Ceritasilat Novel Online

Dewi Ular 10


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




Ketika ia menyelidiki tentang Un-ciangkun, hasil penyelidikannya pun sama saja. Un-ciangkun adalah seorang panglima yang adil. Dia melarang keras anak buahnya mengganggu rakyat. Sedikit saja anak buahnya melanggar, tentu akan dihukum berat. Juga, berkat sikap tangan besi yang dilakukan Un-ciangkun terhadap para penjahat, di daerah itu menjadi bersih dari kejahatan atau jarang terjadi kejahatan. Para gerombolan perampok tidak berani memperlihatkan gerakan mereka di sekitar daerah itu dan orang-orang merasa takut untuk melakukan kejahatan karena sikap yang bengis dari Un-ciangkun ini. Bahkan semua rakyat tahu belaka betapa Un-ciangkun menggunakan pasukannya untuk membersihkan pantai timur dari gangguan para bajak laut dan perampok dan yang terdiri dari orang-orang Jepang.

Lee Cin tertegun setelah mendapatkan keterangan tentang kedua orang pejabat itu. Orang-orang yang demikian baiknya terhadap rakyat malah hendak dibunuh atau disingkirkan oleh Cia Hok dan Cia Bhok yang bersekutu dengan orang Jepang bernama Yasuki dan panglima bernama Phoa Ciangkun itu. Dan menurut percakapan mereka yang sempat ia dengar, yang mengusulkan untuk membunuh kedua orang pejabat yang baik itu adalah Nenek Cia! Agaknya, semua orang yang menjadi pejabat Kerajaan Mancu adalah musuh yang harus dibunuh, apalagi kalau mereka itu menentang usaha pemberontakan terhadap pemerintah. Agaknya keluarga Cia itu adalah segolongan orang yang menganggap bahwa semua orang yang bekerja di bawah pemerintahan Mancu adalah pengkhianat yang harus dibunuh.

Dan untuk itu, keluarga Cia tidak segan-segan untuk bekerja sama dengan orang Jepang dan dengan panglima yang agaknya hendak berkhianat dan memberontak. Kalau begitu, apa bedanya gerakan nnereka dengan gerakan mendiang Pangeran Tang Gi Lok yang memberontak dibantu oleh golongan sesat dan bersekongkol dengan perkumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek-lian-pai dan yang lain-lain?
Lee Cin teringat akan percakapan antara Cia Hok dan Cia Bhok dengan orang Jepang Yasuki dan Phoa-ciangkun. Jelas bahwa mereka itu bermaksud hendak membunuh Un-ciangkun dan Ji-taijin, akan tetapi menurut percakapan mereka itu, kedua orang pejabat ini dilindungi oleh pengawalan yang ketat.

Apa artinya pengawal yang ketat kalau bertemu dengan keluarga Cia yang demikian lihai? Ia menjadi tidak enak dan juga muncul harapan di benaknya. Siapa tahu keluarga Cia akan munculkan Si Kedok Hitam untuk membunuh kedua orang pejabat itu? Mungkin Si Pembunuh menggunakan kedok hitam agar tidak dikenal siapa dia. Satu di antara kedua orang pejabat yang benar-benar terancam adalah Ji-taijin. Bagaimanapun juga, Un-ciangkun yang juga tinggal di Hui-cu adalah seorang panglima dan tentu pengawal yang melindunginya jauh lebih kuat. Setelah berpikir demikian, Lee Cin mengambil keputusan untuk melakukan pencegatan dan diam-diam melindungi Ji-taijin dengan harapan untuk dapat bertemu dengan Si Kedok Hitam yang mungkin malam itu akan berusaha untuk membunuh Ji-taijin.

Malam itu hawanya dingin sekali. Bulan tampak muncul sepotong dan angin berhembus dari Bukit Hong-san, mendatangkan hawa yang dingin sehingga jarang ada orang mau keluar pada malam hari itu. Setelah malam larut, sesosok bayangan berkelebat di dalam pekarangan rumah Ji-taijin dan bayangan itu bersem bunyi di balik sebatang pohon yang tumbuh di pekarangan itu. Bayangan itu adalah Lee Cin. Dari tempat sembunyinya itu ia dapat mengamati seluruh gedung sehingga kalau ada gerakan yang mencurigakan datang dari luar, tentu ia akan melihatnya. Dengan mudah tadi ia dapat melewati para penjaga yang berada di gardu penjagaan. Ada belasan orang penjaga di situ dan dengan bergantian mereka mengadakan perondaan mengelilingi gedung. Lee Cin merasa yakin bahwa di sebelah dalam gedung tentu terdapat pengawal lagi. Akan tetapi, ia tahu bahwa kalau yang menyelinap masuk orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hal itu tidak akan sukar dilakukan, Buktinya, ia sendiri dapat menyelinap memasuki pekarangan tanpa diketahui para penjaga di luar.

Lee Cin melihat betapa janggal ia berada di situ, seolah ia hendak melindungi Ji-taijin yang tidak dikenalnya bahkan tidak pernah dilihatnya. Tidak, pikirnya. Ia berada di situ sama sekali bukan untuk melindungi Ji-taijin dari marabahaya, melainkan untuk menangkap Si Kedok Hitam kalau benar seperti dugaan dan harapannya dia akan muncul malam ini di tempat itu. Juga ia harus menentang kalau ada orang hendak membunuh Ji-taijin yang sudah diselidiki keadaannya itu. Seorang pejabat bijaksana seperti Ji-taijin berhak mendapatkan perlindungan dari orang-orang gagah, dan orang yang hendak membunuhnya, apa pun alasannya adalah seorang yang picik dan tidak mementingkan rakyat jelata.
Malam telah larut dan lewat tengah malam ketika tiba-tiba Lee Cin melihat bayangan hitam berkelebat tak jauh di depannya. Jantungnya berdebar tegang. Inilah agaknya orang yang ditunggu-tunggunya. Inilah Si Calon Pembunuh itu dan mungkin sekali inilah Si Kedok Hitam.

Dalam kegelapan malam yang hanya remang-remang diterangi bulan sepotong, dia tidak dapat melihat apakah orang itu berkedok atau tidak. Hanya tampak olehnya sesosok tubuh yang sedang perawakannya. Lee Cin cepat bergerak membayangi orang itu. Ketika tiba di dekat gedung di mana tergantung sebuah lampu yang cukup terang, baru dilihatnya bahwa bayangan itu memang berkedok hitam! Jantung dalam dada Lee Cin berdegup keras. Ternyata dugaannya benar. Yang hendak membunuh Ji-taijin adalah Si Kedok Hitam, orang yang pernah menyerang dan melukai ayahnya. Orang yang dicari-carinya!

Bayangan itu melompat ke atas genteng dengan gerakan ringan dan gesit sekali. Lee Cin tidak membiarkan orang itu pergi dan ia pun melompat dengan cepat, bahkan langsung turun di depen Si Kedok Hitam itu.

Si Kedok Hitam terkejut melihat Lee Cin tahu-tahu berada di depannya! Dia menggerakkan tangan memukul dan hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Cin. Dara perkasa ini dengan mudah mengelak dan sebelum ia dapat membalas, orang itu sudah melompat turun lagi dari atas genteng dan melarikan diri.

"Hendak lari ke mana kau?" Lee Cin berseru dan melompat turun pula, terus melaklikan pengejaran. Para penjaga ini melihat ada dua bayangan yang berkejaran. Mereka berteriak-teriak dan beramai melakukan pengejaran pula, akan tetapi sebentar saja dua orang bayangan hitam itu telah lenyap dan mereka tidak tahu harus mengejar ke mana.

Sementara itu, Lee Cin mengerahkan ilmunya berlari cepat dan ia dapat membayangi Si Kedok Hitam yang lari keluar kota. Di luar pintu gerbang kota, di padang rumput yang luar, Lee Cin hampir dapat menyusul orang yang dikejarnya. Tiba-tiba orang berkedok. itu yang merasa tidak akan dapat lari dari Lee Cin, menghentikan larinya dan membalikkan tubuhnya menghadapi Lee Cin. Mereka kini berdiri saling berhadapan dan di bawah sinar bulan sepotong, Lee Cin dapat rnelihat bahwa melihat perawakannya, orang itu masih muda dan ia memakai sebuah kedok hitam Yang menutupi wajahnya.
"Sobat, apa maksudmu mengejar aku? Aku tidak mempunyai urusan sama sekali denganmu!"
"Akan tetapi aku mempunyai urusan yang amat besar denganmu!" kata Lee Cin sambil tersenyum mengejek.

Orang berkedok itu kelihatan gelisah

"Apa kau hendak mengatakan bahwa engkau melindungi orang seperti Ji-taijin itu?"

"Melindungi seorang pejabat baik seperti Ji-taijin juga menjadi kewajiban sebagai seorang pendekar, akan tetapi ada lain urusan yang harus diselesaikan di antara kita!"

"Hem, apa urusan itu?"

"Engkau tentu tidak lupa bahwa engkau pernah menyerang Bengcu Souw Tek Bun di Hong-san dan melukainya dengan pukulan merontokkan jalan darah yang bertapak tangan hitam?"
"Benar, aku pernah menyadarkannya bahwa dia telah menjadi bengcu yang dipilih oleh Kerajaan Mancu, dia menjadi antek penjajah! Apa urusannya dengan engkau?"

"Jahanam! Ayahku adalah seorang gagah, seorang jantan sejati yang tidak akan sudi menjadi antek penjajah! Yang mengangkatnya bukan pemerintah kerajaan, melainkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kalau pemerintah menyetujui pengangkatan itu, bukan berarti bahwa dia lalu menjadi antek penjajah. Sekarang, engkau telah melukai Ayah, maka aku sengaja datang mencarimu untuk membuat perhitungan. Lihat seranganku!" Lee Cin tidak memberi kesempatan lagi kepada Si Kedok Hitam untuk menjawab dan ia sudah menyerang dengan pukulan Ang-tok-ciang! Si Kedok Hitam agaknya terkejut mendengar bahwa Lee Cin adalah puteri Souw Tek Bun. Dia mengelak dengan cepat sekali dan membalas serangan gadis itu dengan tidak kalah dahsyatnya. Segera terjadi pertandingan di malam sunyi itu tanpa disaksikan oleh siapa pun. Mereka saling serang dengan cepat dan dahsyatnya.

"Wuuuuttt......!" Si Kedok Hitam menyerang dengan pukulan telapak tangan yang sudah berubah menghitam, dan Lee Cin sengaja memapaki pukulan itu dengan telapak tangan merah karena ia sudah menggunakan Ang-tok-ciang!

"Desss......!" Hebat sekali pertemuan dua telapak tangan itu dan keduanya terdorong ke belakang beberapa langkah. Ternyata tenaga mereka seimbang dan mereka sudah saling serang lagi. Lee Cin mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang ini tidak kalah dibandingkan Nenek Cia! Dan ia yakin orang ini bukan Nenek Cia, jauh lebih gesit dibanding Nenek Cia yang sudah agak lambat gerakannya. Orang ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh dan Lee Cin tidak merasa heran bahwa ayahnya terkena pukulannya, walaupun ayahnya juga mampu melukai lengan kanannya. Juga ia maklum bahwa Pukulan Telapak Tangan Hitam dari orang ini jauh lebih hebat dibandingkan pukulan yang serupa dari Cia Hok. Pukulan Cia Hok tidak dapat melukainya, akan tetapi pukulan orang berkedok ini demikian hebat sehingga mampu menandingi pukulan Ang-tok-ciang darinya.

Sudah seratus jurus lewat dan mereka masih setanding, tidak ada yang mendesak atau terdesak. Masih sama-sama saling serang dengan dahsyatnya. Hati Lee Cin menjadi penasaran dan mulailah ia mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu It-yang-ci. Diserang dengan ilmu ini, Si Kedok Hitam nampak terkejut sekali. Nyaris tubuhnya terkena totokan yang dahsyat itu. Dia terpaksa melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dan agaknya dia jerih menghadapi It-yang-ci, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari mendaki bukit.

"Orang she Cia, engkau hendak lari ke mana?" teriak Lee Cin sambil melompat dan lari mengejar. Akan tetapi tak lama kemudian orang berkedok itu melompat memasuki hutan di lereng bukit itu dan Lee Cin kehilangan jejaknya.

Di dalam hutan itu amat gelapnya, sinar bulan yang hanya remang-remang itu terhalang daun pohon sehingga di bawahnya gelap sekali. Maklum bahwa mengejar lawan dalam kegelapan itu merupakan perbuatan yang berbahaya sekali, Lee Cin keluar lagi dari hutan dan tidak melakukan pengejarannya.

"Awas engkau, besok akan kubuka kedokmu!" katanya sambil rnenuruni lereng bukit itu. Pikirannya sudah bulat. Orang itu pasti seorang di antara keluarga Cia, benar sekali kemungkinannya bahwa dia adalah Cia Tin Siong. Orang berkedok itu lebih lihai dari Cia Hok, juga lebih gesit dari Nenek Cia, siapa lagi kalau bukan Cia Tin Siong? Tin Han? Ah, tidak mungkin sama sekali. Si Berandal itu hanya lincah dan jenaka dalam sikap dan ucapannya, akan tetapi sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Tidak ada orang lain kecuali Cia Tin Siong. Kecuali kalau ada orang lain clari anggauta keluarga Cia yang belum pernah diternuinya. Ia mengambil keputusan untuk besok pagi mendatangi keluarga Cia dan menuntut agar Si Kedok Hitam keluar menemuinya.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dari berganti pakaian, Lee Cin meninggalkan kamarnya di hotel dan segera berangkat menuju rumah kediaman keluarga Cia. Sikapnya dingin dan ia mengambil keputusan untuk memperlihatkan sikap yang dingin dan sungguh-sungguh, tidak seperti kemarin ketika ia menjadi tamu di keluarga itu. Ketika ia tiba di pekarangan depan rumah itu, ia disambut oleh seorang pelayan pria yang sedang menyapu di beranda. Pelayan itu cepat menyambutnya dengan hormat dan ramah.

"Ah, Siocia telah kembali! Silakan duduk, Nona. Saya akan memberitahukan kedatangan Nona."

"Tidak perlu. Aku hanya perlu bertemu dengan saudara Cia Tin Siong. Suruh dia keluar menemuiku!" kata Lee Cin dengan ketus. Setelah yakin bahwa Si Kedok Hitam adalah anggauta keluarga Cia, sikapnya menjadi ketus karena ia menganggap keluarga itu sebagai musuhnya.

Dengan heran dan terkejut pelayan itu mengangguk-angguk lalu memasuki rumah gedung itu. Tak lama kemudian muncul seorang pemuda dari daun pintu dan Lee Cin menjadi serba salah karena yang muncul bukan Tin Siong, melainkan Tin Han!

"Haii, selamat pagi, Cin-moi! Silakan duduk, mengapa berdiri saja? Apakah engkau sudah mengambil keputusan untuk tinggal di sini beberapa lamanya? Sukurlah kalau begitu, karena sejak engkau pergi, aku merasa kesepian dan kehilangan sekali!" Sambut pemuda itu dengan wajah riang dan suara gembira.

Akan tetapi Lee Cin memandang kepadanya dengan sinar mata dingin dan tak acuh akan sambutan yang ringan itu. Tidak perlu lagi ia beramah-tamah dengan adik dari musuhnya.

"Saudara Cia Tin Han, aku tidak mempunyai urusan dengan engkau! Sebaiknya engkau panggilkan Cia Tin Siong ke sini, karena dengan dialah aku mempunyai urusan penting!"

"Lho.....! Ada apakah ini? Mengapa engkau marah-marah dan sikapmu bermusuhan, Cin-moi? Apakah kesalahanku? Kalau memang aku telah membuat kesalahan kepadarnu, ampunkanlah kesalahanku itu, Cin-moi!" Pemuda itu tidak berkelakar, melainkan mengatakan ucapan itu dengan sikap bersungguh-sungguh.

"Sudah aku tidak mau begurau denganmu! Panggilkan kakakmu Cia Tin Siong itu atau aku akan mencarinya sendiri ke dalam!"

Pada saat itu, dari dalam pintu muncul Cia Tin Siong. Seperti biasa, pakaian pemuda tampan dan gagah ini rapi, dan sikapnya lemah-lembut ketika dia tiba di situ dan berhadapan dengan Lee Cin.
"Ah, Nona Bu, selamat pagi, Apakah ada sesuatu yang dapat kanni lakukan untukmu?"

"Cia Tin Siong, tidak perlu bermain sandiwara lagi! Engkau adalah Si Kedok Hitam, bukan? Si Kedok Hitam yang semalam berusaha membunuh Ji-taijin, lalu bertanding dengan aku dan melarikan diri?"

Cia Tin Siong membelalakkan matanya lalu mengerutkan alisnya

"Apa yang kau maksudkan, Nona Bu? Aku tidak mengerti. Siapakah yang kau maksudkan dengan Si Kedok Hitam itu?"

"Hemm, tidak perlu berpura-pura bodoh. Kedokmu sudah terbuka sekarang. Aku tahu bahwa engkaulah orangnya yang menyannar sebagai Kedok Hitam dan yang dulu menyerang dan melukai ayahku Souw Tek Bun di Hong-san dan yang semalam hendak menyerang Ji-taijin! Hayo, sekarang kutantang engkau untuk membuat perhitungan atas perbuatanmu menyerang ayahku di Hong-san dulu!"

Cia Tin Siong menghela napas panjang dan menatap wajah Lee Cin penuh perhatian

"Engkau salah duga, Nona. Aku sama sekali tidak pernah menyamar sebagai Kedok Hitam, dan tidak pernah bertemu dengan Bengcu Souw Tek Bun. Kemarin malam aku pun tidak keluar dari rumah dan tidak bertennu denganmu, apalagi sampai bertanding. Engkau salah sangka, bahkan aku terkejut mendengar bahwa engkau puteri Bengcu Souw Tek Bun. Bukankah engkau she Bu?"

Pada saat itu, keluarlah Cia Kun, Nyonya Cia Kun, Cia Hok, Cia Bhok dan juga Nenek Cia. Mereka mendengar suara ribut-ribut di luar gedung dan segera keluar.

"Eh, Lee Cin! Engkau kembali dan apa tadi ribut-ribut tentang Bengcu Souw Tek Bun?"

"Nek, Nona Bu ini ternyata adalah puteri Bengcu Souw Tek Bun!" kata Tin Han

"Pantas ilmu kepandaiannya tinggi sekali, ya Nek?" Dalam keadaan setegang itu Tin Han masih memuji-muji Lee Cin.

"Hemm, bukankah engkau she Bu, Lee Cin?" tanya Nenek Cia.

"Jangan-jangan ia malah bukan bernama Lee Cin!" sambung Tin Han ragu.

"Namaku adalah Souw Lee Cin. Aku mengaku bernama marga Bu karena aku hendak menyelidiki Si Kedok Hitam yang telah menyerang dan melukai ayahku. Si Kedok Hitam itu menggunakan Telapak Tangan Hitam yang disebutnya pukulan merontokkan jalan darah. Karena mendengar bahwa keluarga Cia memiliki ilmu Tapak Tangan Hitam yang disebut Hek-tok-ciang, maka aku melakukan penyelidikan ke sini dan menggunakan she Bu agar jangan dicurigai. Dan semalam aku melihat Si Kedok Hitam hendak membunuh Ji-taijin dan telah bertanding dengan aku. Akan tetapi dia melarikan diri. Si Kedok Hitam semalam juga sudah mengaku bahwa dialah yang melukai ayahku. Siapa lagi orangnya kalau bukan Cia Tin Siong? Maka, hayo, aku tantang Cia Tin Siong untuk membuat perhitungan atas apa yang dia lakukan terhadap ayahku!"

"Aku bukan Si Kedok Hitam! Aku tidak pernah menyamar sebagai Si Kedok Hitam dan tidak pernah menyerang Bengcu Souw Tek Bun!" kata Cia Tin Siong penasaran.

"Lee Cin, percayalah, di sini tidak ada Si Kedok Hitam," kata Nenek Cia.

"Nona Souw Lee Cin, Tin Siong tidak berbohong. Dia tidak pernah menyamar sebagai Si Kedok Hitam dan kami semua tidak pernah mengenal Si Kedok Hitam, harap Nona jangan menuduh seperti itu."
"Hemm, coba jawab. Apakah keluarga Cia tidak mempunyai niat untuk menentang Ji-taijin? Bukankah keluarga Cia membenci Ji-taijin?" Sambil bertanya begitu, Lee Cin mengerling ke arah Cia Hok dan Cia Bhok.

"Hal itu tidak aneh, Lee Cin," kata Nenek Cia

"Kami membenci semua orang Han yang telah menghambakan diri kepada kaisar penjajah. Maka tentu saja kami membenci Ji-taijin?"
"Dan berniat hendak membunuhnya?" kembali Lee Cin bertanya, sekali ini menatap wajah nenek itu.
Nenek Cia menghela napas panjang

"Sesungguhnyalah, hatiku akan senang kalau melihat antek-antek penjajah Mancu itu mati terbunuh!"

"Nah, sudah jelas sekarang dan aku bukan menuduh tanpa dasar! Semalam aku melihat sendiri Si Kedok Hitam hendak membunuh Ji-taijin dan dia mengaku telah menyerang Ayah. Juga kalian semua tidak senang kepada ayahku yang kalian tuduh sebagai antek Mancu, bukan? Sudah cocok semua, dan aku tetap menantang Cia Tin Siong Si Kedok Hitam untuk membuat perhitungan!"

Wajah Tin Siong menjadi merah

"Aku sungguh menyesal sekali akan sikaprnu ini, Nona. Sungguh sayang, sebetulnya aku amat suka kepadamu dan kini engkau menantangku. Kalau engkau menantangku sebagai Si Kedok Hitam, aku tidak akan melayani karena aku bukan Si Kedok Hitam. Akan tetapi kalau engkau menantangku sebagai Cia Tin Siong, demi nama dan kehormatan keluarga Cia, terpaksa aku melayanimu!"

Lee Cin sudah yakin sekali bahwa Si Kedok Hitam adalah Cia Tin Siong, maka ia pun berkata dengan tegas,

"Baik, aku menantang Cia Tin Siong untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam sebuah pertandingan satu lawan satu. Ini bukan karena aku takut dikeroyok, biarpun dikeroyok, untuk membalaskan sakit hati ayahku, akan kuhadapi juga!" Setelah berkata clemikian, Lee Cin sudah mencabut Ang-coa-kiam dan melompar ke tempat yang luas di halaman itu.

Sebetulnya Tin Siong amat tertarik dan sudah jatuh hati kepada gadis ini. Akan tetapi sekali ini, kehormatan keluarga Cia menjadi taruhan. Kalau dia menolak tantangan, berarti dia takut dan keluarga Cia akan menjadi rendah karenanya. Kalau dia melawan, sebetulnya dia tidak ingin bermusuhan dengan gadis yang mempesonakan hatinya itu. Dia lalu memandang kepada ayah dan neneknya. Ayahnya menghela napas dan menganggukkkan kepalanya. Nenek Cia memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah.

"Tin Siong, ingat, ini hanya pibu biasa, bukan karena kebencian kedua pihak. Lee Cin, harap engkau ingat bahwa seorang pendekar tidak mau melukai atau membunuh orang yang belum diketahui benar kesalahannya."

"Nek, bagaimana kalau aku saja yang maju menandingi Cin-moi? Kalau bertanding denganku, aku percaya dia tidak akan mau melukai aku, karena aku tidak berdosa apa-apa. Aku khawatir Siong-ko akan terluka parah olehnya!"

Cia Kun membentak,

"Diam kau, Tin Han!"

"Berandal, aku tahu hatimu penuh keberanian, akan tetapi sayang engkau selalu membenci ilmu silat sehingga melawan seorang biasa saja engkau tidak akan menang. Bagaimana harus melawan Lee Cin?" cela Nenek Cia.

"Biar kulawan Cin-moi! Makin cepat aku kalah semakin baik, agar hatinya puas," kata pula Tin Han.

"Sekali lagi, Cia Tin Siong. Aku yakin bahwa engkaulah Si Kedok Hitam yang telah melukai ayahku dan aku tantang engkau untuk bertanding melawan aku! Apakah engkau hanya seorang pengecut yang hendak menyembunyikan diri di balik kedok, kemudian tidak berani menghadapi tantanganku secara terbuka?"

Wajah Tin Siong menjadi semakin merah,

"Nona Bu......"

"Namaku Souw Lee Cin, bukan Nona Bu!"

"Baiklah, Nona Souw. Kalau engkau memaksa menantangku, tentu saja aku tidak dapat menolak." Dia lalu melangkah ke depan menghadapi Lee Cin sarnbil mencabut suling peraknya

"Nah, aku sudah siap mulailah!" katanya sambil mernasang kuda-kuda.

Lee Cin yang sudah merasa yakin bahwa pemuda itu adalah Si Kedok Hitam, lalu menggerakkan pedangnya dan berseru nyaring,

"Lihat pedangku!" Tubuhnya menerjang ke depan, pedangnya menjadi sinar keemasan yang mencuat menjadi tusukan ke arah dada Tin Siong dengan cepat dan kuat sekali.
Tin Siong sudah maklum akan kelihaian gadis ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan cepat dia memutar sulingnya untuk melindungi tubuhnya. Suling itu berubah menjadi sinar perak bergulung-gulung di depan dadanya, menjadi perisai yang melindunginya.

"Trangg......!" Pedang itu tertangkis dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Lee Cin merasakan tangannya tergetar oleh tangkisan itu dan maklumlah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang kuat, lebih kuat dari yang diduganya semula. Maka ia pun mengerahkan sinkangnya dan menyerang lagi lebih dahsyat. Dia hendak mengandalkan kecepatan gerakannya untuk mengatasi lawan. Akan tetapi, ternyata Tin Siong juga mampu bergerak cepat sekali sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru. Tubuh mereka berubah menjadi bayang-bayang yang diselimuti gulungan sinar perak dan sinar merah.

Tin Han yang ugal-ugalan itu agaknya tidak tahu bahwa kakaknya sedang bertanding mati-matian melawan Lee Cin. Dia tertarik oleh pemandangan indah itu, maka berkali-kali dia berseru dan bertepuk tangan

"Wah, bagus, bagus, indah sekali!"

Akan tetapi anggauta keluarga Cia yang lain menonton dengan hati tegang sekali. Mereka mengerti bahwa kedua orang muda itu telah bertanding mati-matian dan sekali saja lengah, seorang di antara mereka dapat roboh dan terluka berat atau bahkan tewas! Lebih-lebih Nenek Cia, beberapa kali ia mengeluarkan seruan khawatir dan mengetuk-ngetukkan tongkatnya di atas tanah.

"Mereka bertanding, mereka serasi sekali untuk berjodoh. Ah, kalau sampai mereka saling melukai.......!"

Lee Cin merasa penasaran sekali. Ilmu pedang yang dimainkan dengan suling oleh Tin Siong benar-benar kokoh kuat sehingga pedangnya tidak mampu menembus pertahanan itu. Sebaliknya, serangan balik dari pemuda itu juga berbahaya sekali. Mereka sudah saling serang sampai seratus jurus dan belum juga ada yang tampak terdesak. Lee Cin semakin yakin. Inilah orangnya yang telah melukai ayahnya! Pantas saja ayahnya kalah karena pemuda ini benar-benar lihai sekali. Dengan marah dan penasaran Lee Cin memutar pedangnya menangkis suling yang menotok ke arah pundaknya dan ia majukan kaki kiri ke depan sambil mengerahkan tenaga memukul dengan telapak tangan kiri terbuka. Telapak tangannya berubah meran dan itulah Ang-tok-ciang!

Tin Siong agaknya maklum dengan baik akan kedahsyatan pukulan ini, maka dia pun miringkan tubuh dan mendorongkan telapak tangan ke depan untuk menyambut pukulan itu dengan Hek-tok-ciang! Pertemuan antara Ang-tok-ciang dan Hek-tok-ciang ini tidak dapat dihindarkan lagi karena keduanya ingin memperoleh kemenangan. Lee Cin mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk membalaskan ayahnya sedangkan Tin Siong untuk mempertahankan nama besar keluarga Cia!

"Wuuuuutttt..... desss......!" Dua telapak tangan bertemu dengan kuatnya dan tubuh mereka terpental sampai lima langkah, terhuyung ke belakang dan merasa betapa dari ujung jari tangan kiri sampai ke pangkal lengan terguncang hebat. Juga dalam adu tenaga ini keduanya berimbang. Hal ini membuat Lee Cin semakin penasaran dan ia pun melupakan rasa nyeri pada lengan kirinya, lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Tim Siong juga terkejut, akan tetapi ia pun cepat menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.

"Trangg......!" Kembali bunga api berpijar dan cepat sekali Lee Cin mengirim pukulan Ang-tok-ciang pula. Tin Siong terkejut, maklum bahwa gadis itu mengajaknya bertanding habis-habisan, maka terpaksa dia pun mendorongkan tangan kiri untuk menyambut pukulan orang. Akan tetapi, tiba-tiba Lee Cin mengubah kedudukan jari-jari tangan kirinya yang kini menggenggam dan hanya jari telunjuknya yang dipergunakan untuk menotok ke arah telapak tangan hitam itu!

"Tuk......!" Totokan It-yang-ci itu tepat mengenai tangan telapak tangan kiri Tin Siong. Pemuda itu mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang. Lee Cin mengejar dan mengerahkan pedangnya untuk menyerang dada pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Tin Siong terhalang oleh Tin Han yang sudah menolong kakaknya dan memasangkan dadanya menghadapi Lee Cin. Tentu saja Lee Cin terkejut sekali dan menarik kembali pedangnya, kalau tidak tentu dada Tin Han yang akan tertembus pedangnya.

"Cukup, Cin-moi! Kakak Tin Siong sudah kalah, mengapa engkau mendesaknya? Kalau hendak menusuknya, tusuklah aku terlebih dulu!"

Lee Cin memandang kepada wajah Tin Han. Pemuda berandalan itu sungguh berani, memasangkan tubuhnya untuk melindungi kakaknya dan dalam keadaan seperti itu wajah pemuda itu masih tersenyum simpul!

Lee Cin menyimpan kembali pedangnya dengan membelitkan pada pinggangnya dan berkata,

"Hemm, ayayahku terluka oleh Hek-tok-ciang lebih parah darinya. Pembalasan ini belum impas!" Lee Cin memandang kepada Tin Siong yang wajahnya pucat dan mulutnya mengeluarkan darah. Jelas bahwa dia telah terluka dalam oleh It-yang-ci, walaupun tidak seberat yang diderita ayahnya.

"Cin-moi, mengapa engkau terlalu mendesak kami? Siong-ko sudah menyatakan bahwa dia bukanlah Si Kedok Hitam seperti yang kau tuduhkan. Aku sendiri berani menanggung bahwa Siong-ko tidak berbohong. Kalau engkau masih penasaran dan hendak membunuhnya, nah, bunuhlah aku. Aku tidak takut mati dalam tanganmu!" Tin Han sengaja memasang dadanya di depan Lee Cin dan gadis ini tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan atau katakan.

Nenek Cia melangkah ke depan

"Lee Cin, kami seluruh keluarga Cia berani menanggung bahwa Tin Siong bukan Si Kedok Hitam seperti yamg kau duga. Engkau sudah dapat mengalahkan Tin Siong, berarti engkau sudah dapat mengalahkan keluarga kami karena di antara kami, Tin Siong yang memiliki ilmu silat paling tangguh. Kami mengaku kalah dan kami mengulurkan tangan persahabatan denganmu karena sesungguhnya Tin Siong tidak pernah menyerang dan melukai ayahmu."

Lee Cin menjadi semakin bingung. Ia melihat betapa semua anggauta keluarga memandang kepadanya dengan penuh perhatian

"Akan tetapi, Ayah....."

"Lee Cin, lupakah engkau bahwa engkau mengatakan kalau ayahmu terluka oleh pukulan telapak tangan hitam yang disebut pukulan merontokkan jalan darah? Nah, pukulan Hek-tok-ciang kami sama sekali tidak mempunyai daya untuk merontokkan jalan darah, hanya merupakan pukulan yamg mengandung hawa beracun, tidak lebih lihai daripada ilmu pukulan Ang-tok-ciang yang kau miliki."

Lee Cin menghela napas panjang dan memandang kepada Tin Siong yang kini duduk bersila untuk menghimpun hawa murni untuk mengobati luka dalam akibat totokan It-yang-ci. Ia mulai meragu dan menyesal. Kalau benar bahwa Tin Siong bukan Si Kedok Hitam, sungguh ia telah bertindak salah besar.

"Kalau memang benar bahwa saudara Cia Tim Siong tidak melakukan penyerangan dan melukai Ayah, aku telah salah duga dan aku mohon maaf sebanyaknya kepada keluarga Cia. Akan tetapi kalau benar dugaanku bahwa dia adalah Si Kedok Hitam, maka biarlah pukulanku tadi merupakan pembalasan dari Ayah, agar dia tidak berpikir bahwa dialah orang yang palimg lihai di dunia. Selamat tinggal!"

Ia membalikkan tubuhnya dan keluar dari pekarangan itu. Baru saja tiba di jalan, suara kaki orang berlari membuatnya menengok dan ternyata Tin Han yang mengejarnya.

"Mau apa engkau mengejarku?" tanya Lee Cin sambil mengerutkan alisnya.

"Aih, Cin-moi. Haruskah persahabatan di antara kami diputuskan dengan cara ini?"

"Apakah ada alasan untuk menyambung persahabatan? Kalau aku menduga salah dan bahwa bukan kakakmu yang menyerang Ayah, maka aku telah melakukan kesalahan besar terhadap keluarga Cia, dan tentu keluargamu akan membenciku."

"Ah, tidak sama sekali, Cin-moi. Setidaknya aku tidak akan membencimu karena aku tahu benar bahwa engkau menyerang Kakak Tin Siong bukan karena engkau jahat, melainkan karena engkau hendak membalas dendamwalaupun balas dendam itu ditujukan kepada orang yang salah."

Sikap dan ucapan pemuda itu membuat Lee Cin makin merasa bersalah dan ia mulai ragu akan kebenaran tindakannya

"Sudahlah, aku pergi saja. Selamat tinggal, Han-ko."

"Engkau tidak membenciku karena aku tadi menghalangi engkau membunuh Kakak Tin Siong?"

Lee Cin menggeleng kepalanya

"Tidak, bahkan aku merasa girang bahwa engkau menghalangiku sehingga aku tidak jadi membunuhnya. Betapa akan besar penyesalanku kalau kelak ternyata orang yang kubunuh itu sama sekali tidak bersalah."

"Kalau begitu, perkenankanlah aku mengantarmu sampai ke luar kota. Aku masih ingin bercakap-cakap denganmu sebelum engkau pergi," kata Tin Han sambil ikut berjalan di samping Lee Cin ketika gadis itu melanjutkan langkahnya. Terpaksa Lee Cin membiarkan pemuda itu berjalan bersamanya, karena ia pun masih ingin mendengar apa yang hendak dikatakan pemuda ini. Setidaknya sikapnya ini untuk menunjukkan rasa penyesalannya atas peristiwa tadi.

"Cin-moi, kalau kupikir-pikir, letak kesalah-pahaman antara engkau dan kami adalah karena perbedaan pendapat. Keluarga kami adalah keluarga patriot yang membenci pemerintahan penjajah Mancu dan ingin sekali menggulingkan dan mengusir penjajah dari tanah air kita. Sedangkan engkau agaknya mempunyai pendapat lain. Bagaimana pendapatmu tentang penjajah Mancu, Cin-moi?"

Lee Cin mempertimbangkan pertanyaan ini, kemudian ia menjawab dengan jujur,

"Aku pun tidak senang dengan adanya penjajah di tanah air kita. Akan tetapi itu bukan berarti aku membenci pemerintah Kerajaan Mancu. Kaisarnya amat baik terhadap rakyat kita dan dia dapat menghargai orang-orang pandai. Yang kubenci adalah pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat jelata, yang menindas rakyat. Tidak peduli apakah pembesar itu orang Han atau orang Mancu. Kalau dia seorang pembesar yang baik dan bijaksana, tentu aku tidak membencinya bahkan akan melindunginya dari orang jahat yang hendak membunuhnya. Sebaliknya, kalau ada pembesar yang korup, sewenang-wenang dan menindas rakyat jelata, tentu aku akan turun tangan memberi hajaran kepada pembesar itu, tidak peduli dia bangsa Han atau bangsa lain."

"Itu adalah pendirian seorang pendekar, bukan seorang patriot, Cin-moi. Seorang pendekar menilai baik buruknya orang dari perbuatan pribadinya, akan tetapi seorang patriot yang tidak rela melihat bangsa dan tanah air dijajah, menilai seseorang dari kedudukannya, siapa yang dibantunya. Kalau dia membantu penjajah, bekerja untuk penjajah, tentu kami anggap sebagai musuh karena berarti dia ikut mengembangkan dan mendukung penjajahan! Dan itulah pendirian keluarga Cia kami. Kami tidak mengenal dendam pribadi, akan tetapi dendam bangsa dan tanah air, dan kami bertindak demi bangsa dan tanah air."

Lee Cin mengangguk-angguk. Ia adalah seorang gadis yang sudah berpengalaman, maka tentu saja hal seperti itu sudah dimengertinya

"Kalau begitu, kalian segolongan patriot hendak melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan penjajah?"

"Mungkin pihak penjajah akan menganggap sebagai pemberontakan, akan tetapi kami menganggap sebagai perjuangan, perjuangan membebaskan bangsa dan tanah air dari cengkeraman penjajah."

"Dan kalian akan bergabung dengan siapa saja yang menentang pemerintah Mancu? Tidak peduli bahwa mereka terdiri dari golongan sesat, tetap akan kalian ajak bekerja sama dan bersekutu?"

Ditanya demikian, Tin Han tertegun, lalu menjawab dengan ragu,

"Kuki..... tidak semua berpendapat seperti itu. Aku sendiri misalnya, aku tidak akan sudi untuk bekerja sama dengan para penjahat dalam perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Bersekutu dengan golongan sesat bahkan akan mengotorkan dan menodai perjuangan yang suci."

"Akan tetapi bagaimana dengan keluarga Cia? Apakah mereka tidak mengadakan persekutuan dengan golongan sesat?"

"Aku..... aku tidak tahu, Cin-moi. Akan tetapi percayalah, kalaupun ada, aku akan menentangnya habis-habisan!"

Lee Cin tersenyum. Mereka sudah tiba di luar kota, di jalan yang sunyi dan Lee Cin berhenti melangkah, lalu memandang kepada pemuda itu

"Han-ko, ucapanmu itu bagaimana dapat kubuktikan? Kemampuan apakah yang engkau miliki untuk membuktikan ucapanmu itu?"

Wajah Tin Han berubah merah

"Boleh jadi aku tidak pandai silat seperti anggauta keluarga yang lain, Cin-moi. Akan tetapi aku mempunyai pendirian. Aku akan berusaha mengumpulkan semua pendekar di dunia ini, menyadarkan mereka bahwa selama ini mereka seperti harimau tertidur, mengajak mereka untuk bangkit dan menentang penjajah! Kalau semua pendekar bangkit dan bergerak, berjuang. Aku yakin rakyat akan mengikuti mereka dan kita dapat menyusun kekuatan yang besar. Di mana-mana rakyat akan berjuang, dipimpin oleh para pendekar yang sudah berjiwa patriot, dan dengan cara itu, kekuasaan Kerajaan Mancu pasti akan dapat dihancurkan dan penjajah dapat dihalau keluar dari tanah air kita."

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Lee Cin memandang dengan heran dan kagum. Pemuda yang ugal-ugalan ini, yang oleh keluarganya disebut Si Berandal, yang tidak dapat bersilat, yang lemah, ternyata memiliki jiwa yang gagah perkasa. Dia bicara dengan semangat berapi-api. Sepasang matanya mencorong, kedua tangannya dikepal!
"Ucapanmu mengagumkan hatiku, Han-ko. Percayalah, kalau kelak engkau berhasil membuat para pendekar menjadi patriot sehingga mereka semua bergerak seperti yang kau bayangkan itu, aku pun akan membantumu dengan sekuat tenagaku. Selama ini aku melihat ada golongan yang hendak memberontak dan bersekutu dengan kaum sesat, maka aku tidak percaya akan sikap mereka yang menentang pemerintah. Kuanggap bahwa mereka itu bukan memperjuangkan nasib rakyat, melainkan mengejar ambisi dan keuntungan pribadi saja. Alangkah indahnya kalau perjuangan itu murni seperti yang kau gambarkan."

"Terima kasih, Cin-moi. Sekarang legalah hatiku setelah mengatakan semua yang berada di hatiku mengenai perjuangan. Biarpun Si Kedok Hitam itu aku yakin bukan Kakak Tin Siong, akan tetapi aku percaya bahwa engkau sekarang mungkin akan dapat mempertimbangkan perbuatannya terhadap ayahmu, yaitu kalau benar dia seorang patriot seperti yang aku maksudkan. Mungkin dia hanya ingin menyadarkan orang-orang gagah sedunia, termasuk ayahmu. Nah, kalau engkau memang berniat untuk pergi, aku mengucapkan selamat jalan dan selamat berpisah, Cin-moi dan kuharap engkau tidak akan mengenang kami keluarga Cia sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat."

"Aku akan mengenangmu sebagai seorang sahabat baik, Han-ko."

"Dan aku tidak pernah akan dapat. melupakanmu, Cin-moi."

Mereka saling memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu Lee Cin melanjutkan perjalanan dan Tin Han kembali ke dalam kota Hui-cu.

Setelah pemuda itu pergi, Lee Cin kembali berhenti melangkah dan termenung. Suara pemuda itu masih berkumandang di telinganya dan ia semakin penasaran karena ia kini hampir percaya bahwa Si Kedok Hitam bukan Tin Siong. Kalau begitu siapa? Si Kedok Hitam jelas ada, semalam ia sudah bertemu dan bahkan berkelahi dengannya. Mengingat ini, Lee Cin mengerutkan alisnya. Siapa tahu, usaha Si Kedok Hitam untuk membunuh Ji-taijin yang digagalkannya itu akan diulangnya malam ini. Ia merasa penasaran dan ingin menangkap Si Kedok Hitam. Ia harus dapat yakin benar bahwa keluarga Cia tidak ada hubungannya dengan Si Kedok Hitam dan satu-satunya jalan adalah menangkap Si Kedok Hitam. Sebaiknya malam ini ia menanti lagi kalau-kalau Si Kedok Hitam akan kembali menyerang Ji-taijin! Sekali ini ia tidak akan menyerangnya. Si Kedok Hitam itu lihai dan sukar merobohkannya, tentu dia keburu melarikan diri. Ia akan membayanginya saja agar diketahui di mana dia tinggal. Ia ingin mengetahui siapa sebenarnya orang di balik kedok itu.

Bayangan hitam itu dengan gesitnya meloncat ke atas atap gedung tempat tinggal Ji-taijin, dan setibanya di atas atap, dia melihat ke kiri kanan. Di bawah sinar bulan sepotong yang bersinar cukup terang karena langit bersih dari awan, Lee Cin melihat bayangan ini dan dari tempat ia bersembunyi terlihat jelas bahwa bayangan itu berkedok hitam. Si Kedok Hitam! Seperti diperhitungkannya, malam itu kembali Si Kedok Hitam beraksi mendatangi rumah Ji-taijin.

Akan tetapi ketika bayangan Si Kedok Hitam itu melayang turun, tiba-tiba terdengar bentakan banyak orang dan nampak banyak pengawal berdatangan mengepung tempat itu sambil membawa obor. Kiranya tempat itu telah siap siaga dan banyak penjaga kini mengepung Si Kedok Hitam yang menjadi kaget sekali. Tak disangkanya bahwa kedatangannya telah dinanti banyak pengawal. Para pengawal segera mengeroyoknya, akan tetapi dengan gesit Si Kedok Hitam berkelebatan mengelak sambil merobohkan banyak pengawal dengan tamparan tangannya atau tendangan kakinya. Betapapun juga, dia kewalahan menghadapi puluhan orang pengawal yang mengepungnya dengan senjata pedang atau golok itu.

Lee Cin yang sudah mengintai sejak tadi tersenyum. Ialah yang telah memberi tahu para penjaga sore tadi bahwa malam ini rumah Ji-taijin akan kedatangan seorang pembunuh berkedok hitam. Karena itulah maka para pengawal mengadakan persiapan, tanpa mengetahui siapa yang memberi keterangan itu karena Lee Cin menyambitkan kertas yang ditulisi pesan itu kepada mereka tanpa memperlihatkan diri.

Si Kedok Hitam ternyata lihai sekali. Biarpun dia tidak memegang senjata, namun semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis dan dia sudah merobohkan belasan orang pengawal tanpa membunuh mereka. Akhirnya dia merasa kewalahan juga dan melompat jauh lalu melarikan diri, tidak tahu bahwa lain bayangan yang tidak kalah gesitnya membayanginya. Bayangan ke dua ini adalah Lee Cin. Akan tetapi Si Kedok Hitam kembali menghilang di dalam hutan yang gelap. Dengan kecewa sekali Lee Cin terpaksa menghentikan pengejaran. Akan tetapi karena penasaran, ia menanti di luar hutan dan mengambil keputusan untuk menanti sampai besok pagi. Besok, setelah terang tanah, ia akan melanjutkan pencariannya. Mungkin Si Kedok Hitam masih berada di dalam hutan itu.

Lee Cin duduk bersila di bawah sebatang pohon di atas tanah bertilamkan daun-daun kering. Biarpun keadaannya seperti dalam tidur dan ia memulihkan kekuatannya beristirahat, akan tetapi jangan mencoba untuk mengganggunya. Sedikit saja sudah cukup untuk membuat ia terbangun dengan seluruh tubuh dalam keadaan siap siaga!

Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari pagi dapat menerobos masuk ke dalam hutan melalui celah-celah daun pohon, Lee Cin bangkit berdiri lalu dengan hati-hati dan waspada ia memasuki hutan kecil itu. Ia menyusup-nyusup di antara batang-batang pohon dan semak belukar dan ketika tiba di tengah hutan ia berhenti dan memandang ke kanan kiri. Pagi itu di dalam hutan suasananya bising dengan kicau burung-burung yang beterbangan dari pohon ke pohon, sehingga Lee Cin mulai menyangsikan apakah orang yang dicarinya masih terdapat di tempat itu. Mungkin dia sudah melarikan diri ke jurusan lain.

Selagi ia hendak meninggalkan tempat itu dengan hati kecewa karena kembali Si Kedok Hitam dapat lolos dari tangannya, tiba-tiba hidungnya mencium bau yang amat sedap. Bau bumbu daging dibakar! Pengharapannya muncul kembali dan berindap-indap ia menuju ke arah tempat dari mana bau itu datang. Akhirnya ia melihat seorang laki-laki tampak dari belakang masih muda, dengan pakaian serba putih sedang memanggang paha kelinci di atas api unggun. Pemuda itu berada di tengah semak belukar dan untuk mendekatinya hanya melalui jalan setapak yang berada di belakang pemuda itu. Dengan hati berdebar tegang Lee Cin melangkah satu-satu menghampirinya dari belakang. Orang itu pasti Si Kedok Hitam, pikirnya. Ia ingin sekali melihat siapa orang itu!

Ketika ia sudah tiba dekat, lalu melangkah maju lagi, tiba-tiba tanah berumput yang dipijaknya itu runtuh ke bawah clan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang perangkap! Ia sudah terjatuh ke dalam lubang dan tubuhnya sudah diselimuti semacam jala. Ia meronta dan hendak melepaskan diri, akan tetapi jala itu kuat sekali dan ia sudah terlibat sedemikian rupa sehingga ia tidak sempat mencabut pedangnya untuk membabat jala itu. Pemuda yang sedang memanggang daging itu mengeluarkan suara tawa, lalu cepat sekali dia sudah meloncat ke dekat lubang dan dari atas dia menyerang dengan totokan. Biarpun Lee Cin berhasil menangkis dua tiga kali dari dalam jala, namun akhirnya ada totokan yang mengenai tubuhnya sehingga ia terkulai lemas di dalam libatan jala.

"Ha-ha-ha, jalaku menangkap seekor ikan emas yang indah sekali!" pemuda itu tertawa sambil mengangkat tubuh Lee Cin yang masih diselimuti jala. Sambil tersenyum-senyum gembira pemuda itu melepaskan jala yang menyelimuti tubuh Lee Cin. Lee Cin yang tidak mampu bergerak itu melihat bahwa yang menjebak dan menangkapnya, pemuda baju putih itu bukan laim adalah Ouw Kwan Lok, pemuda yang dulu pernah dianggapnya sebagai seorang sahabat akan tetapi yang kemudian bahkan hendak menangkap dan memperkosanya, dan bahwa Ouw Kwan Lok ternyata adalah murid Thian-te Mo-ong dan mendiang Pak-thian-ong yang hendak membalas dendam kepadanya! Ia dapat lolos dari tangan Ouw Kwan Lok karena ia tidak mempan ketika diracuni. Akan tetapi sekali ini benar-benar tidak berdaya karena ditotok lemas. Ia masih dapat bicara dan berkata dengan suara gemas,

"Ouw Kwan Lok, jahanam keji, kiranya engkaulah Si Kedok Hitam!"

Ouw Kwan Lok tersenyum dan mengerutkan alis, meruncingkan mulutnya mengejek

"Aku? Si Kedok Hitam. Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan. Engkau datang sendiri menyerahkan diri, itu bagus sekali. Aku akan membunuh engkau setelah puas mempermainkanmu. Sekarang tuanmu hendak makan minum lebih dulu dan engkau boleh melihat saja!" Ia lalu mengikat kaki dan kedua tangan Lee Cin dengan tali jala yang panjang dan sekali melontarkan ujung tali, tali itu telah melibat sebatang cabang pohon. Dia lalu menarik naik dan tubuh Lee Cin tergantung di udara, menelungkup dengan kaki dan tangan terikat. Apalagi kaki tangannya terikat, biarpun tidak diikat juga ia tidak akan mampu bergerak.

"Ouw Kwan Lok, pengecut tak tahu malu! Turunkan aku dan mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!" teriak Lee Cin.

Akan tetapi Kwan Lok tertawa dan mulai makan, menggerogoti paha kelenci dan minum arak dari guci arak yamg dibawanya

"Enak saja. Engkau akan kuajak bersenang-senang dulu, baru engkau akan kubunuh. Sayang kalau engkau dibunuh begitu saja. Bersiaplah engkau untuk bersenang-senang denganku kemudian mampus. Berdoalah dan minta ampun kepada guruku Pak-thian-ong!"

Lee Cin maklum bahwa tidak ada gunanya bicara dengan pemuda yang seperti ini. Ia diam-diam merasa heran mengapa seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, halus tutur sapanya dan lembut gayanya, dapat memiliki watak yang demikian rendah dan jahat. Ia tidak berdaya. Ada sedikit harapan. Kalau pemuda itu hendak mempermainkannya, mudah-mudahan dia akan membebaskannya dari totokan. Tidak ada artinya baginya kaki tangan yang terikat itu. Kalau ia sudah terbebas dari totokan ia akan dapat meronta dan mematahkan ikatan kaki tangannya! Sedikit harapan ini membuat Lee Cin diam saja, tidak lagi memaki, bahkan ia memejamkan kedua matanya, dan diam-diam ia mengatur pernapasannya dan berusaha untuk memulihkan aliran darahnya yang terganggu oleh totokan itu. Kalau harapannya itu tidak terjadi, habislah ia! Kalau sampai ia dapat diperkosa pemuda ini, ia tidak akan mau hidup lebih lama lagi. Setelah ia berhasil membunuh pemuda ini, ia pun akan membunuh diri. Akan tetapi agaknya ia tidak akan dapat melakukan apa-apa. Ia teringat akan ayah ibunya dan tak terasa dua titik air mata membasahi matanya.

Ouw Kwan Lok yang senang makan minum itu melihat air mata itu

"Souw Lee Cin, engkau menangis? Ha-ha-ha, aku sebetulnya sayang padamu, sejak pertemuan kita dahulu itu, aku telah jatuh cinta padamu. Kalau engkau mau berjanji menjadi isteriku, aku tidak akan membunuhmu. Aku akan melupakan sakit hati kedua orang guruku. Nah, maukah engkau menjadi isteriku? Berjanjilah dan aku akan membebaskanmu, karena aku percaya janji seorang gagah seperti engkau."

Lee Cin diam saja. Ia tidak percaya kalau ia mengatakan mau lalu pemuda itu mau membebaskannya. Pemuda itu terlalu cerdik, terlalu licik, terlalu jahat. Maka ia diam saja.

"Bagaimana, adikku yang manis? Engkau lapar, bukan? Dan haus? Aku akan memberimu daging dan juga arak ini, baru kita bersenang-senang. Nah, maukah engkau menjadi isteriku?"

"Iblis gila, aku telah terperangkap. Bunuhlah kalau mau bunuh dan jangan banyak cerewet lagi!"

Ouw Kwan Lok minum araknya lagi dari guci dan mukanya menjadi merah oleh pengaruh arak. Dalam keadaan setengah mabuk ia tertawa-tawa seperti seorang gila

"Aku habiskan dulu arak ini kemudian kita bersenang-senang!" Dia menempelkan bibir guci pada bibirnya dan menggelegak arak itu.

Tiba-tiba ada benda hitam menyambar gucinya

"Pyaaaar......!" guci itu pecah berantakan dan sisa arak yang masih ada di guci menyiram muka Ouw Kwan Lok.

Pada saat Kwan Lok gelagapan karena tersiram arak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang yang berpakaian serba hitam, mengenakan kedok hitam pula dan dengan sebatang pedang dia memutuskan tali yang menggantung Lee Cin, membantu menotok tubuh Lee Cin sehingga gadis itu terbebas dari totokan. Setelah Lee Cin terbebas dari totokan, ia menggulingkan tubuhnya menjauhi dan sekali ia mengerahkan tenaganya, tali pengikat kaki tangannya sudah terputus!

Ia meloncat bangkit sambil melolos pedangnya dari ikat pinggangnya. Akan tetapi ketika la menengok, ia melihat betapa Ouw Kwan Lok sudah bertanding melawan Si Kedok Hitam! Kwan Lok menggunakan sepasang pedangnya sedangkan Si Kedok Hitam menggunakan sebatang pedang.

Pertandingan itu seru sekali, tiga batang pedang lenyap bentuknya dan menjadi tiga gulung sinar yang menyilaukan mata. Lee Cin merasa tidak enak dan bingung. Si Kedok Hitam telah menyelamatkannya dari aib dan malapetaka dan kini Si Kedok Hitam bertanding melawan Kwan Lok. Ia merasa tidak enak sekali. Ia mencari-cari Si Kedok Hitam untuk membalas kekalahan ayahnya dan kini Si Kedok Hitam muncul sebagai penyelamatnya! Bahkan Si Kedok Hitam membelanya dan kini bertanding mati-matian melawan Kwan Lok. Pertandingan itu memang hebat sekali. Mereka saling desak dan ternyata Si Kedok Hitam itu mampu mengimbangi permainan sepasang pedang dari Ouw Kwan Lok dengan seimbang.

Merasa tidak enak kalau berdiam saja membiarkan Si Kedok Hitam mewakilinya, juga merasa malu untuk maju mengeroyok Kwan Lok, Lee Cin lalu berkata dengan suara nyaring,

"Kedok Hitam, mundurlah dan akulah yang akan membunuh jahanam keparat ini!" Lee Cin meloncat ke depan dan menyerang Kwan Lok dengan kecepatan seperti kilat menyambar. Kwan Lok terkejut bukan main karena serangan itu benar-benar merupakan serangan maut. Dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan segera melarikan diri secepatnya. Baru melawan Si Kedok Hitam saja dia tidak mampu menang, apalagi kalau Lee Cin datang mengeroyoknya. Amat berbahaya kalau dia harus menghadapi dua lawan tangguh itu, maka dia mengambil jalan yang paling menguntungkan, yaitu melarikan diri.

Lee Cin mengejar, mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari cepat sambil berseru,

"Jahanam Ouw Kwan Lok, hendak lari ke mana engkau?" Akan tetapi Kwan Lok sudah melompat jauh dan berlari menyusup di antara semak belukar. Lee Cin yang masih asing dengan hutan itu mengejar dengan hati-hati karena khawatir kalau-kalau ia akan terperangkap seperti tadi. Karena berhati-hati, maka larinya tersendat-sendat dan akhirnya ia kehilangan bayangan dan jejak Ouw Kwan Lok. Ia merasa menyesal sekali, dan sambil membanting-banting kakinya ia lalu kembali ke tempat tadi. Akan tetapi alangkah kecewanya karena Si Kedok Hitam sudah tidak berada di situ lagi. Ia merasa menyesal mengapa tadi mengejar Kwan Lok dan meninggalkan Si Kedok Hitam.

Kalau orang itu masih ada, tentu ia dapat mengajaknya bercakap-cakap. Setelah Si Kedok Hitam menyelamatkannya dari bencana hebat diperkosa Kwan Lok, ia tidak mungkin lagi dapat memusuhinya. Si Kedok Hitam melukai ayahnya dalam sebuah pertandingan yang adil, bahkan hanya melukai tidak membunuh, dan kini Si Kedok Hitam telah menolongnya, telah menyelamatkan nyawanya, maka pertolongan itu sudah dapat menebus kesalahannya melukai ayahnya. Tak mungkin lagi ia membalas dendam itu. Si Kedok Hitam hanya berhutang melukai ayahnya, akan tetapi telah membayar dengan menyelamatkan nyawanya. Ia merasa penasaran sekali.

"Siapakah engkau?" pertanyaan ini kini menindih hatinya. Kalau ia tahu siapa Si Kedok Hitam, tentu ia akan dapat menemukannya dan mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi Si Kedok Hitam sudah pergi dan agaknya akan sukar sekali baginya untuk dapat menemukannya. Besar kemungkinannya keluarga Cia mengetahui siapa Si Kedok Hitam itu, bahkan dugaannya masih condong kepada Cia Tin Siong. Mengingat ini, ia lalu berlari kembali ke arah kota Hui-cu untuk menemui keluarga Cia!

Ketika tiba di pekarangan rumah keluarga Cia, Lee Cin disambut lagi oleh pelayan yang membersihkan halaman

"Ah, Nona Souw, engkau kembali ke sini?" kata pelayan itu dengan wajah gembira.

"Cepat laporkan kepada Cia-kongcu yang pertama atau yang ke dua bahwa aku datang untuk membicarakan urusan penting," kata Lee Cin yang ingin bertemu dengan Tin Siong.

"Baik, Nona. Silakan duduk menunggu sebentar karena saya melihat mereka semua sedang mengadakan pertemuan menyambut tamu."

Lee Cin bertanya-tanya dalam hatinya siapa gerangan tamu yang disambut oleh mereka sekeluarga itu, akan tetapi merasa tidak enak untuk bertanya-tanya, maka ia mengangguk lalu duduk di atas kursi dalam ruangan depan untuk menanti. Pelayan itu lalu berjalan masuk ke dalam gedung.
Yang keluar menyambutnya adalah Cia Tin Han! Agaknya begitu pelayan melaporkan bahwa di luar ada Lee Cin, Tin Han sudah mendahului semua orang dan cepat keluar. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dengan senyumannya yang khas sehingga mau tidak mau Lee Cin terbawa dalam kegembiraan. Akan tetapi, untuk urusan saat itu, Tin Han merupakan orang terakhir yang diharapkannya muncul. Ia akan minta disampaikan maafnya kepada Si Kedok Hitam, maka kalau dapat, ia mengharapkan Tin Siong sendiri yang muncul. Kalau tidak pemuda itu, ia dapat menitip pesan itu kepada Nenek Cia atau Cia Kun, atau setidaknya kedua orang paman pemuda itu. Akan tetapi bukan Tin Han!

"Cin-moi......!" Ah, usiamu akan panjang sekali karena selagi aku sedang terkenang kepadamu, mendadak engkau muncul! Akan tetapi tidak ada kegembiraan yang lebih dari pada ini, Cin moi!"

"Han-ko, aku mempunyai suatu urusan yang penting sekali untuk kubicarakan dengan ayahmu atau Nenek Cia," kata Lee Cin yang tidak mau menyebut nama Tin Siong karena hal itu tentu akan menjadi bahan bagi Tin Han untuk menggodanya!

"Ah, itu mudah sekali. Mereka sedang berkumpul di dalam, Cin-moi. Mari masuk saja, engkau dapat langsung menemui mereka, bahkan engkau akan kuperkenalkan kepada seorang badut yang lucu sekali di dalam. Marilah!" tanpa ragu-ragu lagi Tin Han yang sedang bergembira itu memegang tangan Lee Cin dan menariknya masuk dalam rumah besar itu. Kembali Lee Cin merasa heran kepada dirinya sendiri. Diperlakukan demikiam akrab oleh Tin Han, ia tidak menjadi marah dan membiarkan tangannya dipegang dan ditarik ke dalam! Kalau pemuda lain yang berani melakukan hal itu, tentu sudah ia damprat habis-habisan.

Ternyata pemuda itu membawanya ke dalam ruangan makan yang luas. Dan benar saja, mereka semua berada di situ. Cia Tin Siong, ayah ibunya, kedua orang pamannya, bahkan Nenek Cia, semua duduk menghadapi meja yang penuh hidangan dan seorang laki-laki pendek tegap duduk berhadapan dengan mereka. Begitu melihat pria cebol yang usianya kurang lebih empat puluh tahun ini Lee Cin segera mengenalnya. Itulah Yasuki, orang Jepang yang ia lihat bercakap-cakap dengan kedua orang paman Tin Han pada malam hari itu! Dan Tin Han mengatakan bahwa ia hendak diperkenalkan kepada seorang badut yang lucu sekali. Karena di situ tidak ada orang asing lain kecuali Jepang itu, maka tentu orang itulah yang dimaksudkan sebagai seorang badut besar oleh Tin Han. Semua orang, kecuali Jepang itu, bangkit berdiri ketika Lee Cin masuk bersama Tin Han.



Dewi Sungai Kuning Eps 2 Jodoh Si Naga Langit Eps 10 Jodoh Si Naga Langit Eps 13

Cari Blog Ini