Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Penakluk Iblis 20


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 20




   "Ihhh......!" Tok-sim Nio-cu tidak sempat mengelak sehingga tubuhnya terjungkal bersama Cian Li keluar dari perahu. Pada saat itu, Lim-kwi Sai-kong mengulur lengannya yang panjang, mungkin untuk menyambar tubuh Tok-sim Nio-cu atau untuk menghantam ke arah tubuh Cian Li. Melihat ini, Pek-liong menyambut dengan dorongan tangannya.

   "Dukkk......!" Dua tangan bertemu dan akibatnya, Pek-liong merasa tubuhnya tergetar dan sebaliknya, Lim-kwi Sai-kong terdorong muodur dua langkah!

   "Byuurrrr......!" Air telaga muncrat ketika tertimpa tubuh dua orang wanita itu. Tok-sim Nio-cu boleh jadi lihai sekali di atas daratan, akan tetapi begitu tubuhnya menimpa air, ia gelagapan karena ia tidak pandai renang!

   "Uuuppp...... tolong..... aeppp... tolong......!!" Ia menjerit-jerit, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak karena kakinya ada yang menangkap dari bawah dan tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air!

   Tentu saja yang melakukan penyerangan ini bukan lain adalah Cian Li! Sejak tadi gadis ini menahan-nahan perasaan cemburu, marah dan bencinya terhadap Tok-sim Nio-cu. Ia maklum bahwa ia tidak berdaya di atas perahu atau di darat, akan tetapi begitu tiba di air, ia memperoleh kesempatan untuk membalas dan melampiaskan semua kemarahan dan kebenciannya kepada wanita genit itu!

   Dipegangnya pergelangan kaki Tok-sim Nio-cu dan dibawanya wanita itu menyelam! Ketika Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, ia lalu menangkap rambut yang riap-riapan itu dan menjambak rambutnya, terus menarik ke bawah!

   "Keparat!" Lim-kwi Sai-kong marah dan sudah mencabut golok besarnya.

   "Sudah, jangan berkelahi!" Beng-cu itu membentak, lalu meneriaki Po-yang Sam-liong.

   "Kalian selamatkan Nio-cu! Dan biarkan nona Kam bekerja, jangan ganggu dan bawa Nio-cu kembali ke perahu!"

   Tiga orang raksasa itu lalu meloncat ke luar perahu. Mereka adalah tiga orang tokoh Telaga Po-yang, tentu saja mereka pandai renang dan pandai menyelam, walaupun tidak sehebat Kam Cian Li atau kakaknya. Mereka menyelam dan mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, akan tetapi rambutnya yang panjang sudah dijambak oleh Cian Li yang bergerak seperti ikan saja, dan tubuh Tok-sim Nio-cu terus ditarik ke bawah!

   Tiga orang ini cepat mengejar dan dengan pengerahan tenaga tiga orang, barulah mereka dapat memaksa Cian Li melepaskan rambut Tok-sim Nio-cu, Po-yang Sam-liong lalu menyeret Tok-sim Nio-cu yang sudah mulai lemas itu naik ke permukaan air telaga.

   Setibanya di permukaan air, Tok-sim Nio-cu terengah-engah dalam keadaan setengah pingsan dan perutnya yang ramping itu kini menggembung karena terlalu banyak minum air telaga! Ia lalu ditolong, diangkat ke perahu dan ditelungkupkan, punggungnya ditekan-tekan sehingga air dari perut keluar melalui mulutnya.

   Melihat keadaan Tok-sim Nio-cu, diam-diam Pek-liong tertawa geli. Sungguh Cian Li merupakan seorang gadis yang hebat dan tabah sekali, pikirnya. Akan tetapi diapun khawatir karena seorang wanita iblis macam Tok-sim Nio-cu tentu tidak akan membiarkan saja dirinya dihina seperti itu, bahkan nyaris tewas konyol di dalam air!

   Sementara itu, tak jauh dari situ, dua pasang mata sejak tadi mengintai sejak perahu besar itu membuang jangkar di tempat itu. Mereka adalah Kam Sun Ting dan Hek-liong-li!

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sun Ting dan Liong-li melakukan perjalanan cepat dan setelah terpaksa melewatkan malam di tepi hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali telah melanjutkan perjalanan membalapkan kuda mereka. Pada tengah hari, mereka tiba di Telaga Po-yang.

   "Kita berhenti di sini dan titipkan kuda kita kepada seorang penduduk di sini yang kaukenal," kata Hek-liong-li. Ia sendiri tidak ikut menitipkan kuda karena ia tidak ingin kehadirannya di Po-yang diketahui orang.

   Setelah kuda dititipkan, ia mengajak Sun Ting untuk mendekati telaga. Sun Ting menjadi petunjuk jalan dan lebih dahulu mereka pergi ke rumah Sun Ting. Ketika tiba di rumah, Sun Ting terkejut sekali melihat rumah itu dalam keadaan kacau, bahkan ada sebagian yang bekas terbakar. Barang-barang dijungkir balikkan, dan yang membuat dia terkejut dan khawatir adalah lenyapnya adiknya yang tidak meninggalkan bekas!

   Melihat kebingungan dan kegelisahan pemuda itu, Liong-li yang sejak tadi bersikap tenang saja lalu berkata, suaranya tidak lagi ramah seperti biasa, melainkan tegas dan berwibawa sehingga Sun Ting merasa terkejut.

   "Sun Ting, bukankah ketika engkau pergi, adikmu yang bernama Cian Li itu bersama dengan Pek-liong-eng?"

   Walaupun terkejut melihat perubahan sikap ini, Sun Ting menjawab dan merasa seolah-olah kini dia berhadapan dengan seorang pemimpin.

   "Benar sekali......, enci Cu!"

   Biasanya, sudah begitu enak menyebut wanita itu enci Kim Cu atau enci Cu begitu saja, akan tetapi melihat sikap wanita itu sekarang, dia merasa akan lebih enak kalau menyebutnya lihiap.

   Mendengar jawaban itu, Liong-li lalu melakukan penyelidikan, meneliti seluruh keadaan rumah itu, kemudian ia keluar dan termenung di luar rumah. Ia melihat tanda-tanda perkelahian di rumah itu, bahkan dia melihat bekas banyak sekali darah di kamar. Ada yang luka parah atau terbunuh agaknya. Dan Cian Li lenyap. Bahkan Pek-liong juga lenyap.

   Kalau Pek-liong ada dan masih bebas, tentu sekarang sudah menyambut kedatangannya. Tidak adanya Pek-liong menyambut, berarti bahwa Pek-liong tidak mampu melakukannya, terhalang oleh hal yang amat penting atau...... tertawan musuh!

   "Mari kita selidiki di rumah-rumah penginapan! Siapa tahu Pek-liong berada di sana atau setidaknya pernah bermalam di sana," katanya dengan sikap memerintah.

   "Baik, ......lihiap."

   Mendengar sebutan ini, Liong-li menatap wajah pemuda itu, akan tetapi tidak menegurnya. Agaknya ia berpikir bahwa dalam keadaan serius seperti itu, sebaiknya kalau pemuda ini menganggapnya sebagai seorang atasan atau pemimpin agar ada keseriusan di antara mereka. Tidak sukar bagi Sun Ting untuk menyelidik dan menemukan rumah penginapan di mana adiknya dan Pek-liong bermalam, malam kemarin.

   "Mereka berdua pergi meninggalkan kamar tanpa pamit," kata pengurus rumah penginapan.

   "Entah ke mana. Akan tetapi buntalan pakaian mereka masih ada."

   Mendengar ini, Sun Ting yang sudah mengenal pemilik rumah penginapan, lalu mendekatinya dan bertanya dengan suara lirih.

   "Toako, katakanlah terus terang, apakah pada hari-hari kemarin engkau tidak melihat mereka?"

   Pemilik rumah penginapan itu mengamati wajah penanyanya, lalu balas berbisik.

   "Siapa yang kau maksudkan dengan mereka?"

   "Maksudku Po-yang Sam-liong...... toako, jangan takut, engkau mengenal aku, bukan? Katakan apa engkau atau orang-orangmu pernah melihat mereka......"

   "Ada hubungannya dengan adikmu yang kaucari-cari ini?" tanyanya, juga berbisik.

   "Jangan kau khawatir, adikmu di sini bersama seorang pemuda tampan. Hemm, pacarnyakah itu? Kapan menikahnya?" Suara pemilik rumah penginapan itu terdengar pahit. Kiranya dia pernah tergila-gila kepada Kam Cian Li, mengajukan pinangan namun ditolak oleh gadis itu.

   "Tidak, hanya teman. Toako, katakanlah tentang mereka itu......" Kam Sun Ting mendesak.

   "Hemm, siapa memperdulikan mereka? Akan tetapi pernah kemarin dulu aku melihat mereka di kuil tua di luar kota itu."

   "Kuil tua tak terpakai di luar kota sebelah utara?" tanya Sun Ting kepada si pemilik rumah penginapan.

   Yang ditanya mengangguk dan kini Liong-li segera berkata.

   "Sun Ting, mari kita pergi!" Dan ia mendahului pemuda itu pergi meninggalkan rumah penginapan. Sebelum Sun Ting menyusul pergi, pemilik rumah penginapan itu memegang lengannya.

   "Hei, Sun Ting, siapakah itu? Pacarmukah? Begitu cantik jelita!" katanya kagum sambil memandang bayangan gadis cantik berpakaian serba hitam itu.

   "Hssss, hanya teman," jawab Sun Ting dan diapun berlari meninggalkan temannya yang masih bengong, mengejar Liong-li.

   Setelah tiba di luar kota, payahlah Sun Ting yang harus mengerahkan seluruh tenaganya mengejar Liong-li yang berjalan dengan cepat sekali. Sambil berjalan cepat, Liong-li memperhatikan sekitar tempat itu, bahkan memperhatikan jalan yang dilaluinya.

   Setibanya di luar kuil, Liong-li tiba-tiba berhenti dan matanya memandang ke arah tembok kuil.

   "Lihiap, bagaimana dengan penyelidikanmu! Kaupikir apa yang telah terjadi dengan adikku! Ia tidak berada dalam bahaya, bukan?"

   Pendekar wanita itu mengerutkan alisnya, tidak menjawab, bahkan ia lalu menghampiri kuil dan mengamati bagian yang agak tersembunyi dari dinding kuil. Ada semak-semak di dekat dinding, akan tetapi agaknya ia melihat sesuatu lalu menyingkap semak-semak itu.

   Sun Ting ikut pula melihat apa yang terdapat di balik semak-semak itu. Hanya coretan dengan bata, coretan kasar menggambarkan sebuah bukit yang ditumbuhi sebatang pohon dan di bawah pohon ada garis menurun. Bagi orang lain, gambar itu tidak ada artinya, juga bagi Sun Ting yang menganggap coretan itu hanya coretan yang dilakukan anak-anak iseng, mungkin anak penggembala kerbau yang iseng. Akan tetapi pendekar wanita berpakaian serba hitam itu mengamatinya dengan penuh perhatian.

   "Ada apakah, lihiap?" Sun Ting bertanya lirih.

   Akan tetapi seperti juga tadi, wanita itu tidak menjawab dan sungguh aneh, alisnya berkerut dan dahinya penuh peluh! Dia sama sekali tidak tahu bahwa memang terdapat hubungan yang amat aneh antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Seolah-olah jalan pikiran kedua orang sakti ini memiliki jalur atau gelombang yang sama sehingga apa yang dimaksudkan oleh seorang, mudah dimengerti yang lain.

   "Sun Ting, adakah bukit terdekat di sini?"

   "Kita ini berada di lereng sebuah bukit, lihiap."

   "Katakan cepat, apakah ada sebatang pohon besar di sini, pohon besar yang berdiri sendiri, pohon tua dan rindang daunnya?"

   Biarpun merasa terheran-heran, Sun Ting mengingat-ingat. Dia sudah hafal akan keadaan bukit itu, maka cepat dia dapat menjawab.

   "Memang ada, lihiap. Pohon tua dan besar, tak jauh dari sini, letaknya di belakang kuil, dari sini tidak nampak, terhalang rumpun bambu."

   "Mari cepat antar aku ke sana!"

   Biarpun merasa heran dan tidak mengerti, Sun Ting yang maklum bahwa semua itu tentu amat penting dan agaknya ada hubungannya, dengan lenyapnya Cian Li, dia mengangguk dan cepat menjadi penunjuk jalan. Tak lama kemudian tibalah mereka di bawah pohon besar itu.

   Makin heran hati Sun Ting ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak memperhatikan pohon, bahkan melongok ke bawah, ke sebuah jurang yang berada di dekat pohon. Pohon raksasa itu tumbuh di tebing jurang yang amat curam.

   "Sun Ting, engkau menungguku di sini dulu. Kalau ada orang melihatmu dan bertanya, kau cari alasan, akan tetapi jangan katakan bahwa aku menuruni jurang ini."

   Sun Ting terbelalak.

   "Menuruni jurang? Lihiap, betapa bahayanya itu! Mau apa menuruni jurang?"

   "PENTING! Belum saatnya bicara sekarang. Kau tunggu di sini!" Dan tiba-tiba saja tubuh yang ramping itu sudah bergantung pada akar pohon dan sebentar saja lenyap ke bawah tebing yang amat curam!

   Wajah Sun Ting menjadi pucat, jantungnya berdebar penuh kekhawatiran. Akan tetapi dia tidak berani menjenguk ke tepi tebing jurang, karena selain dia merasa terlalu ngeri, juga dia takut kalau ada orang melihat dia menjenguk ke bawah. Maka, diapun pura-pura kepanasan dan membuka baju, duduk seperti orang berteduh di bawah pohon itu. Akan tetapi matanya hampir tak pernah berkedip memandang ke tepi jurang ke mana pendekar wanita itu tadi lenyap.

   Ternyata tidak lebih dari dua menit Liong-li menuruni jurang. Dua menit yang bagi Sun Ting sama dengan dua jam! Dan wajah pendekar wanita itu berseri, mulutnya terhias senyuman yang membuat wajahnya menjadi semakin manis. Tanpa setahu Sun Ting, kini di pinggangnya terselip dua batang pedang.

   Kalau tadinya ketika menuruni jurang ia hanya membawa pedangnya sendiri, yaitu Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) yang agak pendek, kini setelah muncul dari jurang ia membawa pula Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih) yang lebih panjang di pinggangnya. Selain itu, juga ia mengantongi sehelai kertas yang memuat tulisan singkat. Bunyi surat tulisan Pek-liong itu seperti berikut:

   "Terpaksa menyerah karena gadis itu mereka tawan.
Entah akan dibawa ke mana.
Cari Po-yang Sam-liong."

   Hanya itulah isi tulisan, tanpa disehut namanya atau nama pengirim. Akan tetapi baginya sudah jelas sekali. Sahabatnya itu dipaksa menyerah kepada pihak musuh karena mereka telah menawan gadis she Kam adik Sun Ting itu! Dan ia harus mencari Po-yang Sam-liong. Hal ini berarti bahwa di antara para musuh itu terdapat Po-yang Sam-liong yang tentu akan dapat membawa ia ke sarang gerombolan musuh. Gawat!

   "Bagaimana, lihiap?"

   Melihat kekhawatiran dan ketegangan membayang pada pandang mata pemuda itu, Liong-li berpendapat bahwa sebaiknya pemuda itu diberitahu akan keadaan yang sebenarnya. Dia perlu ketenangan agar dapat merupakan pembantu yang berguna.

   "Mari kita berjalan menuju ke telaga, Sun Ting. Benarkah dugaanku bahwa untuk mencari Po-yang Sam-liong, sebaiknya kita pergi melakukan penyelidikan ke Telaga Po-yang?"

   Pemuda itu mengangguk, hatinya penuh ketegangan dan mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuruni bukit menuju ke telaga yang nampak dari lereng itu.

   "Sun Ting, tenangkan hatimu. Mereka, Pek-liong-eng dan adikmu itu, telah menjadi tawanan musuh."

   "Ah! Tentu Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya!" Sun Ting mengepal tinju.

   "Akan tetapi Pek-liong-eng demikian lihainya, bagaimana mungkin dia dapat tertawan?"

   "Mereka lebih dulu menawan adikmu dan memaksa Pek-liong-eng untuk menyerah. Kita tidak tahu mereka dibawa ke mana, dan hanya Po-yang Sam-liong yang mengetahuinya. Maka, kita harus mencari mereka secepat mungkin. Mari kita menyewa perahu."

   "Nanti dulu, lihiap. Untuk melawan Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya amatlah berbahaya. Akan tetapi kalau berada di air, biar dikeroyok mereka bertiga, aku sanggup mengalahkan mereka. Lihiap sebaiknya membawa bekal perlengkapan renang dan menyelam, untuk persiapan kalau-kalau semua itu lihiap perlukan."

   Karena ia sendiri bukan seorang ahli renang yang hebat, hanya sekedar dapat mencegah tenggelam saja, Liong-li menurut. Yang dibawa oleh Sun Ting adalah sepasang sepatu yang lebar seperti cakar bebek, dan sebuah pipit lemas kecil yang panjang. Pipa lemas ini dapat dipergunakan untuk bernapas di dalam air selagi menyelam, karena ujungnya diberi pengapung sehingga pipa itu ujungnya akan selalu berada di atas permukaan air dan dapat menyalurkan udara baru kepada si penyelam.

   Setelah membawa perlengkapan dan mengajarkan kepada Liong-li, bagaimana mempergunakan benda-benda itu, mereka lalu naik sebuah perahu kecil, tidak menyewa, melainkan perahu milik Sun Ting sendiri. Untuk menyembunyikan diri, mereka berdua mempergunakan caping yang lebar sekali, yang biasa dipergunakan para nelayan untuk melindungi muka mereka dari terik matahari kalau mereka mencari ikan di telaga.

   Caping lebar itu diberi tali yang dikalungkan di bawah dagu sehingga tidak terbang terbawa angin. Mereka mendayung perahu sambil menyembunyikan muka di balik caping, berputar-putaran dan akhirnya dari jauh mereka melihat perahu besar yang ditumpangi Po-yang Sam-liong! Melihat mereka, Sun Ting cepat mendayung perahunya menjauh.

   "Itulah mereka......!" bisiknya kepada Liong-li.

   Wanita perkasa ini melihat ke arah Sun Ting menunjuk dan melihat perahu besar itu. Yang nampak dari situ hanyalah tiga orang laki-laki raksasa yang berdiri di kepala perahu. Dengan otaknya yang cerdik dan cekatan sekali, Liong-li bertanya.

   "Mereka yang disebut Po-yang Sam-liong?"

   "Benar."

   "Hemm, tentu ada banyak orang lain di sana. Mari kita mendekat, Sun Ting."

   Sun Ting menggelengkan kepalanya.

   "Tidak mungkin mendekat. Mereka akan curiga dan kita akan ketahuan."

   "Ah, bukankah telaga ini tempat umum dan kita sudah menyamar dalam pakaian nelayan? Caping ini dapat menyembunyikan muka kita."

   "Engkau tidak mengerti, enci." Dia berhenti sebentar, tergagap dan Liong-li tersenyum dan dapat mengerti apa yang menyebabkan pemuda itu tergagap.

   "Sun Ting, engkau boleh saja menyebut lihiap atau enci, seenak mu sajalah, bagiku sama saja. Nah, teruskan keteranganmu."

   Sun Ting bernapas lega. Memang, dalam keadaan tegang, dia merasa sukar menyebut enci, lebih suka menyebut lihiap karena sebutan ini selalu mengingatkan dia bahwa wanita ini memiliki kesaktian, lihai sekali dan boleh dipercaya, boleh diandalkan. Namun, dalam keadaan tenang, dia memang lebih sering menyebut enci, sebutan yang lebih akrab.

   "Begini, enci. Coba kaulihat di sana itu. Semua perahu, besar atau kecil, yang bertemu dengan perahu besar itu, pasti menyimpang dan menyingkir jauh-jauh. Kalau perahu kita mendekat, hal itu akan nampak luar biasa sekali dan pasti menarik perhatian Po-yang Sam-liong. Kita sama sekali tidak boleh mendekatkan perahu, hal itu akan menggagalkan penyelidikan kita."

   Liong-li mengangguk girang. Pemuda inipun pandai mempergunakan otaknya! "Habis, kalau tidak mendekatkan perahu, bagaimana kita akan dapat melakukan penyelidikan?"

   Pemuda itu tersenyum, senyum kemenangan karena baru sekarang dia merasa "lebih" dibandingkan Liong-li. Dan wanita perkasa itu, memandang dengan sinar mata kagum. Bukan main gantengnya pemuda ini kalau sudah tersenyum seperti itu, pikirnya, akan tetapi segera ditekannya gairah hatinya.

   "Enci, sebaiknya kita membayangi mereka dari jauh saja, pura-pura kita mencari ikan dengan demikian mereka tidak mencurigai kita dan kita akan tahu ke mana perahu mereka pergi. Kalau mereka sudah menghentikan perahu, barulah kita mendekat, akan tetapi tanpa menggunakan perahu lagi. Kita dapat berenang mendekati mereka."

   Liong-li merasa kurang jelas.

   "Kita sudah membawa perlengkapan sehingga dapat mengintai dengan berenang, akan tetapi tentu mereka akan melihat kita?"

   "Tidak, enci. Kita dapat bersembunyi di situ." Pemuda itu menunjuk ke kiri dan Liong- li melihat daun dan bunga teratai yang lebat terapung di permukaan air. Ia tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum.

   "Engkau hebat, Sun Ting!"

   Sun Ting menjadi gembira sekali dan diapun cepat mengambil tumbuh-tumbuhan yang terapung di permukaan air itu, memasukannya ke dalam perahunya. Kemudian, perlahan-lahan mereka mendayung perahu, mengikuti perahu besar Po-yang Sam-liong itu dari kejauhan. Setelah perahu besar itu berhenti dan melempar jangkar di tengah telaga, Sun Ting bergumam lirih, dan menghentikan perahunya.

   "Aneh, mereka berhenti di tempat yang biasa kami pergunakan untuk mencari batu dari dasar telaga!"

   "Hemm, agaknya ada hubungannya dengan pekerjaanmu itu, Sun Ting. Kita harus menyelidiki ke sana."

   "Memang sebaiknya kita mendekat dengan berenang dan kita meninggalkan perahu di sini."

   Karena merasa bahwa di air dialah yang dapat memimpin, Sun Ting dengan cekatan lalu melemparkan jangkar untuk menahan perahu, dan dia membuka pakaian luarnya. Dengan hati bangga dia melihat betapa pandang mata wanita jelita itu ditujukan kepada tubuhnya dengan kekaguman yang tidak disembunyikan.

   Memang, Liong-li memandang tubuh pemuda itu dengan kagum. Tubuh yang biasa bermain dalam air itu memang tegap, dengan otot-otot sempurna menggembung di balik kulit yang halus. Dadanya bidang, dengan tonjolan-tonjolan sempurna, pinggang ramping dan perut kempis, paha dan betisnya seperti kaki katak.

   Ia sendiripun menanggalkan pakaian luarnya dan ia tersenyum ketika kini tiba giliran Sun Ting untuk mengamati tubuh yang padat dengan lekuk lengkung tubuh seorang wanita yang masak itu.

   Liong-li mengenakan tambahan kaki katak untuk memudahkan ia bergerak dalam air, dan membawa pipa kecil untuk dipakai mengambil napas ke permukaan air di waktu menyelam. Kemudian, keduanya berenang sambil bersembunyi di bawah atau di antara daun-daun dari bunga teratai, mendekati perahu besar.

   Demikianlah. dengan bersembunyi di balik bunga teratai mereka mengintai dan alangkah kaget hati mereka ketika melihat Pek-liong dan Cian Li telah menjadi tawanan di perahu itu. Dari tempat persembunyiannya, Liong-li mengamati orang-orang yang berada di dalam perahu, maklum bahwa mereka itu tentulah orang-orang pandai dan tokoh-tokoh dunia hitam. Ia melihat pula Pek-liong yang berdiri dengan sikapnya yang tenang.

   Melihat sahabat dan rekannya ini, berdebar rasa jantung dalam dada Liong-li. Betapa sudah amat rindunya kepada Pek-liong! Dan Pek-liong kelihatan sehat, bahkan lebih tegap dan lebih gagah dari pada dahulu.

   Sikapnya yang tenang itu, walaupun kaki dan tangannya dibelenggu rantai, membuat hati Liong-li merasa terharu bercampur bangga. Tidak ada orang kedua segagah dan setabah Pek-liong, juga amat cerdik dan berani menghadapi ancaman maut tanpa berkedip mata! Iapun melihat seorang gadis cantik manis yang kelihatan cemberut dan khawatir, kemudian melihat gadis itu membuka pakaian luarnya. Liong-li memandang kagum. Seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh indah. Ia teringat akan keindahan bentuk tubuh Sun Ting.

   "Apakah gadis itu adikmu yang bernama Kam Cian Li itu?"

   "Benar, cici, dan aku merasa heran sekali apa yang ia akan lakukan di sana itu. Ia menanggalkan pakaian, mengenakan pakaian selam, itu berarti ia akan menyelam." Sun Ting termenung lalu melanjutkan dengan ragu dan khawatir.

   "Akan tetapi, kenapa......?"

   Liong-li mengerutkan alisnya yang berbentuk indah.

   "Mari kita renungkan sebentar," bisiknya.

   "Pek-liong menyerah karena Cian Li ditawan, dan kini mereka berdua dibawa ke sini oleh para penjahat itu. Pek-liong dibelenggu dan kelihatan tidak melawan sedangkan adikmu itu kini hendak menyelam. Hemm, agaknya ini ada hubungannya dengan rahasia peta Patung Emas!"

   "Peta Patung emas?" Sun Ting bertanya heran.

   "Itulah yang diperebutkan oleh kawanan penjahat itu, demikian menurut isi surat Pek-liong. Agaknya kini adikmu dipaksa untuk menyelam dan mencari sesuatu, dan Pek-liong tidak berdaya selama adikmu menjadi tawanan mereka."

   "Kalau begitu, biar aku menyelam dan menghubungi adikku di dalam air......"

   "Jangan dulu. Lihat......!"

   Pada saat itulah Cian Li mendorong Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan kedua orang wanita itu terjatuh ke dalam air. Mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu kelabakan di dalam air kemudian tenggelam seperti diseret ke bawah.

   "Ha-ha, bagus adikku! Seret mereka satu demi satu ke bawah air sampai mereka mati lemas!" Sun Ting berkata girang.

   "Biar aku membantunya!"

   Akan tetapi Liong-li menangkap lengannya.

   "Jangan, kita lihat bagaimana perkembangannya. Kaulihat, biarpun terbelenggu, Pek-liong mampu melindungi adikmu. Ketika raksasa pakaian hitam itu tadi memukul ke arah adikmu yang menerjang wanita cantik itu, Pek-liong menangkisnya. Dan raksasa itu bertenaga besar. Benar Pek-liong, mereka mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Kita harus berhati-hati dan melihat dulu perkembangannya sebelum turun tangan."

   Sementara itu, Pek-liong tersenyum gembira melihat betapa Cian Li telah mampu melampiaskan amarahnya kepada Tok-sim Nio-cu, wanita lihai itu tanpa si wanita sesat mampu membela diri! Sungguh Cian Li amat hebat, penuh keberanian, pikirnya.

   Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Melihat betapa Tok-sim Nio-cu masih terengah-engah biarpun perutnya sudah kempis kembali, wajahnya pucat dan matanya liar, dia tidak dapat menahan ketawanya. Apa lagi melihat rambut itu basah awut-awutan, pupurnya luntur dan pakaiannya juga basah kuyup. Seperti seekor kucing yang tadinya angkuh memamerkan kecantikannya, kini basah kuyup dan jelek!

   Akan tetapi, dia melihat sinar maut berkilat di mata Tok-sim Nio-cu setiap kali wanita itu memandang ke arah air. Berbahaya, pikirnya. Wanita ini bisa berbahaya sekali dan mungkin saja dalam kemarahannya ia akan membunuh Cian Li begitu gadis itu muncul kembali ke atas.

   "Beng-cu, kalau aku menjadi engkau, aku akan berhati-hati agar jangan sampai namaku menjadi rusak sebagai orang yang suka melanggar janjinya terhadap nona Kam Cian Li!" kata Pek-liong sambil tersenyum mengejek.

   Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya.

   "Hemm, aku bukan seorang yang suka melanggar janjiku. Aku seorang beng-cu, mengerti? Seorang beng-cu, seperti seorang raja, tidak akan melanggar janji!"

   "Akan tetapi ada orang lain yang akan membuat engkau terpaksa melanggar janjimu, beng-cu. Aku khawatir begitu nona Kam muncul, ia akan dibunuh oleh Tok-sim Nio-cu!"

   Siauw-bin Ciu-kwi menoleh kepada Tok-sim Nio-cu dan matanya berkilat.

   "Ia tidak akan berani!"

   Ucapan ini sudah cukup bagi Pek-liong, karena itu merupakan jaminan keselamatan bagi Cian Li. Tok-sim Nio-cu jelas tidak akan berani turun tangan mengganggu Cian Li.

   Tok-sim Nio-cu menyeringai dan memandang kepada Pek-liong. Kemarahannya terhadap Cian Li lebih besar dari pada gairahnya terhadap Pek-liong.

   "Pek-liong. kaukira aka tidak akan dapat membalasnya kelak setelah ia dibebaskan oleh beng-cu? Hemmm, kelak akan kubikin hancur seluruh tubuhnya, kulit mukanya akan kusayat-sayat!"

   Di dalam batinnya, Pek-liong berjanji.

   "Sebelum kaulakukan itu, engkau akan lebih dulu kubunuh!"

   Akan tetapi pada saat itu, semua orang memperhatikan munculnya sebuah kepala di permukaan air. Kepala Cian Li! Gadis itu mengguncang kepala sehingga rambut yang basah kuyup dan menutupi mukanya itu tersibak dan nampaklah mukanya yang cantik dan kemerahan. Ia mengambil pernapasan panjang di atas permukaan air, lalu nampak tangan kanannya yang memegang sebuah guci. Dari jauh, Sun Ting berbisik heran.

   "Aih, benda apakah yang berada di tangan Cian Li itu? Aku tidak pernah melihatnya."

   "Sttt......, kulihat itu sebuah guci. Dan adikmu menyerahkannya kepada si gendut kepala botak. Hemm, agaknya dia itulah yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo! Dan lihat, semua orang kini mengepung dan mengancam Pek-liong!"

   Dua orang pengintai itu memandang dengan khawatir. Memang kini setelah Cian Li naik ke atas perahu, ia menyerahkan guci itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan memang sudah diatur sebelumnya, Siauw-bin Ciu-kwi yang menerima guci itu kini berdiri di belakang Pek-liong sambil mendekatkan tangan, siap menyerang, sedangkan para pembantunya juga semua telah menodongkan senjata kepada pendekar yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu.

   "Heil! Apa artinya lelucon ini, Siauw-bin Ciu-kwi?" bentak Pek-liong.

   "Kalian memang tak tahu malu!" tiba-tiba Cian Li membentak dengan suara nyaring.

   "Kalian sudah berjanji akan membebaskan aku kalau aku menyerahkan peta itu, dan sekarang kalian malah mengancam Hay-koko?"

   Mendengar gadis itu menyebut Hay-koko kepada Pek-liong, dan melihat sikapnya yang demikian beraninya untuk membela Pek-liong, Liong-li tersenyum. Sikap dan kata-kata itu saja sudah jelas baginya untuk menduga bahwa seperti banyak wanita lain, gadis penyelam yang bertubuh indah dan berwajah manis itu telah jatuh cinta kepada Pek-liong-eng Tan Cin Hay!

   "Ha-ha-ha, aku memang sudah berjanji untuk membebaskanmu, nona Kam dan aku Siauw-bin Ciu-kwi tidak akan menarik kembali janjiku kepadamu! Akan tetapi aku tidak pernah berjanji untuk membebaskan Pek-liong! Khawatir kalau-kalau dia akan membuat banyak ulah, maka dia harus dijaga sebelum aku melihat apakah peta yang kauberikan kepadaku ini tulen ataukah palsu!"

   Setelah berkata demikian, Siauw-bin Ciu-kwi yang membiarkan para pembantunya menodongkan senjata mereka kepada Pek-liong, dia sendiri lalu membuka tutup guci dan mengeluarkan isinya. Segulung peta yang sama benar dengan peta yang berada di tangannya, yaitu bagian yang hilang.

   Dia cepat membuka gulungan peta itu, mencocokkan dengan bagian yang berada padanya dan ternyata memang peta yang diserahkan Cian Li itu merupakan sambungan peta yang dia dapatkan! Dan setelah disambung, baru mudah dimengerti bahwa peta itu menunjukkan di mana adanya Patung Emas! Dengan sepasang matanya yang mencorong kejam itu, Siauw-bin Ciu-kwi mempelajari peta dan wajahnya berseri. Dia sudah memperoleh petunjuk di mana adanya Patung Emas!

   Menurut petunjuk peta yang sudah digabungkan itu, Patung Emas ternyata disembunyikan di dasar telaga itu, di bagian barat dengan ukuran lima tombak dari pulau kecil yang menonjol keluar selebar beberapa meter persegi. Tempat itu mudah dicari! Akan tetapi diapun menyadari bahwa untuk mengambil patung itu, dibutuhkan tenaga seorang penyelam yang pandai! Maka, dia masih membutuhkan tenaga nona Kam Cian Li! Pada hal, dia telah berjanji membebaskannya.

   Tiba-tiba saja Siauw-bin Ciu-kwi meloncat dan tangan kanannya membuat gerakan seperti hendak mencengkeram ke arah kepala Pek-liong. Melihat ini, Pek-liong terkejut.

   "Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak membunuhku secara pengecut?" Dia sudah siap untuk melawan mati-matian.

   Akan tetapi beng-cu itu tidak melanjutkan serangannya, melainkan berkata kepada Cian Li.

   "Nona Kam Cian Li, aku sudah berjanji bahwa engkau akan kubebaskan kalau sudah menyerahkan peta. Peta ini memang tulen dan engkau boleh bebas. Akan tetapi, kalau engkau pergi sekarang dan tidak mau membantu kami sekali lagi, terpaksa aku akan membunuh Pek-liong di depanmu sebelum engkau pergi!"

   Tentu saja Cian Li terkejut bukan main dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong. Ia
(Lanjut ke Jilid 22)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 22
tidak perduli betapa ada beberapa pasang mata dari para pembantu beng-cu itu melotot penuh gairah memandang kepadanya, terutama kepada tubuhnya yang seperti telanjang bulat saja karena pakaian selam yang menempel di tubuhnya ketat seperti kulit kedua karena basah.

   "Apa...... apa maksudmu? Aku akan membantu kalian, asal kalian sekali ini berjanji tidak akan membunuh Hay-koko!"

   "Bagus! Kuterima syaratmu itu, nona Kam. Menurut peta ini, tempat penyimpanan Patung emas berada di dasar telaga pula, di bagian lain dekat pulau kecil di sebelah barat. Nah, engkau harus menyelam sekali lagi untuk mengambilkan patung emas itu untuk kami, dan kami berjanji bahwa kami tidak akan membunuh Pek-liong!"

   "Cian Li, jangan percaya mereka......!" Pek-liong berseru akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Siauw-bin Ciu-kwi bergerak menotok punggungnya dan Pek-liong roboh dengan tubuh lemas.

   "Apa yang kaulakukan ini?" Cian Li berteriak dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong yang sudah tidak berdaya dan terkulai itu.

   "Aku hanya menotoknya agar dia tidak dapat sembarangan memberontak dan membikin kacau. Sekali lagi kujanjikan, nona Kam, bahwa kalau engkau suka membantu kami, sekali lagi menyelam untuk mengambil patung emas dari dasar telaga, maka aku tidak akan membunuh Pek-liong!"

   "Engkau mau bersumpah bahwa engkau tidak akan membunuh Hay-koko?" Cian Li mendesak.

   Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum menyeringai. Kalau saja dia tidak membutuhkan bantuan gadis itu, tentu pertanyaan itu saja sulah menjadi alasan cukup baginya untuk membunuh Cian Li!

   "Aku bersumpah tidak akan membunuh Pek-liong kalau engkau berhasil mengambil patung emas dari dasar telaga!"

   "Baik, mari bawa aku ke tempat itu dan aku akan membantumu mengambil patung emas," kata Cian Li dengan hati lega.

   Sementara itu, Pek-liong maklum bahwa dia tentu saja tidak mungkin dapat mempercaya orang sejahat Siauw-bin Ciu-kwi. Dia harus bertindak cerdik karena dia harus menyelamatkan diri sendiri, juga menyelamatkan Cian Li. Kalau saja gadis itu sudah bebas, dia tidak begitu khawatir lagi. Betapapun juga, dia harus berhati-hati karena dia maklum bahwa selain lihai, juga Siauw-bin Ciu-kwi amat cerdik.

   Ketika melihat perahu besar itu mengangkat jangkar dan bergerak menuju ke barat, Liong-li dan Sun Ting juga sudah berada di perahu kecil mereka dan mendayung perlahan-lahan membayangi perahu besar itu dari jauh. Baru setelah perahu besar berhenti melempar jangkar keluar mereka berdua juga menghentikan perahu mereka dan seperti tadi, mereka mendekati perahu, bersembunyi di balik tumbuhan bunga teratai sampai mereka berada dekat dan bukan hanya dapat melihat, akan tetapi juga dapat mendengar percakapan di atas perahu besar.

   Melihat daerah di mana perahu besar berhenti, Cian Li terkejut dan ia segera berkata kepada Siauw-bin Ciu-kwi.

   "Aih, daerah ini merupakan bagian paling dalam dari telaga! Tidak mudah mencari barang di dasar yang amat dalam ini. Aku tidak akan dapat bertahan lama di bawah sana. Terlalu dalam!"

   Dengan mata terbelalak ngeri Cian Li yang berdiri di kepala perahu melihat ke air yang nampak agak kehitaman tanda bahwa bagian itu memang dalam sekali.

   Tiba-tiba terdengar teriakan.

   "Li-moi, jangan mau menyelam di situ. Berbahaya sekali......!"

   Semua orang menengok dan melihat seorang laki-laki berenang dengan gerakan kuat dan cepat sekali menuju ke perahu besar. Melihat orang itu, Siauw-bin Ciu-kwi menyeringai.

   "Nona Kam, bukankah dia itu kakakmu?"

   Sementara itu, melihat munculnya Sun Ting yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, Cian Li terkejut.

   "Koko, kenapa kau ke sini? Pergilah cepat......!"

   "Tidak, aku harus membantumu!" kata Sun Ting dan dia sudah merayap naik ke perahu melalui rantai jangkar, dengan gerakan yang cekatan.

   Di lain saat dia telah berada di atas perahu besar. Sedetik dia bertemu pandang dengan Pek-liong, akan tetapi Sun Ting seperti tidak perduli kepada pendekar itu, Dia memandang kepada Cian Li penuh kekhawatiran. Akan tetapi tiba-tiba, beberapa batang senjata telah menodong tubuh Sun Ting. Pemuda ini membalik, memandang kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan berkata dengan suara lantang mengandung kemarahan.

   "Kalian sungguh kejam! Kalian hendak memaksa adikku menyelam di tempat yang amat dalam ini?"

   Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum lebar, hatinya girang sekali melihat munculnya kakak gadis itu.

   "Ha-ha-ha, ia sudah berjanji akan membantu kami mengambil patung emas di dasar telaga ini."

   "Koko, dia memaksaku, kalau aku tidak mau, dia akan membunuh Hay-ko? Untuk keselamatan Hay-ko aku terpaksa menyanggupi."

   "Benar ucapannya itu, orang muda. Ia sudah berjanji dan akupun sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong kalau ia bisa mengambilkan patung emas yang berada di dasar telaga ini. Kalau engkau melihat bahwa tempat ini dalam dan berbabaya, tentu saja engkau boleh membantu adikmu, ha-ha!"

   "Memang aku mau membantu adikku dalam pekerjaan berbahaya ini. Akan tetapi aku minta agar aku mendengar pula janji itu. Kalau kami berdua berhasil menemukan benda yang kalian cari, maka kami berdua akan kalian bebaskan, dan juga Tan-taihiap akan kalian bebaskan? Berjanjilah, atau, kalau tidak, kami tidak akan menyelam, biar kalian bunuh sekalipun!"

   Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya.

   "Anak muda, jangan membuat kami marah! Aku sudah saling berjanji dengan adikmu, kalau ia dapat mengambilkan patung emas itu, kami akan membebaskan ia dan kami sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong."

   "Tapi......" Sun Ting hendak membantah karena dia tetap hendak menuntut agar Pek-liong dibebaskan. Melihat ini, Pek-liong segera berkata.

   "Saudara Kam Sun Ting, sudahlah jangan engkau pikirkan lagi aku! Kalian penuhi permintaan Beng-cu, ambil patung emas itu dari dasar telaga. Aku sudah pasti tidak akan mereka bunuh, karena selain Beng-cu sudah berjanji kepada adikmu, juga aku kini yakin bahwa tiada gunanya menentang Beng-cu. Aku ingin membantunya agar aku mendapatkan bagian harta karun itu!"

   Mendengar ucapan yang lantang ini, Sun Ting terbelalak memandang kepada pendekar itu.

   "Apa? Engkau...... engkau akan membantu mereka ini, taihiap......?" tanyanya hampir tidak percaya.

   Juga Cian Li memandang heran kepada pendekar itu. Kalau ia membantu para penjahat itu mengambil peta dan kini mengambil patung emas adalah karena terpaksa, karena ia ingin menyelamatkan Pek-liong. Akan tetapi sekarang pendekar itu tiba-tiba berbalik pikiran dan hendak membantu para penjahat dengan pamrih memperoleh bagian harta karun!

   "Hay-ko......!" Iapun berseru heran.

   Pek-liong melambaikan tangannya dengan sikap tak sabar, akan tetapi ternyata tangannya itu lemas tak bertenaga dan baru dia teringat bahwa dia masih belum pulih dari totokan Siauw-bin Ciu-kwi yang lihai.

   "Sudahlah, kalian jangan mencampuri urusan pribadiku. Penuhi saja permintaan beng-cu dan kalian segera pergi dengan bebas dari sini dan selanjutnya jangan lagi mencampuri urusan kami."

   Mendengar ini, kakak beradik itu memandang marah, dan Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak.

   "Bagus, Pek-liong. Aku akan senang sekali bekerja sama denganmu. Akan tetapi maksud baikmu itu harus diuji dulu kebenarannya!"

   Sun Ting dan Cian Li tidak banyak cakap lagi. Biarpun di dalam hati mereka marah kepada Pek-liong, dan merasa bahwa pendekar itu tidak pantas lagi dibela, akan tetapi Cian Li tetap ingin menyelamatkannya. Bukan hanya karena ia telah berhutang budi kepada Pek-liong, akan tetapi karena memang ia telah jatuh cinta. Kalau ia tidak memenuhi permintaan beng-cu mengambilkan patung emas yang telah ia pelajari dari peta dan ketahui di mana letaknya, tentu Pek-liong akan dibunuh!

   "Mari, Ting-ko, bantu aku!" katanya dan ia menggandeng tangan kakaknya, lalu diajak terjun ke air. Mengagumkan sekali melibat betapa dua orang kakak beradik itu menimpa air seperti dua batang tombak saja, tidak menimbulkan suara berisik dan tubuh mereka segera lenyap di telan air.

   Kalau saja tidak ada kakaknya, biarpun terpaksa tentu akan sukar bagi Cian Li untuk menemukan patung emas itu karena bagian ini memang dalam dan agak gelap. Hanya dengan meraba-raba, akhirnya ia menemukan guha seperti yang dimaksudkan dalam petunjuk peta yang sudah lengkap itu. Bersama Sun Ting ia memasuki guha dan benar saja, di sudut guha kecil itu ia menemukan sebuah patung yang tingginya kurang lebih satu kaki. Patung itu cukup berat dan Sun Ting lalu membawanya, dan mereka berdua segera naik ke permukaan air.

   Mereka yang berada di dalam perahu besar, semua menjenguk ke air dengan penuh ketegangan hati, penuh harapan dan kecemasan. Begitu nampak dua buah kepala itu muncul dan kakak beradik itu terengah-engah memenuhi paru-paru dengan udara baru, Siauw-bin Ciu-kwi segera berteriak dari atas.

   "Sudah kalian temukan patung emas itu?"

   Sun Ting mengangkat tangan kanannya dan nampaklah sebuah patung yang berkilauan karena terbuat dari emas murni! Semua orang berseru kagum dan Siauw-bin Ciu-kwi segera berkata.

   "Cepat naik ke perahu dan serahkan kepada kami!"

   "Akan kulemparkan ke atas dan kami berdua akan segera pergi dari sini!" kata Sun Ting.

   "Baik, lemparkanlah!" teriak Siauw-bin Ciu-kwi.

   "Tapi jangan langgar sumpahmu! Kalian tidak akan membunuh Tan-taihiap!" Cian Li berseru dan suaranya mengandung isak karena hatinya kecewa sekali melihat betapa pendekar yang dipuja dan dicintanya itu akhirnya merendahkan diri menjadi kaki tangan penjahat.

   "Ha-ha, jangan khawatir, nona. Kami tidak akan membunuhnya, apa lagi dia kini menjadi sekutu kami. Nah, lemparkan patung emas itu!"

   Sun Ting melemparkan benda itu ke atas perahu, disambar oleh tangan Siauw-bin Ciu-kwi. Semua orang mengagumi patung emas itu yang tentu merupakan benda berharga, bukan saja berharga amat mahal karena terbuat dari emas murni, akan tetapi juga berharga karena merupakan benda kuno yang antik.

   Biarpun tubuhnya masih belum bebas dari pengaruh totokan dan dia belum dapat bergerak leluasa, namun Pek-liong sudah dapat memutar tubuhnya yang rebah dan ia memandang ke arah Siauw-bin Ciu-kwi yang sedang mengamati patung emas itu bersama para pembantunya.

   Dia melihat bahwa patung emas itu memang indah, sebuah patung emas Dewi Kwan Im Po-sat yang ukirannya amat indah. Tentu patung itu amat mahal, akan tetapi belum cukup mahal untuk diributkan dan dijadikan perebutan, dan dia tahu bahwa orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu tidak akan sudi bersusah payah kalau hanya untuk mendapatkan sebuah patung emas semacam itu. Dia juga melihat betapa wajah Siauw-bin Ciu-kwi sudah mengandung kekecewaan, walaupun para pembantunya berseri-seri mengamati patung emas itu.

   Dugaannya benar. Dan dari jauhpun dia tahu bahwa patung emas itu bukan sembarang patung. Dia sudah banyak mempelajari tentang patung kuno dan diam-diam dia menduga bahwa tentu patung itu menyimpan rahasia yang amat penting.

   Kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin orang jaman dahulu menyembunyikan patung itu dengan menyertai petanya pula! Patung emas seperti itu bukan merupakan harta karun yang luar biasa, dan orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu akan bisa mendapatkan dengan mencuri simpanan hartawan besar atau bangsawan tinggi.

   Sementara itu, kakak beradik she Kam sudah menyelam kembali dan berenang dengan cepat bagaikan dua ekor ikan saja, meninggalkan perahu besar, akan tetapi mereka tidak diperdulikan lagi oleh para penjahat yang mengagumi patung emas.

   Ada satu hal lain yang diyakini oleh hati Pek-liong, yaitu kehadiran Liong-li. Dia tahu bahwa sudah pasti Liong-li datang bersama Sun Ting dan sekarang entah berada di mana rekannya itu. Dari sikap Sun Ting yang demikian tabahnya saja diapun sudah menduga bahwa keberanian Sun Ting itu tentu ada penyebabnya, dan penyebab itu kiranya bukan lain karena ada Liong-li di belakangnya! Akan tetapi di mana adanya Liong-li?

   Dia tahu bahwa biarpun Liong-li pandai berenang, namun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kakak beradik Kam dan tentu wanita perkasa itu tidak akan begitu sembrono untuk mengandalkan kepandaian renangnya menghadapi kawanan penjahat itu. Baru Po-yang Sam-liong saja sudah memiliki ilmu renang yang jauh lebih pandai dari Liong-li. Namun, hatinya tetap yakin bahwa Liong-li tidak berada jauh dari situ, maka diapun tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Beng-cu! Apa artinya kalau yang kaucari dengan susah payah itu ternyata hanya sebuah patung emas seperti itu? Ha-ha, dalam semalam saja aku akan mampu mendapatkan beberapa buah patung emas seperti itu untukmu! Itulah kalau engkau mempunyai pembantu-pembantu yang tidak becus! Kalau kita berdua bekerja sama, tentu hasilnya akan seratus kali lebih besar dari pada itu!"

   Pek-liong berkata dengan suara lantang, sengaja dikuatkan agar terdengar oleh Liong-li yang berada entah di mana, akan tetapi diharapkannya tidak terlalu jauh sehingga dapat mendengar ucapannya.

   Kerut merut di antara alis Siauw-bin Ciu-kwi makin mendalam. Memang dia merasa kecewa sekali melihat hasil jerih payah selama ini. Hanya sebuah patung emas seperti itu! Memang mahal, akan tetapi dia mengharapkan harta karun yang lebih berharga lagi. Dia dapat membayangkan bahwa kalau dia mempunyai seorang pembantu seperti Pek-liong, tentu hasil usaha mereka akan lebih hebat. Akan tetapi tentu saja dia masih belum percaya akan kebenaran kata-kata pendekar itu.

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring halus.

   "Pek-liong, engkau sungguh seorang manusia tidak tahu malu!"

   Semua orang terkejut. Siauw-bin Ciu-kwi sekali meloncat sudah mendekati Pek-liong, patung emas masuk ke dalam jubahnya. Dia cerdik sekali dan siap menyerang Pek-liong yang dijadikan sandera.

   Dari bawah perahu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya telah berdiri seorang wanita cantik dengan pakaian serba hitam, pakaian yang ringkas dan basah, ketat menempel pada tubuhnya yang padat ramping dan matang itu. Begitu melihat wanita berpakaian hitam ini, Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya dapat menduga siapa yang datang. Siauw-bin Ciu-kwi sudah membentak garang.

   "Apakah yang datang ini Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam)?" Sementara itu, para pembantunya dengan senjatanya di tangan sudah siap untuk mengeroyok.

   Liong-li tersenyum dan muncullah sepasang lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis. Pek I Kongcu Ciong Koan memandang dengan bengong. Dia terpesona oleh kecantikan Liong-li, akan tetapi juga diam-diam merasa kagum dan gentar karena dia sudah mendengar berita bahwa gadis jelita berjuluk Si Naga Hitam ini luar biasa lihainya, juga bertangan baja, tidak segan membunuh lawannya.

   "Siauw-bin Ciu-kwi, aku datang bukan untuk kamu, melainkan untuk Pek-liong, manusia pengecut yang rendah ini! Jangan kalian ikut campur, kelak kalau ada alasannya yang kuat, aku akan mencari kamu! Hei, Pek-liong manusia tak tahu malu! Kiranya harga dirimu demikian rendah dan murah. Engkau telah bermain gila dengan gadis penyelam itu, dan untuk gadis itu engkau rela menjadi tawanan dan hinaan orang. Sungguh aku kecewa sekali dan merasa menyesal pernah menjadi temanmu!"

   Semua orang menoleh kepada Pek-liong dan melihat betapa pemuda itu, walaupun masih setengah lumpuh oleh totokan, memandang kepada Liong-li dengan mata melotot dan muka merah.

   "Hek-liong-li, tutup mulutmu yang kotor! Engkau sendiri bukan perempuan baik-baik, engkau melakukan perjinaan dengan Kam Sun Ting, siapa yang tidak tahu? Engkau melihat kesalahan orang sekecil-kecilnya tanpa melihat tengkukmu sendiri yang kotor! Memang aku ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu, habis engkau mau apa? Aku sudah muak bekerja sama dengan kamu yang penuh cemburu, yang selalu menghinaku dan tidak memandang sebelah mata! Engkau tidak pernah sadar bahwa sebenarnya, tanpa aku, engkau tidak ada artinya!"

   "Jahanam busuk! Kurobek mulutmu!" bentak Liong-li marah.

   "Coba saja kalau kau bisa! Kalau aku tidak dalam pengaruh totokan, akulah yang akan merobek mulutmu!"

   Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi mengamati dua orang muda yang sedang bertengkar itu, tiba-tiba tertawa.

   "Ha-ha, sungguh lucu. Pek-liong dan Hek-liong-li bertengkar dan saling cemburu! Permainan apa pula ini? Pek-liong, biarlah kubebaskan totokanmu. Hendak kulihat kejujuranmu, apakah benar engkau hendak bersekutu dengan kami atau tidak. Engkau harus membunuh Liong-li untuk meyakinkan kami!"

   Akan tetapi ketika Siauw-bin Ciu-kwi hendak menggerakkan tangan, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si berseru.

   "Beng-cu, sabar dulu! Harap Beng-cu tidak sampai terkecoh oleh mereka Bagaimana kalau setelah Beng-cu membebaskan touokannya, Pek-liong lalu bergabung dengan Liong-li dan mereka menyerang kita? Setidaknya, mereka berdua tentu berusaha untuk membebaskan diri!" Tentu saja wanita yang haus laki-laki ini akan merasa kecewa sekali kalau Pek-liong sampai lolos karena pemuda perkasa itu telah membangkitkan gairahnya.

   "Ha-ha, aku bukanlah sebodoh engkau, Tok-sim Nio-cu! Biarkan kalau mereka berdua hendak menipuku. Biar mereka mengamuk, kita keroyok bersama. Biarkan mereka mencoba untuk meloloskan diri. Apa yang kita takutkan? Kita berada di atas perahu, di tengah telaga. Kemana mereka dapat melarikan diri? Betapapun lihainya mereka, di dalam air mereka tidak dapat banyak bergerak. Dan kita mempunyai Po-yang Sam-liong dan anak buahnya yang akan mudah menangkap mereka!"

   Mendengar ini, Tok-sim Nio-cu diam saja dan memang benar apa yang dikatakan Beng-cu itu. Juga diam-diam Pek-liong dan Hek-liong-li harus mengakui kecerdikan si pendek gendut kepala botak itu.

   "Siauw-bin Ciu-kwi, tidak perlu kalian khawatir. Aku datang untuk menghajar Pek-liong, bukan kalian!" kata pula Liong-li.

   Siauw-bin Ciu-kwi lalu menggerakkan tangannya dan dua kali dia menotok punggung Pek-liong yang seketika merasa tubuhnya bebas dari pengaruh totokan. Beng-cu itu memang sudah memperhitungkannya dengan matang.

   Selain mereka berada di tengah telaga, juga dia yakin bahwa Liong-li muncul tanpa membawa senjata. Demikian pula Pek-liong, tidak bersenjata, maka tentu saja dia dibantu para tokoh sesat tidak perlu takut menghadapi mereka, andaikata mereka benar-benar hendak menyerang mereka atau hendak meloloskan diri.

   Pek-liong bangkit berdiri, lalu menghampiri Liong-li. Kedua orang ini berdiri berhadapan dengan sikap marah. Liong-li mencibir.

   "Huh, pendekar yang berjuluk Pek-liong-eng ternyata hanyalah seorang laki-laki mata keranjang dan seorang pengecut!"

   "Liong-li, mulutmu sungguh busuk sekali! Engkaulah perempuan rendah, gila laki-laki, akan kurobek mulutmu itu!" Berkata demikian, Pek-liong sudah menyerang dengan cengkeraman ke arah Liong-li. Akan tetapi, gadis perkasa ini mengelak ke kiri dan dari kiri ia membalas dengan pukulan maut ke arah lambung Pek-liong. Dia menangkis dengan pengerahan tenaganya.

   "Dukk!" Dua lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang.

   Liong-li mengeluarkan suara lengkingan nyaring dan iapun kini menerjang dan menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Pukulan dan tendangan menyambar bertubi-tubi, akan tetapi Pek-liong yang agaknya sudah menjadi marah sekali, mengelak, menangkis dap membalas tak kalah sengitnya.

   Para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi sudah siap dengan senjata di tangan, mengepung dua orang yang sedang bertanding itu. Siauw-bin Ciu-kwi sendiri berdiri menonton dengan penuh perhatian. Kalau dua orang itu hanya bersandiwara, tentu matanya yang tajam itu akan dapat menangkapnya, Dia seorang ahli silat kelas tinggi, tentu akan dapat membedakan mana yang perkelahian benar-benar dan mana yang pura-pura!

   Dan apa yang disaksikannya itu, tak dapat diragukan lagi merupakan suatu perkelahian sungguh-sungguh, bahkan setiap pukulan mengandung ancaman maut bagi lawan! Tentu saja Siauw-bin Ciu-kwi tidak pernah melihat kalau dua orang ini sedang melakukan latihan pertandingan silat! Dua orang muda ini sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga mereka telah menguasai tenaga mereka sepenuhnya sehingga andaikata kepalan tangan atau ujung pedang mereka sudah menyentuh kulit lawan, mereka masih mampu menghentikan serangan mereka sampai di situ saja!

   Kini Pek-liong nampak terdesak hebat oleh Liong-li yang mempergunakan ilmu silat Bi-jin-kun yang selain amat indah, juga mengandung banyak gerak tipu yang berbahaya. Pek-liong juga sudah memainkan Pek-liong Sin-kun, namun agaknya dia masih kalah cepat sehingga kecepatan gerakan Liong-li membuat dia sibuk juga. Karena kalah cepat, maka perkelahian itu dikendalikan oleh Liong-li dan Pek-liong terseret, hanya mampu mengelak dan menangkis saja untuk melindungi dirinya.

   Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi lalu mengeluarkan sebatang pisau yang panjangnya dua jengkal, melemparkannya kepada Pek-liong sambil berseru.

   "Pek-liong, kau pergunakan ini!"

   
Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pek-liong menerima pisau yang dilemparkan kepadanya itu dan kini dia menyerang dengan pisau itu. Gerakannya mantap, cepat dan kuat. Setelah dia mempergunakan pisau itu, mulailah Liong-li terdesak!

   Wanita perkasa ini maklum akan lihainya lawan kalau mempergunakan senjata tajam, maka ia hanya menghindarkan diri dari desakan itu dengan ilmunya yang hebat, yaitu langkah ajaib Liu-seng-pouw yang membuat tubuhnya selalu dapat mengelak secara otomatis setiap kali pisau itu menyambar. Akan tetapi ia terdesak mundur sampai ke tepi perahu dan anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang mengepung terpaksa menyingkir.

   "Pek-liong, engkau pengecut mengandalkan komplotanmu! Lain kali aku akan mencarimu lagi!" berkata demikian, Liong-li membalikkan tubuh dan meloncat ke air. Akan tetapi, Pek-liong membentak.

   "Liong-li, hendak lari ke mana kau?"

   Dan pisau di tangannya itupun meluncur lepas dari tangannya, dan semua orang melihat betapa dengan tepat sekali pisau itu menancap pada pinggul kanan Liong-li. Wanita itu terbanting ke permukaan air. Air muncrat tinggi dan semua orang lari ke tepi perahu, melihat betapa tubuh itu tenggelam dan permukaan air nampak kemerahan, merah karena darah! Agaknya, Liong-li yang terkena sambitan pisau itu tenggelam dan tewas!

   Sampai lama mereka memandang ke air. Jelas, tidak ada muncul lagi wanita perkasa itu, dan di sekitar perahu besar itu tidak nampak adanya perahu lain. Perahu-perahu kecil para nelayan berada jauh dari perahu itu, dan tidak nampak gerakan mencurigakan di sekeliling tempat itu. Sampai lama keadaan sunyi dan hati mereka semua merasa tegang. Kesunyian itu dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Ciu-kwi.

   "Ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya engkau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan kami, Pek-liong. Akan tetapi, mengapa engkau sampai membunuhnya? Mengapa engkau yang terkenal sebagai rekannya, kini tiba-tiba saja demikian membencinya? Hal ini agak aneh dan mencurigakan!" Beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dengan pandang mata penuh selidik.

   "Pertanyaan yang tepat sekali! Mempunyai seorang rekan dan kawan yang sehebat itu, selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga amat cantik jelita dan menarik hati, kenapa tiba-tiba saja dimusuhi bahkan dibunuh? Hal ini amat mencurigakan, Beng-cu!" kata Pek I Kongcu.

   "Hi-hik, aku tahu. Jawabannya mudah sekali. Semua laki laki memang tidak ada bedanya, Kongcu, seperti engkau juga. Semua laki-laki mempunyai penyakit yang sama, yaitu pembosan, apa lagi setelah bertemu dengan wanita lain yang masih baru, Pek-liong juga bosan kepada Hek-liong-li apa lagi setelah berjumpa dengan gadis penyelam itu, kemudian bertemu pula dengan aku di sini! Hi-hik, bukankah begitu, Pek-liong yang tampan?"

   Pek I Kongcu cemberut, dan Pek-liong tersenyum.

   "Dugaan kalian semua keliru," jawabnya.

   "Memang aku benci sekali kepadanya, dan iapun benci kepadaku, akan tetapi bukan karena bosan, melainkan karena Hek-liong-li telah mencuri pedang pusakaku!"

   "Hemm......!" Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa Pek-liong-eng memiliki pedang pusaka ampuh yang disebut Pek-liong-po-kiam, dan diapun mendengar bahwa Hek-liong-li juga memiliki pedang pusaka Hek-liong-po-kiam.

   "Akan tetapi, aku melihat ia datang tanpa pedang sama sekali, bahkan pedangnya sendiripun tidak ada dibawanya!"

   Pek-liong cemberut dan menarik napas panjang karena hatinya merasa kesal sekali.

   "Itulah pandainya ia berpura-pura! Tentu ia tidak mengira bahwa aku berada di antara beng-cu dan kawan-kawan di sini. Terjadi beberapa bulan yang lalu. Pedang itu bersamaku, dan aku tidur di rumahnya. Tapi pada keesokan harinya, pedangku telah lenyap dan dengan muka tebal ia tidak mengakuinya, itulah permulaan kami saling membenci!"

   "Tapi ketika engkau mula-mula kami tangkap, engkau membanggakan Hek-liong-li yang katanya akan muncul menolongmu!" Pek I Kongcu mendesak untuk meyakinkan hatinya yang belum mau percaya.

   Pek-liong tersenyum mengejek.

   "Lalu apa yang harus kulakukan dalam keadaan tidak berdaya itu? Aku hanya menakut-nakuti kalian. Buktinya, wanita itu begitu datang memaki-maki dan ingin membunuhku, dan akupun membalas sehingga kini ia tenggelam dan tewas. Sudahlah, tidak perlu lagi kita membicarakan orang yang sudah mati. Beng-cu, tadi kukatakan bahwa hasil usahamu itu sia-sia saja kalau hanya mendapatkan sebuah patung seperti itu. Memang berharga, akan tetapi apakah sepadan dengan jerih payahmu? Aku yakin patung itu merupakan rahasia pula."

   "Maksudmu? Rahasia apa pula yang terdapat pada patung emas ini?" Siauw-bin Ciu-kwi mengamati patung itu dengan alis berkerut.

   

Iblis Dan Bidadari Eps 3 Pedang Sinar Emas Eps 40 Iblis Dan Bidadari Eps 6

Cari Blog Ini