Si Pedang Tumpul 9
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Melihat pedang tumpul yang tadinya menangkis tongkatnya itu tiba-tiba saja berputar dan menyambarnya dengan gerakan melengkung, kakek itu terkejut dan kagum. Anak ini telah menguasai tenaga sakti sepenuhnya sehingga dapat mengubah yang keras menjadi lemas seketika! Dia mengelak dari sambaran sinar hijau pedang itu, lalu memainkan Lam-hai Tung-twat dengan hati-hati dan cepat.
Sin Wan mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu sehingga Kui Siang yang menjadi penonton tunggal, tertegun dan kagum. Dua orang yang sedang bertanding itu tidak nampak lagi, yang nampak hanyalah dua gulungan sinar kelabu dan hijau yang saling terjang, saling belit dan saling desak. Dua orang itu mengandalkan ketangguhan ilmu silat yang aneh itu disertai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Selama sepuluh tahun menjauhkan diri dari dunia persilatan, kakek itu sama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi juga tidak pernah meninggalkan latihan. Bahkan dia telah menyempurnakan ilmu-ilmunya, menggabung jurus-jurus terampuh menjadi satu dan menciptakan ilmu tongkat Lam-hai Tung-hoat. Tadinya dia mengira bahwa tentu sebelum seratus jurus, dia akan mampu mengalahkan pemuda murid Sam-sian itu dengan llmu tongkatnya yang baru. Akan tetapi ternyata, pemuda dengan Pedang Tumpul itu bukan saja mampu bertahan, bahkan mengimbangi semua kecepatannya dan membalas serangan tidak kalah gencarnya sehingga keadaan mereka dapat dikatakan seimbang!
Dan sudah hampir seratus jurus lewat dan dia sama sekali tidak mampu mendesak Diam-diam dia merasa girang sekali. Mendapatkan seorang pembantu seperti ini sungguh menyenangkan dan menguntungkan! Diapun tahu bahwa kalau dilanjutkan mengandalkan kecepatan yang dapat diimbangi pemuda itu, akhirnya dia yang malah kalah, yaitu kalah dalam hal pernapasan. Napasnya akan habis sebelum pemuda itu terengah-engah!
"Hyaaaattt .....!" Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan kini tongkatnya digerakkan mengandung tenaga yang dahsyat, tenaga sakti dikerahkan dan dipusatkan pada gerakan menusuk itu.
Sin Wan dapat merasakan datangnya sambaran angin yang dahsyat dan tahulah dia bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sakti yang amat kuat. Maka diapun cepat mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kuat untuk mencoba sampai di mana kekuatan kakek itu.
"Crakkk .........!!!"
Pertemuan antara ranting dan pedang itu membuat tanah di sekelllingnya seperti tergetar hebat dan Sin Wan terdorong ke belakang sampai dua langkah sedangkan kakek itu sama sekali tidak, hanya merasakan tangannya tergetar saja. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih kalah. Namun, cukup membuat Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki kagum bukan main. Jarang ada tokoh kang-ouw, biar datuk sekalipun, yang mampu bertahan terhadap pengerahan tenaga sin-kangnya tadi, dan pemuda ini hanya undur dua langkah saja!
"Bagus!" Serunya dan kini kakek jembel itu menyerang lagi. Serangannya nampak lambat, lama sekali menjadi kebalikan tadi. Kalau tadi dia mengandalkan kecepatan, kini dia mengandalkan tenaga.
Sin Wan maklum akan hal ini dan diapun mengerahkan tenaga sakti dan menandingi kakek itu. Pertandingan dilanjutkan dan beberapa kali kedua senjata itu bertemu menggetarkan tanah yang diinjak Kui Siang yang menonton dengan hati kagum. Tak disangkanya bahwa kakek tua itu sedemikian lihainya, memang agaknya setingkat dengan kepandaian Sam-sian.
Kembali seratus jurus terlewat dalam pertandingan yang didasari tenaga sin-kang ini. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan melengking dan tongkatnya menyambar dari atas ke bawah, memukul ke arah kepala lawan! Sin Wan menggerakkan pedangnya dan menangkis dari bawah ke atas.
"Trakkk!" kembali kedua senjata bertemu akan tetapi sekali ini, Sin Wan tidak terdotong mundur. Agaknya kakek itu mengurangi tenaganya, hanya kini pedang itu melekat pada tongkat! Ketika Sin Wan hendak menarik pedangnya yang tertempel tongkat itu, tiba-tiba dia merasa betapa tongkat itu mengendur, kehilangan tenaga! Sin Wan terkejut.
Tentu kakek itu kehabisan tenaga, pikirnya dan dalam keadaan seperti ini, ada dua jalan saja yang dapat dia lakukan. Kalau dia menghendaki kemenangan, tentu dengan mudah saja dia dapat mengerahkan tenaga dan dari tempelan tongkat yang kini tanpa tenaga itu dia dapat langsung menyerang dengan tusukan atau bacokan dan dengan mudah memperoleh kemenangan.
Akan tetapi, Sin Wan adalah seorang yang sejak kecil dijejali kelembutan oleh ibunya, kemudian digembleng lahir batin oleh Sam-sian. Dia tidak haus kemenangan, apa lagi terhadap kakek jembel yang dihormatinya ini. Tidak, dia tidak mau mempergunakan kesempatan itu untuk menang. Maka, diapun cepat mengendurkan tenaganya dan menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat, untuk memberi kesempatan kepada lawan memulihkan.tenaganya.
Akan tetapi, pada saat dia mengendurkan tenaganya dan menarik pedangnya, tiba-tiba tongkat yang tadinya tidak bertenaga itu, secepat kilat telah meluncur dengan tenaga sepenuhnya dan tahu-tahu telah menempel di lehernya! Tentu saja Sin Wan terkejut bukan main. Ini berarti bahwa dia telah kalah mutlak! Kakek itu terkekeh senang.
"Kau kalah, Sin Wan."
"Tapi, locianpwe tadi seperti kehilangan tenaga ......."
"Itu namanya menggunakan tenaga Mengalah Untuk Menang!"
"Kalau saya tidak menarik pedang dan pada kesempatan itu justeru mencari keuntungan dan menyerang ......."
"Kau juga akan kalah. Coba saja kita ulangi!" kata kakek itu sambil tersenyum. Dia lalu memasang kuda-kuda seperti tadi, dengan tongkatnya di atas. Sin Wan yang merasa penasaran juga memasang kuda-kuda seperti tadi, menempelkan pedangnya pada tongkat.
"AKU mulai!" kata Pek-sim Lo-kai dan tiba-tiba saja tongkat itu mengendor seperti kehilangan tenaga. Sin Wan menggunakan kesempatan ini untuk menggerakkan pedangnya, menusuk ke depan, ke arah leher lawan, tentu saja dengan tenaga terkendali sehingga dapat dia hentikan kalau sudah menempel leher. Akan tetapi, tiba-tiba sekali tubuh kakek itu merendah, kedua lututnya ditekuk dan sebelum Sin Wan dapat menyangkanya, perutnya sudah ditodong ujung tongkat! Kembali dia kalah mutlak!
Kakek itu terkekeh.
"Heh..heh, ilmu Tenaga Mengalah Untuk Menang ini memang ampuh, merupakan satu di antara ilmu yang kudapatkan selama ini. Menghadapi ilmuku ini, menggunakan kesempatan untuk menang berarti kalah, dan kalau mengalah dan menarik pedangmu, berarti kalah juga!"
Sin Wan tertegun kagum.
"Wah, kalau begitu, apakah tidak ada cara untuk menghindarkan diri dari ilmu itu, locianpwe?"
"Tentu saja ada, akan tetapi tidak pernah diduga dan dipergunakan orang tentunya! Inilah letak keistimewaan ilmu ini. Tenagaku yang tiba-tiba mengendur itulah yang menjadi pancingan, menjadi umpan. Kalau lawan merasa bahwa tenagaku mengendur dan hendak mencari kemenangan seperti yang kaulakukan dalam pengulangan tadi, maka dengan mudah aku akan dapat mengalahkan, karena tentu dia mengira aku kehabisan tenaga dan tidak menduga akan seranganku ke arah perut tadi. Kalau dia sebaliknya hendak mengalah, dan menarik senjatanya, aku dapat menggunakan kesempatan itu untuk menyerangnya dengan tiba-tiba dan memperoleh kemenangan. Bagaimana untuk menghindarkan diri dari kekalahan menghadapi ilmuku ini! Heh..heh, namanya juga orang memancing, kalau umpannya tidak disambar ikan, namanya gagal! Kalau engkau tetap dengan sikapmu, tidak mengurangi tenaga menarik kembali senjata, tidak pula menggunakan kesempatan untuk menyerang, berarti aku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menggunakan lain taktik!" Kakek itu tertawa-tawa dan Sin Wan ikut pula tertawa. Ilmu yang aneh dan nakal, akan tetapi memang dapat berhasil baik, menunjukkan betapa cerdiknya kakek ini.
"Ada lagi ilmu baru yang kudapatkan dan belum pernah kucoba, satu di antara ilmu-ilmu yang kuanggap terbaik. Nah, mari kita coba! Engkau berhati-hatilah karena aku akan melancarkan serangkaian serangan yang dahsyat!"
Sin Wan sudah memasang kuda-kuda dengan hati-hati sekali. Kedua kakinya terpentang dan tertekuk sedikit, kokoh kuat dan tangan kanan dengan jari terbuka di pinggang kiri, pedang melintang di depan dada. Dalam keadaan seperti itu, diserang dari manapun dia akan mampu menjaga dirinya.
"Saya telah siap, locianpwe!" katanya gembira. Betapa hatinya tidak gembira. Dia akan melihat ilmu-ilmu yang aneh dan lihai. Sama saja dengan menerima pelajaran ilmu-ilmu baru yang ampuh dari kakek itu.
"Awas seranganku ini!" teriak kakek itu dan tiba-tiba tubuhnya berpusing seperti gasing! Saking cepatnya, sukar diikuti dengan pandang mata, biar pandang mata terlatih seperti mata Sin Wan sekalipun. Dan pusingan atau gasingan hidup itu berputar dan menggelinding ke arah Sin Wan. Pemuda ini tidak dapat melihat mana tongkat lawan dan bagian tubuhnya yang mana yang diserang, maka untuk melindungi tubuhnya, dia memutar pedang menjadi perisai. Terdengar suara berdentang beberapa kali dan gasing manusia itupun menggelinding pergi, lalu membalik dan menyerang kembali dalam keadaan masih berpusing.
Sin Wan sama sekali tidak mampu membalas. Dia hanya melindungi diri setiap kali gasing manusia itu mendekat, dan ketika gasing itu menggelinding dekat untuk yang keempat kalinya, dan dia memutar pedang menjadi perisai, tiba-tiba gasing itu mencelat ke atas dan ketika dia memutar pedangnya ke atas, dia merasa rambutnya seperti ditarik dan gasing hidup itu telah melayang turun kembali dan nampak kakek itu terkekeh.
"Heh..heh..heh, kalau yang keempat kalinya itu aku gagal, dua kali serangan lagi aku tentu akan roboh sendiri. Siapa tahan sudah setua ini disuruh berpusing seperti gasing. Sekarangpun bumi seperti dilanda gempa hebat, ha..ha!"
Sin Wan meraba rambutnya dan ternyata kain pengikat rambutnya telah lenyap dan ketika dia memandang lagi, kain itu sudah terkait di ujung tongkat Pek-sim Lo-kai! Tahulah dia bahwa kembali dia harus mengaku kalah karena kalau yang dihadapinya seorang musuh, tentu bukan kain pengikat rambut yang dikait!
"Hebat sekali gerakan aneh tadi, locianpwe. Ilmu apakah itu tadi?"
"Itu namanya Langkah Angin Puyuh! Bukan saja dapat dipergunakan untuk menyerang, akan tetapi juga untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Akan tetapi, harus kuat terhadap putaran itu, kalau tidak, kepala bisa pening dan baru beberapa putaran sudah roboh sendiri. Membutuhkan latihan!"
"Sungguh hebat sekali, locianpwe. Masih ada lagikah ilmu aneh yang boleh kami lihat?" kini Kui Siang berkata, merasa kagum bukan main karena dengan dua macam ilmu itu saja, demikian mudahnya suhengnya dikalahkan.
"Ha..ha..ha, masih banyak, nona ........"
"Kenapa locianpwe demikian sungkan menyebut nona kepadaku? Namaku Lim Kui Siang," kata gadis itu ramah.
"Heh..heh, Kui Siang. Aku sudah tua. Terlalu lama bertanding, napasku bisa putus dan tenagaku habis. Sekarangpun aku sudah haus sekali dan lapar bukan main."
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan ke selatan, locianpwe. Bukankah kota Peking tidak jauh lagi?" kata Sin Wan.
"Di sana kita dapat makan di rumah makan."
"Kalian yang bayar? Aku seorang pengemis tua, mana bisa makan di rumah makan?"
"Kami akan membayar, locianpwe. Pilihlah makanan yang paling enak, dan kami akan membayar," kata Kui Siang.
Kakek itu bersorak.
"Ha..ha..ha! Hari ini engkau mujur, perut dan mulut. Mari kita berangkat!" Dan diapun sudah berlari dengan cepat seperti terbang saja.
Sin Wan dan Kui Siang saling pandang, tersenyum dan merekapun segera mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar kakek itu, menuju ke selatan, ke kota Peking.
Peking merupakan kota raja ke dua dari kerajaan baru Beng-tiauw. Biarpun kota raja kini dipindahkan ke Nan-king di tepi Sungai Yang-ce, namun bekas kota raja Peking di utara itu masih dipertahankan sebagai pangkalan yang penting. Kota ini selain memiliki bangunan-bangunan besar dan indah, mempunyai banyak penduduk dan menjadi kota yang ramai, juga merupakan benteng utama di utara untuk menentang para penyerbu dari utara. Di Peking ini, Kaisar Thai-cu menempatkan seorang puteranya sebagai seorang raja muda.
Karena itu, kekuasaan Raja Muda Chu Hoan Ong cukup besar karena selain sebagai raja muda, dia juga putera Kaisar Thai-cu.
Bahkan balatentara kerajaan Beng sebagian besar berada di daerah utara ini untuk membendung bahaya yang mungkin datang dari Bangsa Mongol yang tentunya saja tidak rela membiarkan kekuasaannya di selatan digulingkan dan mereka selalu berusaha untuk berjaya kembali.
Ketika mereka tiba di luar pintu gerbang Peking, Sin Wan teringat akan sesuatu dan berkata kepada Pek-sim Lo-kai.
"Locianpwe sudah bertahun-tahun meninggalkan dunia persilatan, akan tetapi tentu setiap orang pengemis akan mengenal locianpwe sebagai pemimpin besar mereka. Kalau sudah begitu, tentu kami tidak mungkin lagi dapat mendekati locianpwe yang tentu akan disambut dengan meriah. Kami bukan segolongan, maka kami tidak ingin membuat locianpwe merasa kikuk."
"Heh..heh, siapa yang akan mengenal seorang jembel tua seperti aku? Dahulu, yang berjuluk Pek-sim Lo-kai adalah seorang tua gagah yang selalu mengenakan pakaian putih bersih dan membawa pedang, rambutnyapun belum putih dan selalu terawat rapi. Sekarang, aku hanyalah seorang tua she Bu yang berpakaian butut, rambut dan kumis jenggot tidak terawat dan putih semua, juga tidak membawa pedang. Takkan ada yang mengenalku, dan akupun tidak suka dikenal sebelum aku mengambil keputusan apa yang akan kulakukan terhadap para kai-pang itu, terdorong oleh percakapan kita tadi."
Merekapun memasuki pintu gerbang dan memang tidak ada yang memperhatikan Bu Lee Ki. Juga tidak ada yang memperhatikan Sin Wan, akan tetapi hampir setiap orang pria yang berpapasan dengan Kui Siang, selalu memandang, bahkan menengok. Hal ini tidak aneh bagi Sin Wan yang menyadari akan kecantikan sumoinya, dan diam-diam dia selain merasa bangga bahwa sumoinya dikagumi hampir setiap orang pria! Juga merasa beruntung karena dialah yang dapat bergaul akrab dengan sumoinya.
Kota Peking memang besar dan megah, juga ramai. Selain merupakan daerah pertahanan dan benteng utama terhadap musuh dari utara, juga Peking menjadi tujuan para pedagang yang datang dari utara untuk bertukar barang dagangan.
Semenjak jatuhnya pemerintah Mongol dan berdirinya Kerajaan Beng-tiauw. Kaisar Thai-cu pendiri Beng-tiauw yang berkedudukan di Nan-king, mengangkat seorang di antara putera-puteranya untuk menjadi raja di Peking. Kaisar Thai-cu memang cerdik dan bijaksana. Dia tahu bahwa di antara semua puteranya, Yung Lo adalah seorang yang paling gagah perkasa dan ahli perang. Maka, dia mengangkat Yung Lo menjadi raja muda di Peking dan bertugas membendung musuh yang berani menyerbu dari utara. Raja Muda Yung Lo memang berbakat menjadi panglima. Dia memimpin pasukan besar melakukan pembersihan di daerah utara, dan diapun pandai mengajak rakyat untuk bersama pasukannya mempertahankan kedaulatan pemerintahan bangsa sendiri setelah seabad lamanya dicengkeram penjajah Mongol. Karena sikapnya ini maka para pendekar di dunia persilatan merasa suka dan hormat kepadanya dan mendukungnya.
Raja muda Yung Lo juga mengetahui bahwa golongan pengemis yang bergabung dalam kai-pang (perkumpulan pengemis) merupakan pejuang yang gigih ketika rakyat memberontak terhadap kerajaan Mongol. Maka setelah dia menjadi raja muda di Peking, diapun merangkul kai-pang dan memberi banyak sumbangan untuk kemajuan perkumpulan-perkumpulan pengemis. Dia pula, sejalan dengan politik ayahnya yaitu Kaisar Thai-cu di Nan-king, yang menganjurkan kepada para pimpinan kai-pang untuk mempersatukan seluruh kai-pang agar jangan sampai timbul persaingan dan bentrokan. Persatuan rakyat merupakan syarat mutlak untuk kekuatan pemerintah, juga memungkinkan kehidupan rakyat yang tenteram sehingga memudahkan tercapainya kesejahteraan.
Pada waktu itu, perkumpulan pengemis terbesar dan yang paling kuat di daerah utara adalah Ang-kin Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah). Pakaian para anggauta pengemis ini bermacam-macam warnanya, tentu saja dengan tambalan sebagai ciri khas pengemis. akan tetapi setiap anggauta selalu memakai sabuk berwarna merah, sesuai dengan namanya, yaitu Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah.
Pada waktu sebelum penjajah Mongol dijatuhkan, Ang-kin Kai-pang merupakan perkumpulan pejuang yang gagah, akan tetapi ketika itu ketuanya tidak mau bekerja sama dengan pihak kerajaan baru. Usaha Raja Muda Yung Lo untuk merangkul perkumpulan ini selalu gagal. Akan tetapi, setelah ketua yang keras hati ltu diganti oleh ketua baru pilihan Raja Muda Yung Lo, kini perkumpulan itu benar-benar telah menjadi bawahan raja muda ini dan setia kepada pemerintah. Ketua yang sekarang, yang baru dua tahun menjadi ketua Ang-kin Kai-pang, bernama Thio Sam Ki, berusia empatpuluh tahun dan terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi.
Berkat bimbingan Thio Sam Ki dan pengarahan Raja Muda Yung Lo, maka kini terjadi perubaban besar-besaran dalam perkumpulan itu, Tidak pernah lagi ada anggauta Ang-kin Kai-pang yang melakukan tindakan kekerasan. Mereka bahkan tertib sekali, dan setiap orang anggauta kai-pang merupakan orang yang berwatak gagah sehingga disukai oleh rakyat karena mereka itu selalu turun tangan membela rakyat tertindas. Sejak Ang-kin Kai-pang dipimpin oleh ketuanya yang baru, para anggauta kai-pang yang berkeliaran di kota Peking dan sekitarnya, seolah-olah menjadi petugas-petugas keamanan sehingga tidak ada penjahat yang berani melakukan aksinya. Pasukan keamanan pemerintah mendapatkan bantuan yang besar sekali dari para pengemis itu.
Bahkan mereka ini mengemis atau mohon sumbangan dari rakyat sekedar untuk menyesuaikan keadaan mereka sebagai anggauta perkumpulan pengemis belaka. Mereka mengemis kepada orang-orang yang mampu, dan diberi berapapun akan mereka terima dengan senang hati. Mereka memang tidak perlu menggunakan kekerasan karena para hartawan dengan rela memberi sumbangan karena para pengemis itu menjaga ketenteraman. Selain itu, Ang-kin Kai-pang juga tidak takut kekurangan biaya karena Raja Muda Yung Lo selalu mengulurkan tangan membantu.
Siang hari itu, amat ramai di sebuah restoran besar yang berada di pusat keramaian, yaitu di daerah pasar. Rumah makan cat hijau itu memang terkenal dengan masakannya sehingga setiap hari hampir selalu penuh pengunjung. Bahkan para pendatang dari luar kota Peking selalu makan di tempat ini.
Bu Lee Ki, Sin Wan, dan Kui Siang mendapatkan tempat duduk di luar, karena di sebelah dalam, juga di loteng, telah penuh tamu. Maklum, waktu itu memang waktunya makan siang dan hawa udara amat dinginnya, maka semua tamu lebih senang mendapatkan meja di sebelah dalam. Yang membuat hawa semakin dingin menusuk tulang walaupun tengah hari adalah angin yang bertiup dari utara. Namun bagi tiga orang ini yang terlatih dan memiliki sin-kang kuat, hawa dingin itu tidak begitu mengganggu.
Tanpa sungkan lagi, dengan gembira dan wajahnya penuh senyum, Bu Lee Ki melihat menu makanan dan memesan masakan-masakan yang paling istimewa, tidak memperdulikan harganya. Sin Wan dan Kui Siang ikut gembira. Mereka memang sudah menjanjikan untuk menjamu kakek ini sepuasnya dan sekenyangnya.
Di luar rumah makan, di pinggir jalan dan di sekitar pertokoan di daerah pasar itu, nampak beberapa orang pengemis bersabuk merah berkeliaran. Mereka itu rata-rata bersikap gagah, dengan tubuh yang kekar dan wajah lembut penuh senyum, sama sekali tidak menimbulkan kesan angker. Kalau Bu Lee Ki sendiri sama sekali tidak memperdulikan mereka, sebaliknya diam-diam Sin Wan dan Kui Siang memperhatikan gerak gerik para pengemis bersabuk merah itu. Ketika Bu Lee Ki sibuk memilih masakan dan yang diperhatikannya hanya susunan daftar harga masakan, Sin Wan memperhatikan beberapa orang pengemis yang berada di luar rumah makan.
Betapa beda jauhnya sikap mereka itu dengan apa yang didengarnya dari keterangan Bu Lee Ki. Menurut keterangan kakek itu, kai-pang yang paling berpengaruh di Peking adalah Ang-kin Kai-pang yang cabang-cabangnya terdapat di seluruh daerah utara. Dan menurut kakek itu, Ang-kin Kai-pang merupakan kai-pang yang paling keras, dipimpin oleh orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan. Biarpun bukan tergolong penjahat, namun mereka itu suka sewenang-wenang, memaksakan keinginan dan sama sekali tidak pernah mau tunduk terhadap pemerintah, walaupun mereka ikut pula berjuang melawan penjajah, Akan tetapi, melihat beberapa orang pengemis sabuk merah yang berada di luar rumah makan, sungguh berbeda dari gambaran kakek itu. Memang beberapa orang, pengemis di luar itu masih muda dan bertubuh tegap dan kokoh, jelas menunjukkan bahwa mereka itu orang-orang yang kuat, dan tidak pantas menjadi pengemis, namun wajah mereka itu sama sekali tidak membayangkan kekerasan.
Bahkan mereka tersenyum-senyum dan juga orang yang berlalu lalang di situ nampak tidak takut kepada mereka, malah ada beberapa orang yang berhenti dan bercakap-cakap dengan mereka seperti layaknya sahabat yang akrab. Ada pula wanita yang agaknya baru pulang berbelanja, sengaja memberikan bungkusan makanan kepada para pengemis itu dengan sikap wajar dan ramah, diterima dengan sikap sopan oleh para pengemis sabuk merah itu! Dilihat dari keadaan itu dan sikap mereka, Sin Wan dan Kui Siang hampir yakin bahwa para pengemis itu tidak dapat digolongkan jahat. Dan merekapun melihat betapa dua orang di antara mereka kini mendekati rumah makan dan seringkali mereka itu melirik ke arah Bu Lee Ki dengan alis berkerut!
Kakek itu sama sekali tidak perduli, apa lagi setelah hidangan yang mereka pesan datang. Sambil tersenyum-senyum, tanpa malu-malu lagi, Bu Lee Ki menyerbu masakan-masakan itu seperti seorang yang kelaparan bertemu makanan enak. Sepasang sumpitnya bergerak cepat dari satu ke lain masakan, dan mangkok demi mangkok nasi putih dilahapnya. Mulut yang tidak bergigi lagi namun masih kuat mengunyah segala macam daging dan sayur itu tidak pernah berhenti bergerak sedetikpun. Bercawan-cawan arak mendorong makanan ke dalam perutnya.
Melihat kakek itu demikian lahap dan nampak nikmat sekali, Sin Wan dan Kui Siang juga ikut bergembira. Biarpun baru saja mereka berkenalan dengan Bu Lee Ki, namun mereka merasa suka dan sayang kepada kakek tua itu. Kakek itu nampak demikian lembut, ramah dan selalu cerah wajahnya, halus gerak-geriknya dan bicaranya biarpun tanpa pura-pura namun selalu lembut dan tidak menyinggung perasaan. Pada hal, mereka yakin bahwa di balik semua kelembutan dan kemiskinan itu, kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!
Ketika Kui Siang menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan yang sudah kosong itu, Bu Lee Ki mengangkat kedua tangan ke atas.
"Wah, sudah, sudah cukup, Kui Siang. Apa kalian ingin melihat aku mabok dan harus digotong keluar?"
"Akan tetapi engkau belum kelihatan mabok, locianpwe," kata Kui Siang.
"Heh..heh..heh, segala hal ada batasnya! Cawan ini yang terakhir dan kalau kalian sudah selesai makan, kita keluar dari sini," katanya dan sekali tuang saja arak dari cawan itu sudah memasuki perutnya.
Pada saat itu, dua orang pengemis berpakaian kuning bersih dengan sabuk merah di pinggang, menghampiri meja mereka yang memang berada di bagian luar rumah makan. Mereka berusia kurang lebih tigapuluh tahun, keduanya bertubuh kekar dan biarpun pakaian mereka dihias tambalan, namun dengan sabuk merah melilit pinggang, mereka bardua lebih patut menjadi ahli silat dari pada menjadi pengemis.
Dengan sikap hormat mereka mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan kepada Sin Wan dan Kui Siang dan seorang di antara mereka berkata.
"Harap kongcu (tuan muda) dan siocia (nona) suka memaafkan kami. Bukan maksud kami menyinggung ji-wi (kalian), akan tetapi kami ingin bicara dengan jembel tua ini."
Alis di atas mata Kui Siang sudah berkerut karena hatinya tidak senang mendengar kakek yang duduk semeja dengannya itu disebut jembel tua, akan tetapi ia didahului Sin Wan yang berkata acuh.
"Silakan."
Dua orang anggauta Ang-kin Kai-pang itu lalu menghadapi Bu Lee Ki yang acuh sambil mengelus perutnya yang baru saja diisi penuh, matanya mengantuk karena kekenyangan.
"Orang tua," kata seorang di antara mereka yang berjenggot pendek.
"Apa artinya kemunculanmu ini? Apakah engkau sengaja hendak menghina kami dari Ang-kin Kai-pang?"
Bu Lee Ki membuka mata, menggeliat seperti seekor kucing dengan kaki tangan terentang sehingga kakinya yang panjang dan telanjang itu hampir mengenai muka si jenggot pendek yang melangkah mundur dengan jengkel.
"Aaaahhh, apa ....? Apa kaubilang dan kau bicara kepada siapa?"
"Aku bicara kepadamu! Kalau engkau benar seorang pengemis, kenapa engkau bersikap royal, makan masakan mahal dan bersikap seperti hartawan? Dari golongan kai-pang manakah engkau? Dan kalau sebaliknya engkau seorang hartawan, apa perlunya pura-pura menjadi pengemis dengan pakaian butut dan kaki telanjang? Apakah engkau hendak mengejek dan menghina kami?"
Bu Lee Ki terbelalak, seperti orang bingung.
"Ehh ......? Ohhhh ........?" Lalu dia menoleh kepada Sin Wan.
"Heh..heh, Sin Wan, mereka ini ........ heh..heh, aku malas menjawab. Engkau sajalah yang mewakili aku menjawab." Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menjulurkan kedua kakinya ke bawah meja, bersandar kepada kursinya dan tidur pulas, mulutnya yang terbuka mendengkur!
Kui Siang yang sejak tadi sudah marah mendahului Sin Wan dan menjawab sambil memandang marah dan suaranya ketus.
"Kalian berdua ini manusia lancang dan usil. Perduli apa kalian dengan orang tua ini? Apakah dia pengemis, ataukah dia jenderal ataukah raja, apa hubungannya denganmu dan ada urusan apa kalian ribut-ribut? Dia mau memakai pakaian rombeng, atau memakai pakaian kaisar, tidak ada sangkut pautnya pula dengan kalian. Yang penting, dia memakai pakaiannya sendiri, tidak mencuri dan di sini dia makanpun membayar! Hayo kalian pergi cepat dari sini!"
Si jenggot pendek dan temannya menoleh kepada Kui Siang dengan muka merah. Mereka adalah orang-orang gagah, anggauta Ang-kin Kai-pang, sudah biasa disegani dan dihormati orang dan siang ini tiba-tiba saja dicaci maki seorang gadis! Pada hal, semalam mereka tidak mimpi apa-apa! Si jenggot pendek menjura kepada Kui Siang,
"Maafkan kami, nona. Kami tidak berurusan dengan nona, dan kalau andainya orang tua ini tidak berpakaian pengemis, kamipun tidak akan mencampuri urusannya, asal dia tidak melakukan kejahatan. Akan tetapi, siapapun yang berpakaian pengemis harus mentaati peraturan kai-pang! Kalau tidak, tentu kami yang akan menjadi bulan-bulan!"
Sin Wan khawatir kalau-kalau Kui Siang tidak mampu menahan kemarahannya dan terjadi perkelahian. Dia cepat bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dua orang pengemis itu lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda menghormat. Ini saja sudah luar biasa! Seorang kongcu (tuan muda) memberi hormat kepada dua orang pengemis!
"Sobat, sudahlah maafkan kami. Kami adalah pendatang dari jauh yang tidak tahu akan peraturan di sini. Orang tua ini adalah menjadi tanggung jawab kami dan harap ji-wi (kalian berdua) tidak mengganggunya lagi."
"Kalau kalian menghendaki sedekah, katakan saja, tidak perlu mengganggu orang makan," kata pula Kui Siang yang juga ikut bangkit berdiri dan mengambil dua keping uang dari dalam saku di pinggangnya, Nah, ini kuberi sedekah untuk kalian!"
Gadis itu melemparkan dua keping uang itu kepada mereka. Karena ada benda menyambar ke arah mereka, dua orang anggauta Ang-kin Kai-pang cepat menyambut dengan tangan. Mereka melihat ke arah benda yang berada di tangan mereka dan mata mereka terbelalak. Sekeping uang tembaga yang berada di tangan mereka telah berubah bentuk, hampir tergulung bundar dan dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga jari-jari tangan yang dapat meremas kedua keping uang tembaga menjadi seperti itu. Otomatis mereka, menurunkan pandang mata menuju ke arah tangan gadis itu. Jari-jari yang lembut kecil-kecil itukah yang memiliki tenaga sehebat itu? Mereka lalu menjura kepada Sin Wan dan Kui Siang.
"Maafkan kami, dengan ji-wi kami memang tidak mempunyai urusan. Dan biarlah sementara ini mengingat kehadiran ji-wi, kami tidak akan mendesak kepada pengemis tua itu dan hanya akan melapor kepada pimpinan kami." Mereka lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar.
Setelah mereka pergi, Sin Wan dan Kui Siang duduk kembali dan kakek Bu Lee Ki masih tidur mendengkur. Sin Wan tidak menyetujui perbuatan sumoinya tadi, akan tetapi dia tidak mau menegur, takut kalau menyinggung perasaan Kui Siang. Dia hanya berkata lirih agar tidak terdengar oleh para tamu lain yang tadi memperhatikan peristiwa itu dengan diam-diam saja.
"Kulihat mereka itu bukan orang jahat. Sikap mereka baik dan sopan."
"Akan tetapi mereka menghina Bu locianpwe. Mereka tinggi hati!" bantah Kui Siang.
Kakek Bu Lee Ki menggeliat dan menguap, lalu membuka kedua matanya.
"Eh? Aku sampai tertidur. Wah, perut kenyang bikin orang mengantuk. Mari kita pergi. Sudah kalian bayar harga makanan?"
Sin Wan menggapai pelayan yang segera datang menghampiri. Para pelayan memang sudah memperhatikan mereka sejak terjadinya keributan kecil dengan dua orang anggauta Ang-kin Kai-pang tadi dan merasa girang bahwa tiga orang tamu itu membayar harga makanan dan segera pergi dari situ agar tidak mendatangkan keributan lebih lanjut.
Mereka berjalan-jalan dan melihat betapa seluruh kota Peking dikuasai oleh para pengemis Ang-kin Kai-pang. Tidak ada seorangpun pengemis yang tidak bersabuk merah. Tidak mengherankan kalau setiap orang pengemis tentu melirik ke arah Bu Lee Ki yang berpakaian pengemis akan tetapi tanpa sabuk merah.
Dan di manapun mereka berada dan melihat anggauta Ang-kin Kai-pang. selalu para pengemis itu bersikap baik dan sopan.
"Heh..heh, agaknya memang telah terjadi perubahan," bisik Bu Lee Ki kepada dua orang anak muda itu.
"Sudah pasti terjadi perubahan pada Ang-kin Kai-pang. Mereka sopan dan tertib, hal yang sungguh menggembirakan hatiku."
"Akan tetapi dua orang tadi menghinamu, locianpwe, Mereka menyebutmu jembel tua. Hati siapa tidak akan menjadi panas?" kata Kui Siang.
"Kakek Bu Lee Ki terkekeh-kekeh.
"Heh..heh..heh, lucunya! Aku memang pengemis sejak muda, aku memang jembel tua. Sebutan jembel tua bahkan merupakan sebutan kehormatan bagiku, seperti seorang kaisar kalau disebut Sribaginda! Kenapa engkau malah yang menjadi panas hati?"
Kui Siang mengerutkan alisnya akan tetapi tidak mampu menjawab karena baru sekarang ia menyadari betapa janggal sikapnya! Kakek ini memang seorang kakek pengemis, bahkan pemimpin besar seluruh kai-pang, berarti rajanya jembe!! Bagi kakek itu, disebut kakek jembel tentu bukan merupakan penghinaan sama sekali, dan ia memandang dan mendengar sebutan itu sebagai seorang awam yang bukan golongan pengemis!
"Locianpwe, agaknya hal ini merupakan pertanda baik bahwa locianpwe memang sudah sepatutnya kalau kembali memimpin mereka. Kalau mereka berdisiplin dan baik, bukankah akan lebih mudah untuk mempersatukan mereka dan membuat pembersihan sehingga tidak ada lagi kai-pang yang kotor?"
Kakek itu mengangguk-angguk. Melihat sikap para pengemis di Peking, dan mendengar ucapan Sin Wan, timbul semangat dan gairahnya.
"Engkau benar, Sin Wan. Apa sih artinya hidup ini kalau tidak ada guna dan manfaatnya bagi manusia lain? Bukti yang paling nyata dari kebaktian kepada Tuhan adalah berbuat baik terhadap manusia.
"Mari kalian ikut bersamaku mengunjungi pusat Ang-kin Kai-pang!"
Melihat semangat dari kakek itu yang kini wajahnya berseri, Sin Wan dan Kui Siang ikut bergembira. Mereka berdua merasa amat suka kepada kakek itu dan ingin melihat perkembangan usaha kakek itu mempersatukan kembali seluruh kai-pang, sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju Nan-king.
Kakek Bu Lee Ki tertegun ketika dia berdiri di depan pintu gerbang markas Ang-kin Kai-pang. Tentu saja dia tahu di mana markas itu karena dahulu, di waktu dia masih memegang kedudukan pemimpin besar kai-pang yang sampai kini belum diganti, dia pernah datang ke markas semua perkumpulan besar kai-pang. Yang membuat dia tertegun adalah perubahan yang terjadi di situ. Baru pintu gerbangnya saja sudah amat megah dan dari situ nampak bangunan yang biarpun sederhana, namun besar dan kokoh, bukan bangunan yang dahulu lagi. Bangunan ini besar dan pekarangannya luas, bahkan tanaman di pekarangan itu nampak terawat dan teratur baik sehingga tempat yang bersih itu sungguh tidak pantas menjadi bangunan pusat perkumpulan pengemis! Di atas pintu gerbang itu terdapat papan tulis yang gagah dan indah seperti papan nama perusahaan besar saja, berbunyi":
ANG-KIN KAI-PANG.
Melihat tiga orang itu berdiri di depan pintu gerbang, dua orang anggauta Ang-kin Kai-pang segera menghampiri mereka dari dalam.
"Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?" tanya seorang di antara mereka singkat, namun sikapnya cukup menghormat,
Dengan sikap acuh dan suara sambil lalu kakek itu berkata.
"Aku ingin bertemu dengan pimpinan Ang-kin Kai-pang."
Agaknya, para anggauta Ang-kin Kai-pang sudah mendengar tentang tiga orang ini. Hal ini nampak pada sikap mereka yang tidak merasa heran dengan ucapan kakek itu, bahkan dengan tegas mereka lalu membungkuk dan seorang di antaranya berkata.
"Silakan masuk. Pimpinan kami sudah menanti kunjungan sam-wi (anda bertiga)!"
Dengan wajah tersenyum Bu Lee Ki melangkah masuk ke dalam pekarangan itu, diikuti Sin Wan dan Kui Siang yang diam-diam merasa tegang karena mereka maklum bahwa mereka memasuki "sarang harimau". Kini tampak dari kanan kiri banyak anak buah Ang-kin Kai-pang berlarian, juga dari dalam gedung besar itu bermunculan lebih banyak lagi. Mereka itu membentuk pagar dan ketika Bu Lee Ki dan dua orang muda tiba di beranda, mereka sudah dihadang oleh pagar manusia yang mengepung mereka dengan setengah lingkaran. Jumlah para anggauta Ang-kin Kai-pang tidak kurang dari tigapuluh orang dan karena mereka semua bersabuk merah walaupun pakaian mereka bermacam-macam. maka mereka seperti sekelompok murid perguruan silat saja.
Melihat pagar manusia itu menghadang dan mengepung, Bu Lee Ki terkekeh.
"Heh..heh-heh, mana pimpinan kalian? Aku ingin bertemu!"
Daun pintu lebar yang menembus ke ruangan sebelah dalam terbuka, dan kini nampaklah belasan orang di sebelah dalam sedang duduk dan agaknya mereka sedang mengadakan pesta! Mereka yang berada di dalam itu menoleh ke luar, kemudian merekapun bangkit berdiri. Tujuh orang yang berpakaian sutera dengan sabuk merah berjalan di depan sedangkan di belakang mereka nampak lima orang berpakaian perwira tinggi, para pimpinan Ang-kin Kai-pang sedang menerima dan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu para perwira itu, dan mereka sedang makan minum ketika kedatangan tiga orang itu mengganggu. Tentu mereka semua sudah mendengar laporan dua orang anggauta perkumpulan mereka tentang peristiwa di rumah makan, maka kini tujuh orang pemimpin, bahkan lima orang tamu mereka yang agaknya sudah mendengar pula, merasa tertarik dan semua keluar meninggalkan meja hidangan!
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam-diam, biarpun mulutnya tersenyum-senyum dan matanya menjadi sipit hampir terpejam, Bu Lee Ki memperhatikan wajah ketujuh orang pemimpin Ang-kin Kai-pang dan dia masih mengenal beberapa orang di antara mereka. Sebaliknya, para pimpinan itu ada yang merasa kenal dengan kakek pengemis itu, juga di antara para anggauta Ang-kin Kai pang yang sudah tua, dia yang merasa tidak asing, akan tetapi mereka tidak dapat mengingat siapa adanya kakek pengemis itu.
Tujuh orang pimpinan itu berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun dan sikap mereka berwibawa. Seorang di antara mereka yang berjenggot panjang, berusia limapuluhan tahun, segera melangkah maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada tiga orang tamu yang tidak diundang itu.
"Siapakah anda bertiga dan ada keperluan apa berkunjung ke tempat kami ini?"
Karena Sin Wan dan Kui Siang datang ke tempat itu hanya sebagai pengikut Bu Lee Ki, maka mereka diam saja, menyerahkan jawabannya kepada kakek itu.
"Mana ketua Ang-kin Kai-pang? Suruh dia keluar menemuiku! Aku hanya mau bicara dengan ketua kalian," kata kakek itu, karena dia bicara sambil tersenyum dan suaranya lembut, maka dalam ucapan itu tidak terkandung nada yang angkuh.
Biarpun demikian, tujuh orang pimpinan perkumpulan pengemis itu saling pandang dan wajah mereka berubah tak senang karena Mereka merasa diremehkan sekali oleh kakek pengemis asing ini. Ketua mereka, Thio Sam Ki, memang tidak berada di situ pada saat itu, akan tetapi karena mendongkol, mereka tidak mau membiarkan kakek ini pergi begitu saja sebelum merasakan keangkeran Ang-kin Kai-pang agar nama dan kehormatan mereka tetap terjaga.
"Hemm, orang tua. Tidak begitu mudah untuk bertemu dengan ketua kami. Kalau engkau mampu melewati rintangan dan masuk sampai ke ruangan tamu di dalam, baru engkau berharga untuk bertemu dan menghadap ketua kami."
Setelah berkata demikian, tujuh orang pimpinan itu melangkah mundur dan si jenggot panjang memberi isyarat kepada anak buahnya. Begitu tujuh orang pimpinan dan lima orang perwira tinggi yang menjadi tamu itu masuk kembali, pintu besar dibiarkan terbuka, akan tetapi kini di depan pintu, di tempat para pimpinan tadi berdiri, telah berdiri enam orang tinggi besar dengan tongkat merah di tangan. Mereka menuruni anak tangga dan membuat gerakan menggeser kaki, membuat setengah lingkaran menghadapi tiga orang itu.
"Bolehkah aku yang menghadapi mereka?" tanya Kui Siang kepada Bu Lee Ki dan kakek ini mengangguk sambil tersenyum, dan diapun mundur agak jauh lalu duduk di bawah pohon nongkrong seenaknya dengan santai untuk menjadi penonton!
"Sumoi, kita tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun, harap jangan sampai mencelakai orang!" kata Sin Wan yang khawatir kalau-kalau dalam kemarahannya, sumoinya akan membunuh atau melukai orang sampai parah.
Kui Siang mengangguk.
"Jangan khawatir, suheng."
Lega rasa hati Sin Wan mendengar jawaban itu dan diapun mengundurkan diri bergabung dengan Bu Lee Ki di bawah pohon.
Melihat betapa mereka akan dilawan oleh seorang gadis, enam orang itu tetap dengan pengepungan mereka. Mereka sudah mendengar akan kelihaian gadis ini maka tidak berani memandang ringan.
"Nona, keluarkan senjatamu. Kami akan menyerangmu dengan tongkat kami," kata seorang di antara mereka yang bertubuh gendut sehingga tidak patut menjadi pengemis, patutnya menjadi seorang cukong.
Ucapan ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka ini bukan orang.orang yang berwatak curang. Sebagai jawaban, Kui Siang meraba pinggangnya dan begitu tangannya bergerak, nampak sinar yang menyilaukan mata berkelebat dan tahu-tahu tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang tipis dan yang tadi ia lilitkan di pinggangnya. Itulah Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) yang ampuh!
Melihat ini, enam orang anggauta Ang-kin Kai-pang itu terbelalak kagum.
"Nona, sebetulnya nona tidak berhak mencampuri urusan di antara pengemis, akan tetapi karena nona datang bersama pengemis tua itu, terpaksa kami akan melayani nona. Harap nona memperkenalkan diri lebih dulu, siapakah nona dan apa hubungan nona dengan pengemis tua itu," kata pula si perut gendut yang agaknya menjadi pemimpin dari barisan tongkat enam orang itu.
"Namaku Lim Kui Siang dan locianpwe itu adalah, paman guruku!" jawab Kui Siang.
Bu Lee Ki adalah sababat baik guru-gurunya, maka sudah sepatutnya kalau ia mengakuinya sebagai paman guru.
"Heh..heh..heh, engkau memang murid keponakan yang baik, Kui Siang, hajar saja orang-orang yang tak tahu diri itu!" dari tempat dia menonton, Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki berseru.
"Bersiaplah nona, akan kami mulai!" Si gendut berseru nyaring dan ini merupakan aba-aba bagi para temannya untuk mulai dengan serangan mereka. Enam batang tongkat merah menyambar dari depan, kanan dan kiri. Ada yang menusuk ke arah dada, ada yang menghantam ke arah kepala dari atas dan ada pula yang membabat ke arah kedua kaki. Dan setiap batang tongkat mengeluarkan angin berdesing, tanda bahwa keenam orang itu memiliki tenaga yang cukup kuat!
Dengan tenang dan mudah saja Kui Siang melangkah mundur dan semua serangan itu pun luput. Akan tetapi, enam orang itu melanjutkan serangan sambil menambah tenaga dan kecepatan sehingga enam batang tongkat berubah menjadi gulungan sinar merah yang menyambar dari semua jurusan. Serangan itu datangnya tidak berbareng, melainkan susul menyusul dan bertubi-tubi sehingga tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada Kui Siang untuk membalas.
Gadis ini masih bersikap tenang saja. Dengan menggunakan langkah-langkah cepat dan aneh Hui-niau-poan-soan (Langkah Ajaib Burung Terbang) ia mampu mengelak dari semua serangan. Bagi yang menonton pertandingan itu, nampak seolah-olah gadis cantik itu sedang menari-nari, mempergunakan enam helai selendang merah!
Tiba-tiba, enam orang yang mengepung itu mengubah gerakan tongkat mereka. Kini mereka menyerang dengan berbareng. Enam batang tongkat menyambar dari enam penjuru, dari sekeliling tubuh gadis itu. Kui Siang memutar tubuh dan menggerakkan pedangnya. Terdengar bunyi nyaring berdenting ketika enam batang tongkat itu bertemu pedang. Enam orang itu berseru kaget karena tongkat mereka telah patah ketika bertemu pedang tipis dan pada saat mereka mundur, Kui Siang sudah menggerakkan kedua kakinya bertubi-tubi yang menyambar bagaikan kilat cepatnya, membuat orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan!
Mengerti bahwa mereka telah kalah, enam orang itu bangkit, memberi hormat kepada Kui Siang lalu mengundurkan diri. Terdengar tepuk tangan dari dalam dan ketika Kui Siang mengangkat muka memandang, yang bertepuk tangan itu adalah lima orang perwira tinggi yang tadi melanjutkan makan minum sebagai tamu sambil menonton pertandingan silat. Akan tetapi, tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang tidak bertepuk tangan, dan wajah mereka nampak muram dan penasaran. Enam orang jagoan mereka telah tumbang semudah itu ditangan seorang gadis muda!
"Hebat, kepandaian li-hiap sungguh hebat, membuat kami merasa kagum!" kata seorang di antara lima perwira tinggi itu yang usianya limapuluh tahun lebih sambil mengangguk-angguk terhadap Kui Siang. Akan tetapi gadis ini tidak memperdulikan pujian itu, melainkan memperhatikan gerakan dari sebelah dalam karena kini muncul sembilan orang laki-laki anggauta Ang-kin Kai-pang yang lain. Mereka tidak memegang tongkat merah seperti enam orang tadi melainkan membawa sebatang pedang! Agaknya, sembilan orang ini adalah ahli-ahli pedang dari Ang-kin Kai-pang!
Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Kui Siang.
"Lim-lihiap telah memperlihatkan kepandaian dan memberi petunjuk kepada enam orang sute (adik seperguruan) kami, terima kasih. Akan tetapi, kami mohon sukalah lihiap mundur dan membiarkan pengemis tua yang tidak mau memperkenalkan nama itu untuk maju menghadapi kami."
Melihat sikap dan kata-kata itu cukup sopan, Kui Sian menjadi ragu. Pada saat itu, Sin Wan telah menghampirinya.
"Sumoi, mundurlah. Aku sudah mendapat perkenan dari su-siok (paman guru) untuk mewakilinya menghadapi barisan Sembilan Pedang Naga ini."
Kui Siang mengangguk dan pergi ke bawah pohon di mana kakek itu menyambutnya dengan senyum gembira. Sembilan orang jagoan Ang-kin Kai-pang itu saling pandang, kemudian si tinggi kurus menghadapi Sin Wan dan memberi hormat.
"Orang muda, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami adalah barisan Sembilan Pedang Naga?" tanyanya sambil memandang, penuh perhatian.
"Dan siapakah anda?"
"Namaku Sin Wan, suheng dari nona Lim Kui Siang tadi. Kalian adalah jagoan-jagoan terkenal, tentu saja aku mengenal Kiu-liong Kiam-tin (Barisan Sembilan Padang Naga)."
"Bagus, kalau begitu, keluarkan senjatamu, Sin-sicu (orang gagah Sin), kami sudah siap untuk menguji kelihaianmu."
Sin Wan dapat menduga bahwa sembilan orang lawannya ini tentu lihai bukan main karena tadi, kakek Bu Lee Ki telah memberi tahu bahwa mereka adalah pasukan pedang yang amat tangguh dari Ang-kin Kai-pang. Bahkan kakek itu membisikkan bahwa dia harus tidak membiarkan dirinya terkepung dan berusaha untuk berada di luar kepungan. Maka, tanpa ragu lagi dia kini mengeluarkan pedangnya dari balik jubahnya, pedang yang biasanya tarsembunyi.
Begitu Sin Wan mencabut sebatang pedang yang butut, rupanya buruk dan pedang itu tidak tajam, juga tidak runcing, sembilan orang itu menahan kegelian hati mereka. Agaknya pedang pemuda itu adalah senjata yang belum jadi! Bagaimana dengan pedang buruk macam itu akan menghadapi pedang naga mereka? Pedang mereka yang terhias ukiran naga itu terbuat dari baja yang amat kuat dan ampuh, juga amat tajam dan runcing! Diam-diam mereka sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, hanya di bawah tingkat para pimpinan yang menjadi pembantu-pembantu ketua, merasa ragu dan agak sungkan untuk mengeroyok seorang pemuda yang bersenjata semacam itu. Akan tetapi, namanya saja kiam-tin (barisan pedang), maka kurang satu saja sudah menjadi tidak lengkap dan kacau. Maka, mereka merasa ragu dan bingung.
"Sin-sicu, engkau masih muda dan kami merasa sayang sekali kalau sampai sicu terluka dalam pertandingan ini, karena pedang tidak mempunyai mata. Apakah tidak sebaiknya kalau sicu mundur saja dan membiarkan paman guru sicu yang maju?" kata pula si tinggi kurus.
Dari tempat ia menonton, di bawah pohon, Kui Siang bangkit berdiri. Gadis ini tidak biasa memperlihatkan kemarahan dan ia bukan seorang gadis galak, akan tetapi sekarang ia tidak dapat menahan kemarahannya.
"He, kalian ini sungguh tidak tahu malu! Kalau sudah berani maju mengeroyok, kenapa pakai segala macam alasan lagi? Kalau tidak berani, mundur saja tidak perlu banyak cakap!"
Sin Wan merasa tidak enak mendengar ucapan sumoinya yang cukup pedas itu. Dia menjura kepada sembilan orang itu.
"Paman sekalian, aku sudah siap, segera mulailah dan jangan khawatir, aku tidak akan menyesal dan. tidak akan menyalahkan kalian kalau aku terluka atau mati dalam pertandingan ini."
Sembilan orang itu lalu membuat gerakan mengepung Sin Wan. Mereka melangkah secara teratur mengelilingi pemuda itu yang berdiri di tengah dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Dia selalu ingat akan pesan kakek Bu Lee Ki bahwa dia harus menghindarkan kepungan sembilan orang itu. Kini sembilan orang mempercepat langkah mereka setengah berlari mengitarinya dan Sin Wan sudah memperhitungkan, bagaimana caranya untuk membobol kepungan atau keluar dari kepungan itu. Dia tahu bahwa sekali dia bergerak menyerang ke satu arah, tentu dia akan disambut dengan serangan dari depan, kanan kiri dan belakang. Maka diapun diam saja menanti sampai para pengeroyok membuat gerakan terlebih dahulu sebelum dia mengambil keputusan apa yang akan dia lakukan.
Tiba-tiba si tinggi kurus yang menjadi pemimpin dari barisan pedang itu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba serangan dan sembilan orang itupun serentak menggerakkan senjata mereka dan menyerang ke tengah. Gerakan barisan pedang ini teratur sekali sehingga biarpun sembilan orang menyerang bersama dalam waktu yang berbareng, namun serangan itu tidak menjadi kacau. Seluruh bagian tubuh Sin Wan dari kepala sampai ke kaki menghadapi serangan yang rata-rata amat cepat datangnya dan mengandung tenaga dahsyat sehingga terdengar bunyi berdesing-desing dan nampak sinar pedang menyambar-nyambar.
Namun, mereka melihat bayangan berkelebat dan pemuda yang tadi berada di tengah kepungan mereka. tahu-tahu telah lenyap melompat ke atas dan melampaui kepala dua orang pengeroyok, pemuda itu telah berada di luar kepungan. Mereka semua membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu sudah berdiri dengan tenang seperti tadi. Dengan pedang yang jelek itu di tangan, akan tetapi di luar kepungan. Si tinggi kurus kembali mengeluarkan seruan nyaring dan barisan itu dengan cepatnya sudah mengepung kembali, gerakan mereka cepat dan teratur, tidak memberi kesempatan kepada Sin Wan untuk menghindarkan diri dari kepungan. Kini, sembilan orang itu kembali berlari-lari mengelilinginya dan terkejutlah Sin Wan melihat betapa kepungan itu bergerak secara aneh, ada yang berlari dari kiri ke kanan dan ada yang dari kanan ke kiri! Barisan sembilan orang itu berlari saling berlawanan menjadi dua susun, akan tetapi jumlah mereka masih tetap sembilan. Tentu saja hal ini membuat Sin Wan bingung karena sukar baginya untuk menglkuti gerakan bersimpang siur itu dengan pandang matanya.
Namun dia masih bersikap tenang saja, menanti sampai pihak lawan melakukan serangan lagi. Dia tahu bahwa sekali ini tentu para pengeroyok tidak akan membiarkan dia melakukan loncatan seperti tadi untuk keluar dari kepungan. Dilihatnya bahwa lima orang yang berada di depan dan empat di belakang dan mengertilah dia. Lima orang itu akan menyerangnya dan yang empat orang menjaga kalau dia melompat ke atas, tentu mereka akan menyambut dengan lompatan dari empat penjuru untuk menyerang selagi tubuhnya berada di udara. Hal itu akan dapat membahayakan dirinya!
Serangan ke dua itu datang dan seperti yang diduganya semula, lapisan pertama yang di depan menyerangnya. Lima orang menyerang dengan pedang mereka dari lima penjuru. Sin Wan terpaksa memutar pedangnya menangkis. Lima orang itu terkejut karena pedang mereka terpental begitu bertemu dengan pedang tumpul pemuda itu. Akan tetapi begitu pedang mereka tertangkis dan terpental mereka melangkah mundur dan dari belakang mereka, empat orang kawan mereka menyusulkan serangan kilat dari empat penjuru.
Kembali Sin Wan menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi, lima orang pertama sudah menerjang lagi sehingga dia dihujani serangan yang dilakukan serentak oleh empat orang dan lima orang.
Sin Wan maklum bahwa dalam menghadapi pengeroyokan banyak orang, kalau hanya melindungi diri saja tanpa balas menyerang akhirnya dia akan terkena juga atau setidaknya, dia terancam bahaya. Biarpun dia sudah menduga sebelumnya, ketika lima orang menyerangnya lagi, dia sengaja melompat ke atas untuk menghindarkan diri dari kepungan. Benar saja, empat orang yang mengepung di lapisan kedua, sudah berlompatan pula dan menyambutnya dengan serangan pedang selagi tubuhnya masih berada di atas! Terpaksa Sin Wan turun kembali dan dia masih tetap berada di dalam kepungan! Ketika diserang di atas tadi, diapun mamutar pedang menangkis, maka tubuhnya turun kembali ke bawah dan begitu turun, lima orang sudah menyambutnya dengan gelombang serangan baru.
Dia harus membalas, demikian pikirnya. Itulah satu-catunya cara untuk membebaskan diri dari tekanan! Sin Wan lalu bergerak cepat, memainkan pedang tumpulnya dan bersilat dengan ilmu silatnya yang baru dipelajarinya dari Ciu-sian, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang dimainkan dengan pedang tumpul secara aneh dan dahsyat bukan main. Ilmu ini mempergunakan langkah-langkah ajaib Hui-niau-poan-soan sehingga gerakannya seperti seekor burung walet saja. Menghadapi serangan balasan Sin Wan yang gerakannya amat cepat ini, lima orang itu menjadi sibuk sekali dan gerakan mereka kacau.
Si tinggi kurus mengeluarkan seruan dan barisan itu kembali menjadi satu lapis dari sembilan orang dan kepungan melonggar akan tetapi Sin Wan kembali menghadapi sembilan batang pedang yang bergerak dengan berbareng dan serentak.
Melihat perubahan ini, Sin Wan melompat lagi dan diapun berhasil keluar dari kepungan seperti tadi, dan sekali ini dia tidak tinggal diam melainkan segera menyerang dengan membalik dari luar kepungan!
Barisan itu menjadi buyar dan dua orang pengeroyok terpelanting oleh dorongan tangan kiri Sin Wan. Si tinggi kurus mengeluarkan, aba-aba dan sekarang, sembilan orang itu berbaris tiga-tiga! Dan ketika mereka menyerang, maka serangan itu seperti datangnya gelombang samudera, pertama tiga orang menyerang dan disusul tiga orang lain, kemudian tiga orang lagi.
Menghadapi gelombang serangan ini, Sin Wan kembali terdesak. Dia tahu bahwa kalau dia mengalah terus, dia akan selalu terdesak. Begitu gelombang ke tiga dapat dia hindarkan dengan loncatan ke samping, diapun membalik dan kini dialah yang menyerang sebelum sembilan orang itu menyusun kembali barisan mereka. Tubuh Sin Wan bergerak cepat, pedang tumpul mengeluarkan suara mengaung dan berubah menjadi gulungan sinar kehijauan yang besar dan dari mana kadang-kadang mencuat sinar hijau dari ujung pedang. Setiap kali sinar itu meluncur, seorang pengeroyok roboh tertotok dan biarpun yang lain berusaha untuk menangkis dan mengelak, namun pedang tumpul itu selalu merobohkan sasaran, dibantu oleh tangan kiri Sin Wan yang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang). Akan tetapi, dia mengendalikan tenaganya sehingga dia hanya, menotok roboh para pengeroyoknya, sama sekali tidak melukai, apa lagi membunuh.
Pedang Sinar Emas Eps 42 Iblis Dan Bidadari Eps 4 Pedang Sinar Emas Eps 42