaupun telah terkenal di seluruh negeri. Meskipun begitu, dalam menurunkan ilmunya, beliau tak pernah menyinggung nyinggung ilmu silat yang beliau peroleh dari Im-yang-kauw. Beliau tetap hanya mengajarkan ilmu ciptaan beliau sendiri..."

   "Dan hal itulah yang menjadi awal mula dari malapetaka yang menimpa generasi Aliran Im-yang-kauw selanjutnya..." akhirnya Toat-beng-jin ikut pula menambahkan. Kelu juga lidahnya karena tak ikut berbicara dalam cerita yang menarik tersebut.

   "Sepeninggal Kim-mou Sai-ong, Tai-si-ong jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Agaknya peristiwa yang menimpa murid beliau itu benar-benar sangat melukai hatinya. Sepeninggal beliau, barulah setiap orang menyadari akan kekurangan mereka, yaitu tak seorangpun di antara tokoh tokoh Im-yang-kauw saat itu yang hapal akan lagu dalam kulit domba. Satu-satunya orang yang mengerti lagu itu hanyalah mendiang Tai-si-ong tersebut dan... Kim-mou Sai-ong, muridnya! Tapi untuk memanggil kembali murid yang telah diusir itu benar-benar tidak mungkin. Maka... untuk selanjutnya, nada lagu dari pantun tersebut menjadi hilang musnah sampai ke generasi generasi berikutnya..." Toat-beng-jin yang kini telah menjadi bersemangat itu memberi keterangan pula kepada Yang Kun.

   "...Yang-hiante, itulah sebabnya ketika engkau dapat menghapal dan menyanyikan lagu tersebut secara fasih, kami semua segera teringat kepada Sucouw kami!"

   "Semua cerita Lojin-ong itu memang betul." Tong Ciak membenarkan.

   "Nah, Yang-hiante, sekarang akan kujelaskan, apa hubungan dari cerita ini tadi dengan pernyataanku yang tidak kau percaya itu. Yang-hiante tadi tidak percaya kalau lweekang Toat-beng-jin berkali-kali lebih tinggi dari pada lweekangku. Sesungguhnya, apa yang kukatakan itu adalah benar... Cobalah pikirkan, Toat-beng-jin mempelajari ilmu itu sejak muda, sehingga kalau dihitung sampai saat ini telah lebih dari lima puluh tahun lamanya. Sedangkan aku mengenal ilmu tersebut baru lima tahun yang lalu, yaitu saat aku kembali ke kuil untuk memenuhi pesan mendiang Sucouw. Sebelumnya, aku hanya mengenal ilmu-ilmu perguruan Soahu-pai saja. Aku hanya mengenal Soa-hu sinkang (Tenaga Sakti Danau Pasir), dan Soa-hu lian-ciang (Pukulan Bunga Teratai dari Danau Pasir)! Untunglah Soa-hu lian-ciang ciptaan Sucouw itu segala sesuatunya sangat mirip Im-yang-kun (Pukulan Im dan Yang) yang tertulis dalam kulit domba ini, sehingga ketika Tai-si-ong memperlihatkan gulungan kulit domba ini kepadaku, dengan mudah aku mempelajari dan menyelesaikannya! Aku sungguh sangat berterima kasih sekali kepada mendiang Sucouw, ternyata Soa-hu lian-ciang itu sebenarnya adalah hasil pengamatan beliau sendiri dari makna lagu yang tertera pada kulit domba ini. Cuma karena tempat di mana beliau itu mengasingkan diri adalah di permukaan sebuah danau pasir yang panas, maka gerakan gerakan kaki pada Soa-hu lian-ciang disesuaikan dengan keganasan tempat tersebut. Lain halnya dengan Soa hu-sin kang. Lweekang itu benar-benar asli ciptaan Sucouw, sedikitpun tidak ada hubungannya dengan Im-yang-kang. Kalau ada sediikit pengaruh unsur Im juga, hal itu disebabkan karena Sucouw ingin menandingi tenaga sedot yang panas dari rawa pasir tersebut," tokoh Im-yang-kauw itu mengakhiri kisahnya.

   "Nah, sekarang Yang-hiante sudah tahu, bukan? Apa sebabnya aku tadi berkata begitu? Im-yang-kang yang kupelajari benar benar masih rendah sekali, belum ada seperSepuluhnya Toat-beng-jin."

   "Tapi... bukankah Tong Ciak Cu-si mempunyai Soa-hu sinkang yang tinggi?" Yang Kun masih merasa penasaran.

   "Benar, tetapi Soa-hu sinkang itu hanya cocok untuk memainkan Soa-hu lian-ciang saja. Memang bisa pula untuk memainkan Im-yang-kun, tapi pengaruhnya tentu tidak sehebat Im-yang-kang, sebab bagaimanapun juga Im-yang-kang memang merupakan paduannya sendiri."

   "Tong Ciak Cu-si, lalu..."

   "Yang-hiante, sudahlah! Lihat matahari telah terbit, dan janjiku untuk mengobati lukamu belum juga terlaksana. Nanti kita berbicara lagi, sekarang marilah kau buka bajumu...!" Toat-beng-jin memotong perkataan Yang Kun.

   "Lojin-ong benar. Biarlah aku juga beristirahat dahulu. Semalam suntuk aku berjalan dari gedung pusat kesini, rasanya lelah juga..." Tong Ciak berkata pula.

   "Eh, Tong-hiante, kapankah utusan dari sini itu sampai di Gedung Pusat?"

   "Kemarin, menjelang makan malam... sebenarnya Tai-siong tidak memperbolehkan aku berangkat, toh Lojin-ong sudah berada disini. Tapi aku benar-benar tidak enak hati, peristiwa seperti ini kan termasuk dalam tugasku. Maka begitu selesai sembahyang malam, aku memaksa untuk minta diri kepada Tai-si-ong! Bagaimana, Lojin-ong? Adakah sesuatu yang harus segera dilakukan berhubung dengan kejadian ini?" Kauwcu-si dari Im-yang-kauw itu bertanya sambil berjalan ke arah pintu.

   "Entahlah, Tong-hiante. Aku juga belum sempat memikirkannya. Nanti sajalah kita berbicara lagi, sekarang silahkan Tong-hiante beristirahat dahulu biar segar...!" Pintu kamar itu ditutup kembali oleh Tong Ciak Cu-si dari luar.

   "Marilah, Yang-hiante... kita mulai dengan pengobatan lukamu itu." Toat-beng-jin mengajak. Tetapi pemuda itu masih tetap terdiam di kursinya, sama sekali tidak beringsut dari tempat tersebut. Pemuda itu malah menatap Toat-beng-jin dengan tajamnya, sedikitpun tidak merasa takut apalagi gemetar mendengar kesaktiannya yang maha hebat itu. Tentu saja kakek itu menjadi bingung melihat sikap Yang Kun yang aneh tersebut.

   "Yang-hiante, ada apakah...? apa ada sesuatu yang salah?" tanyanya khawatir. Dengan menarik napas panjang, Yang Kun bangkit dari tempat duduknya.

   "Lo...Lo-Cianpwe...," sapanya kaku, sukar juga rasanya untuk mengubah panggilannya terhadap kakek tua itu.

   "Terima kasih atas pertolongan yang Lo-Cianpwe berikan kepada saya. Suatu saat siauwte tentu akan membalas budi yang sangat besar itu. Lo-Cianpwe, sekarang siauwte mohon diri. Kukira luka ini sudah tidak begitu mengganggu lagi..." Setelah menjura kepada Toat-beng-jin, pemuda itu melangkah perlahan ke arah pintu. Tapi sebelum tangannya meraih daun pintu, Toat-beng-jin telah memburunya.

   "Yang-hiante... kau berhentilah dahulu, aku ingin berbicara sebentar!" Yang Kun membalikkan tubuhnya dengan cepat. Matanya yang dingin seram itu kembali mengawasi Toat-beng-jin yang datang.

   "Lo-Cianpwe ingin memberi pesan sesuatu kepadaku?"

   "Oh, tidak... tidak!" orang tua itu tergagap.

   "Ah, Yang-hiante... agaknya ada sesuatu persoalan yang sangat mengganggu hatimu dan tampaknya persoalan tersebut adalah persoalan yang menyangkut diriku. Yang-hiante... benarkah dugaanku ini?"

   "Ah... Lo-Cianpwe, mana aku berani? Hal itu..."

   "Sudahlah... marilah kita duduk kembali. Agaknya ada suatu kesalah pahaman diantara kita." Kakek itu menarik lengan Yang Kun ke arah kursi. Lalu katanya lagi, "Yang-hiante, agaknya kau masih merasa sakit hati karena sandiwara menjengkelkan yang kulakukan terhadapmu kemarin, bukan...? memang, lohu merasa pula bahwa lohu agak keterlaluan memperlakukan Yang-hiante... Lohu benar-benar menyesal sekarang, maukah Yang-hiante memaafkanku...?" Yang Kun tetap berdiri di dekat kursinya. Ia memang masih merasa mendongkol terhadap perlakukan kakek tua itu kepadanya. Kakek itu telah mempermainkan dia seenaknya, padahal ia merasa belum pernah berlaku tidak pantas terhadap kakek itu sebelumnya.

   "Lo-Cianpwe, kurasa kita memang belum pernah saling mengenal sebelumnya. Oleh karena itu kurasa pula siauwte belum pernah berbuat salah terhadap Lo-Cianpwe. Tapi mengapa Lo-Cianpwe begitu tega mempermainkan diriku sedemikian rupa? Lo-Cianpwe... untunglah aku masih ingat akan budi yang Lo-Cianpwe berikan kepada saya, kalau tidak... hm, jangan dikira Yang Kun silau oleh nama seseorang yang setinggi langit!" pemuda itu menggeram menahan marah. Toat-beng-jin merasa kaget bukan main. Sungguh tak ia sangka sama sekali bahwa pemuda itu menjadi marah sedemikian rupa.

   "Yang-hiante, maafkanlah lohu...! marilah! silahkan duduk, akan kujelaskan kepadamu semuanya...! Setelah itu, kau boleh menimbang-nimbang, apakah perbuatanku itu kau nilai keterlaluan atau tidak..."

   "Hmmm..." Tak enak juga hati Yang Kun untuk tidak menuruti permintaan kakek itu. Bagaimanapun juga ia telah berhutang nyawa kepadanya,

   "Nah, sekarang lohu akan bercerita..." kakek itu mulai dengan penuturannya, begitu Yang Kun telah mau duduk kembali di atas kursinya. Dalam Aliran Im yang kauw selain para pengikutnya belajar tentang keagamaan dan ilmu silat, mereka juga ada yang belajar tentang ilmu meramal dan ilmu perbintangan,

   Sebuah ilmu yang agak berbau kebatinan, yang sejak dahulu secara turun-temurun diwariskan oleh pendiri Aliran Im-yang-kauw kepada anak muridnya yang berbakat. Dan untuk waktu sekarang, anak murid Im yang kauw yang paling berbakat serta paling berhasil dalam mendalami ilmu tersebut adalah Toat-beng-jin. ltulah sebabnya, mengapa Tong Ciak tadi mengatakan bahwa jika dipandang dari berbagai sudut, ilmu kepandaiannya masih sangat jauh apabila dibandingkan dengan kepandaian Toat-beng-jin yang beraneka macam itu. Beberapa bulan yang lalu, berkali-kali dalam setiap semadinya Toat-beng-jin memperoleh isyarat bahwa pada suatu saat di dunia persilatan akan muncul seorang pemuda berkepandaian tinggi, tapi sangat berbahaya dan tidak boleh terlalu didekati.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 11 Darah Pendekar Eps 11 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 10

Cari Blog Ini