Ceritasilat Novel Online

Si Pedang Tumpul 10


Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




   Kembali kemenangan Sin Wan ini disambut tepuk tangan riuh olah lima orang perwira yang menjadi tamu Ang-kin Kai-pang. Sin Wan memberi hormat kepada tujuh orang pimpinan perkumpulan itu.

   "Maafkan saya." Dan diapun mundur mendekati sumoi dan kakek Bu Lee Ki yang mengangguk-angguk senang.

   Tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang itu bangkit dari tempat duduk mereka, menghampiri sembilan orang pembantu mereka dan membebaskan mereka dari pengaruh totokan yang membuat mereka tak mampu bergerak.

   Kemudian, dengan muka merah karena merasa penasaran melihat para pembantu utama mereka kembali mengalami kekalahan, mereka menghadap ke arah kakek Bu Lee Ki. Kini sikap mereka lunak, bahkan hormat kepada kakek itu. Si jenggot panjang yang kedudukannya sebagai wakil ketua dan memimpin enam orang sutenya, segera memberi hormat.

   "Kiranya dua orang murid keponakan locianpwe adalah orang-orang yang amat lihai. Kami yakin bahwa locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi dan harap maafkan kalau anak buah kami bersikap kurang hormat. Sebagai persyaratan terakhir, kalau locianpwe mampu melewati kami bertujuh, kami akan mempersilakan locianpwe dan dua orang muda gagah ini untuk masuk sebagai tamu-tamu kehormatan kami."

   Kakek itu bangkit berdiri dengan sikap ogah, menggeliat dan melangkah tertatih-tatih menghampiri tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang, akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia mengomel.

   "Aihh, anak-anak ini sungguh rewel, main-main dengan orang tua seperti aku. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah cekcok dengan orang, bertengkarpun belum pernah, apalagi sampai berkelahi. Sekarang begini saja. Kalau kalian bertujuh mampu merampas capingku ini, biar aku mengaku kalah dan sebaliknya aku akan mencoba untuk mengambil sabuk merah kalian!"

   Tantangan kakek itu membuat tujuh orang pemimpin Ang-kin Kai-pang tertegun. Si jenggot panjang yang bernama Ciok An dan menjadi wakil ketua Ang-kin Kai-pang, diam-diam terkejut. Kalau kakek itu berani menantang seperti itu, jelas bahwa tentu kepandaiannya hebat. Tidak akan mudah melindungi caping lebar yang tergantung di punggung dengan tali mengalungi leher itu dari sergapan tujuh orang, dan lebih sukar lagi merampas sabuk-sabuk merah mereka bertujuh yang mengikat pinggang. Karena menduga bahwa kakek ini tentu sakti dan merupakan tokoh besar dunia persilatan yang belum dikenalnya, maka diapun tidak ingin kalau sampai dia dan kawan-kawannya kesalahan tangan. Diapun menerima baik tantangan itu, dengan hati lega karena kemungkinan kesalahan tangan melukai lawan lebih kecil dibandingkan kalau bertanding dengan senjata.

   "Baik, kami mohon petunjuk locianpwe, katanya merendah, kemudian dia memberi isyarat kepada enam orang sutenya untuk mulai bergerak. Begitu mereka bergerak, mudah saja dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian tujuh orang ini jauh lebih lihai dibandingkan sembilan orang yang tadi mengeroyok Sin Wan. Gerakan mereka selain cepat juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat.

   Tujuh orang yang dipimpin Ciok An itu, merupakan pimpinan Ang-kin Kai-pang, dan Ciok An sendiri yang berjenggot panjang adalah wakil ketua. Tentu saja kepandaiannya dan enam orang sutenya itu sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu bergerak, mereka itu masing-masing melancarkan serangan dengan satu tangan sedangkan tangan yang lain berusaha merampas caping yang tergantung di punggung Bu Lee Ki.

   Akan tetapi tubuh kakek yang bertubuh sedang dan kurus itu seolah-olah berubah menjadi bayangan saja. Dia menggunakan langkah-langkah aneh dari ilmu Langkah Angin Puyuh dan tubuhnya yang hanya nampak seperti bayangan itu menyelinap di antara sambaran tujuh pasang tangan itu. Kadang dia menangkis dan setiap kali tangannya menangkis, orang yang tersentuh lengannya terhuyung ke belakang hampir roboh!

   "Heh..heh..heh, kalian anak-anak nakal! Caping butut seperti ini untuk berebutan! Nah, awas pegangi itu celana agar jangan merosot ke bawah kalau sabuknya kuambil," kata kakek itu terkekeh.

   Mendengar ini, tujuh orang itu bersiap siaga agar jangan sampai sabuk mereka dapat diambil kakek itu. Sebetulnya, menurut pendapat mereka, hal ini tidak mungkin. Pertama, mereka cukup tangguh, apalagi kalau hanya melindungi sabuk sutera, dan kedua, sabuk itu melilit pinggang mereka kuat-kuat. Bagaimana mungkin dapat dirampas?

   Tiba-tiba kakek itu membuat gerakan aneh. Tubuhnya yang tadi berputar-putar itu semakin cepat dan tubuhnya seperti gasing saja, tidak tentu ke mana arahnya sehingga membingungkan para pengeroyoknya. Dan tiba-tiba, terdengar teriakan susul menyusul karena seorang demi seorang harus memegangi celana mereka agar tidak merosot.

   Entah bagaimana caranya, sabuk sutera merah yang melilit pinggang mereka itu tiba-tiba saja meninggalkan pinggang seperti berubah menjadi ular hidup saja dan telah berada di tangan kakek Bu Lee Ki! Setelah semua sabuk terampas, tujuh orang itu berdiri terbelalak, memegang celana sambil memandang ke arah kakek itu yang berdiri dan tertawa-tawa memegang tujuh helai sabuk merah dan diangkatnya tinggi-tinggi.

   Kembali lima orang perwira tinggi itu bertepuk tangan memuji dan sekali ini mereka agaknya benar-benar kagum karena mereka berlima bangkit berdiri dari tempat duduk mereka. Pada saat itu, beberapa orang anggauta Ang-kin Kai-pang yang berada di luar berseru.

   "Pangcu datang ......!!"

   Suasana menjadi menegangkan bagi semua orang ketika mendengar bahwa ketua mereka datang, dan giranglah hati Ciok An dan para sutenya karena tentu ketua mereka yang lihai akan mampu menebus kekalahan mereka yang membuat mereka merasa penasaran dan malu

   Ternyata orang yang muncul dari luar ini malah lebih muda dibandingkan Ciok An dan para sutenya. Usianya sekitar empatpuluh tahun dan wajahnya bersih dan tampan, tanpa ada kumis dan jenggot. Tubuhnya tegap dam nampak gesit, pakaiannya juga sederhana, berwama biru muda dan seperti juga semua anggauta Ang-kin Kai-pang, di pinggangnya terlilit sehelai sabuk sutera, hanya warna merahnya yang berbeda karena warna merah sabuknya lebih tua dari pada yang lain.

   Dari luar tadi ketua ini sudah mendengar dari anak buahnya bahwa ada seorang kakek pengemis asing dan dua orang murid keponakannya mengacau di situ dan mengalahkan semua pimpinan Ang-kin Kai-pang. Mendengar ini, dia cepat melangkah maju dan dengan suara berwibawa dia berseru nyaring.

   "Siapa yang berani mengacau di Ang-kin Kai-pang?"

   Dengan tangan kiri masih memegangi celana agar tidak merosot, Ciok An segera menjawab.

   "Pangcu, locianpwe ini memaksa hendak bertemu dengan pangcu dan kami semua telah dikalahkannya."

   "Heh..heh..heh, jangan merengek! Nih ku kembalikan sabuk kalian!" Dan begitu kakek itu melemparkan sabuk-sabuk merah itu, nampak tujuh sinar merah melayang ke arah tujuh orang pimpinan itu dan merekapun menyambut sabuk-sabuk mereka dengan tangan.

   Akan tetapi mereka menyeringai karena ketika menangkap sabuk-sabuk yang melayang ke arah mereka itu, mereka merasa betapa telapak tangan mereka nyeri seperti dicambuk. Dengan menahan rasa nyeri, mereka cepat melilitkan kembali sabuk mereka di pinggang.

   Sementara itu, Thio Sam Ki, yaitu ketua Ang-kin Kai-pang, memandang ke arah kakek Bu Lee Ki dan dia mengeluarkan seruan heran, lalu bergegas menghampiri. Mereka kini berhadapan. Bu Lee Ki masih terkekeh sedangkan ketua Ang-kin Kai-pang terbelalak.

   "Locianpwekah ini ......? Benarkah ...... locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki ........?"

   Kakek itu terkekeh.

   "Heh..heh..heh, kiranya engkau yang menjadi ketua Ang-kin Kai-pang ini, Thio Sam Ki! Bagus, pantas saja kai-pang ini demikian maju dan baik, kiranya engkau yang menjadi ketuanya, ha..ha..ha..ha!"

   "Ahh, locianpwe, semua ini berkat petunjuk yang pernah saya terima dari locianpwe. Betapa bahagia rasa hati saya melihat locianpwe ternyata masih dalam keadaan sehat. Locianpwe, terimalah hormat saya!" Dan ketua Ang-kin Kai-pang itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu!

   Ketika tadi mendengar disebutnya nama Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki oleh ketua Ang-kin Kai-pang, semua orang telah terbelalak kaget. Kini melihat ketua mereka berlutut memberi hormat, tanpa diperintah lagi seluruh pimpinan dan anggauta Ang-kin Kai-pang yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek itu!

   Siapa yang tidak kaget mendengar bahwa kakek itu adalah Thai-pangcu (Ketua Besar) dari seluruh kai-pang? Kakek itu adalah "datuk" seluruh pengemis yang dikabarkan menghilang selama bertahun-tahun.

   Bu Lee Ki mengangkat kedua tangannya ke atas.

   "Wah .. wah, bangkitlah kalian semua. Aku datang untuk melihat-lihat keadaan dan dapat kunyatakan bahwa engkau telah berhasil, Thio Sam Ki. Ang-kin Kai-pang agaknya mampu mempertahankan namanya sebagai pejuang-pejuang yang gagah, tidak menyeleweng ke jalan sesat!"

   Thio Sam Ki bangkit berdiri, diturut semua anggautanya dan wajahnya berseri.

   "Semua ini berkat bimbingan locianpwe, dan berkat bantuan dari yang mulia Raja Muda Yung Lo!" Lain dia memandang kepada tujuh orang pembantunya sambil tersenyum.

   "Apakah kalian ini sudah buta, berani mencoba-coba kepandaian locianpwe Bu Lee Ki!"

   Sementara itu, setelah melihat dan mendengar semua itu, lima orang perwira saling pandang dan mereka nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka yang berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh-tinggi besar, segera maju memberi hormat kepada Bu Lee Ki.

   "Kiranya locianpwe adalah Thai-pangcu yang terkenal itu. Kami merasa beruntung dapat bertemu locianpwe dan kami mengucapkan selamat atas berkumpulnya kembali seorang pemimpin besar dengan anak buahnya." Dia lalu memberi hormat kepada Thio Sam Ki dan berkata.

   "Kami mengucapkan selamat kepada Thio-pangcu yang telah dapat bertemu dengan pemimpin besarnya. Kami berlima mohon diri karena sudah cukup lama berada di sini dan terima kasih atas segala keramahan Ang-kin Kai-pang."

   Lima orang perwira itu lalu keluar dari situ dan lima orang anggauta Ang-kin Kai-pang sudah mempersiapkan kuda tunggangan mereka.

   Setelah mereka pergi, Thio Sam Ki memandang kepada Sin Wan dan Kui Siang, lalu bertanya kepada Bu Lee Ki.

   "Saya mendengar bahwa kedua orang adik yang gagah ini adalah murid-murid keponakan locianpwe, harap suka memperkenalkan saya kepada mereka."

   Bu Lee Ki tersenyum.

   "Mereka adalah murid-murid dari Sam-sian, boleh dibilang murid keponakanku sendiri. Pemuda ini bernama Sin Wan dan nona itu bernama Lim Kui Siang dari Nan-king. Sin Wan dan Kui Siang, ini adalah ketua Ang-kin Kai-pang Thio Sam Ki, takkusangka bahwa dia yang menjadi ketua di sini."

   Dua orang itu saling memberi hormat dengan Thio Sam Ki yang merasa kagum kepada mereka karena sudah mendengar betapa mereka ini telah mengalahkan dengan mudahnya. Gadis cantik itu telah mengalahkan barisan Enam Tongkat Merah, bahkan pemuda itu mengalahkan barisan Sembilan Pedang Naga. Hebat! Apalagi ketika tadi mendengar keterangan Bu Lee Ki bahwa mereka adalah murid-murid Sam-sian, kekagumannya semakin bertambah.

   "Dahulu saya hanya anggauta pengemis biasa di Ang-kin Kai-pang, namun berkat bimbingan locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki maka akhirnya saya dapat menjadi ketua. Locianpwe, marilah kita bicara di dalam." Ketua itu lalu memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan pesta penyambutan kepada pemimpin besar para kai-pang itu.

   Dalam perjamuan meja panjang di mana duduk Bu Lee Ki, Sin Wan dan Kui Siang sebagai tamu kehormatan, dan Thio Sam Ki bersama tujuh orang pembantunya sebagai tuan rumah. Bu Lee Ki dengan tenang dan sabar mendengarkan semua keterangan yang diberikan Thio Sam Ki mengenai perkembangan dunia kai-pang semenjak penjajah Mongol diusir dan pemerintah Kerajaan Beng memegang kekuasaan.

   Dahulunya Ang-kin Kai-pang juga, terbawa menyeleweng oleh ketuanya yang lama yang bernama Boan Kin. Melihat situasi yang kacau akibat perang, Boan Kin bersama para pendukungnya yang menjadi kaki tangannya dan berjumlah duapuluh orang lebih, membawa Ang-kin Kai-pang keluar dari jalan benar dan mulai melakukan pemerasan dan penindasan terhadap masyarakat di Peking dengan dalih bahwa Ang-kin Kai-pang sudah berjasa dalam perjuangan menumbangkan penjajah Mongol dan karenanya sudah sepatutnva kalau mendapatkan imbalan jasa. Boan Kin dan kaki tangannya merupakan gerombolan yang merajalela di Peking dan amat ditakuti rakyat karena mereka tidak segan-segan mempergunakan kekerasan dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka.

   Thio Sam Ki yang menjadi anggauta Ang-kin Kai-pang, dan para pengemis lain yang berjiwa bersih, tentu saja tidak menyetujui langkah yang diambil ketua mereka. Biarpun Thio Sam Ki sendiri sudah memiliki ilmu silat yang tinggi dan kiranya tidak kalah oleh Boan Kin karena dia pernah dibimbing langsung oleh Pek-sim Lo-kai, namun dia tidak berdaya mengingat bahwa Boan Kin mempunyai duapuluh lebih kaki tangan yang tentu saja tidak mungkin dapat dia atasi.

   Akhirnya, setelah Raja Muda Yung Lo mulai melakukan penertiban dengan tangan besi, melakukan pembersihan terhadap para penjahat, Thio Sam Ki mendapat dukungan dari raja muda ini. Dengan bantuan pasukan, Thio Sam Ki berhasil membunuh Boan Kin dan kaki tangannya dan diapun diangkat sebagai ketua baru oleh semua sisa anggauta Ang-kin Kai-pang dan didukung sepenuhnya oleh Raja Muda Yung Lo.

   "Demikianlah, locianpwe. Saya dipilih menjadi ketua baru Ang-kin Kai-pang. bukan karena saya berambisi untuk mencari kedudukan, melainkan semata-mata demi menolong Ang-kin Kai-pang dari cengkeraman orang jahat dan mengembalikan Ang-kin Kai-pang ke jalan benar." Thio Sam Ki mengakhiri ceritanya.

   "Bagaimana dengan kai-pang yang lain-lain? Apakah keadaan di empat daerah masih seperti dahulu?" tanya Bu Lee Ki yang merasa senang melihat keadaan Ang-kin Kai-pang dan mulai tertarik untuk mengetahui keadaan dunia kai-pang yang dahulu menjadi dunianya dan yang ditinggalkannya karena dia kecewa melihat penyelewengan para kai-pang.

   "Setahu saya masih seperti dulu, tidak ada pergantian ketua kecuali Ang-kin Kai-pang, locianpwe. Ketika saya diangkat menjadi ketua, tiga orang ketua dari kai-pang terbesar di barat, timur dan selatan datang memberi selamat. Kalau di utara yang menjadi kai-pang terbesar adalah Ang-kin Kai-pang maka di selatan adalah Lam-kiang Kai-pang yang masih dipimpin oleh ketuanya yang dahulu, yaitu Kwee Cin. Di barat adalah Hek I Kai-pang dipimpin oleh Souw Kiat sebagai pangcunya, dan di timur Hwa I Kai-pang dipimpin Siok Cu."

   Bu Lee Ki mengangguk-angguk. Ternyata tidak ada perubahan di tiga daerah itu, dan dia mengenal mereka karena mereka adalah bekas bawahannya. Dia pernah menjabat sebagai Thai-pangcu, yaitu ketua terbesar yang dianggap sebagai pengawas dan penasihat bagi keempat kai-pang yang berkuasa.

   "Apakah mereka masih juga menjaga kebersihan nama kai-pang masing-masing itu?" tanyanya, alisnya berkerut karena dahulu dia melihat bahwa di antara mereka banyak yang terseret ke dalam kesesatan seperti halnya mendiang Boan Kin ketua Ang-kin Kai-pang yang lama, kecuali Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang yang seperti juga Thio Sam Ki, pernah menerima bimbingannya selama beberapa tahun.

   "Yang saya ketahui, hanya Hwa I Kai-pang saja yang kabarnya banyak berubah. Perkumpulan itu kini menjadi kaya raya dan kabarnya memiliki kekuasaan besar sekali. Ketuanya masih Siok Cu dan menurut berita yang saya terima, terjadi persaingan antara Hwa I Kai-pang dan Hek I Kai-pang. Saya merasa yakin bahwa Souw-pangcu tetap mempertahankan Hek I Kai-pang sebagai kai-pang yang bersih dan gagah. Mengenai Hwa I Kai-pang, banyak berita yang tidak menyenangkan."

   Bu Lee Ki mengelus jenggotnya yang kacau dan putih.

   "Hemm, begitukah? Apakah Hwa I Kai-pang masih berpusat di Lok-yang?"

   Thio Sam Ki membenarkan, lalu melanjutkan.

   "Sebulan lagi akan diadakan pertemuan besar di Lok-yang antara pimpinan empat kai-pang itu, locianpwe, yaitu untuk membicarakan kepergian locianpwe dan kekosongan kedudukan Thai-pangcu. Di dalam pertemuan itu akan diadakan pemilihan Thai-pangcu yang baru dan hal ini didukung pula oleh pemerintah."

   "Pemerintah?"

   "Benar sekali, locianpwe. Tentu locianpwe tadi melihat pula lima orang perwira tinggi yang menjadi tamu di sini. Hubungan kami dengan para panglima baik sekali, bahkan Raja Muda Yung Lo amat memperhatikan kami. Demikian pula ayahanda beliau, Kaisar Thai-cu di Nan-king kabarnya amat memperhatikan kai-pang. Beliau tidak melupakan perjuangan para kai-pang dan pemerintah yang menganjurkan agar diadakan pemilihan Thai-pangcu lagi untuk kelak mewakili para kai-pang dalam pemilihan seorang Beng-cu. Pemerintah bermaksud untuk mempersatukan seluruh tokoh dunia persilatan agar tidak terjadi persaingan dan perpecahan dan kekuatan di dunia persilatan dapat dimanfaatkan untuk membantu pemerintah dalam menjaga keamanan dan ketertiban sehingga kehidupan menjadi tenteram."

   "Bagus sekali!" Bu Lee Ki mengangguk-angguk dan wajahnya berseri.

   "Kalau kaisar dan pemerintahnya bijaksana dan baik, maka tidak sia-sia belaka bertahun-tahun rakyat ikut berjuang melawan penjajah mengorbankan nyawa dan harta benda. Perjuangan takkan berhasil tanpa bantuan rakyat karena yang berjuang adalah rakyat. Oleh karena itu setelah perjuangan berhasil, para pimpinan sekali-kali tidak boleh melupakan tujuan semula dari perjuangan, yaitu membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan agar rakyat dapat hidup dalam keadaan tenteram, adil dan makmur. Para pemimpin harus selalu menyadari bahwa tanpa rakyat, mereka bukan apa-apa, dan tanpa dukungan rakyat, setiap pemerintahan pasti akan rapuh dan jatuh."

   "Betapa bahagianya kami kalau selalu mendapatkan bimbingan dari locianpwe yang bijaksana," kata Thio Sam Ki terharu.

   "Pemilihan Thai-pangcu akan diadakan. Akan celakalah para kai-pang kalau Ketua Besar dipegang oleh orang yang tidak bijaksana. Oleh karena itu, demi menjaga keutuhan para kai-pang dan dapat mengendalikan mereka asal tidak sempat terseret ke dalam kesesatan, kami mohon agar locianpwe suka kami calonkan kembali menjadi Thai-pangcu yang akan dipilih. Dan pula, selama ini Thai-pangcu masih dianggap pimpinan walaupun telah bertahun-tahun tidak muncul. Harap locianpwe tidak menolak."

   "Aku akan menghadiri rapat besar itu di Lok-yang dan kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti, apakah aku masih harus menyibukkan diri dengan kai-pang ataukah tidak," kata Bu Lee Ki lalu minum araknya.

   Mereka bertiga tinggal di pusat Ang-kin Kai-pang sebagai tamu kehormatan dan pada malam harinya, dengan wajah berseri Thio Sam Ki memperlihatkan sebuah sampul merah terisi surat undangan dari Raja Muda Yung Lo!

   "Raja Muda mengundang kita, Locianpwe. Saya, locianpwe, Sin-taihiap dan Lim-lihiap diundang untuk makan malam di istana Raja Muda!" Ketua itu nampak gembira dan bangga bukan main.

   Hati siapa tidak akan merasa bangga menerima undangan makan malam dari seorang yang paling berkuasa di Peking, Raja Muda yang juga seorang putera kaisar itu? Selama ini, dalam hubungannya dengan pemerintah, bahkan ketika dia didukung untuk menjadi ketua, wakil pemerintah hanyalah para perwira tinggi saja dan belum pernah Thio Sam Ki bertemu langsung dengan raja muda itu, apa lagi diundang makan malam!

   Sin Wan dan Kui Siang merasa heran sekali mendengar bahwa merekapun ikut diundang raja muda, akan tetapi ketika Thio-pangcu memperlihatkan surat undangan itu, di situ jelas tertulis pula nama Sin Wan dan Lim Kui Siang! Melihat keheranan dua orang muda itu, Thio-pangcu tersenyum.

   "Tai-hiap dan Li-hiap tidak perlu merasa heran. Raja Muda Yung Lo adalah seorang pangeran yang sejak dahulu amat menghargai orang-orang gagah di dunia persilatan, bahkan beliau sendiri seorang panglima yang gagah perkasa dan biarpun belum pernah ada yang berani mencohanya, namun kami mendengar bahwa beliau memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang hebat. Tentu para ciangkun (perwira) yang tadi menyaksikan kelihaian ji-wi (anda berdua) telah melaporkan ke istana dan membuat Raja Muda Yung Lo tertarik dan mengirim undangan."

   "Heh .. heh .. heh, memang nasib kita sedang mujur, Sin Wan dan Kui Siang. Begitu tiba di sini, kita selalu disambut dengan kehorrnatan dan terutama sekali dengan hidangan yang serba enak. Apa lagi kalau makan malam di istana, aduh, belum apa-apa aku sudah mengilar, walaupun tadi sudah makan kenyang, ha .. ha!"

   Sin Wan yang selama hidupnya belum pernah melihat kemewahan dan keindahan yang luar biasa dari sebuah istana, tiada habisnya terkagum-kagum ketika dia bersama Kui Siang, kakek Bu Lee Ki dan Thio Sam Ki didahului pengawal memasuki istana Raja Muda Yung Lo. Kui Siang sendiri adalah seorang puteri bangsawan, maka kemewahan gemerlapan itu tidak membuatnya merasa heran, demikian pula dengan kakek Bu Lee Ki yang sudah mempunyai banyak pengalaman itu. Bahkan Thio-pangcu sendiripun terkagum-kagum.

   Ketika mereka tiba di ruangan luas yang dipasangi banyak lampu sehingga keadaannya menjadi terang seperti siang itu, Raja Muda Yung Lo telah duduk di situ. Agaknya raja muda ini sudah mendapat laporan dan telah menanti, ditemani oleh tiga orang panglimanya. Sebuah meja besar berada di situ, meja bundar yang bersih mengkilap.

   Ketika mereka berempat memasuki ambang pintu, seorang pengawal melapor dengan suaranya yang nyaring bahwa empat orang tamu undangan sudah tiba, dan terdengar perintah raja muda itu agar mereka dipersilakan masuk. Thio Sam Ki yang berjalan di depan, begitu memasuki ruangan itu dan melihat sang raja muda duduk bersama tiga orang panglima besar yang sudah dikenalnya, cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Raja Muda Yung Lo.

   Akan tetapi, kakek Bu Lee Ki tidak berlutut, hanya memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada lalu membungkuk sampai dalam. Sin Wan dan Kui Siang mengikuti perbuatan kakek itu, memberi hormat tanpa berlutut.

   Melihat ini, Thio-pangcu merasa khawatir, akan tetapi sebaliknya, pangeran atau raja muda itu malah tersenyum dan menegurnya.

   "Tidak perlu berlutut, mari bangkitlah dan silakan kalian duduk," suaranya tegas dan nyaring, akan tetapi ramah.

   Legalah hati Thio Sam Ki yang segera bangkit dan dengan sikap hormat mereka melangkah maju dan duduk di atas kursi menghadapi Raja Muda Yung Lo di seberang meja. Sejenak mereka tidak bicara dan raja muda itu memberi isyarat dengan tangan kepada para pengawal agar keluar dari ruangan itu. Para pengawal keluar dan di situ kini tinggal Raja Muda Yung Lo, tiga orang panglima, dan empat orang tamu itu.

   KUI SIANG mengangkat muka untuk memandang kepada para bangsawan yang duduk di seberang meja bundar. Tiga orang panglima itu berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, bertubuh kekar dan nampak berwibawa dalam pakaian panglima yang gemerlapan. Akan tetapi raja muda itu sendiri nampak masih muda. Tidak akan lebih dari tigapuluh tahun usianya dan wajahnya membayangkan kegagahan dan kecerdikan, wajah yang cukup tampan dan jantan. Sepasang telinganya lebar dan panjang, merapat di kepala. Wajahnya berbentuk persegi panjang, dengan sedikit kumis dan cambangnya bersatu dengan jenggot, terpelihara rapi sehingga wajah itu nampak bersih matanya lebar dengan ujung sipit ke atas, dengan alis yang berbentuk golok. Hidungnya besar dan mancung, mulutnya membayangkan keramahan, akan tetapi dagunya menunjukkan bahwa dia seorang yang bersemangat dan keras hati.

   Kepalanya tertutup topi dan pakaiannya ringkas walaupun gemerlapan, akan tetapi tidak terlalu mewah. Sepasang matanya itulah yang amat menarik perhatian karena mata itu seperti mata burung elang rajawali yang amat tajam dan juga amat berwibawa. Bahkan Kui Siang sendiri tidak dapat bertahan lama beradu pandang dengan mata itu dan iapun menunduk.

   Pangeran atau Raja Muda Yung Lo adalah seorang pria yang gagah perkasa dan jantan. Dia bukan seorang yang berwatak mata keranjang, walaupun sebagai seorang pria yang normal, dia tidak buta terhadap kecantikan wanita. Dia lebih mementingkan urusan pemerintahan, lebih mementingkan kedudukan ketimbang wanita. Sebetulnya, ketika dia menjadi pangeran, nama kecilnya adalah Pangeran Yen dengan julukan Pangeran Cang On. Akan tetapi dia lebih suka mempergunakan nama Yung Lo, yaitu nama besar yang dipakainya setelah dia menjadi Raja Muda Yung Lo yang menguasai seluruh daerah utara. Dia bukan seorang pemimpin yang hanya mengatur siasat di balik tembok benteng dan di kamar yang mewah dalam istana. Dia adalah pemimpin yang maju sendiri memimpin pasukannya mengamuk kalau sedang dalam pertempuran sehingga namanya terkenal dan dia dipuja-puja oleh pasukan dan rakyat sebagai seorang panglima yang gagah perkasa.

   Akan tetapi kini, melihat Lim Kui Siang, raja muda itu terpesona. Bukan semata karena kecantikan Kui Siang, melainkan dia terkagum-kagum oleh kelihaian gadis itu. Dia telah menerima laporan bahwa, seorang diri, gadis ini mampu mengalahkan enam orang tokoh Ang-kin Kai-pang yang mengeroyoknya, enam orang yang terkenal sebagai Barisan Tongkat Merah dari perkumpulan itu. Dia sendiri sudah mempunyai seorang isteri yang cantik dan lima orang selir, yang manis-manis, akan tetapi belum pernah dia bertemu seorang pendekar wanita muda yang cantik dan lihay seperti Kui Siang. Seketika hatinya tertarik dan timbul perasaan cintanya. Kalau dia dapat menarik gadis ini sebagai pendamping hidupnya, dia bukan saja memperoleh seorang selir yang lain dari pada selirnya, melainkan juga mendapatkan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan!

   Setelah berpandangan sejenak, dan tahu bahwa para tamu itu tentu tidak akan berani bicara lebih dahulu sebelum ditegurnya. Raja Muda Yung Lo berkata dengan suaranya yang nyaring dan tegas.

   "Kami menerima laporan tentang locianpwe yang ternyata adalah Thai-pangcu, pemimpin besar para kai-pang yang selama bertahun-tahun menghilang. Kami sudah lama mendengar nama besar Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang telah berjasa besar membantu perjuangan kami merobohkan penjajah Mongol. Sayang bahwa selama ini locianpwe pergi tanpa meninggalkan jejak sehingga kami belum sempat memberi hadiah dan imbalan jasa kepadamu."

   Dari tempat duduknya, kakek itu tersenyum dan memberi hormat kepada raja muda itu.

   "Terima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada hamba, Yang Mulia. Akan tetapi maafkan hamba bahwa hamba sama sekali tidak mengharapkan hadiah atau imbalan jasa. Tentu paduka sudah lebih mengetahui bahwa berjuang demi kemerdekaan tanah air dan bangsa, mengusir penjajah Mongol merupakan kewajiban setiap orang anak bangsa. Ketika hamba membantu perjuangan, memimpin seluruh Kai-pang untuk menentang pasukan Mongol, seujung rambut pun tidak ada pamrih dalam hati hamba untuk kemudian menuntut imbalan jasa."

   Raja Muda Yung Lo tertawa dan Kui Siang melihat betapa pria itu nampak jauh lebih muda ketika tertawa dan semua bentuk kekerasan yang menggores di wajah yang perkasa itupun lenyap. Tahulah ia bahwa pada dasarnya, raja muda itu seorang yang lembut hati dan ia merasa semakin kagum.

   "Ha..ha..ha, ucapanmu itu sudah kami duga sebelumnya, locianpwe. Memang demikianlah watak seorang pendekar, seorang pahlawan, selalu menjunjung kebajikan, membela kebenaran dan keadilan, tanpa pamrih sedikitpun untuk diri sendiri. Akan tetapi ketahuilah bahwa pemimpin bangsa yang baik dan bijaksana harus menghargai dan menghormati para pahlawan bangsa. Dan bagi kami, penghargaan terhadap pahlawan yang masih hidup jauh lebih penting dari pada penghargaan terhadap pahlawan yang sudah tewas dan gugur dengan sekedar kenangan untuk menghormati jasa mereka. Oleh karena itu, kami selalu mencari para pendekar yang berjasa bukan sekedar untuk memberi penghargaan, akan tetapi juga mengajak mereka untuk bekerja sama demi kepentingan bangsa. Perjuangan masih jauh dari pada selesai, locianpwe. Oleh karena itu, kami ingin sekali mengajak locianpwe bekerja sama!"

   "Hamba mengerti, Yang Mulia. Memang, sebelum mati, setiap orang takkan pernah terbebas dari pada perjuangan. Hidup ini perjuangan, yaitu menghadapi semua tantangan dan mengatasinya, bukan saja untuk diri sendiri, keluarga, bangsa bahkan manusia. Akan tetapi hamba sudah tua, Yang Mulia. Apakah yang dapat hamba lakukan untuk membantu paduka? Tentu saja hamba selalu siap membantu asal sesuai dengan kemampuan hamba yang sudah tua ini."

   "Locianpwe, kami selalu merindukan melihat persatuan terjalin erat di antara seluruh tokoh dalam dunia persilatan. Dengan adanya, locianpwe sebagai Thai-pangcu, maka berarti bahwa seluruh kai-pang dapat dipersatukan. Ada gejala timbulnya perpecahan ketika locianpwe menghilang, dan dengan munculnya kembali locianpwe, kami harap agar seluruh kai-pang dapat dipersatukan kembali."

   "Hamba memang bermaksud untuk mengunjungi rapat besar kai-pang yang akan diadakan di Lok-yang bulan depan, Yang mulia."

   "Bagus sekali kalau begitu. Akan tetapi bukan hanya sekian, bukan hanya para kai-pang yang harus dipersatukan, melainkan seluruh dunia persilatan, seluruh tokoh kangouw. Oleh karena itu, Sribaginda Kaisar sendiri sudah menyetujui agar diadakan pertemuan besar di mana akan dilakukan pemilihan seorang Beng-cu yang akan memimpin seluruh dunia persilatan dan mewakili dunia persilatan untuk bekerja sama dengan pemerintah. Dan kami percaya bahwa locianpwe akan mampu menjadi calon Beng-cu, atau setidaknya, locianpwe dapat menjaga agar yang dipilih menjadi Beng-cu seorang yang benar-benar berjiwa pendekar dan pahlawan, bukan tokoh sesat yang akan menyelewengkan dunia kang-ouw. Mengertikah locianpwe akan maksud kami?"

   "Hamba mengerti, dan tanpa perintah padukapun, hamba tentu akan melakukan pengawasan itu agar jangan sampai dunia persilatan diselewengkan ke arah kesesatan."

   "Bagus, terima kasih, locianpwe. Kami percaya sepenuhnya kepada locianpwe. Kami akan memberi laporan kepada ayahanda Sribaginda Kaisar, dan akan memberi perintah kepada para pejabat tinggi di Lok-yang dan lain-lain agar mereka mempersiapkan bantuan kepada locianpwe. Kami dari pemerintah tidak akan mencampuri pemilihan itu, secara langsung, hanya akan menjaga dan mendukung pihak yang kami anggap benar. Dan locianpwe merupakan satu di antara golongan yang kami pilih."

   "Terima kasih, Yang Mulia."

   "Kami tidak mau menjanjikan hadiah kepada locianpwe karena hal itu akan meru pakan penghinaan bagi seorang yang berjiwa pahlawan, akan tetapi percayalah bahwa kami tidak akan melupakan jasa locianpwe yang besar bagi negara dan bangsa. Nah, sekarang kami ingin bicara dengan pemuda ini. Namamu Sin Wan, orang muda?"

   Suara raja muda itu membuat Kui Siang merasa geli dalam hatinya karena seolah-olah raja muda itu sudah tua. Pada hal, dibandingkan dengan Sin Wan, raja muda itu pantas menjadi seorang kakaknya saja.

   Sin Wan memberi hormat.

   "Benar, Yang Mulia."

   "Dan engkau murid keponakan locianpwe Pek-sim Lo-kai?"

   Sin Wan menoleh ke arah kakek itu. Dia tidak ingin berbohong, akan tetapi di pusat Ang-kin Kai-pang, kakek itu telah mengakuinya sebagai murid keponakan. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, kakek itu tersenyum.

   "Maaf, Yang Mulia. Sesungguhnya, Sin Wan dan Kui Siang adalah murid-murid Sam-sian dan hamba akui sebagai murid keponakan karena hamba dengan Sam-sian akrab seperti saudara saja."

   Raja Muda Yung Lo memandang terbelalak kepada Sin Wan, lalu kepada Kui Siang dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri.

   "Aihhh .....! Murid-murid Sam-sian, Tiga Dewa yang telah berjasa menemukan kembali pusaka-pusaka istana yang hilang dicuri orang itu? Bukan main! Sam-sian adalah tiga tokoh besar yang telah berjasa. Jadi engkau ini murid mereka, Sin Wan! Akan tetapi, kami lihat bahwa engkau bukan seorang pribumi, bukan orang Han. Benarkah?"

   Sin Wan kagum kepada raja muda itu yang berpenglihatan tajam. Pada hal, baik cara dia bicara maupun pakaian dan sikapnya, tiada bedanya antara dia dan orang Han. Sin Wan sendiri tidak menyadari bahwa terdapat perbedaan walaupun kecil pada matanya dan kulit wajahnya, dan dia memiliki ketampanan yang berbeda dengan orang Han.

   "Benar sekali dugaan paduka, Yang Mulia. Sesungguhnya, mendiang ayah dan ibu hamba adalah orang-orang Uighur."

   "Hemm, pantas kalau begitu. Jadi engkau telah yatim piatu?"

   "Benar, Yang Mulia. Sejak berusia sepuluh tahun, hamba kehilangan ibu hamba, sedangkan ayah hamba telah meninggal sewaktu hamba masih dalam kandungan, dan sejak berusia sepuluh tahun hamba menjadi murid ketiga orang guru hamba."

   "Kalau begitu, engkau seorang keturunan Bangsa Uighur, Sin Wan, dapatkah kami mengharapkan seorang Uighur untuk setia terhadap kerajaan dan Dinasti Beng? Setia terhadap negara dan Bangsa Han. Kepada tanah air?" Sepasang mata itu mencorong dan mengamati wajah Sin Wan penuh selidik.

   Ucapan yang menusuk hati itu diterima oleh Sin Wan dengan sikap tenang saja. Batinnya sudah digembleng secara hebat oleh tiga orang gurunya, maka tidak mudah keseimbangannya terguncang. Diapun menyambut pandang mata raja muda itu dengan sinar mata yang terang dan tenang.

   "Yang Mulia, bagi hamba, di mana hamba hidup, di situlah tanah air hamba karena airnya hamba minum dan hasil tanahnya hamba makan. Bangsa hamba adalah bangsa di dalam mana hamba hidup dan bergaul, mengalami suka duka bersama. Sejak kecil hamba hidup di antara Bangsa Han, bergaul dengan Bangsa Han, sehingga hamba akan merasa asing kalau berada di antara orang-orang Uighur sendiri, bahkan hambapun hampir lupa akan Bahasa Uighur karena sejak kecil ibu bicara dalam Bahasa Han kepada hamba. Sejak kecil ketiga orang guru hamba mengajarkan kepada hamba untuk selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin hamba akan mengkhianati tanah air di mana hamba makan minum dan bangsa dengan siapa hamba bergaul dan mengalami suka duka bersama? Hamba tidak akan menyangkal bahwa hamba adalah keturunan orang Uighur, akan tetapi hamba akan menyeleweng dari pada kebenaran kalau hamba mengkhianati negara dan bangsa di mana hamba hidup!"

   Ucapan itu penuh semangat dan sewajarnya karena keluar dari lubuk hati pemuda itu. Dia sendiri akan merasa asing, aneh dan kehilangan tempat berpijak kalau dia harus bersikap lain dari pada apa yang telah dia katakan itu.

   Diam-diam Kui Siang memandang kepada suhengnya dengan hati merasa heran bukan main. Tiga orang suhu mereka tidak pernah bercerita tentang asal usul Sin Wan, dan suhengnya itu sendiripun hanya menceritakan bahwa dia yatim piatu. Sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa suhengnya adalah seorang Uighur! Baginya, tidak ada sedikitpun sisa-sisa orang Uighur pada suhengnya, pada hal menurut pengakuannya tadi, ayah bunda suhengnya adalah Bangsa Uighur. Suhengnya orang Uighur tulen! Sungguh tak disangkanya sama sekali.

   Mendengar ucapan itu. Melihat sikap dan sinar mata pemuda itu, Raja Muda Yung Lo tersenyum girang. Wajahnya berseri dan diapun berkata.

   "Hemm, kami hanya ingin tahu isi hatimu, Sin Wan. Kalau kita semua mau mengakui secara jujur, kami sendiri tidak tahu siapakah yang asli dan siapa pula yang tidak asli di antara kita semua!"

   Pangeran atau raja muda itu tertawa.

   "Kita hanya mampu mengenal nenek moyang kita sampai kepada kakek buyut atau kakek canggah. Sebelum itu, siapa dapat yakin bahwa nenek moyang kita bukan keturunan suku lain? Siapa tahu di dalam tubuhku ini mengalir darah Uighur, atau darah Miauw, bahkan darah Mancu atau malah darah Mongol? Yang penting memang bukan keturunannya, melainkan sepak terjangnya dalam hidup. Bagaimanapun, darah manusia tetap darah manusia, apa bedanya? Keturunan apapun, kalau memang dia pengkhianat, tetap penghkianat, kalau dia pendekar atau pahlawan, tetap pahlawan. Nah, mengingat bahwa engkau murid Sam-sian, apa lagi kini datang bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai, kami percaya sepenuhnya kepadamu. Kepadamu kami juga menawarkan kerja, sama demi kepentingan rakyat seperti yang kami tawarkan kepada locianpwe Pek-sim Lo-kai. Bagaimana kesanggupanmu, Sin Wan?"

   "Hamba siap untuk bekerja sama, Yang Mulia."

   "Bagus Kami sudah mendengar akan kemampuanmu, maka kami ingin engkau membantu kami sebagai seorang panglima pasukan keamanan yang khusus bergerak dalam usaha pemerintah mempersatukan dunia persilatan dan menjalin hubungan antara mereka dengan pemerintah. Maukah engkau menerimanya?"

   Sin Wan terkejut. Dia diangkat menjadi seorang panglima! Sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan tak pernah dia bermimpi untuk menjadi seorang perwira tinggi begitu saja! Akan tetapi dia teringat akan kesanggupannya kepada kakek Bu Lee Ki untuk membantunya mempersatukan kai-pang.

   "Hamba berterima kasih sekali dan tentu saja hamba mentaati perintah paduka. Akan tetapi kalau boleh hamba memohon agar pengangkatan itu, ditangguhkan dahulu karena hamba ingin membantu Bu-locianpwe untuk menghadiri pertemuan besar antara para pimpinan kai-pang di Lok-yang."

   Tentu saja alasan ini mempunyai maksud yang lain, yaitu bahwa dia ingin lebih dahulu mengantar sumoinya pulang ke Nan-king!

   Raja Muda Yung Lo tersenyum dan mengangguk-angguk.

   Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus, kami setuju. Memang urusan itupun merupakan kepentingan kami dan masih dalam rangka tugasmu sebagai seorang panglima keamanan. Baik, engkau pergilah bersama Bu-locianpwe, sekalian melaporkan kelak kepada kami bagaimana hasil pertemuan itu. Sekarang kami ingin bicara dengan nona Lim Kui Siang."

   Gadis itu mengangkat muka memandang kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi melihat sinar mata yang amat tajam itu, iapun menunduk kembali dan menanti dengan jantung berdebar. Apa yang dikehendaki raja muda itu darinya?

   "Nona Lim Kui Siang, kami sudah mendengar pula laporan tentang kelihaian nona ketika bertanding melawan tokoh-tokoh Ang-kin Kai-pang dan kami merasa kagum sekali. Nona masih begini muda sudah memiliki kepandaian hebat, walaupun keheranan kami kini terjawab ketika mendengar bahwa nona adalah murid Sam-sian."

   Dengan sikap tenang dan sopan, Kui Siang memberi hormat dan menjawab.

   "Paduka terlalu memuji, Yang Mulia. Berkat bimbingan tiga orang suhu, maka hamba memiliki sedikit kemampuan untuk menjaga diri."

   Senang hati raja muda itu mendengar ucapan ini. Gadis ini selain lihai, juga berwatak pendekar, tidak suka menyombongkan diri bahkan jawaban itu menunjukkan sikap yang rendah hati.

   "Nona, kebetulan sekali kami membutuhkan seorang wanita selihai nona untuk menjadi pengawal keluarga kami. Kami sendiri sering kali memimpin pasukan mengusir pengacau-pengacau dari luar Tembok Besar dan meninggalkan keluarga. Hati kami akan merasa tenang dan tenteram kalau nona suka membantu kami dengan menjadi pengawal pribadi keluarga kami, yang mengepalai semua pasukan pengawal istana. Maukah nona menerimanya?"

   Wajah gadis itu menjadi kemerahan dan jantungnya berdebar, seperti juga Sin Wan, ia terkejut bukan main. Begitu saja, secara mendadak dan amat mudah, ia diangkat menjadi kepala pengawal keluarga di dalam istana raja muda. Ini kedudukan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kedudukan mendiang ayahnya dahulu! Kepala pengawal dalam istana adalah orang yang dipercaya sepenuhnya oleh raja muda untuk menjaga keselamatan keluarga!

   Sejenak ia termangu. Ia melirik ke arah suhengnya, akan tetapi suhengnya hanya menundukkan mukanya dan ketika ia mengerling ke arah Bu Lee Ki, kakek itu memandang kepadanya dengan senyum dan pandang matanya jelas tidak mau mencampuri dan menyerahkan keputusannya kepadanya sendiri.

   "Bagaimana jawabanmu, nona Lim?" raja muda itu bertanya.

   "Hamba ...... hamba ingin pergi ke Nanking dan menyembahyangi makam ayah bunda hamba ......!" akhirnya Kui Siang menjawab.

   "Aihhh .... jadi seperti juga Sin Wan, engkau sudah yatim piatu, nona? Dan engkau berasal dari kota raja?"

   Sin Wan maklum bahwa sumoinya merasa sungkan untuk memperkenalkan keluarganya. Mengingat bahwa ayah gadis itu seorang pembesar yang setia, diapun tidak ragu-ragu membantu sumoinya.

   "Maafkan hamba, Yang Mulia. Sumoi Lim Kui Siang adalah puteri tunggal dari mendiang Lim-taijin (pembesar Lim) yang menjabat pengurus gudang pusaka istana."

   Mendengar ini, Raja Muda Yung Lo terbelalak dan memandang tajam kepada gadis itu yang kini menundukkan mukanya.

   "Ahhh! Jadi ayahmu adalah mendiang paman Lim Cun, nona!"

   Kui Siang hanya dapat mengangguk.

   "A-ha! Kalau begitu engkau puteri seorang pejabat tinggi yang setia sampai mati! Bukankah mendiang ayahmu tewas karena dibunuh penjahat yang mencuri pusaka istana?"

   "Benar, Yang Mulia."

   "Lim Kui Siang, ternyata engkau masih orang sendiri! Ayahmu dahulu adalah seorang pejabat yang setia dan kami mengenalnya walaupun kami belum pernah berkenalan dengan keluarganya. Kami menjadi semakin yakin dan percaya sepenuhnya kepadamu. Baiklah, engkau boleh pergi dulu ke Nan-king menyembahyangi makam orang tuamu, setelah itu engkau kembali ke sini dan mulai dengan tugasmu di istana. Bagaimana?"

   Kui Siang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui tentu saja. Ia memang tidak tahu bagaimana harus memulai hidupnya yang sebatang kara itu. Biarpun ada dua orang pamannya dan seorang bibi dari ayah, juga seorang paman dari ibunya, akan tetapi ia tidak suka kepada mereka karena ia tahu benar bahwa dahulu mereka itu amat menginginkan peninggalan atau warisan harta dari orang tuanya. Ia akan ke Nanking selain bersembahyang, juga akan mengurus harta peninggalan itu yang dahulu oleh Ciu-sian dititipkan kepada Ciang-Ciangkun, seorang perwira yang setia dan jujur, juga bahkan sahabat baik ayahnya,

   "Baiklah, Yang Mulia Hamba akan mentaati perintah paduka."

   Bukan main senang rasa hati Pangeran yang menjadi Raja Muda di Peking itu. Dia lalu memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan makan malam, kemudian dia mengajak empat orang tamunya untuk makan malam bersamanya, suatu kehormatan yang luar biasa, terutama bagi Thio Sam Ki.

   Dia seorang ketua pengemis makan malam bersama yang mulia Raja Muda Yung Lo! Peristiwa ini menjadi dongeng baginya yang tiada hentinya dia ceritakan dan banggakan kepada anak cucunya kelak!

   Mendengar bahwa mereka akan segera berangkat ke selatan, Raja Muda Yung Lo memberi hadiah lima ekor kuda pilihan untuk mereka, karena wakil ketua Ang-kin Kai-pang, yaitu Ciok An, akan mengawani ketuanya menghadiri rapat besar pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan di Lok-yang.

   Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan. Sementara itu, Raja Muda Yung Lo juga membuat surat laporan panjang kepada ayahnya, tentang rapat besar kai-pang, tentang Bu Lee Ki, Sin Wan dan Lim Kui Siang.

   "Kalian tidak perlu banyak bertanya!" kata gadis itu sambil bertolak pinggang di depan pintu gapura pusat perkampungan Hwa I Kai-pang yang megah.

   "Panggil saja ketua kalian keluar, katakan bahwa aku Tang Bwe Li ingin bertemu dan bicara dengan dia!"

   Gadis yang galak itu sejak kemunculannya telah menarik perhatian banyak anggauta Hwa I Kai-pang. Tadinya ia melangkah hendak memasuki gapura tanpa memperdulikan para penjaga, dan setelah para penjaga menghadang, ia marah-marah! Tadinya para anggauta Hwa I Kai-pang hendak marah, akan tetapi ketika melihat bahwa gadis itu seorang dara jelita berusia duapuluh tahunan yang wajahnya manis sekali, timbul kegembiraan mereka untuk menggoda.

   "Aduhai nona manis, kenapa sukar-sukar, mencari pangcu kami? Marilah bertemu dan bicara saja dengan aku di gardu sini, kan lebih asyik! Aku adalah kepala jaga, dan dapat kusuruh semua anak buahku ini menyingkir agar kita berdua dapat bicara tanpa gangguan."

   Tentu saja ucapan ini disambut suara tawa para temannya.

   Gadis itu memang Tang Bwe Li atau Lili. Ia mendapat tugas dari Bi-coa Sian-li Cu Sui In, yaitu gurunya yang kemudian menjadi kakak seperguruannya untuk pergi melakukan penyelidikan kepada Hwa I Kai"pang yang menjadi saingan Hek I Kai-pang yang telah mereka kuasai. Akan tetapi, Lili adalah seorang dara yang keras hati dan juga memandang rendah semua orang. Perlu apa bersusah-susah mengadakan penyelidikan seperti seorang pencuri, pikirnya. Lebih baik temui saja ketua Hwa I Kai-pang, taklukkan dia dan paksa dengan kekerasan agar dia mau mencalonkan sucinya sebagai pemimpin besar kai-pang, habis perkara. Lebih mudah dan cepat, juga tidak harus menyelinap masuk seperti pencuri! Tingkat kepandaian Souw-pangcu dari Hek I Kai-pang juga hanya sebegitu saja. Tentu tingkat kepandaian ketua Hwa I Kai-pang juga tidak jauh selisihnya dan akan mudah dia kalahkan.

   Mendengar ucapan yang kurang ajar itu, Lili menoleh dan melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus berjenggot pendek jarang dan berkumis tipis. Demikian kurusnya orang itu sehingga nampak seperti kerangka dibungkus kulit. Matanya yang dalam. menunjukkan bahwa dia seorang mata keranjang dan hidung belang.

   Lili menggapai ke arah orang itu yang berada di depan gardu. Tentu saja laki-laki anggauta Hwa I Kai-pang yang pada hari itu menjadi kepala jaga itu menjadi gembira bukan main dan diiringi tawa iri kawan-kawannya, diapun melangkah lebar menghampiri Lili. Setelah berhadapan, dia semakin kagum. Dara ini memang cantik sekali dan secara kurang ajar dia mengembang-kempiskan hidungnya, lalu memuji.

   "Aduh, alangkah harum baunya! Mawar merah yang cantik jelita dan berbau harum! Adik manis, siapa namamu?"

   Lili tak pernah meninggalkan seyumnya sejak muncul, senyum yang rnengandung ejekan, senyum sinis ketinggian hati.

   "Sebaliknya aku, mencium bau busuk keluar dari mulutmu!"

   Orang itu terbelalak dan kawan-kawannya yang tadi merasa iri, kini tertawa geli, mentertawakan rekan yang ceriwis itu.

   "Apa kau bilang?" Baru saja si tinggi kurus itu mengeluarkan pertanyaan ini, secepat kilat kaki Lili sudah menendang sebongkah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu melayang dengan kuatnya ke atas, tepat menghantam mulut yang sedang terbuka karena bicara itu.

   "Auppp .......!" Batu itu menghantam keras sekali sehingga merobek bibir dan meruntuhkan gigi, memasuki mulut dengan paksa sehingga mulut itu terkuak lebar, lebih lebar dari pada kemampuannya karena tepi mulut itu terobek!

   "Uhhh ...... ahhhh .......ahhhhh ......!" Si tinggi kurus itu menekuk tubuhnya, mencoba dengan kedua tangan untuk mengeluarkan batu dari mulut dan merintih-rintih kesakitan.

   Mulut yang robek itu berdarah dan teman-temannya yang tadinya tertawa-tawa, kini menjadi terkejut dan cepat menolong. Batu itu akhirnya dapat dikeluarkan, dan akibatnya sungguh mengerikan karena mulut itu robek pada kedua pipinya, bibirnya pecah-pecah dan semua gigi depan, baik yang atas maupun yang bawah, patah-patah! Si tinggi kurus itu tidak akan mati karena lukanya, akan tetapi dia akan menderita cacat pada mukanya.

   "Nah, siapa lagi yang berani bermulut busuk? Majulah!"

   Seorang anggauta Hwa I Kai-pang yang lebih tua segera melangkah maju, sedangkan kini banyak kawannya, tidak kurang dari duapuluh orang, sudah berada di pintu gapura itu

   "Nona siapakah dan ada keperluan apa hendak mencari pangcu kami?" Orang ini lebih berhati-hati.

   "Tidak perlu kalian tahu siapa dan mengapa aku ingin bertemu dengan pangcu dari Hwa I Kai-pang. Katakan saja aku Tang Bwe Li ingin bertemu dengan dia, sekarang juga! Dia yang keluar menemuiku atau aku yang akan masuk mencarinya!"

   Biarpun para anggauta Hwa I Kai-pang itu dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang sembarangan, terbukti ketika dengan sebuah batu yang ditendangnya ia mampu merobek mulut si tinggi kurus, namun mereka merasa penasaran juga. Ia hanya seorang gadis muda dan mereka adalah para anggauta Hwa I Kai-pang yang rata-rata memiliki kepandaian silat. Gadis itu memaksa hendak menemui ketua mereka yang sedang keluar, dan telah melukai si tinggi kurus rekan mereka. Bagaimana mereka dapat membiarkannya saja tanpa membalas? Akan rusak nama besar Hwa I Kai-pang dan akan menjadi buah tertawaan umum karena peristiwa itu dilihat pula oleh umum yang menonton dari jarak jauh di seberang jalan depan perkampungan Hwa I Kai-pang.

   "Nona, engkau sungguh lancang. Pangcu sedang tidak berada di sini, dan engkau telah melukai seorang rekan kami tanpa sebab. Oleh karena itu, terpaksa kami harus menahanmu di sini dan menanti sampai pulangnya pangcu kami agar memberi keputusan kepadamu atas perbuatanmu ini."

   Biarpun ucapan itu sopan dan tidak kasar, namun cukup membuat wajah Lili menjadi merah dan matanya terbelalak karena marah.

   "Apa? Kalian hendak menahanku, hendak menangkap aku? Apakah kalian ini orang-orang Hwa I Kai-pang sudah gila? Suruh saja ketua kalian keluar. Kalian bukan lawanku!"

   Ucapan ini tentu saja membuat banyak anggauta Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali.

   "Bocah sombong, kau berani melawan kami yang banyak ini?" tegur anggauta yang sudah berpengalaman itu.

   "Tidak berani? Huh, suruh keluar seluruh anggauta Hwa I Kai-pang! Biar ada seratus orang, akan kuhajar semua kalau berani melawanku!"

   Tentu saja para anggauta Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka segera bergerak maju mengepung Lili dan terdengar teriakan-teriakan marah.

   "Tangkap bocah sombong ini!"

   "Ia harus dihajar, berani menghina Hwa I Kai-pang!"

   Beberapa orang serentak menubruk untuk menangkap gadis jelita itu, bukan hanya karena marah, akan tetapi juga karena ingin meringkus tubuh yang menggairahkan itu. Akan tetapi, begitu tubuh Lili bergerak dan berkelebatan, ia sudah sibuk dengan kaki tangannya membagi-bagi tamparan dan tendangan, dan akibatnya, dalam segebrakan saja empat orang pongoroyok telah terpelanting ke kanan kiri, ada yang mukanya membengkak, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dan sambungan lutut terkilir!

   Yang lain menjadi semakin marah dan kini belasan orang sudah mengepung dan mengeroyok gadis itu. Agaknya para anggauta Hwa I Kai-pang masih belum percaya bahwa mereka yang berjumlah banyak tidak akan mampu meringkus gadis itu, maka merekapun hanya mempergunakan tangan kosong, seperti segerombolan srigala mengeroyok seekor domba, berlomba untuk membekuk batang leher gadis jelita.

   Akan tetapi, Lili mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan, tubuhnya tidak dapat disentuh, apalagi ditangkap. Bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar, ia menyelinap di antara tangan-tangan yang meraihnya, berloncatan ke sana sini dan kadang-kadang tinggi di atas kepala para pengeroyoknya dan setiap ada kesempatan, tangan atau kakinya merobohkan seorang pengeroyok. Tubuhnya berlenggang-lenggok secara aneh, seperti gerakan ular saja, namun semua serangan lawan tak pernah menyentuh tubuhnya, dan setiap kali ia menggerakkan kaki atau tangan, pasti seorang lawan terpelanting.

   Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kurang lebih dua puluh orang anggauta Hwa I Kai-pang telah terpelanting roboh!

   Sekali meloncat, Lili sudah mendekati seorang di antara mereka dan kaki kirinya menginjak dada. Orang itu terengah-engah, merasa dadanya seperti dihimpit benda yang ratusan kati beratnya, membuat dia sukar bernapas dan matanya terbelalak, mukanya merah seperti udang direbus.

   "Hayo cepat katakan, di mana ketua Hwa I Kai-pang?" Lili bertanya.

   "Kalau engkau tidak mengaku, dadamu akan kuinjak sampai pecah!"

   "Saya ..... uh-uhhh ..... saya tidak berani bohong ..... uhhh, pangcu pergi ke luar kota, entah ke mana.... saya hanya anggauta biasa....!"

   Lili melepaskan injakannya dan orang itu megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, meneguk udara dengan lahapnya seperti orang kehausan. Lili memandang kepada mereka yang bergelimpangan di tanah.

   "Salah kalian sendiri yang mencarl penyakit! Katakan kepada ketua kalian bahwa besok pagi-pagi aku akan kembali untuk bicara dengan dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu membalikkan tubuhnya, mengebut-ngebutkan ujung pakaian dan melangkah pergi dari situ dengan santai.

   Semua orang yang tadi melihat perkelahian itu, mengikutinya dengan pandang mata penuh kagum dan khawatir. Akan tetapi tak seorangpun berani menegur Lili yang melenggang pergi seenaknya, menuju ke pintu gerbang barat.

   Baru saja bayangan Lili lenyap di sebuah tikungan, serombongan orang datang ke tempat itu dari timur. Mereka terdiri dari delapan orang dan begitu melihat keadaan para anak buah Hwa I Kai-pang, seorang di antara mereka cepat berlari menghampiri.

   "Apa yang terjadi di sini?" tanya orang itu kepada mereka. Para anak buah Hwa I Kai-pang yang masih kesakitan, girang melihat munculnya orang itu yang bukan lain adalah ketua mereka. Orang itu berusia kurang lebih empatpuluh tahun, bertubuh pendek gendut dan namanya adalah Siok Cu. Pakaiannya juga berkembang-kembang dengan tambalan dari kain yang baru. Ketika dia mendengar keterangan para anak buahnya bahwa baru saja ada seorang gadis muda yang berkeras hendak bertemu dengan ketua Hwa I Kai-pang dan yang bersikap sombong lalu menghajar mereka semua, Siok-pangcu menjadi marah bukan main.

   

Lembah Selaksa Bunga Eps 1 Iblis Dan Bidadari Eps 5 Iblis Dan Bidadari Eps 7

Cari Blog Ini