Ceritasilat Novel Online

Naga Sakti Sungai Kuning 14


Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 14




   Kehidupan ini akan terisi penuh konflik kalau kita membiarkan diri kita dicengkeram oleh pikiran yang sudah bergelimang nafsu. Nafsu selalu melahiran keinginan-keinginan akan hal-hal buruk! Yang baik dan menyenangkan hanyalah apa yang diinginkan itu! Mempunyai ini, ingin yang itu sehingga yang ini nampak tidak ada daya tariknya; Mendapatkan yang itu, menginginkan yang ini, dan demikian selanjutnya. Hanya orang yang menyerahkan segala-galanya kepada kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat menerima apa yang ada tanpa penilaian! Apa pun yang datang menimpa dirinya, apa pun yang didapatkan; dari hasil usahanya, dianggapnya sebagai suatu anugerah dari Tuhan, sebagai suatu kemurahan dari Tuhan sehingga diterima dengan hati penuh keikhlasan, penuh penyerahan diri dan penuh ketawakalan. Biasanya, setiap mulut mengatakan bahwa dia ber-Tuhan, bahwa dia percaya kepada Tuhan. Akan tetapi buktinya? Kalau orang benar-benar ber-Tuhan hanya mulut saja yang mengakuinya, melainkan jauh di lubuk hatinya, didalam dasar batinnya, harus ada kepercayaan itu. Kepercayaan yang mendalam ini yang akan mendatangkan peyerahan, keikhlasan, dan kalau apa pun yang menimpa diri dianggap sebagai pelaksanaan kehendak Tuhan, maka senyum ini takkan pernah meninggalkan mulut. Yang ada hanya rasa terima kasih dan syukur Tuhan Yang Maha Kasih. Dan kalau sudah begitu penderitaan lain tidak ada lagidan penderitaan batin tidak ada lagi dan penderitaan lahir pun tidak meninggalkan bekas, seperti awan lalu. Kepercayaan yang mendalam ini yang akan mendatangkan kekuasaan Tuhan bekerja di luar dan di dalam diri karena kekuasaan Tuhan meliputi seluruh alam, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang paling kecil sampai yang paling besar, paling rendah sampai paling tinggi, yang paling dalam dan paling luar, pendeknya tidak ada apa pun di alam mayapada ini yang tidak diliputi kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih! Dan kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, maka segalanya akan wajai dan sempurna! Yang menimbulkan baik buruk, suka duka dan segala macam pertentangan adalah penilaian yang timbul dari nafsu.

   Dan hanya kekuasaan Tuhan ini sajalah yang akan mampu menundukkan nafsu sehingga menjadi jinak dan berman faat bagi kehidupan manusia, bukan lagi sebagai perusak, melainkan sebagai pem-I bantu dan alat mempertahankan hidup.

   "Omitohud, sejak dahulu, para to-su memang berhati palsu. Pada lahirnya saja kelihatan halus dan baik budi, akan tetapi di sebelah dalamnya kotor dan curang!" Seorang di antara sepuluh orang hwesio yang berada di puncak itu berseru, sedangkan sembilan orang hwesio lainnya mengangguk-angguk menyetujui.

   "Sian-cai.........! Para hwesio seharusnya dapat mengekang musuh yang paling besar dalam kehidupan ini, yaitu nafsu amarah. Kenapa sudah mencukur gundul rambutnya dan sudah mengenakan jubah kuning masih mudah dikuasai nafsu amarah sehingga menyebar fitnah buruk kepada orang atau pihak lain?" seorang di antara sembilan orang tosu itu pun membantah dan kini delapan orang rekannya yang mengangguk-angguk membenarkan.

   Puncak bukit itu datar dan ditumbuhi rumput yang subur. Mereka, sepuluh orang hwesio dan sembilan orang tosu itu duduk saling berhadapan, pihak hwesio satu garis dan berhadapan dengan mereka, pihak tosu juga satu garis. Mereka terdiri dari orang-orang yang sudah tua, sedikitnya berusia enam puluh tahun. Para hwesio itu mengenakan jubah kuning dan berkepala gundul, sedangkan para tosu mengenakan jubah putih dengan rambut diikat ke atas. Jelas dari sikap mereka bahwa kedua pihak saling mencela dan dalam pandangan mata mereka nampak api kemarah yang menjurus kepada kebencian.

   "Siapa yang marah dan siapa yai menyebar fitnah?" bentak seorang antara para hwesio itu sebagai law an.

   "Kami tidak menuruti nafsu amarah dan tidak menyebar fitnah, melainkan bicara seperti apa adanya saja! Golongan kalian para tosulah yang tukang sebar fitnah! Kalau tidak karena fitnah seorang tosu, yaitu Cun Bin Tosu, apakah kuil Siauw-lim-si sampai terbakar dan banyak jatuh korban yang tidak berdosa? Nah, apakah kini kalian para tosu masih mencoba untuk menyangkal kenyataan itu?"

   "Siancai........., kami tidak menyangka adanya orang seperti Cun Bin Tosu. seperti juga kami tidak menyangkal adanya banyak tosu yang melakukan perbuatan yang sesat. Akan tetapi, apa hubungannya hal itu dengan kami? Apakah kesalahan seorang tosu harus dipikul dosanya oleh seluruh tosu di permukaan bumi ini? Apakah di dunia ini tidak ada seorang pun hwesio yang menyeleweng? Dan kalau ada, apakah juga kesalahan seorang hwesio itu harus ditanggung oleh seluruh hwesio di permukaan bumi? Kalau begitu halnya, maka kesalahan tiap orang manusia juga harus ditanggung dosanya oleh kita semua, karena bukankah kita semua ini juga manusia! Jadi, kesalahan Cun Bin Tosu itu juga harus ditanggung oleh kita semua, juga oleh kalian para hwesio karena Cun Bin Tosu seorang manusia, seperti kita semua, termasuk kalian juga."

   "Omitohud! Sejak dahulu para tosu memang pandai bicara, seperti perempuan, pandai memutarbalikkan kenyataan. Sekarang tidak perlu banyak cakap lagi. Kita adalah orang-orang yang sejak kecil sudah mempelajari ilmu, oleh Karena itu, daripada mengadu lemasnya lidah palsunya kata-kata, mari kita buktikan siapa di antara kita yang lebih jantan dan lebih gagah!" berkata demikian, hwesio yang jadi juru bicara itu bangkit berdiri, diikuti oleh sembilan orang temannya. Melihat ini, sembilan orang tosu juga serentak bangkit dan kedua pihak sudah siap untuk saling hantam dan saling serang untuk menyudahi percekcokan tadi.

   Sudah lama sekali terjadi permusuhan antara hwesio dan para tosu. Hal ini terjadi semenjak kuil Siauw-lim-si dibakar oleh pasukan pemerintah. Pihak para hwesio selalu menyesalkan peristiwa itu dan karena memang seorang tosu yang menjadi mata-mata pasukan pemerintah, yaitu Cun Bin Tosu yang akhirnya tewas dalam pertempuran para hwesio dan murid Siauw-lim-si, maka di dalam hati para hwesio terkandung dendam kepada para tosu. permusuhan ini semakin lama semakin menjadi sehingga menjadi permusuhan terbuka di mana setiap perjumpaan antara seorang hwesio dengan seorang tosu pasti menimbulkan percekcokan, saling mengejek sehingga berakhir dengan perkelahian. Sudah ada beberapa orang jatuh menjadi korban dalam permusuhan itu.

   Akhirnya, para pimpinan hwesio dan para pimpinan tosu mengadakan keputusan untuk mengakhiri permusuhan itu dengan jalan mengadakan pertemuan antara para pimpinan di puncak bukit Kijang itu. Kedua pihak, yaitu para pimpinan yang sudah lebih luas pandangannya dan lebih matang menyerap pelajaran agama masing-masing melihat betapa tidak benarnya permusuhan itu, dan mereka bermufakat untuk mengadakan peremuan di puncak itu. Akan tetapi, kembali mereka dikuasai nafsu dan pertemuan yang dimaksudkan untuk mencari perdamaian itu berakhir dengan percekcokan yang semakin memanas dan akhirnya kedua pihak siap untuk saling serang dan saling bunuh! Betapapun pandainya seseorang, betapapun tinggi ilmunya, pada saat nafsu mencengkeram dan menguasainya, maka akan hilanglah semua pertimbangannya, lenyap semua kebijaksanaannya. Yang ada hanyalah menyalanya nafsu jalang yang menuntut pemuasan melalui kemenangan dan tercapainya keinginan. Nafsu memang terbawa sejak lahir dan nafsu merupakan alat yang amat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya dunia ini. Karena itu, usaha manusia yang melihat betapa berbahayanya nafsu, bermacam-macam. Ada yang berusaha menundukkan nafsu melalui tapa, melalui latihan-latihan pernapasan, samadhi, melalui penyiksaan diri, pengurangan makanan dan sebagainya lagi. Namun, semua, itu masih tidak keluar dari lingkaran nafsu, karena semua usaha itu mengandung suatu keinginan. Hasilnya hanya pengurangan saja, itu pun hanya sementara. Merupakan pengekangan saja terhadap nafsu. Pengekangan ini buka berarti sudah dapat menguasai nafsu sepenuhnya. Usaha melenyapkan nafsu Tidak mungkin! Nafsu tak mungkin dilenyapkan dari kehidupan kita, karena kehidupan ini ada karena nafsu, bagaikan nyala api membutuhkan bahan bakar. Melenyapkan nafsu berarti melenyapkap keadaan badan dan berarti mati! Selama masih hidup, manusia tidak mungkin dapat meninggalkan nafsu. Nafsu itu suatu keperluan untuk hidup. Namun, kalau nafsu dibiarkan menguasai batin, maka dia akan menyeret kita ke dalam penyelewengan. Nafsu adalah anugerah Tuhan, ciptaan Tuhan dan satu-satunya yang dapat mengatur agar nafsu dapat sesuai dengan kehidupan kita, dapat menjadi alat yang baik dan bukan menjadi majikan yang merajalela, yang dapat
(Lanjut ke Jilid 15)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15
menundukkannya hanyalah kekuasaan Tuhan! Dan kekuasaan Tuhan dalam diri akan bekerja dengan sempurna kalau kita dengan sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada Tuhan, menyerahkan diri dengan ikhlas, dengan penuh ketawakal. Kalau kita membiasakan diri setiap saat teringat akan kekuasaan Tuhan, maka kita pun akan terbimbing oleh kekuasaan yang maha hebat itu. Dan nafsu-nafsu akan menyingkir dan menduduki tempat masing-masing dengan teratur. Tanpa kekuasaan Tuhan, betapapun kita berusaha, maka hasilnya pun hanya akan tipis sekali dan hanya untuk sementara karena usaha kita itu pun hanya di dalam lingkungan akal budi, dan pikiran padahal pikiran dan akal budi sudah bergelimangan dengan nafsu!

   Ketika sepuluh orang hwesio dan sembilan orang tosu sudah bangkit diri, kesemuanya sudah dikuasai nafsu amarah dan siap untuk saling serang dan saling membunuh, seorang di antara para hwesio itu berseru dengan suaranya yang lantang.

   "Saudara semua, tahan dulu senjata Pinceng hendak bicara!"

   Suaranya lantang dan berwibawa, semua hwesio yang melihat siapa yang akan bicara, merangkap kedua tangan depan dada dan berseru.

   "Omitohud........! dan mereka pun mundur. Yang bicara itu adalah Thian Gi Hwesio, seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar berusia tujuh puluh tahun, dan dia ter kenal dengan wataknya yang terbuka jujur dan galak. Thian Gi Hwesio tentu saja amat terkenal dan disegani oleh para rekannya karena dia adalah wakil ketua dari kuil Siauw-lim-si yang terbakar itu. Juga para tosu mengenalnya, maka merekapun mendengarkan dengan penuh perhatian, ingin tahu apa yang akan dikatakan hwesio yang Jangkung menjadi korban dalam peristiwa kebakaran Siauw-lim-si itu.

   Thian Gi Hwesio melintangkan senjata toyanya dan dia memandang kepada para tosu di depannya.

   "Para To-yu (Sobat) sekalian. Kita semua sudah melihat bahwa tidak mungkin diadakan perdamaian tanpa adu kepandaian di antara para hwesio dan tosu. Akan tetapi kita pun tahu betapa kelirunya hal ini. Tidak ada permusuhan di antara para tosu dan para hwesio. Mereka itu hanya terseret oleh setia kawanan belaka. Oleh karena itu, kita sebagai golongan lebih tua, sebaiknya tidak membiarkan para murid kita saling hantam dan saling serang tanpa alasan yang sehat. Maka, sekarang pin-ceng maju mewakili para hwesio untuk menyelesaikan urusan pertikaian yang berkepanjangan ini melalui adu kepandaian yang sehat dan adil, seperti yang sudah sepatutnya dilakukan oleh orang-orang yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Harap para To-yu mengajuk seorang wakil dari para tosu dan biarlah pertandingan ini akan menentukan siapa di antara kedua golongan yang benar dan lebih kuat. Yang kalah tidak diperbolehkan menuntut balas atau mendendam!"

   "Siancai..............! Ucapan Thian Gi Hwesio memang tepat, akan tetapi siapa yang dapat menanggung kalau sesudah ada pertadingan adu kepandaian antara dua orang wakil ini lalu tidak ada lagi murid yang saling berkelahi?" tentu dengan seruan seorang di antara para tosu.

   "Bagi pinceng, sekali sudah berjanji akan dipegang sampai mati!" Thian Hwesio berseru.

   "Andaikata ada murid atau hwesio yang kelak melanggar janji, pinceng sendiri yang akan menghajarnya!"

   "Sian-cai.............! Kami semua percaya akan kejujuran dan kegagahan bekas wakil ketua Siauw-lim-si! Akan tetapi ucapan itu lebih mudah dikeluarkan mulut daripada dilaksanakan. Bagaimana seorang saja akan mampu menjaga agar janji itu dilaksanakan di seluruh negeri?" Ucapan ini disambut dengan suara setuju oleh semua tosu, bahkan diantara para hwesio sendiri juga melihat betapa sukarnya janji itu dipenuhi kelak. Bagaimana mungkin Thian Gi iHwesio atau dibantu oleh mereka semua, sepuluh orang hwesio akan mampu menjaga seluruh hwesio yang jumlahnya ratusan ribu itu agar menepati janji yang dadakan hari ini? Pula, apakah seluruh hwesio telah menyatakan persetujuannya atas janji yang dikeluarkan oleh Thian Gi Hwesio?

   Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang,

   "Harap para Locianpwe menyadari akan buruknya permusuhan dan dapat menghabiskan sampai di sini saja"'

   Mendengar ucapan yang nyaring itu, para hwesio dan para tosu menoleh dan Mereka melihat munculnya seorang pemuda dari balik batang pohon yang tumbuh tidak jauh dari padang rumput itu. mereka semua heran. Mereka sembilan belas orang adalah orang-orang yang sudah memiliki tingkat kepandaian tin akan tetapi bagaimana tidak ada seorangpun yang tahu akan kehadiran pemuda Itu? Apakah karena mereka semua terlalu tegang dan mencurahkan seluruh perhatian kepada urusan mereka, ataukah memang pemuda itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi? Pemuda itu tidak terlalu mengesankan. Pemuda berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, nampak sederhana sekali, dengan pakaian seperti seorang pemuda petani saja.

   "Siancai..........! Darimanakah datangnya seorang pemuda yang begini la berani mencampuri urusan gawat orang-orang tua?" bentak seorang di antara para tosu.

   Akan tetapi Thian Gi Hwesio yang tadi pun nampak ragu-ragu setelah usulnya dibantah, memandang tajam.

   "Omitohud............! Orang muda yang gagah. Siapakah engkau dan apa maksud ucapanmu tadi?"

   Han Beng, pemuda itu, memberi hormat kepada semua pendeta itu, lalu berkata dengan sikap sungguh-sungguh.

   "Saya hanyalah seorang pemuda biasa yang lebetulan lewat di sini dan melihat, juga mendengar semua perbantahan antara Cu-wi Locianpwe (Para Orang Tua Gagah Sekalian). Saya merasa ikut prihatin, akan tetapi, semua pendapat dari para lo-cianpwe itu menurut saya, tidak akan dapat membuka jalan keluar. Bahkan akan semakin membesarkan nyala api permusuhan dan dendam."

   Thian Gi Hwesio mengerutkan alisnya yang tebal dan melintangkan toya-ya.

   "Hemmm, orang muda yang lancang mulut! Agaknya engkau berani mencela kami tentu sudah mempunyai kebijaksanaan yang lebih patut. Nah, katakanlah bagaimana cara yang baik menurut pendapatmu?"

   "Cu-wi Lo-cian-pwe bukan orang-orang muda dan merupakan orang-orang yag dipenuhi kebijaksanaan. Sepatutnya Cu-wi sudah mengetahui bahwa semua permusuhan, dendam kebencian, bukan datang dari luar melainkan datang dari dalam batin masing-masing. Oleh karena itu, melenyapkan permusuhan tidak mungkin dilakukan dengan cara menundukkan musuh yang berada di luar. Yang penting adalah mengalahkan musuh yang berada di dalam diri sendiri! Cu-wi Lo-cian-pwe dan sekalian pengikutnya, para hwesio dan para tosu yar terhormat, seyogianya mawas diri masirng-masing dan mengenyahkan semua dendam kebencian dari hati masing-masing, kalau sudah begitu, dengan sendirinya dak mungkin ada permusuhan. Kalau di dalam sudah padam, tidak mungkin menjalar dan membakar keluar. Nah, sukarnya kalau mulai detik ini juga Cu-wi masing-masing memadamkan api dalam itu dan dengan demikian ti ada lagi permusuhan dan dendam?"

   Amitohud...............! Enak saja memang kalau bicara, orang muda!" kata Thian di Hwesio.

   "Tidak ada kebakaran tanpa sebab, tidak ada dendam tanpa sebab! Bagaimana pinceng dan kawan-kawan mampu meniadakan dendam kalau teringat akan pembasmian kuil Siauw-lim-si?"

   "Siancai......... omonganmu memang tepat sekali, orang muda. Akan tetapi tanpa adanya penyelesaian sekarang, bagaimana mungkin kita merasa aman dan tenteram di masa mendatang? Pertikaian ini memang sudah seharusnya diselesaikan sekarang juga, kalau perlu melalui pengorbanan!" kata seorang tosu.
Han Beng tersenyum. Sudah baik kalau kedua pihak dari orang-orang tua yang kaku itu mau mendengarkan ucapannya, setidaknya dia telah memberi bahan renungan untuk mereka yang sedang dikuasai nafsu dendam dan amarah
.
"Maafkan saya yang muda dan bodoh, Cu-wi Lo-cian-pwe. Bukankah hidup ini sekarang? Kemarin dan masa lalu hanyalah hal-hal yang lewat, sudah lapuk dan sudah mati, perlu apa dipikirkan dan dikenang lagi? Adapun masa depan dan hari esok adalah hal-hal yang belum akan hanya khayalan dan gambaran pikiran, perlu apa dibayangkan? Yang penting adalah sekarang ini, saat ini. Memang, tidak ada perubahan tanpa pengorbanan dan dalam hal ini, yang menjadi korban adalah perasaan sendiri, bukan mengorbankan orang lain."

   "Omitohud.............! Agaknya orang muda ini diam-diam memang berpihak kepa para tosu maka dia menghendaki agar kita melupakan semua urusan yang lalu. Kalau kita teringat betapa mendiang Thian Cu Hwesio, ketua Siauw-lirn terpaksa membakar diri sampai mati gara-gara pengkhianatan mendiang Cun Bin Tosu, hati siapa tidak akan terbakar karena kejahatan tosu itu?" demikian seorang hwesio berseru marah.

   Thian Gi Hwesio lalu berkata kepada Han Beng.

   "Sudah, miggirlah, orang muda dan jangan mencampuri urusan kami. Maksudmu baik, akan tetapi tidak tepat. Pergilah engkau!"

   Berkata demikian, Thian Gi Hwesio menggerakkan tangan kirinya mendorong, tentu saja sambil mengerahkan sin-kang agar pemuda itu terkejut dan menyingkir. Akan tetapi, biarpun dari ujung lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang kuat ke arah pemuda itu, ternyata sama sekali tidak membuat pemuda itu bergoyang, apalagi mundur dan terkejut! Pemuda itu tetap tenang saja, bahkan ujung lengan baju itu yang balik seperti bertemu dengan benda kuat yang menghalang tiupan angin dorongan tadi.

   "Omitohud.............! Kiranya engkau memiliki kepandaian juga? Pantas saja berani mencampuri urusan kami!" bentak Thia Gi Hwesio yang berhati keras dan galak.

   "Nah, majulah orang muda. Kalau memang engkau hendak memamerkan kepandaian, maju dan lawanlah pincei sebelum engkau melanjutkan kelancanganmu!"

   Melihat sikap itu, Han Beng terkejut tak disangkanya bahwa usahanya mendamaikan kedua pihak yang bermusuhan itu diterima salah oleh kedua pihak pula. Bahkan kini ia ditantang oleh seorang hwesio yang kelihatannya galak dan lihai.

   "Maaf, Lo-cian-pwe. Saya bermaksud untuk melerai, mendamaikan dan melenyapkan permusuhan, bukan menanambah permusuhan baru!"

   "Kalau engkau tidak berani melawan pinceng, hayo cepat pergi dari sini!"

   Pada saat itu, terdengar suara ketawa halus dan tiba-tiba saja munculah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, pakainnya sederhana sekali dari kain putih.

   "Siancai..........., ini namanya orang-orang tua yang sepatutnya berguru kepada orang muda, akan tetapi merasa malu untuk mengakuinya!"

   Para tosu yang tadinya sudah bediri dan siap untuk berkelahi, begitu Melihat tosu ini, cepat mereka lalu memberi hormat dengan membongkok, bahkan ada yang segera berlutut kembali. Juga Thian Gi Hwesio dan para hwesio lain ketika melihat tosu tua renta ini, mereka terkejut dan cepat memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.

   Akan tetapi, Thian Gi Hwesio mengepulkan alisnya karena ada rasa khawatir juga penasaran dalam hatinya melihat munculnya kakek ini. Biarpun kakek ini, yang terkenal dengan nama Pek I Tojin, merupakan seorang pertapa suci dari Thai-san yang agaknya tidak mungkin mau mencampuri urusan dunia akan tetapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang tosu dan tentu akan berpihak kepada para tosu! Dan kalau kakek ini campur tangan, maka keadaan pihaknya akan menjadi gawat.

   Siapa yang tidak mengenal Pek I-Tojin, yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa saja? Bahkan suhengnya sendiri, mendiang Thian Cu Hwesio, pernah mengatakan kepadanya bah untuk jaman itu, sukar dicari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti Pek I Tojin. Mungkin hanya Hek Bin Hwesio saja, suheng dari Thian Cu Hwesio da lam perguruan kebatinan di Himalaya yang mampu mencapai tingkat itu.
.
Setelah memberi hormat, Thian Hwesio mewakili teman-temannya.

   "Omitohud, kiranya Lo-cian-pwe Pek I Tojin yang datang. Tidak tahu apakah kedatangan Lo-cian-pwe ini untuk membesarkan hati para tosu dan memberi pelajaran kepada kami?"

   Pek I Tojin tertawa lembut mendengar ucapan itu. Dia bersikap lembut dan tenang.

   "Siancai, Thian Gi Hwesio sungguh masih saja penuh semangat. Apakah engkau sudah lupa ketika pinto datang bersama Hek Bin Hwesio melerai keributan antara hwesio dan para tosu? Pinto tidak berpihak siapa pun seperti juga Hek Bin Hwesio tidak berpihak siapa pun. Masing-masing melerai dan menahan golongan sendiri, itu baru benar, sesuai dengan petunjuk pemuda bijaksana ini bahwa perdamaian dimulai dari keadaan hati sendiri. Diri sendiri yang harus ditundukkan, bukan orang lain."

   Melihat munculnya Pek I Tojin, seorang datuk yang amat mereka hormati, para tosu tadinya berbesar hati. Akan tetapi mereka pun teringat betapa tokoh besar yang satu ini tidak suka akan pertentangan, maka tentu kedatangannya ini akan berakibat teguran bagi golongan sendiri. Oleh karena itu, seorang di antara paru tosu sudah cepat memberi hormat dan berkata,

   "Lo-cian-pwe, kami ini para tosu mohon petunjuk karena kami didesak dan dimusuhi para hwesio yang marah-marah!"

   "Siancai, tidak ada kemarahan tanpa sebab dan tidak ada perselisihan timbul kalau kedua pihak tidak saling serang. Tak mungkin bertepuk tangan sebelah! Tak mungkin terjadi kebakaran kalau api tidak bertemu dengan bahan bakar. Para To-yu (sahabat), setelah pinto datang kalian minta petunjuk. Apakah benar kalian akan mentaati apa yang kunasihatkan?"

   "Kami taat!" Serentak para tosu itu menjawab karena mereka percaya sepenuhnya kepada datuk besar itu.

   "Nah, kalau kalian taat, sekarang juga kalian duduk bersila dan pasrah sepenuhnya. Kalau ada yang menyerang kalian, sampai membunuh kalian pun, kalian jangan bergerak dan jangan melawan!"

   Tentu saja para tosu terbelalak. Mereka berhadapan dengan para hwesio yang sedang marah besar dan sudah siap untuk menyerang, bagaimana mungkin mereka harus berdiam diri, menyerang tanpa perlawanan biar dibunuh sekalipun?

   "Akan tetapi bagaimana kalau para hwesio itu menyerang kami dan membunuhi kami, Lo-cian-pwe?"

   Pek I Tojin tersenyum.

   "Adakah manusia membunuh manusia lain kalau Tuhan tidak menghendaki? Kalau sampai kalian mati terbunuh, anggap saja sebagai penebusan dosa yang dilakukan oleh kawan-kawan terdahulu. Biar pinto yang duduk terdepan!" Berkata demikian Pek I lojin juga duduk bersila di depan para tosu lainnya dan dia pun berkata kepada para hwesio dengan lembut dan senyum ramah.

   "Nah, Saudara-saudara para hwesio, sekarang para tosu sudah menyerah dan tidak akan melawan sedikitpun juga. Terserah kepada kalian apa yang akan kalian lakukan kepada diri kami," berkata demikian Pek I Tojin lalu memejamkan mata dengan mulut tersenyum dan agaknya sudah pulas dalam samadhi. Para tosu lainnya juga meniru perbuatan ini.

   Para hwesio saling pandang dengan bingung. Jelas bahwa para tosu itu tidak lagi mau mengadakan perlawanan dengan kekerasan. Betapa mudahnya untuk melampiaskan nafsu amarah dan dendam. Tinggal menghajar saja mereka!

   Agaknya ada dua orang hwesio yang suah tidak sabar lagi. Melihat kesempatan baik itu terbuka, dua orang hwesio itu sudah bergerak dan melakukan serangan ke arah dua orang tosu yang bersila paling pinggir. Melihat gerakan dua orang hwesio ini, tiba-tiba toya di tangan Thian Gi Hwesio bergerak dan menyelonong ke depan, mendahului dua orang hwesio itu yang terdorong da mereka terjengkang! Tentu saja dua orang hwesio itu terkejut, heran dan penasaran melihat betapa bekas wakil ketua Siauw-lim-si itu bahkan menyerang mereka untuk mencegah mereka menyerang musuh.

   "Apa............ apa artinya ini!" mereka berseru.

   Wajah Thian Gi Hwesio menjadi merah sekali.

   "Tidak malukah kalian menyerang orang yang sudah tidak mau melawan? Sungguh perbuatan itu merupakan perbuatan pengecut dan tidak tahu malu! Kalau para tosu sudah tidak mau melawan, berarti mereka itu mengalah dan mengakui kesalahan rekan mereka. Kalau kita menyerang orang yang sudah tidak melawan, maka pihak kitalah yang menjadi sejahat-jahatnya orang! Pinceng melarang rekan-rekan kita untuk turun tangan terhadap para tosu yang tidak melawan. Mulai sekarang, kalau para Tosu tidak menggunakan kekerasan, kita tidak boleh menggunakan kekerasan! Lo-cian-pwe Pek I Tojin hendak menggunakan siasat yang lemah menundukkan yang keras, maka kita pun harus menggunakan kelemahan, bukan kekerasan dan menjadi kalah tanpa bertanding!" Setelah berkata demikian, Thian Gi Hwesio memberi hormat kepada Pek I Tojin dan para tosu lainnya, kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah lebar meninggalkan tempat itu. Sembilan orang hwesio lainnya juga mengikuti langkahnya itu sebentar saja mereka sudah meninggalkan puncak itu.

   Setelah para hwesio pergi, Pek I Tojin membuka matanya.

   "Siancai............! Bagaimanapun juga, Thian Gi Hwesio Jelas berwatak keras itu masih memiliki kebijaksanaan." Para tosu lainnya juga membuka mata mereka dan mereka itu merasa lega bahwa semua hwesio telah pergi.

   "Nah, kalian melihat sendiri buktinya bahwa kekerasaan hanya dapat ditundukkan oleh kelunakan. Apakah kalian masih meragukan hukum Tuhan yang mutlak ini?" Setelah berkata demikian Pek 1 Tojin kembali tersenyum dan ketika dia menggerakkan tubuhnya, nampak bayangan berkelebat dan dia pun lenyap dari situ. Para tosu memberi hormat ke arah lenyapnya Pek I Tojin kemudian mereka memandang kepada Han Beng yang sejak tadi menonton saja. Seorang di antara mereka menjura.

   "Orang muda, terima kasih atas bijaksanaanmu tadi."Setelah berkata demikian, para tosu juga pergi, mengambil arah lain dari arah yang diambil para hwesio.

   Namun, didalan hatinya, Han Beng masih menaruh curiga.Tadi, sikap para hwesio masih penasaran, apalagi orang yang ditangkis oleh Thian Ci Hwesio. Siapa tahu mereka itu masih belum dapat melenyapkan dendam. Maka, dengan perasaan tidak enak, Han Beng la berlari menuruni puncak, membayangi para hwesio yang turun menuju ke arah barat.

   Para hwesio itu berjalan dengan langkah lebar, akan tetapi dengan mudah Han Beng dapat menyusul dan membayangi mereka. Mereka berjalan tanpa bicara. Ketika mereka tiba di tepi sebelah hutan dan Han Beng sudah mulai saja bosan membayangi mereka karena selain mereka tidak bicara, juga agaknya tidak ada sesuatu yang patut dicurigai, tiba-tiba dari dalam hutan muncul kurang lebih dua puluh orang tosu yang memegang senjata dan tanpa banyak cakap lagi dua puluh orang tosu itu telah menyerang sepuluh orang hwesio itu. Tentu saja para hwesio menjadi marah. Mereka tadi memang hanya karena terpaksa oleh sikap Pek I Tojin saja menahan diri dan tidak menyerang para tosu yang tidak mau melawan. Kini, melihat dua puluh orang tosu muncul dari dalam hutan dan agaknya memang sengaja menghadang mereka dan menyerang dengan senjata pedang dan golok, sepuluh orang hwesio itu menjadi marah dan mereka pun mengantuk, dipimpin oleh 'lhian Gi Hwesio yang bersenjatakan toya!

   Han Beng yang menjadi penonton sambil bersembunyi dibalik batang pohon, menjadi bingung. Tentu saja tidak dapat menjadi pemisah setelah kedua pihak saling serang seperti itu. Akan tetapi dia melihat bahwa tak seorang pun di antara sembilan tosu yang tadi berada di antara para penyerbu itu Para tosu ini merupakan wajah-wajah baru! Juga melihat gerakan mereka, biarpun kesemuanya pandai ilmu silat namun dibandingkan dengan para hwesio yang rata-rata memiliki tingkat tinggi itu, mereka bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Dugaannya Beng Han belum ada sepuluh menit dua puluh orang tosu itu melakukan penyerbuan mereka sudah dapat dipukul mundur akhirnya mereka melarikan diri menuju hutan!

   Ketika ada hwesio yang hendak mengejar, Thian Gi Hwesio berseru,

   "Jangan kejar! Mengejar musuh di dalam hutan lebat amat berbahaya. Pula, kita harus setia kepada janji dalam sendiri. Mulai sekarang, kita tidak menjadi pihak menyerang. Kalau tosu menggunakan kekerasan, barulah kita membalas. Kalau mereka menggunakan kelembutan dan tidak menyerang, kita pun tidak boleh menyerang mereka. Kini, gerombolan tlosu yang menyerang kita sudah melarikan diri, tidak perlu dikejar lagi."

   Akan tetapi Han Beng sudah menyelinap dan berlari-lari di antara pohon-pohon dalam hutan. Dia membayangi para tosu yang melarikan diri karena dia menaruh hati curiga. Para tosu itu sudah menanti dan menghadang di tempat itu agaknya. Tentu mereka sudah tahu para Hwesio macam apa yang akan lewat dan mereka hadapi. Akan tetapi mereka itu tidak melakukan persiapan matang, dan mengajukan tosu-tosu yang tidak berapa tinggi kepandaiannya! Dan setelah menyerang belum berapa lama, belum ada diantara mereka yang terluka parah, tiba-tiba mereka melarikan diri! Sungguh gerakan ini mencurigakan sekali!

   Ternyata para tosu itu melarikan sampai menembus hutan dan keluar dari sisi lain, kemudian mereka mendaki sebuah bukit! Ini pun mencurigakan Jelas bahwa mereka hendak menghilarngkan jejak dengan melalui hutan itu. Orang akan menyangka bahwa mereka berkumpul di hutan itu, padahal hutan itu hanya sekedar untuk lewat saja!

   Setelah mendaki bukit yang penuh dengan hutan dan jurang yang curam itu, dan tiba di sebuah lereng di mana terdapat semacam perkampungan, mereka berhenti. Han Beng cepat menyelinap dekat untuk mendengarkan percakapancmereka. Seorang tosu yang tinggi kurus berkata kepada kawan-kawannya.

   "Kalian semua sudah tahu bahwa untuk bebera hari lamanya, sebelum ada perintah, kalian tidak boleh meninggalkan perkampungan. Kami bertiga akan melaporkan kepada Beng-cu (Pemimpin)."Setelah berkata demikian, tosu tinggi kurus dan dua orang lainnya melanjutkan perjalan menuju ke puncak, sedangkan tujuh belas orang tosu yang lain memasuki perkampungan itu. Sebagian dari mereka ketika memasuki pintu gerbang perkampungan yang terjaga itu, sudah menanggal jubah tosu dan di sebelah dalam jubah itu ternyata mereka mengenakan pakaian ringkas! Hemmmn, kiranya hanya tosu-tosu palsu, pikir Han Beng yang menjadi semakin curiga. Dia pun segera membayangi tiga orang tosu yang mendaki puncak, ingin tahu siapa yang mereka sebut Beng-cu itu dan apa yang akan mereka laporkan.

   Tiga orang itu kini dipuncak dan ternyata bahwa di puncak itu, tertutup oleh hutan yang mengelilingi puncak, terdapat sebuah bangunan besar dan baru.

   Ketika Han Beng menyelinap dan mengintai, dia melihat tiga orang tosu palsu itu langsung menuju ke pintu gerbang yang terjaga ketat dan pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan muncullah seorang perwira pasukan pemerintah, menunggang kuda dan dikawal oleh dua losin tentara. Melihat perwira ini, para penjaga pintu gerbang segera memberi jalan dengan sikap hormat.

   Han Beng termenung dan kecurigaannya semakin menebal. Melihat pakaian penjaga pintu gerbang itu, jelais bahwa mereka bukan tentara. Akan tetapi perwira dan para pengawalnya itu pasti pasukan pemerintah. Apa maksudnya berkunjung ke tempat aneh di pu cak bukit ini? Dan para tosu palsu itu pun ke situ untuk bertemu dengan bengcu atau pimpinan mereka! Tentu ada kaitannya antara pimpinan para tosu palsu dan perwira pasukan pemerintah!

   Tak lama kemudian, menggunakan ilmu kepandaiannya, Han Beng berhasil melompati pagar tembok tanpa diketahui para penjaga dan dia pun sudah menyelinap diantara pohon-pohon di taman bunga, mendekati bangunan dan dengan gerakan bagaikan seekor burung walet dia sudah meloncat ke atas genteng bersembunyi di balik wuwungan dan merayap seperti seekor kucing tanpa mengeluarkan suara untuk mengintai ke dalam.

   Akhirnya dia tiba diatas sebuah ruangan yang luas di mana terdapat berapa orang sedang duduk menghadapi meja besar dan bercakap-cakap. Han Beng yang mengintai dari atas, mengenal tiga orang tosu yang dipimpin tosu kurus tadi, juga melihat perwira yang tadi menunggang kuda berada pula di situ. Di kepala meja duduk seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih dan melihat orang ini, Han Beng terkejut. Sungguh seorang laki-laki yang menyeramkan. rambut, kumis dan jenggotnya masih hitam, tebal dan lebat, tidak terawat sehingga awut-awutan. Rambutnya keriting dan tebal sekali sehingga kepala itu seperti mengenakan topi bulu yang aneh. Mukanya persegi empat, dan muka itu sipenuhi brewok sehingga mirip muka seekor singa atau harimau.Tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, sepasang matanya juga mencorong seperti mata harimau. Kuku-kuku jari tangannya panjang meruncing. Mengesankan sekali orang ini dan menakutkan. Baru mel ihat keadaan tubuhnya saja mudah diduga bahwa ia tentu seorang yang memilliki tenaga kuat sekali dan tentu pandai pula, memiliki ilmu silat yang tinggi, Memang dugaannya ini tidak meleset dari kenyataan. Raksasa kulit hitam itu adalah seorang datuk sesat yang selama hampir dua puluh tahun ini menghilang di dunia kang-ouw. Ketika dia muncul kembali, dunia kang-ouw geger karena ia memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Munculnya menundukkan para datuk sesat sehingga sebentar namanya terkenal sekali dan dia diakui sebagai seorang datuk besar dunia hitam.

   Apalagi, disamping ilmu silatnya yang tinggi juga dia memiliki ilmu sihir dan kemunculannya membawa pula suatu aliran kepercayaan baru, yaitu penyembah Raja Setan yang disebut Thian-te Kwi-ong! Hebatnya, Cui-beng Sai-kong, demikianlah nama datuk ini, mampu mendatangkan Raja Setan yang disembah-sembah itu! Karena dia dapat membuktikan hal-hal yang aneh, disamping dia yang memiliki kepandaian silat dan sihir yang ampuh, sebentar saja banyak orang yang terdiri dari para datuk sesat yang takluk kepadanya dan menjadi pengikut atau anggauta perkumpulan atau aliran kepercayaan itu! Aliran kepercayaan yang menyembah dan memuja Raja setan."

   Seperti kita ketahui, Hok-houw To to Lui Seng Cu juga seorang penyembah Thian-te Kwi-ong dan orang itu adalah murid pertama atau pembantu pertama dari Cui-beng Sai-kong! Dari raksasa hitam inilah Lui Seng Cu menerima aliran kepercayaan baru itu dan dia pun bertugas untuk menyebar-luaskan kepercayaan itu dan akhirnya, seperti kita ketahui, Lui Seng Cu berhasil mengait Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu menjadi angautanya!

   Di dekat kursi Cui-beng Sai-kong yang disebut beng-cu (pemimpin) oleh para tokoh sesat itu, duduk pula seorang kakek yang lebih tua. Usia kakek itu tentu sudah lebih dari tujuh puluh, dan pakaiannya seperti seorang tosu. Tubuhnya pendek, dengan kaki dan tangan yang pendek. Akan tetapi pedang yang tergantung dipunggung belakang itu panjang dan melengkung, semacam pedang Samurai dari Jepang. Jubahnya berwarna kuning dan rambutnya yang sudah putih digelung keatas. Dia ini bukan lain adalah Tung-hai Cin-jin, seorang tosu perantau yang berasal dari pantai timur. Tung-hai Cin-jin tadinya penasaran dengan munculnya Cui-beng Sai-kong dan dia pernah mencoba kepandaian datuk sesat itu. Akan tetapi dia kalah jauh dan tosu perantau ini tunduk dan suka ditarik menjadi pembantu beng-cu itu. Apalagi karena Tung-hai Cin-jin juga tertarik kepada aliran kepercayaan itu yang menjanjikan kesaktian dan juga usia panjang!

   Han Reng mendengarkan percakapan lima orang-orang itu dengan hati terarik. Ketika itu, perwira yang agaknya menjadi tamu itu menepuk meja dengan wajah gembira.

   "Bagus! Jadi berhasil baik rencana kita, Beng-cu? Ah, harap ceritakan bagaimana hasilnya!"

   "Tadinya memang mengkhawatirkan sekali, Ciangkun," kata Tung-hai Cin-jin yang duduk di sebelah pemimpinnya, pinto bertugas untuk mengamati pertemuan antara rombongan hwesio dan tosu di puncak Bukit Kijang. Mereka sudah saling siap untuk bertempur ketikaa tiba-tiba muncul seorang pemuda seorang pertapa yang berhasil melerai sehingga dua pihak tidak jadi berkelahi."

   "Wah, sungguh sayang sekali kalau begitu!" kata perwira itu kecewa.

   "Akan tetapi, rombongan tosu palsu yang kita buat telah berhasil meny ergap para hwesio itu di luar hutan!" kata Cui-beng Sai-kong dengan bangga. kita sekarang tinggal menanti hasil penyergapan para hwesio palsu buatan yang bertugas untuk menyerang rombongan tosu itu."

   Perwira itu mengangguk-angguk, sukurlah kalau berhasil. Para hwesio dan tosu itu merupakan orang-orang yang keras kepala. Merekalah yang merupakan golongan yang menentang kebijaksanaan pemerintah. Karena pengaruh mer eka maka rakyat juga menentang pembuatan terusan dan mereka kurang semangat Padahal, pembangunan terusan itu membutuhkan biaya yang amat banyak, teruutama tenaga manusia yang besar jumlahnya. Para hwesio dan tosu itu, terutama para hwesio Siauw-lim-si, merupakan penghambat besar. Karena itulah maka kita mengadakan siasat mengadu domba antara mereka agar mereka sibuk dengan permusuhan mereka sendiri dan tidak ada lagi waktu untuk mengganggu lancarnya pembangunan terusan."

   Cui-beng Sai-kong tertawa.

   "Serahkan saja kepada kami, Ciangkun. Asal Ciangkun tidak lupa memberi laporan yang baik buat kami ke atasan Ciang-kun."

   Perwira itu tertawa pula.

   "Jangan khawatir, Bengcu. Bukankah selama ini kami dari pihak pasukan pemerintah telah bekerja sama dengan baik sekali denganmu? Bukankah kami juga mengakui kedaulatan dan kekuasaanmu di antara para tokoh kang-ouw?"

   Para pelayan wanita datang membawa hidangan dan mereka pun makan minnum dengan gembira. Tak lama kemudian, muncullah tiga orang hwesio palsu, kepala mereka memang tidak berambut, akan tetapi pakaian mereka telah menjadi pakaian yang ringkas karena mereka telah menanggalkan jubah pendeta mereka seperti yang dilakukan para tosu tadi sebelum mereka memasuki ruangi itu. Setelah memberi hormat kepada pimpinan mereka dan orang-orang lain dan dipersilakan duduk, seorang di antara tiga orang "hwesio" ini lalu membuat laporan.

   Seperti juga rombongan tosu palsu yang menghadang para hwesio, juga tiga orang hwesio palsu itu melaporkan tapa mereka dengan rombongan hwesio palsu telah berhasil menghadang dan menyerang para tosu yang meninggal puncak Bukit Kijang. Mereka pun dipukul mundur, akan tetapi mereka berhasil membuat para tosu yang mereka serang itu tentu saja menjadi marah dan permusuhan di antara kedua pihak kobar lagi
.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Beng-cu kami akan melaporkan hasil ini kepa atasan kami dan tentu Bengcu dan kawan-kawan akan menerima balas jas kata perwira itu.

   Han Beng sejak tadi mendengarku mengepal tinju. Sungguh licik dan jahat orang-orang ini, pikirnya. Kini, tanpa ragu lagi dia dapat membayangkan mengapa permusuhan antara para tosu dan para hwesio semakin meluas sejak Siauw-lim-si dibakar. Tentu juga atas usaha orang-orang seperti inilah maka kedua pihak itu semakin mendendam dan saling membenci.Tentu ada di antara mereka ini yang membunuh tosu dengan menyamar sebagai hwesio atau sebaliknya. Dia bergidik membayangkan betapa luasnya akibat yang disebabkan oleh usaha yang amat jahat itu. Tentu para hwesio dan para tosu menjadi semakin saling membenci. Apalagi dilandasi perbeda agama, maka permusuhan itu akan jadi malapetaka yang mengerikan.

   "Sungguh keji sekali kalian ini orang-orang jahat!" bentaknya dan di lain saat, tubuhnya sudah melayang turun ke dalam ruangan itu. Tentu saja semua yang menjadi terkejut bukan main ketika melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah telah berdiri disitu, menentang mereka dengan pandangan mata mencorong penuh kemarahan.

   Cui-beng Sai-kong adalah seorang datuk besar yang sadar akan kemampuannya, maka biarpun diam-diam dia terkejut melihat munculnya seorang pemuda tanpa dia ketahui kehadirannya tadi, namun dia bersikap tenang saja.

   Perwira itulah yang terkejut dan marah.

   "Wah, ada mata-mata musuh kesini! Dia harus ditangkap!" Perwira itu mengeluarkan teriakannya sebagai aba-aba dan dari luar ruangan yang luas iti berhamburan masuk dua lusin perajurit pengawalnya! Atas isarat yang diberikan oleh perwira itu sendiri yang sudah mencabut pedang dan memimpim langsung pasukannya, Han Beng segera dikepung.

   "Hemmm, mata-mata keparat! Menyerahlah engkau sebelum kami melakukan kekerasan! Menyerahlah untuk kami tangkap!"

   Han Beng bersikap tenang.

   "Ciangkun, aku tidak dapat menyalahkan engkau karena bagaimanapun juga, engkau adalah seorang perwira yang melaksanakan tugas untuk atasanmu. Akan tetapi, mereka ini adalah orang-orang jahat yang ingin mengadu domba dan mencelakakan orang lain hanya untuk mendapatkan imbalan jasa. Merekalah yang kutentang bukan engkau, Ciangkun!"

   Akan tetapi perwira itu tidak peduli dan memberi aba-aba untuk menyerang pemuda itu.

   "Tangkap dia dan bunuh kalau melawan!" bentaknya. Dua lusin perajurit itu bergerak dan banyak sekali tangan dijulurkan untuk mencengkeram dan menangkap Han Beng. Akan tetapi pemuda ini meloncat dan mereka semua hanya mencengkeram udara kosang. Tahu-tahu pemuda itu telah berada di luar kepungan. Mereka membalik dan kembali mengepung, sekali ini mereka mempergunakan senjata untuk menyerang. Han Beng menggerakkan kaki tangannya dan segera terdengar para pengepungnya berrteriak kesakitan, pedang, dan golok beterbangan dan lima orang roboh susul-menyusul oleh dorongan tangan, tamparan atau tendangan kakinya. Namun, Han Keng membatasi tenaganya karena dia tidak ingin membunuh orang.

   Perwira itu marah sekali. Dia meloncat, menubruk dengan pedangnya yang menyambar ganas kearah leher Han Beng.

   "Aku tidak mau bermusuhan dengan pasukan pemerintah!" kata Han Beng dan tangan kirinya menyambar, menangkap pedang itu. Perwira itu membetot sekuat tenaga, namun pedang seperti terjepit jari-jari baja saja. mengerahkan tenaga sekuatnya, menarik lagi dan tiba-tiba saja dia terjengkang dengan pedang yang tinggal sepotong karena yang sepotong lagi tertinggal tangan Han Beng!

   Melihat kehebatan pemuda ini, yang begitu saja menangkap pedang telanjang komandan mereka, apalagi kemudian mematahkannya, para perajurit menjadi gentar dan ragu-ragu untuk melanjutkan pengeroyokan mereka. Sebelum perwira itu dapatmemberi aba-aba baru karena dia sendiri masih terkejut melihat kelihaian pemuda itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Saudara-saudara mundurlah semua. Biarkan pinto yang menghadapi bocah sombong ini!"

   Yang berteriak ini adalah Tung-hai Sin-jin, tosu tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu. Melihat majunya pembantu utama dari Bengcu, perwira itu yang merasa jerih kepada Han Beng memberi isarat kepada anak buahnya dan pasukan itu pun memundurkan diri dan keluar dari ruangan itu. Kini,kakek pendek itu sudah berhadapan dengan Han Beng. Melihat kakek ini, Han Beng merasa seperti sudah pernah melihatnya, akan tetapi dia lupa lagi entah kapan dan di mana.

   "Orang muda," kata Tung-hai Cin-Jin dengan sikap penuh wibawa.

   "Engkau ini orang yang masih muda sekali akan tetapi berani lancang mencampuri urusan orang lain! Siapakah namamu dan siapa yang menyuruhmu menjadi mata-mata di sini?"

   "Totiang, sungguh aku merasa heran sekali. Engkau juga seorang tosu, tetapi setidaknya berpakaian sebagai seorang tosu. Akan tetapi mengapa engkau
ikut pula mengotorkan tanganmu mengatur rencana permusuhan antara para hwesio dan para tosu sendiri? Tidak ada yang menyuruh aku, akan tetapi aku tadi melihat ketika para tosu palsu menghadang para hwesio, maka aku mengikuti tosu-tosu palsu itu kesini."

   "Siancai, pemuda yang besar mulut. Engkau tidak tahu bahwa engkau berhadapan dengan Tung-hai Cin-jin! Hayo cepat engkau berlutut dan minta ampun baru mungkin aku dapat mintakan ampun untukmu kepada Beng-cu!"

   Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kini Han Beng teringat. Pernah gurunya yang pertama, yaitu Sin-tiauw Liu Bhok Ki, menceritakan kepadanya siapa-siapa saja para tokoh kang-ouw yang ikut memperebutkan anak naga di kedung maut Sungai Huang-ho, bahkan kemudian memperebutkan dia dan Giok Cu karena dia dan Giok Cu telah menghisap darah anak naga. Dan menurut guru yang pertama itu, di antara para to kang-ouw itu terdapat yang bernama Tung-hai Cin-jin dan kini dia pun teringat.

   "Ah, kiranya Totiang adalah petualang yang dimana pun selalu mengejar keuntungan itu! Pernah kita saling bertemu, Totiang, kurang lebih sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, di tepi pusaran maut Sungai Huang-ho!"

   Tosu itu mengerutkan alisnya dan ia memandang dengan sinar mata penuh perhatian. Lalu dia menuding dengan telunjuk kirinya, sedangkan tangan kanan meraba gagang samurainya.

   "Bagus! Kiranya engkau bocah penghisap darah naga Ho-ho, sungguh kebetulan sekali, pinto semakin tua dan membutuhkan sekali darahmu untuk obat kuat dan panjang umur!"

   "Aha, jadi itukah bocah yang pernah kau ceritakan kepadaku, Tung-hai Cin-jin? Kalau begitu, tangkaplah dia untukku!" tiba-tiba Cui-beng Sai-kong berseru gembira. Dia sudah mendengar cerita pembantunya itu tentang perebutan mustika dan darah naga di Sungai Huang-ho, maka mendengar bahwa pemuda itu adalah anak yang menghisap darah naga, tentu saja dia tertarik sekali.

   Tung-hai Cin-jin mengerutkan alisnya dan ingin dia menampar mulut sendiri. Kenapa dia membuka rahasia itu di depan bengcu! "Beng-cu, pin-to............ pinto sudah tua dan loyo, amat membutuhkan darahnya................"

   "Bodoh! Darah itu kini telah menjadi banyak setelah dia dewasa, lebih dari cukup untuk kita berdua!"

   Tung-hai Cin-jin merasa terhibur juga. Ucapan itu menyatakan bahwa dia tentu akan mendapat bagian dari darah pemuda ini yang amat dia butuhkan. Maka terdengar suara berdesing dibarengi sinar berkilat menyilaukan mata ketika dia mencabut pedang samurai dari belakang punggungnya. Han Beng melihat i ni maklum bahwa tosu tua itu ahli bermain pedang dan bahwa pedang yang panjang melengkung itu tajam bukan main. Dia sejak tadi sudah menyadari sepenuhnya bahwa dia memasuki tempat berbahaya, gua harimau dan akan menghadapi orang-orang berbahaya. Oleh karena itu, ketika dia masuk tadi, dia sudah mematahkan sepotong dahan pohon sebagai tongkat untuk dipakai sebagai senjata.

   Kini, dengan potongan kayu sebesar lengan itu di tangan, dia bersikap tenang.

   "Hemmm, kiranya engkau pun hanya seorang tosu yang palsu saja, Tung-Hai Cin-jin. Seorang tosu yang tulen tentu telah dapat menguasai nafsu-nafsunya dan hidup selaras dengan To, tidak seperti engkau yang masih diperbudak oleh nafsu-nafsu sendiri."

   "Bocah sombong, pinto membutuhkan darahmu!" Berkata demikian, kakek itu lalu menggerakkan pedangnya. Pedang itu panjang dan melengkung, berat dan Tung-Hai Cin-jin mempergunakan kedua tangan untuk memegang gagangnya dan menyerang. Serangannya itu cepat dan kuat bukan main. Sungguh aneh permainan pedangnya itu, menggunakan kedua tangan! Akan tetapi, ketika Han Beng mengelak, pedang itu sudah datang lagi menyambar dari arah yang berlawanan! Ternyata biarpun dia mempergunakan dua tangan, namun gerakan pedang itu tidak kalah cepatnya seperti kalau digerakkan oleh satu tangan saja.

   Han Beng segera mengelak lagi sambil mulai memainkan tongkatnya. Dia telah mempelajari ilmu tongkat dari Sin-ciang Kay-ong, ilmu tongkat yang menjadi andalan guru ke dua itu, yang d namakan "Tongkat Dewa Mabuk"! Tongkat di tangannya menyambar kacau, ri ngan gerakan miring dan kadang-kadang seperti tidak akan mengenai sasaran akan tetapi dengan gerakan menyerong itu ujung tongkat mengancam jalan darah yang berbahaya di tubuh lawan!

   Tung-hai Cin-jin terkejut dan cepat memutar pedangnya untuk membabat tongkat yang hanya terbuat dari dahan pohon itu agar patah-patah. Namun, gerakan tongkat itu aneh sekali dan selain dapat menghindarkan setiap bacokan untuk disusul dengan pukulan atau totokan tongkat.

   Tung-hai Cin-jin merasa penasaran dan dia memutar pedang semakin cepat sehingga nampaklah gulungan sinar pedang yang putih kemilauan, menyambar-nyambar dengan bunyi berdesing-desing Namun, Han Beng selalu dapat mengelak dan tongkatnya yang sederhana berubah menjadi gulungan sinar hijau. Tadinya, pada dahan itu masih menempel beberapa lembar daun. Kini, daun-daun itu sudah rontok, akan tetapi sebelum rontok, sudah berkesempatan untuk lebih dulu menyambar kearah tubuh Tung-hai Cin-|in. Dua helai daun tadi telah menyambar dan menampar kedua pipi kakek itu. Hanya daun terbang, akan tetapi karena mengandung tenaga kuat, maka kedua pipi itu menjadi merah sekali!

   Kakek itu memang amat hebat dengan pedang samurainya. Namun, dia sudah terlalu tua u ntuk berkelahi dalam waktu lama. Sebentar saja, tubuhnya sudah basah dengan keringat dan napasnya mulai terengah-engah. Melihat keadaan pembantunya itu, diam-diam Cui-beng Sai-kong terkejut juga. Dia mengenal kepandaian kakek pendek itu yang cukup lihai. Akan tetapi melawan pemuda ini, belum juga dua puluh jurus lamanya, Tung-hai Cin-jin sudah terdesak dan terengah-engah.

   "Bocah sombong, lihat seranganku!"

   Dia membentak dan kakek tinggi besar hitam seperti raksasa itu sudah meloncat kedalam medan pertempuran, kedua lengannya diayun dan angin menyambar ke arah Han Beng yang pada saat itu sedang menahan pedang samurai lawan dengan tongkatnya. Cepat dia melepaskan pedang itu dari tempelan tongkatnya sambil melompat kebelakang. Namun, angin pukulan itu tetap saja masih membuat dia terhuyung kebelakang. Dari belakang, ada beberapa orang pembantu beng-cu itu menyambutnya dengan serangan golok dan tombak. Akan tetapi Han Beng melempar tubuh ke bawah menggelinding ke arah mereka dan begitu tongkatnya bergerak, dua orang pengeroyok telah roboh tertotok sambungan lutut mereka! Dia meloncat bangun kembali dan kini bersikap hati-hati, karena dia maklum betapa lihainya beng-cu itu.

   Cui-beng Sai-kong yang melihat betapa pemuda itu bukan saja berhasil menghindarkan diri dari serangannya, bahkan sambil menggelundung tadi tadi merobohkan pula dua orang pembantunya yang cukup lihai, menjadi marah dan penasaran. Kalau dia tidak cepat merobohkan pemuda itu, tentu kebesarannya akan tercemar! Sekali menggerakkan tubuhnya, dia telah meloncat ke depan Han Beng. Dan mulailah dia menyerang dengan gerakan aneh dan cepat, juga kedua tangannya yang menyambar-nyambar itu mengeluarkan suara berkerotokan seolah-olah semua tulangnya Itu saling beradu, dibarengi menyambarnya angin dahsyat. Serangkaian serangan terdiri dari sembilan pukulan dan cengkeraman yang bertubi-tubi datangnya dapat dihindarkan oleh Han Beng dengan elakan dan loncatan kesana-kemari. Gerakan tubuhnya lincah sekali sehingga dia berhasil lolos. Namun, kembali dia terhuyung karena serangan-serangan itu mendatangkan angin pukulan yang mendorong dengan kuatnya. Sebagai balasan, ketika dia melihat kesempatan setelah lewatnya serangkaian serangan itu, ujung tongkatnya bergerak lengan ujungnya berputaran kedepan muka lawan. Kalau lawannya tidak lihai sekali, tentu akan bingung dan pandang matanya kabur melihat ujung torgkat berputaran didepan mata seperti itu. Namun tidak demikian dengan Cui-ben Sai-kong yang selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki pengalaman yang matang dalam soal perkelahian. Sudah banyak dia menghadapi lawan-lawan tangguh, maka biarpun ilmu tong kat yang dimainkan pemuda itu aneh dan membingungkan, namun dia tidak menjadi gentar dan tiba-tiba saja tangan kanannya menyambar kedepan, mencengkeram ke arah pusar lawan sedangkan tangan kirinya diputar sedemikian rupa untuk menangkap ujung tongkat itu! Tentu saja Han Beng tidak mau tongkatnya tertangkap lawan. Dia menarik tongkatnya dan menghindarkan cengkeraman itu dengan memiringkan tubuh ke kanan. Akan tetapi, dari atas, tangan kiri yang diputar tadi telah menyambar, mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dan tangan kanan yang luput mencengkeram tadi pun sudah menyambar dari samping dengan pukulan tangan terbuka yang dasyat sekali!

   Han Beng terkejut, cepat dia mengelak lagi sambil melompat ke atas, kini menggunakan gerakan dari Hui-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) yang dipelajarinya dari Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Gerakannya cepat dan tubuhnya bagaikan bersayap saja. Dari atas, tongkatnya kembali menyambar ke bawah, kearah tengah kepala lawan. Kini kakek itu yang terkejut.

   "Aihhhhh.............!" Dia mendengus, akan tetapi biarpun dia sudah mengelak sambil menggunakan kedua tangan untuk melindungi kepala, berusaha menangkap tongkat, namun tongkat itu menyeleweng ke samping dan berhasil mencium pundaknya.

   "Tukkk!" Pundak itu dilindungi kekebalan yang luar biasa sehingga ujung tongkat terpental. Keduanya terkejut. Han Beng terkejut karena hampir saja tongkat yang berhasil menotok pundak Itu patah, sudah melengkung, dan sebaliknya kakek itupun terkejut karena biarpun dia mampu menyelamatkan pundaknya dengan perlindungan kekebalan, namun tetap saja pundaknya terasa nyeri, tanda bahwa tenaga di dalam tongkat itu sungguh amat kuatnya! Mau tidak mau, Cui-beng Sai-kong terhuyung. Akan tetapi pada saat itu, Tung-hai Cin-jin sudah menyerang lagi dengan samurainya disabetkan dari kanan ke kiri membabat pinggang Han Beng. Kalau mengenai sasaran, agaknya pemuda itu akan sukar menyelamatkan diri dan tubuhnya tentu akan buntung menjadi dua potong! Dia melempar tubuh ke belakang, tongkatnya diputar di sebelah kirinya menyambut pedang itu yang begitu bertemu tongkat Ialu ikut terputar dan hampir terlepas dari tangan kakek tua renta itu. Tung-hai-Cin-jin terkejut, cepat menarik kembali samurainya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. Akan tetapi, kini Cui-beng Sai-kong sudah mengerahkan tenaga dalam dan menggunakan ilmu hitamnya. Dia mengeluarkan suara menggereng seperti auman singa marah dan se galanya tergetar hebat oleh auman itu. Inilah semacam ilmu Sai-cu Ho-kang (Tenaga Auman Singa) yang amat ampuh dapat menggetarkan dan melumpuhkan lawan. Ilmu ini memang diambil pengaruh dari auman singa. Seekor singa harimau atau binatang buas lain, serta mempergunakan kekuatan auman ini untuk melumpuhkan lawan.

   

Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 9 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 6 Si Bayangan Iblis Eps 7

Cari Blog Ini