Ceritasilat Novel Online

Si Pedang Tumpul 2


Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




   Sin Wan yang menonton perkelahian itu, memandang dengan hati bangga dan kagum. Biarpun dia sendiri berwatak lembut dan ibunya selalu menekankan bahwa mempergunakan kekerasan untuk melukai, apa lagi membunuh orang lain, merupakan perbuatan yang jahat dan tidak baik, namun kini melihat ayahnya dikeroyok dan ayahnya menghadapi orang-orang yang jahat itu, dia merasa bangga. Apa lagi ketika melihat ayahnya bergerak sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya tak nampak lagi. Yang nampak hanya bayangan berkelebatan di antara sambaran banyak senjata, kemudian terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para pengeroyok seorang demi seorang.

   Dalam waktu tidak lebih dari setengah jam, tigabelas orang tokoh sesat yang terkenal di dunia kang-ouw itu telah roboh semua. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang tewas. Ada yang patah tulang pundaknya, patah tulang kaki atau lengan, ada yang bocor kepalanya, ada yang pingsan, akan tetapi tidak ada yang tewas.

   "Cap-sha-kwi, dengar baik-baik. Kalian harus berterima kasih kepada isteriku, karena kalau tidak ada dia, kalian sekarang sudah menjadi bangkai semua! Nah, pergilah dan jangan injak lagi daerah ini!"

   Bu-tek Kiam-mo sendiri hanya patah tulang pundak kanannya. Dia masih dapat berjalan dan menggerakkan lengan kiri. Karena maklum bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan mampu menyerang lagi, dia lalu memimpin kawan-kawannya untuk saling bantu dan dengan terpincang-pincang, ada yang memapah kawan, ada pula yang menggotong teman yang pingsan, mereka meninggalkan kota Yin-ning diikuti sorak dan ejekan dari para penghuni Kota yang tadi sempat menyaksikan pertempuran di pekarangan rumab Si Tangan Api itu.

   Sin Wan lari ke dalam menemui ibunya di dapur. Dengan gembira dia menceritakan kepada ibunya betapa ayahnya dengan gagah perkasa berhasil mengusir tigabelas orang kasar itu.

   "Ayah hebat sekali, ibu," kata Sin Wan.

   "Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat, dan mereka semua bersenjata, sedangkan ayah yang dikeroyok tidak memegang senjata. Namun, mereka semua roboh dengan luka-luka. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang dibunuh ayah."

   Ibunya mengangguk, akan tetapi wajahnya tidak kelihatan gembira. Bagaimana ia akan dapat menikmati hidup tenteram kalau setelah pindah begini jauh, masih saja suaminya didatangi orang-orang yang memusuhinya? Semua ini adalah akibat cara hidup suaminya yang lalu, cara hidup yang penuh kekerasan, penuh perkelahian dan permusuhan.

   "Sin Wan, kuharap kelak setelah dewasa, engkau tidak mempunyai banyak musuh seperti ayahmu."

   "Aku tidak suka bermusuhan, ibu, akan tetapi di dunia ini banyak orang jahat. Kalau aku diserang orang, seperti tadi, tentu aku harus membela diri. Ayah tadipun hanya membela diri. Orang-orang itulah yang datang mencari perkara dan menyerang ayah."

   Wanita itu diam-diam mengeluh dalam hatinya. Puteranya itu tidak tahu orang apa sebenarnya ayahnya itu. Sin Wan tidak tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk besar dunia sesat yang terkenal amat kejam dan tidak pantang melakukan kejahatan bagaimanapun juga. Dia hanya tahu bahwa ayahnya seorang yang sakti, memiliki banyak ilmu yang dahsyat, dan bahwa ayahnya amat mencinta ibunya dan amat sayang kepadanya!

   "Sudahlah. Sin Wan, Aku sedang sibuk masak, dan aku tidak ingin bicara tentang perkelahian itu."

   Sin Wan meninggalkan dapur dan mencari ayahnya. Se Jit Kong berada di kamarnya dan sedang mengagumi benda-benda yang dikeluarkan dari dalam sebuah peti hitam besar. Ketika Sin Wan memasuki kamar, dia menoleh dan tersenyum.

   "Masuklah, dan mari kaulihat benda-benda pusaka ini, Sin Wan. Benda-benda ini tak ternilai harganya!"

   Benda-benda itu ada yang indah, ada yang aneh pula bagi Sin Wan. Ada patung Dewi Kwan-Im yang amat indah, terbuat dari gading terukir halus. Ada pula mainan dari batu giok yang juga diukir indah sekali, berbentuk naga, ada pula yang seperti bentuk burung Hong. Juga terdapat dua batang pedang. Yang sebuah memiliki sarung dan gagang yang terbuat dari pada mas terukir indah sekali, bahkan sarung dan gagang itu dihias intan permata yang berkilauan. Akan tetapi ada pula sebatang pedang yang sarungnya terbuat dari kulit yang kasar, dan gagangnya juga sederhana sekali.

   "Sudah pergikah semua orang kasar tadi, ayah?"

   Sin Wan bertanya sambil duduk di kursi dekat ayahnya, mengamati benda-benda indah dan aneh itu.

   "Ha ha ha, engkau melihat mereka tadi? Dan engkau sudah menghalau serangan hui-to (pisau terbang), ya? Bagus! Mereka sudah kuusir pergi, pencoleng-pencoleng cilik tak tahu diri itu. Kalau bukan ibumu yang melarangku, tentu mereka semua itu sudah kubunuh!"

   "Mengapa mereka itu datang memusuhi ayah?"

   "Tikus-tikus tak tahu diri itu ingin merampas benda-benda pusaka ini, Sin Wan."

   Kini perhatian Sin Wan tertarik kepada benda-benda itu. Memang ada yang indah, banyak yang aneh, akan tetapi mengapa orang-orang datang memusuhi ayahnya untuk merampas benda-benda ini?

   "Apa sih hebatnya benda-benda ini sampai mereka datang hendak merampasnya darimu?"

   "Ha ha ha ha, anak bodoh! Kau tahu, semua orang kang-ouw siap mempertaruhkan nyawa untuk dapat memiliki sebuah saja dari benda-benda pusaka ini!"

   "Hemmm, alangkah anehnya," Sin Wan memperhatikan benda-benda itu satu demi satu.

   "Memang ada yang indah menarik, akan tetapi seperti pedang ini, apa sih bagusnya? Sebuah pedang yang sarungnya butut, gagangnya juga kasar, seperti pisau dapur saja. Kenapa ayah menyimpan pedang macam ini?"

   "Ha ha ha ha, engkau tidak tahu, anakku. Bagiku, di antara semua benda pusaka ini, yang paling bernilai adalah pedang butut yang kauremehkan itul"

   "Ah, benarkah itu, ayah? Boleh aku mencabut dan melihatnya?"

   "Lakukanlah. Tidak banyak orang di dunia, ini yang pernah melihatnya, dan seluruh pendekar di dunia ini ingin sekali mendapat kesempatan untuk melihatnya."

   Dengan hati tertarik sekali Sin Wan lalu menghunus pedang yang gagangnya dan sarungnya butut itu. Dia menduga bahwa biarpun sarung dan gagangnya butut, tentu pedang yang dianggap sebagai pusaka amat bernilai oleh ayahnya itu tentu merupakan pedang yang amat baik, tajam dan berkilauan, terbuat dari pada baja terbaik. Akan tetapi, setelah pedang itu dia hunus, Sin Wan mengerutkan alisnya dan hatinya kecewa.

   Pedang itu sama sekali tidak menarik, bukan saja buatannya kasar seperti tempaan yang belum jadi, akan tetapi juga pedang itu tidak tajam dan tidak runcing. Pedang yang tumpul! Warnanya gelap kehijauan seperti pedang dari semacam batu karang yang warnanya hijau saja. Dan pedang itupun tidak panjang, merupakan pedang pendek yang tumpul dan tidak menarik!

   "Aih, ayah mempermainkan aku! Pedang ini hanyalah pedang yang belum jadi, tumpul dan jelek, bagaimana ayah sampai memuji-mujinya seperti itu?"

   "Ha ha ha ha, engkau tidak tahu, Sin Wan! Pedang ini terbuat dari pada Batu Dewa Hijau, dan tidak ada senjata di dunia ini yang mampu mengalahkan keampuhannya! Pedang ini mempunyai kisah yang amat menarik, Sin Wan, dan kalau engkau sudah tahu riwayatnya, tentu akan kauhargai pula sebagai sebuah pusaka yang langka dan ampuh."

   Sin Wan memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya dan memasukkan ke dalam peti.

   "Ayah, ceritakanlah kisah itu, aku ingin sekali tahu riwayatnya."

   "Kau tahu, kurang lebih seratus tahun yang lalu, pedang ini adalah milik Kaisar Jenghis Khan, pendiri dari Kerajaan Goan-tiauw yang baru saja jatuh. Dan jatuhnya Dinasti Mongol itupun sebagian gara-gara tidak menghargai pusaka ini!"

   Tentu saja Sin Wan menjadi semakin tertarik. Dia memang suka sekali membaca atau mendengar riwayat-riwayat kuno yang menarik.

   "Ketika Jenghis Khan belum menjadi kaisar, dia telah menemukan batu mustika yang disebut Batu Dewa Hijau atau Batu Asmara, dan batu bintang itu lalu dibikin menjadi sebatang pedang yang diberi nama Pedang Asmara. Semenjak memiliki pedang itu, bintang nya terus menjadi terang sampai akhirnya dia berhasil menjadi kaisar. Walaupun pedang itu pernah lepas dari tangannya, terjatuh ke tangan orang jahat, namun akhirnya dapat kembali kepadanya sehingga dinasti Mongol menjadi semakin jaya. Akan tetapi, keturunan Jenghis Khan tidak dapat menghargai pedang yang bernama Pedang Asmara itu karena mereka menganggap pedang itu melemahkan, membuat orang menjadi budak nafsu asmara. Pedang itu lalu dibawa ke seorang pembuat pedang yang paling ahli di seluruh daratan Cina, dan akhirnya, dengan susah payah pedang itu dilebur lagi dan dihilangkan sarinya yang mempunyai pengaruh berahi pada pemiliknya. Akhirnya, sisa leburan itu dibuat lagi dan menjadi pedang ini. Tidak bisa ditajamkan dan diruncingkan saking kerasnya. Karena buruk, pedang ini tidak dihargai dan hanya menjadi penghuni gudang pusaka saja. Nah, bukankah menarik sekali riwayatnya?"

   Sin Wan mengangguk-angguk. Memang amat menarik dan entah bagaimana, dia merasa kasihan dan sayang kepada pedang yang seolah disia-siakan itu. Dia juga tidak bertanya dari mana ayahnya memperoleh pedang yang tadinya milik Kaisar Jenghis Khan yang amat terkenal dalam sejarah yang pernah dibacanya itu. Baginya, ayahnya adalah seorang sakti dan tidak aneh kalau benda-benda pusaka yang ampuh dan amat besar nilainya itu terjatuh ke tangan ayahnya.

   Tiga hari kemudian, pada suatu pagi yang cerah, tiga orang pria memasuki pekarangan rumah Se Jit Kong. Mereka itu bukan lain adalah Tiga Dewa, Ciu-sian Tong Kui, Kiam-sian Louw Sun, dan Pek-mau-sian Thio Ki. Kemarin mereka bertemu dengan rombongan Cap-sha-kwi dan dari rombongan inilah mereka mendapat kepastian babwa orang yang mereka cari, yaitu Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong memang benar berada di Yin-ning.

   Setelah memperoleh keterangan ini, Tiga Dewa mempercepat perjalanan menuju ke kota Yin-ning dan pada pagi hari itu, mereka bertiga memasuki pekarangan rumah datuk yang mereka cari-cari selama hampir setahun ini.

   Kepada seorang pelayan yang sedang menyapu pekarangan, mereka bertanya dengan sikap halus apakah tuan rumah berada di rumah, dan kalau ada, mereka minta agar pelayan itu memberitahukan majikannya tentang kedatangan mereka. Karena sikap tiga orang itu lembut, si pelayan tidak menaruh curiga.

   Sikap mereka ini tidak seperti sikap tigabelas orang yang datang tiga hari yang lalu. Pelayan itu lalu memberi laporan ke dalam. Akan tetapi, pada saat itu Se Jit Kong sedang bersamadhi, maka dia memberi laporan kepada nyonya majikannya.

   "Nyonya, di depan ada tiga orang tamu yang ingin bertemu dengan tuan majikan,"kata pelayan itu.

   Ju Bi Ta mengerutkan alisnya, hatinya merasa tidak enak.

   "Mereka siapakah?"

   Pelayan itu menggeleng kepala.

   "Mereka tidak memberitahukan nama, akan tetapi mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua yang bersikap ramah dan lembut, dan pakaian mereka seperti pakaian pendeta atau pertapa."

   "Tuan majikan sedang bersamadhi, aku tidak berani mengganggunya. Biar kutemui mereka," kata Ju Bi Ta.

   Sin Wan yang juga berada di situ segera bangkit dan menemani ibunya.

   Ketika mereka tiba di luar, mereka melihat tiga orang berpakaian tosu (pendeta Agama To) berdiri di luar pintu. Tiga orang itu begitu melihat yang muncul seorang wanita cantik dan seorang anak laki-laki, segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk.

   "Nyonya muda, harap maafkan kami bertiga kalau kami mengganggu nyonya dengan kedatangan kami," kata Pek-mau-sian Thio Ki yang menjadi juru bicara mereka karena dia yang paling pandai bicara, juga sikapnya halus dan sopan, tidak seperti Ciu-sian yang biarpun pandai bicara pula, namun ugal-ugalan dan terbuka.

   Melihat sikap mereka yang sopan, Ju Bi Ta juga membalas penghormatan mereka.

   "Tidak mengapa, akan tetapi siapakah sam-wi to-tiang (bapak pendeta bertiga) dan ada keperluan apakah dengan kami?"

   "Kami datang berkunjung untuk bertemu dengan saudara Se Jit Kong karena kami mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan dia. Adapun saya bernama Thio Ki, dua orang saudara ini bernama Tong Kui dan Louw Sun. Kami datang dari jauh, dari timur, dari kota raja Nan-king." kata pula Dewa Rambut Putih.

   "Hemm, apakah sam-wi (anda bertiga) datang untuk merampas benda-benda pusaka milik ayah ?" taiba-tiba Sin Wan bertanya dengan suara lantang dan terlambatlah ibunya untuk mencegah dia mengajukan pertanyaan yang dianggapnya tidak sopan itu.

   "Ha ha ha ha, anak baik. Apakah engkau putera Se Jit Kong?"

   "Benar, aku puteranya, namaku Sin Wan."kata anak itu dengan tabah.

   "Kalau sam-wi datang untuk merampas pusaka, lebih baik sam-wi segera pergi lagi saja, jangan sampai dihajar oleh ayahku seperti tigabelas orang tempo hari,"

   "Ha ha ha ha, sungguh hebat. Engkau jujur dan juga lembut, menyenangkan sekali, Sin Wan. Anak baik, apakah kaullhat kami bertiga ini seperti perampok-perampok?" kata pula Dewa Arak sambil tersenyum lebar, perutnya yang gendut terguncang dan mukanya menjadi semakin merah dan cerah.

   Sin Wan memandang wajah si gendut itu, juga wajahnya yang penuh tawa dan nampak gembira dan lucu.

   "Terus terang saja, totiang (bapak pendeta), kalau melihat totiang ini bukan seperti perampok, lebih mirip seperti seorang pemabok."

   "Sin Wan ......!" ibunya menegur lagi. Heran ia mengapa puteranya yang biasanya lembut itu kini nampak seperti orang yang tidak sabaran. Hal ini ditimbulkan karena peristiwa tiga hari yang lain.

   "Wah, ha ha ha! Engkau ini kecil-kecil sudah pandai melihat sampai ke dasarnya! Memang aku pemabok, memang aku tukang minum arak, ha ha!" kata pula Ciu-sian Tong Kai sambil tertawa bergelak. Suara ketawanya yang lepas itu setengah disengaja, mengandung khi-kang sehingga suaranya bergema sampai ke dalam rumah.

   Akalnya ini berhasil. Suara ketawa yang amat nyaring ttu menyusup sampai ke dalam kamar dan ke dalam telinga Se Jit Kong, menggugahnya dari samadhi. Se Jit Kong mengerutkan alisnya, merasa terganggu oleh suara tawa bergelak itu dan diapun tahu bahwa kembali ada orang yang datang hendak mengganggunya. Mukanya menjadi kemerahan dan dia pun segera bangkit, berganti pakaian baru dan keluar dari dalam kamar, langsung menuju keluar.

   Dan begitu melihat pria tinggi besar yang gagah perkasa itu keluar. Tiga Dewa yang belum pernah berjumpa dengan Si Tangan Api itu, segera memberi hormat kepadanya.

   "Hemm, apa yang terjadi di sini ?" tanya Se Jit Kong tanpa memperdulikan penghormatan yang diberikan tiga orang tosu itu. Dia tidak membalas penghormatan mereka dan mengajukan pertanyaan yang mengandung teguran itu. Isterinya berkata dengan nada lembut dan menyabarkan.

   "Tiga orang totiang ini datang dari timur, dari Nan-king dan mereka mempunyai urusan untuk dibicarakan denganmu. Harap kau sambut tamu-tamu jauh ini dengan baik-baik."

   Se Jit Kong mengerutkan alisnya dan mengangguk. Hatinya masih mendongkol karena merasa terganggu, akan tetapi diam-diam dia, terkejut juga mendengar bahwa mereka datang dari Nan-king, dan segera dia dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka ini ada hubungannya dengan benda-benda pusaka yang dicurinya dari gedung pusaka kaisar di Nan-king.

   "Aku tidak mengenal sam-wi (anda bertiga) ......." katanya dengan setengah hati.

   "Ayah, mereka bilang tidak datang sebagai perampok yang hendak merampas benda-benda pusaka milik ayah," tiba-tiba Sin Wan berkata.

   "Sebaiknya kalau ada urusan dibicarakan di dalam Sam-wi to-tiang, mari silakan masuk ke ruangan tamu," kata Ju Bi Ta dengan sikap ramah.

   Tiga orang tosu itu memandang kepada tuan rumah.

   "Terima kasih, nyonya, kami suka sekali kalau saja sicu (orang gagah) Se Jit Kong memperbolehkan," kata Thio Ki ragu-ragu.

   "Hemm, isteriku sudah mempersilakan kalian masuk, kenapa masih bertanya lagi? Masuklah dan cepat ceritakan apa maksud kedatangan kalian."

   Tiga orang tosu itu mengikuti tuan dan nyonya rumah memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri depan. Ruangan yang cukup luas, di mana terdapat meja kursi yang nyaman.

   Ji Bi Ta sengaja tidak meninggalkan suaminya sekali ini, karena ia tidak ingin suaminya membuat ribut dan perkelahian Iagi. Ia merasa yakin bahwa kalau ada terjadi keributan, hanya ia seoranglah yang akan mampu mengendalikan suaminya dan mencegah terjadinya keributan. Karena ia tetap di ruangan tamu, Sin Wan juga mendapatkan kesempatan untuk ikut pula hadir dan mendengarkan. Dan biarpun Se Jit Kong merasa tidak senang dengan kehadiran isteri dan puteranya, dia tidak berani mengusir isterinya dan kemarahannya dia tumpahkan kepada tiga orang tamunya.

   "Nah, cepat bicara. Siapa kalian dan mau apa kalian mencariku!" katanya ketus.

   Sikap Se Jit Kong ini berwibawa sekali, dan biasanya para calon lawannya sudah merasa gentar dibuatnya, seperti wibawa seekor harimau kalau mengaum dan dengan wibawa auman itu sudah mampu melumpuhkan korbannya. Akan tetapi, tiga orang tosu itu nampak tenang saja.

   Dewa Arak bersikap acuh, memandang ke sekeliling seperti mengagumi keindahan hiasan ruangan Itu, lalu mengambil guci arak yang diselipkan di gendongannya dan mengguncangnya untuk mengetahui isinya. Diteguknya arak dari mulut guci dan wajahnya nampak gembira sekali seperti menikmati araknya yang sedap. Si Dewa Pedang nampak tenang, menatap wajah tuan rumah dan diam saja, karena seperti juga Dewa Arak, dia menyerahkan pembicaraan kepada rekannya, yaitu Dewa Rambut Putih.

   PEK-MAU-SIAN THIO Ki tersenyum ramah.

   "Sicu (orang gagah), maafkan kalau kunjungan kami mengganggu. Saya bernama Thio Ki, dan kedua orang teman saya ini bernama Tong Kui dan Louw Sun. Kami bertiga datang berkunjung dengan dua tugas."

   "Aku tidak mengenal kalian, tidak mempunyai urusan dengan kalian. Persetan dengan tugas kalian, tidak ada sangkut pautnya dengan aku!" Se Jit Kong memotong dengan ketus pula.

   "Justeru kedua tugas kami ini mempunyai hubungan erat denganmu, sicu, sebagai akibat dari apa yang telah sicu lakukan."

   Sepasang mata yang seperti mata harimau itu berkilat. Tak salah dugaannya, mereka ini tentu datang karena urusan pusaka-pusaka dari istana! Marahlah dia dan kalau saja di situ tidak ada isterinya, tentu sudah diterjangnya tiga orang itu tanpa banyak peraturan lagi. Akan tetapi, ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya memandang kepadanya dan dalam pandang mata itu seperti dilihatnya isterinya menggeleng kepala melarang dia membuat keributan.

   "Perduli apa kalian dengan apa yang kulakukan? Cepat katakan, apa urusan itu, tidak perlu bicara berbelit-belit seperti nenek-nenek yang bawel!" bentaknya.

   "Heh-heh, Dewa Rambut Putih, menghadapi seorang kasar seperti Se Jit Kong ini, percuma engkau menggunakan segala macam tata-susila. Katakan saja dengan singkat dan padat apa yang menjadi keperluan kita!" Si Dewa Arak mencela sambil tertawa.

   Pek-mau-sian Thio Ki juga memperlebar senyumnya dan seperti seorang yang kegerahan, dia membuka kipasnya dan mengipasi tubuh bagian leher. Pada hal, sesungguhnya dia bukan hanya mengipas untuk mencari angin, melainkan gerakan itu disertai kekuatan batin untuk menolak sihir yang diam-diam dilancarkan oleh Se Jit Kong untuk menyerangnya.

   Tuan rumah ahli silat dan ahli sihir itu ingin memaksanya bicara menurut kehendak hati Se Jit Kong yang tidak ingin mereka bicara sesukanya di depan isterinya! Se Jit Kong merasa betapa kekuatan sihirnya buyar seperti asap yang disambar angin dari kipas.

   "Hayo bicara, jangan seperti kanak-kanak!" bentaknya semakin penasaran dan marah.

   "Dengarlah baik-baik, Se Jit Kong. Tugas kami yang pertama merupakan tugas yang kami terima dari Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, dan inilah tanda kekuasaan yang diberikan kepada kami."

   Dewa Rambut Putih mengeluarkan sebuah tek-pai (bambu tanda kuasa) dan memperlihatkannya kepada Se Jit Kong yang memandang sambil lalu saja.
Dewa Rambut Putih menyimpan kembali tek-pai itu di saku bajunya.

   "Adapun tugas itu adalah untuk mencari dan merampas kembali benda-benda pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana. Maka kami datang berkunjung dan minta kepada sicu untuk menyerahkan benda-benda pusaka itu kepada kami."

   Ju Bi Ta memandang kepada suaminya dengan kedua mata terbelalak.

   "Ya Allah! Engkau mencuri pusaka dari istana kaisar? Kalau benar, kembalikan barang-barang haram itu!"

   Se Jit Kong memandang kepada isterinya dan sungguh aneh, ketika dia bicara, lenyap semua kekerasannya dan suaranya terdengar lembut.

   "Ju Bi Ta, harap engkau tidak mencampuri urusan ini."

   Cepat dia menoleh kepada tiga orang tamunya.

   "Cepat katakan, apa tugas kedua agar aku dapat segera memberi keputusan dan jawaban!"

   Si Dewa Rambut Putih Thio Ki memandang dengan wajah cerah. Datuk besar yang amat jahat ini ternyata mempunyai kelemahan yang sama sekali tidak disangkanya, yaitu takut dan tunduk kepada isterinya yang muda dan cantik! Mungkin kelemahan datuk ini akan membuat tugas mereka semakin mudah dan ringan, kalau bisa bahkan tanpa kekerasan!

   "Tugas kedua datang dari para ketua partai persilatan, di antaranya dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai yang minta bantuan kepada kami untuk mengundangmu menghadiri pertemuan yang akan mereka adakan, di mana sicu diminta untuk mempertanggung jawabkan kematian dan terlukanya banyak tokoh mereka."

   Se Jit Kong mengepal kedua tangannya, mukanya menjadi merah sekali dan matanya seperti memancarkan api, bahkan kedua tangannya perlahan-lahan berubah menjadi merah seperti baja membara dan mengepulkan uap putih! Akan tetapi, begitu melirik kepada isterinya, kemarahannya menurun seperti api yang tidak mendapat udara, akan tetapi suaranya masih ketus ketika dia berkata kepada tiga orang tamunya.

   "Untuk kedua urusan itu, jawabanku hanya satu. Benda-benda pusaka itu kudapatkan dengan kepandaian. Kalau kalian ingin mendapatkannya, kalian harus mampu merampasnya dariku! Dan kedua, kalau kalian ingin membawa aku ke timur, kalian harus mampu meringkusku. Pendeknya, kalian bertiga harus dapat mengalahkan aku!"

   "Heh, heh, sudah kuduga. Berurusan dengan datuk sesat tak mungkin menggunakan cara damai," kata pula Dewa Arak dan tiga orang tosu itu sudah bangkit berdiri. Juga Se Jit Kong bangkit berdiri.

   "Aku tidak menghendaki kalian membikin ribut di dalam rumah ini!" kata Ju Bi Ta dengan suara mengandung kekhawatiran.

   Sedangkan Sin Wan hanya memandang saja. Diam-diam dia terkejut mendengar bahwa ayahnya telah mencuri benda-benda pusaka dari istana kaisar. Kini tahulah dia bahwa benda-benda pusaka yang demikian dibanggakan ayahnya itu adalah barang-barang curian.

   Pada hal, ibunya selalu mengharamkan barang curian! Tentu hal itu dilakukan di luar tahu ibunya. Dan ayahnya telah membunuh dan melukai para tokoh partai-parta persilatan besar sehingga kini mereka mengutus tiga orang tosu ini untuk menangkap ayahnya.

   Pek-mau-sian Thio Ki menarik napas panjang.

   "Tidak ada jalan lain, Se Jit Kong. Terpaksa kami menuruti keinginanmu dan kami akan mengalahkanmu agar engkau suka mengembalikan pusaka-pusaka istana itu dan ikut dengan kami menghadap para pimpinan partai persilatan. Akan tetapi, kami menghormati isterimu dan kami tidak ingin membikin ribut di rumah ini, bahkan tidak ingin membikin ribut di kota ini. Kami akan menantimu di luar kota sebelah timur. Kami percaya bahwa Si Tangan Api bukan seorang pengecut yang melanggar janji dan melarikan diri."

   Dia memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Mereka memberi hormat kepada tuan rumah dan isterinya, kemudian meninggalkan ruangan itu, keluar dari rumah dan terus keluar dari kota itu pula, berhenti menanti di luar kota sebelah timur yang sunyi.

   "Biar kubereskan mereka. Aku pergi takkan lama." kata Se Jit Kong kepada isterinya dan diapun melangkah pergi.

   "Se Jit Kong, jangan bunuh mereka!" Ju Bi Ta berseru dan suaminya berhenti, menengok dan mengangguk, kemudian sekali berkelebat diapun lenyap.
"Ibu, aku ingin nonton pertandlngan itu," kata Sin Wan yang ingin sekali melihat bagaimana ayahnya akan melawan tiga orang tosu itu.

   "Jangan, Sin Wan. Untuk apa nonton orang berkelahi? Berkelahi merupakan perbuatan jahat. Di antara sesama manusia harus saling mengasihi, bukan saling bermusuhan. Bermusuhan dan berkelahi hanya pekerjaan Iblis."

   Sin Wan merasa kecewa sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ibunya. Dia selalu taat kepada ibunya, seperti juga ayahnya. Hanya bedanya, kalau dia mentaati Ibunya karena dia sayang dan kasihan kepada ibunya, tidak ingin menyebabkan hati ibunya, sedangkan Se Jit Kong taat kepada isterinya karena takut isterinya marah kepadanya.

   "Ibu, kalau ibu tidak berada di sana, bagaimana kalau nanti ayah lupa diri dan membunuh tiga orang tosu yang kelihatan sopan dan baik itu?" tiba-tiba Sin Wan berkata.

   "Ah, engkau benar juga! Mari kita melihat ke sana, aku harus mencegah ayahmu melakukan pembunuhan lagi!"

   Ju Bi Ta menggandeng tangan puteranya dan Sin Wan diam-diam tersenyum girang. Mereka berjalan secepatnya menuju ke timur, keluar dari kota Yin-ning.

   ???

   "Tosu-tosu lancang, sombong dan busuk. Apakah kalian sudah bosan hidup? Tidak tahukah kalian siapa aku?"

   Kini, setelah seorang diri saja berhadapan dengan tiga orang tosu itu, Se Jit Kong menumpahkan seluruh kemarahannya. Isterinya tidak ada iagi di situ untuk mengendalikannya.

   "Heh ... heh ... heh, Se Jit Kong. Tentu saja kami tahu benar siapa engkau. Engkau adalah Se Jit Kong, peranakan Uighur yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, akan tetapi menjadi hamba iblis dan tidak pantang melakukan segala macam kejahatan demi mencari nama besar dan harta kekayaan. Engkau berjuluk Si Tangan Api, Iblis Tangan Api karena engkau memiliki ilmu yang membuat kedua tanganmu mengandung panasnya api. Engkau telah mengacau di timur, membunuh banyak tokoh pendekar, mengalahkan para pimpinan partai persilatan, mengaduk-aduk dunia persilatan dengan kekejaman dan kecongkakanmu," kata Ciu-sian Tong Kui.

   "Engkaupun ahli pedang yang sukar dikalahkan. Entah berapa ratus orang roboh oleh tangan dan pedangmu. Entah berapa banyak darah yang telah diminum pedangmu. Engkau bukan manusia, melainkan ibiis sendiri, karena itu engkau harus bertanggung jawab terhadap para pimpinan partai-partai persilatan besar," kata Kiam-sian Louw Sun.

   "Se Jit Kong, engkau menggunakan sihir untuk mencuri pusaka dari gudang pusaka istana. Engkau berdosa besar, bukan saja terhadap kaisar, akan tetapi juga terhadap negara dan bangsa. Baru saja Kaisar Thai-cu telah membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mongol. Sepatutnya kita berterima kasih dan bergembira. Akan tetapi engkau bahkan mengganggu dengan pencurian pusaka. Engkau memang keturunan bangsa biadab yang tidak tahu terima kasih." Pek-mau-Sian Thio Ki yang biasanya halus itupun kini mencela dengan kata-kata yang keras.

   Hal ini tidaklah mengherankan. Pemimpin rakyat Cu Goan Ciang yang berasal dari rakyat petani biasa, telah berhasil memberontak terhadap pemerintah Mongol, bahkan kemudian berhasil menghancurkan dan menghalau penjajah Mongol yang telab menguasai Cina selama seratus tahun. Tentu saja Cu Goan Ciang dianggap pahlawan besar ketika dia mendirikan Kerajaan Beng-tiauw dan menjadi kaisarnya yang pertama berjuluk Kaisar Thai-cu (1368-1398).

   Kini Se Jit Kong yang tertawa bergelak dan suara tawanya itu amat dahsyat, karena bukan saja mengandung tenaga khi-kang yang hebat, juga mengandung kekuatan sihir yang membuat tiga orang tosu itu harus mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) mereka untuk melindungi diri agar tidak terpengaruh.

   "Ha-ha-ha, kalian tiga orang tosu jahanam. Sudah tahu betapa semua pimpinan partai persilatan besar tidak ada yang mampu menandingiku, dan kalian tiga orang tosu tak ternama berani mencariku sampai ke sini? Ha-ha-ha, kalau mencari mampus, kenapa susah-susah dan jauh-jauh sampai ke sini?"

   Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tentu saja Se Jit Kong tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan tiga orang sakti yang selama puluhan tahun memang tidak pernah muncul di dunia persilatan sehlngga ketika dia merajalela di timur, dia tidak pernah mendengar nama mereka. Akan tetapi, dia merasa terkejut juga ketika melihat betapa tiga orang tosu itu tenang-tenang saja dan sama sekali tidak terpengaruh oleh suaranya yang dahsyat tadi. Pada hal, tidak banyak orang yang akan mampu bertahan, baik terhadap pengaruh khi-kang maupun ilmu sihir yang terkandung dalam tawanya tadi.

   "Se Jit Kong, ketahuilah bahwa kami tidak biasa dan tidak suka membunuh orang. Oleh karena itu, mari kita membuat perjanjian. Kalau kami kalah bertanding denganmu, terserah kepadamu mau diapakan kami ini. Kalau engkau hendak membunuh kamipun terserah. Kami tahu akan resiko tugas kami. Akan tetapi, kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan kembali semua pusaka istana, dan engkau harus dengan suka rela mengikuti kami untuk menghadap para pimpinan partai persilatan." kata Pek-mau-sian Thio Ki.

   "Bagus! Kalian memang sudah bosan hidup. Nah, kalian hendak main satu demi satu atau dengan keroyokan? Bagiku sama saja!" Ucapan ini saja sudah menunjukkan watak yang takbur dari datuk itu, akan tetapi di balik itu juga mengandung kecerdikan, karena ucapan itu, kalau diterima oleh orang-orang yang merasa diri mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu akan mendatangkan rasa malu dan tidak enak untuk maju bersama dan melakukan. pengeroyokan.

   "Kami bukan orang-orang pengecut yang suka melakukan pengeroyokan, Se Jit Kong," jawab Dewa Rambut Putih.

   "Kami mendengar bahwa engkau memiliki tiga ilmu yang hebat. Pertama ilmu silat tangan kosong, gin-kang dan sin-kang yang sukar dicari bandingnya. Kedua, engkau ahli pedang yang hebat pula. Dan ketiga, engkau memiliki Ilmu sihir yang kuat. Nah, kau akan kami imbangi dengan ilmu-ilmu itu. Pertama, engkau akan ditandingi Dewa Arak dalam ilmu silat tangan kosong. Kedua, engkau akan dihadapi Dewa Pedang dalam ilmu pedang, dan terakhir, aku sendiri yang akan mencoba kekuatan sihirmu.

   "Bagaimana pendapatmu ? Kalau dua orang di antara kita kalah, biarlah kami mengaku kalah."

   Tentu saja syarat ini amat menguntungkan bagi Se Jit Kong. Dia tidak dikeroyok, dan kalau dapat mengalahkan dua orang, biarpun andaikata yang seorang menang, dia tetap keluar sebagai pemenang.

   "Bagus! Nah, majulah kau, tosu pemabok! Aku akan membuat perut gendutmu menjadi kempis!" ejeknya sambil menghadapi Ciu-sian Tong Kui.

   "Heh-heh-heh, perut ini berisi hawa arak, bagaimana engkau akan mampu membikin kempis tanpa terkena gasnya? Heh .. heh .. heh!" Biarpun dia membadut, namun Dewa Arak tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang amat lihai dan licik.

   Benar saja, belum habis dia tertawa, tubuh tinggi besar itu telah menyerangnya secara curang dan dahsyat sekali. Kalau saja dia lengah dan belum siap, siaga, setidaknya serangan itu tentu akan membuat Dewa Arak kelabakan! Namun, dia telah siap siaga dan dengan cepat kakinya bergeser secara aneh dan cepat sekali, dan dia telah berhasil menghindarkan diri dari terkaman lawan, bahkan sambil memutar tubuh dia membalas dengan totokan ke arah lambung lawan.

   Se Jit Kong menangkis sambil mengerahkan. sin-kang untuk mematahkan tulang lengan lawan, juga untuk mengukur sampai di mana kekuatan sin-kang lawannya yang gerakannya aneh dan seperti ugal-ugalan itu. Dewa Arak justeru mengharapkan tangkisannya karena diapun ingin mengadu sin-kang. Bukankah mereka berdua memang bertanding mengadu sin-kang dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh ) sambil menguji pula ilmu silat tangan kosong masing-masing?

   "Dukkkk!!!"

   Keduanya terdorong ke belakang. Se Jit Kong terdorong sampai tiga langkah, sedangkan Dewa Arak terdorong mundur dua langkah. Dari akibat adu tenaga ini saja sudah dapat diketahui bahwa Dewa Arak masih lebih kuat sedikit! Tentu saja Se Jit Kong menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa lawan yang cacingan perutnya ini memiliki tenaga yang demikian kuatnya.

   Dia tidak tahu bahwa Ciu-sian Tong Kui adalah seorang ahli sin-kang yang telah menguasai Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi)! Dia mangeluarkan teriakan marah dan kini dia mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk menyerang lawan. Gerakannya amat cepat sehingga tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar.

   Namun, kembali Dewa Arak mengeluarkan suara tawanya yang nyaring dan diapun mengimbangi dengan gerakan kaki yang berloncatan, bergeseran dan semua serangan lawan dapat dielakkannya. Kalau gerakan lawan amat cepat, gerakannya sendiri amat aneh, seolah-olah setiap gerakan kaki yang bergeser ke sana sini dan berloncatan itu seperti sepasang kaki burung yang amat lincahnya. Dan memang si gendut ini menguasai ilmu meringankan tubuh atau ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-niauw-poan-soan (Burung Terbang Berputaran).

   Pada saat itu, Ju Bi Ta dan Sin Wan sudah berada tak jauh dari situ, menjadi penonton pertandingan Hanya mereka berdualah yang menjadi penonton karena tempat itu sepi dan tidak ada orang lain yang berada disitu. Ju Bi Ta sengaja berdiri di tempat terbuka agar suaminya dapat melihatnya, karena dia ingin agar suaminya tahu akan kehadirannya sehingga suaminya tidak akan bertindak keterlaluan, tldak akan melakukan pembunuhan seperti yang telah dipesannya tadi.

   Dan memang Se Jit Kong tentu saja sudah melihat kehadiran isterinya dan puteranya. Hal ini membuat dia kurang leluasa bergerak. Biasanya, kalau bertanding, apa lagi melawan seorang yang demikian lihainya, dia akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membunuh lawan. Akan tetapi sekarang, isterinya hadir dan tadi isterinya berpesan agar dia tidak membunuh tiga orang tosu itu!

   Hal ini membuat serangannya tidak begitu ganas. Dia hanya ingin merobohkan dan mengalahkan lawan, tidak mau membunuhnya karena kalau hal ini terjadi, isterinya tentu akan marah. Sejak dia memperisteri Ju Bi Ta, dia begitu sayang kepada isterinya. Dia merasa amat berbahagia kalau isterinya bersikap manis kepadanya, akan tetapi sorga berubah menjadi neraka baginya kalau isterinya marah dan tidak menyambutnya dengan manis.

   Setiap orang pria yang normal, siapapun dia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, dari kaisar sampai buruh kecil, yang sudah dewasa, pasti mempunyai suatu kerinduan akan seorang wanita yang dapat dicintanya sepenuh hati. Seorang wanita yang akan membangkitkan kejantanannya, yang akan berbahagia oleh cintanya, seperti tanah subur bagi benih cintanya yang akan bersemi dan tumbuh dengan suburnya.

   Pria akan selalu merasa bangga kalau ada wanita yang menghargai cintanya, membuat dia merasa jantan, perkasa dan mampu membahagiakan wanita. Demikian pula dengan Se Jit Kong. Biarpun dia seorang datuk besar kaum sesat, diapun seorang pria normal. Sudah kerap kali dia menikah, namun selalu pernikahannya gagal, walaupun kegagalan ini disebabkan oleh wataknya sendiri yang kasar dan kejam.

   Akan tetapi, sejak dia memperisteri Ju Bi Ta kurang lebih sebelas tahun yang lalu, atau sepuluh tahun lebih, dia benar-benar menemukan seorang wanita yang memenuhi segala keinginannya. Karena itu, diapun takut akan kehilangan sikap isterinya, dan ini membuat dia menjadi taat karena takut kalau isterinya marah kepadanya.

   Tentu saja keadaan Se Jit Kong yang demikian itu menguntungkan Dewa Arak. Memang ilmu silat tangan kosong, ilmu meringankan tubuh dan tenaga sakti mereka berimbang, atau Dewa Arak lebih menang sedikit. Kini dengan hadirnya Ju Bi Ta yang membuat Se Jit Kong tidak leluasa bergerak, membuat Dewa Arak lebih unggul.

   Akan tetapi sebaliknya, Dewa Arak juga tidak ingin membunuh datuk besar itu. Biarpun dia seorang yang berwatak riang gembira dan ugal-ugalan seperti orang yang selalu mabuk arak, namun dia adalah seorang pertapa yang sudah melepaskan nafsu-nafsunya, terutama sekali nafsu ingin menang dan nafsu membenci dan ingin mencelakai orang lain. Dia tidak mau membunuh, bahkan kalau bisa hanya menangkan pertandingan itu tanpa membuat lawan terluka parah.

   Limapuluh jurus telah lewat dan pertandingan tangan kosong itu masih berlangsung semakin seru dan hebat. Biarpun mereka berdiri agak jauh. Ju Bi Ta dan Sin Wan dapat merasakan sambaran angin pukulan yang membuat ranting-ranting pohon dl sekeliling tempat itu seperti diamuk angin kuat, bahkan daun-daun kering yang berserakan di bawah beterbangan ketika dua pasang kaki itu bergerak dan berloncatan dengan amat cepatnya!

   Sukar bagi Ju Bi Ta untuk membedakan mana suaminya dan mana orang lain dari dua bayangan yang berkelebatan itu.

   Sin Wan yang sejak berusia lima tahun sudah digembleng ilmu oleh ayahnya, sudah dilatih siu-lian (samadhi) sehingga memiliki ketajaman pandangan, biarpun dapat mengikuti gerakan mereka, tetap saja dia tidak dapat menilai siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Gerakan mereka terlalu cepat.

   Akan tetapi diam-diam Se Jit Kong mengeluh. Kedua lengannya sudah berubah merah seperti baja membara, dan dia sudah mengeluarkan ilmu silatnya, namun lawannya sungguh tangguh. Lengannya yang mengandung hawa panas membakar itu bertemu dengan sepasang lengan yang kadang keras, kadang lunak. akan tetapl selalu dingin dan tidak terbakar oleh tangan apinya!

   Tahulah dia bahwa kalau diianjutkan, andaikata dia tidak kalahpun dia akan kebabisan tenaga, pada hal dia masih harus bertanding melawan dua orang lagi yang tentu juga amat lihai seperti Si Dewa Arak ini. Mulailah dia ragu-ragu.

   Dewa Arak melihat keraguannya ini dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengerahkan llmu gin-kangnya dan kakinya bergeser aneh ke depan, bahkan seolah hendak menerima tamparan tangan kanan Se Jit Kong yang melayang dari atas ke arah kepalanya. Namun, secepat kilat tubuhnya menyelinap ke bawah dan tiba-tiba Se Jit Kong terhuyung ke belakang karena lambungnya telah didorong oleh telapak tangan Dewa Arak.

   Kalau Dewa Arak menghendaki, dorongan itu dapat saja menjadi pukulan maut yang akan merusak isi perut lawan. Akan tetapi dia hanya mendorong, membuat lawan terhuyung untuk membuktikan bahwa dia menang dalam pertandingan itu.

   Akan tetapi Se Jit Kong bukanlah orang yang mau mengaku kalah begitu saja. Bahkan selama hidupnya, dia belum pernah mengaku kalah! Sejak dia berguru kepada seorang pertapa sakti di India, dia merasa dirinya tak terkalahkan, bahkan dia tidak pernah mau percaya bahwa dia dapat dikalahkan!

   Kesombongan merupakan penyakit yang selalu menyeret kita ke alam pikiran sesat. Nafsu daya rendah yang mencengkeram hati dan akal pikiran kita mendorong kita untuk merasa bahwa kita ini yang paling pandai, paling benar, paling baik dan paling segala! Kalau kita pandai, kita membanggakan pikiran kita, kalau kita kuat, kita membanggakan tubuh kita. Kita selalu lupa bahwa kita ini hanya alat!

   Seluruh tubuh dan hati akal pikiran ini hanya untuk hidup sebagai manusia, alat yang semula dimaksudkan untuk mengabdi kepada jiwa yang menjadi penghuni diri kita. Akan tetapi sayang, alat-alat itu kemudian digelimangi nafsu daya rendah sehingga kita dibawa menyeleweng.

   Alat-alat yang seharusnya dipergunakan oleh jiwa, diambil alih oleh nafsu, diperalat oleh nafsu sehingga apapun yang dilakukan tubuh dan hati akal pikiran, selalu ditujukan untuk memuaskan nafsu daya rendah. Nafsu daya rendah atau setan selalu mengejar kesenangan, memperalat dan menyelewengkan kita sehingga membawa pula kita kepada kesombongan diri, kebencian, iri hati, ketakutan, kemurkaan, dan sebagainya.

   Kalau kita melakukan sesuatu, kita menjadi bangga dan menganggap bahwa kita yang pandai! Kita lupa bahwa kepandaian yang berada di dalam kepala kita itu hanya alat-alat belaka, terdiri dari sel-sel otak, darah dan syaraf. Ada sedikit saja kerusakan pada alat itu, ada satu saja syaraf lembut itu yang putus, maka akan sirnalah semua kepandaian yang kita banggakan semula!

   Demikianpun kekuatan pada tubuh. Kita membanggakan tubuh kita yang kuat. Padahal, tubuhpun hanya alat dan ada sedikit saja kerusakan pada tubuh, kekuatan yang dibanggakan itupun sirna. Jelas bahwa kita pandai karena kita diberi kepandaian, kita kuat karena diberi kekuatan!

   Kita lupa bahwa ADA yang memberi! Setan membisikkan kesombongan kepada kita sehingga kita lupa kepada SANG PEMBERI. Orang. yang sadar akan hal inl, tidak akan berani memuji diri sendiri yang hanya alat, melainkan memuji kepada SANG PEMBERI yang telah memberi semua itu kepada kita sebagai alat, memuji kepada SANG PEMBERI atau Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Esa!

   Karena merasa terdesak, sebelum dia dirobohkan, Se Jit Kong sudah meloncat lagi dan kini tangannya memegang sebatang pedang terhunus yang mengeluarkan sinar berkilauan. saking tajamnya. Itulah Gin-kong-pokiam (Pe-dang Pusaka Sinar Perak), sebuah di antara benda pusaka yang dicurinya dari gudang pusaka istana.

   "Tranggg....l" Sebatang pedang lain menangkis pedang bersinar perak yang menyambar ke arah Dewa Arak. Ternyata Dewa Pedang telah meloncat dan menangkis pedang yang menyambar ke arah rekannya itu. Kini, Dewa Pedang dan Se Jit Kong berhadapan, dengan pedang di tangan. Pedang di tangan Dewa Pedang juga mengeluarkan cahaya kekuningan. Pedang ltupun sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari).

   "Heh .. heh .. heh, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong, engkau sudah kalah dalam pertandingan pertama denganku! Lihat saja baju lambungmu," kata Dewa Arak yang sudah meloncat jauh ke belakang, mengambil guci araknya dan minum arak dari gucinya beberapa teguk.

   Se Jit Kong maklum akan kebenaran ucapan itu dan dia tidak mau lagi melirik ke arah baju di lambungnya yang berlubang sebesar telapak tangan lawan. Diapun maklum bahwa kalau Dewa Arak menghendaki, tentu bukan hanya bajunya yang berlubang, melainkan lambungnya dan tentu dia telah tewas.

   Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang itu, hanya diam-diam dia merasa heran mengapa ada orang setolol itu, mendapat kesempatan baik tidak mau mempergunakannya! Karena merasa kalau dalam pertandingan pertama, dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memenangkan dua pertandingan yang lain.

   Dia merasa yakin akan menang karena dia memiliki ilmu pedang yang hebat, campuran dari ilmu pedang Bangsa Kazak yang ahli bertempur itu, dan ilmu pedang dari India. Dia telah mengolah ilmu-ilmu yang dikuasai itu menjadi ilmu pedang yang ampuh sekali, yang. selama ini belum terkalahkan.

   Biarpun ketika dia mengadu ilmu pedang dengan tokoh Kun-lun-pai, kemudian tokoh Bu-tong-pai, dia tidak dapat menang dan hanya dapat mengimbangi ilmu pedang lawan, namun diapun tidak dikalahkan. Dan dia menang dalam perkelahian itu dengan bantuan ilmu sihirnya dan ilmu pukulan Tangan Api.

   "Hyaaaatttt ......!"

   Dia mengeluarkan bentakan lantang dan pedangnya sudah menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia sudah kalah dalam pertandingan pertama, kini Se Jit Kong melupakan pesan isterinya, lupa bahwa isterinya berada tak jauh dari situ menjadi penonton. Dia tidak perduli lagi karena kalau dia tidak mampu menang berarti dia kalah dan dia harus menepati janjinya.

   Menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu tidak begitu besar artinya bagi dia, akan tetapi kalau dia menyerah untuk ditangkap dan dibawa ke timur hal, itu sungguh merupakan penghinaan besar dan juga belum tentu para tokoh partai persilatan itu akan suka memaafkannya. Dia pasti akan dihukum mati oleh mereka. Oleh karena itu, dia harus memenangkan dua pertandingan berikutnya dan dia akan mamaksakan kemenangan itu, kalau. perlu membunuh lawannya!

   Dari gerakan serangan itu tahulah Kiam-sian Louw Sun bahwa lawannya nekat dan mengirim serangan maut. Maka, diapun memutar Jit-kong"kiam untuk melindungi tubuhnya, kemudian membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Dua orang ahli pedang itu segera terlibat dalam pertandingan yang lebih menegangkan dari pada tadi, karena kini dua pedang itu berkelebatan, lenyap bentuknya menjadi gulungan dua sinar yang menyilaukan mata, saling belit dan merupakan kilat yang membawa maut.

   Ilmu pedang yang dimainkan Se Jit Kong memang aneh sekali dan juga amat berbahaya, Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang ahli pedang yang sakti, yang bahkan mempunyai julukan Dewa Pedang. Dari julukan ini saja mudah diketahui bahwa tentu Dewa Pedang memiliki ilmu pedang yang sudah mencapai tingkat yang amat tlnggi.

   Apalagi pedang di tangan tosu yang sakti itupun merupakan pedang pusaka ampuh. Kalau Se Jit Kong tidak memegang pedang pusaka dari gudang istana kaisar, pedang lain tentu akan mudah patah kalau bertemu dengan Jit-kong-kiam.

   llmu pedang yang dimainkan Dewa Pedang itu selain cepat, juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dapat menekan, membelit dan menempel. Itulah Ilmu pedang Jit-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang cahaya Matahari) yang selama ini belum terkalahkan.

   Dua orang itu memang setingkat. Pedang mereka sama-sama kuat dan ampuh sebagai pedang pusaka pilihan. Ilmu pedang mereka pun dahsyat dan aneh, sedangkan ,dalam hal tenaga, merekapun seimbang. Sampai seratus jurus lebih, belum juga ada yang nampak kalah atau menang.

   Mereka saling serang sambil mengerahkan segala kemampuan mereka. Sinar pedang menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing dan kadang bercuitan dan daun-daun pohon di dekat mereka berhamburan seperti disayat-sayat.

   Sejak tadi, Ju Bi Ta dan Sin Wan melihat pertandingan dengan hati tegang. Sin Wan mulai merasa khawatir. Tiga orang yang menjadi lawan ayahnya itu, walaupun tidak main keroyokan seperti belasan orang beberapa hari yang lalu, namun masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah oleh ayahnya.

   Tadipun ketika selesai bertanding tangan kosong dengan tosu berperut gendut, dia melihat betapa baju ayahnya di bagian lambung berlubang sebesar telapak tangan. Dia mengerti bahwa hal itu menjadi pertanda bahwa ayahnya teiah kalah, dan diapun kagum bahwa si pemenang itu tidak membunuh ayahnya, bahkan melukainya. pun. tidak. Dan kini, orang kedua dapat memainkan pedang sedemikian cepatnya, mengimbangi permainan ayahnya.

   Se Jit Kong mulai merasa lelah. Uap putih mengepul keluar dari ubun-ubun kepalanya dan napasnya mulai terengah-engah. Tentu saja daya tahannya kalah dibandingkan Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun adalah seorang pertapa yang sejak duapuluhan tahun hidup bersih, tubuhnya tidak terlalu diperalat nafsu sehingga tubuhnya menjadi kuat, tidak seperti Se Jit Kong yang hidupnya bergelimang nafsu.

   Karena dia merasa lelah sedangkan lawannya masih nampak segar. Se Jlt Kong tahu bahwa kalau dilanjutkan. akhirnya dia kalah karena kehabisan napas dan tenaga. Maka, diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, matanya mencorong tajam dan tiba-tiba dia membentak dengan suaranya yang mengandung kekuatan sihir.

   "Robohlah kau .........!!"

   Kiam-sian Louw Sun terkejut sekali karena tiba-tlba tubuhnya seperti terdorong kuat dan biarpun dia sudah mempertahankan diri, tetap saja dia terhuyung-huyung dan hampir saja terjengkang jatuh kalau saja tidak dengan cepatnya Pek-mau-sian Thio Ki menangkap lengannya.

   "Tangan Api, engkau kembali menggunakan kecurangan! Engkau bertanding pedang dengan Dewa Pedang, bukan bertanding sihir. Kalau engkau hendak memamerkan ilmu sihirmu, akulah lawanmu. Dalam hal ilmu pedang, engkaupun tadi kalah, buktinya engkau hampir putus napas dan kau menggunakan ilmu sihir dengan curang!" tegur Dewa Rambut Putih.

   Dalam keadaan terhimpit Se Jit Kong berusaha untuk mencapai kemenangan dengan satu kali pukulan. Dia mengerahkan seluruh tenaga ilmu sihirnya, matanya mencorong, tubuhnya menggigil dan dia membentangkan kedua lengan lalu berkata dengan suara yang lantang dan menggetar.

   "Kalian semua belum mengenal siapa aku! Lihatlah baik-baik, aku adalah Naga Api yang datang untuk membasmi kalian semua!!"

   Dia memekik, suara pekikannya melengking nyaring menggetarkan seluruh orang yang berada di situ. Sin Wan yang belum pernah melihat ayahnya bersikap seperti itu, terkejut dan ketika dia memandang dengan penuh perhatian, dia terbelalak. Ayahnya telah lenyap dan di tempat dia berdiri tadi nampak seekor naga yang mengeluarkan api dari mulutnya.

   Naga itu sebesar orang dewasa, dan panjangnya puluhan kaki! Matanya mencorong, lidahnya yang terjulur keluar itu seperti api membara dan dari mulutnya keluar api bernyala-nyala bercampur asap, juga dari hidungnya keluar api. Sungguh merupakan mahluk yang mengerikan sekali. Naga Api!

   Ketika dia menoleh kepada ibunya, agaknya ibunya juga melihatnya, akan tetapi ibunya tidak nampak heran, hanya ngeri dan takut. Melihat ibunya ketakutan, Sin Wan lalu memegang tangan ibunya dan merasa betapa jari-jari tangan ibunya mencengkeram tangannya dan tangan ibunya itu amat dingin.

   Dewa Arak dan Dewa Pedang sudah duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang melakukan samadhi. Mereka mengerahkan tenaga dan batin agar tidak terpengaruh dan terseret oleh ilmu sihir yang kuat itu, dan dengan memejamkan mata mereka melawan getaran sihir. Akan tetapi, Dewa Rambut Putih berdiri berhadapan dengan Se Jit Kong yang sudah "berubah" menjadi naga api itu.

   "Ha-ha-ha, Se Jit Kong, permainan kanak-kanak ini tidak ada artinya bagiku!"

   Dewa Rambut Putih lalu mengeluarkan sulingnya dan dia meniup sulingnya. Terdengar lengking suara yang turun naik, terdengar aneh dan mengandung getaran kuat sekali.

   Sin Wan memandang dengan mata terbelalak, dan biarpun hatinya tegang, namun dia ingin tahu kelanjutannya bagaimana terjadinya pertandlngan adu ilmu sihir yang aneh ini.

   Naga Api itu menggereng-gereng dan suara suling melengking-lengking. Akan tetapi, gerengan naga api itu semakin lemah dan akhirnya, nampak asap mengepul dan lenyaplah naga jadi-jadian itu, dan nampak tubuh Se Jit Kong. Suara sulingpun terhenti dan muka Se Jit Kong menjadi merah sekali saking marahnya.

   "Pek-mau-sian, aku atau engkau yang mampus!" bentaknya dan dia mengangkat pedangnya tlnggi-tinggi di atas kepala, mulutnya berkemak kemik dan dia berseru lantang.

   "Pek-mau-sian, nagaku ini akan membunuhmu!" Dan dia melontarkan pedang itu ke atas.

   Terdengar suara keras seperti ledakan dan pedang itu lenyap, berubah menjadi seekor naga lagi, walaupun tidak begitu menyeramkan seperti naga api tadi, namun naga ini bergerak dengan lincahnya seperti burung terbang dan berputaran di atas, seperti sedang mengintai korban.

   Melihat ini, Pek-mau-sian Thio Ki tertawa lagi.

   "Udara jernih menjadi keruh, langit terang menjadi gelap, munculnya naga jadi-jadian yang jahat perlu diberantas!"

   Ucapannya terdengar seperti bernyanyi dan diapun melontarkan serulingnya ke atas. Terdengar lengkingan suara meninggi dan suling itupun berubah bentuknya menjadi seekor naga putih kekuningan seperti warna suling bambu itu. Kedua naga itu bertemu di udara dan terjadilah pertandingan dan pergulatan yang hebat.

   Namun, tidak lama, karena terdengar suara Pek-mau-sian lantang.

   "Pedang curian harus kembali ke pemiliknya!" Dan kedua "naga" itupun meluncur ke bawah, ke arah Dewa Rambut Putih dan lenyap berubah menjadi suling dan pedang yang kini berada di kedua tangan tosu itu.

   Wajah Se Jit Kong menjadi pucat. Dia maklum bahwa dalam ilmu sihirpun dia tidak mampu menandingi Pek-mau-sian Thio Ki.

   Dalam ilmu pedang dia kewalahan melawan Kiam-sian Louw Sun, dan dalam ilmu silat tangan kosong dan tenaga sin-kang, diapun terdesak oleh Ciu-sian Tong Kui. Tiga orang lawan itu memang tangguh sekali dan kalau dilanjutkanpun akhirnya dia akan mendapat malu dan akan roboh.

   Dia mencabut sebatang pisau dari pinggangnya. Melihat ini, tiga orang tosu yang kesemuanya sudah bangkit berdiri itu siap siaga, mengira bahwa Se Jit Kong akan mengamuk dan melawan mati-matian. Akan tetapi Se Jit Kong memandang kepada mereka penuh kebencian dan suaranya terdengar kaku penuh kemarahan.

   "Sam Sian (Tiga Dewa), kalian sudah mampu menandingi dan mengalahkan aku, akan tetapi jangan harap aku akan sudi mengembalikan benda-benda pusaka itu dan menyerah untuk kalian tangkap. Tidak ada seorangpun manusia di dunia ini yang boleh membuat aku menyerah dan memaksaku! Ha .. ha ... ha .. ha!"

   Sambil tertawa bergelak, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong lalu menggerakkan pisau itu. Tiga orang tosu terbelalak keget. Mereka tidak mengira sama sekall bahwa Tangan Api itu akan mengambil keputusan demikian nekad. Pisau itu, di tangan ahli Se Jit Kong, telah menyelinap di bawah tulang iga dan langsung menembus jantungnya sendiri! Dia masih tertawa bergelak ketika roboh dengan mata terbelalak dan begitu suara tawanya terhenti, diapun sudah menghembuskan napas terakhir!!

   "Ayaaaahhhh .......!" Sin Wan menjerit dan lari menghampiri tubuh ayahnya yang menggeletak telentang tak bernyawa lagi itu.

   "Ayah ........! Ayah .....!" Dia menubruk dan merangkul tubuh yang sudah menjadi mayat akan tetapi masih hangat itu. Dia tidak perduli tangan dan bajunya terkena darah yang bercucuran keluar dari lambung ayahnya.

   

Lembah Selaksa Bunga Eps 11 Lembah Selaksa Bunga Eps 11 Lembah Selaksa Bunga Eps 11

Cari Blog Ini