Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 36


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 36




   Memang, semua gerakan yang dilakukan oleh Put-ceng-li Lojin itu tampaknya sangat tidak masuk akal dan mustahil dilakukan. Tapi memang justru itulah yang menjadi keistimewaan Chuo-mo-kang! Semua gerakan-gerakan Chuomo-kang memang terdiri dari gerakan-gerakan aneh yang kadang-kadang tidak masuk akal! Demikianlah, akhirnya kedua orang itu terlibat dalam pertempuran yang amat dahsyat! Masing-masing mengeluarkan ilmu puncak dari aliran mereka, Chuo-mo-kang melawan Im-yang sin-kun atau Ilmu Sakti Kulit Domba! Begitu dahsyatnya pertempuran itu sehingga rasanya tidak kalah seru dengan pertempuran put-chien-kang Cin-jin melawan Tai-si-ong pada beberapa tahun berselang. Pertempuran itu mengakibatkan beberapa batang pohon tumbang dan beberapa rumpun semak perdu jebol dari tempatnya.

   Angin pukulan mereka yang penuh Iweekang itu menyambar-nyambar, membawa tiupan angin besar, sehingga debu dan kerikil beterbangan menggelapkan arena pertempuran itu. Dua puluh lima jurus telah berlalu. Beberapa saat kemudian tiga puluh juruspun telah terlampaui pula. Song Kang mulai bergetar hatinya. Im-yang Sin-kun sudah hampir habis ia mainkan, tapi lawannya masih tetap garang dan berbahaya. Sedikitpun Put-ceng-li Lojin tidak kelihatan kendor ataupun menjadi berkurang kekuatannya. Orang tua itu masih tampak gesit dan berbahaya. Tampaknya setiap saat kekuatannya malah semakin bertambah besar saja! Dan yang semakin membuat dongkol dan gemas Song Kang, ketua Bing-kauw itu bertempur sambil berceloteh tidak keruan artinya.

   "Setan alas! Setan laut! Setan laut mandi di sungai.Sungainya kering karena kepanasan...! Hahahaha...!" Song Kang mengerahkan kekuatannya, lalu menyerang semakin cepat dan ganas. Kedua belah telapak tangannya bergantian menyerbu ke depan, berusaha membungkam mulut yang ceriwis itu. Tapi Put-ceng-li Lojin ternyata juga meningkatkan kemampuannya. Orang tua itu bergerak semakin aneh dan gila! Meloncat, tiarap, berjongkok, terlentang dan lain sebagainya. Pakaiannya yang semula bersih dan rapih itu sudah tidak keruan lagi macamnya. Kotor, sobek dan tak teratur lagi letaknya.

   Rambutnya yang tadi tersisir halus kini telah menjadi acak acakan dan berlepotan tanah serta pasir. Sungguh orang takkan mengira lagi kalau orang tua itu adalah seorang ketua aliran yang amat terkenal. Put-ceng li Lojin sekarang tak ubahnya seorang gila yang sedang kumat penyakitnya. Oleh karena itu meskipun Song Kang menambah kekuatannya dan meningkatkan kecepatan geraknya, keadaan tetap tidak berubah juga. Kedahsyatan ilmu lawannya yang konyol serta gila-gilaan itu semakin terasa menggencet ilmunya, sehingga lambat-laun Im-yang Sin-kun yang dia mainkan menjadi seret dan tak bisa berkembang sebagaimana biasanya. Jangankan mau membungkam mulut Put-ceng-li Lojin yang ceriwis itu, untuk melindungi dirinya sendiri saja tokoh Im-yang-kauw itu sudah mulai kewalahan!

   Tentu saja Tai-si-ong yang melihatnya menjadi tegang dan gelisah. Tanpa terasa peluhnya ikut bercucuran. Beberapa saat lamanya pemimpin Aliran Im yang kauw itu berdiri gelisah tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Menolong salah, tidak membantupun salah. Sebenarnya bisa saja ketua lm-yang-kauw itu menolong muka pembantunya dengan cara menggantikannya melawan Put-ceng-li Lojin. Tapi celakanya kepandaian silat yang dipunyainya juga tak berbeda jauh dengan tingkat kepandaian Pangcu-si Song Kang. Jadi apabila dia yang maju menghadapi Put-ceng-li Lojin, keadaannya akan tetap sama saja. Sama-sama celakanya. Malahan jika dia yang maju, kekalahan itu justru akan membawa pengaruh dan akibat yang lebih parah malah!

   Karena sebagai seorang pemimpin aliran, kekalahan yang dideritanya tentu akan menyangkut pamor dan kehormatan perkumpulannya. Sementara itu Put-ceng-li Lojin semakin mendesak Pangcu-si Song Kang. Gerakannya semakin meraja-lela menguasai arena. Ilmu Sakti Kulit Domba yang dimainkan oleh Song Kang sudah habis dikeluarkan semua. Meskipun begitu tetap saja tidak bisa membendung amukan Chuo-mo-ciangnya. Bagaimanapun juga ketua Aliran Bing-kauw itu ternyata masih lebih kuat dan lebih matang ilmunya. Tiba-tiba terdengar suara anjing melolong keras sekali di kejauhan. Suaranya mengalun tinggi menggetarkan hutan itu. Begitu kuat dan kerasnya lolongan tersebut sehingga mampu memecahkan perhatian kedua orang yang sedang adu tenaga itu.

   "Haaauuunnngg...!!!"

   "Bangsat! Keparat! Anjing berkudis tak tahu diuntung...! Hampir saja lohu melupakan sesuatu! Huh! Iblis...! Setannn..." ketua Aliran Bing-kauw yang telah berada di atas angin itu mendadak mengumpat-umpat sambil meloncat mundur. Kemudian dengan cekatan melesat ke tempat Chu Bwee Hong dan membawanya pergi dan tempat tersebut.

   "Tai-si-ong...Pangcu-si! Maaf lohu masih ada urusan penting sehingga tak bisa menemani kalian lebih lama lagi!Lain waktu saja kalau ada kesempatan permainan ini kita lanjutkan kembali...!" teriaknya dari kejauhan. Sesaat kemudian tempat itu telah menjadi sunyi kembali. Tinggallah kini kedua tokoh aliran Im-yang-kauw itu memandang kegelapan dengan wajah lesu. Mereka baru saja dikalahkan oleh lawan bebuyutan mereka.

   Diam-diam mereka menjadi sakit hati dan berjanji bahwa suatu saat mereka harus bisa membalas kekalahan mereka ini. Demi kehormatan aliran mereka, mereka harus belajar lebih keras lagi menekuni Ilmu Sakti Kulit Domba. Sukur dapat menyelesaikannya sampai pada lembar yang ke tiga belas. Demikianlah, kedua orang tokoh pimpinan Im-yang-kauw itu lalu melanjutkan perjalanan mereka kembali dengan perasaan lesu. Dalam hati mereka sedikit menyesal, mengapa Toat-beng-jin atau Kauwcusi Tong Ciak tidak pergi bersama mereka. Apabila seorang saja di antara kedua orang itu berada bersama mereka, mereka percaya kekalahan itu takkan mungkin terjadi. Hanya kedua orang kawan mereka itulah kiranya yang akan mampu menundukkan ketua Bing-kauw yang sakti tersebut. Begitu keluar dari hutan itu Put-ceng-li Lojin sudah ditunggu oleh muridnya.

   "Apakah yang terjadi, suhu? Kenapa lama sekali?" Put-simsian bertanya dengan nada khawatir. Dipandangnya tubuh gurunya yang kotor tidak keruan itu.

   "Ahaa...sepeninggalmu tadi lohu bermain-main sebentar dengan orang-orang Im-yang-kauw," Put-ceng-li Lojin menjawab acuh tak acuh.

   "Orang-orang Im-yang-kauw?" Put-sim-sian terkejut.

   "Siapakah mereka, suhu...?"

   "Tai-si-ong dan Pangcu-si Song Kang!"

   "Ya! memangnya kenapa? kau kira mereka dapat mengalahkan gurumu?"

   "Jadi...?"

   "Sudahlah, mari kita berangkat! Lihatlah puncak bukit itu! Ada api unggun di sana...mungkin disanalah tempat pertemuan kita dengan Sang Putera Mahkota itu." Baru saja ketua Bing-kauw itu menutup mulutnya, dari puncak bukit tiba-tiba terdengar lagi suara lolongan anjing itu. Nadanya tinggi melengking dan mengalun panjang sekali, bagaikan suara hantu yang memanggil-manggil mangsanya. Sungguh seram dan mendirikan bulu roma.

   "Itu dia suara anjing itu..." Put-ceng-li Lojin berdesah, kemudian mempercepat langkahnya. Bukit itu sangat terjal dan tak ada jalan setapak untuk naik ke atas. Oleh karena itu Put-ceng li Lojin dan Put-sim-sian terpaksa berloncatan di atas ujung-ujung batu yang bertonjolan di sana-sini.

   "Suhu, berikanlah gadis itu kepadaku. Biarlah aku kini yang membawanya..." Put-simsian menoleh ke arah gurunya yang berloncatan sambil memanggul Chu Bwee Hong di sampingnya.

   "Tak usah! Biarlah kubawanya sendiri!"

   "Hei, suhu marah kepadaku?"

   "Keparat! Siapa yang marah kepadamu?" Put-ceng-li Lojin melotot. "Awas, jangan berkata yang bukan-bukan! Kubunuh kau nanti...!"

   "Tapi kenapa sejak tadi suhu diam saja?" Tiba-tiba Put-ceng li Lojin menghentikan langkahnya, lalu dengan kasar meletakkan tubuh Chu Bwee Hong di atas tanah. Mereka telah berada di atas bukit.

   "Bangsat keparat! Setan tetekan! Kenapa sekarang kau jadi mengurusi aku? Ingin berkelahi, yaa? Ayoh...kulayani kau!" Put-ceng-li Lojin yang tidak pernah menghiraukan peradatan itu berteriak-teriak dan menantang muridnya sendiri, sementara Put-sim-sian yang tidak menyangka gurunya akan menjadi marah begitu cuma berdiri saja ketakutan.

   "Hahahahaha...apakah yang datang ini Put-ceng-li Lojin dari Bing-kauw? Selamat datang! Selamat datang!Terima kasih atas kesediaan Lojin memenuhi undangan kami..." tiba-tiba seorang kakek tinggi tegap datang menyongsong kedatangan mereka. Beberapa orang pengawal tampak mengiringi kakek gagah itu dengan obor di tangan masing-masing. Put-ceng li Lojin menoleh, keningnya berkerut. Otomatis tangannya menyambar tubuh Chu Bwee Hong kembali dan menaruh lagi di pundaknya.

   "Eh? Oh? Beng Goanswe...?" ketua Aliran Bing-kauw itu tergagap kaget. Orang tua ini benar-benar tak mengira kalau bekas jenderal besar itu menyambutnya di tempat ini. Siapakah yang tak pernah mengenal dan mendengar nama bekas jenderal besar Dinasti Chin yang sangat dihormati rakyat itu?

   "Ah, aku sudah bukan seorang jenderal lagi, Lojin! Sekarang aku sudah menjadi orang biasa seperti kalian. Marilah...!" Tapi Put-ceng-li Lojin masih tetap termangu-mangu dan tidak beranjak dari tempatnya. Hatinya masih diliputi perasaan tidak percaya, bahwa bekas jendral yang amat dikagumi orang itu kini berada di tempat ini dan sekarang malah sedang menyambut kedatangannya. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di dalam hatinya, jangan-jangan orang yang mengirimkan surat undangan itu adalah bekas Jenderal Beng Tian ini. Tapi apakah maksud dan tujuannya sehingga bekas jenderal Dinasti Chin ini mengundang dia? Apakah bekas jenderal ini bermaksud merebut takhta kembali?

   "Lojin, marilah...! Kenapa termangu-mangu saja? Mari kuperkenalkan dengan beberapa orang kawan!" Beng Tian menjura.

   "Eh! Oh! Bangsat! Setan! Keparat! Mengapa pula Lohu ini?" Put-ceng-li Lojin tersentak dari lamunannya, kemudian mengumpat-umpat seperti biasanya.

   "Sungguh pikun..." Beng Tian tertawa.

   "Ahaha, Lojin benar-benar tidak berubah. Sejak dahulu selalu santai dan senang berkelakar." Tapi Put-ceng-li Lojin tak mengacuhkan lagi komentar Beng Tian itu. Ketua Aliran Bing-kauw yang aneh itu sudah kembali ke sifatnya yang asli, tidak pedulian dan seenaknya sendiri. Sambil menggandeng lengan muridnya orang tua itu melangkah ke tempat yang telah ditunjukkan oleh Beng Tian tadi.

   "Goanswe keliru. Lohu tidak berkelakar. Lohu kini memang sudah pikun karena sakit gigi, hehehe..." katanya sambil tertawa. Di atas puncak bukit tersebut ada sebuah lapangan atau dataran yang agak luas. Di tempat itu telah dipasang beberapa buah obor sehingga tempat tersebut menjadi terang benderang. belasan orang lelaki dan wanita telah kelihatan berkumpul di sana. Mereka duduk-duduk mengelilingi api unggun yang dibakar di tengah-tengah lapangan itu.

   Semuanya segera berdiri dan memberi salam kepada Putceng-li Lojin yang baru saja datang. Seorang kakek dan nenek yang berwajah keras dan serius mcmpersilahkan ketua Bing-kauw itu duduk di antara mereka. Sekejap hati Put-ceng-li Lojin menjadi tergetar kembali. Ia mengenal beberapa orang yang duduk di tempat itu, termasuk pula kakek dan nenek yang mcmpersilahkan dia duduk tadi. Orang-orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, karena mereka adalah ketua-ketua persilatan yang terkenal. Kakek dan nenek itu adaIah jago-jago tua di dalam dunia persilatan. Mereka adalah suami-isteri Yap Cu Kiat dan Siang-houw Nio-nio, ayah-ibu dari Hong-Iui-kun dan Yap Tai-Ciangkun! Yap Cu Kiat adalah keturunan langsung dari Sinkun Bu-tek, sementara Siang-houw Nio-nio adalah bekas pengawal pribadi Kaisar Chin Si.

   Di dekat mereka duduk pula sepasang lelaki dan wanita tua yang wajahnya dingin menyeramkan. Seperti halnya Yap Cu Kiat, kedua orang itu juga merupakan sepasang suami-isteri yang amat sangat terkenal di dunia kang ouw. Mungkin justru lebih dikenal orang dari pada suami-isteri Yap Cu Kiat tersebut, karena mereka adalah suami-isteri Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai! Selanjutnya Put-ceng li Lojin melihat pula Pek-i Liong-ong dan dua orang pembantu utamanya, Bhong Kim Cu dan Leng Siau. Mereka bertiga duduk diam di tempat masing-masing. Kemudian agak jauh dari tempat mereka tampak berkumpul beberapa orang kepala suku dari daerah barat beserta para pengawalnya. Mereka tampak kasar dan ganas, apalagi dengan pakaian mereka yang terbuat dari kulit binatang itu.

   "Hati-hatilah...!" Put-ceng-li Lojin berbisik kepada muridnya. Untuk pertama kalinya Put-sim-sian melihat gurunya demikian serius.

   "Hmm, mengapa tuan rumah belum juga menampakkan diri? Lohu tidak mempunyai banyak waktu, karena lohu mempunyai urusan yang lain," tiba-tiba Kwa Eng Ki berdiri. Yap Cu Kiat cepat berdiri dari tempat duduknya.

   "Maaf, saudara Kwa. Sang Putera Mahkota sedang sibuk mengobati luka seseorang, sehingga agak terlambat menemui cuwi semua..." katanya menerangkan.

   "Luka? Siapakah yang terluka?" ketua Tai bong-pai itu bertanya dengan kening berkerut.

   "Salah seorang dari tokoh yang kita undang pula yaitu Hong-gi-hiap Souw Thian Hai!"

   "Dia? Siapakah yang melukai pendekar muda itu?" Kwa Eng Ki kaget. Semuanya juga kaget. Rata-rata semua tokoh yang berada di tempat itu telah mengenal nama besar Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Meskipun masih muda tetapi kepandaian pendekar itu telah diakui kehebatannya oleh hampir setiap tokoh kang ouw. Oleh karena itu semuanya menjadi heran, siapakah orangnya yang mampu melukai pendekar muda itu?

   "Entahlah. Yang terang anak muda itu terkena racun katak api. Untunglah Sang Pangeran menyimpan obat pemunahnya, yaitu darah ular salju."

   "Ohhh...!" Tiba-tiba di bawah terdengar lagi suara Beng Tian mempersilahkan tamunya.

   "Ah! Itu mungkin Sang Pangeran sudah datang..." Yap Cu Kiat berdesah.

   Semuanya berdiri kembali, lalu bersama-sama mereka melongok ke bawah. Demikian juga dengan Put-ceng li Lojin. Begitu inginnya orang tua itu melihat wajah Sang Pangeran Mahkota sehingga ia ikut-ikutan pula berdiri diantara mereka.Tetapi apa yang dilihatnya justru membuat hatinya menjadi tegang malah! Tampak Beng Tian naik ke atas mengiringkan Tai-si-ong dan Pangcu-si Song Kang dari Aliran Im-yang-kauw! Sesaat para tamu yang berada di atas puncak itu berdesah kecewa. Tapi oleh karena yang datang kali ini juga bukan tokoh sembarangan di dunia persilatan, maka merekapun terpaksa memberi salam pula. Hanya saja ketika semuanya kembali ke tempai duduk masing-masing, Kwa Eng Ki tetap berdiri di tempatnya. Ketua Tai-bong-pai yang amat sakti itu menjura ke arah tuan rumah, kepada suami-isteri Yap Cu Kiat dan Beng Tian.

   "Maaf, saudara Yap...saudara Beng, aku yang rendah terpaksa harus mengundur..."

   "Sang Pangeran telah tiba!" mendadak terdengar suara teriakan pengawal yang berjaga di bawah, sehingga perkataan yang diucapkan oleh Kwa Eng Ki terhenti di tengah jalan dan menjadi urung untuk meminta diri. Dua orang kakek berkepala gundul dengan kain kuning dilampirkan di atas pundaknya memimpin para pengawal yang mengiringkan seorang lelaki berpakaian mewah gemerlapan. Para pengawal itu kemudian menyebar di pinggir arena pertemuan, sementara dua orang berkepala gundul itu segera mendekati lelaki berpakaian mewah tersebut dan mengiringkannya ke kursi yang telah tersedia. Kemudian seperti sepasang anjing penjaga yang setia, keduanya berdiri di samping kursi itu.

   "Pangeran..." Yap Cu Kiat dan isterinya memberi hormat kepada lelaki itu, yang kemudian diikuti pula oleh tamu-tamu lainnya. Pangeran Mahkota itu berdiri menyambut penghormatan mereka, lalu mempersilahkan semuanya untuk duduk kembali. Lalu dengan suara yang halus dan berwibawa pangeran itu berkata kepada tamu-tamu yang diundangnya. Kata-katanya lancar dan tegas, seolah-olah memang telah dipersiapkan sebelumnya.

   "Cuwi sekalian...! Maafkanlah keterlambatan saya. Salah seorang dari tamu yang kami undang telah dilukai orang, sehingga saya terpaksa turun tangan mengurusnya. Untunglah luka itu belum terlambat. Tapi pendekar muda itu terpaksa harus beristirahat beberapa lamanya..." Para tamu menghela napas.

   "Mungkin ada beberapa orang dari tamu undangan kami yang tidak menyukai berlangsungnya pertemuan ini, sehingga mereka berusaha mengacaukannya." Pangeran itu berkata lagi.

   "Tapi tak apalah...Kami akan tetap meneruskan pertemuan ini! Apalagi kami menyadari, betapa sulit dan sukarnya mempertemukan tokoh-tokoh persilatan seperti tuan-tuan ini. Apabila hanya karena persoalan kecil seperti itu kita lalu menjadi gagal, niscaya kita takkan mampu berbuat yang besar lagi. Nah...oleh karena itu marilah kita buka saja pertemuan kita kali ini!"

   "Hahahah...bagus...bagus! Itulah yang lohu inginkan. Pegal rasanya kalau disuruh menunggu terus menerus." Put-ceng-li Lojin yang tidak sabaran itu berseru pula. Semua yang hadir di tempat itu menoleh ke tempat Putceng-li Lojin, tidak terkecuali Tai-si-ong dan Song Kang yang baru datang. Kedua tokoh Aliran Im-yang-kauw itu tampak kaget dan tegang melihat lawan mereka telah berada di tempat itu pula.

   "Sayangnya lohu benar-benar tak mengerti dan merasa belum pernah mengenal dengan tuan yang menamakan diri Sang Putera Mahkota ini. Bangsat...! Sejak dari rumah otakku cuma dipenuhi dengan teka teki tentang nama itu! Sungguh penasaran!" ketua Bing-kauw itu berteriak lagi. Mendengar umpatan Put-ceng-li Lojin, kedua orang pengawal berkepala gundul itu menjadi marah. Keduanya beranjak dari tempatnya untuk melabrak mulut ketua Aliran Bing-kauw tersebut. Tapi Sang Pangeran itu cepat-cepat mencegahnya.

   "Jangan berkelahi! Biarlah Yap Lo-enghiong saja yang mengurusnya...!" katanya. Yap Cu Kiat berdiri dari tempat duduknya, setelah menerima isyarat Sang Pangeran. Dengan suara kaku tokoh dari Utara itu mengangguk ke arah Put-ceng-li Lojin.

   "Kauwcu memang benar. Belum banyak orang yang mengenal putera mahkota dari mendiang Kaisar Chin Si ini! Hal itu disebabkan karena pangeran ini jarang sekali pergi keluar dari Kotaraja..." Tiba-tiba Siang-houw Nio-nio yang berangasan itu ikut pula berseru dari tempat duduknya.

   "Tapi bagi orang yang pernah ikut berjuang melawan pemberontak Chu Siang Yu di daerah perbatasan utara beberapa tahun yang lalu, tentu sudah mengenal beliau beserta sepak-terjangnya di dalam melawan pasukan asing! Meskipun keberangkatan beliau ke perbatasan itu adalah hasil tipu daya mendiang Perdana Menteri Li Su, tapi perjuangan beliau bersama Beng Tian Goanswe di sana takkan dapat dilupakan oleh rakyat banyak!Beliaulah sebenarnya yang benar-benar berhak menduduki singgasana kerajaan pada saat ini, karena beliaulah putera mahkota satu-satunya dari mendiang Sri Baginda Kaisar Chin Si. Beliaulah yang paling berhak mewarisi tahta ayahandanya, bukan Lui Pang bekas penyamun itu!"

   Tempat itu menjadi hening untuk beberapa saat lamanya. Semuanya termangu-mangu memandang ke arah Pangeran Mahkota yang kehilangan kedudukannya itu. Beng Tian tampak bergeser maju pula.

   "Sungguh betul apa yang baru saja diucapkan oleh Siang-houw Nio-nio itu. Cuwi semua tentu telah mengenalku. Aku yang rendah ini adalah bekas Panglima tentara Kerajaan Chin..." Semua hadirin masih tampak berdiam diri. Sang Pangeran bangkit dari tempat duduknya. Tangan kanannya diangkat ke atas.

   "Cuwi semua...! Cuwi telah mendengarkan kata-kata para pembantuku tadi. Oleh karena itu sekarang cuwi tentu sudah meraba di dalam hati, apa maksud kami mengundang cuwi semua ke sini..."

   "Pangeran bermaksud...mengajak kami melawan Kaisar Han?" Kwa Eng Ki bertanya lantang.

   "Betul!" Sang Putera Mahkota menjawab tegas.

   "Ah, maafkan kami kalau begitu...!" Kwa Eng Ki cepat-cepat menjura.

   "Seperti yang telah diketahui oleh orang banyak, selama ini Tai-bong-pai tak pernah melibatkan diri ataupun ikut campur dalam urusan pemerintahan. Sejak nenek moyang kami mendirikan perguruan Tai bong-pai sampai sekarang, tak seorangpun ahli warisnya yang pernah terlibat dalam urusan negara. Maka sungguh sangat menyesal sekarangpun kami tak berani melanggar adat yang telah digariskan oleh leluhur kami itu" Tai-si-ong dari Im-yang-kauw tiba-tiba berdiri pula dari tempat duduknya.

   "Yap Eng-hiong (Pendekar Yap)...!" sapa ketua Aliran Im-yang-kauw itu halus.

   "Bukannya kami mau mengekor atau ikut-ikutan menolak ajakan yang sangat bersahabat ini, tapi seperti juga halnya dengan Ketua Tai-bong pai tadi, kamipun tak ingin merusak anggapan masyarakat terhadap kami selama ini. Perkumpulan kami adalah sebuah perkumpulan yang bertumpu pada aliran kepercayaan, dimana maksud dan tujuan utamanya, adalah demi perdamaian dan kebahagiaan hidup manusia. Oleh karena itu apapun alasannya peperangan merupakan sebuah pantangan bagi aliran kami. Sebab peperangan itu hanya akan merusak kehidupan dan kedamaian manusia..."

   "Hahaha! saudara Kwa, Tai-si-ong...kalian benar! Lohu juga sangat benci peperangan! Karena perang anak-isteriku mati! Karena perang aku jadi begini...hehehe...! Bangsat! Keparat!" Put-ceng li Lojin tiba-tiba berteriak pula dengan kerasnya. Semuanya menjadi tegang. Orang-orang yang berada di pihak Sang Pangeran itu telah menjadi merah mukanya. Para kepala suku yang liar dan kasar itu mulai mencengkeram senjata masing-masing. Dan salah seorang dari kepala suku itu, bangkit dari tempat duduknya. Tubuhnya yang tinggi besar tampak gemetaran menahan marah. Orang itu melangkah ke depan sambil menyeret ruyungnya (penggadanya) yang besar sekali,sebesar paha orang itu.

   "Picik! Pikiran kalian sungguh picik sekali!" orang itu juga berteriak tak kalah lantangnya dengan Put-ceng-li Lojin.

   "Kalian hanya berpikir dari sudut kepentingan kalian sendiri saja, tanpa mempedulikan nasib orang lain yang menderita.Kalian saling berlomba-lomba menyebarkan ajaran aliran kepercayaan kalian yang cinta damai itu, sementara para penyamun yang berkuda menindas dan merampok di sekeliling kalian. Benarkah perbuatan kalian itu? Begitukah caranya engkau mendamaikan dan membahagiakan umat manusia di dunia ini?" Orang itu melanjutkan kata-katanya dengan berapi-api. Tai-si-ong dan Kwa Eng Ki terperangah. Begitu pula dengan Put-ceng-li Lojin. Cuma karena pembawaan watak mereka yang berlainan, maka cara mereka menanggapi dampratan itupun juga berbeda pula. Ketua Tai-bong-pai yang berwatak kaku dingin dan tak kenal ampun itu tampak semakin pucat wajahnya.

   Matanya yang bersinar dingin itu berkilat-kilat menyeramkan, mengandung hawa pembunuhan. Mulutnya tetap terkatup rapat, tapi setiap orang sudah merasakan bahwa setiap saat tangannya bisa membunuh orang! Berbeda dengan ketua Aliran Im-yang-kauw! Sebagai seorang ketua dari sebuah aliran kepercayaan, yang setiap harinya bergelut dengan ajaran-ajaran agama, maka sikapnyapun kelihatan lebih lapang dan terkendali. Meskipun perasaan dan hatinya juga sama-sama terbakar oleh ucapan kepala suku liar tersebut, tapi dia lebih dapat menahan dan menguasai kemarahannya. Hanya sesaat wajahnya menjadi merah, tapi sebentar kemudian kembali biasa lagi. Cuma mulutnya tampak meringis kikuk. Lain pula dengan Put-ceng-li Lojin! Orang tua itu hanya mengerutkan keningnya sebentar, kemudian menoleh dan tertawa kepada muridnya.

   "Sim-sian, ke sini! kau, bangsat!"

   "Ada apa, suhu?" tergopoh-gopoh Put-sim sian menghadap gurunya.

   "Dengarlah, anak goblog! Ternyata ada juga orang yang mau berbantah dengan gurumu di sini. kau heran tidak?" Put-sim-sian menggeleng.

   "Apa yang mesti diherankan? Toh, hampir setiap hari kulihat suhu selalu bertengkar dan berkelahi dengan orang? Apanya yang aneh?"

   "Hei? Apa yang kau katakan? Anak setan! Gila kau...! Berani kau...?" suara Put-ceng-li Lojin meninggi. Tapi sesaat kemudian, bagaikan orang yang baru sadar dari mimpinya, suaranya kembali menurun.

   "Ahh...mungkin kau memang benar juga. Kenyataannya memang demikian. Kalau dihitung-hitung setiap harinya, lohu memang lebih banyak berkelahinya dari pada tidaknya. Apalagi musim-musim panas begini, mulut dan tangan ini rasanya selalu gatal dan ingin berkelahi saja..."

   "Tapi sekarang suhu berada di tempat orang, suhu tak boleh berkelahi dan membunuh orang seenaknya sendiri," Put-sim-sian memperingatkan gurunya.

   "Yaa...tapi tolong kau beritahukan kepadanya agar mau menahan diri dan tidak mencari gara-gara kepadaku!" Enak saja kedua orang guru dan murid itu membicarakan kepala suku liar tersebut, seolah-olah keduanya tidak memandang sebelah mata sama sekali. Tidak heran kalau ulah mereka itu membuat kepala suku liar tersebut menjadi tersinggung dan marah bukan buatan. Sambil memutarmutarkan senjatanya di atas kepalanya orang itu menyerbu ke tempat Put-ceng-li Lojin. Langkah kakinya yang besar-besar itu berdebam di atas tanah bagaikan gajah berlari.

   "Tahan!" tiba-tiba Yap Cu Kiat berseru.

   Tubuh orang tua itu melesat dari tempat duduknya dan menghadang di depan Put-ceng-li Lojin. Kedua belah lengannya tampak merentang ke kanan dan ke kiri untuk mencegah agar kedua orang itu tidak jadi berkelahi. Dan telapak tangannya menghembus angin yang Iuar biasa kuatnya, sehingga kedua orang yang dilerainya bagaikan tertahan oleh tenaga yang luar biasa kuatnya. Kepala suku liar itu tampak berhenti dengan tiba-tiba bagaikan menabrak sebuah tembok baja, sementara Put-ceng li Lojin yang hendak bangkit berdiri itu tampak terduduk kembali dengan paksa bagai didorong oleh tenaga raksasa. Untuk sesaat wajah ketua Bing-kauw itu menjadi pucat,matanya terbelalak! Tapi sebentar kemudian wajahnya berubah menjadi merah kembali. Bagaikan seorang yang menemukan benda kesayangannya orang tua itu berteriak kegirangan.

   "Ha! Ini baru sebuah kepandaian benar-benar...!" Tapi sebelum orang tua itu berbuat onar lebih Ianjut, muridnya telah lebih dahulu memperingatkan,

   "Suhu, ingat! Kita sedang menjadi tamu di sini..." Put-ceng-li Lojin yang telah bersiap untuk berdiri kembali itu menghela napas kecewa. Dengan lesu dia duduk kembali di tempatnya. Sepasang matanya yang kecil berkilat sekejap ke arah muridnya.

   "Bangsat! Setan kecil! Jaga mulutmu...!" bentaknya gemas.

   "Tahu begini tak kuajak kau ke tempat ini! Hmm, awas kau! Akan kuhajar sendiri kau nanti untuk melemaskan otot-ototku apabila malam ini tak ada orang yang mengajakku berkelahi."

   "Suhu, kau gila...!" Put-sim-sian tersenyum. Tentu saja adegan itu membuat orang-orang yang hadir di dalam pertemuan itu menjadi heran. Belum pernah rasanya selama ini mereka melihat watak-watak yang aneh dan sinting seperti ketua Bing-kauw dan muridnya itu. Masakan ada seorang murid dan guru saling memaki demikian enaknya seperti kawan mainnya saja. Padahal mereka adalah tokoh tokoh puncak dari sebuah aliran terkenal yang amat disegani orang!

   "Sudahlah! Sudahlah!" Beng Tian yang semula hanya berdiri di pinggir arena itu ikut pula meloncat ke dalam kalangan.

   "Marilah kita duduk kembali yang baik...! Kita berunding lagi secara baik-baik! Siapapun berhak untuk mengemukakan pendapatnya. Pertemuan kita ini adalah pertemuan yang bebas. Kita tidak akan memaksakan kehendak kita kalau saudara-saudara yang lain tidak menyetujuinya. Marilah...!"

   "Bagus! Demikianlah seharusnya. Lohu setuju pendapat Beng Goanswe ini..." Pek-i Liong-ong dari Aliran Mo-kauw, yang sejak tadi belum pernah membuka suara, ikut pula menyatakan pendapatnya. Akhirnya suasana yang panas itu dapat didinginkan kembali. Semuanya duduk lagi di tempat masing-masing. Kepala suku liar itu terpaksa diam saja ketika bekas jendral Beng Tian itu menuntunnya kembali ke tempat duduknya.

   "Sudahlah, saudara Kosang...! Tak perlu saudara layani kedua orang sinting itu. Demi Sang Putra Mahkota yang kita junjung tinggi, biarlah kita mengalah sekali ini." salah seorang kepala suku yang lain turut membujuk kepala suku yang marah tersebut.

   "Hmm, orang tua itu memang sinting dan patut dikasihani. Mungkin dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sehingga dia lupa dengan siapa dia sedang berhadapan. Apa gunanya kepandaiannya itu bila berhadapan dengan anak buah kita yang beribu-ribu jumlahnya? Mungkin ia bisa membunuh sepuluh atau dua puluh orang kita, tapi selanjutnya...? Dia akan dicacah menjadi bakso!" seorang kepala suku yang lain lagi terdengar bergumam pula dengan geram. Sang Putra Mahkota berdiri dari tempat duduknya. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi untuk meminta perhatian para tamu yang hadir di dalam pertemuan tersebut. Kemudian dengan suara jelas dan mantap ia berkata,

   "Cuwi sekalian...! Seperti yang telah dikatakan oleh Beng Lo-Cianpwe tadi, pertemuan kita malam ini memang sebuah pertemuan yang bebas. Tidak ada paksaan ataupun keharusan untuk berbuat sesuatu yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak yang tidak menyetujuinya. Semuanya bebas untuk menyatakan pendapatnya atau pergi dari sini apabila dia tidak menyukainya. Sekali lagi,saudara-saudara bebas untuk menentukan sikap!" Hening. Semuanya diam mendengarkan. Hanya Put-ceng-li Lojin yang menoleh kesana kemari dengan meringis. Ketua Aliran Bing-kauw itu hampir saja tertawa melihat wajah-wajah yang tegang di sekelilingnya. Yap Cu Kiat berdiri pula dari tempat duduknya.

   "...Dan maksud Pangeran mengadakan pertemuan ini adalah untuk memberi keterangan kepada saudara-saudara tentang duduk persoalan sebenarnya dari kemelut negeri kita sekarang ini. Siapakah sebenarnya Sang Pangeran yang kini berada di hadapan kita ini, dan siapakah sebenarnya Kaisar Han yang bertahta itu? Dengan keterangan itu kita akan dapat mengambil kesimpulan, siapakah sebenarnya yang berhak duduk di atas singgasana kerajaan...!"

   "Dan apabila cuwi telah mengetahui duduk persoalannya, maka kami percaya cuwi tentu takkan segan-segan lagi membantu Sang Pangeran...!" Siang-houw Nio-nio menyambung perkataan suaminya dengan penuh keyakinan. Semuanya tetap terdiam mendengarkan. Tak seorangpun yang berbicara ataupun menanggapi ajakan tersebut.

   "Bagaimanakah pendapat saudara-saudara?" Beng Tian bertanya sambil mengedarkan pandangannya.

   "Aku dan seluruh rakyatku berdiri di belakang Sang Putera Mahkota!" kepala suku yang bernama Kosang itu berteriak sambil berdiri.

   "Seluruh bala tentara suku Wei yang aku pimpin juga siap di belakang Sang Putera Mahkota!" kepala suku yang ikut menenteramkan hati Kosang juga berdiri.

   "Bangsa Uighur juga siap untuk mengenyahkan Liu Pang!"kepala suku yang menggeram ketika melihat kesintingan Putceng-li Lojin tadi juga ikut berteriak pula.

   "Kami juga!"

   "Kami juga!" Semua kepala suku yang berada di tempat itu akhirnya berdiri menyatakan kesediaan mereka untuk membantu perjuangan Putera Mahkota dalam merebut kembali haknya. Bersama-sama dengan anak buah yang mereka bawa para kepala suku liar itu bersorak-sorak menyatakan dukungan mereka.

   Sang Putera Mahkota mengangkat tangannya ke atas dan meminta kepada orang-orang itu agar tenang kembali. Setelah itu Sang Pangeran dengan wajah gembira menyatakan perasaan terima kasihnya. Tapi suasana gembira itu ternyata tidak dapat mereka nikmati dengan sepenuhnya. Mereka segera menyadari bahwa beberapa orang di antara tamu-tamu itu hanya berdiri diam dan tidak bergembira seperti mereka. Tamu-tamu tersebut, yang tidak lain adalah suami-isteri Kwa Eng Ki, Pek-i Liongong, Put-ceng-li Lojin, Tai-si-ong dan yang lain lagi cuma mengawasi kegembiraan mereka dengan kening berkerut. Yap Cu Kiat cepat-cepat maju ke depan. Dengan suara halus namun tegas orang tua itu bertanya kepada Pek-i Liongong, sahabatnya sejak masih muda dulu.

   "Ouwyang Loheng (nama Pek-i Liong-ong adalah Ouwyang Kwan Ek), kita masih selalu bersahabat bukan? Bagaimanakah pendapat Loheng dalam hal ini?" Ketua Aliran Mo-kauw itu berdesah dan tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sekilas matanya menatap Yap Cu Kiat, kemudian menunduk ke tanah,

   "Saudara Yap, kukira persoalan ini bukanlah persoalan teman atau pribadi antara kau dan aku. Yang kalian sodorkan kepadaku ini adalah persoalan negara. Dan persoalan itu bukanlah persoalan kecil, tapi sebuah persoalan yang amat besar! Dan...sesungguhnyalah aku tak berani turut campur dalam urusan besar ini...!"

   "Jadi...?" Yap Cu Kiat mendesak.

   "Kukira sudah jelas keteranganku. Apapun yang terjadi aku masih tetap sahabatmu. Tapi...persoalan ini bukan masalah sahabat atau bukan sahabat! Persoalan ini adalah persoalan negara, dan dalam hal ini aku tak bisa membantumu. Maafkan aku...!"

   "Nah...apa kataku?" tiba-tiba Siang-houw Nio-nio menjerit.

   "Sejak dulu sudah kukatakan kepadamu! Jangan bersahabat dengan perantau yang tak punya guna itu! Tidak ada manfaatnya! Nah, bagaimana sekarang...? Begitukah yang kau katakan sahabat sejati itu?" Nenek yang berwatak keras dan berangasan itu berdiri marah-marah di depan Yap Cu Kiat, suaminya. Kedua belah tangannya berkacak pinggang dan menuding-nuding ke arah Pek-i Liong-ong secara bergantian. Tidak enak rasanya Pek-i Liong-ong melihat sahabatnya itu berbantah dengan isterinya hanya karena persoalan dirinya.Oleh karena itu dia segera mengajak kedua muridnya untuk meninggalkan tempat itu.

   "Maafkan aku, saudara Yap..." ketua Aliran Mo-kauw itu menjura ke arah Yap Cu Kiat. Setelah itu lalu mengangguk ke arah Putera Mahkota, Beng Tian dan yang lain-lain.

   "Berhenti...! Huh, enaknya! Jangan harap kau bisa pergi dari tempat ini dengan selamat!" tiba-tiba Siang-houw Nio-nio berteriak. Suasana segera berubah menjadi tegang sekali. Mata Pek-i Liong-ong dan kedua orang muridnya tampak berkilat-kilat,suatu tanda bahwa mereka telah mempersiapkan seluruh kesaktiannya.

   "Hujin (isteriku), biarkan mereka pergi!" mendadak terdengar suara Yap Cu Kiat membentak keras sekali, sehingga puncak bukit itu seolah-olah bergetar. Siang-houw Nio-nio terkejut sekali, sehingga kakinya meloncat surut dengan tergesa-gesa. Mukanya yang berkeriput itu tampak pucat ketika memandang suaminya. Bibirnya gemetar melihat kemarahan suaminya.

   "Apa...apa maksudmu?" tanyanya gagap. "Mengapa Hujin masih belum tahu juga? Biarkanlah saudara Ouwyang melakukan apa yang diinginkannya! Bukankah di muka telah kita katakan bahwa setiap orang bebas menyatakan pendapat menentukan sikapnya?"

   "Tetapi..."

   "Tak ada tetapi lagi! Segala sesuatunya tetap berjalan seperti yang telah ditetapkan!"

   "Benar! Aku juga sependapat dengan Yap Eng-hiong..." bekas Jendral Beng Tian mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui ucapan Yap Cu Kiat. "Kita harus menghormati ketentuan yang telah kita sepakati sendiri."

   Siang-houw Nio-nio tampak kecewa sekali. Tapi dia sudah tidak bisa berkutik lagi. Selain para kepala suku itu, semua kawan-kawannya tampaknya juga setuju pada ucapan suaminya tersebut. Oleh karena itu dengan lesu wanita tua itu duduk kembali di tempatnya. Hampir bersamaan Tai-si-ong, Put-ceng li Lojin dan Kwa Eng Ki juga berdiri dari tempat duduknya dan menjura ke arah Yap Cu Kiat dan Putera Mahkota. Satu persatu mereka meminta diri dan menyatakan pendapatnya, bahwa mereka tetap tidak ingin mencampuri urusan tersebut.

   Jilid 27
Yang terakhir, Pek-i Liong-ong juga berdiri dari tempatnya, diikuti oleh kedua orang pembantunya. Sambil menghela napas sesal orang tua itu berkata kepada Yap Cu Kiat, sahabatnya.

   "Saudara Yap, maafkanlah aku...! Kali ini sahabatmu terpaksa mengecewakanmu. Tapi aku selalu tetap mengharapkan pengertianmu, bahwa urusan seperti ini benar benar di luar jangkauanku. Percayalah, di luar urusan seperti ini, aku tetap seorang sahabatmu yang siap berkorban apa saja demi persahabatan kita...!" Yap Cu Kiat mengangguk.

   "Silahkan pergi, saudara Ouwyang...! Terima kasih atas kesediaanmu mendatangi pertemuan ini." Demikianlah satu-persatu tokoh-tokoh persilatan itu meninggalkan tempat tersebut, sehingga akhirnya tinggal para kepala suku liar itu saja yang berada di sana. Mereka segera mengelilingi Sang Putera Mahkota dan berusaha membesarkan hatinya.

   "Sungguh membuang-buang waktu saja. Dari mula aku sudah tidak setuju Pangeran mengundang orang-orang itu." Kosang bersungut-sungut dengan suara keras.

   "Benar. Orang-orang itu cuma hebat dalam pertempuran seorang lawan seorang! Dalam pertempuran besar di medan laga, kesaktian mereka takkan begitu berarti lagi!" kepala suku Wei yang berbadan pendek namun kekar itu ikut memberi komentar.

   "Yaaa! Tapi maksud Pangeran, kalau kita dapat menarik mereka ke pihak kita, hal itu benar-benar sangat menguntungkan kita. Bagaimanapun juga kita harus mengakui bahwa orang-orang itu mempunyai kesaktian yang maha hebat. Satu orang saja dari mereka sama dengan seratus orang dari pasukan pilihan kita," Beng Tian menyahut.

   "Sudahlah! Sejak semula Iohu memang telah merasakan bahwa pertemuan ini takkan membawa hasil seperti yang kita harapkan." Yap Cu Kiat menghentikan gerutu mereka.

   "Tapi karena Sang Pangeran masih tetap ingin mencobanya juga, maka terpaksa kita laksanakan pula." Siang-houw Nio-nio bergegas bangkit dari tempat duduknya.

   "Tetapi hal itu tak berarti kita akan mengurungkan rencana perjuangan kita, bukan?" sergapnya. Sang Pangeran cepat-cepat berdiri pula sambil melambaikan kedua tangannya,

   "Ah, tentu saja tidak! Mengapa pula kita harus mengurungkan rencana kita? Tanpa merekapun kekuatan kita sungguh bukan main besarnya. Tak kalah bila dibandingkan dengan kekuatan Liu Pang dahulu. Betul tidak?"

   "Benar! Sang Pangeran memang benar!" para kepala suku itu berteriak berbareng.

   "Nah, sudahlah! Kita tak perlu memikirkan lagi pertemuan yang gagal ini! Aku memang hanya mencoba saja, kalau-kalau mereka itu dapat kita tarik ke pihak kita. Kalau tidak dapat...juga tidak menjadi soal! Toh kita telah mendapatkan gantinya yang lebih hebat dari pada mereka!"

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mendapatkan orang yang lebih hebat dari pada mereka? Apakah maksud Pangeran...?"tukas Siang-houw Nio-nio tak mengerti. Sang Putera Mahkota itu tersenyum gembira. Suaranya penuh keyakinan akan keberuntungan yang didapatnya ketika ia menjawab pertanyaan pembantunya itu.

   "Ah! Apakah Lo-Cianpwe sudah lupa kepada Honggi-hiap Souw Thian Hai itu? Dia telah berada di dalam cengkeramanku sekarang!"

   "Di dalam cengkeraman Pangeran...? Bagaimanakah maksud Pangeran?" sekarang giliran Beng Tian yang bertanya dengan bingung.

   "Maksud Pangeran pendekar muda itu telah bersedia membantu kita? Begitukah?" Yap Cu Kiat ikut menegaskan. Pangeran itu mengangguk.

   "Di muka telah kukatakan bahwa pendekar itu kutemukan terapung-apung di sungai dalam keadaan terluka dan keracunan. Setelah saya periksa ternyata pundaknya bengkak dan bernanah akibat terkena senjata beracun. Dan racun itu bukanlah racun sembarangan, sebab racun yang masuk ke dalam tubuhnya adalah racun katak api yang..."

   "Racun katak api?" para kepala suku liar itu berteriak berbareng dengan wajah ngeri.

   "Benar. untunglah aku menyimpan obat pemunahnya..."

   "Darah ular salju?" Yap Cu Kiat bertanya.

   "Ya! Tapi sebagai imbalan atau balas jasa dari pengobatan itu Hong-gi-hiap harus bersedia mengabdi kepada keluargaku." Pangeran itu tersenyum sambil membelai-belai kumisnya yang telah mulai ditumbuhi uban.

   "Ohh!" Yap Cu Kiat dan Beng Tian menghela napas. Untuk pertama kalinya kedua orang itu kelihatan kecewa dan tidak senang hatinya. Bagaimanapun juga mereka adalah tokoh-tokoh besar yang berjiwa ksatria, yang tidak menyukai hal-hal yang bersifat licik, pengecut dan rendah budi. Apalagi memeras orang yang lagi berada di dalam kesukaran!

   Demikianlah, pertemuan itu akhirnya bubar. Pangeran itu minta kepada para pembantu-pembantunya agar mereka segera bersiap siap untuk mengerahkan kekuatan mereka. Pangeran itu menginginkan agar perjuangan mereka lekas-lekas dimulai. Begitulah seluruh kejadian sebenarnya yang terjadi pada diri Chu Bwee Hong, Souw Thian Hai dan yang lain-lain pada dua tahun lalu. Tentu saja yang dituturkan oleh Chu Bwee Hong kepada kakak dan teman-temannya tidaklah selengkap dan sejelas itu. Yang ia ceritakan hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh cerita itu. Yaitu mulai saat dia masuk perangkap orang berkerudung itu, sampai pada saat pertemuannya yang amat pendek dan mengecewakan dengan Souw Thian Hai, dan kemudian tahu-tahu telah berada di Pusat Aliran Bingkauw di daerah Kosan.

   "Ketua Aliran Bing-kauw yang telah tua itu katanya telah menyelamatkan diriku dari kebuasan serigala yang hendak memangsaku. Dibawanya aku ke pusat perkumpulannya dan kemudian dirawatnya aku selama berbulan-bulan di sana. Sebenarnya aku sudah tak ingin hidup lagi. Apalagi ketika kusadari bahwa aku...aku berbadan dua! Tak tahan rasanya aku menanggung beban seberat itu!" Chu Bwee Hong dengan suara lemah dan tersendat-sendat meneruskan ceritanya. Semua orang yang mendengarkan cerita itu ikut bersedih dan meneteskan air matanya. Souw Lian Cu yang masih merasa bersalah itu bahkan sudah tidak kuat lagi menahan kesedihannya. Gadis itu langsung saja menubruk pangkuan Chu Bwee Hong dan menangis tersedu-sedu.

   "Ciciii" kasihan sekali kau!" ratapnya. Chu Bwee Hong menunduk, lalu membelai rambut yang hitam itu untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya segera tertuju kepada ayah dari gadis cantik berlengan buntung sebelah itu. Tiba-tiba hatinya juga menjadi pilu bukan main!

   "Thian Hai...!" desahnya hampir tak terdengar.

   "Cici...?" Ho Pek Lian menyentuh lengan Chu Bwee Hong perlahan, sehingga wanita ayu itu segera menyadari bahwa dia sedang bercerita tentang dirinya.

   "Oh?! Maafkan aku...!" katanya kemudian dengan kikuk. Lalu perlahan-lahan dilanjutkannya ceritanya.

   "Aku hampir tak pernah mau makan dan minum. Yang kuinginkan setiap saat hanyalah kedatangan Giam-lo-ong untuk menjemput nyawaku. Beberapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku, tapi Put-ceng-li Lojin selalu mencegahnya. Bagaikan seekor anjing penjaga yang setia orang tua itu tak pernah lekang dari sampingku..." Chu Bwee Hong menghentikan sebentar ceritanya. Wajahnya semakin menunduk. "Sambil menjaga segala gerak-gerik dan keselamatanku, Put-ceng-li Lojin selalu membesarkan dan menasehati-hatiku. Dapat saja orang tua itu mengalihkan perhatianku, baik dengan tingkah lakunya yang konyol maupun dengan cerita ceritanya yang mengasyikkan. Kadang-kadang ia bercerita tentang kejadian-kejadian di dunia kang-ouw, kadang-kadang juga bercerita tentang keluarganya yang telah mati meninggalkan dirinya. Setiap hari ada saja yang diperbuatnya untuk menghibur kemurunganku. Malahan ia sempat pula menciptakan sebuah ilmu silat yang aneh dan menggelikan untukku..."

   "Ilmu silat?" Kwa Siok Eng menyela dengan heran. Chu Bwee Hong melirik ke arah calon iparnya itu, lalu mengangguk.

   "Ya! Ilmu silat itu ia namakan Bidadari Bersedih.Aneh sekali, bukan? Tapi justru ilmu silat itulah yang dapat menggugah hatiku. Timbul semangatku untuk mempelajarinya. Maka ketika Put-ceng-li Lojin mengajakku untuk mempelajarinya, aku tidak menolaknya. Begitu bersemangatnya aku sehingga aku bisa melupakan kesedihanku..." Chu Bwee Hong menghentikan lagi ceritanya. Dihelanya napasnya dalam-dalam sambil memandang kawan-kawannya. Lalu wajahnya kembali menunduk lagi dengan sedihnya.

   "Kemudian tibalah saatnya aku harus melahirkan bayi terkutuk itu. Ingin rasanya aku mencekik anak itu! Ohh...! Ternyata aku tak tega melakukannya. Anak itu begitu mungilnya! Begitu tampan dan menyenangkan sehingga Putceng-li Lojin sendiri sampai jatuh hati terhadapnya. Anak itu digendongnya, disayangnya bagai cucu atau anaknya sendiri..." Chu Bwee Hong terdiam kembali. Matanya yang bulat bening itu tampak berkaca-kaca.

   "Tapi di mana aku harus menyembunyikan mukaku? Masakan seorang gadis yang belum kawin seperti aku telah mempunyai anak? Bagaimana kalau aku berjumpa dengan keluarga, sahabat atau handai-taulan nanti? Apa kata mereka terhadapku?" Chu Bwee Hong melanjutkan kisahnya lagi.

   "Maka ketika Put-ceng-li Lojin menyarankan agar aku kawin saja dengan dia untuk menolong muka dan nasib anak haram itu, aku segera menyetujuinya. Apalagi di dalam hati aku telah bertekad untuk tidak kembali lagi ke dunia ramai. Aku ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu."

   "Cici..." Souw Lian Cu menengadahkan mukanya dengan sedih. Sedih sekali. Chu Bwee Hong segera menunduk. Diraihnya kepala gadis itu dan dibelainya bagai anaknya sendiri.

   "Begitulah. Semuanya telah terjadi. Aku kini telah menjadi isteri ketua Aliran Bing-kauw..." wanita ayu itu mengakhiri kisahnya. Kamar itu menjadi sunyi. Tak seorangpun mengeluarkan suara. Semuanya bagaikan terbius oleh kisah pengalaman Chu Bwee Hong dan ikut menjadi sedih dan pilu pula karenanya. Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng beberapa kali tampak mengusap air matanya yang mengalir di atas pipi mereka masing-masing. Sementara Chu Seng Kun tampak menatap wajah adiknya dengan hati tak karuan pula. Beberapa kali pemuda itu tampak menghela napas panjang. Wajahnyapun juga selalu tampak berubah-ubah.Sesaat tampak seperti orang yang amat menyesal dan sedih, tapi di lain saat berubah seperti orang yang sedang pepat, marah dan penasaran!

   "Hek-eng-cu...Hek-eng-cu! Iblis terkutuk kau!" akhirnya pemuda itu menggeram penuh dendam.Semuanya tersentak dari lamunan masing-masing. Mereka menoleh ke arah Chu Seng Kun dengan hati berdebar. Wajah pemuda itu tampak gelap dan kelam.

   "Moi-moi, sudahlah...! Sekarang kita telah bersatu kembali, maka kau tak perlu terlalu bersedih lagi." Kwa Siok Eng cepat-cepat menghampiri Chu Bwee Hong dan membujuk untuk mengalihkan suasana yang kaku itu.

   "Benar, Hong-Cici...Marilah kau kami antar pulang kembali ke rumah. Nanti kita merundingkan bersama-sama, cara bagaimana mencari manusia keparat itu!" Ho Pek Lian ikut membujuk pula. Chu Seng Kun bangkit dari tempat duduknya.

   "Ya! Bwee Hong, sebaiknya kita memang pulang saja dahulu. Nanti kita pikirkan bersama cara yang lebih baik untuk membalas dendam kepada iblis itu," katanya berat. Tapi Chu Bwee Hong cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Wajahnya yang ayu itu tampak sedih luar biasa. Air matanya turun membasahi pipinya yang pucat.

   "Maaf, Cici...Koko. Sekarang adikmu terpaksa tidak dapat mengikutimu lagi..." bisiknya pilu dengan kepala tertunduk.

   "Huh? Kenapa...?" Chu Seng Kun dan Kwa Siok Eng berseru kaget. Wajah yang pucat itu tertunduk semakin dalam. Suaranya hampir tak terdengar ketika menjawab,

   "Maafkan aku, koko...aku kini sudah bukan seorang gadis yang masih merdeka lagi. Aku kini telah menjadi isteri orang. Oleh karena itu aku harus kembali ke tempat suamiku..."

   "Kau gila! Jangan...! kau tidak boleh kembali ke tempat Put-ceng-li Lojin! Perkawinan itu tidak sah! Bukankah engkau tidak mempunyai perasaan cinta sama sekali terhadap orang tua itu? Bukankah perkawinan itu terjadi karena terpaksa oleh keadaan saja? Bukankah perkawinan kalian itu Cuma untuk menolongmu dari kecemaran saja?" Chu Seng Kun melompat dan berteriak keras sekali. Sepuluh jari-jarinya mencengkeram lengan adiknya dengan sangat penasaran. Pemuda itu benar-benar tidak rela adiknya kawin dengan ketua Aliran Bing-kauw yang telah tua itu.Hampir saja Chu Bwee Hong terjengkang. Wanita ayu itu tidak bisa menjawab. Sekejap dia menatap kakaknya lalu tertunduk kembali. Diraihnya kepala Souw Lian Cu yang berada diatas pangkuannya. Air matanya semakin deras mengalir di atas pipinya yang putih pucat.

   "Cici...!" gadis remaja itu ikut pula menangis, sehingga kedua-duanya lalu bertangis tangisan dengan sedihnya. Chu Seng Kun sadar. Saking kaget, bingung dan tegangnya ia sampai berteriak-teriak demikian kerasnya. Tentu saja gadis yang sedang dirundung malang itu malah semakin bertambah kacau pikirannya. Seharusnya ia bertindak lebih tenang meskipun hatinya sedang gelisah sehingga adiknya itu tidak menjadi semakin kaget dan bingung! Maka Chu Seng Kun segera melepaskan tangannya dan perlahan-lahan duduk di samping adiknya.

   "Maafkan aku, Bwee Hong...Tapi aku benar-benar tidak rela kalau kau kawin dengan orang tua itu..." bisiknya dengan sedih dan penasaran. Chu Bwee Hong semakin terisak-isak.

   "Sekarang...sekarang persoalannya bukan tentang soal rela atau...atau tidak rela," gadis itu berkata di antara sedu-sedannya. "...Dan juga bukan tentang cinta atau tidak cinta. Persoalan yang kuhadapi adalah soal nasib dan membalas budi! Agaknya nasib telah menggariskan demikian, sebab tanpa kehadiran orang tua itu, aku tak mungkin bisa hidup sampai sekarang. Oleh karena jasa orang tua itu saja kini adikmu bisa bertemu dengan Koko dan sahabat-sahabat semua..."

   "Yah...orang tua itu memang besar sekali jasanya. Tapi hal itu bukan berarti engkau harus berkorban sebesar itu." Chu Seng Kun cepat-cepat menukas perkataan adiknya.

   "Kau jangan lekas-lekas terjebak dalam persoalan nasib dan membalas budi itu! Coba kau pikirkan dengan seksama lebih dahulu...! Benarkah Thian telah menggariskan nasibmu seperti itu? Dan apakah pertolongan yang diberikan oleh orang tua itu mesti harus dianggap sebagai sebuah budi yang harus dibayar? Hmm...semuanya itu belum tentu, adikku. Kita harus mengkajinya terlebih dahulu sebelum kita menganggapnya demikian..." Kwa Siok Eng memegang lengan calon iparnya.

   "Apa yang dikatakan oleh kakakmu itu memang betul, Hong-moi...Pikirkanlah lagi dengan baik! Jangan gegabah dan sembarangan...!" Chu Seng Kun melanjutkan perkataannya,

   "Bagi kita orang Han, perkawinan itu benar-benar suci dan agung. Perkawinan bukan hal yang remeh dan sepele, sehingga dapat dilakukan begitu saja tanpa dipikirkan masak-masak terlebih dahulu. Perkawinan adalah hal yang sangat besar, yang akan kau jalani hampir sepanjang hidupmu. Di dalam perkawinan itu pula engkau akan mempertaruhkan seluruh kebahagiaanmu nanti. Oleh karena itu perkawinan itu harus dipikirkan dengan matang sebelumnya. Masing-masing harus dilandasi cinta kasih yang benar-benar tulus dan suci! Bukan hanya sekedar karena terpaksa atau membalas budi saja! Jikalau dasar dari perkawinan itu tidak kokoh, hemm...apakah gunanya hidup itu? Kelihatannya saja kau selamat dari kematian, tapi jiwa dan perasaanmu sebenarnya tak bedanya dengan orang mati. Apa gunanya itu? Semakin menambah penderitaan dan kesengsaraan, bukan?"

   Chu Bwee Hong semakin tenggelam dalam kesedihannya. Kini gadis itu tidak bisa menahan tangisnya. Sambil memeluk kepala Souw Lian Cu dia menangis tersedu-sedu. Terlihat benar betapa pilu dan sengsara hatinya.

   "Koko...kau...kau belum mengetahui se...seluruhnya, uh-huuu...kau salah sangka terhadap...terhadap Put-ceng-li Lojin. kau tidak...tidak akan berkata demikian bila telah mengetahui yang...yang sebenarnya. Put-ceng-li Lojin benar-benar orang yang mulia. Sungguh mulia. Dia tidak sejelek yang kau sangka. Dia hanya betul-betul ingin menolongku. Dia hanya ingin menganggap anak haram itu sebagai anaknya. Sebenarnya tidak ada niatnya untuk mengawini aku...uh-huuuu!"

   "Lalu...apa sebabnya kau ingin pulang kepadanya?" Chu Seng Kun berseru tak mengerti.

   "Ooooh...!" Chu Bwee Hong berdesah tak bisa menjawab. Tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa-gesa di luar pintu, kemudian terdengar pintu kamar tersebut diketok orang.

   "Cici...Hong Cici!" terdengar suara Put-sia Niocu di luar pintu. Chu Bwee Hong terkejut. Cepat-cepat dia berdiri dan membersihkan air mata yang membasahi pipinya. Otomatis semuanya kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.

   "Cici...! Cepat bukakan pintunya! Suhu datang...!" Semua yang berada di dalam kamar itu tersentak kaget. Wajah mereka menjadi tegang, terutama Chu Seng Kun! Pemuda itu bagaikan seekor jago yang hendak dipertemukan dengan lawannya! Setelah berhasil membenahi dirinya Chu Bwee Hong bergegas melangkah untuk membuka pintu,

   "Siau Put-sia, bersabarlah...!" katanya seraya membuka pintu. Murid bungsu Put-ceng-li Lojin itu memandang Chu Bwee Hong dan orang-orang yang berada di dalam kamar dengan pandangan aneh. Gadis itu seperti melihat sesuatu yang aneh pada wajah dan sinar mata mereka, sehingga gadis yang berpembawaan lincah dan gesit itu mendadak terdiam tak bisa berkata-kata.

   "Put-sia, apa katamu? Suhumu datang kemari? Dimana dia?" Chu Bwee Hong menepuk pundak gadis itu.

   "Anu...eh, anu...suhu berada di belakang rumah, sedang bertengkar dengan Put...Put-ming-mo suheng!" Put-sia Niocu menjawab dengan gagap.

   "Hei, apa-apaan itu? Ayoh kita lerai mereka!" Chu Bwee Hong mengangguk ke arah kakak dan sahabat-sahabatnya, lalu bergegas pergi mengikuti Put-sia Niocu. Chu Seng Kun dan kawan-kawannya menghela napas dan tak bisa berbuat apa-apa. Apa mau dikata, gadis itu telah memilih jalan hidupnya sendiri! Belum juga hilang suatu langkah kaki Chu Bwee Hong di belakang, tiba-tiba dari kamar depan terdengar pula suara langkah kaki seseorang menuju kamar itu. Chu Seng Kun cepat melangkah keluar, tapi di depan pintu hampir saja ia bertabrakan dengan Hong-luikun dan adiknya Yap Tai-Ciangkun.

   "Ah, saudara Yap...ada apa?" Chu Seng Kun menyapa lebih dahulu.

   "Saudara Chu, marilah cepat,...! Hongsiang terluka!" Yap Kiong Lee berseru seraya menarik lengan Chu Seng Kun.

   "Heh? Hongsiang terluka? Di..., di mana...?"

   "Benar! Sekarang ada di kamar depan ditunggui Pek-i Liong-ong dan saudara Yang Kun."

   "Yang Kun...?"

   "Ya! saudara Yang Kun tadi datang dengan membawa tubuh Hongsiang yang terluka."

   "Ohhh!" Seng Kun bergegas mengikuti kedua orang bersaudara itu, meninggalkan Kwa Siok Eng, Ho Pek Lian dan Souw Lian Cu di dalam kamar. Mereka melangkah dengan tergesa-gesa bagaikan dikejar setan. Peristiwa itu benar-benar amat mengejutkan mereka. Hongsiang terluka di tempat yang begini terpencil, tanpa sepengetahuan pengawal maupun pasukannya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Didepan pintu telah berderet-deret para perwira dan para anggota Sha-cap mi-wi, Chin Yang Kun yang telah dikenal oleh Chu Seng Kun itu telah berdiri pula diantara mereka. Pemuda sakti itu tampak kurus badannya, tapi sinar matanya tampak semakin mencorong menakutkan. Chu Seng Kun mengangguk kepada Chin Yang Kun.

   

Harta Karun Kerajaan Sung Eps 10 Darah Pendekar Eps 3 Darah Pendekar Eps 4

Cari Blog Ini