Ceritasilat Novel Online

Naga Sakti Sungai Kuning 22


Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 22




   Melihat majunya tiga orang pemuda ini, seorang pemuda lain yang juga duduk sebagai tamu terhormat di atas panggung, hanya tersenyum, senyum mengejek. Dia adalah seorang pemuda tinggi kurus yang berwajah tampan dan berpakaian mewah. Seorang pesolek yang berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Pemuda ini bernama Siangkoan Tek, yang datang bersama ayahnya pula, yaitu Siangkoan Bok, majikan Pulau Hiu yang terkenal sebagai datuk para bajak laut di sepanjang pantai Shantung. Siangkoan Tek seorang pemuda pesolek yang mata keranjang. Dia pun, seperti Ji Ban to ingin memamerkan kepandaian dan membuat jasa di Thian-te-pang untuk menarik perhatian para anggauta perempuan perkumpulan itu. Akan tetapi Siangkoan Tek memiliki watak yang angkuh. Dia merasa bahwa ilmunya jauh lebih tinggi daripada tiga orang pemuda itu yang sudah menjadi kenalannya sejak lama. Dia tidak mau merendahkan diri dengan melakukan pengeroyokan.

   Sementara itu, melihat tiga orang pemuda itu menghadapinya dengan sikap menantang, Hong San tersenyum mengejek. Dia bertanya kepada dua orang pemuda yang maju lebih dulu.

   "Apakah kalian berdua murid Lui Sei Cu dan kalian juga anggauta Thian-te kauw?"

   "Benar sekali!" jawab Siok Boan tegas.

   "Karena itu, kami mewakili Su dan Thian-te-kauw untuk menghajarmu!"

   "Bagaimana dengan engkau? Apakai engkau juga anggauta Thian-te-kauw? Hong San bertanya kepada Ji Ban To.

   Ji Ban To menggeleng kepala.

   "Aku adalah seorang tamu, murid dari Suh Ouw Kok Sian yang menjadi tamu kehormatan. Sebagai seorang tamu yang baik, aku tidak dapat tinggal diam saja melihat tuan rumah dihina orang, namaku Ji Ban To!" Ketika mengeluarkan kata-kata ini, pemuda kurus kering itu membusungkan dadanya yang kerempeng sambil mengerling ke arah tempat duduk para gadis anggauta Thian-te-kauw yang manis-manis itu.

   Hong San tertawa mengejek.

   "Ha-ha-ha, kalian ini seperti cucu-cucu muridku yang hendak melawan kakek guru. Nah, majulah, hendak kulihat sampai di mana kemajuan kepandaian cucu-cucuku!"

   Mendengar ucapan itu, tiga orang pemuda itu menjadi marah bukan main. Mereka dianggap cucu-cucu murid! Tidak ada penghinaan yang lebih hebat daripada itu, karena dipandang rendah sekali.

   "Can Hong San manusia sombong, sambutlah serangan kami!" bentak Siok Boan yang mendahului sutenya, menyerang dengan dahsyat sekali, menghantamkan kepalan tangan kanan ke arah kepala Hong San. Sutenya, Poa Kian So, juga mengeluarkan bentakan dan menyerang pula dari samping kiri dengan ccngkeraman tangan kiri ke arah dada Hong San.

   Menghadapi serangan dua orang ini Hong San mengelak dua kali dan pada saat itu, Ji Ban To memekik dan kaki kanannya menendang. Kaki itu kurus hanya tulang dibungkus kulit, akan tetapi karena terlatih dan tendangan itu memang dahsyat, maka tidak boleh dipandang ringan. Hong San juga mengelak dengan miringkan tubuhnya. Dia membiarkan tiga orang pengeroyoknya mengepung dan melancarkan serangan bertubi kepadanya. Semua serangan itu dengan mudah dapat dia gagalkan dengan elakan atau tangkisan. Dia belum mempergunakan kepandaiannya, belum mengerahkan tenaga sin-kangnya sehingga kelihatannya perkelahian itu berjalan seru, bahkan nampaknya Hong San di desak terus oleh tiga orang pengeroyoknya sehingga tidak sempat membalasnya. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian. Tiga orang itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh dibawah tingkat kepandaian Hong San. Kalau tadi dia mengejek bahwa mereka itu seperti cucu-cucu muridnya, ejekan ini bukan hanya kosong belaka. Tingkat kepandaian Hong San memang sudah tinggi, sebanding dengan tingkat kepandaian mendiang Cui-beng Sai-kong, maka tingkat kepandaian tiga orang pemuda itu memang pantas menjadi cucu muridnya.

   Kalau Hong San tidak cepat merobohkan tiga orang lawannya, hal itu bukan karena dia beriktikad baik atau menaruh hati kasihan kepada mereka, sama sekali tidak. Hanya dia ingin mendatangkan kesan yang mendalam bahwa dia benar seorang pemimpin yang bukan saja mampu menundukkan anggautanya, juga mampu bersikap murah, seperti seorang guru besar terhadap muridnya.

   Karena dia tidak menonjolkan diri, maka dalam penglihatan para murid Thian-te-kauw yang tingkat kepandaiannya belum begitu tinggi, nampaknya Hong San terdesak terus oleh tiga orang itu tanpa mampu membalas serangan sehingga mulailah para anggauta itu bersorak memberi semangat kepada dua orang kakak seperguruan mereka dan seorang tamu yang membela tuan rumah. Bahkan Siangkoan Tek, yang tingkat kepandaiannya sudah jauh melampaui tingkat dua orang murid Thian-te-kauw itu, tertipu pula. Dia menganggap bahwa kepandaian pemuda yang datang mengacau itu tidak berapa tinggi! Akan tetapi mereka yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, seperti Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, Siangkoan Bok, Ouw Kok Sian dan masih ada beberapa orang lagi di pihak tamu undangan, diam-diam terkejut. Mereka ini melihat betapa Hong San seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya, hanya mengelak atau menangkis dan sengaja tidak mau membalas! Dan yang membuat mereka terkejut adalah kecepatan gerakan pemuda itu. Beberapa serangan para pengeroyok itu nampaknya pasti akan mengenai tubuhnya akan tetapi pada detik terakhir, dia menggerakkan tubuhnya dan serangan itu luput!

   Tiga orang pengeroyok itu pun terkejut dan merasa penasaran sekali. Sudah jelas bahwa orang yang mereka keroyok itu tidak mampu membalas, nampak repot sekali mengelak dan menangkis, akan tetapi anehnya, tidak sebuah pun pukulan yang mengenai sasaran, bahkan menyentuh pun tidak mampu! Mereka menjadi semakin penasaran dan menyerang semakin ganas dan cepat, seolah mereka bertiga itu berlumba untuk lebih dahulu merobohkan lawan yang mereka keroyok.

   Akan tetapi, Hong San yang sudah merasa cukup menahan serangan mereka, tiba-tiba menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali. Dari kedua tangannya menyambar hawa pukulan yang amat kuat. Ketika dia mengembangkan kedua lengannya dengan gerakan mendorong sambil mengeluarkan seruan keras, tubuh tiga orang pengeroyok itu terlempar dan terus terpelanting sampai ke bawah panggung!

   "Bocah sombong, terpaksa aku turun tangan menghajarmu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua orang melihat bahwa Siangkoan Tek, seorang di antara tamu kehormatan, telah meloncat di depan Hong San deng pedang telanjang di tangannya. Ayahnya Siangkoan Bok terkejut melihat ini akan tetapi dia tidak sempat mencegahnya, dan karena puteranya sudah maju, tentu akan memalukan sekali dan menjatuhkan nama besarnya kalau dia menyuruh anaknya mundur kembali. Maka, dia pun hanya menonton dengan penuh perhatian siap setiap saat untuk melindungi puteranya.

   Melihat seorang pemuda tinggi kurus dan tampan pesolek berdiri di depannya dengan pedang di tangan, Hong San bertanya,

   "Apakah engkau juga seorang cucu muridku?"

   Siangkoan Tek memandang dengan mata melotot.

   "Aku Siangkoan Tek bukan anggauta atau murid Thian-te pang, akan tetapi sebagai seorang tamu yang dihormati, aku tidak bisa membiarkan saja engkau membikin kacau di sini. Kalau engkau memang sudah bosan hidup keluarkan senjatamu dan lawanlah pedangku!" Berkata demikian, Siangkoan Tek mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara mendesing disertai kilatan sinar pedang. Pemuda ini tidak boleh disamakan dengan tiga orang pemuda yang baru saja kalah tadi. Dia sudah menguasai semua ilmu ayahnya dengan baik sehingga tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat ayahnya. Ini pula yang membuat ayahnya membiarkan dia menghadapi pemuda yang dianggap pengacau itu, karena bagaimanapun juga, Siangkoan Bok percaya akan kemampuan puteranya.

   Hong San teringat akan keterangan yang pernah dia dengar dari ayahnya.

   "Aku pernah mendengar nama besar Majikan Pulau Hiu yang bernama Siangkoan liok, tidak tahu apakah engkau ada hubungan dengan dia, Sobat?"

   Siangkoan Tek membusungkan dadanya.

   "Beliau adalah Ayahku!"

   "Aha! Pantas engkau begini gagah. Aku akan merasa senang sekali kalau kelak Thian-te-pang mendapat bantuan seorang muda seperti engkau!"

   "Tidak perlu banyak cakap, keluarkan senjatamu dan lawanlah aku!" Siang-koan Tek kembali membentak. Kalau bukan di tempat ramai dan disaksikan banyak orang, tentu dia sudah menyerang lawan yang tidak bersenjata itu agar cepat dia dapat merobohkannya.

   Hong San tidak gentar menghadapi pedang di tangan Siangkoan Tek, akan tetapi dia pun maklum bahwa perbuatannya yang nekat ini tentu akan mendapat tentangan dari semua orang, maka di harus memperlihatkan ilmu kepandaiannya untuk menundukkan mereka semua. Dengan sikap tenang dia pun mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.

   "Aku sudah siap berpi-bu (mengadu ilmu silat) dengan siapa saja yang tidak mau mengakui bahwa akulah yang paling berhak memimpin Thian-te-kauw sebagai penerus mendiang Ayahku, Cui-beng Sai-kong Can Siok! Dan untuk menghadapi senjatamu, aku cukup mempergunakan suling ini!" Setelah berkata demikian, Hong San menempelkan suling itu di bibirnya dan dia pun meniup dan memainkan sebuah lagu rakyat melalui suara sulingnya yang merdu.

   Semua orang merasa heran dan juga terkejut. Benarkah pemuda itu demikian lihainya sehingga berani menghadapi Hnngkoan Tek yang lihai dengan pedangnya itu, hanya dengan sebatang suling? Apalagi, dia kini meniup sulingnya itu, seperti memandang rendah lawan dan mempermainkannya.

   Siangkoan Tek adalah seorang yang sudah biasa bertindak sewenang-wenang dan curang. Dia sudah menantang, dan lawan sudah mengeluarkan suling yang diakuinya sebagai senjata, maka dia pun tidak membuang waktu lagi. Melihat lawan meniup suling dengan asyik dan seolah-olah tidak menghiraukan dirinya itu, dia merasa dipandang rendah, akan tetapi juga melihat kesempatan baik. Maka, dia segera menggerakkan pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang. Pedangnya mendatangkan sinar menyilaukan mata ketika menyambar dan membacok ke arah leher Hong San!

   Hong San menanti sampai pedang itu menyambar dekat, baru dia menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya ma rendah dan pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dan sambil mengelak itu, dia masih terus meniup suling, nya, melanjutkan nyanyian lagu rakyat itu. Siangkoan Tek menghujankan serangan bertubi-tubi, menusuk membacok membabat dari segala jurusan, susul me nyusul, namun semua itu dapat dielakkan oleh Hong San tanpa banyak kesulitan dan dia masih terus melanjutkan permainan sulingnya. Baru setelah lagu iti selesai dimainkan dengan sulingnya, dii menggerakkan sulingnya untuk menangkis pedang dari samping, lalu membalas dengan totokakan-totokan ke arah jalan darah. Serangannya cepat dan tidak terduga sehingga dalam beberapa gebrakan saja, Siangkoan Tek mulai terdesak!

   "Tranggggg .... cringgggg ...........!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang berkali-kali hertemu dengan suling dan akibatnya, tubuh Siangkoan Tek terhuyung dan pedangnya hampir terlepas dari tangani Baru dia terkejut bukan main. Juga semua orang yang hadir di situ terkejut, Singkoan Bok bukan hanya terkejut, melainkan juga amat khawatir karena dia dapat menduga bahwa pemuda yang menggunakan suling sebagai senjata itu benar-benar lihai bukan main dan puteranya itu terancam bahaya. Oleh karena itu, tanpa malu-malu lagi, dia pun meloncat dari tempat duduknya. Pada saat itu suling di tangan Hong San mengirim totokan ke arah pundak Siangkoan Tek dan hampir mengenai sasaran.

   "Tranggggg ........!!" Suling itu tertahan oleh sebatang pedang yang digerakkan di tangan Siangkoan Bok. Melihat munculnya seorang kakek bertubuh pendek tegap dengan muka hitam, Hong San meloncat ke belakang.

   "Maaf, apakah Paman juga seorang tokoh Thian-te-pang?" tanyanya.

   "Henimm, aku hanya seorang tamu, ergkau sudah mengenal namaku tadi. Aku Majikan Pulau Hiu."

   "Ah, kiranya orang tua gagah pemilik Pulau Hiu!" kata Hong San dan dia memandang heran. Kakek ini memiliki wajah begini buruk, akan tetapi puteranya demikian tampannya.

   "Ayah, kita hajar saja manusia sombong ini, untuk apa bicara lebih banya teriak Siangkoan Tek yang berbesar hati lagi melihat majunya ayahnya.

   "Aku sudah banyak mendengar tentang majikan Pulau Hiu, dan kalau aku memimpin Thian-te-kauw, tentu aku ingin menarik Paman sebagai seorang sahabat kata pula Hong San.

   "Sombong! Siapa percaya bahwa engkau pemimpin Thian-te-kauw? Lihat pedangku!" Siangkoan Tek yang sudah marah sekali karena merasa penasaran dan malu bahwa dia sama sekali tidak mampu mengalahkan lawannya, kini menyerang, diikuti ayahnya yang juga sudah menggerakkan pedangnya.

   "Hemmm, kalian ini Ayah dan ana agaknya harus mengenal dulu siapa aku sebetulnya!" kata Hong San sambil memutar sulingnya menyambut serangan dua orang lawannya itu. Biarpun dikeroyok dua, Hong San masih saja mengenakan caping merahnya yang lebar, dan kini sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan suara melengking-lengking seolah-olah suling itu yang ditiupnya. Dan ayah bersama puteranya dari Pulau Hiu itu segera terdesak dan dua sinar pedang mereka terimpit oleh sinar suling yang menjadi semakin kuat.

   Sejak tadi Ouw Kok Sian menonton dengan hati panas. Muridnya, Ji Ban To tadi terlempar ke bawah panggung. Biarpun tidak menderita luka parah, namun peristiwa itu tentu saja merupakan suatu tamparan yang memalukan bagi dia sebagai gurunya. Melihat betapa Siangkoan Bok sudah maju menghadapi pemuda pengacau itu, dia merasa tidak enak kalau harus berdiam diri. Pertama, dia harus memperlihatkan setia kawan dan membantu Thian-te-pang, dan ke dua, dia harus membalaskan penghinaan atas diri muridnya tadi. Sekali meloncat, Ouw Kok Sian sudah terjun ke medan perkelahian sambil menggerakkan sepasang goloknya. Dia seorang yang mengandalkan keahlian bersilat sepasang golok.

   Hong San cepat menangkis ketika ada sinar golok menyambar. Terdengar suara nyaring dan nampak bunga api berpijar dan Ouw Kok Sian terkejut sekali karena tangkisan suling itu hampir saja membuat golok kanannya terlepas dari tangannya.

   "Heiii, tahan dulu! Siapakah Paman yang ikut menentangku? Apakah seorang tokoh Thian-te-pang?" tanya Hong San.

   "Aku Ouw Kok Sian dari Pegunungan Liong san, seorang tamu yang tidak saja melihat orang mengacau dalam pesta tuan rumah!" jawab Ouw Kok Sian sambil menyerang lagi. Siangkoan Bok Siangkoan Tek juga sudah menerjang maju dengan marahnya.

   "Ha-ha-ha, sekarang mulai ramai-Hong San tertawa.

   "Akan tetapi, aku pingin menarik Raja Pegunungan Liong, san sebagai sahabat, bukan menjadi musuh. Baik, aku melayani kalian bertiga main-main sebentar!" Setelah berkata demikian, Hong San kembali bergerak cepat dan tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang dibungkus gulungan sinar sulingnya. Tiga orang lawannya terkejut dan bingung, namun mereka menyerang membabi-buta ke arah bayangan itu. HongSan tidak mau main-main lagi. tiga orang pengeroyoknya ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga orang pemuda yang pertama kali mengeroyoknya. Apalagi sekarang mereka itu memegang senjata dan dia tidak ingin melukai mereka. Terpaksa dia harus mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berkelebatan, menghindarkan diri dari Sambaran senjata mereka dan membalas dengan totokan-totokan yang dapat merobohkan akan tetapi tidak sampai mematikan atau melukai dengan parah.

   Wajah Lui Seng Cu berubah agak pucat. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Siangkoan Bok atau Ouw Kok Sian tidak banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Pemuda pengacau itu ternyata tidak membual saja. Dia sungguh lihai bukan main. Jelaslah baginya bahwa kalau dia seorang diri saja menghadapi pemuda itu, dia tentu akan kalah! Juga Ban-tok Mo-li mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh lihai sekali. Ia sendiri tentu akan kewalahan kalau menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Akan tetapi pemuda itu enak-enak saja, nampaknya bukan hanya dapat mendesak tiga orang pengeroyoknya, juga seperti mempermainkan mereka.

   Lui Seng Cu memberi isyarat kepa Ban-tok Mo-li untuk maju mengeroyok lawan yang berbahaya itu. Ban-tok Mo-li mengerutkan alisnya. Bagi iblis betina ini sungguh memalukan kalau sebagai seorang pangcu ia harus mengeroyok seorang pemuda! Apalagi, nama Ban-tok Mo-li sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw. la pun percaya akan kepandaiannya sendiri yang masih lebih tinggi dibandingkan Lui Seng Cu. Akan tetap karena yang mengajaknya adalah rekannya, ia merasa tidak enak untuk menolak dan mereka berdua sudah bangkit berdiri lalu berloncatan ke tengah panggung.

   Melihat betapa dua orang ketua itu sudah maju, diam-diam Hong San merasa ragu juga. Dia tidak takut kepada mereka, akan tetapi bagaimana kalau mereka nanti mengerahkan seluruh anak buah Thian-te-pang untuk mengeroyoknya? Kalau sudah demikian, dengan sendirinya dia dianggap sebagai musuh Thian-te-Pang dan hal ini sama sekali tidak dikehendakiriya. Dia ingin agar mereka menerimanya dengan baik, dan untuk itu dia harus dapat meyakinkan mereka.

   "Hok-houw Toa-to dan Ban-tok Mo-li! Kalian berani menentangku? Lihat baik-baik, siapa aku ini!" tiba-tiba tubuh pemuda itu lenyap menjadi sesosok bayangan yang meloncat kebelakang meja sembahyang dan menghilang dibalik patung Thian-te Kwi-ong! Ketika lima orang pengeroyok itu hendak menjenguk ke balik meja, tiba-tiba terdengar ledakan dan nampak asap tebal menutupi patung dan meja sembahyang. Semua orang terkejut bukan main dan mereka terbelalak memandang ke arah asap tebal. Ketika perlahan-lahan asap itu membuyar, nampaklah betapa patung sebesar orang itu sudah berdiri di atas meja sembahyang! Atau lebih tepat, patung itu masih berada di tempatnya yang tadi akan tetapi ada kembarannya yang kini mendadak hidup dan berdiri di atas meja!

   Wajah Lui Seng Cu menjadi semak pucat. Hanya gurunyalah yang mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong! Maka, tanpa ragu lagi dia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas panggung menghadap ke arah "patung hidup" di atas meja sembahyang itu, sambil menangguk-anggukkan kepala ke atas lantai panggung.

   "Hamba Lui Seng Cu mengaku bersalah, mohon ampun .............!"

   Ban-tok Mo-Ii terkejut, demikian pula seluruh anggauta Thian-te-kauw. Kalau Sang Kauw-cu (Kepala Agama) sendiri sudah begitu menghormati mahluk itu mereka tidak ragu lagi bahwa tentu itulah penjelmaan Thian-te Kwi-ong! Ban tok Mo-Ii dan para anggauta juga segera menjatuhkan diri berlutut menghadap patung hidup itu. Para tamu juga terkejut dan mereka semua bangkit berdiri, tidak menjatuhkan diri berlutut namun berdiri dengan sikap hormat. Siangkoan Bok, Siangkoan Tek, dan O
liuk Sian juga cepat mundur dan berdiri dengan sikap hormat dan bingung. Mereka juga heran sekali melihat betapa patung itu kini menjadi dua dan yang sebuah lagi hidup! Memang patung hidup itu mengenakan pakaian seperti yang dipakai pemuda pengacau tadi, akan tetapi wajahnya jelas berubah menjadi wajah kutung Thian-te Kwi-ong. Tadinya mereka menduga bahwa tentu pemuda pengacau itu yang mengenakan kedok, akan tetapi setelah mengamati penuh ketelitian, mereka mau percaya bahwa itu bukan semacam topeng, melainkan wajah yang sesungguhnya karena wajah itu hidup, tidak mati seperti topeng atau kedok!

   Kini patung hidup itu mengembangkan kedua lengannya ke depan dan terdengar suaranya, suara yang parau besar dan dalam, tidak seperti suara pemuda tadi. Suaranya aneh dan penuh wibawa.

   "Para pemujaku, dengarlah baik-baik dan taati perintahku! Cui-beng Sai-kong Can Siok telah kupanggil karena aku membutuhkannya dalam kerajaanku! Dan aku menunjuk puteranya, Can Hong San, kini menjadi penggantinya memimpin kalian semua!" Tiba-tiba terdengar lagi ledakan dan nampak lagi asap hitam tebal. Ketika asap menbuyar, patung hidup itu sudah lenyap dan yang nampak adalah Can Hong San yang sudah berdiri di atas meja sembahyang. Dengan gerakan indah pemuda itu melompat turun dari atas meja, menghadapi Lui Seng Cu dan Bani tok Mo-Ii.

   Dua orang pimpinan Thian-te-kauw itu bangkit berdiri dan sejenak mereka mengamati wajar Hong San. Pemuda ini pui tersenyum dan terdengar suaranya lantang gembira.

   "Apakah kalian masih belum mau percaya? Thian te Kwi-ong sendiri yang berkenan memberitahu kalian! Aku adalah Can Hong San, aku putcra tunggal mendiang Cui beng Sai-kong Can Siok dan aku yang ditugaskan untuk menjadi penggantinya." Lalu dia memandang kepada Siangkoan Bok, Sjangkean Tek dau Ouw Kok Sian sambil berkata,

   "Aku sungguh tidak ingin bermusuhan dengan Sam-wi, melainkan ingin bersahabat. Silakan sam-wi mundur kembali ke tempat masing-masing karena urusan ini adalah urusan pribadi antara para pimpinan Thian-te-kauw."

   Tiga orang itu belum sampai dirobohkan, jadi belum kehilangan muka. Akan tetapi mereka maklum kalau tadi dilanjutkan, mereka pun akan roboh. Kini, mereka mendapatkan kesempatan baik untuk mundur tanpa kehilangan muka, karena urusan pribadi antara para pimpinan Thian-te-kauw memang tidak sepatutnya mereka ikut mencampuri. Mereka pun kembali ke tempat duduk masing-masing dan yang berdiri di panggung hanya tinggal dua orang ketua itu yang berhadapan dengan Hong San.

   Sejenak Hong San saling tatap dengan dua orang ketua itu dan dia tahu bahwa biarpun mereka berdua kini agaknya percaya kepadanya, namun masih terdapat keraguan dan ketidak-puasan.

   "Bagaimana sekarang pendapat kalian? Apakah kalian sudah percaya kepadaku dan mau mengakui aku sebagai pengganti Cui-beng Sai-kong dan memimpin Thian-te-kauw?" tanya Hong San den sikap tenang, ramah dan suara lembut.

   "Hemmm, bagaimana kami harus menjawab?" Lui Seng Cu menjawab.

   "Memang kami sudah menyaksikan sendiri bahwa engkau dapat mengubah diri menjadi pujaan kami Thian-te Kwi-ong, akan tetapi .......... engkau masih begini muda, sedangkan memimpin Thian-te-kauw membutuhkan seorang yang sudah berpengalaman agar perkumpulan ini dapat meperoleh kemajuan."

   "Juga seorang ketua harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga akan mampu menjaga nama dan kehormatan perkumpulan yang diasuhnya, sambung Ban-tok Mo-li.

   Hong San tersenyum.

   "Pendapat kalian berdua memang benar. Aku pun berpendapat demikian. Oleh karena itu, aku tidak ingin menurunkan kalian dari kedudukan kalian yang sekarang. Hok-hou Toa-to tetap menjadi Kauw-cu dan Ba tok Mo-li tetap menjadi Thian-te Pang cu. Akan tetapi kalian berdua berada dibawah pengawasan dan kekuasaanku, karena aku yang menjadi pemimpin umum. Pekerjaan sehari-hari boleh kalian laksanakan, akan tetapi segala hal yang penting harus lebih dahulu mendapat persetujuanku. Dan tentang ilmu kepandaian, kalau yang kuperlihatkan tadi belum meyakinkan hati kalian, nah, kalian boleh maju sendiri untuk mengujiku" Berkata demikian, tangan kanan .Hong San bergerak dan tahu-tahu dia telah memegang sebatang pedang di tangan kanan, dan sulingnya masih berada di tangan kirinya.

   "Lui Seng Cu, engkau terkenal dengan julukan Hok-houw Toa-to, ingin sekali aku mencoba kehebatan golok besarmu dan melihat sampai di mana kemajuanmu menerima bimbingan ilmu silat dari Ayahku!" katanya dan kini suaranya mengandung wibawa dan tegas, tidak lagi bersikap seperti orang bermain-main seperti tadi.

   Lui Seng Cu juga tidak berani mengajak Ban-tok Mo-li untuk melakukan pengeroyokan lagi. Bagaimanapun juga, dia sudah hampir merasa yakin bahwa pemuda ini memang pengganti Cui-be Sai-kong, entah puteranya entah muridnya, namun buktinya mampu mengubah diri menjadi raja iblis itu. Dan kesempatan mengadu ilmu silat ini pun memberi kesempatan baginya untuk membuktikan apakah benar pemuda ini putera gurunya, karena kalau hal ini benar tentu pemuda itu mengenal ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Cui-beng kong.

   Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Lui Seng Cu sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Sebelum menjadi murid Cui-beng Sai-kong, Lui Seng Cu sudah menjadi perampok tunggal yang di takuti. Karena kebetulan saja, yaitu berjumpa dengan Cui-beng Sai-kong dan hendak merampoknya, maka dia berkenalan dengan pendiri Thian-te-kauw itu. Denga mudah dia dikalahkan dan sejak itula dia menjadi pengikut dan menerima pelajaran dan Cui-beng Sai-kong. Bukan hanya tentang penyembahan Thian kui-mo, akan tetapi sedikit ilmu sihir dan juga ilmu silat Koai-liong-kun (Silat Naga Setan).

   "Lui Seng Cu, engkau boleh mulai menyerangku!" kata Hong San. Nada suaranya sudah memerintah!

   "Lihat serangan!" Lui Seng Cu berseru. Biarpun kauw-cu ini nampaknya sudah percaya dan tunduk kepada Hong San namun ketika dia menyerang tahulah Hong San bahwa sebenarnya di dalam hatinya kauw-cu ini masih merasa penasaran. Dalam serangan itu terkandung kemaarahan dan kebencian sehingga serangan itu merupakan gerakan dahsyat yang amat berbahaya dan mematikan, liong San dapat mengerti kemarahan Kauw-cu ini. Bagaimanapun juga, tentu orang yang sudah berpengalaman ini masih merasa penasaran kalau harus mempunyai atasan seorang pemuda seperti dia! Maka, dia pun ingin memamerkan kepandaiannya. Melihat serangan golok itu, dia tahu bahwa dari ayahnya, kauw-Cu ini hanya menerima pelajaran Koai-Liong kiam saja yang agaknya kini di sesuaikan dengan gerakan golok. Dia memutar pedangnya, dengan jurus-jurus dari ilmu pedang Koai-liong kiam dan karena memang tingkat kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi, maka Liu Seng Cu seolah-olah menghadapi sebuah dinding baja yang amat kuat, yang menolak seluruh jurus serangannya! Dia pun mengenal gerakan pedang pemuda itu yang memainkan ilmu pedang Koai liong kiam, akan tetapi demikian hebatnya permainan itu sehingga pandangan matanya menjadi silau dan dia seperti berhadapan dengan dinding baja yang sudah ditembus!

   Setelah lewat tiga puluh jurus, habislah sudah semua jurus Koai liong kiam dia mainkan untuk menyerang, pemuda itu dan kini dia pun yakin bahwa memang pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu dari gurunya, bukan hanya ilmu silat, akan tetapi juga ilmu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Biarpun tidak banyak, dia pernah mempelajari ilmu sihir. Belum tentu pemuda ini mengenal sihir pula dan kalau demikian halnya, Betapapun lihainya ilmu silat pemuda ini, kalau sampai dapat dia kuasai dengan sihirnya, maka dia akan mampu menundukkannya! Di samping harapan ini, juga dia dapat mempergunakannya sebagai ujian sampai di mana pemuda ini mewarisi ilmu-ilmu dari Cui-beng Sai-kong yang diaku sebagai ayahnya itu.

   "Can Hong San, berlututlah engkau!" tiba-tiba kauw-cu itu membentak sambil mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya. Semua anggauta Thian-te-kauw memandang dengan hati tegang. Mereka semua tahu bahwa kauw-cu mereka memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan dia dapat memaksa setiap orang dengan perintah sihirnya. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak mereka duga. Pemuda yang memegang pedang dan suling itu sama sekali tidak berlutut, bahkan dia berkata dengan suara yang nyaring.

   "Engkaulah yang berlutut di depanku, Lui Seng Cu!" Dan kauw-cu itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan Hong San! Lui Seng Cu terkejut bukan main. Tadi pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya dan ketika pemuda itu menjawab, dia sama sekali tidak merasakan kekuatan sihir yang memaksanya untuk berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja dua buah lututnya disambar ujung suling dan itulah yang memaksanya jatuh berlutut karena kedua kakinya terasa lumpuh!

   Akan tetapi, untuk mengambil orang, Hong San cepat menghampiri, dengan gerakan cepat tanpa diketahui orang, dia telah membebaskan totok? itu dan menarik lengan Kauw-cu itu bangkit berdiri kembali. Kini Kauw-cu sudah takluk benar karena dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih pandai darinya. Dia merasa seperti berhadapan dengan gurunya saja! Dia memberi hormat dan berkata lirih,

   "Can Kongcu (Tuan Muda Can), saya mengaku kalah." Dengan kepala tertunduk kauw-cu itu lalu mundur dan duduk kembali tempat semula. Akan tetapi dia segera berbisik kepada dua orang muridnya, Siok Ban dan Phoa Kian So yang tadi juga kalah ketika mengeroyok Hong San, agar mereka berdua mempersiapkan tempat duduk yang paling baik untuk pemuda yang kini berhadapan dengan Ban-tok Mo li itu. Dia sendiri lalu menonton dan ingin tahu Bagaimana Ban-tok Mo-li akan menandingi pemuda yang luar biasa itu. Ban-tok Mo-li adalah seorang yang amat cerdik, juga ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Liu Seng Cu, atau para tamu yang hadir disitu. Sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), ia seorang ahli dalam menggunakan racun sehingga ilmu silatnya menjadi semakin berbahaya lagi. Bukan hanya pukulan telapak tangannya yang mengandung hawa beracun, bahkan kuku-kuku jari tangannya mengandung racun, dan ia dapat pula mempergunakan ludah beracun untuk menyerang lawan! Ia tadi sudah melihat kehebatan pemuda itu bermain senjata. Golok Lui Seng Cu yang amat lihai itu pun sama sekali bukan tandingan pemuda itu. Kalau ia mempergunakan sepasang senjatanya, yaitu kipas dan pedang, agaknya akan berat pula baginya, untuk dapat keluar sebagai pemenang Maka mengingat akan keahliannya mempergunakan racun dalam pukulannya, pun ingin mengajak pemuda itu untuk bertanding dalam tangan kosong dulu sebelum terpaksa menggunakan kipas dai pedangnya. Seperti juga Lui Seng Cu tentu saja ia tidak rela kalau harus menjadi bawahan seorang pemuda, kecuali kalau ia sudah yakin bahwa pemuda itu jauh lebih lihai daripadanya.

   "Can Kongcu," ia menirukan panggilan yang dipergunakan Lui Seng Cu tadi.

   "Sebenarnya aku sendiri pun mulai percaya bahwa engkau adalah pewaris dari pendiri Thian-te-kauw dan engkau berhak memimpin perkumpulan kita. Akan tetapi karena kemunculanmu Begini tiba-tiba, tentu saja hati kami menjadi penasaran. Karena itu, aku pun Ingin sekali menguji kepandaianmu, dan lebih dulu aku ingin menguji ilmu kepandaianmu bertangan kosong."

   Hong San memandang dan hatinya kagum. Wanita ini kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih, bahkan hampir enam puluh tahun, akan tetapi sungguh orang takkan percaya kalau melihatnya. Pantasnya ia baru berusia tiga puluh tahun lebih! Masih cantik dan bentuk tubuhnya masih padat dan ramping, dan anehnya, ada sesuatu yang menarik hanya pada wajah itu, seperti wajah seorang wanita yang pernah dikenainya. Perasaan pemuda ini memang tidak menipunya. Yang membuat ia merasa kenal adalah karena wajah Ban-tok Mo-li Pha Bi Cu mirip sekali, hanya berbeda usia dengan wajah puterinya, yaitu Sim Lan Ci, isteri Coa Siang Lee yang hampir saja menjadi korban perkosaan Hong San Hong San tersenyum. Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ban-tok Mo-li adalah seorang wanita yang lihai lebih lihai dibandingkan Lui Seng Cu. Dari nama julukannya saja dia pun sudah menduga bahwa wanita ini tentu ahli racun dan memiliki pukulan-pukulan beracun maka sengaja menantangnya bertanding dengan tangan kosong. Tentu saja dia tidak merasa gentar. Ayahnya adalah seorang datuk besar golongan sesat, dan dia sudah banyak belajar dari ayahnya tentang pukulan yang mengandung hawa beracun dan bagaimana untuk mengatasinya.

   "Baik sekali, Ban-tok Mo-li. Aku pun tidak ingin kita yang hanya menguji kepandaian sampai terluka oleh senjata tajam walaupun aku tahu bahwa kedua tangan dan kedua kakimu tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata tajam Pedang bagaimanapun. Nah, aku sudah siap!" Dia pun menyimpan kembali pedang dan sulingnya, lalu berdiri tegak menghadapi Ban-tok Mo-li, kelihatan tenang saja dan acuh, namun diam-diam dia siap siaga dengan penuh kewaspadaan.

   "Can Kongcu, sambut seranganku!" Ban-tok Mo-li tanpa sungkan lagi mendahului, membuka serangan dengan pukulan tangan kanan terkepal ke arah muka disusul cengkeraman tangan kiri yang membentuk cakar ke arah perut.

   "Bagus sekali!" Hong San memuji sambil mengelak ke belakang, akan tetapi kaki kanan wanita itu menyusul dengan tendangan dahsyat mengarah dadanya!"

   "Plakkk!" Hong San menangkis dan tubuh Ban-tok Mo-li berputar di atas sebelah kaki saking kerasnya tangkisan itu. Namun, wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan sambil berputar, kaki tetap melancarkan tendangan susu bertubi-tubi.

   Hong San berloncatan mengelak, ia membalas dengan tamparan tangannya kearah wanita itu. Karena tamparan hebat, maka terpaksa Ban-tok Mo-li menghentikan desakan tendangannya untuk mengelak. Kemudian ia mengeluarkan gerengan halus seperti seekor kucing yang dielus lehernya dan ke dua lengannya tergetar. Hong San melihat betapa kedua tangan dan sebagian lengan yang nampak dari lengan baju itu berubah menghitam! Tahulah dia bahwa wanita itu telah mengeluarkan simpanannya yaitu kedua tangan bahkan sampai lengan yang mengandung hawa beracun yang amat berbahaya, maka diam-diam dia pun mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk melindungi tubuh dari hawa racun.

   "Hyaaaaattt ...........!!" Wanita itu mengluarkan bentakan melengking dan ia sudah menerjang dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. Angin pukulannya desir dan mengeluarkan suara bersuitan, dibarengi hawa panas dan bau yang amis. Itulah ilmu silatnya yang paling hebat dan mengerikan, yang diberi nama Ban-tok Hwa-kun (Silat Bunga selaksa Racun). Kedua tangan itu, sampai ke kuku-kukunya, mengandung racun yang dapat menghanguskan kulit dan daging lawan.

   Hong San menyambutnya dengan ilmu Koai-liong-kun (Silat Naga Iblis) yang dahsyat dan ganas. Dia menjaga diri dengan hati-hati sekali jangan sampai kulitnya tergores kuku-kuku runcing melengkung beracun itu. Karena dia mem"liki si-kang yang kuat, maka dari semua gerakannya timbul angin pukulan yang mendorong pergi semua hawa beracun yang keluar dari gerakan kedua tangan lawan.

   Semua orang yang menonton pertandingan itu merasa tegang. Bukan main hebatnya gerakan Ban-tok Mo-li, bukan saja gerakannya amat cepat sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan, namun juga amat kuat karena setiap tangannya menampar atau memukul, terdengar angin bersiut. Akan tetapi mereka amat kagum kepada Hong San. Pemuda itu sama sekali tidak nampak terdesak, melainkan membalas dengan serangan dahsyatnya sehingga pertandingan itu berlangsung amat seru dan menegangkan

   Akan tetapi hal ini disengaja oleh Hong San. Dia melihat betapa wanita ini lebih lihai dan kelak akan dapat menjadi tangan kanannya yang boleh diandalkan. Selain itu, gairahnya sudah bangkit oleh gerak-gerik wanita yang usianya sudah lanjut namun masih cantik menarik ini, dan dia tidak ingin menanam kebencian dalam hati wanita itu. Kalau dia menghendaki, tentu pertandingan itu tidak akan berlangsung lama itu. Dia sengaja mengalah dan membuat pertandingan itu nampak seru dan ramai. Setelah lewat lima puluh jurus, barulah dia mencari kesempatan baik dan ketika kedua tangan lawannya itu menyerang dengan cakaran dari kanan dan kiri, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke atas dan berjungkir balik, lalu di meluncur turun menyerang dari atas den gan kedua tangan melakukan pukulan dasyat ke arah ubun-ubun kepala lawan.

   "Ihhhhh ........!" Ban-tok Mo-li terkejut bukan main karena serangan itu sungguh dahsyat dan tidak mungkin baginya untuk mengelak lagi. Satu-satunya jalan hanya mengangkat kedua tangan menangkis dengan resiko terluka dalam karena tentu tenaga pemuda itu ditambah berat badannya akan merupakan beban yang sukar dapat ditahannya.

   "Dukkk!" Ban-tok Mo-li terkejut ketika kedua lengannya bertemu dengan sebuah lengan saja, itu pun lunak. Ia segera menduga bahwa tentu tangan lain pemuda itu akan menyerangnya, namun terlambat. Jari tangan kiri Hong San sudah menotok punggungnya dan seketika tubuh Ban-tok Mo-li menjadi lemas, kehilangan tenaga dan ketika Hong San melayang turun, ia pun terhuyung dan hampir jatuh.

   "Mo-li, hati-hati .........!" Hong San menubruk, tangan kanan memegang pundak akan tetapi tangan kiri dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga tidak nampak oleh siapapun, memegang payudara kanan Ban-tok Mo-li. Hanya memijat sekali saja namun tentu saja. terasa sekali oleh wanita itu, yang juga merasa betapa totokan itu telah dibebaskan pula oleh Hong San ketika pemuda itu menahan sehingga ia tidak sampai terjatuh itu.

   Wajah Ban-tok Mo-li menjadi merah sekali, akan tetapi bibirnya tersenyum dan matanya menatap tajam wajah yang tampan itu. Bukan main bocah ini, kirnya. Masih begitu muda, tampan pandai bicara, lincah Jenaka, dan miliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan itu saja, bahkan tadi pemuda itu sempat memijat dadanya dan hal ini saja sudah jelas baginya bahwa kecantikannya masih sempat dikagumi pemuda i tu. Jantungnya berdebar dan ia melihat kesempatan baik untuk memperoleh seorang kekasih baru yang selain muda, tampan, akan tetapi juga lihai sekali dan agaknya akan menjadi seorang atasannya! Akan tetapi, ia harus menjaga nama besarnya, bukan hanya sebagai pang-Cu dari Thian-te-pang, akan tetapi juga sebagai Ban-tok Mo-li yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Biarpun tadi kekalahannya tidak kelihatan mutlak berkat sikap Hong San, namun tetap saja semua orang melihat betapa ia terhuyung akan jatuh dan bahkan dibantu oleh Hong San sehingga tidak jadi terpelanting jatuh. Kini ia habis memperlihatkan kehebatannya bermain senjata, bukan saja kepada Hong San akan tetapi juga kepada semua orang yang berada di situ. Selain itu, juga ingin membuktikan sendiri kehebatan pedang dan suling di tangan pemuda itu.

   "Singgggg .........!" Nampak sinar merah berkelebat dan tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang kemerahan dan tangan kirinya memegang sebatang kipas yang terbuka dan di atas Kipas itu nampak gambar kelabang dan kalajengking, seolah-olah memberi isarat bahwa kipas itu mengandung racun seperti binatang itu! Pedang kemerahan itu pun merupakan pedang beracun yang disebut Ang-tok Po-kiam (Pedang Pusaka Racun Merah). Ban-tok Mo-li memiliki dua batang pedang. Yang sebuah lagi adalah Cui-mo Hek-kiam yang hitam dan pedang hitam ini telah ia beri kepada Sim Lan Ci, puterinya. Yang pegangnya itu, Ang-tok Po-kiam juga merupakan pedang pusaka yang ampuh karena telah direndam racun ular mer ahyang amat berbahaya. Jangankan sampai tertusuk atau terbacok pedang itu, baru tergores sedikit saja kulitnya, kalau sudah berdarah, maka luka itu akan melepuh dan kalau tidak cepat mendapatkan obat pemunah, racunnya akan naik dengan darah dan membuat seluruh tubuh yang dilalui racun itu melepuh membengkak!

   "Can Kongcu, hebat ilmu silatmu dengan tangan kosong. Sekarang, harap tidak bersikap pelit, berilah petunjuk kepadaku dalam ilmu silat bersenjata jelas bahwa ucapan Ban-tok Mo-li itu mulai merendahkan diri dan menghormat, seperti orang bicara kepada lawan yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya. Senang hati Hong San mendengar itu dan dia pun ingin memamerkan ilmu kepandaiannya kepada wanita cantik ini dan kepada semua orang yang hadir.

   Dia tidak mengeluarkan suling dan pedang seperti tadi, melainkan kini memegang suling di tangan kanan dan dia mengambil caping (topi lebar) dengan tangan kiri!

   "Mo-li, bagaimanapun juga, aku adalah seorang pria dan engkau seorang wanita. Tidak enak kalau aku harus menggunakan senjata tajam terhadap seorang wanita. Nah, aku menggunakan suling dan capingku ini saja dan kita main-main sebentar. Aku sudah siap, Ban-tok Mo-li, engkau boleh mulai menyerangku!"

   Diam-diam Ban-tok Mo-li mendongkol juga. Pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Betapapun lihainya pemuda itu, kalau senjatanya hanya suling dan caping bambu, mana akan mampu menghadapi pedang dan kipasnya yang merupakan senjata senjata beracun yang ampuh sekali? Hemm pikirnya. Kalau engkau kalah dan mati terluka oleh senjataku, salahmu sendiri dan engkau layak mampus karena telah memandang rendah kepadaku. Akan tetapi kalau engkau dengan senjata seperti itu mampu menandingiku, sungguh pantas menjadi atasanku dan lebih pantas la menjadi kekasihku! Dengan pikiran demikian, Ban-tok Mo-li mengeluarkan jerit melengking dan pedangnya berkelebat menjadi sinar merah menyambar denga tusukan ke arah ulu hati, sedangkan kipasnya ditutup dan ditusukkan sebagai totokan ke arah leher.

   Hong San menangkis pedang denga santai, menggunakan sulingnya dan totokan kipas itu pun dapat dihalau dengan menggerakkan capingnya yang lebar. Caping itu dapat bertugas seperti perisai dan ketika gagang kipas menyambar, terdengar bunyi keras dan tahulah Ban-tok Mo-li bahwa caping yang dipandangnya rendah itu ternyata hanya di luarnya saja merupakan anyaman bambu, akan tetapi di sebelah dalamnya terlindung baja atau besi atau semacam logam yang kuat. Ia pun tidak berani memandang rendah dan memainkan pedang dan kipasnya dengan cepat sehingga nampak gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

   Hong San menggerakkan sulingnya dan terdengar suling itu seperti ditiup dan dimainkan. Dan caping itu ternyata mampu melindungi tubuhnya dari sambarang hawa beracun dari pedang dan kipas! Sebaliknya, dari kanan kiri atas atau bawah caping, mencuat suling secara tiba-tiba dan sukar diduga, melakukan totokan-totokan yang amat cepat. Ban-tok Mo-li menjadi bingung dan beberapa kali nyaris jalan darah dibagian depan tubuhnya tertotok. Setidaknya, ujung suling sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang peka dan ia pun semakin kagum. Pemuda itu masih sempat main-main dan menyatakan berahinya lewat sentuhan-sentuhan ujung suling! Tentu saja amat sukar diduga dari mana suling itu akan mencuat ke luar karena tertutup caping. Sedangkan semua serangan pedang dan kipasnya selalu dapat dihindarkan oleh Hong San.

   Akhirnya, setelah lewat hampir lima puluh jurus, tenaga Ban-tok Mo-li mulai berkurang dan napasnya mulai memburu Hong San tidak mau membikin malu wanita itu, maka ujung sulingnya secepal kilat menotok siku kanan dan ketika pedang lawan terlepas dari tangan yang mendadak lumpuh itu, dia cepat menempel pedang dengan sulingnya dan memutar pedang itu sedemikian rupa sel hingga terus menempel pada sulingnya dan tidak sampai jatuh!

   Ban-tok Mo-li terkejut dan cepat melompat ke belakang. Dirampasnya pedang dari tangannya sudah merupakai bukti cukup jelas bahwa ia memang kalah pandai. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hong San yang memberi ia kekalahan terhormat, tidak sampai terluka atau roboh, bahkan pedangnya pun tidak sampai terjatuh ke lantai! Hong San lalu menggerakkan tangan dan pedang itu terlepas dari suling, lalu melayang ke arah Ban-tok Mo-li yang menerima dengan tangan kanannya dan wanita ini pun memberi hormat kepada pemuda itu tanpa malu lagi.

   "Can Kongcu telah memberi petunjuk kepadaku, aku merasa kagum sekali dan mengaku kalah." Kemudian, wanita itu berdiri menghadap ke arah mereka yang duduk di bawah panggung, lalu berkata dengan suara lantang,

   "Para anggauta Thian-te-pang, dengarlah. Mulai detik ini, aku memerintahkan kalian semua untuk mengakui dan menerima Can Kongcu sebagai pemimpin kita semua!"

   Ucapan yang nyaring ini disambut tepuk sorak para anggauta Thian-te-pang yang sudah merasa kagum sekali melihat betapa pemuda tampan itu dapat mengalahkan kauwcu dan pangcu, suatu hal yang mereka anggap luar biasa sekali. Apalagi mereka tadi pun menyaksikan dengan mata kepada sendiri betapa pemuda itu mampu mengubah diri menjadi Thian-te Kwi-ong yang hidup!

   Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu juga segera bangkit menghampiri Can Hong San dengan sikap hormat dia mempersilakan pemuda itu duduk di kursi kehormatan yang berada di antara dia dan Ban-tok Mo-li. Tempat itu memang telah diaturnya ketika pemuda itu bertanding melayani Ban-tok Mo-li. Dia sudah menduga bahwa Ban-tok Mo-li juga bukan tandingan pemuda sakti itu, maka.dia sudah mengatur sebuah tempat duduk terhormat bagi Hong San.

   Tentu saja Hong San merasa gembira sekali melihat sikap dua orang itu! Setelah duduk di atas kursi di antara mereka, dia lalu berkata kepada mereka.

   "Hek-houw Toa-to dan Ban-tok Mo-li, seperti sudah kukatakan tadi, aku datang untuk menuntut hakku sebagai ahli waris mendiang Ayahku, menjadi orang nomor satu dalam Thian-te-pang. Akan tetapi itu bukan berarti aku merampas kedudukan kalian. Aku tidak ingin repot bekerja menjadi kauwcu atau pang-cu. Biarlah kalian lanjutkan kedudukal kalian sebagai kauwcu dan pangcu, akan tetapi kalian adalah pembantu-pembantuku. Akulah pemimpin umumnya, dan aku tidak ingin disebut pemimpin atau ketua, cukup kalau kalian dan semua anggauta menyebut aku Can Kongcu saja. Akan tetapi seluruh harta milik dan pemasukan uang harus berada di bawah pengamatanku dan aku yang menentukan dan mengatur semuanya. Mengertikah kalian?"

   Tentu saja kedua orang ini merasa girang sekali. Mereka tidak kehilangan muka dan juga tidak kehilangan kekuasaan. Maka keduanya mengangguk-angguk dan secara langsung maka kauwcu dari Thian-te-kauw itu bangkit berdiri dan dengan lantang dia lalu bicara kepada semua orang yang hadir.

   "Para tamu yang terhormat, sobat-sobat dan para anggauta Thian-te-kauw dan Thian-te-pang! Kami mengumumkan bahwa mulai detik ini, Kongcu Can Hong San ini menjadi pemimpin besar kita. Semua harus tunduk kepada perintahnya dan kebijaksanaannya. Ketahuilah bahwa Kongcu adalah putera dari mendiang Suhu kami, yaitu Cui-beng Sai-kong, pendiri Thian-te-kauw. Hidup Can Kong-cu!"

   Serentak para anggauta, juga para tamu berteriak,

   "Hidup Can Kongcu!"

   Hong San tersenyum-senyum penuh kegembiraan.

   "Nah, mari kita lanjutkan pesta perayaan ini. Urusan dalam perkumpulan kita dapat kita bicarakan lain waktu di antara kita sendiri."

   Para tamu lalu datang satu demi satu untuk memperkenalkan diri kepada Hong San. Di antara mereka itu, yang merasa amat kagum dan menyatakan ingin sekali membantu sepenuhnya adalah Siangkoan Tek, putera Siangkoan Bok, Ji Ban To murid Ouw Kok Sian, dan dua orang murid Lui Seng Cu sendiri, yaitu] Siok Boan dan Poa Kian So. Empat orang pemuda ini merasa kagum bukan main kepada Hong San dan mereka berempat merasa gembira untuk dapat membantu seorang seperti Hong San. Dan Hong San sendiri senang kepada mereka, apalagi mengingat bahwa mereka adalah murid-murid dan putera orang-orang yang pandai dan berpengaruh. Ketika hidangan dikeluarkan, Hong San bahkan mengundang mereka berempat itu untuk duduk semeja dengan dia, bersama Ban-tok Mo-li dan lui Seng Cu.

   Can Hong San merasa betapa bintangnya terang. Dia memberi selamat pada dirinya sendiri yang sudah memilih tempat yang amat tepat baginya. Apalagi setelah dia mendapat kenyataan bahwa Thian-te-pang telah merupakan sebuah perkumpulan yang kaya! Dia dapat mempergunakan kekayaan itu sesuka hatinya. Selain itu, juga mulai hari itu, Ban-tok Mo-li, wanita yang masih amat cantik dan menggairahkan itu, wanita yang memiliki banyak sekali pengalaman, selalu menemaninya dan melimpahkan cinta yang berkobar-kobar kepadanya. Lebih menyenangkan hatinya lagi, para anggauta Thian-te-pang yang wanita, banyak di antara mereka yang muda dan cantik, agaknya juga berlomba untuk mendekatinya dan menjadi kekasihnya! Sekali pukul saja, Hong San kini telah dibanjiri harta, kedudukan terhormat, wanita-wanita cantik dan segala kesenangan dapat diraihnya dengan amat mudahnya!

   Liu Bhok Ki yang berjalan seora diri meninggalkan rumah suami isteri Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci itu sungguh jauh berbeda dengan Liu Bhok Ki ketika datang ke dusun itu kemarin. Kini dia melangkah dengan hati ringan dengan dada lapang dan perasaan penuh bahagia. Dia merasa seolah-olah ada batu besar sekali yang selama bertahun talah menekan hatinya, kini telah lenyap membuat dadanya terasa lapang sekali. Kakek berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar itu nampak lebih muda dari biasanya. Dadanya yang bidang itu makin membusung, langkahnya bagaikan langkah seekor harimau jantan dan sepasang matanya mencorong, bibirnya yang terhias kumis dan jenggot itu tersenyum cerah, bahkan ketika mendaki bukit itu, dia setengah berlari sambi bersenandung! Sin-tiauw Liu Bhok Ki Si Rajawali Sakti itu bersenandung! Sungguh suatu hal yang luar biasa sekali dan kalau ada orang yang sudah mengenalnya mendengar senandung itu, tentu dia akan terheran-heran. Pendekar yang biasanya berwatak kasar dan keras itu hampir tidak pernah kelihatan bergembira, dan pada hari ini dia berjalan kaki seorang diri sambil bersenandung!

   Tidak mengherankan kalau kita mengingat akan keadaan hidup pendekar yang perkasa ini. Sejak muda dia menderita sakit hati, dendam yang setinggi langit sedalam lautan. Hatinya disakiti oleh isterinya yang mengkhianatinya, yang melakukan penyelewengan dengan pria lain. Padahal dia amat menyayangi isterinya itu! Dendam ini membuatnya seperti gila dan membuat dia menjadi seorang yang luar biasa kejamnya terhadap dua orang yang berjina itu. Dia menyimpan kepala isterinya dan kasih isterinya, dan setiap hari dia seperti menyiksa dua buah kepala itu! Bahkan lebih dari itu, dia mendendam kepada keturunan dan keluarga dengan istennya dan kekasih isterinya. Kepada putera kekasih isterinya putera keponakan isterinya datang untuk membalas dendam dan membunuhnya, dia menangkap mereka, bahkan dengan memberi obat perangsang dia membuat mereka itu terangsang dan melakukan hubungan suami isteri. Dia ingin menghukum mereka itu sehebatnya. Dia ingin merasa berdua itu menjadi suami isteri, saling mencinta, kemudian selagi mereka hidup bahagia, dia ingin muridnya merusak kebahagiaan rumah tangga mereka dengan merayu si isteri atau memperkosanya, agar hancur luluh hati mereka dua!

   Akan tetapi, ternyata muridnya, Si Han Beng, tidak melakukan perintahnya itu, bahkan membela mereka. Dan dalam keadaan marah itu, suami isteri putera mereka pun menyerahkannya di tangannya. Dan dia pun sadar! Dia sadar akan semua kesalahannya, sadang betapa dia menjadi seperti gila karena cemburu dan dendam. Terutama sekali anak mereka itulah yang membuatnya sadar, seorang anak kecil berusia tiga tahun yang lucu dan pemberani! Dan kini dia telah bebas!

   Dan baru sekarang dia mengenal apa yang dinamakan kebahagiaan itu! Kebahagiaan adalah kebebasan! Bebas dari segala perasan seperti marah, dendam, benci, iri, malu, takut dan sebagainya. Juga bebas dari perasaan senang yang timbul dari nafsu. Sebelum ini dia terikat oleh senang dan susah, puas dan kecewa yang bukan lain hanya permainan daya-daya rendah atau nafsu-nafsu dalam dirinya.

   Ketika dia tiba di tepi sebuah hutan kecil di lereng bukit, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara orang berkelahi. Tak salah lagi, suara berdentingnya senjata-senjata tajam saling bertemu, dan terdengar pula teriakan-teriakan banyak orang. Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar perkasa yang berjuluk Sin-tiauw, tentu saja setiap kali ada perkelahian atau adu ilmu silat, hatinya tertarik sekali. Apalagi suara orang berkelahi itu terjadi di dalam hutan, maka dia pun merasa khawatir kalau-kalau sedang terjadi kejahatan di dalam hutan itu. Dia segera mengerahkan tenaganya dan berlari cepat memasuki hutan.

   Ketika dia tiba di tempat terbuka tengah hutan itu, dia melihat seorang wanita muda yang memegang sepasang pedang dikeroyok oleh sedikitnya lima belas orang! Dan di situ sudah men geletak lima orang
(Lanjut ke Jilid 24)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
dalam keadaan terluka. Agaknya gadis itu mengamuk berhasil merobohkan lima orang, akan tetapi pengeroyoknya masih banyak dan di antara para pengeroyok terdapat dua orang laki-laki setengah tua yang cukup lihai. Gadis itu telah menderita beberapa luka, pakaiannya sudah berlepotan darah dan gerakannya mulai mengendur sehingga ia terancam bahaya maut!

   Melihat ini, tentu saja Liu Bhok tak dapat tinggal diam saja. Dia melihat betapa kini dua orang di antara para pengeroyok yang paling lihai itu memang "masing-masing mempergunakan sebatang golok besar, mendesak Si Gadis berbaju hijau. Gadis itu melawan matian-matian, memutar sepasang pedangnya, namun terdesak dan terhuyung.

   "Tranggggg.. ..........!" Pertemuan pedang kanannya dengan golok seorang di antara dua pengeroyok itu demikian kerasnya sehingga pedang di tangan gadis itu terpental dan lepas dari tangannya. Padahal, pada saat itu, orang ke dua sudah mengayun goloknya membacok ke arah kepalanya. Sungguh berbahaya sekali keadaan gadis itu dan agaknya sudah tidak ada waktu lagi baginya untuk dapat menghindarkan diri dari bacokan kilat itu.

   Tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping dan sinar ini menangkis golok yang membacok kepala gadis berbaju hijau.

   "Plakkk!" Sinar putih itu ternyata sehelai sabuk sutera yang telah menangkis golok, sekaligus menggulungnya dan sekali tarik, golok di tangan laki-laki itu terlepas dan berpindah ke tangan Liu Bhok Ki!

   Semua pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang laki-laki berusia enam puluh empat tahun yang tinggi besar dan gagah perkasa. Mereka merasa penasaran sekali karena mereka sudah hampir berhasil merobohkan wanita itu, akan tetapi kini muncul seorang kakek yang menggagalkan usaha mereka! Dua orang lihai yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu, dengan marah lalu memberi aba-aba untuk mengeroyok Liu Bhok Ki!

   Liu Bhok Ki melihat betapa gadis berbaju hijau itu terhuyung dan jatuh terduduk, lalu gadis itu memejamkan mata dan agaknya sedang menderita nyeri yang hebat. Dia pun cepat mendekati gadis itu, tanpa ragu lagi dia menotok punggungnya sehingga gadis itu roboh pingsan dan segera dipondongnya gadis itu. Pada saat itu, belasan orang itu sudah maju mengeroyoknya.

   Liu Bhok Ki menggerakkan sabuk putihnya dan tubuhnya berloncatan bagaikan seekor rajawali sakti, menyambar-nyambar dan dalam waktu beberapa menit saja, hampir semua senjata di tangan para pengeroyok telah terampas dari tangan mereka. Ada yang terlibat sabuk dan ditarik lepas, ada yang terlepas karena pergelangan tangan pemegangnya tertotok ujung sabuk. Dan sabuk itu pun lalu lecut-lecut seperti cambuk dengan mengeluarkan suara ledakan-ledakan. Kocar-kacirlah para pengeroyok itu dan tak lama kemudian mereka semua melarikan diri sambil membawa teman-teman yang tadi terluka oleh gadis itu.

   

Si Bayangan Iblis Eps 1 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 11 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 14

Cari Blog Ini