Ceritasilat Novel Online

Si Bayangan Iblis 4


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Tubuhnya juga mulai merasa lelah, karena terbawa kesalnya hati tidak mendapatkan hasil apapun dalam penyelidikannya. Selagi ia ragu-ragu apakah tidak akan ditinggalkannya saja dan dihentikannya penyelidikannya malam itu, tiba-tiba ia terbelalak dan seluruh syaraf di tubuhnya menegang, jantung berdebar tegang dan iapun siap siaga.

   Ada bayangan berkelebat dan bayangan ini jelas bukan bayangan anak buah Cian Ciang-kun, karena bayangan itu berkelebat melompati pagar tembok dan kini bayangan itu menyelinap di sebelah dalam kebun, bersembunyi di balik batang pohon! Agaknya setelah meloncati pagar tembok, bayangan itu cepat bersembunyi untuk melihat apakah keadaan di dalam pagar tembok itu aman.

   Liong-li tidak berani bergerak sedikitpun agar orang itu tidak curiga. Tadi bayangan itu berkelebat cepat sekali seperti seekor burung saja ketika melayang dan melewati pagar tembok. Demikian cepatnya sehingga yang dilihatnya hanya bayangan saja dan ia tidak tahu bagaimana bentuknya, tidak tahu apakah bayangan itu memiliki tanduk ataukah tidak!

   Tak lama kemudian, ia melihat lagi bayangan itu berkelebat, kini sudah dekat sekali dengan rumah gedung Ciok Tai-jin. Liong-li terkejut bukan main. Bayangan itu memang pantas disebut Bayangan Iblis karena tanpa diketahuinya, tahu-tahu bayangan itu telah menyusup dan telah dekat dengan rumah, dan kini bayangan itu berdiri dekat sinar lampu gantung di sudut rumah sehingga nampak bayangannya yang tinggi besar dan jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat dua benda hitam mencuat dari kepala bayangan itu. Bayangan itu bertanduk!

   "Kwi-eng-cu (Bayangan iblis)......!" serunya dalam hati dan Liong-li cepat menyusup dan mendekat. Pada saat bayangan itu melayang naik ke atas wuwungan rumah, tubuh Liong-li juga melayang dan menyusul dengan cepat sekali karena iapun mengerahkan seluruh tenaga gin-kang sehingga tubuhnya seperti seekor naga hitam menerjang awan.

   Kini si Bayangan Iblis yang terkejut nampaknya ketika tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dan seorang berpakaian serba hitam berkedok hitam yang bertubuh ramping telah berdiri di depannya! Liong-li juga memperhatikan orang itu. Memang tinggi akan tetapi tidak begitu besar, dan "tanduk" itu sesungguhnya bukan tanduk, melainkan kedok yang bagian atas kepalanya meruncing ke atas kanan kiri sehingga kalau dilihat dari jauh atau hanya sekelebatan saja memang mirip tanduk.

   Akan tetapi, Liong-li tidak sempat mengamati dengan jelas, bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba saja, tanpa mengeluarkan suara, si Bayangan Iblis itu telah menerjangnya dengan gerakan yang luar biasa cepatnya!

   "Hemmm......!" Liong-li melempar tubuh ke samping sambil berjungkir balik. Tentu jarang ada yang mampu menghindarkan diri dari hantaman tangan kiri disusul totokan tangan kanan tadi, pikirnya.

   Si Bayangan Iblis sendiri agaknya juga terkejut dan heran. Memang jarang sekali dia bertemu orang yang mampu menyelamatkan diri dari serangannya tadi. Biasanya dia tidak mau bekerja setengah-setengah, sekali serang tentu lawan roboh dan tewas, maka dia selalu mempergunakan jurus pilihan dan mengerahkan seluruh tenaganya.

   Namun, sekali ini dia kecelik karena orang berkedok hitam ini mampu menghindarkan diri, bahkan kini dari samping, lawannya membalas dengan serangan kaki. Kaki itu mencuat dalam bentuk tendangan yang mengarah lambungnya!

   "Wuuuuttt......!" Tendangan Liong-li luput! Hal inipun memperingatkan Liong-li bahwa ia berhadapan dengan lawan yang tangguh sekali. Tendangannya tadi merupakan serangan yang dahsyat dan amat diandalkan, namun lawannya mampu mengelak dengan mudah!

   "Huhh!" Suara ini keluar dari balik kedok lawannya, suara yang seperti mengejek atau mendengus, keluar dari hidung, kemudian orang itupun menyerang kalang kabut dan Liong-li semakin kagum. Bukan main hebatnya serangan lawannya, setiap gerakan tangannya mengandung tenaga yang amat dahsyat dan kuat, dan kecepatannya pun mengagumkan.

   Di samping itu, gerakan silatnya juga aneh sehingga ia tidak mampu mengenalnya. Untuk mengukur tenaga lawan, ketika lengan kanan lawan itu menyambar dengan cengkeraman ke arah kepalanya, Liong-li menyambut dengan lengan kanan pula sambil miringkan tubuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.

   "Dessss......!!" Hebat bukan main akibat pertemuan dua buah lengan yang dipenuhi sin-kang (tenaga sakti) yang sudah mencapai tingkat tinggi itu. Tubuh Liong-li terpental dan ia harus mempergunakan kelincahannya, melakukan pok-sai (salto) sampai lima kali baru kakinya turun ke atas genteng dengan ringan. Adapun lawannya terdorong mundur dan kakinya terjeblos ke dalam genteng yang jebol!

   Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih kuat, akan tetapi kini Liong-li sudah siap lagi karena orang itu sudah meloncat dan menyerangnya lagi, dan terjadilah perkelahian yang amat hebat di atas wuwungan rumah itu.

   Melihat betapa lawan sangat marah dan bersemangat melakukan penyerangan, Liong-li bersikap tenang, lalu ia mainkan langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw. Tubuhnya bergerak-gerak, kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun tubuhnya dapat menyelinap di antara kedua tangan dan kaki lawan yang menyambar-nyambar dengan ganasnya!

   Keributan di atas genteng ini, apa lagi ketika kaki Kwi-eng-cu (si Bayangan Iblis) tadi terjeblos ke dalam genteng, tentu saja terdengar oleh para penjaga yang segera berlarian dan mereka itu memasang obor. Bahkan ada beberapa orang anak buah Cian Ciang-kun yang kebetulan meronda lewat, segera berdatangan dan tiga orang sudah meloncat naik ke atas genteng dengan senjata di tangan.

   Sejak melihat sinar-sinar obor, Kwi-eng-cu nampak gugup dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan marah ketika melihat tiga orang berloncatan naik ke atas genteng. Tiba-tiba tangan kanan kirinya bergerak dan Liong-li cepat mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya ketika melihat sinar-sinar hitam kecil menyambar.

   Ia terhindar dari sambaran benda-benda yang merupakan senjata rahasia itu, akan tetapi tiga orang yang berlompatan naik berteriak kesakitan dan merekapun roboh di atas genting. Liong-li meloncat dan melakukan pengejaran ketika Kwi-eng-cu melompat jauh dari atas wuwungan itu.

   Terjadi kejar-mengejar di atas wuwungan, akan tetapi si Bayangan Iblis itu sudah melompat turun dan lenyap di antara pohon-pohon di dalam kebun. Liong-li juga melompat turun. Ia masih sempat melihat orang yang dikejarnya itu melompati pagar tembok, maka diapun cepat lari mengejar dan melompati pagar tembok, tidak perduli kepada para penjaga keamanan yang melihat mereka dan berteriak-teriak mengejar dengan obor di tangan kiri dan golok di tangan kanan.

   Sayang malam itu gelap sehingga ketika dia tiba di luar pagar tembok rumah Ciok Tai-jin, ia kehilangan jejak. Akan tetapi, ia melihat sesosok bayangan lari di depan.

   "Hemm, hendak lari ke mana kau?"' teriaknya dan iapun mengejar sambil mengerahkan tenaga. Dan sekali ini ia berhasil menyusul bayangan itu dan tiba-tiba, Bayangan itupun membalik dan menusukkan pedangnya ke arah dada Liong-li!

   "Hemm......!" Liong-li mengelak dengan mudah saja dan iapun membalas dengan tendangan kakinya. Lawannya menarik pedang dan miringkan tubuh, lalu pedang di tangannya itu menyambar turun untuk memapaki kaki Long-li yang menendang.

   Liong-li tersenyum mengejek, menarik kakinya dan kini tangan kirinya menyambar ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan kanannya menotok ke arah siku kanan yang menonjol ke samping! Gerakannya cepat sekali dan lawannya mengeluarkan seruan kaget lalu melompat be belakang.

   "Hemmmm......!" Liong-li berseru juga dengan heran lalu kakinya menyambar dahsyat. Orang itu mengelak lagi, akan tetapi pinggangnya masih kena dicium pinggir sepatu Liong-li sehingga dia terhuyung, lalu dia membalikkan, tubuhnya dan lari!

   "Ehhh?" Liong-li merasa semakin heran.

   Orang berkedok dan berpakaian hitam ini serupa benar dengan yang ditempurnya di wuwungan rumah tadi, akan tetapi ia merasakan dengan jelas bahwa tingkat kepandaian orang pertama tadi jauh lebih tinggi dari pada kepandaian orang berpedang ini, walaupun yang kedua inipun merupakan lawan tangguh! Ia merasa curiga sekali dan menduga bahwa agaknya ada dua orang Kwi-eng-cu!

   "Hemm, hendak lari ke mana kau?" teriaknya dan iapun melakukan pengejaran.

   Kota raja sudah sunyi sekali karena malam sudah amat larut, sudah jauh lewat tengah malam. Hanya orang mabok saja yang masih berkeliaran di jalan raya, akan tetapi karena mereka itu mabok, tentu saja melihat dua orang lari berkejaran mereka tidak mengambil pusing.

   Aku harus tahu di mana sarangnya, pikir Liong-li. Akan tetapi, orang itu tidak lari ke arah istana seperti yang disangkanya, bahkan yang diharapkannya, melainkan lari ke arah selatan menjauhi istana! Pintu gerbang selatan memang tidak jauh dari situ.

   Biar dia lari dari pintu gerbang, pikir Liong-li. Menurut Cian Ciang-kun, pada waktu itu, pintu-pintu gerbang kotaraja di jaga ketat, maka kalau si bayangan hitam itu lari ke situ, tentu akan ketahuan dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri keluar pintu gerbang.

   Akan tetapi, ia menahan seruan kagetnya ketika melihat orang yang dikejarnya itu terus saja berlari menghampiri pintu gerbang, dan setelah tiba di pintu yang tertutup itu, tubuhnya meloncat ke atas dan tidak ada seorang pun penjaga yang mencegah perbuatannya atau yang kelihatan menghadang atau berteriak menegur!

   Tentu saja Liong-li tidak memperdulikan keadaan itu dan terus mengejar dengan melompat ke atas pintu gerbang pula, melalui bangunan gardu seperti yang dilakukan orang yang dikejarnya. Setelah tiba di luar pintu gerbang, ia terus mengejar karena melihat si Bayangan Iblis itu lari ke arah kiri. Akan tetapi, yang dikejarnya itu lenyap di balik sebatang pohon besar. Untung banyak bintang kini bermunculan di langit yang telah ditanggalkan awan sehingga biarpun remang-remang cuaca tidaklah terlalu gelap.

   Ketika ia tiba di dekat pohon, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Ia mengelak dan membalas serangan orang itu. Kiranya si Bayangan Iblis telah menyerangnya dengan pedangnya. Tendangannya membuat lawannya menarik pedang yang kini diangkat tinggi dan dibacokkan ke arahnya. Akan tetapi tanpa menggerakkan kakinya, dengan tendangan berantai, Liong-li "memasuki" dada yang terbuka itu.

   "Desss!" Perut orang itu bertemu dengan tumitnya dan orang itupun terjengkang. Dia bergulingan dan menggerakkan tangan kiri. Liong-li yang mengejar, terpaksa mengelak untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia sehingga orang itu memperoleh kesempatan untuk lari lagi.

   "Jangan lari kau!" bentak Liong-li akan tetapi lawan telah menghilang di balik batang pohon di depan.

   Ketika ia mengejar, tiba-tiba ada lagi serangan dari kiri. Ini tidak mungkin orang yang lari tadi, pikirnya heran, apa lagi ketika serangan itu jauh lebih dahsyat dari pada orang tadi, walaupun bayangan itu masih sama gesitnya, dan juga berpedang.

   Demikian cepat dan dahsyatnya serangan ini sehingga Liong-li terkejut, nyaris pundaknya terbabat pedang. Untung ia masih sempat menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw sehingga biarpun terhuyung, ia mampu menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi itu.

   Kemudian, di dalam keremangan cuaca, ia melihat sebatang ranting pohon di bawah pohon di mana mereka berkelahi. Ketika pedang membabat dan berputaran untuk menutup semua jalan keluar, Liong-li menggunakan tubuhnya dan menyambar ranting itu. Sambil meloncat, ujung rantingnya menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.

   "Auhh!" Orang itu tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Liong-li dalam menggunakan senjata yang hanya berupa sebatang ranting itu! Tentu saja Liong-li lihai bukan main memainkan ranting karena selain ilmu pedang, juga ia telah mewarisi ilmu silat tongkat dari suhunya, yaitu Huang-ho Kui-bo yang merupakan tokoh sakti yang terkenal dengan ilmu tongkatnya! Bahkan ilmu pedangnya juga bersumber dari ilmu memainkan tongkat ini!

   Namun orang itu ternyata lihai juga. Biar pun pergelangan tangan kanannya tertotok ujung ranting, sehingga pedangnya terlepas, namun pedang itu dapat disambar oleh tangan kirinya dan iapun memutar pedangnya dengan marah. Liong-li terpaksa melangkah mundur menghindarkan sambaran pedang. Akan tetapi pada saat itu, lawannya melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri memasuki sebuah hutan kecil.

   Liong-li adalah seorang wanita yang selain sakti, juga cerdik bukan main. Melihat lawannya melompat ke dalam hutan yang gelap, ia tidak mau mengejar. Apa lagi ia tadi merasa dilawan oleh tiga orang yang berlainan, walaupun mereka semua mengenakan pakaian dan kedok yang sama, dan ketiganya lihai dan memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.

   Ia tidak mau masuk perangkap lawan. Selain itu, iapun tidak mau menanti sampai hari menjadi terang karena ia sendiripun melakukan penyamaran dan tidak ingin dikenal orang. Maka, iapun cepat memutar tubuhdan lari secepatnya menuju ke pintu gerbang.

   Ia harus menyelidiki para penjaga pintu gerbang, kenapa mereka itu sama sekali tidak menegur dan tidak menghalangi ketika ia berkejaran dengan Si Bayangan Iblis keluar dari Kota raja melalui pintu gerbang tadi. Apakah para penjaga itu termasuk sekutu Si Bayangan Iblis?

   Setelah Liong-li memasuki gardu penjagaan dan melihat belasan orang perajurit penjaga pintu gerbang itu, barulah ia tahu mengapa Si Bayangan Iblis mampu keluar dari pintu gerbang tanpa terganggu para penjaga. Kiranya para penjaga itu semua dalam keadaan pingsan tertotok!

   Makin yakinlah hatinya bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan hanya satu orang saja! Yang bertempur dengannya tadi saja ia taksir tiga orang yang berlainan, dan mungkin lebih banyak lagi melihat bahwa ada pula yang menotok para penjaga sampai pingsan. Ia tidak menyadarkan para penjaga. Biarlah, ini bagian Cian Ciang-kun untuk menyelidiki dan menanyai mereka. Iapun terus saja memasuki kota dan menuju ke rumah Cian Ciang-kun.

   Akan tetapi ketika ia melewati rumah itu, perasaannya yang peka itu memberi isyarat kepadanya dan kecerdikannya pun bekerja. Tidak, pikirnya, ia tidak boleh memasuki rumah Cian Ciang-kun! Siapa tahu kalau ada pihak lawan yang membayanginya. Kalau ia tadi mampu membayangi lawan, kini berbalik mungkin sekali lawan membayanginya sejak di luar kota tadi!

   Kalau benar demikian, tentu mereka akan mengetahui bahwa ia tinggal di rumah Cian Ciang-kun sehingga akan terbongkarlah rahasianya! Dan hal ini berbahaya sekali! Tidak, ia harus dapat menghilangkan jejaknya sebagai si kedok hitam yang jelas menentang pembunuh misterius yang berjuluk Kwi-eng-cu itu.

   Tanpa ragu dan tanpa menengok sedikitpun ke arah rumah Cian Ciang-kun maupun ke belakang, Liong-li terus saja bergerak menuju ke sebuah kuil! Tidak ada tempat yang lebih baik untuk menghilangkan jejaknya kecuali di kuil besar itu.

   Pada masa itu, agama Buddha sedang berkembang dengan baiknya dan diterima oleh keluarga kaisar, maka kuil yang berada di kota raja amat besar. Banyak dikunjungi tamu, bahkan ada pula tamu-tamu yang sengaja bermalam di kuil itu. Juga di situ penuh dengan hwesio yang beribadat dan saleh.

   Selama tiga hari ini, Liong-li sudah berkeliling kota dalam penyelidikannya, dan iapun tidak melewatkan kuil ini. Sudah dikunjunginya beberapa kali sebagai seorang nenek, namun tidak ada yang mencurigakan di kuil itu.

   Penyelidikannya membuat ia tahu akan keadaan kuil itu, maka tanpa ragu lagi ia menyelinap masuk ke dalam ruangan depan kuil yang sunyi karena baik para tamu maupun para pendeta sudah beristirahat. Hanya meja sembahyang masih nampak ada lilin bernyala dan asap sisa hio masih memenuhi ruangan.

   Ketika memasuki ruangan itu, Liong-li diam-diam melepas pakaian hitamnya, kemudian menyelinap ke tempat yang gelap dan cepat sekali ia merobah penyamarannya. Lima menit kemudian, ketika ia keluar dari tempat gelap, ia telah menjadi seorang nenek keriputan yang membawa buntalan dan berjalan agak bongkok, yang masuk ke ruangan di mana para tamu yang ingin memohon sesuatu di kuil itu bermalam.

   Iapun mencampurkan diri dengan para tamu perempuan yang masih tidur dalam ruangan kosong yang luas itu, tidur malang melintang dan iapun merebahkan diri memeluk buntalannya yang sesungguhnya berisi pakaian dan kedok hitamnya tadi. Ia menanti sambil berpura-pura tidur.

   Tak lama kemudian ia mendengar gerakan kaki di luar ruangan, lalu sebuah kepala muncul di balik jendela. Sepasang mata yang tajam menyapu ruangan itu. Kepala seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empatpuluh tahun, bermuka persegi dan bermata tajam sekali. Ia melihat orang itu memiringkan kepala dan iapun tahu bahwa orang itu sedang melakukan penyelidikan dengan pendengarannya yang tajam terlatih. Maka iapun mengatur pernapasannya, seperti orang tidur nyenyak.

   Tak lama kemudian, kepala itupun menghilang. Akan tetapi ia masih belum mau bergerak. Ia harus berhati-hati. Mungkin lawan yang membayanginya sedang mencari-cari di seluruh kuil karena ia memang tadi menghilang ke dalam kuil.

   Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian, kembali kepala itu muncul dan mengamati seluruh ruangan, seluruh perempuan yang tidur, seperti hendak memilih siapa di antara mereka itu orang yang dicarinya. Dan Liong-li tetap saja tidak bergerak, bahkan ia mengeluarkan suara mendengkur lirih! Hatinya tersenyum geli, akan tetapi juga memuji diri sendiri akan ketelitiannya.

   Terdengar kepala di jendela itu menghela napas, agaknya kecewa karena kehilangan orang yang dibayanginya. Setelah mengamati semua orang selama hampir seperempat jam lamanya, akhirnya kepala itupun menghilang dan Liong-li mendengar langkah kaki meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa orang itu tidak ada nafsu lagi untuk menyelidiki, buktinya langkahnya berat dan acuh.

   Setelah terdengar ayam berkokok dan beberapa orang di antara para tamu wanita itu, ada yang terbangun. Liong-li juga bangun dan berlagak seperti orang yang baru bangun tidur, membereskan rambutnya yang awut-awutan lalu bangkit meninggalkan ruangan itu. Sikap dan penampilannya demikian wajar sehingga tidak mencurigakan siapapun.

   Siapa yang akan mencurigai seorang nenek tua yang mungkin mintakan ramalan untuk dirinya, atau mungkin juga memintakan obat untuk cucunya yang sakit, di kuil itu? Dengan terbongkok-bongkok Liong-li yang kini sudah berubah menjadi seorang nenek keriputan itu meninggalkan kuil, terseok-seok dengan muka tunduk berputar-putar dulu untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak dibayangi orang, baru ia melewati gedung Cian Ciang-kun dan memasuki pekarangan.

   Tiga orang pelayan itu memandang heran. Mereka tahu bahwa majikan mereka mempunyai seorang tamu, akan tetapi setahu mereka, nenek tua yang menjadi tamu itu tidak pernah meninggalkan kamarnya. Bagaimana sekarang tahu-tahu telah datang dari luar? Untung bahwa Cian Ciang-kun yang sejak pagi menanti dengan gelisah, segera menyambutnya.

   "Aih, bibi, sepagi ini engkau sudah berjalan-jalan?" tegurnya dan diapun segera membimbing "bibinya" yang dari dusun itu dan diajaknya masuk.

   Tiga orang pelayan itu menggeleng-geleng kepala setelah majikan mereka menggandeng nenek itu masuk. Mereka tahu bahwa majikan mereka adalah seorang yang baik budi, akan tetapi belum pernah mereka melihat majikan mereka mempunyai seorang bibi dari dusun yang sudah tua dan yang agaknya amat dihormati dan disayang oleh majikan mereka. Akan tetapi, tentu saja urusan keluarga itu tidak menarik perhatian mereka.

   "Wah, engkau sungguh membuat aku menjadi gelisah bukan main, Li-hiap. Apa saja yang kaudapatkan semalam sehingga engkau sampai pulang terlambat dan sudah menyamar lagi sebagai seorang nenek?" Cian Ciang-kun yang cerdik segera dapat menduga bahwa tentu pendekar wanita itu telah menemukan sesuatu.

   Liong-li lalu menceritakan apa yang telah dialaminya semalam, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cian Ciang-kun. Ketika Liong-li bercerita tentang para penjaga pintu gerbang selatan yang pingsan tertotok semua, dia cepat bertepuk tangan dan seorang pelayan pria muncul di ambang pintu.

   "Cepat kau pergi keluar dan undang Teng Ciang-kun ke sini. Cepat!"

   Pelayan itu berlari keluar dan tak lama kemudian dia sudah kembali bersama seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dia adalah Teng Ciang-kun, seorang perwira yang setia membantu Cian Ciang-kun dan tinggalnya pun di bangunan kecil sebelah depan rumah Cian Ciang-kun yang menjadi atasannya.

   Teng Ciang-kun memberi hormat tanpa memperdulikan nenek tua yang duduk di situ. Dia adalah seorang petugas yang setia dan amat baik, melaksanakan segala tugas yang diperintahkan atasannya dengan taat dan tidak pernah ingin tahu akan urusan pribadi atasannya. Maka diapun acuh saja melihat hadirnya seorang nenek di situ, hal yang sebenarnya tidak wajar dan tidak seperti biasa.

   "Teng Gun, cepat engkau pergi ke pintu, gerbang selatan dan selidiki kepada semua perajurit yang bertugas jaga semalam, apa yang terjadi dengan mereka. Atau lebih baik lagi engkau bawa saja komandan jaganya ke sini, katakan bahwa aku mempunyai kepentingan dengan dia. Sekarang juga!"

   Teng Gun atau Teng Ciang-kun memberi hormat lalu pergi. Terdengar suara derap kaki kuda, tanda bahwa dia berkuda agar dapat melaksanakan tugas itu dengan cepat.

   Sambil menanti kembalinya Teng Ciang-kun, Cian Hui melanjutkan percakapannya dengan Liong-li.

   "Jelaslah sekarang bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu orang saja, Ciang-kun. Yang berkelahi dengan aku sedikitnya ada tiga orang Kwi-eng-cu yang berlainan. Hal ini dapat kukenal dari tingkat kepandaian mereka. Sungguh berbahaya sekali, mereka itu semua amat lihai, terutama orang pertama yang kuhadang di atas genteng rumah Ciok Tai-jin. Terlambat sedikit saja, Si Bayangan Iblis itu tentu sudah masuk dan berhasil membunuh Ciok Tai-jin."

   "Hemm, belum tentu, Li-hiap. Ketahuilah bahwa di dalam rumah wakil Menteri Pajak itu terdapat seorang jagoan yang amat lihai, seorang murid dari orang sakti di Kun-lun-san. Kabarnya jagoan itu murid Kun-lun-pai yang amat tangguh. Karena adanya jagoan itulah maka akupun tidak melakukan penjagaan ketat di dekat rumah Ciok Tai-jin, seperti di rumah para pejabat tinggi lain yang kuanggap mungkin akan diserang oleh Kwi-eng-cu."

   "Hemm, bagus kalau begitu. Dia seorang pengawal pribadi pembesar itu?" tanya Liong-li tertarik.

   "Bukan pengawal, melainkan masih anggauta keluarga. Ia adalah keponakan wanita isteri pembesar itu."

   "Hemm, seorang wanita?"

   "Ia, seorang wanita yang masih muda dan cantik, sebaya dengan engkau, li-hiap. Kalau orang melihatnya, tentu tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang gemblengan dan lihai sekali. Namanya Sui In dan ia terkenal sekali. Aku sendiri belum pernah melihat kehebatan ilmu silatnya, namun dari kawan-kawan, aku dapat mengukur bahwa tingkat kepandaiannya tentu jauh melebihi tingkatku."

   "Wahh.......!" Liong-li berseru kagum.

   "Tentu hebat sekali wanita itu, dan kalau usianya sebaya denganku, tentu ia telah bersuami......."

   "Memang pernah bersuami, akan tetapi kini ia menjadi janda tanpa anak, karena suaminya menjadi seorang di antara korban-korban pertama pembunuhan Si Bayangan Iblis.

   "

   "Ahhh......!" Liong-li termenung.

   "Memang kasihan sekali wanita muda itu. Akan tetapi sudahlah, memang sudah nasibnya dan bukan hanya suaminya saja yang menjadi korban."

   Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki dua ekor kuda dan tak lama kemudian muncullah Teng Ciang-kun dan seorang komandan jaga yang nampaknya berwajah kusut dan agak pucat, sinar matanya memandang ketakutan. Ketika bertemu dengan Cian Hui, dia segera memberi hormat sambil menekuk lutut kanannya dan suaranya terdengar penuh permohonan,

   "Mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar peristiwa itu tidak dilaporkan kepada panglima. Sungguh mati kami tujuhbelas orang sama sekali tidak berdaya menghadapi bayangan yang bergerak demikian cepatnya, dan tahu-tahu kami sudah kehilangan kesadaran dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Baru pagi tadi kami sadar dan seperti baru bangun dari tidur saja. Semua peristiwa itu bagaikan mimpi saja, akan tetapi ketika kami saling bercakap-cakap, tahulah kami bahwa peristiwa itu bukan mimpi dan kami ketakutan, tidak berani melapor ke atasan karena kami takut dituduln lengah."

   "Hemm, coba ceritakan dengan sejelasnya, apa yang telah terjadi, baru akan kupertimbangkan apakah kalian patut dilaporkan ataukah tidak," kata Cian Hui dengan suara tegas.

   Komandan jaga itu menceritakan betapa semalam, ketika sebagian anak buahnya berjaga dan meronda dan sebagian lagi mengaso di gardu, tiba-tiba mereka yang berada di luar gardu berjatuhan tanpa mengeluarkan suara. Ketika para penjaga lainnya keluar, mereka disambut oleh bayangan yang berkelebatan dan merekapun roboh satu demi satu.

   "Saya sendiri ketika itu sedang berada di belakang, Mendengar suara berisik di depan, saya segera berlari keluar dan sempat melihat anak buah saya terakhir roboh dan berkelebatnya bayangan......."

   "Seperti apa bayangan itu?" tanya Cian Hui.

   Wajah komandan jaga itu semakin pucat dan dengan gelisah dia mengerling ke arah Liong-li, Hatinya diliputi keraguan melihat adanya seorang nenek yang tidak dikenalnya di situ, ikut mendengarkan percakapan yang memalukan itu.

   "Hayo katakan. Ini bibiku sendiri, tidak perlu kau sungkan!" kata pula Cian Hui.

   "Seperti apa bayangan itu?"

   "Dia...... dia tinggi besar, bertanduk..... Si Bayangan Iblis....." suaranya gemetar.

   "Lalu apa yang kaulakukan?"

   "Saya mencabut pedang dan menyerang keluar, mengejar Si Bayangan Iblis dengan nekat. Akan tetapi, tiba-tiba saja pedang saya terlepas dan mata saya menjadi gelap. Tahu-tahu pagi tadi saya siuman seperti yang lain, seperti baru bangun tidur saja."

   Liong-li yang ikut mendengarkan dapat memaklumi peristiwa itu. Si Bayangan Iblis memang lihai bukan main dan memiliki keringanan tubuh dan kegesitan yang luar biasa.

   Para penjaga itu adalah perajurit-perajurit biasa, bukan pasukan khusus, maka tentu saja dengan mudah dapat dirobohkan Si Bayangan Iblis tanpa mereka mampu mengenalnya. Kalau pasukan khusus yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan tentu akan lain lagi halnya, setidaknya para perajurit pasukan khusus tentu akan dapat melakukan perlawanan dan lebih banyak kemungkinan mereka akan dapat mengenal bayangan itu.

   Agaknya Cian Hui juga berpendapat demikian, maka setelah dia melirik ke arah Liong-li yang nampak tidak tertarik, dia lalu berkata.

   "Sudahlah, engkau boleh pergi. Aku tidak akan melaporkan ke atasan, akan tetapi mulai sekarang, kalau terjadi hal-hal mencurigakan di pintu gerbang, engkau harus cepat melaporkannya kepadaku atau menyampaikan kepada pembantuku Teng Gun."

   Komandan jaga itu nampak girang mendengar ini. Bagaikan seekor ayam makan padi, kepalanya mengangguk-angguk dan diapun berpamit lalu pergi dari situ dengan hati lega.

   "Bagaimana pendapatmu, Li-hiap?" setelah mereka hanya berdua saja, Cian Hui bertanya.

   Liong-li mengerutkan alisnya.

   "Jelas bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu orang saja dan pembunuhan-pembunuhan misterius itu tentulah didalangi orang pandai yang mempunyai banyak anak buah! Dan mengingat bahwa mereka itu mampu bergerak leluasa dam menghilang penuh rahasia, aku semakin condong menduga bahwa mereka tentu bersembunyi di dalam istana, atau setidaknya, pemimpinnya berada di dalam istana. Bagaimana Ciang-kun, tentang rencana kita agar aku dapat diseludupkan ke istana?"

   "Beres, Li-hiap! Sore hari ini juga engkau dapat dibawa ke istana. Sudah kuhubungi para pejabat di istana yang kukenal baik. Aku menceritakan bahwa engkau keponakanku dari dusun yang ingin sekali menjadi dayang, dan akhirnya kepala Thai-kam (laki-laki kebiri) yang mengepalai para dayang, yaitu Bong Thai-kam, dapat menerimamu. Ketika dia menanyakan namamu, aku mengatakan bahwa engkan she Kim bernama Siauw Hwa, akan tetapi sejak kecil biasa disebut Akim."

   "Bagus sekali nama itu, Ciang-kun!" Liong-li memuji.

   "Ah, aku hanya ingat bahwa namamu memakai huruf Kim (emas), maka kupergunakan nama itu yang juga bisa dipakai sebagai nama keturunan. Sudah kupersiapkan perlengkapan yang harus kaubawa sebagai seorang gadis dusun, dan sebaiknya kalau engkau menyamar sebagai gadis dusun yang tidak terlalu cantik akan tetapi juga jangan terlalu buruk."

   "Kenapa begitu, ciang-kun?" Liong-li menatap wajah perwira itu sambil tersenyum.

   "Bagaimana kalau aku membiarkan wajahku yang aseli?"

   "Wah, jangan! Berbahaya kalau begitu. Baru sehari saja di sana tentu para pangeran akan saling memperebutkanmu, engkau pantas menjadi seorang puteri!"

   "Ih, engkau memuji atau merayu, ciang-kun?"

   "Boleh kauanggap kedua-duanya. Akan tetapi aku bicara serius. Di istana penuh dengan pangeran-pangeran mata keranjang, dan aku mendengar di sana penuh dengan hubungan-hubungan gelap dan kotor karena para pangeran itu tidak malu atau segan untuk mengganggu selir dan dayang ayah mereka."

   "Hemmm......" Liong-li mengangguk-ngangguk. Hal inipun tidak aneh baginya karena sudah banyak mendengar akan kehidupan kotor di balik gemerlapnya kedudukan tinggi dan penuh kehormatan itu.

   "Oleh karena itulah maka amat berbahaya kalau engkau kelihatan terlalu cantik di istana, Li-hiap. Bukan saja niatmu melakukan penyelidikan akan menemui banyak rintangan, juga dirimu sendiri menjadi pusat perhatian dan akan datang gangguan yang akan menyulitkan keadaan dirimu. Sebaliknya, kalau penyamaranmu itu kelihatan terlalu jelek, juga akan mencurigakan, karena bagaimana mungkin seorang gadis yang buruk rupa dapat diterima sebagai dayang?"

   "Tidak terlalu cantik akan tetapi tidak terlalu buruk, hemmm, memang sukar sekali, akan tetapi aku tahu apa yang kaumaksudkan, Ciang-kun. Jangan khawatir, aku tidak akan nampak terlalu buruk, akan tetapi setiap orang pria di istana kalau bertemu dengan aku, sudah pasti tidak akan tertarik."

   "Harap engkau jangan khawatir, Li-hiap. Aku yang telah menerima bantuanmu, tentu tidak akan membiarkan engkau begitu saja. Syukur kalau penyelidikanmu berhasil dan rahasia pembunuhan itu dapat dipecahkan. Andaikata engkau menemui kesulitan di istana dan tidak ada jalan keluar lagi, akulah yang akan menghadap kaisar sendiri, dan aku yang akan bertanggung jawab, akan kuceritakan semua kepada kaisar sebab kehadiranmu di istana dan aku yakin, mengingat akan jasa-jasaku, kaisar akan suka memenuhi permohonanku untuk mengampuni dan membebaskanmu."

   Terharu juga hati Liong-li mendengar janji ini. Ia tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar janji kosong. Orang segagah Cian Hui ini tentu tidak akan mundur dari tanggung jawab. Akan tetapi ia tidak menghendaki tugas ini gagal seperti itu.

   "Kalau aku menemui kesulitan, tidak perlu engkau menghadap kaisar, Cian Ciang-kun, akan tetapi sampaikan saja suratku ini kepada rekanku."

   "Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)?" Cian Ciang-kun segera menduga.

   Liong-li tidak merasa heran. Memang dunia kang-ouw sudah mengetahui belaka bahwa Hek-liong-li dan Pek-liong-eng adalah dua sekawan yang tak terpisahkan, apa lagi kalau menghadapi lawan tangguh dan bahaya besar.

   "Benar, apakah engkau sudah tahu di mana harus mencari dan menemuinya, Ciang-kun?"

   Cian Ciang-kun mengangguk. Sebagai seorang penyelidik terkenal di kota raja, tentu saja dia sudah menyelidiki di mana alamat pendekar luar biasa yang menjadi rekan dari Hek-liong-li itu.

   "Dusun Pat-kwa-bun dekat Telaga See-Ouw di Hang-kouw?"

   Liong-li mengangguk kagum. Orang ini memang pantas menjadi seorang penyelidik besar yang terkenal di kota raja. Ia menyerahkan sesampul surat yang sudah ia persiapkan kepada perwira itu.

   "Hanya kalau engkau mendengar bahwa aku menghadapi kesulitan dan terancam bahaya saja kau serahkan surat ini kepadanya. Kalau tidak, harap jangan engkau mengganggu ketenteramannya, Cian Ciang-kun!"

   Siang hari itu, Liong-li beristirahat dan tidur untuk memulihkan kembali tenaganya dan menghilangkan lelahnya. Ia menghadapi pekerjaan besar dan berbahaya dan ia harus memiliki tubuh yang sehat dan pikiran yang jernih kalau masuk ke dalam istana sore nanti.

   Dusun Kim-tang merupakan dusun terakhir di sepanjang jalan panjang menuju ke Telaga See-ouw dan karena semua pelancong yang menuju ke Telaga See-ouw yang indah itu harus melewati dusun ini, maka dusun menjadi ramai dan penghuninya semakin banyak. Mereka membuka kedai-kedai minuman dan makanan, bahkan ada pula yang membuka rumah penginapan sederhana. Kalau ada pelancong kemalaman di tengah perjalanan, tentu mereka akan merasa senang sekali mendapatkan rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan di dalam dusun ini.

   
Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena dusun itu seringkali dikunjungi pelancong-pelancong dari kota yang hendak pesiar ke Telaga See-ouw, maka para penghuni dusun itu sudah biasa melihat orang-orang kota yang berpakaian mewah, melihat pria-pria tampan, dan wanita-wanita cantik.

   Itulah sebabnya, ketika seorang wanita yang amat menarik memasuki sebuah rumah makan di dusun itu pada suatu sore, tidak ada yang merasa heran, walaupun hampir setiap orang pria yang melihat wanita ini, otomatis mengangkat muka dan sepasang mata mereka mengeluarkan sinar penuh kagum. Seorang wanita yang cantik manis dengan tubuh yang penuh lekuk lengkung yang matang menggairahkan! Seorang wanita yang membuat setiap orang pria yang berpapasan dengannya tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh dan memandang sekali lagi penuh kagum.

   Wanita itu memasuki rumah makan dengan langkah perlahan dan lenggang yang gontai, tanda bahwa ia lelah. Namun lenggang yang seenaknya itu bahkan membuat pinggulnya menari-nari dengan indahnya, tidak dibuat-buat, dan pinggang yang ramping itu seperti batang pohon yang-liu tertiup angin ribut sehingga meliuk-liuk ke kanan kiri dengan lenturnya!

   Usianya sekitar duapuluh enam tahun. Wajahnya manis dan jelita, terutama sekali yang indah dan penuh daya tarik adalah mata dan mulutnya.

   Mata itu demikian jeli dan kocak, dengan kerling-kerling yang amat tajam. Mata yang sipit namun lebar itu agaknya dapat melihat ke semua arah tanpa menggerakkan leher. Bulu matanya yang lebat melindungi mata itu sehingga ke mana arah lirikannya tidak begitu menyidik.

   Dan mulutnya! Melihat mulut itu saja, bagi seorang pria yang panas, sudah merupakan suatu penglihatan yang menantang dan mendebarkan, seolah-olah mulut itu menantang untuk dicinta dan dicium. Sepasang bibir yang penuh dan lembut, dengan garis bibir melengkung seperti gendewa dipentang, kulit bibir tipis dan kemerahan selalu nampak kebasah-basahan, segar seperti buah masak dan lekuk-lekuk tipis membayang di kanan kiri mulut. Deretan gigi putih kadang-kadang mengintai dari balik belahan bibir kalau ia bicara. Bukan main!

   Akan tetapi, ada sesuatu pada wanita itu yang membuat para pria yang memandang kagum, tidak berani sembarangan memperlihatkan kekaguman mereka secara kurang ajar atau tidak sopan. Wanita itu mengenakan pakaian serba hijau yang ketat, yang membuat keindahan bentuk tubuhnya nampak nyata, dengan lekuk lengkung sempurna di tempat-tempat tertentu.

   Dan di punggungnya, selain tergendong sebuah buntalan pakaian dari kain kuning, juga nampak gagang sepasang pedang yang disatukan! Dan sikap tenang itu, di samping sepasang pedangnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga tidak boleh dibuat sembarangan. Seorang wanita kang-ouw!

   Dugaan itu tidak keliru. Wanita ini bukan lain adalah wanita yang pernah dibicarakan oleh Cian Hui kepada Hek-liong-li. Ia adalah Cu Sui In, keponakan dari isteri CiokTai-jin di kota raja. Cu Sui In memang benar murid Kun-lun-pai, yang boleh dibilang sudah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari Kun-lun-pai.

   Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa wanita ini sejak berusia lima tahun, telah digembleng oleh seorang di antara pimpinan Kun-lun-pai. Sampai berusia duapuluh tahun, selama limabelas tahun ia belajar ilmu-ilmu yang tinggi dan ditambah pula dengan bakatnya, maka setelah dewasa iapun menjadi seorang pendekar wanita Kun-lun-pai.

   Selain lihai ilmu silat tangan kosongnya, dan pandai memainkan delapanbelas macam senjata, Sui In memiliki keistimewaan dalam ilmu pedang pasangan dan iapun menerima hadiah sepasang pedang yang amat baik dari para pimpinan Kun-lun-pai ketika ia meninggalkan perguruan Kun-lun-pai yang terkenal itu.

   Setelah meninggalkan perguruan, iapun diajak oleh bibinya ke kota raja. Bibinya menjadi isteri Pembantu Menteri Pajak, Ciok Tai-jin, dan tentu saja sebagai seorang gadis yang amat cantik, sebentar saja pinangan datang bagaikan hujan. Akhirnya, mengingat usianya yang sudah duapuluh tahun, dan dalam keadaan yatim piatu, dia tidak menolak ketika bibinya dan pamannya memilihkan jodoh untuknya.

   Jodohnya itu seorang terpelajar yang sudah lulus ujian negara dan telah diangkat menjadi seorang pejabat yang memiliki masa depan yang amat baik. Dia seorang pemuda she Cia dan tentu saja pilihan seorang pejabat tinggi yang jujur seperti Ciok Tai-jin, pemuda Cia inipun seorang pejabat yang jujur dan aetia. Dan memang benar pilihan Ciok Tai-jin, dalam waktu lima tahun saja, kedudukan, suami Sui In meningkat tinggi karena dia dipercaya oleh kaisar dan merupakan seorang pejabat yang amat baik.

   Karena suaminya seorang yang lembut dan baik, maka setelah menjadi isteri Cia, Sui In mencintai suaminya dengan sepenuh hatinya. Hanya sayang, setelah menikah selama lima tahun, mereka tidak dikurniai putera. Dan hal inilah agaknya yang menciptakan kerenggangan, dalam hubungan suami isteri itu.

   Cia Tai-jin, yang masih muda itu, baru berusia tigapuluhan tahun, mula-mula mengambil seorang selir dengan alasan agar mendapatkan keturunan. Akan tetapi dari seorang, lalu bertambah sampai belasan orang!

   Sui In merasa terpukul dan tersiksa batinnya mulailah terdapat kerenggangan dalam hubungan di antara mereka. Sui In kecewa. Kecewa karena tidak mempunyai anak, kemudian kecewa karena ia kehilangan suaminya pula, kehilangan cintanya yang membuat hatinya merasa hambar dan akhirnya iapun tidak lagi mempunyai gairah cinta kepada suaminya kecuali hanya sebagai seorang wanita yang harus bersikap manis kepada seorang pria yang telah menjadi suaminya. Hubungan di antara mereka hanya tinggal hubungan kewajiban belaka, tanpa kasih sayang lagi.

   Kemudian, terjadilah malapetaka itu! Suaminya terbunuh, menjadi korban dari Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis yang sedang mengamuk dan melakukan serangkaian pembunuhan di kota raja! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Sui In yang mendapatkan dirinya menjadi seorang janda tanpa anak!

   Kalau saja suaminya tidak mempunyai banyak selir, kalau hubungan di antara mereka masih seperti dahulu, belum tentu suaminya akan terbunuh penjahat! Ia tentu akan mampu melindungi suaminya. Akan tetapi suaminya mati terbunuh ketika tidur bersama seorang di antara selir-selirnya, terbunuh bersama selirnya pula. Dan iapun tidak dapat berbuat sesuatu!

   Memang ada juga perasaan marah dan ia sudah berusaha untuk mencari pembunuh suaminya. Namun, seperti juga usaha semua orang yang bertugas mencari pembunuh itu, usahanya gagal dan ia tidak pernah mampu menemukan Si Bayangan Iblis walaupun pernah ia menggagalkan usaha Si Bayangan Iblis untuk membunuh pamannya, yaitu Ciok Tai-jin!

   Ketika itu, iapun hanya melihat berkelebatnya bayangan yang menyeramkan itu. Ia mengejar, namun tidak berhasil menemukannya. Dan sejak itu, setelah tahu bahwa pamannya juga terancam, Sui In selalu berjaga-jaga dan ia mendapatkan sebuah kamar berdampingan dengan kamar paman dan bibinya.

   Rasa kecewa, duka dan marah membuat Sui In tidak enak makan tidak nyenyak tidur. Kalau saja ia mempunyai anak, maka ditinggal mati suaminya ini tentu tidak begitu hebat. Kini ia hidup menjanda, baru berusia duapuluh enam tahun, namun tidak mungkin menikah lagi!

   Pada jaman itu, bagi seorang janda, apa lagi janda seorang pejabat tinggi, tentu saja merupakan hal yang memalukan dan merendahkan kalau ia menikah lagi! Setiap orang janda dipaksa oleh lingkungan dan keadaan dan kesusilaan untuk tinggal menjanda selama hidup!

   Dan ia baru berusia duapuluh enam tahun, cantik manis dan bagaikan setangkai bunga sedang semerbak harum, sedang mekar-mekarnya membuat para kumbang mabok kepayang. Ia merasa seperti seekor burung dalam sangkar emas yang sempit. Ia ingin terbang, ingin bebas di udara. Akan tetapi, pamannya perlu dijaga dan dilindungi keselamatannya! Pamannya orang yang amat baik hati dan ia telah berhutang banyak budi kepada pamannya.

   Dan memang Ciok Tai-jin seorang yang bijaksana. Pembesar ini cukup waspada dan dia tahu benar betapa keponakan isterinya yang kini menjadi janda setiap hari termenung dan tenggelam dalam duka, maka pada suatu malam, dia dan isterinya mengajak janda muda ini bicara dari hati ke hati.

   "Sui In," kata Ciok Tai-jin.

   "Sudah beberapa bulan sejak suamimu meninggal dunia, engkau pindah ke rumah kami dan engkau menjaga keselamatanku, terutama di waktu malam. Akan tetapi kami melihat engkau tenggelam dalam duka dan engkau jelas kelihatan tidak betah tinggal di sini. Engkau jarang makan dan setiap malam menjaga keamanan, hanya tidur sebentar di waktu siang.

   "Sui In, katakanlah, apa yang kaukehendaki! Jangan sampai kami orang-orang tua yang menjadi penghalang kebahagiaanmu, kami tahu betapa nasibmu gelap dipenuhi duka, dan kami tidak ingin menambah beban penderitaan batin yang kaupikul dengan memaksamu bertugas seperti ini."

   Ditanya demikian, Sui In menangis. Bibinya merangkulnya dan setelah dapat mengatur pernapasannya yang penuh duka, Sui In lalu memberi homat kepada paman dan bibinya.

   "Sebetulnya, sudah lama saya ingin bicara, akan tetapi saya takut kalau dianggap sebagai orang yang kejam dan tidak mengenal budi. Paman terancam penjahat, bagaimana mungkin saya meninggalkan paman? Ah, saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan atau saya perbuat. Kalau saja saya dapat mengetahui siapa si laknat Kwi-eng-cu itu! Tentu akan saya tantang untuk mengadu nyawa!"

   "Sui In, katakan saja apa sebenarnya yang kaukehendaki. Mengenai diriku dan keselamatanku, tidak perlu kaupikirkan benar. Kalau perlu, aku dapat minta bantuan panglima untuk mengirim beberapa orang jagoan agar menjadi pengawal pribadiku. Katakanlah, apa sebenarnya yang kauinginkan?"

   "Paman, saya ingin mencari pembunuh suamiku itu sampai dapat, agar saya dapat membalas kematian suamiku!" kata Sui In penuh semangat.

   "Bukankah selama ini engkau sudah berusaha mencarinya? Bahkan bukan hanya engkau yang mencarinya. Pemerintah juga mencari dan aku mendengar bahwa Cian Ciang-kun sendiri yang turun tangan untuk mencari dan membongkar rahasia Si Bayangan Iblis."

   "Akan tetapi sampai kini tidak ada hasilnya, paman. Si Bayangan Ib1is itu terlalu lihai dan agaknya saya harus mencari bantuan."

   "Bantuan siapa, Sui In?"

   "Saya mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai, paman, dan dia kini kabarnya bertapa di bukit sunyi dekat Telaga See-ouw. Saya ingin mencari dia dan minta bantuannya. Dengan bantuannya, tentu saya akan dapat menemukan Si Bayangan Iblis yang mengacau di kota raja itu."

   Ciok Tai-jin mengangguk-angguk dan meraba-raba jenggotnya.

   "Hemm, pikiran yang bagus, Sui In. Kenapa engkau tidak mencarinya?"

   "Itulah paman, yang menjadi pemikiranku. Aku tahu bahwa paman juga terancam Si Bayangan Iblis, maka saya tidak berani meninggalkan paman. Saya harus selalu melindungi paman dari serangannya."

   "Engkau benar sekali, Sui In keponakanku yang baik, kalau bukan engkau yang melindungi keselamatan pamanmu, habis siapa lagi yang dapat kami percaya?" kata bibinya yang merasa khawatir sekali akan keselamatan suaminya.

   "Ah, engkau ini hanya mementingkan diri sendiri saja!" tegur Ciok Tai-jin kepada isterinya, lalu memandang keponakannya.

   "Sui In, mengenai diriku, jangan khawatir. Aku akan mengundang beberapa orang jagoan untuk melindungiku. Kalau kaupikir, dengau bantuan susiokmu itu engkau akan dapat menangkap Si Bayangan Iblis, pergilah mencarinya. Apakah engkau memerlukan pasukan untuk menemanimu?"

   Bukan main girang dan lega rasa hati Sui In.

   "Tidak perlu, paman. Saya dapat pergi sendiri saja. Kalau sudah bertemu susiok, saya akan mengajaknya ke sini, paman. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari saya, maka dengan bantuannya, tentu kami akan dapat meringkus Si Bayangan Iblis dan kematian suami saya dapat terbalas."

   Demikianlah, dengan bekal pakaian, uang dan membawa sepasang pedangnya Sui In meninggalkan rumah gedung pamannya dan melakukan perjalanan ke See-ouw. Ia tidak tahu bahwa beberapa hari setelah ia pergi, rumah gedung Pamannya diserbu Si Bayangan Iblis dan seperti telah kita ketahui, serbuan itu gagal berkat kehadiran Liong-li. Andakata tidak ada Liong-li, walaupun di situ terdapat beberapa orang jagoan pengawal yang diundang Ciok Tai-jin sebagai pengganti Sui In, tentu keselamatan Wakil Menteri Pajak itu terancam bahaya maut.

   Sui In yang melakukan perjalanan, pada suatu sore tiba di dusun Kim-tang dan karena sehari itu ia melakukan perjalanan cukup jauh tanpa berhenti, bahkan tidak makan siang, perutnya terasa lapar dan iapun memasuki sebuah rumah makan di dusun yang ramai itu. Biarpun ia tahu betapa banyak pasang mata pria melemparkan pandangan kagum kepadanya, Sui In yang sudah terbiasa akan hal itu, tidak perduli lalu menghampiri meja kosong yang ditunjukkan seorang pelayan yang menyambutnya.

   "Toanio hendak memesan apakah? Makanan? Minuman?" tanya pelayan muda itu dan pandang matanya yang menatap wajah tamu itupun penuh dengan kekaguman.

   "Aku lapar dan ingin makan. Beri nasi putih dan masakan apakah yang paling lezat dan terkenal di rumah makan ini?" Sui In sehari tidak makan dan ia ingin makan enak.

   Pelayan itu segara menjawab tanpa dipikir lagi karena pertanyaan seperti itu seringkali dia dengar dari para pelancong yang datang dari kota.

   "Masakan kami yang paling lezat dan terkenal adalah Ikan Lee dimasak jahe, nona. Ikan Lee dari Telaga See-ouw aseli, gemuk dan semua tulangnya dibersihkan. Juga masakan kami Udang Saus tomat amat sedap. Sup ayam jamur kami juga enak."

   "Cukup sudah. Beri aku masakan tiga macam itu, nasi putih dan air teh."

   "Arak, toanio (nyonya)?"

   "Tidak, atau...... kalau ada anggur merah yang tidak begitu keras boleh juga beri sebotol kecil saja."

   Pelayan itu mundur dan Sui In termenung. Ketika ia menjadi pengantin baru, pernah suaminya mengajaknya pesiar ke Telaga See-ouw. Rumah makan ini belum ada, akan tetapi suaminya juga menyuruh beli masakan-masakan yang lezat dan mereka makan di perahu.

   Pedih rasa hati Sui In. Betapa lamanya sudah peristiwa yang mesra itu lewat, hanya tinggal kenangan. Jauh sebelum suaminya meninggal dunia, kemesraan itu sudah lenyap tak berbekas lagi. Tidak, ia tidak menyalahkan suaminya, hanya menyalahkan nasib dirinya. Andaikata ia dikurniai putera, tentu suaminya tidak mau menengok wanita lain dan kemesraan itu dapat dipertahankan.

   Sudah, ia tidak mau lagi mengenangkan semua itu. Dan baru setelah suaminya tewas, ia menemukan dirinya sendiri. Ketika menikah dengan suaminya itu, tidak ada rasa cinta dalam batinnya. Itu masalahnya cintanya adalah cinta yang ia paksakan, untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri.

   Dan suaminya memang seorang yang bijaksana. Banyak sudah budi diterimanya dari suaminya, bahkan kini sebagian besar harta peninggalan suaminya diberikan kepadanya. Ia menjadi seorang janda yang muda dan kaya.

   Hartanya itu ia titipkan kepada pamannya, Pembantu Menteri Pajak. Dan pihak mertuanya juga mau membebaskannya, tidak mengikatnya, karena memang ia tidak mempunyai anak dari keluarga Cia. Mereka itu amat baik kepadanya. Ia berhutang budi kepada keluarga Cia. Karena itu, ia baru mencari pembunuh suaminya dan membalas dendam itu!

   Tak lama kemudian, lamunannya membuyar ketika pelayan datang membawakan masakan yang dipesannya. Masih mengepul panas tiga macam masakan itu dihidangkan di depannya, berikut nasi putih, air teh dan sebotol anggur merah. Hidungnya kembang kempis. Masakan itu mengepulkan uap yang sedap, juga anggur merah itu ketika dibuka tutupnya, menghamburkan bau yang harum dan lezat. Perutnya segera berkeruyuk menghadapi tantangan itu.

   Sui In makan seorang diri. Pelayan tadi tidak membual. Masakan ikan Lee dengan jahe itu sedap bukan main. Daging ikannya lunak dan sama sekali tidak ada tulangnya. Gurih bukan main, dan cocok dimakan dengan bumbu penyedap kecap manis. Nasi putihnya juga hangat dan harum.

   Ketika ia mencoba masakan lain, ia girang dan kagum. Udang saus tomat itupun enak. Udangnya sebesar jari kaki, dagingnya putih kemerahan dan terasa manis, dan tidak berbau amis. Juga ikan Lee itu tidak berbau amis. Pandai memang tukang masaknya. Dan sup ayam dengan jamur itupun sedap dan segar. Kuahnya enak sekali.

   Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, biarpun sedang tenggelam dalam kenikmatan dan kelezatan makan, tetap saja Sui In tidak pernah lengah dan baik telinganya, maupun kerling matanya, tidak pernah melepaskan perhatian terhadap keadaan di sekelilingnya. Oleh karena itu, iapun tahu ketika ada tiga orang tamu baru saja masuk dan duduk di meja sudut kiri dalam, hanya terpisah lima meja saja dari tempat duduknya.

   Dengan kerling mata ke kiri, ia melihat bahwa tiga orang itu adalah laki-laki yang berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, ketiganya berpakaian mewah namun masih jelas dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia persilatan. Yang seorang, paling tua berusia limapuluhan tahun, bertubuh jangkung dan rambutnya sudah putih semua walaupun mukanya masih nampak muda. Senyumnya anggun dan sikapnya berwibawa, sinar matanya tajam dan memerintah. Di punggungnya nampak gagang sebatang pedang.

   Dua orang kawannya bersikap sebagai orang bawahan, usia mereka kurang lebih empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun. Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan mukanya dipenuhi tawa, cerah dan lucu, akan tetapi matanya menyinarkan kekejaman. Orang kedua pendek kurus condong ke arah cebol, akan tetapi mukanya bengis. Dua orang inipun membawa pedang yang tergantung di punggung.

   "Heii, pelayan! Bawa arak seguci besar! Cepaaatt!!" terdengar si gendut berteriak. Pe- layan berlari-lari mendatangi dan pria jangkung itu dengan suara lembut namun tegas dan galak, memesan masakan.

   Sui In tidak mau memperhatikan lagi karena si gendut itu terang-terangan memandangnya dengan sikap kurang ajar. Apalagi pada saat itu, perhatiannya tertarik oleh seorang tamu baru yang memasuki ruangan itu. Seorang pria yang bukan main! Pria itu usianya kurang lebih duapuluh tujuh tahun.

   Tubuhnya sedang saja, namun tegak dan gagah. Wajahnya tampan dan jantan, wajah yang agaknya sudah digembleng kekerasan hidup. Namun pakaiannya yang terbuat dari sutera putih-putih itu berpotongan pakaian seorang pelajar atau sasterawan. Pakaian itulah yang membayangkan kelembutan seorang siu-cai (sarjana), namun lekuk di dagunya membayangkan kejantanan yang kuat.

   Biarpun hanya memandang sepintas lalu, diam-diam Sui In kagum. Rasa kewanitaannya tersentuh. Seorang pria yang jantan dan penuh daya tarik, pikirnya. Akan tetapi perasaan itupun hanya lewat saja, karena ia bukanlah seorang wanita yang mudah terguncang ketampanan seorang pria. Akan tetapi ia masih sempat melihat betapa pria itupun ketika duduk di mejanya, hanya terpisah dua meja dari tempatnya, menatap kepadanya dan diam-diam ia terkejut. Tatapan mata itu sungguh luar biasa.
(Lanjut ke Jilid 05)

   Si Bayangan Iblis (Seri ke 02 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
Sepasang mata yang mencorong penuh wibawa, akan tetapi karena mulutnya tersenyum, maka wajah itu nampak lembut. Orang muda itu tentu seorang sarjana yang lembut dan pintar, pikir Sui In, akan tetapi tentu saja lemah. Seperti mendiang suaminya. Akan tetapi suaminya memang lemah sekali, bahkan lembut seperti wanita.

   Pria di depannya ini jantan, walaupun hanya seorang sasterawan atau seorang terpelajar. Tidak membawa senjata, juga tidak nampak bayangan kekerasan. Bahkan pakaiannya yang serba putih, itu nampak bersih sekali. Sungguh jauh bedanya dengan tiga orang pria yang pertama itu, penuh kekerasan.

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa dari meja di sudut kanan. Di sana sejak tadi memang ada empat orang laki-laki muda sedang makan minum dan kini agaknya mereka sudah mabok-mabokan.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 13 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 15 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 5

Cari Blog Ini