Ceritasilat Novel Online

Pendekar Tanpa Bayangan 17


Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 17




   Dua gulungan sinar itu saling desak dan saling bergumul, merupakan pertandingan hebat dan mati-matian karena siapa yang terkena senjata lawan pasti akan keracunan dan tewas! Akan tetapi, nenek itu memperkuat gerakan tongkat hitamnya dengan bentakan-benatakan yang mengandung kekuatan sihir sehingga beberapa kali Li Hong sempat terguncang dan ini tentu saja amat mengganggunya.

   Masih baik baginya bahwa menghadapi nenek yang berbahaya itu, ia masih menang dalam hal kecepatan gerakan, maka biarpun mulai terdesak, Li Hong masih dapat meloloskan diri dengan kecepatan gerakannya. Apalagi ketika kemudian ada lima orang anak buah yang berpakaian serba hitam itu membantu nenek itu mengeroyok, Li Hong menjadi semakin terdesak dan ia harus memutar pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya dilindungi gulungan sinar hijau. Akan tetapi tetap saja ia terdesak dan beberapa kali hampir terkena sabetan golok para pengeroyok karena ia harus mencurahkan perhatiannya terhadap sinar hitam tongkat nenek itu yang bergulung-gulung bagaikan naga hitam mengamuk.

   Tiba-tiba ketika Li Hong menangkis tongkat hitam yang meluncur dari samping ke arah pinggangnya, dua batang golok menyambar dari belakang. Li Hong memutar tubuh sambil menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam lembut menyambut dua orang anak buah dan mereka menjerit dan roboh berkelojotan terkena Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang dilepas tangan kiri Li Hong!

   Song-bun Mo-li menjadi marah melihat robohnya dua orang anak buah dan ia menyerang lebih ganas lagi. Li Hong cepat mengelak dan melihat tiga orang anak buah berpakaian hitam menerjangnya, ia yang sudah mempersiapkan sehelai saputangan merah, mengebutkan saputangan itu ke arah muka mereka. Debu kemerahan mengepul, akan tetapi Song-bun Mo-li yang sudah waspada berseru kepada anak buahnya.

   "Tahan napas dan menjauh!" Tiga orang itu menahan napas dan berlompatan ke belakang. Li Hong adalah murid Ban-tok Kui-bo yang kini mengubah julukannya menjadi Ban-tok Niocu, maka tentu saja ia merupakan seorang ahli dalam hal penggunaan pukulan beracun atau senjata beracun. Akan tetapi Song-bun Mo-li adalah seorang datuk yang banyak pengalamannya, maka tentu saja ia dapat menghadapi serangan-serangan Li Hong dengan senjata beracunnya. Kini kembali Li Hong diserang dan didesak sehingga ia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menggunakan senjata rahasia beracun berupa Hek-tok-ciam atau saputangan yang mengandung Ang-tok (Racun Merah).

   Keadaan Ceng Ceng tidak lebih baik daripada keadaan Li Hong. Melawan Kim Bayan seorang saja sudah merupakan lawan berat, apalagi masih ada empat orang anak buah yang ikut mengeroyoknya. Tadinya bahkan ada enam orang anak buah yang mengeroyok, akan tetapi yang dua orang lagi kini membantu Song-bun Mo-li mengeroyok Li Hong yang lebih berbahaya bagi mereka. Li Hong sudah membunuh dua orang anak buah dan gadis ini memang mengamuk untuk membunuh.

   Sebaliknya, Ceng Ceng tidak mau membunuh orang dan serangannya hanya ditujukan untuk merobohkan lawan tanpa membunuh. Hal ini mengurangi bahaya serangannya. Akan tetapi ia mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat sehingga biarpun dikeroyok, ia mampu berkelebatan mengelak sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan putih. Tongkat ranting di tangannya juga menyambar-nyambar mencari sasaran dan ia sudah berhasil menotok dua orang pengeroyok sehingga mereka roboh dengan tubuh terkulai lemah. Akan tetapi Kim Bayan cepat memulihkan totokan itu sehingga para pengeroyok tetap ada empat orang anak buah membantu Kim Bayan.

   Seperti juga Li Hong, Ceng Ceng terdesak hebat. Hanya bedanya, kalau Li Hong terancam maut karena memang Song-bun Mo-li berniat membunuhnya, maka Kim Bayan yang tidak ingin membunuh Ceng Ceng memberi perintah kepada empat orang pembantunya untuk merobohkan Ceng Ceng, boleh melukai akan tetapi dilarang keras membunuh gadis itu.

   Ketika dua orang gadis itu berada dalam keadaan yang gawat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan yang luar biasa cepatnya. Bayangan itu menyambar ke arah para pengeroyok Li Hong dan tiba-tiba saja dua orang pengeroyok berteriak dan roboh mandi darah disambar sinar keemasan!

   "Pouw-twako!" Li Hong berseru girang. Melihat bayangan yang amat cepat didahului sinar keemasan itu ia pun tahu siapa yang datang membantunya.

   "Li Hong, engkau cepat bantu Ceng Ceng!" kata Cun Giok dan dia lalu memutar pedang Kim-kong-kiam menyerang Song-bun Mo-li yang cepat menggunakan tongkat hitamnya untuk menangkis.

   "Cringgg......!!" Kini nenek itu terkejut karena pertemuan senjata itu membuat ia terhuyung ke belakang!

   Tiga orang anak buah yang membantunya juga gentar karena ketika sinar keemasan yang menyambar dan mereka menyambut dengan golok, sebatang golok besar patah menjadi dua! Akan tetapi yang goloknya patah cepat mengambil golok kawannya yang tewas dan mereka berempat kembali membantu Song-bun Mo-li mengeroyok pemuda yang baru datang dan yang ternyata amat lihai itu!

   Sementara itu, Li Hong merasa girang melihat kedatangan Cun Giok. Apalagi ia memang amat membenci Kim Bayan yang sudah menyiksa ayah ibunya dan membunuh orang tua Ceng Ceng. Maka, mendengar ucapan Cun Giok, tanpa ragu lagi ia lalu melompat dengan cepatnya ke arah Ceng Ceng dan mengamuk. Pedangnya yang bersinar hijau menyambar-nyambar dan dua orang pengeroyok roboh dan tewas dengan tubuh berubah menghitam terkena tusukan pedang Ban-tok-kiam yang beracun!

   Melihat ini Kim Bayan menjadi pucat dan gentar. Dia pernah menghadapi Ceng Ceng yang dibantu pemuda remaja ini dan dia tahu betapa lihainya mereka berdua. Kini pembantunya hanya tinggal dua orang, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat ke belakang, diikuti dua orang pembantunya. Ketika Ceng Ceng dan Li Hong hendak mengejar, Kim Bayan membanting sebuah benda yang meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal!

   "Tahan napas dan mundur!" seru Ceng Ceng yang segera mengetahui bahwa asap itu mengandung pembius. Li Hong melompat ke belakang.

   Sementara itu, Song-bun Mo-li juga gentar menghadapi pemuda yang gerakannya demikian cepat sehingga tidak dapat tampak nyata bayangan tubuhnya, segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan berteriak melengking. Cun Giok terkejut sekali karena dia merasa betapa jantungnya tergetar hebat. Cepat dia mengerahkan sin-kang untuk menahan serangan suara yang mengandung sihir amat kuat itu. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Song-bun Mo-li untuk melarikan diri, diikuti anak buahnya yang tinggal tiga orang karena yang dua orang tadi sudah roboh tewas terserang pedang Kim-kong-kiam.

   Ketika dia hendak mengejar, kembali Kim Bayan membanting alat peledak di belakang Song-bun Mo-li dan anak buahnya. Asap hitam yang mengandung pembius itu menghalang dan Cun Giok tidak dapat mengejar. Ketika asap menipis, Song-bun Mo-li, Kim Bayan, dan lima orang anak buah mereka yang berpakaian hitam itu telah lenyap.

   Cun Giok menghampiri Ceng Ceng dan Li Hong.

   "Ceng-moi, Hong-te, aku girang melihat kalian selamat. Mereka itu sungguh lihai sekali, terutama nenek itu amat berbahaya!" kata Cun Giok.

   Ceng Ceng teringat akan pesan Li Hong agar jangan membuka rahasia penyamarannya, maka ia pun tersenyum dan berkata lembut.

   "Giok-ko, kalau tadi tidak ada....... Adik Li Hong ini yang semalam datang membantuku, aku tentu telah tertawan oleh mereka."

   "Pouw-twako, nenek iblis tadi adalah Song-bun Mo-li seorang datuk dari utara yang selain lihai ilmu silatnya, juga mahir menggunakan ilmu setan dan sihir! Syukur engkau datang. Tadi aku sudah merasa heran mengapa engkau belum juga muncul, padahal semalam aku sudah mengatakan kepada Ceng Ceng bahwa engkau akan datang membantu."

   "Maaf, aku memang kesiangan. Setelah melihat engkau tidak ada dan juga Kim Bayan dan subonya itu sudah pergi, aku cepat melakukan pengejaran. Hong-te, mengapa engkau pergi begitu saja semalam dan tidak memberitahu kepadaku?"

   "Ah, aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ceng Ceng, maka aku pergi mencarinya malam tadi. Untung bahwa aku dapat membantunya ketika anjing-anjing itu datang menyerang!" Sambil tersenyum cerah Li Hong memegang tangan Ceng Ceng.

   Melihat keakraban ini wajah Cun Giok menjadi merah dan jantungnya berdebar. Li Hong jelas mencinta Ceng Ceng, pikirnya dan dia merasa betapa hatinya merasa kehilangan. Dia cemburu! Akan tetapi segera diusirnya perasaan itu dari hatinya. Mengapa dia harus cemburu? Li Hong bebas mencinta Ceng Ceng, dan Ceng Ceng juga bebas mencinta Li Hong. Dia sendirilah yang tidak berhak mencintai wanita lain kecuali Siok Eng yang telah menjadi tunangan, menjadi calon isterinya!

   "Nanti saja kita bicara. Sekarang yang penting aku harus mengubur enam buah mayat itu!" kata Cun Giok untuk melupakan jalan pikirannya tadi.

   "Bukan enam orang melainkan tujuh orang yang mampus, Pouw-twako! Semalam aku membunuh seorang anak buah mereka dan mayatnya berada di luar kuil dekat jendela," kata Li Hong yang merasa bangga karena selain semalam ia sudah membunuh seorang musuh, tadi ia masih membunuh empat orang lagi. Cun Giok merobohkan dua orang sehingga anak buah berpakaian hitam itu yang tewas ada tujuh orang sedangkan yang lima orang lagi berhasil melarikan diri.

   "Akan tetapi, Pouw-twako, untuk apa susah payah mengubur mayat orang-orang jahat itu? Biarkan saja di situ dan kita pergi dari sini!"

   "Li Hong, Giok-ko benar. Mayat-mayat itu harus dikubur. Mereka itu jahat sewaktu hidup, kini sudah mati dan tidak dapat berbuat jahat lagi. Yang kita tentang adalah kejahatannya bukan orangnya, apalagi kalau sudah mati. Dan menjadi kewajiban kita untuk mengubur jenazah orang, demi prikemanusiaan." Lalu ia menoleh kepada Cun Giok dan berkata lembut.

   "Giok-ko, mari kubantu engkau mengubur semua jenazah itu."

   Cun Giok memandang kagum kepada gadis itu. Setiap kali gadis itu bicara, selalu saja ada hal-hal baru yang amat mengagumkan, yang mencerminkan kepribadian yang amat bijaksana. Sungguh tepatlah julukan gadis itu sebagai Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih) karena ia memang seperti seorang dewi kahyangan, baik kecantikannya maupun wataknya.

   Dia mengangguk dan mereka berdua lalu mulai menggali lubang besar di depan kuil itu. Walaupun mereka menggali lubang besar untuk tujuh buah mayat itu hanya menggunakan alat sederhana, yaitu batu dan kayu, namun karena keduanya memiliki lweekang (tenaga dalam) yang kuat, maka tak lama kemudian mereka sudah berhasil menggali sebuah lubang yang cukup besar.

   Selama mereka berdua menggali itu, Li Hong hanya duduk di atas sebuah batu, memandang dengan mulut cemberut, sama sekali tidak mau membantu. Ia merasa jengkel bukan karena mereka berdua hendak mengubur mayat-mayat itu walaupun ia tidak setuju, melainkan karena melihat keakraban antara Ceng Ceng dan Cun Giok. Ia memang melihat sikap Ceng Ceng biasa saja, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu amat kagum dan tertarik kepada Ceng Ceng. Hal itu dapat ia rasakan melihat senyum dan pandang mata Cun Giok kepada Ceng Ceng. Api cemburu membakar dadanya, akan tetapi ia diam saja, hanya cemberut murung.

   Setelah lubang siap, Cun Giok mengangkut mayat-mayat itu dan akan memasukkannya ke dalam lubang. Dia merebahkan dulu enam buah mayat yang masih utuh ke dekat lubang dan dia bergidik ketika hendak mengangkut mayat ketujuh. Kepala mayat itu terpisah dari tubuhnya. Kepala itu pecah dan tubuh mayat itu terluka dadanya sampai tembus.

   "Giok-ko, mayat yang ini tadi mendadak hidup lagi, kepala yang terpisah dari badan itu mengamuk, juga badan tanpa kepala Li Hong yang merobohkannya. Ini merupakan ilmu setan yang mengerikan, agaknya Song-bun Mo-li yang melakukannya." Ceng Ceng menerangkan kepada Cun Giok, melihat pemuda itu tampak ngeri melihat jenazah ketujuh itu. Cun Giok merasa heran dan dia lebih dulu memasukkan mayat ketujuh itu ke dalam lubang. Setelah itu dia memasukkan semua mayat itu, satu demi satu ke dalam lubang.

   Akhirnya Li Hong merasa tidak enak juga berdiam diri saja melihat betapa Cun Giok dan Ceng Ceng tadi menggali lubang, kemudian melihat Cun Giok mengangkuti mayat-mayat itu.

   "Mari kubantu menimbuni lubang!" katanya sambil menghampiri lubang kuburan yang terisi tujuh buah mayat itu.

   Akan tetapi sebelum mereka bertiga melakukan penimbunan, tiba-tiba saja enam buah mayat berpakaian hitam itu berloncatan keluar dari lubang galian! Hanya mayat ketujuh yang tetap menggeletak di dalam lubang. Enam mayat hidup itu lalu menyerang Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong.

   Tiga orang muda itu terkejut dan merasa ngeri. Ceng Ceng menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak, akan tetapi ia terus dikejar dan dikeroyok tiga orang mayat hidup yang bergerak kaku namun gerakan tangan mereka mendatangkan angin, tanda bahwa mereka memiliki tenaga aneh yang amat kuat!

   Li Hong juga terkejut, mukanya pucat, akan tetapi gadis ini sudah mencabut pedangnya dan melawan tiga orang mayat hidup lain yang mengeroyoknya. Agaknya mayat-mayat hidup itu hanya mengeroyok Ceng Ceng dan Li Hong. Mungkin hanya dua orang gadis itulah yang mereka kenal, sedangkan Cun Giok yang datang belakangan tidak mereka kenal maka tidak mereka serang!

   Cun Giok percaya akan kemampuan Ceng Ceng dan Li Hong. Dia lapat-lapat mendengar suara seperti orang berdoa yang datangnya dari arah barat. Melihat betapa Ceng Ceng dan Li Hong dapat menghindarkan serangan pengeroyokan mayat-mayat hidup itu, Cun Giok berkata kepada mereka.

   "Ceng-moi dan Hong-te, kalian pertahankan, aku akan mencari biang keladinya!"

   Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat lenyap ke arah barat. Penciumannya dapat menangkap bau wangi yang aneh dan dia segera menuju ke arah dari mana datangnya bau aneh itu. Benar saja dugaannya, tak berapa jauh dari situ dia melihat nenek baju putih yang seperti mayat itu sedang duduk bersila. Ada dupa besar membara di depannya, di tengah-tengah lingkaran berbentuk aneh dari batu-batu kecil. Nenek itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa. Kim Bayan tampak berdiri agak jauh di belakang nenek itu, bersama lima orang anak buah yang berpakaian hitam-hitam. Marahlah Cun Giok!

   "Nenek siluman!" Dia membentak lalu melompat dan menyerang nenek itu dengan pukulan Pai-bun-twi-san (Dorong Pintu Tolak Gunung), kedua tangannya dengan jari terbuka mendorong ke arah tubuh nenek yang duduk bersila itu.

   "Wuuuuttt...... darrrr.......!" Tubuh Song-bun Mo-li sudah mencelat ke belakang menghindarkan pukulan dan yang terkena pukulan dari atas itu adalah dua batang lilin menyala, dupa besar yang membara, dan susunan batu-batu membentuk lingkaran aneh itu sehingga berhamburan!

   Song-bun Mo-li sudah tahu akan kelihaian Cun Giok, maka sambil mengeluarkan suara setengah menangis setengah tertawa ia melarikan diri, diikuti Kim Bayan dan anak buahnya. Mereka khawatir kalau-kalau dua orang lawan yang lainnya datang sehingga mereka akan menghadapi bahaya, maka mereka melarikan diri tunggang-langgang!

   Sementara itu, Ceng Ceng dan Li Hong yang masing-masing dikeroyok tiga orang mayat hidup, merasa ngeri. Beberapa kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Li Hong membabat putus lengan pengeroyoknya, akan tetapi mayat hidup itu tetap saja maju menyerangnya dan lengannya yang buntung seolah tidak terasa sama sekali, juga tidak mengeluarkan darah!

   Demikian pula Ceng Ceng. Beberapa kali ujung tongkat ranting di tangannya menotok dengan tepat jalan darah yang penting, namun mayat-mayat hidup yang ditotoknya itu sama sekali tidak roboh seolah totokan itu tidak dirasakannya. Beberapa kali ia menendang dan begitu roboh, mayat hidup itu bangkit kembali dan menyerang membabi buta! Tentu saja mereka merasa ngeri juga.

   Li Hong teringat ketika ia membuat mayat hidup pertama benar-benar mati, yaitu dengan menusuk tembus jantungnya dan memecah kepalanya. Maka kini ia menujukan pedangnya untuk menusuk dada sebelah kiri dan membelah kepala para pengeroyoknya yang mengerikan itu.

   Akan tetapi tiba-tiba saja enam buah mayat hidup itu terkulai dan tak bergerak lagi! Hal ini terjadi ketika Cun Giok memukul berantakan alat-alat yang dipergunakan oleh Song-bun Mo-li untuk berdoa dan menghidupkan mayat-mayat itu!

   Ceng Ceng dan Li Hong saling berpandangan dengan heran. Akan tetapi Ceng Ceng yang lebih banyak mengetahui tentang ilmu sihir dan ilmu setan seperti yang ia pernah dengar dari mendiang ayah dan paman gurunya, segera berkata,

   "Li Hong, cepat kautusuk tembus jantung mereka!"

   Li Hong bergerak cepat, pedangnya menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat ia telah menusuk tembus dada kiri enam buah mayat itu. Ia juga membacok kepala mayat-mayat itu sehingga batok kepala mereka pecah. Setelah itu, Li Hong menendangi mayat-mayat itu sehingga terlempar memasuki lubang galian!

   Cun Giok berkelebat datang dan dia merasa lega melihat Li Hong dan Ceng Ceng dalam keadaan selamat. Dia juga melihat betapa mayat-mayat yang tadi hidup lagi itu kini sudah berada dalam lubang galian.

   "Benar saja, nenek iblis itu yang menggunakan ilmu setan menghidupkan lagi mayat-mayat tadi. Ia dan Kim Bayan sudah melarikan diri," katanya.

   "Li Hong telah menusuk tembus jantung mayat-mayat itu, dan membelah kepala mereka," kata Ceng Ceng.

   "Mari kita timbun lubang ini dengan tanah."

   Mereka bertiga bekerja dan lubang itu telah ditimbuni tanah. Mereka masih menindih gundukan tanah itu dengan batu-batu besar.

   "Kita harus cepat pergi dari sini. Agaknya Kim Bayan tidak akan tinggal diam. Kalau dia kembali ke sini membawa pasukan yang besar jumlahnya, akan sukarlah bagi kita untuk menghadapinya. Mari kita cepat pergi!"

   Mereka lalu berlari cepat meninggalkan kuil di tengah hutan itu. Setelah berlari puluhan mil jauhnya tanpa berhenti, akhirnya mereka berhenti di tepi sebuah sungai dan duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Tempat itu teduh dan nyaman sekali. Duduk di bawah pohon dekat sungai, dikipasi angin semilir, tiga orang yang baru saja berlari cepat itu merasa nyaman. Mereka duduk di atas batu-batu yang terdapat banyak di tepi sungai.

   "Jahanam Kim Bayan, sayang aku tidak dapat memenggal lehernya untuk membalaskan Ayah Ibuku yang pernah disiksanya!" kata Li Hong penasaran.

   "Hong-te, di mana sekarang Ayah Ibumu itu?" tanya Cun Giok.

   "Mereka sekarang tinggal bersama Subo di Pulau Ular," jawab Li Hong akan tetapi ia merasa malu untuk mengatakan bahwa kini subonya, Ban-tok Niocu, menjadi isteri ayahnya.

   "Sudahlah, jangan bercerita tentang aku, yang penting sekarang kita bicara tentang engkau, Ceng Ceng. Aku yakin bahwa jahanam Kim Bayan itu tidak akan mau berhenti sebelum mendapatkan peta itu darimu. Engkau akan terus dikejar-kejar."

   Ceng Ceng menghela napas panjang.

   "Biar bagaimanapun juga, aku tidak akan menyerahkan peta itu kepada Panglima Kim Bayan dan Pemerintah Kerajaan Mongol. Mereka tidak berhak memiliki harta karun itu. Harta karun itu harus diserahkan kepada para pejuang yang menentang penjajah Mongol dan yang berjuang membebaskan tanah air dari tangan penjajah. Biarpun harus berkorban nyawa, seperti yang dilakukan Ayah Ibuku, aku rela dan tidak akan menyerahkan peta itu!"

   "Sebetulnya, harta karun apakah yang disembunyikan dalam peta itu, Ceng Ceng? Mengapa pula Ayah Ibumu mempertahankannya sampai berkorban nyawa dan engkau juga mempertahankannya mati-matian? Apakah engkau ingin memiliki harta karun dan menjadi kaya?" tanya Li Hong.

   Cun Giok mengerutkan alisnya. Pertanyaan Li Hong itu dia anggap tidak sopan, akan tetapi dia telah mengenal watak pemuda remaja ini yang memang liar dan ugal-ugalan walaupun pada dasarnya dia gagah dan membela keadilan. Apalagi karena dia melihat Ceng Ceng tersenyum saja. Agaknya memang sudah ada hubungan perasaan antara gadis dan pemuda itu!

   "Sebetulnya peta itu merupakan rahasia besar Ayah......"

   "Ceng-moi, kalau itu merupakan rahasia keluargamu, tidak perlu kaubicarakan kepada siapapun, bahkan tidak kepada kami berdua," kata Cun Giok.

   "Ah, mengapa harus dirahasiakan kepada kami? Apakah Ceng Ceng tidak percaya kepada kami setelah apa yang kita alami bersamamu? Huh, aku pun tidak ingin merampas harta orang!" kata Li Hong.

   "Tidak, Li Hong, aku tidak akan merahasiakan kepada kalian berdua. Aku percaya sepenuhnya kepada engkau dan Giok-ko. Harta karun itu milik Kerajaan Sung yang dikorup oleh seorang pembesar kebiri, yaitu Thaikam Bong. Sebelum Kerajaan Sung jatuh, Thaikam Bong mencuri harta istana dan menyembunyikan harta itu di suatu tempat rahasia. Dia membuat peta tempat persembunyian harta itu dan kabarnya dia membunuhi semua orang yang membantunya menyimpan harta itu. Nah, sebelum pasukan Mongol menyerbu, Kerajaan Sung mengadakan pembersihan dan terutama sekali Thaikam Bong yang diketahui korup dan bersekutu dengan orang Mongol itu. Diserbu pasukan yang dipimpin oleh ayahku Liu Bok Eng yang ketika itu menjadi seorang panglima. Rumah Thaikam Bong dibakar dan hartanya dirampas. Ayah menemukan peta itu dan dibawanya ketika Ayah ikut mengawal Kaisar Sung yang melarikan diri ke selatan. Peta terus disimpan Ayah dan Ayah mengambil keputusan untuk kelak menyerahkan harta karun itu kepada para pejuang yang hendak mengusir penjajah Mongol. Ketika Ayah dan Ibu dipaksa menyerahkan peta dan ditolak sehingga orang tuaku terbunuh, Ayah telah meninggalkan peta itu kepada seorang sahabat dan kemudian diserahkan kepadaku. Agaknya tentang adanya peta harta karun itu diketahui Panglima Kim Bayan yang sekarang bermaksud merampasnya dariku. Demikianlah riwayat peta itu."

   "Akan tetapi, Ceng Ceng, apakah Ayahmu pernah membuktikan kebenaran peta itu dan melihat sendiri harta karun yang disembunyikan?" tanya Li Hong.

   Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.

   "Ayah belum pernah mencoba untuk mencari harta karun itu. Niatnya hanya menyerahkan peta itu kepada para pejuang agar mereka yang kelak mencari sendiri kalau mereka membutuhkan biaya perjuangan mereka melawan penjajah."

   "Ceng-moi, pertanyaan Hong-te tadi memang benar," kata Cun. Giok.

   "Kalau engkau belum membuktikan bahwa peta itu memang benar menunjukkan tempat penyimpanan harta karun, bagaimana kalau engkau serahkan kepada para pejuang kemudian setelah dicari ternyata tidak ada harta karun tersembunyi menurut peta itu?"

   "Ya, engkau harus yakin bahwa peta itu tidak palsu atau bohong karena ayahmu hanya merampas dari Thaikam Bong, Ceng Ceng. Kalau kelak setelah engkau serahkan peta kepada para pejuang kemudian setelah dicari harta karun itu tidak ada, tentu hal itu akan membuat engkau malu dan mendiang orang tuamu akan dianggap sebagai pembohong."

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Kalian benar, akan tetapi aku sendiri juga berpendapat begitu. Sebetulnya sekarang pun aku sedang melakukan perjalanan mencari harta karun itu untuk membuktikannya."

   "Ceng Ceng, kalau engkau percaya kepadaku, aku akan membantumu mencari sampai dapat."

   "Tentu saja aku percaya padamu, Li Hong."

   "Ceng-moi, mengingat bahwa engkau tentu akan selalu dicari oleh Kim Bayan, maka perjalananmu mencari harta karun itu tentu akan mengalami banyak rintangan yang berbahaya. Maka, kalau engkau tidak keberatan, biarlah aku membantumu menghadapi semua rintangan itu," kata Cun Giok.

   "Tentu saja aku tidak keberatan, Giok-ko, bahkan aku merasa girang sekali kalau engkau mau membantuku. Dengan adanya Li Hong dan engkau membantuku, aku yakin kita bertiga akan dapat menemukan harta karun itu!" kata Ceng Ceng gembira.

   "Mari kita lihat peta itu, agar kalian dapat pula mempelajarinya."

   Ceng Ceng lalu mengambil gulungan peta dari balik bajunya dan setelah memeriksa dengan teliti keadaan sekeliling dan yakin bahwa tidak ada orang lain yang mengintai, mereka bertiga mempelajari peta yang dibuka oleh Ceng Ceng.

   Setelah memeriksa dengan teliti, Li Hong mengeluh.

   "Wah, kalau aku yang disuruh mencari harta karun itu, aku menyerah dan angkat tangan! Aku sama sekali tidak mengerti maksud peta ini, seperti teka-teki saja. Apa sih maksudnya garis-garis lengkung dan gambar naga dan burung Hong di tengah itu?"

   "Kalau menurut pendapatmu bagaimana, Giok-ko?"

   Cun Giok juga mempelajari peta itu dengan penuh perhatian. Kemudian ia menjawab.

   "Garis-garis melengkung ini seperti menggambarkan pegunungan, Ceng-moi, letaknya di sebelah bawah atau sebelah selatan gambar naga dan burung Hong. Tentu tempat persembunyian itu berada di pegunungan itu. Gambar lingkaran kecil di pegunungan itu agaknya merupakan sebuah guha dan di situ ada titik merahnya. Maka kalau aku tidak keliru, harta karun itu disimpan dalam sebuah guha di pegunungan itu. Akan tetapi di mana letak pegunungan itu? Memang sukar mengartikan peta yang tidak ada tulisannya ini."

   "Coba perhatikan, Giok-ko. Gambar yang ada hanya naga dan burung Hong. Pertanda apakah itu? Bukankah itu pertanda yang berarti Kaisar? Dan Kaisar itu tempatnya di istana, di kota raja. Lihat di atas kedua burung keramat itu, terdapat garis-garis melengkung yang lebih besar. Berarti, mungkin kalau aku tidak keliru, itu adalah pegunungan yang besar di sebelah utara kota raja Peking. Dan sebelah selatan atau di bawahnya terdapat lukisan garis-garis melengkung yang lebih kecil, yang berarti perbukitan seperti yang engkau kira. Dugaanmu tentang guha di perbukitan selatan itu kukira sudah benar. Perbukitan itu tentu berada di sebelah selatan kota raja dan seingatku di sebelah selatan kota raja memang terdapat perbukitan yang subur. Mari kita mencoba menyelidiki ke sana. Siapa tahu perhitungan kita benar."

   Mereka bertiga mempelajari dan menghafal isi peta ini dalam ingatan mereka, menjaga kalau-kalau peta itu sampai hilang atau terampas orang mereka masih dapat mengingat dan mencari harta pusaka itu. Setelah bersepakat, tiga orang ini lalu melanjutkan perjalanan mereka, kini mereka menuju ke perbukitan sebelah selatan kota raja.

   Ketika Cun Giok, Li Hong, dan Ceng Ceng tiba di kaki perbukitan di sebelah selatan kota raja, mereka berhenti dan Ceng Ceng berseru.

   "Ah, tak salah lagi. Perbukitan inilah yang dimaksudkan peta itu! Lihat, Li Hong, Giok-ko, tiga puncak bukit yang berjejer itu, tepat seperti tiga garis lengkung itu! Dan bukit yang di tengah itu, yang subur dengan hutan lebat dan padang rumput, tentu di sana tempat guha itu berada. Bukankah gambar lingkaran kecil itu berada di tengah perbukitan? Tak salah lagi, kita sekarang mendaki bukit di tengah itu dan mencari guha yang dimaksudkan dalam peta!"

   Mereka merasa gembira dan bersemangat membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan tempat disembunyikannya harta karun itu. Ketika mereka tiba di kaki bukit bagian tengah, mereka bertemu dengan lima orang laki-laki yarg berpakaian sebagai pemburu binatang hutan.

   Lima orang itu berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun dan tubuh mereka tegap dan tampak kuat karena pekerjaan mereka memang membutuhkan tubuh yang kuat. Mereka membawa gendewa dan anak panah yang dikalungkan di leher dan pundak, dan tangan mereka memegang tombak. Gulungan tali tergantung di pinggang mereka. Ketika lima orang itu melihat dua orang pemuda dan seorang gadis yang ketiganya tampak lemah itu hendak mendaki bukit di tengah itu, seorang di antara mereka yang mukanya berewok menegur, setelah mereka berlima saling pandang dengan heran.

   "Sam-wi (Anda Bertiga) hendak pergi ke manakah?"

   Cun Giok menjawab dengan ramah.

   "Kami bertiga hendak mendaki bukit ini. Kalau tidak salah dugaan kami, Twako berlima tentu para pemburu yang suka memburu binatang hutan, betulkah?"

   "Mendaki bukit ini? Ah, maafkan kami, Taihiap (Pendekar Besar), apakah Sam-wi masih ada hubungan dengan Majikan Bukit Sorga ini?"

   Cun Giok menggelengkan kepalanya.

   "Bukan, Twako. Kami hanya ingin jalan-jalan dan melihat keindahan bukit."

   Lima orang itu kembali saling pandang dan kelihatan heran sekali. Si Berewok itu lalu berkata lagi.

   "Ucapanmu itu membuktikan bahwa kalian bertiga bukan orang sini." Kini dia tidak lagi menyebut taihiap, agaknya sebutan tadi dia pergunakan karena mengira bahwa tiga orang itu merupakan kerabat orang yang memiliki atau menguasai bukit yang disebut Bukit Sorga itu.

   "Kalau kalian bertiga penduduk kota raja dan sekitarnya, pasti tidak akan berani mengantarkan nyawa sendiri di Bukit Sorga!"

   "Hei, jangan bicara sembarangan kau!" Li Hong membentak sambil melangkah maju, memandang Si Berewok dengan mata mencorong.

   "Siapa yang mengantarkan nyawa sendiri? Mungkin kalian berlima yang mengantarkan nyawa kalian kalau berani menghalangi perjalanan kami!"

   Lima orang pemburu itu tertawa melihat sikap Li Hong yang galak. Mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, sekarang nrenghadapi seorang pemuda remaja yang tampak lemah berani mengancam mereka, hal ini sungguh menggelikan dan juga membuat mereka marah. Akan tetapi Cun Giok segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada lima orang itu dan berkata halus.

   "Ngo-wi Twako (Kakak Berlima), maafkan kami. Sesungguhnya, kami tidak mengerti apa yang Ngo-wi maksudkan tadi. Kami tidak berniat jahat, mengapa kalau mendaki bukit ini berarti mengantarkan nyawa? Siapakah yang memiliki bukit ini?"

   Melihat sikap Cun Giok yang sopan, Si Berewok menghela napas panjang.

   "Ah, memang kalian ini agaknya sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal bahaya. Bukit Sorga ini adalah milik seorang yang amat besar kekuasaannya di kota raja, bahkan kabarnya kaisar sendiri menghormatinya dan bukit ini oleh kaisar dihadiahkan kepadanya. Majikan bukit ini selain besar kekuasaannya, juga sakti seperti seorang dewa. Tak seorang pun berani mendaki bukit ini, karena siapa berani mendaki berarti mati. Beberapa orang kawan kami dulu pernah tidak menghiraukan cegahan kami dan berburu binatang hutan di bukit ini dan mereka semua tidak kembali. Maka, kalau kalian bertiga hendak mendaki bukit, bukankah berarti kalian mengantarkan nyawa?"

   "Bukan hanya sakti dan berkuasa, akan tetapi majikan bukit ini juga memiliki ilmu setan yang mengerikan sehingga kami semua hanya mengenal sebutannya, yaitu Kui-ong (Raja Setan) tanpa pernah dapat melihat orangnya," kata orang kedua.

   "Ah, Twako, mengapa repot-repot memperingatkan mereka. Ka!au dua orang pemuda ini hendak mengantarkan nyawa di bukit ini, tidak peduli dan biar mereka mati dimakan setan. Akan tetapi gadis ini yang cantik jelita seperti bidadari, sayang kalau sampai dimakan setan. Lebih baik ditinggalkan saja bersama kami, pasti selamat!" kata orang ketiga yang sejak tadi memandang Ceng Ceng dengan pandang mata penuh gairah.

   "Tutup mulutmu yang busuk!" Li Hong membentak dan ia sudah siap menghajar orang yang dianggapnya menghina Ceng Ceng itu.

   "Apa kau kata?!" Pemburu itu maju hendak memukul dan Li Hong sudah siap menghajarnya, akan tetapi Cun Giok lebih dulu maju dan menangkap pergelangan tangan pemburu yang hendak memukul itu dan berkata.

   "Sabar, sobat. Kami tidak mencari keributan. Maafkan kami dan kami tidak akan sembarangan mendaki bukit ini."

   Pemburu itu terkejut bukan main karena begitu pergelangan tangannya dipegang pemuda itu, dia merasa seluruh tubuhnya lemas kehilangan tenaga! Maka begitu Cun Giok melepaskan lengannya, dia tidak berani banyak cakap lagi, malah berkata kepada teman-temannya.

   "Mari kita pergi dari sini." Dia mendahului pergi diikuti oleh empat orang temannya.

   Setelah lima orang pemburu itu pergi menuju ke bukit di sebelah, Li Hong mengomel.

   "Pouw-twako, engkau ini bagaimana sih? Orang tadi seharusnya dihajar karena dia sudah mengeluarkan kata-kata kurang ajar terhadap Ceng Ceng! Kalau engkau begitu sabar, tentu orang tidak akan menghormati kita lagi!"

   "Hong-te, ingat bahwa kita sedang melakukan penyelidikan. Mereka tadi setidaknya telah berjasa karena telah menceritakan keadaan bukit ini. Kalau kita membuat ribut dan terdengar oleh penghuni bukit ini, maka penyelidikan kita tentu akan menemui banyak rintangan dan kesulitan."

   "Glok-ko berkata benar, Li Hong. Sekarang kita tahu bahwa pemilik bukit ini adalah orang yang berkuasa di Kerajaan Goan (Mongol), maka kita harus berhati-hati karena tentu saja penghuni bukit ini akan memusuhi kita kalau mereka tahu kita mendaki bukit ini."

   Li Hong diam saja, hanya cemberut karena hatinya merasa tidak senang. Sudah beberapa kali Cun Giok dan Ceng Ceng saling membenarkan! Agaknya mereka itu saling dukung dan saling cocok! Dengan hati panas ia menduga bahwa Cun Giok dan Ceng Ceng saling mencinta! Akan tetapi ia pun mengerti bahwa Cun Giok berkata benar. Mereka sedang menyelidiki tempat penyimpanan harta karun yang berada di bukit itu. Tentu saja penyelidikan ini harus dilakukan dengan diam-diam agar jangan ketahuan orang lain. Apa lagi ketahuan penghuni bukit itu yang ternyata masih kerabat istana kaisar Mongol!

   Sebelum mulai dengan pendakian bukit, Ceng Ceng berkata kepada dua orang kawannya.

   Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Giok-ko dan Li Hong, karena kita akan berada di tempat berbahaya, kurasa sebaiknya kalau peta ini kita sembunyikan di sini. Kita sudah hafal gambar peta itu maka tanpa peta pun kita dapat mencari harta karun itu. Agar jangan sampai peta ini dilihat orang lain, maka baiknya disembunyikan. Andaikata kita mendapatkan halangan, seorang dari kita dapat saja mengambil peta ini. Bagaimana pendapat kalian?"

   "Mengapa harus disembunyikan, Ceng Ceng? Kalau ada yang berani mengganggu kita, kita lawan. Dengan bertiga kurasa kita akan dapat menghancurkan setiap lawan yang berani mengganggu!" kata Li Hong gagah.

   "Hong-te, Ceng-moi berkata benar. Tempat yang akan kita daki ini berbahaya sekali. Aku tahu bahwa engkau tidak takut, kami juga tidak takut. Akan tetapi ketahuilah, baru muncul nenek ib!is seperti Song-bun Moli saja ia sudah begitu lihai dan berbahaya. Siapa tahu di sini muncul pula orang-orang jahat yang sakti. Peta itu sebaiknya kalau disembunyikan di sini."

   Kembali mereka saling mendukung dan membenarkan! Hati Li Hong menjadi panas sekali dan ia tidak mampu menahan kemarahan dan cemburunya. Mukanya merah, sinar matanya mencorong dan ia bangkit berdiri.

   "Pouw-twako! Engkau selalu membela dan membenarkan Ceng Ceng! Ah, aku...... muak mendengarnya!" Setelah berkata demikian, Li Hong lalu berlari pergi meninggalkan mereka.

   "Hong-te......!" Cun Giok berseru, akan tetapi Li Hong sudah pergi dan tak tampak lagi bayangannya.

   Ceng Ceng dan Cun Giok bangkit berdiri dan mereka saling pandang, merasa kecewa dan menyesal. Cun Giok menghela napas panjang dan berkata lirih.

   "Dia cemburu......" Dia yakin kini bahwa Li Hong mencinta Ceng Ceng sehingga marah mendengar dia membenarkan kata-kata gadis itu.

   Ceng Ceng mengangguk.

   "Ia memang cemburu, Giok-ko." Akan tetapi tentu saja ia maksudkan bahwa Li Hong cemburu kepadanya karena gadis itu mencinta Cun Giok!

   "Ceng-moi, dia seorang pemuda yang baik sekali. Dia mencintamu dan menyesal sekali aku telah menyakiti hatinya, telah membikin dia cemburu padaku."

   Ceng Ceng mengerti bahwa pemuda itu salah sangka dan belum mengetahui bahwa Li Hong adalah seorang wanita. Ia masih ingat akan permintaan Li Hong agar tidak membuka rahasia penyamarannya kepada Cun Giok. Akan tetapi keadaannya sekarang berbeda. Agar menghilangkan semua kesalah-pahaman, ia harus membuka rahasia penyamaran Li Hong kepada Cun Giok.

   "Giok-ko, engkau salah sangka. Li Hong memang cemburu, akan tetapi bukan cemburu kepadamu, melainkan cemburu kepadaku. Ia amat mencintaimu, Giok-ko."

   Cun Giok memandang heran.

   "Maksudmu.......?"

   "Giok-ko, Li Hong adalah seorang gadis yang cantik. Ia adalah murid Ban-tok Niocu dari Pulau Ular. Ialah yang dulu melukai Goat-liang Sanjin dan membunuh paman guruku Im Yang Yok-sian untuk memenuhi perintah gurunya. Tadinya ia berpesan kepadaku agar jangan menceritakan hal ini kepadamu karena ia takut kalau-kalau sikapmu kepadanya yang akrab itu akan berubah. Ia mencintamu, Giok-ko."

   Cun Giok tertegun dan terkenanglah dia akan semua sikap Li Hong selama melakukan perjalanan dengannya. Ah, betapa bodohnya, tidak pernah menduga bahwa Li Hong seorang gadis! Dia lalu menghela napas panjang dan menatap wajah Ceng Ceng.

   "Kalau begitu dugaan kita tadi berlawanan! Akan tetapi, baik Li Hong sebagai laki-laki maupun Li Hong sebagai perempuan, mengapa kita menduga bahwa ia marah karena cemburu kepada kita?"

   "Hemm, mungkin karena engkau tadi membenarkan pendapatku," kata Ceng Ceng lirih.

   "Dan engkau juga pernah membenarkan pendapatku. Tadinya kusangka Li Hong seorang laki-laki yang cemburu karena mengira aku mencintamu dan ternyata ia seorang perempuan yang cemburu karena mengira engkau mencintaku. Ceng Ceng, benarkah perkiraan Li Hong itu?"

   Sepasang pipi yang halus itu berubah kemerahan dan sambil menundukkan mukanya Ceng Ceng bertanya lirih.

   "Perkiraan apa, Giok-ko?"

   "Perkiraan pemuda Li Hong bahwa aku mencintaimu dan perkiraan gadis Li Hong bahwa engkau mencintaiku. Benarkah perkiraan itu?"

   Kepala gadis itu semakin menunduk dan kini wajah yang jelita itu menjadi merah padam. Suaranya lirih dan gemetar ketika ia menjawab.

   "Aku...... aku tidak tahu, Giok-ko......."

   Cun Giok seolah terpesona. Getaran suara bisikan gadis itu seperti memiliki daya tarik yang luar biasa. Belum pernah selama hidupnya Cun Giok merasakan pengalaman seperti ini. Dia merasa seperti ditarik oleh kekuatan yang amat hebat sehingga kedua kakinya melangkah menghampiri Ceng Ceng.

   Seperti dengan sendirinya, seolah sudah sewajarnya, setelah mereka berhadapan dekat, Cun Giok dengan lembut menggunakan kedua tangannya untuk menyentuh kedua pipi Ceng Ceng dan mengangkat muka itu agar menghadap padanya. Ketika Ceng Ceng diangkat mukanya sehingga dua pasang mata itu bertemu pandang, Cun Giok melihat betapa mata yang bening itu basah dan berlinang air mata.

   Suara Cun Giok juga lirih gemetar ketika dia berkata.

   "Ceng-moi, benarkah kedua perkiraan Li Hong itu?"

   Ceng Ceng tidak dapat menundukkan mukanya karena kedua tangan Cun Giok dengan lembut masih menahan kedua pipinya, akan tetapi pandang matanya tertunduk ketika ia berkata dengan suara berbisik lirih sekali.

   "......perkiraan apa.......?"

   "Bahwa aku mencintaimu dan engkau mencintaiku. Ceng-moi, terus terang kuakui bahwa sejak pertama kali berjumpa denganmu, aku telah jatuh cinta padamu, kalau perasaan ini dapat dinamakan cinta karena belum pernah aku merasakan seperti ini. Demi Tuhan, aku cinta padamu, Ceng-moi dan perkiraan Li Hong itu benar. Akan tetapi, benarkah perkiraannya bahwa engkau...... juga cinta padaku.......?"

   Ceng Ceng berbisik lirih.

   ".......aku juga...... baru sekali merasakan...... akan tetapi...... ahh, aku tidak mau menyakiti hati Li Hong......."

   Kini beberapa tetes air mata turun ke atas kedua pipi yang halus kemerahan itu. Melihat gadis itu menangis, hati Cun Giok tenggelam ke dalam keharuan cinta. Dia mencium kedua pipi Ceng Ceng dan menghapus beberapa titik air mata itu dengan bibirnya. Cinta mendatangkan keajaiban dalam diri manusia. Beberapa tetes air mata gadis yang dicintainya itu terasa asin namun bagaikan air embun yang menyirami tunas cinta yang bersemi dalam hati Cun Giok!

   Ceng Ceng sendiri gemetar ketika merasa Cun Giok mencium kedua pipinya dan mengecup air matanya. Tubuhnya seperti dimasuki getaran yang membuat hatinya terguncang dan tubuhnya menjadi lemas.

   "Koko......." Ia berbisik dan tenggelam ke dalam rangkulan Cun Giok, membenamkan mukanya di dada pemuda itu. Ia merasa begitu aman, tenteram, bahagia dan nikmat sehingga ia memejamkan kedua matanya dan tidak ingin membuka kembali matanya, tidak ingin keadaan seperti itu berubah, ingin selamanya berada dalam dekapan pemuda yang dicintanya itu.

   Cun Giok merasakan hal yang sama. Merangkul tubuh Ceng Ceng, mendekap muka itu di depannya, dia merasa seolah mendapatkan sebuah mustika yang tak terbayangkan nilainya, yang harus dilindunginya selama hidupnya. Dia merasa seolah gadis itu memang sejak dulu menjadi bagian dari hidupnya. Dengan hati dipenuhi rasa kasih dan haru, dia mempererat dekapannya, menunduk dan membenamkan kepalanya di rambut yang halus Iembut dan harum itu.

   "Moi-moi......" Dia berbisik dan pada saat seperti itu, dua hati seolah menjadi satu, segala sesuatu terasa indah, dan hidup berarti bahagia!

   Akan tetapi, sudah menjadi kodratnya bahwa segala sesuatu di dunia ini sifatnya hanyalah sementara dan segala sesuatu pasti mengalami perubahan, tidak kekal adanya. Demikian pula dengan keadaan Cun Giok dan Ceng Ceng. Suasana asyik masyuk ketika keduanya tenggelam ke dalam lautan asmara, seperti terlena dalam dekapan, melayang-layang di angkasa dan terayun-ayun penuh kenikmatan, juga hanya sementara dan tidak kekal.

   Seperti sebuah mimpi indah yang terganggu, seperti sinar matahari yang terhalang awan yang lewat, Ceng Ceng yang memejamkan mata bersandar di dada Cun Giok, tiba-tiba melihat bayangan wajah Li Hong dan telinganya yang tadinya hanya dipenuhi bunyi detak jantung pemuda yang dikasihinya itu, kini mendengar suara Li Hong ketika mengatakan bahwa gadis itu mencinta Cun Giok!

   Awan itu tidak hanya menghalangi sinar matahari yang menerangi hati Ceng Ceng, akan tetapi juga menghalangi sinar matahari yang menerangi hati Cun Giok. Kalau tadi, dalam keadaan asyik masyuk, dia pun memejamkan mata dan membenamkan mata dalam rambut Ceng Ceng, tiba-tiba hati dan pikiran yang tadinya dipenuhi gadis yang berada dalam dekapannya, kini muncul wajah lain. Wajah seorang gadis yang manis, dengan wajah bulat dan lesung pipi yang menarik, sikapnya sederhana dan lembut, wajah Siok Eng, gadis lemah yang telah menjadi tunangannya!

   Sinar kebahagiaan yang menerangi hati kedua orang muda yang dimabok cinta itu kini tidak secerah tadi. Teringat akan Siok Eng, Cun Giok mengangkat mukanya dari belaian rambut kepala Ceng Ceng, sebaliknya Ceng Ceng yang teringat kepada Li Hong, juga mengangkat mukanya yang tadinya terbenam di dada Cun Giok.

   Gerakan mereka ini berbareng dan Ceng Ceng melepaskan diri dari rangkulan kedua lengan Cun Giok. Pemuda itu membiarkan gadis itu melepaskan diri, tidak menahannya. Kini mereka berdiri berhadapan, dekat, namun tidak lagi bersentuhan. Pandang mata mereka penuh kasih sayang, namun mengandung pula bayangan duka.

   "Giok-ko, tidak seyogianya kita begini...... aku merasa bersalah kepada Li Hong......" kata Ceng Ceng sambil membetulkan sanggul rambutnya yang agak kacau karena tadi diobrak-abrik muka Cun Giok.

   Cun Giok menghela napas panjang.

   "Maafkan aku, Ceng-moi. Akan tetapi, aku bersumpah bahwa cintaku hanya untukmu seorang, Ceng-moi. Tidak mungkin hatiku dapat mencinta wanita lain seperti aku mencintamu."

   Ceng Ceng menghela napas panjang.

   "Aku juga cinta padamu, Giok-ko. Akan tetapi aku tidak mau meletakkan cintaku di atas kehancuran hati Li Hong. Kebahagiaan cintaku akan ternodai oleh kedukaan hati Li Hong."

   Cun Giok merasa terharu. Alangkah mulia hati gadis ini! Dia teringat akan dirinya sendiri. Dia sudah ditunangkan secara sah dengan Siok Eng. Kalau dia kini mengkhianatinya, alangkah akan rendah budinya dan mana dapat dibandingkan dengan keluhuran budi Ceng Ceng? Dia menghela napas panjang dan merasa hatinya tertindih berat.

   "Sudahlah, Ceng Ceng. Saat ini cukup bagi kita kalau kita merasa yakin akan cinta kasih kita satu sama lain. Ini akan mendatangkan kekuatan batin dan gairah untuk hidup. Soal ini kita bicarakan lain waktu. Sekarang yang terpenting, kita lanjutkan usahamu mencari harta karun itu. Akan tetapi, sebelum itu, ijinkanlah aku memelukmu sekali lagi, Ceng-moi.'

   Ceng Ceng merasa terharu dan ia hanya mengangguk dengan mata basah. Air matanya berlinang ketika Cun Giok merangkul dan mendekap kepalanya ke dada yang bidang itu. Cun Giok menundukkan mukanya dan mencium dahi gadis itu, di antara sepasang keningnya. Mereka berdekapan seperti itu, tanpa bergerak, sampai lama, seperti tenggelam dalam mimpi indah.

   Kini sepasang mata Ceng Ceng mengalirkan air mata karena ia merasa seolah dekapan itu merupakan tanda selamat berpisah. Demi Li Hong, ia tidak akan membolehkan lagi Cun Giok memeluknya karena kalau ia membiarkan dirinya dipeluk dan dicium, ia tidak akan kuat menolak dan hal ini merupakan pengkhianatan terhadap janjinya kepada Li Hong.

   "Jahanam busuk! Engkau pengkhianat tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   Tentu saja Ceng Ceng dan Cun Giok merasa terkejut bukan main mendengar bentakan yang mereka kenal sebagai suara Li Hong itu. Mereka tadi tidak mengetahui akan kedatangan Li Hong karena dalam keadaan asyik masyuk seperti itu kesadaran dan kewaspadaan mereka tentu saja berkurang. Mereka cepat saling melepaskan diri dan memutar tubuh menghadapi Li Hong.

   Cun Giok tertegun melihat bahwa yang dia hadapi adalah seorang gadis yang cantik jelita dengan sepasang mata bintang. Dia mengenal betul mata itu. Gadis itu adalah Li Hong dan setelah kini berpakaian sebagai wanita dengan tata rambut wanita pula tampak cantik sekali. Akan tetapi pada saat itu, Li Hong tampak marah bukan main. Matanya seperti berapi memandang kepada Ceng Ceng.

   "Li Hong, bersabarlah, mari kita bicarakan baik-baik persoalan ini""" kata Ceng Ceng.

   "Bicarakan baik-baik apalagi? Dasar gadis pengkhianat! Mampuslah!" Ceng Ceng yang merasa bersalah, tidak menjawab. Ia hanya memandang ketika Li Hong bergerak menyerangnya dengan dorongan kedua tangan yang mengeluarkan uap hitam!

   Cun Giok terkejut, menduga bahwa tentu itulah pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang yang amat dahsyat itu, pukulan yang telah membunuh Im-yang Yok-sian dan melukai Goat-liang Sanjin! Melihat gadis yang dikasihinya terancam bahaya maut, Cun Giok melompat sambil mendorongkan tangan menepis serangan Li Hong dari samping.

   "Wuuutt...... desss......!!" Li Hong terhuyung ke samping dan Cun Giok juga merasa betapa hawa panas memasuki tubuhnya melalui tangan yang menepis pukulan Li Hong. Akan tetapi Ceng Ceng yang tadi sama sekali tidak mengelak itu selamat. Begitu melihat Cun Giok melindungi Ceng Ceng, Li Hong semakin marah. Tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar hitam kecil menyambar ke arah Ceng Ceng. Gadis itu terkulai roboh.

   "Li Hong, engkau jahat!" Cun Giok berseru sambil melompat mendekati tubuh Ceng Ceng yang roboh.

   Li Hong maklum bahwa tidak mungkin ia melawan Cun Giok. Selain ia tidak akan mampu menang, juga ia tidak ingin membunuh pemuda yang membuatnya tergila-gila itu. Maka, sambil mengeluarkan pekik seperti orang menangis dan marah, ia melompat jauh dan melarikan diri.

   Cun Giok tidak mempedulikan Li Hong lagi. Dia membiarkan gadis liar itu melarikan diri dan seluruh perhatiannya dia curahkan kepada Ceng Ceng yang terkapar, telentang dalam keadaan pingsan.

   Ketika memeriksa denyut nadi Ceng Ceng, Cun Giok merasa agak lega karena denyut nadinya masih kuat. Akan tetapi dia melihat ada tanda darah di baju Ceng Ceng di bagian dada, sekitar sejari di bawah tenggorokkan. Cun Giok menjadi bingung. Untuk memeriksanya, dia harus membuka baju di bagian itu dan hal ini berarti melanggar kesusilaan. Akan tetapi kalau tidak dibuka, bagaimana dia dapat memeriksanya? Pula, dia melihat dari sinar hitam yang dilontarkan Li Hong tadi, timbul dugaannya bahwa Ceng Ceng agaknya terkena serangan senjata rahasia. Maka, menyelamatkan nyawa Ceng Ceng yang terpenting.

   Dengan hati-hati dia lalu membuka kancing baju bagian atas gadis itu dan tampaklah dua bintik hitam yang mengeluarkan beberapa tetes darah sehingga tampak noda darah dari luar. Untunglah bahwa yang terluka itu bukan tenggorokan, juga bukan payudara Ceng Ceng, melainkan sejari di bawah tenggorokan.

   Karena dua batang jarum hitam itu mengenai tulang dada, maka tidak menancap semua, masih tampak sedikit tersembul di luar kulit dada. Cun Giok cepat menggunakan tenaganya mencabut dua batang jarum itu dan dengan khawatir dia melihat betapa di sekitar luka yang hanya merupakan titik itu dilingkari warna hitam. Itu tandanya bahwa jarum-jarum itu memang mengandung racun! Kalau dia tidak salah duga, jarum-jarum macam itu disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam).

   Biarpun payudara gadis itu tidak tampak sepenuhnya, namun kulit dada yang tampak itu putih mulus dan melihat dua lingkaran kecil menghitam menodainya, Cun Giok menjadi marah sekali kepada Li Hong.

   "Gadis liar yang kejam!" dia berkata perlahan, kemudian dia menatap wajah Ceng Ceng yang tak bergerak dengan mata terpejam seperti tidur dan berkata.

   "Ceng-moi, maafkan kelancanganku. Aku terpaksa harus melakukan ini."

   Kemudian Cun Giok mendekatkan mukanya ke dada Ceng Ceng dan menempelkan mulutnya pada kulit dada yang terluka, lalu menyedot perlahan-lahan. Setelah itu, dia meludahkan darah kehitaman dari sedotannya itu dan hal ini dilakukan berganti-ganti pada dua luka itu. Setelah menyedot masing-masing tiga kali, sedotan keempat menghasilkan darah merah yang berarti bahwa racun itu sudah disedotnya semua.

   Ceng Ceng mengeluh lirih dan nembuka matanya, tepat pada saat Cun Giok melakukan persedotan terakhir.

   Cepat-cepat pemuda itu menjauhkan mukanya, menutupkan kembali baju itu pada dada bagian atas akan tetapi tidak sempat mengaitkan lagi tiga buah kancing baju itu. Mukanya menjadi merah sekali ketika Ceng Ceng bangkit duduk sambil memandangnya dengan sinar mata heran dan juga terkejut.

   "Maafkan aku, Ceng-moi. Melihat engkau terluka jarum beracun hitam, terpaksa aku harus mencabut batang jarum itu lalu aku...... aku menyedot darah yang keracunan keluar. Maafkan aku atas kelancangan dan pelanggaran susila itu, Ceng-moi."

   Ceng Ceng menundukkan mukanya mengamati dada yang terluka, lalu mengancingkan kembali tiga kancing baju paling atas yang tadi terbuka.

   "Ah, engkau tidak bersalah, Giok-ko. Engkau malah menolongku dan memudahkan aku mengobati lukaku ini. Hanya luka kecil, setelah racunnya kaukeluarkan, tidak berbahaya lagi dan sehari dua hari pun akan sembuh. Akan tetapi engkau......, kulihat mukamu merah sekali dan ketika aku sadar tadi, aku merasa betapa bibirmu panas sekali. Giok-ko, engkau terkena pukulan beracun!" Ceng Ceng lupa akan keadaan dirinya sendiri dan mengkhawatirkan keadaan Cun Giok.

   "Aku tadi menangkis pukulan Li Hong yang ditujukan padamu, Ceng-moi. Kalau aku tidak salah duga, ia menggunakan pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang seperti yang ia gunakan untuk membunuh Paman Gurumu dan melukai ketua Hoa-san-pai. Mungkin aku hanya terkena hawa beracun yang tidak berbahaya. Aku dapat membersihkannya dalam waktu yang tidak terlalu lama."

   "Kalau begitu, lakukanlah sekarang, Giok-ko. Aku sendiri akan mengobati, bekas luka ini," kata Ceng Ceng dengan suara mengandung penuh perhatian terhadap Cun Giok.

   Pemuda itu lalu bersila mengatur pernapasan, menggunakan sin-kang (tenaga sakti) untuk mendorong keluar hawa beracun itu dari tubuhnya. Baru menepis saja, dia sudah terkena hawa beracun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang, apalagi kalau sampai terkena pukulan ampuh itu. Tidak mengherankan kalau Im Yang Yok-sian tewas oleh pukulan itu dan Goat-liang Sanjin terluka parah. Hanya selama air dijerang sampai mendidih, Cun Giok menghentikan pengobatan dirinya karena semua hawa beracun telah diusir dari tubuhnya. Sementara itu, Ceng Ceng juga sudah menaruh obat bubuk pada lukanya.

   "Sungguh tidak kusangka Li Hong dapat berbuat sedemikian kejinya terhadap dirimu, Ceng-moi. Betapa liar dan jahatnya gadis itu!" kata Cun Giok dengan marah, mengingat akan bahayanya penyerangan Li Hong terhadap Ceng Ceng tadi. Kalau dia tidak menepis pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang tadi, atau kalau dua batang Hek-tok-ciam tadi mengenai satu jari lebih atas sehingga mengenai tenggorokan atau satu jari lebih ke bawah mengenai payudara, kiranya nyawa Ceng Ceng tidak mungkin dapat tertolong Iagi!

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Tidak, Giok-ko, ia tidak jahat hanya kehilangan kesadarannya oleh perasaan marah."

   "Akan tetapi mengapa engkau tadi sama sekali tidak membela diri, tidak mengelak atau menangkis ketika diserang Li Hong?"

   "Giok-ko, ketika tadi Li Hong muncul dan menyaksikan keadaan kita, aku merasa bersalah kepada Li Hong. Aku merasa betapa hancur hatinya, betapa cemburu telah membakarnya sehingga api kemarahannya mendorong ia melakukan penyerangan kepadaku. Maka, aku pasrah dan tidak mau melawan."

   Cun Giok menghela napas panjang.

   "Ceng Ceng, mengapa pendapatmu seperti itu? Engkau keliru, Ceng-moi. Engkau tentu maklum bahwa aku sama sekali tidak mencintai Li Hong sebagai seorang wanita, aku tidak tahu bahwa ia wanita dan aku suka kepadanya sebagai seorang sahabat sesama pria. Engkau tidak mengkhianati siapa-siapa. Apakah kalau ada sepuluh orang wanita jatuh cinta padaku engkau juga sepuluh kali mengalah? Yang penting aku hanya mencinta engkau seorang. Tak mungkin aku dapat membalas cinta seorang gadis yang begitu jahat dan kejam seperti Li Hong! Ia telah membunuh paman gurumu Im Yang Yok-sian, melukai bahkan hampir membunuh Goat-liang Sanjin, sekarang ia hampir membunuhmu, betapa jahat dan kejamnya!"

   "Giok-ko, engkau harus dapat memaafkannya. Ia tidak jahat karena semua perbuatannya itu ada yang mendorongnya. Ia melukai Goat-liang Sanjin karena mematuhi perintah gurunya, dan ia membunuh Paman Guru Im Yang Yok-sian karena menganggap bahwa Paman Guruku itu hendak menyembuhkan Goat-liang Sanjin yang berarti tugasnya akan gagal. Dan tadi ia hendak membunuhku karena ia dibakar cemburu dan menganggap aku berkhianat. Tempo hari ia pernah mengaku padaku bahwa ia mencintamu, Giok-ko. Aku tidak mau menyakiti hati orang karena hal itu pasti akan membawa akibat buruk."

   "Aih, Ceng-moi, betapa mulia hatimu, engkau selalu mengutamakan perbuatan baik. Aku semakin kagum padamu, Ceng-moi." Pandang mata Cun Giok penuh kasih sayang dan dia sudah menjulurkan tangan karena ingin ia merangkul gadis yang amat dicintanya itu. Akan tetapi Ceng Ceng melangkah mundur dan sinar matanya menegur dan mengingatkan Cun Giok sehingga pemuda itu menekan keinginannya itu.

   

Naga Beracun Eps 34 Naga Beracun Eps 33 Naga Beracun Eps 5

Cari Blog Ini