Ceritasilat Novel Online

Dendam Sembilan Iblis Tua 4


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




   Akan tetapi dia pun terkejut melihat gerakan dua orang tinggi besar itu. Ternyata merekapun lihai sekali dan permainan golok dan tombak mereka cukup berbahaya. Andaikata harus melawan satu di antara mereka saja, mungkin Bouw Tan masih mampu menandingi karena tingkat mereka seimbang. Akan tetapi karena dua orang itu maju berdua, maka setelah lewat belasan jurus saja, gadis itu terdesak hebat. Pek-liong hanya menonton saja karena dari gerakan mereka, tahulah dia bahwa dua orang itu tidak akan melukai Bouw Tan. Hatinya terasa panas oleh amarah karena dia dapat menduga apa yang menjadi isi hati kedua orang busuk itu. Tentu mereka ingin mengalahkan Bouw Tan tanpa melukainya, dan setelah mereka membunuh dia, tentu mereka akan mempermainkan Bouw Tan.

   Sungguh dua orang manusia yang amat jahat dan keji, akan tetapi diapun ingin sekali mengetahui mengapa mereka memusuhinya. Melihat tingkat kepandaian mereka, tidak pantas kalau mereka itu memusuhinya, tentu mereka hanyalah anak buah saja, dan ada tokoh lain yang menyuruh mereka. Tempat kedua orang itu menghadang merupakan tepi telaga yang amat sepi, dan tidak ada orang lain kecuali dia yang menyaksikan perkelahian itu. Seperti telah dikhawatirkannya, setelah lewat dua puluh jurus, akhirnya tangkisan yang amat kuat membuat kedua pedang gadis itu terlepas, dan gadis itupun roboh oleh sapuan gagang tombak pada kedua kakinya. Sebelum ia dapat bangkit, si brewok sudah menubruk dan menotoknya sehingga gadis itu rebah telentang tanpa mampu bergerak lagi. Kedua orang itu tertawa bergelak, dan si muka hitam berkata,

   "Kau tunggulah sebentar, manis. Setelah kami membunuh Pek-liong-eng, kami akan mengajak engkau bersenang-senang sepuasnya, ha-ha-ha!" Kini, si muka hitam yang memegang golok besar dan si brewok yang memegang tombak, menghampiri Pek-liong yang masih berdiri dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang. Pek-liong nampak tenang-tenang saja, sebaliknya Bouw Tan yang rebah tak mampu bergerak itu memandang dengan sinar mata ngeri dan penuh penyesalan. Akan tetapi ia tidak berdaya, bahkan ia terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut.

   "Pek-liong-eng, sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!" bentak si muka hitam.

   "Engkau tidak perlu penasaran karena engkau akan mati di tangan dua orang gagah. Kami adalah Thian-te Siang-houw yang namanya terkenal di kolong langit!" kata si brewok.

   "Hemm, Thian-te Siang-houw, kalian telah membunuh Pouw Bouw Ki, mengapa?" tanya Pek-liong sikapnya masih tenang saja sehingga Bouw Tan merasa heran sekali. Ia gelisah setengah mati, akan tetapi pendekar yang nyawanya seperti bergantung kepada sehelai rambut itu demikian tenangnya!

   "Ha-ha, tadinya kami salah kira. Dia berpakaian putih, perawakannya seperti engkau. Setelah tahu kami keliru, kami merasa bahkan kebetulan karena kekeliruan itu akan dapat memancing engkau keluar. Perhitungan kami tepat. Engkau akan mampus sekarang juga!"

   Dua orang itu kini menerjang dengan senjata mereka, menyerang Pek-liong dari kanan kiri. Bouw Tan yang tidak dapat bergerak, merasa ngeri sekali dan ia memejamkan mata, tidak ingin melihat pendekar itu terkoyak-koyak tubuhnya. Ia memejamkan matanya dan tak terasa matanya menjadi basah karena ia menyadari bahwa ialah yang membuat pendekar itu mati konyol. Ia telah membelenggu kedua tangan pendekar itu sehingga tentu saja tidak akan mampu melawan dan akan mati tercincang. Akan tetapi tidak terdengar apa-apa, tidak terdengar teriakan kesakitan atau robohnya badan, hanya terdengar suara senjata berdesing-desing.

   Bouw Tan membuka matanya dengan hati tegang, dan ia segera terbelalak. Pek-liong sama, sekali tidak roboh mandi darah dengan tubuh tercincang. Sama sekali tidak. Tubuh pendekar yang kedua tangannya masih terikat ke belakang tubuh itu bergerak dengan ringan dan lincah sekali, menyelinap di antara sambaran kedua senjata lawan. Setiap bacokan golok, setiap tusukan tombak, semua tidak mampu menyentuhnya, bahkan menyentuh bajunyapun tidak. Bouw Tan terbelalak dengan muka berubah merah sekali. Ia seperti telah buta! Dengan kedua tangan terikat ke belakang, pendekar itu mampu mempermainkan dua orang bersenjata pada hal ia sendiri dengan sepasang pedangnya telah kalah dalam waktu yang tidak terlalu lama! Hampir ia tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang matanya.

   Akhirnya ketika Pek-liong mengeluarkan seruan-seruan nyaring, kakinya bergerak terputar dan kedua orang itu terpelanting, senjata mereka terlempar dan merekapun mengaduh-aduh, mencoba bangkit akan tetapi sukar sekali. Pek-liong meloncat ke dekat tubuh Bouw Tan, dengan ujung sepatunya dia menendang dua kali ke arah pundak dan pinggang dan... gadis itu dapat bergerak kembali. Pendekar itu telah membebaskan totokannya hanya dengan ujung sepatunya. Begitu dapat bergerak, Bouw Tan sudah meloncat dan mengambil sepasang pedangnya yang tadi terpukul jatuh, dan sebelum Pek-liong tahu apa yang akan dilakukannya, gadis itu sudah meloncat ke arah dua orang yang tadi dirobohkan Pek-liong, sepasang pedangnya bergerak seperti kilat menyambar ke arah dua orang yang sudah tidak berdaya melawan itu.

   "Nona, jangan...!" teriak Pek-liong dengan kaget, akan tetapi terlambat, dua orang itu sudah roboh mandi darah dengan leher hampir putus dibabat sepasang pedang di tangan Bouw Tan. Pek-liong meloncat dekat dan merasa menyesal sekali.

   "Aihh, kenapa engkau membunuh mereka nona?" tegurnya dengan nada menyesal.

   "Kenapa tidak? Merekalah pembunuh-pembunuh kakakku, dan aku harus membalas dendam. Sekarang, kematian kakakku telah terbalas, hatiku telah merasa puas."

   "Akan tetapi, nona, mereka itu sesungguhnya hendak membunuhku. Kakakmu hanya menjadi korban salah duga saja, dan aku sebetulnya ingin sekali memaksa mereka mengaku siapa yang menyuruh mereka untuk membunuhku. Sekarang mereka telah kau bunuh sehingga aku tetap tidak mengetahui siapa orang yang menyuruh mereka." Bouw Tan baru menyadari hal ini dan ia merasa menyesal juga.

   "Ah, maafkan aku, Taihiap, aku telah terburu nafsu, dan... aku telah membelenggu kedua tanganmu, dan dengan kedua tangan terbelenggu engkau dapat merobohkan dua orang yang tak dapat kulawan dengan sepasang pedangku. Aku menyesal dan merasa malu sekali, kau maafkan aku, Taihiap. Mari kubukakan belenggu tanganmu...!" Gadis itu menghampiri Pek-liong untuk membukakan tali pengikat kedua pergelangan tangan pendekar itu.

   "Tidak perlu repot-repot, nona Bouw Tan," kata Pek-liong dan sekali dia mengerahkan tenaga, ikatan itupun putus dan kedua tangannya bebas. Melihat ini, wajah Bouw Tan berubah merah sekali.

   "Taihiap, kenapa tadi engkau mau saja kubelenggu kedua tanganmu? Kenapa engkau membiarkan dirimu menjadi tawananku?" tanyanya, heran dan juga malu. Pek-liong tersenyum.

   "Aku tertarik akan urusan itu dan ingin pula melihat perkembangannya, nona. Karena itu aku sengaja membiarkan diriku menjadi tawanan untuk memancing keluarnya para pembunuh itu. Mereka itu hanyalah anak buah, nona dan pasti ada musuh besar yang berdiri di belakang layar."

   "Dan aku telah terburu nafsu membunuh mereka sehingga menggagalkan penyelidikanmu, Taihiap. Maafkan aku..."

   "Sudahlah, nona. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tanpa merekapun, pasti aku akan dapat bertemu dengan musuh itu karena dia pasti akan melanjutkan usahanya untuk membunuhku."

   "Tapi, bukan engkau saja yang diancamnya, Taihiap. Menurut surat yang ditulis di baju kakakku, selain engkau, juga Hek-liong-li diancam..." Pek-liong tersenyum.

   "Hal itu tidaklah aneh, nona. Memang kami berdua dimusuhi banyak orang dari golongan sesat. Akan tetapi, seperti juga aku, Liong-li dapat menjaga diri sendiri."

   "Suhengku sudah pergi mencari Hek-liong-li. Bukankah ia tinggal di Lok-yang?"

   "Hem, siapakah suhengmu itu?"

   "Suheng bernama Lu Kong Bu, dan setelah kakakku terbunuh, kami membagi tugas. Aku pergi mencarimu karena lebih dekat, sedangkan suheng pergi mencari Hek-liong-li yang jauh tempat tinggalnya." Pek-liong adalah seorang pendekar yang sudah banyak pengalamannya. Mendengar suara gadis itu ketika menyebut nama suhengnya, ada sesuatu yang lain, ada suatu kemesraan dalam sebutan itu dan dia dapat menduga bahwa hubungan antara Bouw Tan dan Lu Kong Bu itu pasti lebih mendalam dari pada hanya seorang suheng dan sumoi.

   "Lu Kong Bu itu pergi mencari Hek-liong-li untuk memberitahu bahwa ia terancam oleh pembunuh kakakmu?" tanyanya, menahan rasa geli hatinya. Orang seperti Liong-li tentu saja tidak membutuhkan peringatan lagi.

   "Tentu saja. Kami sekeluarga telah mendengar nama besar kalian, dan kami merasa berkewajiban untuk memberitahu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa kematian kakakku karena engkau, maka tadi aku bersikap keras dan menangkapmu. Harap maafkan aku Taihiap."

   "Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Aku perlu bertemu dengan ayahmu untuk menjelaskan persoalan, juga untuk menyelidiki tentang dua orang yang mengaku berjuluk Thian-te Siang-houw ini. Mungkin ayahmu mengenal nama mereka."

   Berangkatlah mereka berdua meninggalkan dua mayat penjahat itu, menuju ke kota Hang-kouw. Keluarga Pouw yang masih dalam suasana berkabung itu, menyambut kedatangan Pek-liong dengan hormat. Untung saja Pek-liong tidak lagi terbelenggu, kalau dia datang dengan kedua tangan terikat tentu Pouw Kiat atau yang dikenal dengan sebutan Pouw-kauwsu (guru silat Pouw) akan marah kepada puterinya. Setelah diperkenalkan oleh puterinya dan mendengar cerita Bouw Tan tentang dua orang penjahat yang menghadang mereka dan yang mengaku sebagai pembunuh Pouw Bouw Ki, Pouw-kauwsu merasa puas juga. Pembunuh-pembunuh puteranya telah terbalas.

   "Paman Pouw, apakah ada permusuhan antara keluargamu dengan mereka yang menamakan diri Thian-te Siang-houw?" Pek-liong bertanya.

   "Mereka itu lihai sekali, ayah. Yang bermuka hitam memainkan golok dan yang brewok memainkan tombak. Aku tentu sudah tewas pula di tangan mereka kalau tidak ada Tan-Taihiap yang menolongku," kata Bouw Tan, tentu saja ia malu untuk bercerita kepada ayahnya betapa Pek-liong menolongnya dalam keadaan kedua tangan terbelenggu ke belakang dan ia yang melakukan itu!

   "Thian-te Siang-houw...?" Pouw-kauwsu mengingat-ingat.

   "Aku pernah mendengar nama itu, sepasang tokoh yang pernah mengacau di daerah Lembah Yang-ce. Akan tetapi seingatku, kami belum pernah bermusuhan dengan mereka. Aku lebih percaya bahwa mereka memang salah membunuh orang mengira bahwa anakku adalah engkau, Taihiap," kata guru silat itu.

   "Memang sungguh menyedihkan nasib puteraku, namun bagaimana juga, kini penasarannya telah terbalas dengan matinya dua orang penjahat itu."

   "Aku akan menyelidiki siapa yang menyuruh Thian-te Siang-houw melakukan pembunuhan itu, paman. Aku merasa yakin bahwa yang menyuruhnya bukan musuh keluargamu, melainkan musuh kami, yaitu aku dan Hek-liong-li."

   "Bagaimana dengan suheng, ayah? Apakah dia belum kembali dari Lok-yang?" tanya Bouw Tan.
(Lanjut ke Jilid 04)
Dendam Sembilan Iblis Tua (Seri ke 03 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
"Belum, karena Lok-yang cukup jauh. Dengan adanya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang akan melakukan penyelidikan, aku yakin hahwa penjahat yang menyuruh bunuh anakku pasti akan terungkap dan tertangkap."

   Pek-liong tidak tinggal lama di situ, lalu berpamit, pulang ke rumahnya dan dia segera menyuruh seorang pembantunya untuk melakukan penyelidikan ke sekitar Lembah Yang-ce, menyelidiki tentang Thian-te Siang-houw, tokoh mana yang baru-baru ini nampak berhubungan dengan dua penjahat yang telah tewas itu. Suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing tinggal di susun Kian-co di luar kota Cin-an. Mereka telah lima tahun menikah dan hidup rukun, mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah berusia tiga tahun lebih bernama Song Cu. Song Tek Hin yang pandai ilmu sastera dan silat membuka sebuah perguruan bun (sastera) dan Bu (silat) di mana banyak anak-anak muda belajar dengan pembayaran sekadarnya.

   Mereka mempunyai sawah ladang dan kehidupan mereka lumayan walaupun tidak kaya. Dan nama suami isteri ini dihormati orang, karena keduanya merupakan orang-orang yang berwatak lembut dan ramah, juga bukan hanya Song Tek Hin saja yang pandai ilmu silat, bahkan isterinya, Su Hong Ing, tidak kalah oleh suaminya. Wanita ini adalah murid Bu-tong-pai dan memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Song Tek Hin yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun itu bertubuh tegap dan wajahnya tampan, gerak geriknya halus dan biarpun dia pandai ilmu silat namun pakaiannya seperti seorang sasterawan. Isterinya berusia dua puluh empat tahun, cantik manis dengan kulit putih mulus dan senyumnya menawan. Seperti suaminya, iapun sederhana, tidak kelihatan bahwa ia seorang pendekar wanita yang lihai, dan sikapnya selalu ramah kepada siapapun.

   Tidak mengherankan apabila suami isteri ini disuka oleh penduduk dusun itu, dan bahkan banyak orang dari kota Cin-an datang ke dusun itu untuk berguru kepada Song Tek Hin. Pada suatu senja yang cerah dan tenang. Rumah Song Tek Hin sudah sepi karena suami isteri itu mengajar para murid dalam ilmu silat dan baca tulis mulai pagi sampai lewat tengah hari. Di waktu sore dan malamnya mereka berdua tidak mau sibuk mengajar, melainkan mengurus hasil sawah ladang dan beristirahat. Senja hari itu mereka mengaso di ruangan belakang sambil bermain-main dengan Song Cu, anak tunggal mereka. Dua orang pelayan mereka, seorang wanita setengah tua sedang membersihkan perabot rumah di ruangan depan sedangkan pelayan kedua, suami wanita itu, sedang menyapu kebun belakang.

   "Semalam aku bermimpi..." Su Hong Ing berkata akan tetapi segera menahan ucapannya. Suaminya yang sedang menimang Song Cu memandang isterinya dengan heran.

   "Kenapa berhenti? Engkau mimpi apakah?" Su Hong Ing tersenyum dan wanita muda ini memang memiliki daya tarik luar biasa kalau tersenyum. Manis sekali.

   "Janji dulu engkau tidak akan cemburu."

   "Ehh! Aneh sekali engkau ini. Masa orang mimpi dicemburui?" Isterinya tersenyum lagi dan melanjutkan.

   "Aku bermimpi naik perahu di Telaga See-ouw bersamamu, Song Cu tidak ikut. Kita berdua berperahu seperti... seperti..."

   "Ha-ha, aku mengerti, seperti kita sedang berbulan madu dahulu, kan?" suaminya menggoda. Wajah isterinya kemerahan dan mengangguk.

   "Akan tetapi bukan itu yang penting, koko. Ketika kita berperahu, aku melihat sebuah perahu lain dan ternyata di dalam perahu itu adalah... Pek-liong-eng dan Hek-liong-li..." Kembali suami itu tertawa mendengar isterinya agak ragu menyebutkan nama pendekar itu.

   "Ha-ha-ha, engkau sungguh lucu, Ing-moi. Kalau aku cemburu kepada Pek-liong-eng, apakah engkau juga cemburu kepada Hek-liong-li? Kita sama-sama tahu, Ing-moi. Mereka berdua itu bukan hanya bekas kekasih kita, orang-orang yang kita cinta, akan tetapi terutama merekalah yang menyebabkan kita dapat saling jatuh cinta dan menjadi suami isteri, di samping mereka berdua adalah penolong-penolong kita. Karena merekalah maka sampai hari ini kita masih bernapas. Tidak, Ing-moi, sampai matipun aku tidak akan mencemburui engkau dan Pek-liong-eng."

   "Aku mengerti perasaanmu, Hin-ko. Betapapun kita berdua memuja dan mengagumi mereka, mereka itu laksana dua buah bintang yang terlampau tinggi untuk kita, dan akupun sama sekali sudah tidak pernah mengharapkan lagi kepada Pek-liong-eng. Kebahagiannku adalah denganmu, sebagai isterimu. Akan tetapi aku merasa tidak enak hati setelah bermimpi itu, karena dalam mimpi itu, aku melihat perahu mereka terguling, dan ketika kita mendayung perahu kita menghampiri untuk menolong, perahu kita sendiripun terguling."

   "Aih, itu hanya mimpi, Ing-moi. Jangan dipikirkan lagi. Andaikata benar terjadi, kalau hanya perahu mereka terguling saja, dua orang pendekar sakti itu pasti akan mampu menyelamatkan diri."

   "Mudah-mudahan begitu," kata Su Hong Ing dan suami isteri inipun melamun, terkenang akan pengalaman mereka lima tahun yang lalu.

   Hong Ing pernah tergila-gila kepada Pek-liong, bahkan ia rela menyerahkan diri kepada pendekar itu dan mereka berdua tenggelam dalam lautan asmara. Akan tetapi, kemudian ternyata bahwa Pek-liong adalah seorang pemuda yang aneh, yang tidak mau terikat oleh pernikahan. Pek-liong-eng meninggalkannya walau dengan lembut dan mesra, dan demikian pula dengan Song Tek Hin yang pernah terlena dan tergila-gila kepada Hek-liong-li dan mereka berkasih-kasihan. Akan tetapi seperti juga Pek-liong-eng, Hek-liong-li tidak mau terikat pernikahan dan meninggalkannya. Karena patah hati oleh sikap kedua pendekar itu, Song Tek dan Su Hong Ing saling menghibur dan saling jatuh cinta, akhirnya menikah. Selagi mereka melamun, pelayan wanita setengah tua masuk dan melaporkan bahwa di luar datang seorang tamu.

   "Siapakah tamu itu?" tanya Tek Hin yang merasa terganggu karena dia dan isterinya sedang santai dan beristirahat. Dia tidak ingin diganggu urusan atau kesibukan pada saat seperti itu.

   "Ia seorang wanita tua yang cantik dan pakaiannya indah seperti wanita bangsawan, katanya ada keperluan penting sekali ingin bertemu dengan tuan dan nyonya," kata pelayan itu.

   "Ia datang berkereta, kereta indah ditarik dua ekor kuda. Tentu saja suami isteri itu merasa heran bukan main. Mereka tidak mempunyai keluarga bangsawan. Su Hong Ing lalu menyerahkan Song Cu kepada pelayannya.

   "Bawa Song Cu bermain-main di belakang dengan suamimu, kemudian persiapkan air teh di dapur agar kalau kubutuhkan sudah ada." Pelayan itu memondong Song Cu dan pergi ke belakang. Suami isteri itu saling pandang, kemudian mereka melangkah keluar menyambut tamu. Ketika tiba di luar, keduanya merasa heran bukan main. Seperti diceritakan pelayan mereka, tamu itu seorang wanita yang cantik dan berpakaian mewah, sukar ditaksir berapa usianya. Ia pesolek dan kelihatannya seperti berusia empat puluhan tahun, senyumnya ramah dan sikapnya lembut. Tentu saja suami isteri itu tergopoh memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, yang dibalas oleh wanita itu.

   "Apakah kalian suami isteri yang bernama Song Tek Hin dan Su Hong Ing?" tamu itu mendahului bertanya, suaranya lembut dan halus seperti sikap seorang wanita bangsawan.

   "Benar sekali," kata Tek Hin.

   "Siapakah toanio dan ada keperluan apakah mencari kami?" Tek Hin dan Hong Ing masih terbelalak heran memandang wanita itu. Pakaiannya yang mewah itu serba merah, pantasnya dipakai gadis remaja!

   "Kalian tentu masih ingat kepada dua orang sahabat kalian, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu, bukan? Aku adalah sahabat baik mereka yang diutus datang berkunjung." Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang bukan main. Mereka segera memberi hormat lagi.

   "Ahh, maafkan kami yang tidak tahu sehingga menyambut kurang hormat, toanio. Silakan duduk... silakan duduk..." kata suami isteri tu dengan sikap hormat dan gembira. Baru saja mereka membicarakan dua orang pendekar sakti itu dan kini muncul seorang utusannya, seorang sahabat baik mereka. Akan tetapi wanita cantik berpakaian merah itu menggeleng kepala dan menggoyang tangannya.

   "Tidak banyak waktu... aku datang diutus mereka untuk menjemput kalian. Mereka dalam ancaman bahaya dan mereka membutuhkan bantuan kalian sekarang juga." Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. Selama lima tahun mereka tidak mendengar berita tentang dua orang pendekar yang mereka kagumi itu, dan sekarang tiba-tiba sepasang pendekar itu mengirim utusan menjemput mereka karena membutuhkan bantuan!

   "Apakah yang terjadi dengan mereka?" tanya Song Tek Hin.

   "Di mana mereka sekarang?" tanya pula Su Hong Ing. Wanita itu mengeleng kepala tidak sabar.

   "Tidak banyak waktu bicara. Nanti saja di kereta kita bicara. Sekarang cepat kalian ikut denganku sebelum terlambat. Pek-liong dan Liong-li amat membutuhkan bantuan kalian!" Wanita itu membalik kan tubuhnya.

   "Kalau kalian tidak mau membantu, sudahlah aku pergi saja." Tentu saja suami isteri itu cepat mencegahnya.

   "Tunggu, kami mengambil senjata dulu!" kata mereka dan mereka lari ke dalam untuk mengambil sepasang pedang mereka dan memesan kepada pelayan agar menjaga Song Cu baik-baik. Kemudian mereka lari keluar dan ternyata wanita itu sudah duduk di atas kereta sambil memegang kendali kuda.

   "Toanio, tunggu...!" seru suami isteri itu dan mereka segera menghampiri kereta.

   "Masuklah ke dalam dan tutup semua pintu dan tirai kereta!" kata wanita itu. Song Tek Hin dan Su Hong Ing mentaati permintaan itu, mereka masuk ke dalam kereta dan menutup daun pintu dan tirai jendela. Kereta itu dilarikan kencang oleh wanita baju merah tadi dan suami isteri itu saling pandang dengan hati tegang, khawatir menduga-duga apa yang terjadi dengan sepasang pendekar yang mereka kagumi. Mereka tidak tahu ke mana kereta dilarikan, hanya tahu bahwa mereka dilarikan cepat keluar dari dusun. Lebih dari sejam lamanya kereta berlari kencang sehingga mereka menjadi tidak sabar.

   "Toanio, ke manakah kita pergi?" Song Tek In berteriak mengatasi kegaduhan suara kaki kuda dan roda kereta. Kereta itu berhenti dan suami isteri itu dengan hati tegang, mengira akan bertemu dengan sepasang suami isteri itu, membuka pintu kereta. Akan tetapi, mereka melihat bahwa mereka berada di tengah hutan yang sunyi! Dan wanita berpakaian merah itu telah turun pula dari atas kereta, dan berdiri sambil bertolak pinggang dan mulutnya senyum-senyum genit.

   "Apa artinya ini? Di mana Pek-liong dan Liong-li?" tanya Su Hong Ing alisnya berkerut dan ia mulai curiga.

   "Pek-liong dan Liong-li belum berada di sini. Justeru dengan adanya kalian berdua kami mengharapkan mereka akan muncul."

   "Toanio, harap jangan main-main. Jelaskan apa maksudmu. Kami tidak banyak waktu untuk main-main!" Song Tek Hin berkata dengan nada marah pula. Kini senyum genit itu lenyap dari bibir wanita baju merah.

   "Siapa main-main dengan kalian? Kalau ingin tahu, sekarang kalian menjadi tawanan kami, mengerti?" Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main.

   "Apa pula ini?" bentak Su Hong Ing sambil meraba gagang pedangnya.

   "Kaukira akan mudah saja menawan kami?"

   "Siapakah engkau ini sebenarnya dan mengapa mengaku hendak menawan kami?" bentak pula Song Tek Hing. Kini wanita itu tertawa, terkekeh-kekeh.

   "Heh-heh-heh, kalian ini anak-anak masih berbau bawang! Kalian masih hijau maka tidak mengenalku. Dunia persilatan menyebut aku Ang I Sian-li (Dewi Baju Merah), heh-heh-heh!" Biarpun suami isteri itu belum pernah bertemu dengan datuk ini, namun mereka sudah mendengar namanya dan wajah mereka berubah pucat. Mereka pernah mendengar bahwa Ang I Sian-li adalah seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Setan Tua) yang merupakan datuk-datuk kaum sesat yang amat kejam. Bahkan mereka pernah mendengar bahwa wanita berpakaian merah itu demikian kejamnya seperti siluman atau iblis betina, kabarnya suka menghisap habis darah bayi untuk memperkuat tubuhnya dan memperdalam ilmu hitamnya! Tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu mencabut pedang, maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang datuk sesat yang kejam.

   "Kiranya kami berhadapan dengan Ang I Sian-li," kata Tek Hin, menenangkan hatinya.

   "Engkau adalah seorang datuk kang-ouw tingkat atas, dan kami tidak pernah memotong jalan hidupmu, kenapa hari ini engkau mengganggu kami?"

   "Aku tidak mengganggu, hanya menawan kalian untuk memancing munculnya Pek-liong dan Liong-li. Merekalah musuh kami yang sebenarnya, kalian ini hanya orang-orang yang tidak ada artinya." Tentu saja suami isteri itu marah dan tidak sudi ditawan begitu saja.

   "Iblis betina jahat!" bentak Hong Ing dan ia sudah menggerakkan pedangnya, disusul suaminya yang juga sudah menyerang dengan pedangnya. Namun Ang I Sian-li hanya tersenyum mengejek dan ia menghadapi serangan suami isteri itu dengan tangan kosong saja! Tubuhnya bergerak cepat, berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan di antara gulungan dua sinar pedang suami isteri itu. Betapapun cepatnya suami isteri itu menggerakkan senjata, mereka tak pernah dapat mengenai tubuh lawan karena ke mana pun mereka menyerang, bayangan merah itu berkelebat lenyap dan berpindah tempat.

   "Heh-heh-heh, kalian anak-anak kecil berani melawanku? Biar kalian belajar sepuluh tahun lagi, masih belum dapat menandingiku. Guru-guru besar kalianpun takkan mampu menang dariku. Nah, lepaskan senjata kalian!"

   Suami isteri itu tidak perduli. Tek Hin menusukkan pedangnya ke arah lambung lawan dari kiri, sedangkan pada saat yang hampir bersamaan Hong Ing menyabetkan pedangnya ke arah leher wanita baju merah itu. Serangan suami isteri itu sungguh amat berbahaya dan keduanya merupakan serangan maut. Namun sekali ini Ang I Sian-li tidak mengelak sama sekali, akan tetapi dua buah tangannya bergerak seperti ular, yang kiri menangkap ujung pedang yang menusuk lambung, yang kanan menangkap ujung pedang yang menyabet leher. Dua tangan kosong itu begitu saja menangkap dua batang pedang yang amat tajam dan yang dipegang oleh ahli silat yang sudah cukup lihai dan memiliki sin-kang cukup kuat!

   Kalau tidak kuat kedua tangan itu, tentu sekali tarik saja tangan itu akan putus berikut lima jarinya! Suami isteri itu terkejut dan mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata mereka dan membikin putus tangan lawan. Akan tetapi, betapa pun mereka mengerahkan seluruh tenaga, pedang mereka seperti telah melekat di kedua tangan itu dan sedikitpun tidak dapat ditarik. Bahkan kini Ang I Sian-li mengerahkan tenaganya dan pedang itu tergetar hebat. Tangan suami isteri yang memegang pedang masing-masing ikut tergetar dan telapak tangan mereka terasa panas sekali. Mereka terkejut dan cepat melepaskan gagang pedang karena merasa tangan mereka seperti terbakar!

   "Heh-heh-heh, kalau aku bermaksud membunuhmu, sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku!" katanya dan sekali jari-jari tangannya mencengkeram, terdengar suara "krek-krek" dan kedua pedang itupun patah-patah! Suami isteri itu terbelalak dan mereka maklum bahwa wanita ini sama sekali bukan tandingan mereka!

   "Kalian masih hendak melawan?" Ang I Sian-li bertanya, tersenyum mengejek. Suami isteri itu saling pandang. Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka juga bukan orang nekat yang ingin mati konyol. Di rumah mereka masih ada Song Cu yang amat membutuhkan mereka. Dengan lunglai Tek Hin lalu berkata, suaranya terdengar lantang.

   "Ang I Sian-li, kami tidak pernah bermusuhan denganmu, akan tetapi hari ini engkau memaksakan kehendakmu kepada kami. Nah, apa yang harus kami lakukan?"

   "Kalau engkau mengutus kami melakukan kejahatan, sampai matipun aku tidak sudi melakukannya!" Kata Su Hong Ing dengan sikap gagah. Wanita itu tertawa.

   "Sudah kukatakan, kami tidak akan mengganggumu asal kalian mentaati perintah kami. Nah, Song Tek Hin, engkau yang laki laki sepatutnya menjadi kusir. Biar aku dan isterimu duduk di dalam. Aku akan menunjukkan kemana engkau harus menjalankan kereta, dan jangan sekali-kali bermain gila." Suami isteri itu saling pandang, maklum bahwa mereka telah kalah dan tidak ada jalan lain kecuali taat pada saat itu. Tek Hin mengangguk dan diapun lalu naik ke atas kereta, memegang kendali kuda. Hong Ing didorong halus oleh Ang I Sian-li memasuki kereta dan mereka duduk bersanding, menghadap ke depan.

   "Engkau mengambil jalan lurus saja dan jangan membelok sebelum kuberitahu," kata Ang I Sian-li.

   "Memasuki kota Cin-an?" tanya Tek Hin dan dalam suaranya terkandung kegembiraan. Dia mempunyai banyak kenalan di kota itu, banyak pula orang gagah di sana dan kalau kereta itu memasuki kota Cin-an yang ramai, dia dapat bersama isterinya meloncat keluar dan kalau wanita itu hendak menangkap mereka, tentu akan banyak kawan membantu. Akan tetapi jawaban Ang I Sian-li melenyapkan harapannya.

   "Tidak, sebelum masuk kota, mengambil jalan ke kiri sampai ke tepi Sungai Kuning." Perjalanan itu cukup jauh dan Tek Hin sengaja menjalankan kereta itu tidak terlalu cepat karena dia masih mengharapkan dapat bertemu di jalan dengan rombongan orang yang dikenalnya dan yang sekiranya dapat membantunya.

   Misalnya rombongan piauwsu (pengawal barang kiriman) yang lihai dan yang sudah dikenalnya. Ang I Sian-li yang duduk bersanding Hong Ing kelihatan mengantuk dan tak lama kemudian, diguncang-guncang oleh kereta, ia tertidur. Dari napasnya yang halus dapat diketahui bahwa wanita ini telah pulas. Tentu saja hal ini tidak pernah lepas dari perhatian Hong Ing. Sejak tadi, ia sering melirik dan memperhatikan wanita itu. Mereka duduk bersanding, dan wanita itu nampaknya tidak memperhatikannya, akan tetapi karena ia tahu betapa lihainya wanita itu, ia tidak berani menyerang secara mendadak. Kalau saja wanita itu tidak selihai itu, kalau hanya sedikit lebih lihai darinya, dalam keadaan duduk bersanding seperti itu, sekali menggerakkan tangan menotok saja mungkin ia akan dapat membuat wanita itu tidak berdaya.

   Akan tetapi ia duduk bersanding dengan Ang I Sian-li, seorang di antara Kiu Lo-mo, datuk sesat yang beberapa tingkat lebih tinggi dari tingkatnya. Akan tetapi sekarang wanita itu tertidur. Dari pernapasannya, tahulah Hong Ing bahwa wanita itu sudah pulas. Betapapun lihainya, kalau sedang pulas tentu tidak akan membela diri, tidak akan mengerahkan sin-kang dan bukankah sekali pukul saja ia akan dapat menewaskannya? Akan tetapi, iapun tidak ingin membunuh orang tanpa alasan kuat, cukup menotoknya dan membuatnya tidak berdaya saja agar ia dan suaminya dapat terlepas dari bahaya. Beberapa kali, ketika jalan yang tidak rata membuat kereta itu terguncang, ia sengaja melanggar pinggang wanita di sebelahnya dengan sikunya, seperti yang tidak disengaja karena guncangan kereta.

   Dan wanita itu sama sekali tidak pernah terbangun, bahkan menggerakkan bulu matapun tidak. Agaknya sudah pulas benar, pikir Hong Ing. Hong Ing mengatupkan bibirnya dan bersiap-siap. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya yang akan dijadikan sasaran adalah pundak kiri, yaitu jalan darah kim-ceng-hiat. Kalau jalan darah itu ditotoknya, tentu wanita itu dalam satu-dua detik tak mampu bergerak dan akan disusulnya dengan totokan pada jalan darah hong-hu-hiat di belakang pundak dan ia tentu akan menjadi lemas tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi. Setelah mendapat kesempatan baik, selagi jalannya kereta tidak banyak guncangan agar totokannya mengenai tepat, Hong Ing menggerakkan tangan kirirya, diangkatnya ke atas dan dengan jari tangan diluruskan ia menotok ke arah pundak kiri Ang I Sian-li.

   "Wuuuuttt... tuukk!" Hong Ing menjerit saking nyerinya. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya seperti menotok baja, bahkan ada tenaga yang membuat tenaga totokannya membalik. Kedua jari itu nyeri sekali, kiut miut rasanya, sampai menusuk jantung, rasanya seperti patah-patah dan seketika menggembung bengkak. Mendengar jeritan isterinya, Tek Hin menghentikan kereta dan cepat menengok.

   "Ing-moi, apa yang terjadi?" Dan melihat isterinya memegangi tangan kiri sambil meringis kesakitan, dia memandang kepada Ang I Sian-li dan berkata marah,

   "Ang I Sian-li, kalau engkau mengganggu isteriku, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Ang I Sian-li tertawa,

   "Heh-heh, Song Tek Hin. Kalau engkau banyak tingkah, isterimu kubunuh dulu baru engkau. Ketika aku tadi tertidur, ia menotok pundakku dan kini jari tangannya bengkak. Apakah engkau hendak menyalahkan aku?" Mendengar jawaban ini, Tek Hin memandang isterinya.

   "Ing-moi, bagaimana dengan tanganmu? Engkau duduk sajalah di sini, biar kuobati tanganmu." Ang I Sian-li juga berkata.

   "Nah, duduk saja engkau di depan dekat suamimu agar aku dapat tidur nyenyak tanpa gangguan." Hong Ing pindah duduk di samping suaminya. Tek Hin memeriksa tangan itu dan ternyata dua buah jari itu membengkak dan biru, akan tetapi masih untung tidak sampai patah sehingga tidak berbahaya, walaupun rasanya nyeri bukan main. Setelah mengurut tangan isterinya, Tek Hin melanjutkan perjalanan. Di dalam hati, suami isteri merasa khawatir bukan main. Wanita itu sungguh sakti, dalam keadaan tidur pulas masih mampu melindungi diri seperti itu. Pada sore harinya, barulah mereka tiba di tepi Huang-ho.

   Dan Ang I Sian-li menyuruh Tek Hin memasukkan kereta ke dalam sebuah hutan di tepi sungai besar itu, mendaki sebuah bukit kecil penuh hutan belukar. Dan ternyata di puncak bukit itu, terlindung hutan yang lebat, terdapat sebuah bangunan besar yang nampaknya masih baru. Bangunan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan kereta itu memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang yang nampaknya bengis dan kuat. Suami isteri itu oleh Ang I Sian-li diajak memasuki bangunan induk dan di ruangan tengah mereka melihat bahwa di situpun terdapat belasan orang laki-laki yang nampaknya kuat dan bengis. Melihat munculnya Ang I Sian-li, semua orang cepat bangkit berdiri dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Ang I Sian-li menyambut penghormatan mereka dengan sikap angkuh, lalu bertanya,

   "Apakah yang lain belum tiba?"

   "Belum toa-nio. Hanya ada pembawa berita yang mengatakan bahwa rombongan dari Nan-cang akan datang besok, sedangkan yang dari kota raja mungkin besok lusa baru tiba."

   "Antar mereka ini ke kamar tamu nomor tiga yang sudah dipersiapkan," kata Ang I Sian-li kepada anak buahnya, dan kepada suami isteri itu ia berkata,

   "Kalian tentu tidak akan begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri, karena selain di sini ada aku, juga terdapat banyak anak buahku yang lihai. Kalau kalian tidak melawan dan tidak mencoba melarikan diri, kalian tidak akan diganggu."

   "Akan tetapi, mengapa kami ditahan di sini dan sampai berapa lama?" tanya Tek Hin memprotes.

   "Sampai selesai urusan kami dengan Pek-liong dan Liong-li. Tunggu saja sampai besok lusa, sampai dua orang rekanku tiba. Kalau kalian tidak mencoba untuk lari, kalian akan diperlakukan sebagai tamu. Akan tetapi, kalau-kalian mencoba lari, aku terpaksa akan membelenggu kalian seperti dua orang tahanan!"

   "Mari, silakan!" kata seorang tinggi kurus bermata juling kepada suami isteri itu. Tek Hin dan Hong Ing saling pandang, maklum akan kebenaran ucapan Ang I Sian-li bahwa mencoba lari sama saja dengan mencari penyakit. Dari pada tinggal sebagai tawanan yang dibelenggu dan mungkin diganggu, lebih baik sebagai tamu. Soal melarikan diri, mereka akan bersabar dan mencari kesempatan sebaiknya. Kalau mereka ditahan sebagai tamu, berarti mereka mempunyai harapan dan kemungkinan meloloskan diri, sebaliknya kalau dibelenggu dan dikeram dalam kamar tawanan, sulitlah untuk lolos. Dengan taat mereka lalu mengikuti si kurus juling itu menuju ke lorong masuk ke belakang dan ternyata sudah ada sebuah kamar yang dipersiapkan untuk mereka.

   Kamar itu cukup menyenangkan, berikut kamar mandi lengkap, ukurannyapun cukup besar, dan bersih. Tempat tidur, meja kursi, semua lengkap. Hanya dua buah jendelanya dipasangi ruji baja yang amat kuat, temboknya tebal, dan di depan pintu kamar itu selalu ada beberapa orang yang berjaga dengan senjata di tangan. Andaikata mereka berdua dapat melumpuhkan beberapa orang penjaga di depan kamar itu, di sana masih terdapat banyak sekali anak buah, dan terutama terdapat Ang I Sian-li yang amat lihai. Tidak banyak kesempatan untuk lolos dan mereka harus hati-hati. Betapapun juga, suami isteri itu merasa lega bahwa mereka ditahan dalam satu kamar, tidak dipisahkan. Maka, mereka saling menghibur dan bersabar hati, tetap waspada.

   Di kota Han-cang dekat Telaga Po-yang, nama kakak beradik Kam amat terkenal dan dihormati orang. Sang Kakak bernama Kam Sun Ting, berusia sekitar dua puluh lima tahun, seorang perjaka yang bertubuh tegap dan kokoh kuat, tubuhnya ramping namun berotot dan wajahnya tampan. Adapun adiknya, seorang gadis bernama Kam Cian Li, berusia sekitar dua puluh dua tahun, juga bertubuh ramping padat dan wajahnya cantik manis. Kakak beradik ini memiliki bentuk tubuh yang mengagumkan, dengan tangan dan kaki panjang dan sempurna lekuk lengkungnya. Hal ini tidak mengherankan karena sejak kecil, kakak beradik ini terkenal sebagai ahli-ahli renang yang pandai, ahli-ahli penyelam yang jarang ditemukan tandingannya karena mereka pandai bermain di air seperti ikan-ikan saja.

   Yang membuat mereka dikenal orang bukan hanya karena keahlian mereka menyelam, bukan pula ilmu silat mereka yang hanya lumayan saja, tidak dapat dibilang ahli, bukan pula hanya karena mereka itu tampan dan cantik dan keduanya gagah. Akan tetapi karena mereka itu kaya raya dan dermawan! Keduanya belum menikah, tinggal di sebuah rumah yang tidak sangat besar namun mungil dan indah, dikelilingi taman bunga yang terawat amat indahnya. Rumah dan taman mereka menjadi kebanggaan penduduk kota Nan-cang! Dan kalau kakak beradik ini rindu akan air, mereka memiliki sebuah perahu yang sedang besarnya, yang berada di Telaga Po-yang, dirawat seorang nelayan. Kalau mereka berperahu, mengenakan pakaian penyelam yang ketat, lalu keduanya bermain-main di air telaga, banyak orang menonton dengan kagum.

   Banyak pemuda tergila-gila kalau melihat Cian Li berpakaian penyelam yang mencetak bentuk tubuhnya yang membuat setiap pemuda terpesona, juga banyak gadis yang sampai mimpi merindukan Sun Ting yang gagah dan tampan. Namun sungguh aneh, biarpun usia pemuda itu sudah dua puluh lima tahun dan adiknya sudah dua puluh dua tahun, mereka masih juga belum berumah tangga dan selalu menolak halus kalau ada orang memperlihatkan sikap tertarik dan mencinta. Bahkan Cian Li sudah menolak banyak pinangan secara halus. Kakak beradik ini hidup berdua karena sudah yatim piatu. Tidak begitu mengherankan kalau Sun Ting dan Cian Li belum juga mau menikah karena keduanya masih belum sembuh dari luka karena cinta gagal. Sun Ting mencinta Hek-liong-li, sedangkan Cian Li mencinta Pek-liong-eng.

   Cinta mereka mati-matian, bahkan mereka telah menumpahkan rasa cinta dengan penyerahan diri, namun mereka hanya dapat memiliki tubuh kedua pendekar itu selama beberapa hari saja, namun tidak dapat memiliki hati mereka! Pek-liong dan Liong-li tidak mau jatuh cinta dan diikat pernikahan. Kakak beradik itu pernah membantu kedua pendekar itu memperebutkan harta karun dan setelah berhasil, sepasang pendekar itu menyerahkan sebagian dari harta karun kepada mereka, akan tetapi meninggalkan mereka yang menjadi patah hati. Sun Ting dan Cian Li menjadi dua saudara yang kaya raya akan tetapi dengan hati merana karena cinta gagal! Dan karena mereka berdua tidak atau belum dapat melupakan Pek-liong dan Liong-li, maka keduanya tak pernah memperhatikan gadis dan pemuda lain.

   Keadaan itulah yang membuat kakak beradik ini dikenal oleh semua orang di Nan-cang, terutama mereka yang tinggal di sekitar Telaga Po-yang. Pada suatu senja yang indah, kakak beradik ini masih berada di atas perahu mereka setelah berenang dan bermain-main. Telaga itu sudah sunyi dan mereka berada di bagian selatan, jauh keramaian. Senja itu angin berembus dengan kencangnya. Mereka duduk di kepala perahu sambil menikmati langit di barat yang bagaikan terbakar oleh sinar matahari senja, membentuk istana-istana kelabu yang serba indah, ada pula bentuk binatang-binatang ajaib yang seolah berenang di laut api. Tiba-tiba Cian Li yang kebetulan menoleh ke utara, terbelalak dan ia memegang lengan kakaknya dan berbisik.

   "Lihat, apa itu?"

   Sun Ting menengok dan diapun terbelalak, bahkan mereka menggosok kedua mata seolah tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Apakah ada satu di antara mahluk ajaib dari angkasa di timur itu turun ke atas permukaan air telaga? Mereka melihat sesosok tubuh meluncur di atas air, seperti bersayap dan didorong angin yang datang dari utara! Kini makin nampak jelas bahwa yang meluncur di atas permukaan air itu adalah seorang manusia! Mungkinkah itu? Bagaimana mungkin ada manusia berlari atau meluncur di atas air begitu saja, dengan jubah dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, menggembung tertiup angin dari belakang? Akan tetapi setelah kini dekat terpisah beberapa meter, mereka berdua yakin bahwa yang meluncur di atas air menghampiri mereka itu memang seorang manusia!

   Seorang pria yang usianya sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus dan kelihatan lemah, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan, akan tetapi dilengkapi jubah yang lebar dan tebal, yang dipergunakan sebagai layar. Kedua kakinya yang bersepatu kain itu ternyata menginjak dua potong papan kayu tebal yang ujungnya runcing seperti bentuk perahu. Itulah sebabnya mengapa dia dapat mengambang dan meluncur karena jubahnya menjadi layar yang tertiup angin. Biarpun demikian, selama hidupnya kakak beradik yang ahli bermain di air ini belum pernah melihat ada orang yang mampu berbuat seperti itu! Kalau orang ini tidak memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat, tidak mungkin dia dapat bertahan meluncur seperti itu.

   "Selamat sore, orang-orang muda! Apakah kalian yang bernama Kam Sun Ting dan Kam Cian Li dari Nan-cang?" Suara pria itu lembut dan sopan, juga wajahnya yang masih nampak tampan halus itu tersenyum ramah. Kedua orang kakak beradik itu mengangguk membenarkan, saking heran dan kagumnya, mereka sampai tidak mampu mengeluarkan suara, hanya nengangguk.

   "Bagus sekali!" Pria itu berseru gembira.

   "Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku. Bolehkah aku naik perahu kalian? Aku sengaja mencari kalian, diutus oleh sahabat-sahabatku, Pek-liong dan Hek-liong-li." Mendengar disebutnya nama dua orang pendekar itu dan orang itu mengaku sebagai sahabat dan utusan, tentu saja kakak beradik itu merasa girang bukan main.

   "Silakan, Locianpwe (orang tua gagah), silakan naik ke perahu kami!" kata Sun Ting. Kini kakak beradik itu melihat bukti dugaan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang locianpwe yang sakti. Pria itu seperti seekor burung bangau saja, meloncat dan melayang naik ke atas perahu, kedua kakinya meninggalkan dua potong papan yang tadi dipergunakan untuk meluncur dan ketika kedua kakinya hinggap di atas perahu, perahu itu sedikitpun tidak terguncang! Begitu tiba di atas perahu, orang itu berkata,

   "Orang muda, cepat kaulayarkan perahumu ke barat. Pek-liong-eng dan Hek-liong-li mengutusku untuk menjemput kalian dan agar kalian secepatnya menemui mereka."

   Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Di manakah Taihiap dan Lihiap itu, locianpwe?" tanya Kam Cian Li, hatinya tegang karena akan bertemu dengan Pek-liong, pria yang selalu dipuja di dalam hatinya. Pria itu menghela napas panjang, mengeluarkan sebuah kipas dari saku jubahnya dan mengipas tubuhnya dengan lagak seorang sastrawan, lalu berkata,

   "Mereka berpesan agar aku tidak boleh memberitahukan di mana mereka berada. Yang penting, mereka terancam bahaya dan hanya kalian berdua dengan kepandaian kalian dalam air yang dapat menolong dan menyelamatkan mereka. Cepatlah layarkan perahu ke barat, aku lelah sekali dan ingin beristirahat dan tidur. Kecuali kalau kalian tidak ingin menolong mereka, terpaksa aku akan pergi lagi."

   "Tentu saja kami suka sekali menolong mereka, locianpwe!" kata Sun Ting cepat-cepat dan diapun sudah mengatur layar dan kini perahu mulai meluncur ke arah barat.

   Pria itu sudah merebahkan dirinya di tengah perahu dan sebentar saja dia sudah tidur mendengkur! Agaknya dia memang lelah sekali sehingga kakak beradik itu tidak berani dan tidak tega mengganggunya. Mereka mengatur layar dan kemudi perahu. Angin kencang membuat perahu itu meluncur cepat ke arah barat. Akan tetapi, walaupun kakak beradik itu, selalu memandang ke barat, kini mereka tidak melihat lagi keindahan langit senja di barat karena pikiran mereka penuh dengan bayangan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li dan hati mereka dicekam kekhawatiran. Ingin mereka cepat-cepat dapat bertemu dengan kedua orang pendekar itu. Senja telah diselimuti kegelapan malam ketika perahu itu tiba di tepi pantai barat. Melihat pria itu masih tidur, Sun Ting mendekatinya dan dengan lirih dia menggugahnya.

   "Locianpwe, kita sudah tiba di tepi pantai barat. Di mana mereka?" Pria itu bergerak menggeliat dan bangkit duduk, memandang ke sekeliling.

   "Ehh? Sudah gelap? Sudah tiba di tepi pantai barat?"

   "Benar, locianpwe," kata Cian Li.

   "Di mana Pek-liong-eng?"

   "Nanti dulu, mereka bilang akan menjemput kita dengan kereta di sini. Nah, itu di sana kukira keretanya," kata pria itu dan pada saat itu terdengar ringkik kuda.

   "Mari, keretanya di sana. Kita harus melanjutkan perjalanan naik kereta yang sudah disediakan." Dia meloncat ke darat. Kakak beradik itu saling pandang di keremangan malam yang hanya diterangi bintang, akan tetapi keraguan mereka dikalahkan keinginan bertemu dengan sepasang pendekar itu. Maka, merekapun mengikatkan tali perahu pada sebatang pohon, lalu merekapun mendarat dan mengikuti kakek itu. Benar saja, tak jauh dari pantai terdapat sebuah kereta dengan dua ekor kudanya. Di bangku kusir duduk seorang laki-laki tinggi besar. Dia duduk seperti patung dan sama sekali tidak menengok, dan juga kakek sastrawan itu sama sekali tidak bertanya atau menegurnya.

   "Marilah, kalian naik kereta ini bersamaku," katanya mempersilakan kakak beradik itu naik ke kereta.

   "Ke manakah kita akan pergi, locianpwe? Di mana mereka berdua itu?" tanya Sun Ting.

   "Naik sajalah, nanti kalian akan mengetahuinya sendiri," katanya. Begitu mereka bertiga duduk di dalam kereta, kendaraan itu segera bergerak cepat. Dua buah lentera di kanan kiri kereta bergoyang-goyang dan kereta itu bergerak cepat. Sun Ting mulai merasa curiga.

   "Locianpwe ini siapakah? Siapakah nama locianpwe dan apa yang yang terjadi dengan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li?"

   "Benar, ceritakan kepada kami, locianpwe, agar hati kami tidak merasa ragu dan bimbang. Apa yang terjadi dengan mereka dan di mana mereka sekarang?" kata pula Cian Li.

   "Kalian ingin mengetahui siapa aku? Orang menyebut namaku Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas)," kata pria itu dan di dalam suaranya halus itu kini terkandung kebanggaan hati. Akan tetapi, melihat wajah kedua prang kakak beradik itu tertimpa sinar lentera itu tidak kelihatan kaget, bahkan agaknya tidak mengenal nama julukan itu, alis Kim Pit Siu-cai berkerut. Tentu saja kakak beradik itu tidak mengenal nama datuk besar ini. Mereka berdua bukanlah orang-orang kang-ouw dan kalau mereka berdua menjadi sahabat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, hal itu hanya kebetulan saja. Mereka bukan ahli-ahli silat dan bukan pendekar, tidak mengenal dunia kang-ouw dan para tokohnya, maka nama itupun sama sekali tidak mereka kenal.

   "Tapi di mana kedua pendekar itu dan bahaya apakah yang mengancam mereka?" tanya Cian Li. Melihat kenyataan bahwa dua orang kakak beradik itu tidak terkejut mendengar namanya, hal ini saja sudah membuat Kim Pit Siu-cai penasaran dan marah sekali. Kalau saja dia tidak membutuhkan dua orang kakak beradik ini, tentu akan dibunuhnya mereka seketika untuk memuaskan hatinya yang merasa penasaran. Tidak dikenal nama besarnya sama saja dengan suatu penghinaan baginya!

   "Kalian tidak mengenal nama besar Kim Pit Siu-cai?" tanyanya, kini suaranya terdengar ketus.

   "Ketahuilah bahwa aku adalah seorang di antara Kiu Lo-mo!" Akan tetapi, kembali dia tertegun, penasaran dan wajahnya berubah merah sekali.

   "Kiu Lo-mo? Siapakah mereka itu?" tanya Cian Li, juga Sun Ting memandang tak mengerti. Kalau saja dia bukan sastrawan, tentu Kim Pit Siu-cai sudah menyumpah-nyumpah dan memaki-maki saking jengkelnya. Lalu dia teringat sesuatu dan membentak,

   "Coba katakan, apakah kalian tidak mengenal nama Siauw-bin Ciu-kwi?" Mendengar disebutnya nama ini, kakak beradik itu terkejut.

   "Aih, iblis tua yang amat jahat itu?" tanya Cian Li. Kini Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak dan ketika dia tertawa, lenyaplah semua sikap halus dan sopannya. Di dalam suara tawanya terkandung kekejaman yang mengerikan.

   "Ha-ha-ha, kalian mengenal Siauw-bin Ciu-kwi, bukan? Ha-ha-ha-ha!"

   "Tapi iblis tua yang jahat itu telah mati!" kata Sun Ting.

   "Dia telah mati, akan tetapi aku belum! Dan aku adalah saudaranya, dan aku akan membalas dendam kematiannya!"

   "Ahhh...!!" tentu saja kakak beradik itu terkejut bukan main, wajah mereka berubah pucat dan mata mereka terbelalak.

   "Kalau begitu, engkau bukan sahabat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!"

   "Ha-ha-ha-ha, sahabat? Mereka adalah musuh-musuh besar yang harus kubunuh! Dan kalian akan menjadi umpan agar mereka berdua datang!"

   "Tidak, aku tidak sudi!" teriak Cian Li dan kakaknya juga menjadi marah sekali. Keduanya bergerak hendak melompat keluar dari dalam kereta. Akan tetapi, kipas di tangan Kim Pit Siu-cai bergerak lebih cepat lagi. Dia duduk berhadapan dengan kedua orang kakak beradik itu dan begitu kipasnya bergerak dua kali, Sun Ting dan Cian Li sudah menjadi lemas tak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok ujung gagang kipas! Mereka hanya duduk lemas bersandar dan dengan mata terbelalak marah mereka hanya dapat memandang kepada Kim Pit Siu-cai yang tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, tanpa kalian pun kami akhirnya akan dapat membunuh Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi dengan kalian, akan lebih mudah memancing mereka. Kalau kalian tidak memberontak, kami akan menerima kalian sebagai tamu, akan tetapi kalau kalian memberontak, terpaksa kalian akan ku perlakukan sebagai tawanan. Nah, kalian tinggal pilih saja!" Cepat sekali kipasnya bergerak dan kedua orang kakak beradik itu sudah dapat bergerak kembali. Cian Li mengepal tinju, akan tetapi kakaknya segera memegang lengannya dan menggeleng kepala.

   "Adikku, kita bukan tandingannya, tidak perlu melawan," katanya dan Cian Li mengerti. Keadaan bagi mereka akan semakin buruk kalau mereka melawan. Selain percuma saja melawan, mereka akan menjadi tawanan, tertotok, atau terbelenggu, dan siapa tahu, sebagai tawanan mereka akan diperlakukan lebih buruk lagi.

   "Ha-ha-ha, itu baru bijaksana namanya. Nah, sekarang tidak perlu banyak bertanya lagi. Pendeknya, kalian akan menjadi tamu-tamu kami di suatu tempat, di lembah Huang-ho, dan jangan banyak membuat ulah." Kakak beradik itu tidak membuat ulah, bahkan tidak bicara lagi kepada penawan mereka. Mereka kini tidak mengkhawatirkan diri sendiri karena tahu bahwa mereka hanya ditawan sebagai umpan untuk memancing datangnya Hek-liong-li dan Pek-liong-eng.

   Mereka gelisah memikirkan keselamatan dua orang pendekar yang mereka cinta itu. Kakek yang menawan mereka itu demikian lihai, jahat dan kejam sekali nampaknya, walaupun sikapnya halus dan wajahnya masih tampan. Tampak mengerikan. Biarpun mereka diam saja, namun di dalam hati kedua orang kakak beradik ini, mereka mengambil keputusan untuk membantu Liong-li dan Pek-liong sedapat mungkin, dan mereka hanya dapat menunggu. Di balik semua perasaan khawatir itu, juga terdapat keinginan tahu apakah sepasang pendekar itu akan dapat dipancing dengan umpan diri mereka, apakah sepasang pendekar itu masih memperdulikan mereka? Ada harap-harap cemas tersembunyi di lubuk hati mereka.

   Kakak beradik ini memang tidak membuat usaha melarikan diri atau melawan lagi sampai perjalanan itu berakhir di lembah Huang-ho, di rumah gedung yang menjadi tempat tahanan Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing yang ditawan oleh Ang I Sian-li, seorang di antara Sembilan Iblis. Akan tetapi karena kamar mereka terpisah, mereka tidak saling mengetahui bahwa ada tawanan lain di samping mereka. Seperti juga suami isteri itu, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li mendapat kebebasan, namun mereka tidak melihat sedikitpun kesempatan untuk dapat melarikan diri dari tempat yang terjaga ketat dan di mana terdapat orang-orang yang memilliki ilmu kepandaian tinggi seperti Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li.

   Kakak beradik itu, seperti juga halnya suami isteri itu, hanya dapat menanti dengan hati tegang dan khawatir. Dibandingkan tugas dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai yang menangkap kakak beradik Kam, dan Ang I Sian-li yang menangkap Song Tek Hin dan isterinya, tugas yang dilaksanakan Pek-bwe Coa-ong jauh lebih sukar. Sebagai orang tertua di antara tiga orang sisa Sembilan Iblis Tua itu, Pek-bwe Coa-ong si Raja Ular ini memang sengaja menangani tugas sukar ini sendiri. Tugasnya ialah menangkap Cian Hui dan isterinya yang bernama Cu Sui In. Tentu saja tugas.ini tidak mudah dilaksanakan oleh karena Cian Hui bukan orang sembarangan. Dia adalah Cian Ciang-kun, seorang panglima muda yang gagah perkasa dan yang di kota raja sudah terkenal sebagai seorang penyelidik atau detektip yang sudah banyak berhasil membongkar berbagai kejahatan.

   Sebagai seorang panglima, tentu saja Cian Ciang-kun mempunyai kekuasaan atas sepasukan perajurit keamanan yang tangguh, dan dia sendiri memiliki ilmu silat yang lihai di samping kecerdikannya sebagai seorang pemberantas kejahatan. Cian Hui yang sudah berusia empat puluh tiga tahun itu masih nampak tegap dan gagah, wajahnya kejantanan, wajahnya berbentuk segi empat, dagunya berlekuk keras, alisnya hitam tebal sekali, hidungnya besar mancung dan mulutnya cerah, matanya lebar, suaranya juga tegas dan nyaring, tubuhnya tinggi tegap. Ilmu silatnya adalah ilmu silat keturunan keluarga Cian, senjatanya sebatang suling baja yang ampuh. Dengan jenggot kumis terpelihara rapi, panglima ini memang nampak gagah berwibawa, membuat gentar hati para penjahat yang bertemu dengan dia.

   Selama tiga tahun sudah Cian Hui menikah dengan Cu Sui In, dan mereka mempunyai seorang anak perempuan berusia dua tahun yang diberi nama Cian Hong. Kalau Cian Hui pandai ilmu silat keluarganya, isterinya yang murid Kun-lun-pai itu lebih lihai lagi! Cu Sui In seorang wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun, keturunan bangsawan pula. Ia seorang janda, empat tahun yang lalu suaminya tewas dibunuh penjahat yang dipimpin Kui-eng-cu, yang sesungguhnya adalah dua orang di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu mendiang Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo. Dalam memerangi gerombolan Kui-eng-cu (Si Bayangan Iblis) inilah ia bertemu dengan Cian Hui, dan bertemu pula dengan Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau Cian Hui tergila-gila kepada Liong-li, Sui In tergila-gila kepada Pek-liong.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 6 Si Bayangan Iblis Eps 1 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 17

Cari Blog Ini