Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Hitam 1


Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 1



Pedang Naga Hitam (Seri ke 02 " Serial Sepasang Naga Lembah Iblis)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Pulau Naga adalah sebuah pulau di Lautan Timur, sebuah pulau kecil yang memanjang sehingga di lihat dari jauh bentuknya seperti seekor Naga, yaitu bentuk bukit-bukit kecil dan lembahnya. Sejak puluhan tahun yang lalu, pulau itu menjadi semacam pulau keramat yang di takuti orang. Para Nelayan tidak ada yang berani mendekat ke pulau ini karena pulau itu terkenal sebagai tempat tinggal seorang datuk besar bernama Poa Yok Su yang berjuluk Hek Liong Ong (Raja Naga Hitam).

   Hek Liong Ong Poa Yok Su ini mempunyai sebuah rumah besar di pulau itu dan mempunyai sedikitnya tigapuluh orang anak buah yang juga tinggal dipulau itu.

   Akan tetapi pada pagi hari itu, pulau itu berkabung. Sebuah peti mati besar berada di ruangan depan bangunan besar itu dan tiga puluh orang anak buah itu berkabung dan nampak lesu berduka. Hek Liong Ong Poa Yok Su yang sudah berusia lanjut, kurang lebih sembilan puluh tahun itu telah meninggal dunia.

   Di ruangan berkabung itu nampak menyeramkan, seperti biasa terdapat di ruangan dimana terdapat peti mati dan sembahyangan. Asap dupa dan hio memenuhi ruangan, baunya menyengat hidung. Para anak buah siap untuk menerima tamu yang datang melayat. Mereka telah menyebarkan berita di daratan akan kematian majikan mereka. Akan tertapi sejak pagi tidak ada seorangpun datang melayati. Siapa yang akan datang melayat seorang datuk yang terkenal sebagai tokoh sesat itu?.

   Murid tunggal Hek Liong Ong yang bernama Cia Bi Kiok, yang kini tentu sudah berusia limapuluhan tahun. Sejak tigapuluh tahun lebih yang lalu, telah meninggalkan gurunya karena Hek Liong Ong hendak memaksa murid yang cantik itu menjadi istrinya, pengganti istrinya yang meninggal dunia. Sejak itu Cia Bi Kiok itu melarikan diri dari Pulau Naga, kemudian membentuk anak buah sendiri dan tinggal di pulau Hiu sebagai bajak laut. Sekarang ia tidak lagi tinggal di pulau hiu dan orang tidak tahu lagi kemana perginya.

   Setelah ditinggal pergi murid tunggalnya, Hek Liong Ong hidup tanpa sanak keluarga. Istrinya meninggal tanpa meninggalkan anak dan dia hanya hidup bersama anak buahnya yang hidupnya juga dari hasil pembajakan di laut.

   Setelah matahari naik tinggi, mendadak muncul seorang pria tinggi besar yang bermuka hitam dan pria yang usianya lebih lima puluh tahun ini membawa sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.

   Si tinggi besar muka hitam ini memandang dengan sepasang matanya yang lebar dan membaca tulisan dimeja sembahyang depan peti mati.

   "Hek Liong Ong Poa Yok Su, kau telah benar-benar mampus? Hidup atau pun mati, aku harus memenggal batang lehermu. Ini sudah menjadi sumpah Toat Beng Kwi To (Golok Setan Pencabutnyawa) dan aku harus memenuhi sumpahku ini"

   Setelah berkata demikian, dengan goloknya dia menghampiri peti mati dan siap mencokel tutup peti mati. Akan tetapi, sepuluh anak buah Hek Liong Ong segera berlompatan maju dengan pedang ditangan menghalangi orang bermuka hitam itu.

   "Siapa-pun tidak boleh mengganggu peti jenazah majikan kami" bentak seorang diantara mereka dan sepuluh orang itu sudah siap melawan dengan pedang mereka.

   Si Muka hitam itu tertegun, lalu berdongak dan tertawa bergelak "Ha-ha-ha-ha, Hek Liong Ong, agaknya anak buah mu ini setia juga kepadamu dan biarlah merekan mengikutimu ke neraka jahanam"

   Setelah berkata demikian goloknya berkelebat. Cepat dan kuat bukan main golok besar itu menyambar-nyambar. Sepuluh orang anak buah Hek Liong Ong bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah para bajak laut yang biasa berkelahi dan menggunakan kekerasan. Mereka menggerakan perang melawan, akan tetapi sia-sia saja. Biarpun mereka sudah menangkis, tetap saja mereka itu roboh satu demi satu dengan bermandikan darah sendiri, tewas seketika terbabat golok ditangan simuka hitam yang mengaku berjuluk Toat Beng Kwi To itu.

   Dua puluh lebih anak buah Hek Liong Ong yang lain, melihat betapa sepuluh orang rekan mereka roboh dengan leher hampir putus dan tewas seketika, menjadi gentar dan mereka mundur menjauh dari peti mati. Mereka tidak berani menghalangi lagi ketika Toat Beng Kwi To maju dan hendak mencokel tutup peti mati agar terbuka karena dia ingin memenggal leher jenazah Hek Liong Ong.

   Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras dan tutup peti itu terbuka.

   "Braaak" dan dari dalam peti mati itu berkelebat sosok bayangan ke atas. Ternyata itu adalah "mayat" Hek Liong Ong yang setelah tiba diatas, berjungkir balik dan dengan gerengan mengerikan menukik dan kedua tangannya membentuk cakar mencengkram ke arah kepala Toat beng kwi to.

   Toat Beng kwi to adalah seorang datuk yang lihai dan berani. Akan tetapi saat itu mukanya berubah pucat sekali karena dia tidak mengira akan terjadi hal seperti itu. Benerkah Hek Liong Ong yang sudah mati hidup kembali dan kini mayat hidup itu menyerangnya?. Dengan hati berguncang dia menggerakkan goloknya memapaki sosok tubuh mengerikan itu. Dia membacok ke atas sambil memandang dengan mata terbelalak ngeri.

   Karena terkejut dan ngeri, maka Toat Beng kwi to kehilangan kewaspadaannya. Bacokan goloknya ditangkis begitu saja oleh tangan kiri "mayat hidup" itu dan tangan kanannya masih terus mencengkram ke arah kepala.

   Toat Beng kwi to menangkis dengan tangan kirinya, akan tetapi tangkisannya kalah kuat, tangan kirinya terpental dan tahu-tahu jari-jari tangan itu telah menancap dan mencengkram kepalanya. Toat Beng kwi to mengeluarkan teriakan mengerikan dan darah keluar dari kepalanya yang ditembusi jari-jari tangah mayat hidup itu. Dia masih berusaha untuk meronta, akan tetapi kedua kakinya seperti kehilangan tenaga dan terkulai roboh dengan kepala berlubang-lubang dan berdarah. Hanya sejenak dia berkelonjotan lalu tewas.

   Kini "Mayat hidup" itu duduk diatas sebuah kursi. Ternyata dia bukanlah mayat, melainkan Hek Liong Ong Poa Yok su dengan pakaian lengkap. Dia memandang kepada sepuluh orang anak buahnya yang tewas, lalu memandang kepada mayak Toat Beng kwi to, lalu meludah kearah mayat itu.

   "Heran benar, sampai sesudah matipun orang masih mencariku untuk membalas dendam" Dia lalu menggapai duapuluh lebih anak buahnya yang tadiketakutan dan mundur.

   Mereka datang menghadap dan Hek Liong Ong Poa Yok Su berkata kepada mereka "Siasatku berpura-pura mati untuk menghindari balas dendam pada usiaku yang sudah tua ini harus dilanjutkan, Akan tetapi aku tidak lagi bersembunyi didalam peti mati. Terlalu berbahaya. Aku akan mengganti tubuhku dalam peti dengan bata. Kemudian, sediakan sebelas peti mati untuk para anak buahku dan untuk Golok Setan ini, bariskan semua peti mati berjajar dengan peti matiku. Kalian jaga baik-baik dan setelah semua peti mati dikubur, kalian boleh meninggalkan pulau ini dan membagi semua barang yang berada disini diantara kalian. Aku mau pergi sekarang juga. Awas, jangan ada yang melanggar pesanku ini"

   Hek Liong Ong Poa Yok Su yang dalam usianya yang sudah lanjut itu masih nampak gagah dan tinggi besar itu lalu pergi dengan langkah lebar. Dua puluh tiga orang anak buah Hek Liong Ong lalu sibuk melaksanakan pesan majikan mereka. Mereka lalu mengeluarkan peti-peti mati yang memang banyak tersedia dipulau itu, memasukan semua jenazah lalu mengatur peti-petii mati itu sejajr dengan peti mati majikan mereka yang mereka isi dengan bata dan mereka tutup kembali. Di Depan setiap peti mati si Golok Setan mereka juga menuliskan nama julukan itu.

   Kemudian mereka membakar lagi dupa dan sudah bersiap-siap untuk mengubur semua peti mati. Mereka cepat menggali dua belas lubang kuburan dan kini beramai-ramai mengangkuti peti-peti mati itu ke kuburan yang berada di tengah-tengah pulau. Baru saja mereka menurunkan peti-peti mati itu dari pikulan dan meletakkan diatas tanah dekat lubang-lubang yang mereka gali, tiba-tiba terdengar seruan halus"haiiii, berhenti dulu, jangan di kubur"

   Semua orang memandang ke sekeliling akan tetapi tidak nampak ada orang di situ. Dan mereka melihat seseorang datang berlari-lari dari pantai. Sungguh mengherankan kalau orang itu yang bicara tadi. Orangnya masih begitu jauh akan tetapi suaranya seperti dia berada di dekat mereka. Dan larinya demikian cepat seperti terbang saja dan tak lama kemudian, seorang berpakaian tosu telah berdiri di situ. Tosu ini berusia kurang lebih enampuluh tahun, tinggi kurus dan mukanya demikian kurus sehingga tinggal tulang terbungkus kulit seperti tengkorak hidup. Matanya yang sipit kecil itu mencorong bagaikan dua titik bunga api. Tangan kirinya memegang sebuah hud tim, semacam kebutan yang biasa dipegang para pendeta dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat putih.

   "Peti-peti jenazah siapa saja ini?" dia bertanya kepada mereka yang memandang kepadanya penuh kecurigaan. Seorang yang menjadi pimpinan anak buah Pulau Naga itu lalu menjawab "Yang ini adalah peti jenazah majikan kami Hek Liong Ong Poa Yok Su, yang itu adalah peti jenazah Toat Beng kwi to dang yang sepuluh ini peti jenazah rekan-rekan kami"

   "Hek Liong Ong mati? Mana mungkin? Dan Toat Beng kwi to mati pula di sini? Aneh sekali, apa yang telah terjadi?"

   Anak buah Pulau Naga yang mewakili teman-temannya itu menceritakan dengan singkat"Toat Beng kwi to datang membikin kacau, sepuluh orang anak buah pulau naga dibunuhnya. Majikan kami yang sudah tua dan sakit terpaksa maju melawannya. Dan keduanya tewas oleh perkelahian itu" Cerita yang masuk di akal, akan tetapi tosu tinggi kurus itu menggunakan gagang kebutannya untuk menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan penuh kebimbangan.

   "Toat Beng kwi to dapat membuhuh sepuluh orang anak buah pulau naga, hal itu tidak aneh. Akan tetapi dia dapat menandingi Hek Liong Ong sampai mati bareng? Ah, mana mungkin ini? Ingin aku memberi hormat kepada sahabatku Hek Liong Ong" Dia menghampiri peti jenazah Hek Liong Ong dan para anak buah pulau naga tidak curiga karena tosu itu menyebut majikan mereka sebagai sahabat. Dan tosu itupun menepuk-nepuk peti jenazah itu dari ujung ke ujung dengan perlahan sambil berkata, suaranya lirih akan tetapi terdengar mengerikan.

   "Hek Liong Ong, kenapa kau mati menginggalkan pinto? Ini tidak adil, dan tidak jujur. Hemm, benarkah kau yang berada didalam peti mati ini?" Dan sekali tangannya bergerak terdengar suara keras dan peti mati itu bergoyang, tutupnya terbuka.

   Semua anak buah pulau naga menjadi terkejut sekali, apalagi melihat betapa semua tumpukan bata didalam peti mati telah remuk. Tentu ketika menepuk-nepuk peti mati itu tosu tadi mengerahkan tenaga saktinya, menyerang ke arah "mayat" di dalam peti sehingga bata itu remuk semua. Kini mereka dengan pedang di tangan sudah mengepung dan menyerang tosu itu karena kebohongan mereka sudah diketahui. Lebih baik mendahului turun tangan membunuh tosu itu daripada membiarkan mereka diserang.

   Akan tetapi, ternyata kepandaian tosu itu jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Toat Beng kwi to yang dahsyat tadi. Tongkat dan kebutan itu menyambar-nyambar dan duapuluh tiga orang itupun roboh satu demi satu dan tewas seketika. Tidak ada yang sempat melarikan diri sama sekali saking cepatnya gerakan tosu itu yang seperti melayang-layang diantara mereka. Setelah semua orang roboh dan tewas, tosu itu menghampiri peti jenazah yang terisi bata itu dan menggeleng-geleng kepalanya lalu menghela napas panjang.

   "tsk-tsk-tsk... Hek Liong Ong, kau sungguh cerdik dan licik" Mata yang kecil itu memandang acuh kepada kepada duabelas buah peti mati dan duapuluh tiga buah mayat yang berserakan itu, lalu menghela napas lega, lalu berlari seperti terbang menuju ke rumah besar bekas tempat tinggal Hek Liong Ong. Setelah memeriksa dan tidak menemukan seorangpun di sana, tosu itu lalu membakar rumah itu.

   "Hem, Hek Liong Ong" gumannya sambil memandang api yang berkobar melalap bangunan itu "biarpun pinto belum berhasil membunuhmu, setidaknya pinto telah membasmi sarangmu dan semua anak buahmu. Setelah berkata demikian, diapun cepat lari ke pantai, melepas tali perahunya dan tak lama kemudian diapun sudah melayarkan perahunya menuju daratan.

   ***

   Hek Liong Ong Poa Yok Su telah berhasil meninggalkan pulau naga tanpa ada yang mengetahui kemana dia pergi. Begitu tiba di daratan dia langsung memotong rambutnya sampai gundul dan dengan pakaian compang camping seperti seorang pengemis dia melanjutkan perjalanan. Mengapa seseorang yang sedemikian lihainya seperti Hek Liong Ong Poa Yok Su, majikan pulau naga yang mempunyai banyak anak buah menjadi ketakutan dan berpura-pura mati untuk menyembunyikan dirinya? Siapa yang di takutinya?

   Sebetulnya, dia tidak takut kepada siapa pun. Tidak ada orang didunia ini yang ditakutinya. Dia adalah datuk besar di timur yang terkenal dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi setelah usianya semakin tua, setelah dia menyadari benar-benar bahwa kematian pasti akan tiba, dia menjadi ketakutan. Hek Liong Ong Poa Yok Su takut akan kematian. Dia merasa tidak berdaya menghadapi maut, tidak kuasa melawan maut. Oleh karena itu dia membayangkan bahwa musuh-musuhnya tentu akan datang membalas dendam dan akhirnya dia akan mati. Dia takut, dia ngeri menghadapi kematiannya sendiri, walaupun sudah tidak terhitung banyaknya die menghadapi kematian kematian orang lain melalui tangan atau senjatanya. Kalau dia menbayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya setelah mati, bagaimana dengan tubuhnya yang akan membusuk dan hancur, apa yang akan dijadapinya. Lebih-lebih teringat akan cerita bahwa dosa-dosa yang bertumpuk banyaknya tentu akan mengalami hukuman sesudah mati, dia merasa takut bukan main.

   Perjalanannya membawa dia ke dekat kota raja. Tadinya dia bermaksud hendak ke kota raja menghadap Kaisar Yang Chien yang pernah dibantunya ketika kaisar itu masih muda dan masih berjuang menumbangkan kekuasaan Raja Toba sehingga akhirnya berhasil menggulingkan pemerintah asing dan mendirikan Kerajaan Sui (baca kisah Sepasang Naga Lembah Iblis). Akan tetapi setelah tiba di luar kota raja dia meragu. Dia tahu bahwa di kota raja terdapat banyak pendekar yang kini menduduki jabatan penting dan die mempunyai permusuhan dengan banyak pendekar. Di kota raja juga terdapat banyak musuhnya. Lebih mengerikan lagi karena para pendekar itu tentu tidak akan melupakan dia sebagai musuh dan diantara pendekar itu terdapat banyak orang sakti. Hal ini membuat dia takut memasuki kota raja dan membalikkan tubuhnya lagi untuk meninggalkannya.

   Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan kuil dibukit, tak jauh diluar kota raja. Kuil. Hidup dikuil sebagai seorang hwesio itulah jalan terbaik. Selain dia dapat bersembunyi dari musuuh-musuhnya, diapun dapat menebus dosa-dosanya dengan tekun beribadat. Untuk dapat mengusir perasaan takutnya. Dengan langkah lebar dan hati mantap dia menuju ke kuil itu, mendaki bukit.

   Kuil itu merupakan sebuah kuil besar di huni oleh duapuluh orang hwesio. Kepala kuil itu bernama Tiong Gi Hwesio, seorang tokoh dari kuil siauw lim si. Karena itu, kuil itupun merupakan cabang siauw lim si dan di situ terdapat pula belasan orang pemuda remaja yang belajar ilmu silat dari Tiong Gi Hwesio.

   Ketika Hek Liong Ong tiba di kuil itu, dia diterima oleh seorang hwesio yang bertugas jaga.

   "Paman tua, apakah keperluanmu datang berkunjung ke kuil ini kalau tidak ingin bersembahyang?" tanya hwesio penjaga.

   "Tolong, pertemukan saya dengan ketua kuil, saya mempunyai permohonan kepadanya" kata Hek Liong Ong merendah.

   Kebetulan sekali Tiong Gi Hwesio keluar dari kuil itu dan melihat seorang kakek ingin bertemu dengannya, diapun segera menghampiri "Sobat, pinceng adalah Tiong Gi Hwesio, kepala kuil ini. Ada keperluan apakah, kau hendak bertemu dengan pinceng?" tanyanya dengan nada ramah sekali.

   Kakek itu memandang kepada Tiong Gi Hwesio dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki hwesio itu.

   "Losuhu, tolonglah saya, saya ingin menebus dosa dengan masuk menjadi hwesio dan mempelajari Kitab-Kitab agama, hidup beribadat. Tolonglah saya, saya mau bekerja sebagai apa saja di dalam kuil ini" dalam suara Hek Liong Ong terkandung kesungguhan hatinya dan suaranya seperti orang yang ketakutan dan hampir menangis.

   "Omitohud.... Biarpun kau sudah tua, kau masih belum terlambat untuk bertaubat dan mengubah jalan hidup mu. Sang Budha akan memberkati-mu" Tiong Gi Hwesio merasa iba kepada Hek Liong Ong "Siapakah namau, sobat?"

   "Saya bermarga Liong, nama saya Beng" kata Hek Liong Ong berbohong.
Karena kalau dia berterus terang siapa dirinya, tentu hwesio itu tidak akan mau menerimanya. Nama Hek Liong Ong Poa Yok Su sudah terlalu tersohor dan pasti akan membikin takut para hwesio ini.

   "Baiklah, pinceng suka menerima-mu menjadi murid di kuil ini dan tentang pekerjaan nanti saja kita lihat apa yang dapat kau bantu untuk kami"

   Hek Liong Ong merasa gembira sekali. Dia mencium ujung kaki Tiong Gi Hwesio dan mengeluarkan sepuluh potong emas yang selama ini dia simpan dikantungnya "Banyak terima kasih atas kemurahan hati lo suhu, dan ini seluruh milik yang ada pada saya, saya serahkan untuk keperluan kuil"

   Tiong Gi Hwesio terbelalak, sepuluh potong emas itu besar sekali harganya, akan tetapi karena orang tua itu menyerahkannya dengan rela, maka harta itu diterimanya untuk kepentingan kuil.

   Mulai hari itu jadilah Hek Liong Ong seorang hwesio dan dia diberi julukan Ho Beng Hwesio. Setelah beberapa hari berada di kuil itu dan Tiong Gi Hwesio mendapat kenyataan bahwa hwesio itu pandai memasak, maka Ho Beng Hwesio diberi tugas sebagai tukang masak.

   Hek Liong Ong yang sudah menjadi Ho Beng Hwesio merasa senang sekali tinggal di kuil itu. Dia mendapatkan dua keuntungan. Pertama, setelah menjadi hwesio tidak akan ada lagi musuhnya yang dapat mengenalnya sehingga dia dapat bersembunyi di kuil itu dengan hati tenang dan tentram dan kedua, dia dapat menentramkan hatinya dengan mempelajari agama sehingga dia dapat mengusir rasa takutnya menghadapi kematian.

   Diapun dapat menyembunyikan kepandaiannya. Biarpun disitu terdapat banyak murid yang mempelajari ilmu silat, namun dia tidak pernah memperdulikan dan acuh saja seolah dia seorang tua yang lemah dan sama sekali tidak mengerti tentang ilmu silat.
Setelah lewat beberapa bulan, Hek Liong Ong merasakan kedamian dalam hatinya dan dia sudah merasa benar-benar aman dari ancaman musuh-musuhnya.

   ****

   Cerita ini dimulai pada tahun 594, baru tiga belas tahun kerajaan Sui berdiri. Setelah perjuangan selama belasan tahun dengan gigih, Pendekar Yang Chien, akhirnya dalam tahun 581 dapat mengalahkan pemerintah penjajah Toba dan mendirikan Kerajaan Sui. Dalam Kisah Sepasang naga lembah iblis diceritakan tentang perjuangan Yang Chien. Kaisar Yang Chien berhasil mempersatukan kembali semua daerah sehingga Kerajaan Sui menjadi besar dan Jaya. Kaisar Yang Chien pandai memerintah dan Kerajaan Sui menjadi terkenal, keamanan dapat dikembalikan dan keadaan dalam negeri diperkuat.

   Pemerintah diselenggarakan dengan bijaksana, pajak-pajak diperingan, hukum-hukum negara ditegakkan dan dilaksanakan dengan baik. Bahkan untuk kepentingan pertanian dan perdagangan, Kaisar Yang Chien memerintahkan penggalian terusan-terusan yang menghubungkan kedua Sungai Huang Ho dan Yang Ce. Untuk melaksanakan pekerjaan besar ini dibutuhkan tenaga ratusan ribu orang dan Kaisar Yang Chien tidak mau mempergunakan kekerasan system kerja paksa seperti kaisar-kaisar yang terdahulu, akan tetapi dia mengharuskan para petugas untuk memberi upah kepada para pekerja sehingga pekerjaan dapat berjalan lancar tanpa protes dari pihak rakyat jelata.

   Sikapnya untuk urusan keluar daerah juga tegas. Daerah-daerah yang tidak mau tunduk di serbu dan ditaklukan kembali. Daerah Tong Kin dan Annam ditundukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sui.
Kaisar yang bijaksana dan adil selalu mendapat dukungan rakyat jelata dan menarik hati para cendikiawan untuk berdatangan dan membantu. Dan Kaisar Yang Chien menerima para cerdik pandai dengan tangan terbuka, setelah menguji mereka memberi kedudukan yang sepadan dengan kepandaian mereka sehingga roda pemerintahan dapat berputar sedemikian lancar. Para pejabat tinggi yang dekat dengan kaisar memperlihatkan kesetiaan mereka. Kalau pohonnya sehat maka cabang-cabang, ranting-ranting dan daun-daunnya pun sehat dan pohon yang sehat ini tentu menghasilkan buah yang baik. Demikian pula kalau kaisar sebagai orang tertinggi kedudukannya bijaksana dan adil, maka para pembantu atau bawahannya tentu juga bijaksana dan atasan yang adil bijaksana dapat menegur bawahan yang tidak benar sehingga kebijaksanaan ini dapat terus mengalir sampai kepada pejabat yang tingkatnya paling rendah. Kebijaksanan harus dimulai dari tingkat paling atas sebagai tauladan pertama. Bagaimana mungkin mencegah anak buah bertindak jahat kalau pemimpin mereka sendiri juga jahat?.

   Diantara para pejabat tinggi yang paling dekat dengan kaisar Yang Chien adalah seorang Panglima besar bernama Cian Kauw Cu. Sejak mudanya Cian Kauw Cu menjadi sahabat, bahkan seperti saudara sendiri dari Kaisar Yang Chien. Mereka berdua berjuang bersama, bahkan mereka berdualah yang di kenal sebagai Sepasang Naga Lembah Iblis. Mereka berdua menemukan sepasang pedang yang kemudian menjadi milik mereka berdua, yang putih disebut Pek Liong Kiam (Pedang Naga Putih) menjadi milik Kaisar Yang Chien dan yang hitam di sebut Hek Liong Kiam (Pedang Naga Hitam) menjadi milik Cian Kauw Cu.

   Selain mendapatkan sepasang pedang itu, mereka berdua juga menemukan kitab pelajaran ilmu silat Bu Tek Cin Keng di dalam sebuah gua. Hanya bedanya, kalau Yang Chien mempelajari ilmu dari kitab itu yang kemudian membuat dia menjadi seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Cian Kauw Cu hanya mempelajarinya dari gambar-gambar di dinding sehingga mutu ilmu yang dikuasai Cian Kauw Cu masih kalah dibandingkan yang dikuasai Yang Chien. Hal ini disebabkan Cian Kauw Cu memiliki latar belakang pendidikan yang rendah sekali. Sejak kecilnya dia hidup liar seperti binatang dan dipelihara oleh seekor kera betina. Semua itu diceritakan dengan lengkap dalam kisah sepasang naga lembah iblis.

   Sekarang Cian Kauw Cu atau Cian Ciangkun telah berusia lima puluh tahun.Selama belasan tahun dia ikut pula berjuang di samping Yang Chien. Setelah mereka berhasil, Yang Chien menjadi kaisar dan Cian Kauw Cu di angkat menjadi panglima besar. Dia menikah dengan seorang wanita pilihannya yang bernama Ji Goat, puteri mendiang perdana menteri Kerajaan Toba. Ji Goat juga bukan wanita biasa. Wanita yang sudah berusia empatpuluh tujuh tahun ini adalah seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Mereka memiliki seorang anak tunggal, seorang putera berusia sepuluh tahun yang diberi nama Cian Han Sin.

   Demikianlah sedikit riwayat sepasang pendekar yang dikenal sebagai sepasang naga lembah iblis dan yang kini telah menjadi kaisar dan panglima besarnya.

   Pada hari itu, Kaisar Yang Chien sengaja memanggil Panglima Cian untuk menghadap dan kedua orang sahabat yang kini telah menjadi orang-orang besar dengan usia yang mulai tua itu, duduk berhadapan disebuah ruangan dalam istana. Mereka tidak kelihatan seperti seorang kaisar dengan panglimanya, nampak seperti dua orang sahabat saja. Demikianlah kalau kaisar sedang bercakap-cakap berdua saja dengan Cian-Ciangkun. Keakraban yang dahulu masih nampak dalam sikap mereka walau pun Cian"Ciangkun lebih bersikap hormat.

   "Cian-Ciangkun" kata Kaisar setelah dia mempersilahkan Panglimanya minum arak dari cawan yang disuguhkan "Bagaimana pendapatmu tentang gerakan bangsa-bangsa bar-bar di Utara itu? Bangsa Toba tiada hentinya berusaha untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka dan mereka selalu menggangu daerah perbatasan utara yang demikian luasnya. Dan agaknya mereka itu hendak mengajak Bangsa Turki dan Mongol untuk bersekutu, Kalau mereka sampai bersekutu, mereka akan merupakan kekuatan yang tidak boleh dipandang ringan"

   "Apa yang paduka katakan itu benar sekali, Yang Mulia" Kata Cian Ciangkun yang walaupun mereka namapak duduk berhadapan dengan akrabnya, tetap saja menunjukkan sikap seorang bawahan kepada atasannya" dan satu-satunya jalan untuk menghilangkan ancaman dari Utara itu hanyalah dengan mengirim pasukan dan menundukkan mereka. Setelah kini kekacauan di selatan sudah dapat ditundukkan dan semua balatentara berada dalam keadaan menganggur, maka sudah tiba saatnya untuk mengerahkan pasukan ke utara"

   "Tepat, kamipun berpendapat demikian, Cian Ciangkun, akan tetapi karena usaha pembersihan di utara ini merupakan pekerjaan besar yang penting sekali, sama sekali tidak boleh gagal, maka kami bermaksud untuk memimpin sendiri pasukan besar menyerbu ke utara. Bagaimana pendapatmu, Cian Ciangkun?"

   "Yang Mulia, hamba kira hal itu tidak perlu dilakukan. Untuk membunuh anjing tidak perlu mempergunakan pedang pusaka, untuk menundukkan para perusuh di utara itu hamba kira tidak perlu sampai paduka sendiri turun tangan. Keberadaan paduka di istana masih sangat diperlukan untuk memperlancar jalannya pemerintahan yang berwibawa, Kalau paduka pergi sendiri sampai waktu yang lama, hamba khawatir, akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan di kota raja"

   Hemm, habis bagaimana Ciangkun? Pekerjaan ini amat berat dan penting, juga berbahaya. Kami tidak ingin melihat operasi pembersihan ini gagal"

   "Yang Mulia, apa gunanya hamba berada disini kalau untuk urusan begitu saja paduka harus turun tangan sendiri? Yang mulia, biarlah hamba yang akan mewakili paduka, memimpin pasukan dan menundukkan bangsa"bangsa yang mengancam di perbatasan utara itu"

   Kaisar Yang Chien memandang sahabatnya itu dan mengangguk-angguk senang. Diapun percaya, kalau Cian Kauw Cu yang mewakilinya dan memimpin pasukan, tentu operasi pembersihan itu akan berhasil baik.

   "Bagus, kalau kau sendiri yang memimpin pasukan itu, kami yakin pembersihan itu akan berhasil baik. Pergilah umumkan keputusan ku. Cian Ciangkun. Persiapkan pasukan sebanyak yang kau kehendaki dan berangkatlah dalam minggu ini juga"

   "Baik, hamba siap melaksanakan perintah Yang Mulia" Kata Cian Ciangkun yang segera memberi hormat dan mengundurkan diri.

   Cian ciangkun lalu mengumumkan kepada semua menteri dan pejabat tinggi tentang perintah kaisar dan dia sendiri lalu menghubungi para panglima mempersiapkan pasukan yang akan dibawanya ke utara untuk menundukkan Bangsa Nomad di uatara itu. Karena perjalanan ke utara melalui daerah pegunungan dan gurun yang serba keras dan sukar, maka Cian Ciangkun memberi waktu sekitar satu minggu kepada pasukan untuk mempersiapkan perbengkalan.

   Dirumah gedungnya, Cian Kauw Cu bercerita kepada istrinya tentang tugasnya mewakili Kaisar untuk melakukan pembersihan ke utara. Istrinya maklum akan tugas suaminya sebagai panglima besar. Bukan baru kali ini suaminya pergi meninggalkannya untuk memimpin pasukan berperang, sudah berulang kali. Karena itu, iapun tidak merasa khawatir. Ia percaya akan kemampuan suaminya. Apalagi sekarang yang akan dibersihkan hanyalah pengacau-pengacau perbatasan.

   "Berapa lamanya gerakan pembersihan itu, suamiku?" tanyanya.

   Ciang Ciangkun menggeleng kepalanya "Belum dapat kuperkirakan sekarang. Biarpun mereka itu hanya pengacau-pengacau yang kukira tidak berapa besar kekuatannya, namun medannya amat sukar. Dan mereka adalah penunggang kuda yang mahir, mudah melarikan diri di daerah yang liar itu. Mereka itu berkelompok dan berpindah-pindah. Itulah sukarnya. Kalau mereka bersarang, mudah saja membasmi sarang mereka. Akan tetapi, dengan serbuan-serbuan pasukan kita, ku kira mereka akan cerai berai dan tidak dapat bersatu lagi dan mudah"mudahan saja tidak terlalu lama aku akan dapat pulang"

   Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun berlari-lari masuk ke ruangan itu. Dia adalah Cian Han Sin. Anak ini memiliki tubuh seperti ayahnya, tinggi besar dan tegap. Akan tetapi kulitnya tidak hitam seperti ayahnya, melainkan putih bersih seperti ibunya. Juga wajah anak ini seperti ibunya, maka dia kelihatan tampan. Tampan dan gagah karena tubuhnya tegap.

   "Han Sin, kenapa kau berlari-lari?" tegur ibunya.

   Akan tetapi anak itu berlari menghampiri ayahnya.

   "Ayah, aku melihat pasukan bersiap-siap dan katanya ayah hendak memimpin pasukan menuju ke utara, ke mongol. Benarkan, ayah?"

   Cian Ciangkun tersenyum dan mengelus kepala puteranya "Memang benar, Han Sin. Kaisar memerintahkan ayahmu untuk memimpin pasukan dan mengadakan pembersihan kepada para pengacau diperbatasan"

   "Aihh, aku ingin sekali ikut, ayah. Aku ingin melihat daerah utara. Kabarnya banyak pegunungan liar dan daerah gurun pasir. Ingin aku melihatnya"

   Ayahnya tertawa, mengangkat anak itu dan dipangkunya. Sebagai anak tunggal, tentu saja Han Sin agak dimanja oleh ayahnya.

   "Han Sin, kau kira ayahmu pergi pesiar maka kau hendak ikut? Ayahmu pergi memerangi orang-orang yang mengacau diperbatasan, bangsa bar-bar yang liar dan kejam"

   "Jadi aku tidak boleh ikut, ayah?" Han Sin merajuk dan turun dari pangkuan ayahnya.

   "Tentu saja tidak boleh, bagaimana kalau aku bertempur, apakah kau akan bertempur pula?"

   "Aku selama ini sudah berlatih silat bertahun-tahun berlatih silat, aku tidak takut bertempur"

   Cian Ciangkun tertawa "Ha-ha-ha, sudahlah kau tinggal dirumah saja menemani ibumu" Di dalam hatinya dia merasa bangga melihat keberanian puteranya.

   "Han Sin, jangan ganggu ayahmu. Ayah melaksanakan tugas penting yang berat, bukan main-main. Kau tidak boleh ikut. Rngkau harus tinggal dirumah bersama ibu, melatih silat dan menghafal pelajaran mu membaca dan menulis. Kau harus rajin belajar agar kalau ayahmu pulang kau sudah memperoleh banyak kemajuan" kata Ji Goat.

   "Benar kata-kata ibumu, Han Sin"

   "Kalau begitu, aku minta oleh-oleh. Kalau ayah pulang, agar aku dibawakan pedang mongol yang bentuknya melengkung itu" kata Han Sin.

   "Baiklah, akan kubawakan untukmu" kata ayahnya. Barulah Han Sin tidak rewel lagi dan dia segera keluar untuk bermain-main.

   ***

   Seminggu kemudian, berangkatlah Cian Kauw Cu, memimpin pasukan yang cukup besar jumlahnya. Tidak kurang dari selaksa orang prajurit dalam pasukannya, dengan belasan orang perwira tinggi menjadi pembantunya. Kelak diperbatasan, jumlah ini akan ditambah pula dengan pasukan yang berjaga diperbatasan.

   Pagi itu Cian Kauw Cu meninggalkan gedungnya di antar oleh istrinya dan puteranya sampai di pintu pekarangan. Panglima berusia setengah abad lebih ini masih nampak gagah perkasa dalam pakaian panglima yang mentereng.

   Dipinggangnya tergantung pedang pusakanya yaitu Hek Liong Kian (Pedang Naga Hitam) yang dahulu dikenal di dunia kang ouw sebagai pusaka yang ampuh. Setelah berpamit sekali lagi kepada istri dan puteranya, dia lalu menunggang kudanya yang berbulu hitam menuju ke benteng dimana pasukannya telah siap.

   Pasukan besar itu meninggalkan kota raja menuju ke utara. Berhari-hari pasukan itu menempuh perjalanan yang melelahkan, naik turun gunung sampai akhirnya mereka tiba di perbatasan dan berhenti di benteng pasukan penjaga dalam tembok besar. Disini Cian Ciangkun berunding dengan para perwira pembantunya dan panglima yang memimpin pasukan perbatasan, membicarakan keadaan didaerah perbatasan itu. Dia mendapat laporan bahwa memang orang-orang Toba, Turki dan Mongol seringkali menggangu daerah itu bahkan beberapa kali menyerang perbentengan untuk menyerbu ke dalam tembok besar. Adakalanya penyerangan mereka demikian kuatnya sehingga beberapa kali hampir saja pasukan penjaga itu kebobolan.

   Setelah memperoleh petunjuk darimana gerombolah pengacau itu muncul, mulailah Cian Ciangkun memimpin pasukannya untuk melakukan gerakan pembersihan. Dia memecah pasukannya menjadi beberapa bagian, menyerang dari barat, timur dan selatan untuk menggiring para gerombolan musuh ke tengah untuk dihancurkan.

   Terjadilah pertempuran-pertempuran kecil karena gerombolan pengacau yang terdiri dari bermacam suku bangsa telah digempur dan hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja. Akan tetapi diwaktu malam, selagi pasukan kerajaan berkemah dan beristirahat, gerombolan pengacau itu melakukan serangan dengan panah api, menunggang kuda mengitari perkemahan pasukan itu dan menyerang sambil melarikan kuda. Pasukan dibawah pimpinan Cian Ciangkun segera melakukan perlawanan dan gerombolan pengacau itu melarikan diri. Akan tetapi telah mendatangkan korban yang tidak sedikit pada pasukan Kerajaan Sui.

   Dihadapi perang gerilya seperti ini, Cian Ciangkun menjadi marah sekali dan akhirnya dia membawa pasukannya ke daerah Shansi karena pusat gerombolan pengacau itu berada di Shansi utara, dipimpin Bangsa Toba yang bersekutu dengan Bangsa Turki dan Mongol.

   Gubernur atau kepala daerah Shansi pada waktu itu adalah sorang bernama Li Goan yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Li Goan diangkat menjadi kepala daerah Shansi oleh Kaisar Yang Chien karena ketika Yang Chien berjuang membangun Kerajaan Sui, Li Goan juga berjasa dalam perjuangan. Terutama dalam menundukkan daerah di utara. Li Goan berjasa besar sekali. Dalam tugas ini pula Li Goan mempersunting puteri seorang kepala daerah berketurunan Turki menjdai istrinya sampai saat itu.

   Ketika mendengar bahwa pasukan kerajaan yang sedang melakukan pembersihan di utara itu datang ke Shansi, Li Goan cepat menyambut dan mempersilahkan Cian Kauw Cu dan para perwira tinggi memasuki gedungnya. Didalam gedung itu mereka mengadakan perundingan dan Li Goan menceritakan keadaan para suku -suku bangsa yang berada di utara.

   "Bangsa Turki hanya terbawa saja oleh Bangsa Toba dan Mongol" Kata li Goan.

   "Sebetulnya, mudah membujuk bangsa Turki agar jangan mengganggu perbatasan dan menjadi tetangga yang baik. Akan tetapi Bangsa Toba masih penasaran dan ingin membangun kembali kerajaan mereka yang telah hancur. Mereka bersekutu dengan Bangsa Mongol dan kedua suku bangsa itu kalau dapat ditundukkan dengan sendirinya bangsa Turki tentu juga akan mundur.

   "Dimana pusat dari orang-orang Toba itu?" tanya Cian Ciangkun.

   "Menurut penyelidikan para mata-mata kami, mereka itu berpusat disekitar lembah Huang Ho, di sebelah utara perbatasan Shansi. Mereka membuat sebuah benteng yang kokoh kuat di sana dan seluruh kekuatan sisa pasukan Toba yang terusir dari selatan kini berhimpun di sana.

   "Hmmm, kalau begitu kami akan menyerang benteng mereka itu" kata Cian Ciangkun.

   "Harap Ciangkun berhati-hati. Jumlah mereka cukup besar, tidak kurang dari selaksa orang banyaknya dan daerah itu cukup sulit untuk di serang. Selain itu juga banyak orang mongol membantu bangsa toba.

   "Harap tai-jin jangan khawatir, aku pasti akan dapat menghancurkan mereka. Harap Tai-jin suka memerintahkan panglima disini untuk berjaga-jaga sajan dengan pasukannnya, tidak perlu ikut menyerbu. Dengan pasukan kami itu rasanya sudah cukup untuk membasmi sisa pasukan Toba"

   Demikianlah, setelah beristirahat sehari semalam di situ, pada keesokkaan harinya, pagi-pagi sekali pasukan yang dipimpin Cain Ciangkun berangkat menuju ke Lembah Huang Ho. Mereka menemukan benteng itu yang dibangun di tepi sungai, sebuah benteng yang besar dan kokoh kuat. Karena hari sudah senja, Cian Ciangkun memerintahkan pasukannya mendirikan perkemahan dan melakukan penjagaan ketat agar jangan sampai disergap musuh pada malam hari. Akan tetapi malam hari itu gelap sekali. Udara penuh dengan awan hitam sehingga pihak musuh juga tidak berani melakukan serangan diwaktu gelap gulita. Untung bagi pasukan Cian Ciangkun bahwa tidak turun hujan dimalam hari itu.

   Pada keesokan harinya Cian Ciangkun sudah mengatur pasukkannya untuk mengepung perbentengan itu dan mulai menyerang dengan anak panah. Pihak musuh membuka pintu gerbang untuk mengeluarkan sepasukan besar prajurit mereka dan terjadilah perang hebat didepan benteng. Cian Ciangkun memimpin sendiri pasukannya, dengan Pedang Naga Hitam dia mengamuk dan entah berapa banyaknya prajurit musuh yang roboh oelh pedangnya.

   Dari barisan musuh muncul seorang perwira yang tinggi besar seperti raksasa, bersenjatakan tombak, seperti juga Cian Ciangkun, perwira toba dengan tombaknya itu mengamuk dan telah merobohkan banyak prajurit Sui. Akhirnya perwira itu berhadapan dengan Cian Kauw Cu. Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang panglima itu segera saling serang dengan dahsyatnya. Para prajurit di sekeliling mereka bertempur sendiri, tidak ada yang berani mencampuri pertandingan antara dua orang perwira tinggi yang dahsyat itu.

   Berdentang-denting bunyi pedang dan tombak ketika bertemu dan ternyata tombak perwira Toba itu juga terbuat dari baja yang baik sehingga tidak mudah patah bertemu Pedang Naga Hitam.

   Cian Kauw Cu menjadi penasaran bahwa sampai lebih dari tigapuluh jurus dia belum juga mampu merobohkan perwira itu. Dia lalu mengeluarkan teriakan seperti seekor binatang buas, tubuhnya meloncat tinggi ke atas dan tubuh itu menukik dan dengan dahsyatnya dia menyerang dari udara. Bukan main hebatnya serangan ini. Perwira Toba itu terkejut dan berusaha menangkis dengan tombaknya.

   "Traaangggg" Sekali ini tombaknya tidak kuat bertahan terhadap serangan pedang yang berubah menjadi sinar hitam yang ganas itu. Ujung tombak yang runcing itu patah dan sebelum perwira itu mengelak, Pedang Naga Hitam telah menembus lehernya. Perwira tinggi besar itu terjengkang ketika kaki Cian Ciangkun menendangnya sambil mencabut pedangnya, lalu meloncat turun. Akan tetapi ketika tubuhnya masih di udara, sebatang anak panah melesat cepat sekali dari belakang dan tanpa dapat dihindari lagi, anak panah itu menancap dan menembus punggung Cian Kauw Cu sampai tembus di dadanya.

   Cian Kauw Cu mengeluarkan gerangan aneh. Tubuhnya cepat turun ke atas tanah lalu dia memutar tubuh membalik untuk melihat siapa yang menyerangnya dari belakang. Dia melihat seorang perwira pembantunya membuang busurnya dan perwira itu menghampirinya. Cian Kauw Cu menundingkan telunjuknya dan tubuhnya terhuyung.
"kau... Kau" dan diapun terpelanting roboh. Perwira itu berlutut dan memeriksa dan ternyata Cian Kauw Cu telah tewas. Anak panah itu menembus jantungnya. Perwira itu lalu mengambil Pedang Naga Hitam dari genggaman tangan jenazah Cian Ciangkun lalu menyembunyikan pedang itu dibalik bajunya. Kemudian dia memondong jenazah itu dibawa ke bagian belakang pasukan yang sedang bertempur.

   Walaupun Cian Ciangkun telah gugur, namun para perwira pembantu terus memimpin pasukan sampai musuh dapat dipukul mundur dan benteng itu dapat diduduki. Baru setelah benteng dapat diduduki dan musuh dapat di usir, semua prajurit mendengar berita mengejutkan bahwa Cian Ciangkun telah gugur dalam pertempuran itu, terkena anak panah yang menembus punggungnya.

   Biarpun pulang membawa kemenangan, namun pasukan itu diliputi kedukaan karena kehilangan pemimpin mereka. Karena untuk membawa jenazah Cian Ciangkun ke kota raja jaraknya terlalu jauh, maka terpaksa jenazah itu dibawa ke Shansi dan dengan upacara kebesaran yang diatur oleh kepala daerah Shansi, Li Goan, jenazah itu di makamkan di tanah kuburan terhormat ditempat itu. Setelah itu, pasukan bergerak pulang ke kota raja dan para perwira segera memberi laporan kepada Kaisar.

   Kaisar Yang Chien merasa terkejut sekali mendengar berita gugurnya Cian Ciangkun. Dia benar-benar merasa terpukul dan tidak mengira bahwa sahabatnya itu akan tewas dalam pertempuran itu. Kaisar lalu memanggil Ji Goat dan Han Sin ke Istana.
Istri iang Ciangkun itu cepat menghadap kaisar, disertai putranya dan ketika mendengar akan gugurnya suaminya tercinta, Ji Goat menjadi pucat wajahnya. Akan tetapi tidak ada setetes pun air mata tumpah. Wanita itu menyadari benar bahwa suaminya adalah seorang panglima perang yang sewaktu-waktu dapat saja jatuh dan gugur. Betapa pun juga, suaminya gugur sebagai seorang pahlawan dan ia merasa bangga.

   "Suami hamba gugur sebagai seorang pahlawan. Di atas kesedihan karena kehilangan suami dan ayah kami ibu dan anak merasa bangga sekali" kata Ji Goat yang berlutut bersama puteranya. Sian Han Sin juga tidak menangis walaupun matanya agak kemerahan. Hatinya seperti diperas-peras rasanya kalau dia membayangkan ayahnya ketika hendak berangkat dan berjanji akan membawakan sebatang pedang bengkok untuknya. Tidak, ia tidak boleh menangis, begitu pesan ibunya tadi. Di depan Kaisar mereka patut menjadi keluarga seorang Pahlawan Besar.
Kaisar Yang Chien yang mengenal istri Cian Kauw Cu ini semenjak ia masih gadis, lalu berkata lembut, hatinya diliputi keharuan" Ji Goat, bangkit dan duduklah di kursi itu. Demikian pula anakmu, eh siapa namanya? Kami lupa lagi"

   "Hamba Cian Han Sin, Yang Mulia" Kata anak itu dengan sikap gagah dan hormat.

   
Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Oya, kaupun duduklah, Han Sin. Kami ingin bercakap-cakap dengan kalian. Ada urusan penting yang akan kami sampaikan"

   "Terima kasih Yang Mulia" kata Ji Goat dan ia pun bangkit berdiri lalu duduk di atas kursi. Han Sin juga duduk di sebelah ibunya. Keduanya menundukkan kepala, menanti ucapan sang kaisar.

   "Ketahuilah, Ji Goat, bahwa suami mu telah berjasa besar sekali kepada Kerajaan. Bukan hanya berjasa dengan kedudukannya sebagai seorang panglima, bahkan jauh sebelum itu dia telah membantu perjuangan dan menjadi tokoh penting dalam mendirikan Kerajaan Sui. Lebih lagi dari itu, dia yang menunjukkan kepada kami adanya sebuah rahasia yang kemudian kami miliki berdua. Akan tetapi, kami merasa kecewa sekali mendengar laporan tentang kematiannya. Kematiannya memang wajar sebagai seorang panglima perang, akan tetapi caranya dia gugur sungguh mengandung rahasia yang aneh"

   "Bagaimanakah rahasia itu, Yang Mulia?" tanya Ji Goat sambil mengangkat muka memandang wajah Kaisar itu.

   "Suamimu tewas karena terkena anak panah yang menembus punggungnya. Menembus punggung, masuk dari punggung, bukan dari dada. Ini berarti bahwa anak panah itu datangnya dari belakang. Hal ini sungguh aneh dan mencurigakan. Selain itu, juga Pedang Naga Hitam tidak dapat ditemukan, padahal semua prajurit tahu bahwa dia menggunakan pedang itu untuk bertempur. Kematiannya yang aneh, diserang dari belakang dan leyapnya Pedang Naga Hitam sungguh merupakan rahasia yang merisaukan hati. Akan tertapi bagaimana hal ini dapat diselidiki kalau terjadi dalam sebuah pertempuran besar seperti itu? Setiap orang sibuk dalam pertempuran, tentu setiap perhatian ditujukan untuk bertempur dan menjaga diri, tidak sempat ada yang memperhatikan keadaan suamimu. Perwira yang menemukan jenazah suamimu juga tidak melihat apa-apa, hanya melihat suamimu sudah menggeletak dan tewas, maka lalu diangkatnya jenazah itu"

   Ji Goat mengerutkan alisnya "hamba akan memikirkan hal itu, Yang Mulia. Mudah-mudahan hamba akan menemukan jalan untuk menyelidikinya"

   "Kamipun akan memerintahkan para panglima melakukan penyelidikan, Ji Goat. Dan masih ada satu hal lagi ingin kusampaikan kepadamu" Suamimu dan kami ketika muda dahulu telah menemukan sepasang pedang dan sebuah kitab ilmu silat. Pedang itu kami bagi dua, Pedang Naga Putih menjadi milik kami dan Pedang Naga Hitam menjadi milik suami mu. Akan tetapi kalau kami mempelajari ilmu itu dari kitab, suamimu tidak sabar dan mempelajarinya dari gambar-gambar didinding. Kami merasa bahwa diapun berhak menguasai ilmu itu, akan tetapi dia tidak pernah mau belajar seperti petunjuk dalam kitab. Karena itu, kami telah menuliskan semua ilmu itu dalam sebuah kitab dan sekarang kami hendak menyerahkan kitab itu kepadamu, agar puteramu kelak dapat mempelajari Bu Tek Cin Keng sebagai warisan ayahnya. Kami sendiri tidak mengajarkan kepada keturunan kami karena dengan kedudukan kami sebagai kaisar, maka tidak perlu mempelajari ilmu silat sampai mendalam. Berbeda dengan puteramu yang kelak tentu membutuhkannya" Kaisar Yang Chien mengeluarkan sebuah kitab yang ditulisnya sendiri, terisi pelajaran tigapuluh enam jurus ilmu Bu Tek Cin Keng, lalu menyerahkannya kepada Ji Goat.

   Karena Kaisar mengatakan bahwa ilmu dalam kitab itu sebagai warisan suaminya kepada putera mereka, Ji Goat menerimanya dan menghaturkan terima kasih. Selain itu, Kaisar juga memberikan gedung beserta semua isinya kepada janda itu. Bahkan Ji Goat masih berhak menerima tunjangan setiap bulan dari kerajaan.

   Baru setelah pulang kerumah Ji Goat merasa hidupnya kosong dan sepi, dan ia memasuki kamarnya lalu menangis diatas tempat tidur, memeluk bantal yang biasa dipakai tidur suaminya. Semua kebanggan dan kekerasan hatinya hancur luluh dilanda duka karena kehilangan orang yang dicintainya.

   " Ibu, ibu menangis?"

   Ji Goat terkejut. Bangkit dan melihat Han Sin sudah berada didalam kamarnya dan memandang kepadanya dengan pandang mata dan sikap khawatir dan penuh iba. Ji Goat tidak dapat menahan kesedihannya. Dirangkulnya Han Sin dan ia pun menangis tersedu-sedu.

   "Han Sin ayahmu" janda itu sesenggukan di dada puteranya sehingga baju di bagian dada itu menjadi basah air mata.

   Han Sin merangkul leher ibunya" Ibu, bukankan ibu sendiri yang mengatakan bahwa ayah tewas sebagai seorang pahlawan besar dan kematiannya tidak perlu disedihkan akan tetapi malah membanggakan? Ibu, Ibu tadi begitu tabah didepan Kaisar, kenapa sekarang?"

   Ji Goat menyusut air matanya dan sekuat tenaga menahan tangisnya"Benar, Han Sin... akan tetapi.... aku... aku merasa kehilangan sekali.... bayangan ayahmu akan selalu nampak.... dan aku merasa kehilangan sekali"

   "Ibu, disini masih ada aku yang menemani ibu " kata anak itu dan melihat anak itu berdiri tegak didepannya dengan gagahnya. Ji Goat merasa terhibur dan merangkul lagi, mencium kedua pipi puteranya.

   ***

   Sejak dia berusia lima tahun, Han Sin telah digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya dan kini dalam usia sepuluh tahun, dia telah menjadi seorang anak yang bertubuh kokoh kuat dan sudah memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau hanya orang dewasa biasa saja jangan harap akan mampu mengalahkan Han Sin.

   Cerita Kaisar tentang kematian suaminya membuat hati Ji Goat merasa penasaran sekali. Telah berhari-hari ia memikirkan dan membayangkan tentang kematian itu. Di panah dari belakang. Tidak mungkin panah itu datangnya dari pihak musuh. Kalau dari pihak musuh tentu panah itu mengenai dada, bukan punggung. Dan Pedang Hek Liong Kiam juga di curi dari tangan suaminya. Agaknya ada suatu rahasia besar dibalik kematian suaminya. Ada pengkhianat? Akan tetapi siapa? Akhirnya ia berpendapat bahwa untuk menemukan pembunuh suaminya, haruslah ditemukan dulu pedang pusaka itu. Pemilik pedang pusaka itu agaknya pembunuh gelap suaminya atau setidaknya pencuri pedang pusaka itu nebgetahui siapa sebenarnya yang mebunuh suaminya. Kalau suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh, hal itu adalah wajar dan urusan habis sampai di situ saja. Akan tetapi kalau pembunuhnya pengkhianat yang membokong dari belakang, hal ini lain lagi dan menimbulkan penasaran, menimbulkan dendam.

   Akan tetapi kemana harus mencari pedang itu? Ia tidak mungkin dapat meninggalkan puteranya untuk mencari pencuri pedang. Tidak, ia tidak akan mencarinya dan biarlah ini menjadi tugas pertama Han Sin kelak. Ia harus menggembleng Han Sin menjadi seorang yang pandai dan tangguh sekali agar dia kelak dapat mencari pencuri pedang dan pembunuh ayahnya.

   Akan tetapi Han Sin masih terlalu kecil untuk disuruh mempelajari kitab Bu Tek Cin Keng. Kaisar berpesan kepadanya bahwa ilmu itu baru boleh dipelajari kalau Han Sin sudah remaja. Biar dia mempelajari ilmu-ilmu silat sebagai dasarnya dan tiba-tiba Ji Goat teringat kepada Tiong Gi Hwesio, Ketua kuil diluar kota raja itu. Tiong Gi Hwesio adalah seorang tosu Siauw lim pai, ilmu silatnya tinggi. Biarlah Han Sin belajar di sana, mempelajari ilmu silat dan juga sastra dan agama agar kelak Han Sin menjadi seorang pendekar yang berwatak budiman. Suaminya pernah menyatakan pendapatnya untuk mengirim Han Sin belajar di kuil itu, dan sekarang ia yang akan melaksanakan pendapat suaminya itu.

   Ketika Ji Goat membicarakan niat hatinya itu kepada Han Sin, anak yang patuh kepada ibunya ini tidak membantah "Kau belajarlah dengan tekun di kuil itu, Han Sin. Setelah kau remaja dan memperoleh dasar ilmu yang mendalam, baru kau akan kuberi kitab ilmu peninggalan ayahmu untuk kau latih. Kau harus menjadi seorang yang tangguh untuk kelak mencari pembunuh ayahmu"

   Han Sin memandang wajah ibunya penuh selidik "Ibu, kalau ibu menghendaki aku belajar di kuil, akan ku lakukan. Akan tetapi, mengapa ibu menyebut tentang pembunuh ayah? Bukan kah ayah tewas dalam peperangan dan menurut ayah yang sudah sering berkata kepadaku, tewas dalam perang adalah kematian yang terhormat bagi seseorang perajurit dan kematian dalam pertempuran tidak ada hubungannya dengan permusuhan pribadi"

   "Memang benar kalau kematian itu terjadi secara wajar, yaitu tewas karena berperang dengan musuh. Akan tetapi kematian ayahmu penuh rahasia dan mencurigakan. Ayahmu tewas karena terkena anak panah yang datangnya bukan dari musuh, bukan dari depan melainkan dari belakang. Ini hanya berarti bahwa ayahmu tewas karena dibokong oleh seseorang pengkhianat, dan juga Pedang Naga Hitam, pusaka ayahmu lenyap dari tangan ayahmu. Nah, sudah menjadi tugasmu kelak untuk mencari pedang yang lenyap itu, Han Sin. Dan pemilik pedang itu tentu pencuri pedang. Dia mungkin pembunuh gelap itu, atau setidaknya dia tentu mengetahui tentang pembunuhan curang itu. Dan untuk dapat menyelidiki dan mengungkap rahasia itu, kau harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. maka belajarlah baik-baik dari Tiong Gi Hwesio, anakku"

   Han Sin mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya "Ah, kalau begitu ayah tewas secara tidak wajar. Baik, Ibu aku akan belajar dengan tekun dan kelak akan aku cari pembunuh ayah" Han Sin yang biasanya lincah jenaka itu kini nampak bersungguh-sungguh karena dia penasaran dan marah mendengar akan kematian ayahnya.

   Demikianlah, beberapa hari kemudian, Han Sin membawa sebuah buntalan pakaian besar, diatar oleh ibunya naik kereta menuju ke kuil Siauw lim si di luar kota yang diketuai oleh Tiong Gi Hwesio itu. Sebelumnya, janda panglima ini sudah mengirim surat kepada Tiong Gi Hwesio tentang maksudnya mengirim puteranya untuk belajar silat, sastra dan agama. Karena keluarga Panglima Cian merupakan penyumbang besar dari kuil itu dan dikenal baikoleh Tiong Gi Hwesio, maka permintaan janda itu diterima dengan senang hati.

   Kedatangan Ji Goat dan puteranya disambut sendiri oleh Tiong Gi Hwesio di ruangan tamu "Nah, lo-suhu, inilah puteraku Cian Han Sin seperti yang sudah kuberitahukan dalam surat itu" kata janda itu dengan sikap ramah.

   "Seorang anak yang baik, Toa-nio, pinceng merasa terhormat sekali dan dengan adanya Cian-Kongcu menjadi murid disini"

   "Losuhu, karena aku akan menjadi muridmu, maka janganlah kalau losuhu menyebutku kong-cu (tuan muda). Namaku Cian Han Sin dan sebut saja namaku tanpa embel-embel tuan muda" kata Han Sin sambil tersenyum.

   "Omitohud.... masih begini muda sudah pandai bersikap rendah hati. Baguss... bagus" puji Hwesio itu sambil mengangguk-angguk.

   "Apa yang dikatakan Han Sin benar, losuhu, hubungan antara guru dan murid akan menjadi janggal kalau losuhu menyebutnya kong-cu. Sebut saja namanya dan bersikaplah kepadanya seperti kepada seorang murid biasa" kata Ji Goat.

   "Omitohud, baiklah Toa-nio"

   "Nah, Han Sin, kau harus memberi hormat kepada suhumu" kata janda itu. Han Sin yang sudah mempelajari tentang tata cari itu, segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan hwesio itu.

   "Suhu, terimalah hormat teecu (murid)" katanya sambil memberi hormat delapan kali.

   "Omitohud.... kau anak dan murid yang baik sekali, Han Sin" kata hwesio itu sambil mengangkat bangun Han Sin. Ibunya memandang dengan gembira.

   "Nah, Han Sin, mulai hari ini kau tinggal disini dan belajarlah dengan tekun. Kau tidak boleh meninggalkan kuil dan kalau kau rindu kepada ibu, aku yang akan datang menjengukmu ke sini. Tidak perlu kau pulang"

   Han Sin sudah maklum bahwa dia harus belajar dengan tekun, maka dia mengangguk.

   "Baiklah, ibu harap jangan khawatir. Aku akan belajar dengan tekun sesuai dengan pesanmu"

   Setelah akhirnya ibunya naik kembali ke dalam kereta dan meninggalkan kuil, mau tidak mau Han Sin merasa seolah semangatnya ikut pergi bersama ibunya. Kini, ayahnya telah meninggal dunia dan ketika ibunya meninggalkannya, ia merasa kehilangan dan kesepian sekali. Akan tetapi dia mengeraskan hatinya, bahkan segera memutar tubuhnya menghadapi Tiong Gi Hwesio.

   "Suhu, harap perintahkan apa yang sekarang harus teecu lakukan"

   Hwesio itu tersenyum. Dia kagus melihat sikap anak ini. Akan tetapi, diapun maklum bahwa anak ini sebagai putera seorang panglima yang kabarnya berilmu tinggi, tentu sudah mendapat gemblengan dari ayah ibunya. Hwesio ini pun pernah mendengar bahwa ibu anak ini pun seorang yang pandai ilmu silat. Karena itu, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak tergesa-gesa mengajarkan ilmu silat kepada anak ini, melainkan menggemblengnya agar dia memiliki dasar tenaga yang kuat dan terutama sekali melatih kesabaran dan menanamkan pelajaran agama kedalam batinnya sehingga kelak akan menjadi seorang yang budiman, tidak hanya mengandalkan kekerasan ilmu silat.

   "Hari ini pinceng antarkan ke kamarmu lebih dulu, setelah itu baru pinceng akan memberitahukan apa tugasmu setiap hari didalam kuil ini"

   Han Sin mendapatkan sebuah kamar tersendiri di dalam kuil itu, tidak seperti belasan murid lain yang tinggal didalam kamar bertiga atau berempat. Bagaimanapun juga, Tiong Gi Hwesio masih merasa sungkan kepada ibu anak itu, seorang penyumbang besar dan janda seorang panglima besar pula.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 23 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 9 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 23

Cari Blog Ini