Dewi Ular 13
Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Selamat jalan, Nona."
Biarpun ia tidak mendapat keterangan siapa adanya Si Kedok Hitam, setidaknya ia tahu banyak tentang orang aneh itu, bahkan melihat tulisannya yang indah. Sekarang ia dapat sedikit menyelami watak Si Kedok Hitam. Agaknya orang itu bukan termasuk segolongan orang seperti Cia Hok dan Cia Bhok yang menentang pemerintah dan suka bersekutu dengan orang Jepang dan panglima yang memberontak. Membaca tulisan suratnya, Lee Cin dapat mengambil kesimpulan bahwa Si Kedok Hitam berwatak patriot dan pendekar yang biarpun menentang pemerintah penjajah, namun tidak berniat jahat terhadap pejabat pemerintah yang bijaksana. Sikap ini mengingatkannya kepada Cia Tin Han. Pemuda lemah lembut itu juga bercita-cita mengumpulkan orang-orang yang berjiwa patriot murni, bukan sekedar pemberontak yang menganggap semua pejabat pemerintah adalah antek penjajah.
Teringat ini Lee Cin terkejut sendiri dan alisnya berkerut. Si Kedok Hitam itu Cia Tin Han? Ah, sama sekali tidak mungkin. Tin Han adalah seorang terpelajar yang lemah dan tidak suka belajar ilmu silat. Pula, pendirian Si kedok Hitam seperti yang tersirat dalam suratnya kepada Ji-taijin sama sekali berbeda dengan pendirian keluarga Cia. Mana mungkin Tin Han menentang pendirian keluarganya sendiri?
Pagi itu Lee Cin langsung mengunjungi rumah besar Un-ciangkun di sudut kota karena ia mengharapkan akan mendapatkan keterangan yang lebih banyak dari panglima ini tentang Si Kedok Hitam dan tentang orang-orang Jepang. Ia tertarik untuk menyelidiki orang Jepang setelah melihat betapa Yasuki bergabung dengan pemuda-pemuda golongan sesat seperti Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok.
Un-ciangkun yang bernama Un Kiong adalah seorang pembesar militer yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa. Pakaian panglimanya selalu rapi dan sikapnya terus terang dan terbuka mencerminkan watak yang jujur dan tidak suka berbelit-belit. Di Hui-cu dia amat terkenal sebagai seorang panglima yang bersikap menyayang dan lembut terhadap anak buahnya, akan tetapi kalau ada anak buah yang berbuat kesalahan, dia dapat bersikap keras dan penuh disiplin. Setelah dia memimpin pasukan di Hui-cu, daerah itu menjadi aman dari perampok dan penindas rakyat. Kalau ada orang mempergunakan kekuatan dan kekuasaan bersikap sewenang-wenang dan rakyat yang ditindas itu melapor kepadanya, langsung akan dia tangani dan dia hukum mereka yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan dan kekuasaan itu.
Karena ini, dia amat dibenci oleh bangsa perampok dan pencuri, akan tetapi disayang oleh rakyat. Rakyat di daerah Hui-cu merasa bahagia mempunyai seorang pembesar seperti Ji-taijin dan seorang panglima seperti Un-ciangkun. Mereka dapat tidur nyenyak dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada orang jahat berani mengganggu mereka. Mereka si rakyat kecil merasa terlindung, karenanya rakyat akrab dan menyayang perajurit. Di bawah bimbingan Un-ciangkun, para perajurit bersikap seperti sanak kadang rakyat jelata, dan ke manapun mereka pergi, selalu disambut dengan wajah cerah gembira oleh rakyat di dusun-dusun, seperti orang-orang dikunjungi para penolong dan penyelamat mereka. Un-ciangkun tahu bahwa negara baru kuat kalau pasukannya dan rakyatnya bersatu padu. Rakyat yang merasa dilindungi akan membalasnya dengan rasa setia-kawan dan tentu dengan senang hati akan membantu petugas pasukan untuk menentang kejahatan dan menjaga keamanan.
Sebaliknya kalau tentaranya menimbulkan perasaan takut dan benci di hati rakyatnya, maka negara tidak akan menjadi kuat, tidak akan mendapat dukungan rakyat. Pangllima Un Kiong tinggal bersama isterinya, berdua saja karena biarpun usianya sudah empat puluh lima tahun, dia belum mempunyai seorang pun anak. Rumahnya di Hui-cu adalah sebuah bangunan kuno, dan markas pasukannya berada di luar kota, tidak jauh dari pintu gerbang sebelah selatan kota Hui-cu. Dia memimpin sepuluh ribu orang pasukan di daerah ini, dan rumahnya yang kuno, dan besar selalu dijaga oleh seregu pasukan secara bergilir siang malam.
Pada pagi hari itu, dua losin perajurit yang berjaga di gardu depan rumah gedung itu dibikin terkejut dan heran dengan munculnya Lee Cin di depan mereka. Tidak seperti kebiasaan para perajurit yang suka menggoda apabila melihat seorang gadis cantik, para perajurit itu hanya menyimpan kekagumannya dalam hati dan hanya memperlihatkan kekaguman itu dalam pandang matanya saja. Satu di antara pantangan besar bagi panglima Un adalah kalau anak buahnya rnenggoda dan menghina wanita. Dilarang keras mengganggu wanita, akan tetapi para perajurit itu diijinkan kalau mau menikah secara baik-baik. Untuk keluarga perajurit disediakan tangsi sebagai tempat tinggal mereka. Dua losin orang perajurit itu memandang kepada Lee Cin dan kepala regu segera maju menghadapi gadis yang berhenti di depan gardu mereka itu.
"Nona mencari siapakah? Dapatkah kami membantumu, Nona?"
Kepala regu itu tinggi besar bermuka hitam, akan tetapi sikapnya yang sopan dan ramah menyenangkan hati Lee Cin. Gadis itu tersenyum dan wajahnya lebih cerah lagi melihat betapa para perajurit lainnya hanya memandang kepadanya, tidak ada yang membuat gerakan atau mengeluarkan kata-kata tidak sopan. Dari sikap para perajurit ini saja Lee Cin dapat menduga bahwa panglimanya tentu seorang yang bijaksana dan berdisiplin.
"Terima kasih. Aku ingin bertemu dengan Un-ciangkun. Dapatkah Saudara melaporkan kedatanganku kepadanya?"
Kepala regu itu mengamati Lee Cin dengan penuh perhatian. Dia melihat suling yang terselip di pinggang itu dan matanya yang tajam juga melihat lingkaran berwarna keemasan di pinggang itu. Sebagai seorang yang berpengalaman tahulah dia bahwa benda yang melibat pinggang ramping gadis itu adalah sebatang pedang yang lentur dan baik. Dia mengerutkan alisnya.
"Nona, beritahukan dulu namamu dan apa keperluanmu."
"Namaku Souw Lee Cin dan aku ingin bicara dengan Un-ciangkun mengenai Si Kedok Hitam dan orang-orang Jepang."
Kepala regu itu membelalakkan matanya dan pandang matanya menjadi waspada
"Nona, menurut penuturan di sini, siapa yang hendak menghadap Un-ciangkun tidak diperbolehkan membawa senjata. Karena itu, lepaskan pedangmu itu dan tinggal di sini."
Lee Cin tersenyum dan meraba pinggangnya
"Aku tidak dapat dipisahkan dari pedangku ini. Akan tetapi aku hendak menghadap Un-ciangkun dengan niat baik, tidak mempunyai niat untuk menyerangnya. Katakanlah kepada Un-ciangkun bahwa aku membawa berita yang penting baginya."
Kepala regu itu merasa ragu, akhirnya dia berkata,
"Nona tunggulah di sini sebentar, biar aku melaporkan ke dalam untuk bertanya apakah Un-ciangkun bersedia menerimamu ataukah tidak."
Lee Cin mengangguk lalu duduk di atas sebuah bangku di dalam gardu. Sikapnya tenang sekali membuat para perajurit memandang semakin kagum. Mereka dapat menduga bahwa gadis itu tentulah seorang gadis kang-ouw, karena kalau gadis biasa, tidak mungkin dapat bersikap setenang itu berada di gardu di tengah-tengah dua losin orang perajurit.
Kepala regu melapor ke dalam dan menceritakan keadaan Lee Cin dengan jelas kepada Un-ciangkun. Panglima yang tinggi besar ini adalah seorang yang berani dan banyak pengalaman. Mengapa mesti khawatir menerima kunjungan seorang gadis kang-ouw? Bagaimanapun juga, dia dapat menjaga diri dan pula di tempat itu terdapa banyak pengawalnya. Maka dia menyuruh kepala regu membawa gadis itu kepadanya.
Lee Cin melangkah dengan tegap ketika kepala regu itu membawanya menghadap Un-ciangkun. Setelah gadis itu memasuki sebuah pintu, kepala regu lalu meninggalkannya. Lee Cin melangkah masuk ke dalam ruangan itu dan melihat seorang panglima tinggi besar berdiri di dekat jendela. Biarpun dia hanya seorang diri saja, namun Lee Cin merasa bahwa tempat itu telah dikepung banyak orang dan panglima itu sedikit pun tidak merasa khawatir. Mendengar langkah kaki Lee Cin, Un-ciangkun membalikkan tubuhnya dan Lee Cin melihat wajah yang gagah dengan sepasang mata yang tajam bersinar. Lee Cin segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada panglima itu.
Un-ciangkun melangkah maju
"Nona yang bernama Souw Lee Cin?"
"Benar, Ciangkun. Terima kasih atas kesediaan Ciangkun menerima saya menghadap."
"Hemm, duduklah, Nona. Tentu ada keperluan penting maka Nona demikiar berani untuk menghadap kami seorang diri. Duduklah!"
Lee Cin duduk menghadapi meja besar dan panglima itu duduk di seberang meja. Seorang panglima yang gagah, pikir Lee Cin setelah mengamatinya. Pakaiannya rapi dan bersih, pedang panjang tergantung di pinggang kirinya dan panglima ini tampak kokoh kuat.
"Kedatangan saya ini memang membawa berita penting sekali kepada Ciangkun. Akan tetapi sebelum saya menceritakan berita itu, lebih dulu saya minta imbalan."
Sepasang mata itu terbelalak, lalu sepadang alis yang tebal itu berkerut
"Imbalan? Kami tidak mengutus Nona memberikan berita apa pun, mengapa Nona minta imbalan? Kalau tidak ingin menceritakan, sudahlah, Nona boleh pergi. Kami tidak bersedia memberi imbalan!"
Sikap yang tegas dan jujur, pikir Lee Cin. Sikap yang menunjukkan bahwa panglima tinggi besar ini seorang jujur dan jantan, tidak suka akan hal yang berliku-liku.
"Imbalannya juga sebuah keterangan atau penjelasan darimu, Ciangkun. Saya ingin bertanya kepada Ciangkun tentang seorang yang selalu memakai kedok hitam. Tahukah Ciangkun siapa sebenarnya Si Kedok Hitam itu?"
Mendengar disebutnya Si Kedok Hitam, panglima itu menatap wajah Lee Cin dengan tajam penuh selidik, kemudian berbalik bertanya,
"Apa hubungan Nona dengan Si Kedok Hitam? Mengapa Nona menanyakannya?"
Lee Cin maklum dari ucapan panglima itu bahwa dia tentu sedikit banyak mengetahui tentang Si Kedok Hitam, maka ia pun berterus terang,
"Ciangkun, pada beberapa malam yang lalu saya melihat bayangan bekelebat di atas gedung tempat tinggal Ji-taijin. Saya mengejar bayangan itu dan kami sempat bertanding akan tetapi bayangan itu melarikan diri. Bayangan itu memakai kedok hitam maka selanjutnya saya menamakan dia Si Kedok Hitam. Ilmu silatnya lihai sekali dan saya ingin sekali menyelidiki siapa sebenarnya dia. Saya telah mengunjungi Ji-taijin, akan tetapi dia pun tidak tahu siapa Si Kedok Hitam itu. Karena itu saya datang menghadap Ciangkun dengan harapan Ciangkun mengetahui tentang Si Kedok Hitam itu."
Ketika Lee Cin bicara, sepasang mata panglima itu mengamatinya dengan penuh perhatian. Setelah Lee Cin berhenti bicara, dia bertanya,
"Nona hendak mengatakan bahwa Nona telah bertanding melawan Si Kedok Hitam dan berhasil mengusir dan mengalahkannya?"
"Bukan begitu, Ciangkun. Kami memang bertanding, akan tetapi sebelum ada yang kalah atau menang, dia sudah melarikan diri menghilang dalam kegelapan malam."
"Nona mencari dia, apakah maksudmu?"
"Kalau saya dapat mengetahui siapa dia, saya akan menemuinya dan menantangnya untuk bertanding kembali menentukan siapa yang lebih unggul, juga saya akan menegurnya karena dia berani mengancam dan membikin ribut dalam tempat tinggal Ji-taijin, seorang pembesar yang bijaksana dan baik."
"Hemm, agaknya Nona ini seorang pendekar?" kini panglima itu bertanya sambil tersenyum.
"Saya adalah seorang yang menentang kejahatan, Ciangkun. Dan saya akan membela kalau ada seorang baik-baik diganggu seperti halnya Ji-taijin. Nah, sekarang saya harap Ciangkun suka menceritakan tentang Si Kedok Hitam dan nanti saya akan menyampaikan berita yang amat penting kepada Ciangkun tentang orang Jepang."
Panglima itu mendadak bangkit berdiri dan tertarik sekali
"Orang Jepang?"
"Harap Ciangkun tenang dan bersabar dulu. Saya masih menanti keterangan Ciangkun tentang Si Kedok Hitam."
Panglima itu menghela napas panjang
"Nona tunggulah sebentar, aku akan mengambil sesuatu," setelah berkata demikian, dia meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam. Tak lama lagi dia muncul kembali dan duduk di kursinya yang tadi.
"Terus terang saja, kami juga tidak tahu siapa Si Kedok Hitam walaupun pada suatu malam bayangan orang berkedok hitam sempat membikin gempar markas ini. Beberapa orang penjaga melihat berkelebatnya bayangan orang dan melihat seorang berkedok hitam di atas rumah kami, akan tetapi ketika bayangan itu dikejar, dia lenyap dan hanya meninggalkan surat ini yang ditusuk pisau yang menancap di daun pintu. Inilah suratnya, Nona."
Lee Cin menerima surat itu dan ia tidak ragu lagi bahwa penulis surat itu juga penulis surat yang diterima Ji-ciangkun. Bahkan isinya pun hampir sama. Un-clangkun, Engkau adalah seorang yang pandai dan gagah bijaksana, akan tetapi mengapa merendahkan diri menjadi perwira pasukan kerajaan penjajah? Sepatutnya orang seperti engkau ini menggunakan kepandaian untuk menentang penjajah Mancu. Akan tetapi karena engkau bertindak baik terhadap rakyat jelata, kami masih mengampunimu. Akan tetapi awas kalau engkau sampai menjadi antek penjajah yang menindas rakyat jelata, kami pasti akan membikin perhitungan denganmu.
Si Kedok Hitam. Setelah membaca dan mengembalikan surat itu kepada Un-ciangkun, Lee Cin berkata,
"Tulisan dan nadanya sama dengan surat yang diterima Ji-taijin."
Un-ciangkun mengangguk
"Kami telah menerima pelaporan Ji-taijin dan kami sudah saling memperlihatkan surat itu."
"Menurut pendapat Ciangkun, siapakah kiranya Si Kedok Hitam ini?"
"Kami juga sudah menyebar penyelidik mencarinya, namun sejauh ini belum berhasil. Kami sungguh tidak dapat menduga siapa adanya Si Kedok Hitam itu."
"Menurut Ciangkun, dia itu orang macam apakah dan dari golongan mana?"
"Melihat isi suratnya, tak dapat disangsikan lagi dia tentu seorang yang berjiwa patriot, yang membenci pemerintah Kerajaan Mancu yang berkuasa di tanah air. Nah, sekarang kita telah bicara panjang lebar mengenai Si Kedok Hitam, bahkan kami telah memberi tahu kepada Nona segala yang kami ketahui mengenai dia. Lalu apakah berita penting yang hendak Nona sampaikan kepada kami?"
"Apa yang hendak saya sampaikan kepada Ciangkun adalah berita amat penting bagi Ciangkun. Belum lama ini saya melihat seorang Jepang bernama Yasuki, bahkan sudah bertanding melawannya. Dan orang Jepang bernama Yasuki itu telah bersekongkol dengan Phoa-ciangkun yang agaknya hendak melakukan pemberontakan. Saya mendengar sendiri percakapan mereka dan mereka bahkan merencanakan pembunuhan atas diri Ciangkun dan Ji-ciangkun. Hanya itulah berita yang dapat saya sampaikan kepada Ciangkun."
Un-ciangkun mengangguk-angguk
"Berita itu amat penting dan terima kasih atas pemberitahuan Nona. Memang kami telah menaruh curiga kepada Phoa-ciangkun karena selama ini agaknya dia bersikap longgar terhadap para bajak laut dan perampok Jepang, akan tetapi tidak pernah menduga bahwa dia bersekongkol dengan orang Jepang. Akan kami awasi dia dengan ketat."
"Apakah kalau menurut Ciangkun, Si Kedok Hitam tidak ada hubungannya dengan komplotan itu?"
Un-ciangkun menggeleng kepala
"Kami rasa tidak, Nona. Kalau Si Kedok Hitam mempunyai hubungan dengan mereka, tentu dia akan melakukan penyerangan terhadap kami atau Ji-taijin, bukan memberi surat peringatan seperti itu. Tidak, kami yakin bahwa Si Kedok Hitam itu seorang patriot yang gagah perkasa, tidak mungkin melakukan persekutuan dengan orang Jepang. Patriot sejati tidak akan sembarangan memberontak, melainkan lebih condong untuk membela rakyat dari gangguan penjahat dan dari penindasan para pembesar. Kalau ada pembesar yang menindas rakyat, atau penjahat yang mengganggu ketenteraman hidup rakyat, mungkin akan mereka tentang dan mereka bunuh."
"Aku teringat akan keluarga Cia. Apakah Ciangkun maksudkan para patriot itu seperti keluarga Cia?"
Un-ciangkun mengamati wajah Lee Cin dengan sinar mata tajam dan kagum.
"Nona juga tahu tentang hal itu? Memang, Nona. Kami juga mengenal keluarga Cia yang patriotik, akan tetapi kami tidak melihat gejala bahwa mereka itu berkomplot dengan para pemberontak. Keluarga Cia ini sejak dulu terkenal sebagai keluarga pendekar yang setia kepada Pemerintah Beng, tidak heran kalau mereka membenci pemerintah yang sekarang. Mereka selalu menentang para penjahat dan mungkin sekali mereka akan bertindak keras terhadap pembesar yang menindas rakyat jelata."
Lee Cin menahan diri untuk membuka rahasia keluarga Cia. Kalau saja Un-ciangkun tahu bahwa Cia Hok dan Cia Bhok juga bersekutu dengan orang Jepang dan Phoa-ciangkun, tentu akibatnya hebat. Un-ciangkun tentu akan mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga itu. Lee Cin tidak tega membuka rahasia keluarga Cia karena ia teringat akan kebaikan Tin Siong dan Tin Han, terutama Tin Han.
Lee Cin lalu berpamit dan diantar oleh Un-ciangkun sampai di luar. Perwira tinggi itu berterima kasih sekali kepada Lee Cin yang membawa berita penting tentang persekutuan orang Jepang dan Phoa-ciangkun.
"Terima kasih atas semua keteranganmu, Nona Souw," katanya sebagai ucapan selamat jalan.
"Saya juga berterima kasih atas keterangan Ciangkun mengenai Si Kedok Hitam," kata Lee Cin dan setelah memberi hormat, ia pun segera meninggalkan markas itu.
Malam itu hujan turun dengan derasnya membasahi kota Hui-cu. Suasana di jalan-jalan sepi sekali. Orang lebih suka berlindung di dalam rumah daripada keluar di malam hujan yang amat dingin itu. Para penjaga di depan markas dan terutama di depan gedung tempat tinggal Un-ciangkun bermalas-malasan. Malam terlalu dingin untuk berjaga di luar. Pula, penjahat mana yang berani mengganggu tempat tinggal Un-ciangkun yang dijaga para pengawal? Juga dalam malam hujan seperti itu, orang-orang jahat tentu malas untuk keluar.
Karena penjagaan kurang kuat, maka beberapa bayangan hitam dengan cepat sekali dapat memasuki pekarangan gedung itu tanpa ketahuan oleh para penjaga. Mereka berjumlah belasan orang dan melihat gerakan mereka yang ringan dan gesit, mudah diduga bahwa mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah belasan orang itu bersembunyi di seputar gedung itu, tiba-tiba di luar terjadi keributan. Puluhan orang telah menyerang gardu penjagaan dan segera terdengar teriakan-teriakan orang bertempur. Mendengar keributan ini, para pengawal dan penjaga yang berada di dalam gedung lari berserabutan keluar untuk membantu para penjaga dan beberapa orang penjaga lari ke markas untuk minta bantuan setelah dilihat bahwa pihak penyerang ada puluhan orang banyaknya.
Hiruk-pikuk perkelahian di luar itu menarik pula perhatian Un-ciangkun.
Dia segera terbangun dari tidurnya dan mendengar laporan seorang pengawal bahwa rumah itu diserbu puluhan orang, Un-ciangkun segera mengenakan pakaian komandan dan keluar sambil membawa pedangnya. Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan depan, belasan orang berpakaian hitam sudah menyerangnya. Un-ciangkun melawan dengan pedangnya dan enam orang pengawal yang selalu melindunginya juga melakukan perlawanan. Akan tetapi belasan orang penyerang itu ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh. Enam orang pengawal yang melawan mati-matian roboh satu demi satu sehingga tinggal Un-ciangkun seorang yang masih membela diri dengan marah. Perwira tinggi besar ini memang tangguh sekali dan dia sudah merobohkan dua orang pengeroyok.
Akan tetapi keroyokan belasan orang itu terlampau kuat baginya sehingga lewat puluhan jurus, dia mulai terkena senjata para pengeroyok. Un-ciangkun masih terus mengamuk, namun akhirnya dia roboh juga dan menjadi korban amukan belasan buah senjata tajam para pengeroyok. Setelah Un-ciangkun roboh dan tewas, beberapa orang di antara mereka lalu membunyikan sempritan yang nyaring. Ternyata ini merupakan tanda bagi puluhan orang yang berkelahi di luar untuk mengundurkan diri. Mereka melarikan diri cerai berai dan menghilang di dalam kegelapan malam, membawa teman-teman yang terluka.
Gegerlah pasukan pengawal. Bala bantuan dari markas datang dengan lima ratus orang, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, para penyerbu telah melarikan diri. Pasukan lalu mengejar, namun puluhan orang pengacau itu telah lenyap dan tidak diketahui ke mana larinya. Pasukan melakukan penggeledahan dari rumah ke rumah, namun tidak menemukan apa-apa sehingga diperkirakan bahwa puluhan orang pengacau itu telah melarikan diri keluar kota Hui-cu.
Tewasnya Un-ciangkun menggemparkan pasukan. Yang repot adalah Lai-ciangkun (Perwira Lai) yang menjadi wakil dari Un-ciangkun. Lai-ciangkun ini bernama Lai Kin, merupakan wakil Un-ciangkun yang bertubuh jangkung kurus. Melihat tewasnya Un-ciangkun, Lai-ciangkun segera mengambil alih kedudukan komandan pasukan dan dia segera mengirim laporan kepada Kaisar di kota raja dan menjabat komandan pasukan untuk sementara sambil menanti keputusan Kaisar sehubungan dengan tewasnya Un-ciangkun di tangan para pengacau dan pemberontak. Segera panglima ini memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan dia pun menyebar banyak penyelidik untuk mencari dan menyelidiki para penyerbu itu. Dia sendiri lalu tinggal di rumah induk yang tadinya menjadi tempat tinggal Un-ciangkun. Sementara itu, keluarga Un-ciangkun segera pulang ke kota raja.
Kurang lebih seminggu sejak peristiwa pembunuhan Un-ciangkun itu, pada suatu pagi muncul seorang pemuda di depan markas pasukan di Hui-cu itu. Pemuda itu bertubuh sedang dan nampak kuat, wajahnya tampan dan gagah, pakaiannya sederhana. Mukanya bulat dengan kulit putih. Alisnya tebal dengan sepasang mata yang mencorong. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum ramah. Telinganya lebar dan bahunya bidang dan kokoh.
Kedua pemuda itu berdiri di depan gardu penjagaan sambil matanya memandang ke arah gedung dengan penuh selidik, para penjaga menjadi curiga melihatnya. Kepala jaga segera melangkah keluar diikuti beberapa orang anak buahnya, menghampiri pemuda itu dan bertanya dengan suara membentak,
"Hei, orang muda! Siapakah engkau dan apa maumu berdiri di sini sambil memperhatikan ke gedung itu?"
Pemuda itu memandang kepada kepala jaga dengan sikap acuh tak acuh. Lalu terdengar jawabannya yang menantang,
"Aku berdiri di sini, apa salahnya, bukankah ini jalan umum? Dan aku memandang dengan mataku sendiri, kemana pun aku memandang, apa urusannya denganmu?"
Mendengar jawaban yang berani itu, Si Kepala Jaga menjadi merah mukanya. Dia dan kawan-kawannya selama ini memang diharuskan bersikap lembut dan sopan kepada rakyat jelata dan siapa yang melanggar akan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi pemuda itu demikian menantang, tentu saja membuat Si Kepala Jaga menjadi marah yang ditahantahannya. Dia pun memaksa diri bersikap ramah kepada pemuda itu.
"Sobat, engkau tahu bahwa gedung ini tempat tinggal komandan kami dan orang luar tidak boleh berada di sini terlalu lama. Kalau sudah cukup engkau memandang, tinggalkanlah tempat ini. Kami tidak ingin bersikap keras dan kasar kepadamu."
"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum aku dapat bertemu dengan Un-ciangkun, komandan pasukan di sini. Aku perlu bertemu dan bicara dengan Un-ciangkun. Karena itu, cepat laporkan kepada Un-ciangkun bahwa aku ingin bertemu dengannya."
Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Seminggu yang lalu Un-ciangkun tewas dikeroyok pengacau dan pemuda ini sekarang minta bertemu dengan perwira yang telah tewas itu. Tentu saja hal ini amat mencurigakan.
"Hemm, apakah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi di sini seminggu yang lalu?"
"Aku baru masuk kota ini pagi tadi, aku tidak mendengar apa-apa. Ada apakah?"
"Sudahlah, pendeknya pada saat ini Un-ciangkun tidak dapat bertemu denganmu. Pergilah atau kami akan menangkapmu dengan tuduhan engkau mempunyai niat buruk terhadap komandan kami."
"Eh, eh! Kalian hendak menangkap aku? Coba saja kalau bisa!" pemuda itu menantang. Tentu saja kepala jaga menjadi semakin marah. Dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya dan berkata nyaring,
"Tangkap pengacau ini!"
Empat orang perajurit menubruk ke depan untuk menangkap pemuda yang berani menentang itu, akan tetapi tubrukan mereka luput dan pemuda itu dengan sigapnya telah dapat mengelak. Para penjaga menjadi penasaran sekali dan belasan orang serentak maju mengepung pemuda itu dan mereka menyerang dari segala jurusan untuk menangkapnya. Namun, pemuda itu ternyata gesit sekali dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang penjaga terpelanting terkena tamparan dan ditendangnya.
Para perajurit menjadi makin penasaran dan mereka mengeroyok, kini mereka menyerang bukan saja untuk menangkap, bahkan untuk memukulnya. Akan tetapi kembali empat orang terpelanting. Kepala jaga terkejut dan menduga bahwa pemuda itu memang datang untuk membikin kacau, maka dia pun mencabut goloknya dan memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk menggunakan senjata. Tampak sinar mengkilap ketika semua penjaga mencabut golok masing-masing dan kini mereka menyerang lagi mempergunakan senjata tajam mereka.
Akan tetapi pemuda itu benar-benar tangguh sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok dan setiap tangannya atau kakinya menyambar pasti ada seorang pengeroyok yang roboh, golok mereka terlempar dan mereka terpelanting. Melihat keadaan ini, seorang di antara para perajurit itu segera berlari ke dalam untuk membuat laporan. Para pengeroyok berpelantingan, namun anehnya, tidak seorang pun di antara mereka yang terluka parah, hanya benjol-benjol dan babak belur saja, tidak ada yang terluka berat.
"Hentikan semua serangan!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lai-ciangkun telah berada di situ dengan pedang di tangan. Perwira ini mengamati wajah pemuda itu dengan penuh perhatian, lalu dia melangkah maju menghadapi pemuda itu.
"Orang muda, engkau siapakah dan mengapa engkau membikin ribut di sini?" tanya Lai-ciangkun sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
Pemuda itu tertawa,
"Ha-ha-ha, kalau penjagaan hanya dilakukan oleh orang-orang lemah, bagaimana dapat melindungi Sang Komandan? Para perajurit yang berjaga di sini lemah sekali, buktinya aku dapat membuat mereka jatuh bangun. Seharusnya penjagaan di sini diperkuat dengan orang-orang yang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, dan jangan lupa, harus disediakan sedikitnya selosin perajurit ahli panah sehingga akan dapat menguasai dan menundukkan orang yang hendak membikin kacau!"
Lai-ciangkun menjadi marah mendengar ini
"Orang muda, engkau sombong sekali! Katakan, siapa engkau dan apa kehendakmu datang ke sini membikin ribut?"
"Apakah engkau Un-ciangkun?" tanya pemuda itu sambil mengamati wajah orang. Lai-ciangkun mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
"Aku bukan Un-ciangkun," jawabnya singkat.
"Ah, kalau begitu, tolong panggilkan Un-ciangkun. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Un-ciangkun."
"Un-ciangkun tidak ada, yang ada aku, wakilnya, aku bernama Lai Kin. Siapakan engkau, orang muda?"
"Aku bernama Song Thian Lee dan aku tidak ingin bicara dengan orang lain kecuali Un-ciangkun karena yang akan kubicarakan adalah urusan yang harus ditangani oleh Un-ciangkun sendiri." Pemuda itu memang Song Thian Lee. Seperti kita ketahui, Panglima Song ini diutus oleh Kaisar sendiri untuk melakukan penyelidikan ke wilayah timur dan untuk itu, Thian Lee sengaja menanggalkan pakaian panglima dan mengenakan pakaian rakyat biasa.
Mendengar nama itu, Lai-ciangkun terkejut bukan main. Tentu saja dia mengenal nama panglima besar ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia sendiri belum pernah bertemu muka dengan Song-ciangkun.
"Bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau bernama Song Thian Lee?" tanyanya ragu.
Thian Lee lalu mengambil surat kuasa dari Kaisar dan memperlihatkannya kepada Lai-ciangkun. Melihat ini, Lai-ciangkun lalu berlutut dengan kaki kanan dan memberi hormat seperti penghormatan kepada Kaisar sendiri. Thian Lee menyimpan kembali surat kuasanya dan dia berkata dengan lembut,
"Nah, sekarang harap panggilkan Un-ciangkun untuk menghadapku."
Lai-ciangkun segera bangkit dan berkata lirih,
"Un-ciangkun telah terbunuh, mari silakan masuk ke dalam, Song-ciangkun dan kita bicara di dalam."
Thian Lee terkejut sekali mendengar ini dan dia pun segera mengikuti perwira itu masuk ke dalam. Lai-ciangkun mempersilakan Thian Lee duduk dan setelah memberi hormat dia pun duduk berhadapan dengan pemuda itu.
"Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi sehingga Un-ciangkun terbunuh, Lai-ciangkun," kata Thian Lee dengan suara memerintah dan berwibawa.
Lai-ciangkun lalu menceritakan tentang peristiwa malam itu
"Semua terjadi begitu tiba-tiba, Ciangkun,"
dia mengakhiri ceritanya
"Sebelum penyerbuan itu terjadi, tidak terlihat tanda-tanda bahwa akan terjadi penyerangan. Malam gelap dan hujan, maka para penjaga menjadi terkejut ketika tiba-tiba diserbu oleh puluhan orang banyaknya. Para penyerbu itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan Un-ciangkun dikeroyok belasan orang yang lihai. Biarpun dia dibantu oleh beberapa orang pengawalnya, namun akhirnya dia roboh juga dan terbunuh bersama semua pengawalnya."
Thian Lee mengerutkan alisnya yang tebal
"Akan tetapi, bagaimana sampai ada belasan orang penjahat yang dapat masuk, padahal penyerangan puluhan orang itu telah dilawan oleh pasukan yang bertugas jaga, bukan?"
"Memang demikianlah. Tidak ada yang melihat ada yang dapat menyerbu masuk. Tahu-tahu telah ada belasan orang itu yang menyerbu ke dalam, tentu mereka itu sudah dapat memasuki gedung sebelum penyerangan dilakukan. Mereka tentu telah menyelundup masuk tanpa diketahui penjaga."
"Hemm, memang aku melihat sendiri betapa penjagaan di sini kurang ketat dan sebaiknya para penjaga itu diganti oleh orang-orang yang lebih tangguh. Apakah sebelum peristiwa pembunuhan atas diri Un-ciangkun itu terjadi, tidak ada tanda-tanda bahwa di daerah ini terdapat gejala-gejala pemberontakan?"
Lai-Ciangkun menggeleng kepalanya
"Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada Ciangkun. Suasana tenteram saja."
"Aku mendengar bahwa kadang terjadi perampokan di pesisir, dilakukan oleh bajak-bajak laut Jepang," kata Thian Lee sambil menatap tajam wajah kurus Lai-ciangkun yang memiliki mata yang tampak cerdik itu.
"Hal itu tidak dapat dibantah, Ciangkun. Memang ada terjadi perampokan kecil-kecilan oleh bajak laut, akan tetapi itu jarang atau kadang-kadang saja. Para perampok itu lalu melarikan diri dengan perahu mereka. Mereka berani mengganggu rakyat di tempat-tempat yang kebetulan tidak ada penjaganya."
"Apakah tidak ada orang-orang Jepang yang berkeliaran di kota ini dan sekitarnya?"
Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak ada, Ciangkun."
"Baru seminggu Un-ciangkun tewas. Bagaimana kini engkau dapat menjadi komandan di sini, Ciangkun?" tanya Thian Lee sambil memandang wajah Lai Kin dengan tajam penuh selidik. Wajah perwira itu menjadi merah.
"Ah, saya sama sekali tidak nnenjadi komandan di sini, Ciangkun, hanya sementara saja menggantikan Un-ciangkun sambil menanti keputusan Sri Baginda Kaisar atas laporan saya bahwa Un-ciangkun telah tewas terbunuh."
Thian Lee mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain. Pasukan di situ harus memiliki seorang komandan dan selain Lai Kin tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk menjadi komandan sementara. Dia mengambil keputusan untuk nnelakukan penyelidikan sendiri di daerah yang menurut berita yang diperoleh Kaisar merupakan daerah rawan itu.
"Bagaimana keadaan Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai timur?" tiba-tiba dia bertanya.
"Ah, dia? Saya kira"... menurut pengetahuan saya, dia baik-baik saja, Ciang-kun," jawab Lai Kin agak tersendat. Akan tetapi Thian Lee berpura-pura tidak tahu akan sikap itu, hanya mencatat dalam hati bahwa perwira she Lai ini terkejut ketika ditanya tentang Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai.
Malam itu Thian Lee berrnalam di markas, memperoleh sebuah kamar yang besar sebagai seorang tamu kehormatan. Setelah dijamu makan malam, Thian Lee lalu beristirahat, memasuki kamarnya di mana dia duduk bersila di atas pembaringan untuk mengumpulkan hawa murni, mengusir kelelahan tubuhnya dan merenungkan hasil percakapan tadi.
Thian Lee termenung. Di timur ini yang menjadi komandan dua pasukan adalah Un-ciangkun dan Phoa-ciangkun. Kalau ada perwira yang hendak berkhianat, tentu seorang di antara keduanya itu. Akan tetapi, Un-ciangkun terbunuh oleh orang-orang yang tidak diketahui siapa. Apakah Phoa-ciangkun yang membunuhnya setelah Un-ciangkun mengetahui bahwa dia hendak berkhianat dan bersekutu dengan orang Jepang? Atau barangkali Un-ciangkun sendiri yang berkhianat? Juga Lai-ciangkun itu patut dicurigai. Siapa tahu dia dalang pembunuhan karena kalau Un-ciangkun tewas, besar kemungkinan dia yang akan diangkat men jadi komandan. Atau semua dugaannya itu keliru dan ada orang-orang tersembunyi yang mendalangi itu semua? Dia harus melakukan penyelidikan kepada Phoaciangkun dan meninjau daerah pantai. Dengan pikiran ini Thian Lee tertidur. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang sakti, dalam keadaan itu Thian Lee akan dapat terbangun oleh sedikit saja suara atau gerakan yang mencurigakan.
Dua orang berpakaian serba hitam itu bergerak cepat sekali. Hanya bayangan mereka yang berkelebatan di atas atap genteng dan sebentar kemudian bayangan mereka sudah melayang turun. Mereka adalah dua orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan muka mereka pun tertutup kain hitam, hanya memperlihatkan kedua mata mereka saja yang tajam bersinar seperti mata kucing. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun mereka kini telah mendekam di luar jendela kamar di mana Thian Lee bermalam. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebuah tabung kecil seperti suling, memasukkan bubuk putih ke dalam tabung dan setelah orang kedua membuat lubang di jendela dengan jarinya, pemegang tabung lalu meniup melalui tabung itu sambil memasukkan ujung tabung ke dalam kamar melalui lubang.
Sampai lima kali dia melakukan ini dan dia meniup dengan tenaga khi-kang, mengerahkan bubuk yang ditiupkannya ke arah pembaringan. Terdengar suara orang terbatuk-batuk. Di dalam kamar itu, lalu suara batuk itu sendiri terhenti dan suasana rnenjadi sunyi kembali. Dua orang bertopeng hitam itu saling pandang, lalu mengangguk dan seorang di antara rnereka menggunakan pedangnya untuk mencokel daun jendela. Setelah daun jendela terbuka, bagaikan dua ekor kucing mereka berlornpatan masuk ke kamar itu tanpa mengeluarkan suara. Kamar itu remang-remang, hanya mendapat penerangan dari luar kamar, akan tetapi dua orang itu dapat melihat bentuk tubuh manusia tertidur di atas pembaringan. Mereka mengelebatkan pedang dan dengan gerakan cepat pedang mereka dibacokkan ke arah tubuh manusia itu.
"Crok! Crokk!" Mereka terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka bacok itu hanya guling yang diselimuti kain. Maklum bahwa usaha mereka gagal, cepat berloncatan keluar lagi dari jendela yang terbuka itu.
Akan tetapi, di depan mereka berdiri seorang yang bertolak pinggang memandang mereka, tubuhnya tinggi tegap dan orang ini bukan lain adalah Song Thian Lee! Biarpun tadinya dia tidur pulas, namun sedikit gerakan kaki di atas atap cukup untuk membangunkannya. Dia segera maklum bahwa ada dua orang mempergunakan gin-kang yang cukup tinggi sedang menuju ke kamarnya, maka dia cepat membuka pintu, keluar lalu menutupkan lagi pintu kamarnya, mengintai dari balik pot bunga besar yang berada di luar kamar. Dia dapat melihat apa yang dilakukan dua orang itu dan tersenyum sendiri. Setelah dua orang meloncat ke dalam karnar, dia pun menghampiri daun jendela sehingga ketika dua orang itu keluar lagi, mereka sudah berhadapan dengan dia.
Dua orang itu terkejut dan juga penasaran. Dengan gerakan cepat dan kuat sekali, mereka menggerakkan pedang menyerang Thian Lee. Akan tetapi mereka merasa seperti menyerang bayangan saja karena Thian Lee bergerak jauh lebih cepat daripada mereka, mengelak ke sana-sini dan berloncatan di antara dua gulungan sinar pedang. Dia menggunakan Hui-tiauw-kun (Silat Rajawali Terbang), dengan mudah menghindarkan diri dari semua sambaran pedang, kemudian membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan angin berciutan.
Kedua orang itu tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri, maka dengan nekat mereka menyerang terus. Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, mereka terdesak hebat oleh kedua tangan Thian Lee yang menyambar-nyam bar. Dua orang yang merasa bahwa mereka adalah jagoan-jagoan lihai sekali itu benar-benar terkejut, penasaran dan menjadi nekat. Mereka terus menyerang karena memang tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri lagi. Kalau mereka membalikkan tubuh, mereka khawatir akan terkena pukulan ampuh yang mengeluarkan angin amat dahsyat itu.
Biarpun kedua orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan memiliki ilmu pedang yang ampuh, namun menghadapi Panglima Besar Song, Thian Lee, semua serangan mereka sia-sia beiaka. Akhirnya, dengan sebuah tendangan kaki kiri dan tamparan tangan kanan, Thian Lee dapat merobohkan kedua orang pengeroyoknya. Mereka terlempar ke kanan kiri dan selagi Thian Lee yang sengaja merobohkan mereka tanpa membunuh hendak menghampiri, dia melihat dua sinar berkelebat ke arah kedua orang itu. Dengan terkejut Thian Lee menghampiri, akan tetapi mereka berdua sudah berkelojotan dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, masing-masing tertusuk sebatang pisau belati pada ulu hati mereka. Thian Lee menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak nampak bayangan manusia dan dia pun dapat menduga bahwa Si Pelempar Belati adalah seorang yang amat lihai.
Suara ribut-ribut itu menarik perhatian beberapa orang penjaga dan mereka berlarian ke situ. Tak lama kemudian, Lai-ciangkun juga tiba di situ.
"Ada apakah, Ciangkun?" tanya Lai-ciangkun dengan kaget.
"Dua orang ini berusaha untuk membunuhku," jawab Thian Lee singkat dan pandang matanya mencari-cari di antara para pengawal itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat para pengawal menundukkan muka karena pandang mata itu tajam sekali menusuk sampai ke hati. Sementara itu, Lai-ciangkun berjongkok dan memeriksa kedua orang itu, merenggut lepas kain hitam yang menutupi muka mereka.
"Bagaimana, Lai-ciangkun? Apakah engkau mengenal mereka?" tanya Thian Lee akan tetapi dia sudah menduga bahwa perwira itu tentu tidak mengenal mereka. Lai-ciangkun menggeleng kepalanya dan memanggil belasan orang pengawal itu untuk melihat kalau-kalau di antara mereka yang mengenal kedua orang itu.
Seorang di antara pengawal berseru,
"Hei, bukankah mereka ini adalah Siang-hui-houw (Sepasang Harimau Terbang), kakak beradik she Kam yang tinggal di Hui-lam? Ah, benar mereka, saya pernah bertemu dengan mereka, Ciangkun."
"Apa? Bukankah Siang-hui-houw itu sepasang pendekar dari Hui-lam?" tanya pula Lai ciangkun.
"Benar, Ciangkun. Mereka ini kakak beradik yang terkenal sebagai pendekar di Hui-lam."
"Akan tetapi, mengapa mereka berusaha membunuhmu, Song-ciangkun? Sepanjang yang kudengar, mereka adalah sepasang pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan mereka tewas oleh pisau di ulu hati mereka. Maaf, apakah engkau mempergunakan pisau terbang, Ciangkun?" Lai-ciangkun bangkit berdiri dan menghadapi Thian Lee.
Thian Lee menggeleng kepalanya
"Bukan aku yang membunuh mereka. Mereka membongkar jendela kamarku, hendak membunuhku, akan tetapi aku sudah keluar dan aku hanya merobohkan mereka. Sebelum aku dapat memeriksa mereka, ada yang menyambitkan pisau-pisau itu dan menewaskan mereka. Tentu hal itu dilakukan orang agar mereka tidak mernbocorkan rahasia komplotan ini."
Dua mayat itu lalu digotong pergi dan Thian Lee kembali ke kamarnya, setelah bantal guling yang berantakan dihajar pedang itu diganti dengan bantal guling baru oleh pelayan. Dia duduk bersila di atas pembaringannya dan memutar pikirannya untuk memecahkan teka-teki itu. Dua orang pendekar hendak membunuhnya dan mereka terbunuh oleh orang lain. Tentu orang lain itu komplotan mereka, merupakan orang yang lebih penting atau bahkan mungkin pemimpin mereka. Akan tetapi, dua orang itu dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah, lalu apa maksudnya hendak membunuhnya?
Thian Lee mengerutkan alisnya. Siapakah yang berkepentingan untuk membunuhnya? Tentu orang yang memusuhinya, dan karena dia seorang panglima besar, maka musuhnya itu tentulah golongan pemberontak! Jadi, dua orang pendekar itu telah menjadi komplotan pemberontak, dan hal ini mungkin terjadi. Banyak pendekar yang tertarik untuk membantu pemberontak yang mereka anggap sebagai perjuangan melawan penjajah.
Setelah membolak-balik pikirannya, Thian Lee lalu mendapat kesimpulan bahwa pertama: kedua orang pembunuh itu pasti dibantu orang dalam sehingga mereka mampu bergerak dengan. Leluasa mendekati kamarnya dan orang dalam itu tentu saja satu atau lebih di antara anak buah Lai-ciangkun. Ada pengkhianat dalam pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun. Dan ke dua: kalau dua pendekar itu berkomplot dengan pemberontak, tentu ada pendekar-pendekar lainnya di daerah ini yang juga sudah dapat ditarik menjadi komplotan para pemberontak. Atau setidaknya, para pendekar lain tentu mengetahui tentang gerak-gerik pemberontak di daerah itu. Maka yang harus dikerjakan adalah mencari pengkhianat dalam pasukan Lai-ciangkun, dan ke dua menyelidiki para pendekar yang berada di Hui-cu dan sekitarnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah menemui Lai-ciangkun dan menyatakan pendapatnya,
"Lai-ciangkun, semalam aku sudah berpikir bahwa dua orang pembunuh itu tentu dibantu orang dalam sehingga mereka dapat masuk ke sini dengan mudah dan tidak diketahui oleh para penjaga. Karena itu, aku minta kepada Lai-ciangkun untuk bersikap waspada dan diam-diam melakukan penyelidikan dan pemeriksaan ke dalam untuk menangkap pengkhianat itu. Agaknya di antara orang-orang bawahanmu ada yang bersekongkol dengan orang luar, mungkin dengan para pemberontak."
Mendengar ucapan itu, Lai Kin tampak terkejut sekali
"Ada pengkhianat di dalam? Akan tetapi...."
"Tidak perlu ragu lagi, Ciangkun. Selain dua orang itu tidak mungkin masuk tanpa diketahui kalau tidak mendapat bantuan dari dalam, juga ingat akan orang yang membunuh kedua orang bertopeng hitam itu. Bagaimana dia dapat melakukan pembunuhan lalu menghilang begitu saja? Mungkin pembunuh itu adalah orangmu sendiri. Maka berhati-hatilah dan lakukan penyelidikan dengan teliti."
"Baik, baik, Thai-ciangkun," kata Lai-ciangkun dengan sikap taat dan hormat.
"Nah, kuserahkan penyelidikan itu kepadamu. Aku hendak melakukan penyelidikan keluar dan mungkin dalam beberapa hari ini aku tidak akan kembali ke sini."
"Apakah Ciangkun membutuhkan bantuan? Saya dapat menyediakan seregu perajurit pilihan untuk membantuku."
Thian Lee menggeleng kepalanya
"Tidak usah, Lai-ciangkun. Melakukan penyelidikan beramai-ramai sukar mendapatkan hasil yang kuinginkan."
Song Thian Lee lalu berkemas, mengenakan pakaian biasa dan membawa buntalan pakaian di mana terdapat pedangnya, digendongnya buntalan itu di punggung. Kemudian dia keluar dari markas itu melalui pintu belakang yang menembus kebun sehingga tidak akan tampak oleh orang lain.
Siang hari itu Thian Lee melakukan penyelidikan dengan mendengar keterangan dari penduduk di Hui-cu. Dia bertanya kepada beberapa orang tentang para pendekar yang terdapat di Hui-cu. Seorang laki-laki setengah tua yang berjualan tahu ketika ditanya memandang kepada Thian Lee dengan mata disipitkan.
"Untuk apa engkau menanyakan itu, orang muda?"
"Saya seorang perantau, Paman, dan saya senang sekali berkenalan dengan para pendekar. Tahukah Paman, siapakah pendekar-pendekar yang paling terkemuka di sini, paling dikenal rakyat sebagai pendekar yang budiman dan gagah perkasa?" Thian Lee bertanya seperti sambil lalu dan membeli beberapa potong tahu yang sudah matang dan memaksanya untuk sarapan pagi.
"Di Hui-cu dan sekitarnya terdapat banyak orang gagah. Agaknya setelah Un-ciangkun menjadi komandan di sini, tidak ada orang yang melakukan kejahatan. Mereka yang kuat tidak ada yang berani bertindak sewenang-wenang, bahkan condong untuk menentang kejahatan. Akan tetapi di antara mereka semua itu, yang paling dikenal dan dihormati rakyat adalah keluarga Cia yang tinggal di ujung kota, di kaki bukit itu. Keluarga itu terdiri dari orang-orang gagah yang sudah sering kali menghajar orang-orang jahat sehingga tidak ada lagl orang jahat berani mengacau di sini. Ya, keluarga Cia itulah keluarga pendekar besar yang paling dikenal di sini."
Diam-diam Thian Lee membenarkan ucapan itu. Nama keluarga Cia memang terkenal, bukan hanya di daerah itu, dlpergunakandunia kang-ouw juga membicarakan. Sebuah keluarga tua yang sudah lama terkenal, menniliki pendekar-pendekar turun-temurun dan kabarnya ilrnu silat mereka amat lihai. Dia sudah lama tahu bahwa di Hui-cu tinggal keluarga Cia. Kalau dia melakukan penyelidikan untuk mengetahui pendekar-pendekar lainnya, adalah untuk memperlengkap penyelidikannya. Dia tidak percaya kalau keluarga Cia yang demikian ternama mau bersekutu dengan pemberontak, apalagi dengan para peratnpok bangsa Jepang. Akan tetapi, dia harus menyelidiki. Siapa tahu mereka itu termasuk patriot yang membenci Kerajaan Mancu. Banyak patriot yang seperti itu rnudah dibujuk oleh kaum pemberontak untuk "berjuang" menentang pemerintah penjajah sehingga mereka tidak segan-segan bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat yang memberontak seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan beberapa perkumpulan sesat lainnya. Saking besar semangatnya memusuhi pemerintah pemberontak mereka sampai lupa bahwa mereka itu dipergunakan oleh perkumpulan sesat yang "berjuang" demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.
Thian Lee melakukan penyelidikan sampai sehari penuh. Menjelang senja, selagi dia berjaian perlahan-lahan untuk menyusun tindakan apa yang akan dilakukan malam nanti, tiba-tiba dia melihat dua orang berjalan dari arah depan dan begitu melihat mereka, Thian Lee segera menundukkan mukanya dan melihat dari bawah ke arah muka mereka. Dia mengenal dua orang ini, walaupun baru satu kali dia ber temu dengan mereka, akan tetapi mereka tidak mengenalnya. Yang seorang bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Bahkan mukanya amat menarik perhatian saking hitarnnya. Di pinggang kirinya tergantung sebatang ruyung besar yang berduri. Laki-laki ini berusia kurang lebih lima puluh tahun dan Thian Lee mengenalnya sebagai orang yang berjuluk Hek-bin Moko (Setan Berwajah Hitam). Orang ke dua berusia sebaya dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya kuning seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan dia memegang sebatang tongkat hitam. Dia pun terkenal dengan julukannya Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti). Kedua orang itu adalah dua orang tokoh sesat yang lihai.
Thian Lee membiarkan kedua orang itu lewat. Setelah mereka jauh, barulah dia menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, lalu membayangi kedua orang itu dari jauh. Dia merasa heran mengapa dua orang tokoh kang-ouw itu berkeliaran di kota Hui-cu. Tidak mungkin kalau hal ini kebetulan saja. Dan dia tahu betul betapa lihai dua orang ini. Agaknya kalau seorang di antara mereka yang melakukan pembunuhan secara gelap kepada dua orang bertopeng malam tadi, hal itu tidaklah aneh. Andaikata bukan mereka yang melakukannya, namun mereka berdua datang ke tempat itu pasti mengandung makna yang amat penting. Mereka jelas bukan sebangsa pendekar, melainkan tokoh sesat yang tidak segan melakukan perbuatan jahat.
Dua orang itu berjalan dengan santai menuju ke sebelah utara, kemudian keluar dari pintu gerbang kota Hui-cu sebelah utara. Bagian utara kota itu merupakan daerah perbukitan yang sunyi, tidak ada dusun di situ karena daerah itu masih liar dan bukit-bukitnya penuh dengan hutan belukar.
Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai memang dua orang yang amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kehebatan ilmu kepandaian mereka. Di mana pun mereka berada mereka pasti akan menguasai dunia hitam daerah itu dan menjadi pemimpinnya. Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) itu tentu segera merampas kedudukan sebagai ketua partai pengemis yang berkuasa di daerah itu dan selanjutnya menjadi raja kecil yang menerima penghormatan dan pelayanan para pengemis. Sedangkan Hek-bin Mo-ko tentu akan menguasai semua penjahat seperti para maling dan copet, juga merampas kedudukan para kepala gerombolan yang menguasai rumah-rumah judi dan rumah pelacuran. Akan tetapi agaknya dua orang tokoh sesat itu baru saja tiba di kota Hui-cu dan mereka belum sampai rnerampas kedudukan-kedudukan itu, karena kalau mereka berdua sudah berkuasa di situ, tentu Thian Lee akan mendengar nama mereka ketika dia melakukan penyelidikan tadi.
Dengan hati tegang Thian Lee terus membayangi mereka keluar dari kota dan mendaki bukit pertama di luar kota itu. Malam sudah hampir tiba dan cuaca sudah remang-remang. Dia melihat mereka memasuki sebuah hutan di bukit itu. Tanpa ragu Thiw Lee juga membayangi mereka memasul hutan itu dari jarak lebih dekat karena dia tidak mau kehilangan mereka. Dia merasa yakin bahwa kedua prang itu tentu berkunjung ke tempat persembunyian mereka atau mungkin juga masuk ke hutan itu untuk menemui orang yang ada hubungannya dengan pernberontakan. Hati Thian Lee menjadi tegang penuh harapan.
Akan tetapi ketika dia membayangi sampai ke tengah hutan yang mulai gelap, tiba-tiba dia mendengar gerakan banyak orang dan tahu-tahu dari empat penjuru berloncatan banyak orang dan dirinya sudah dikepung oleh kurang lebih tiga puluh orang! Mereka semua memegang golok dan senjata tajam lainnya. Dia berhenti dan bersikap waspada. Kemudian muncullah dua orang yang dibayanginya tadi di antara orang banyak dan mereka berdua tertawa bergetak menghadapi Thian Lee,
"Ha-ha-ha, sekarang engkau akan dapat berbuat apa, Panglima Besar Song Thian Lee?" Hek-bin Mo-ko tertawa sambil mencabut ruyung berduri dari pinggangnya.
"Heh-heh-heh, seorang panglima besar antek Mancu berkeliaran di sini seperti seekor ular mencari penggebuk. Hari ini engkau akan mampus, Song Thian Lee!" kata Sin-ciang Mo-kai dan dia pun sudah mengangkat tongkat hitamnya. Tongkat hitam itu berbahaya sekali karena ujungnya direndam racun dan sekali saja tergores atau tertusuk tongkat itu cukup untuk membunuh orang.
Thian Lee maklum bahwa dirinya terancam bahaya, namun dia tetap tersenyum tenang. Dua orang itu telah mengenalnya! Hal ini sungguh tidak mungkin karena biarpun dia pernah melihat mereka, namun mereka itu tentu tidak mengenalnya. Kini tahu-tahu mereka. Telah mengenalnya, bukan hanya mengenal namanya, bahkan tahu bahwa dia adalah panglima besar! Ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau mereka berdua memang sudah ada yang memberi tahu! Dan siapakah yang mengetahui bahwa Panglima Besar Song berada di Hui-cu? Lai-ciang-kun? Ah, masa Lai-ciangkun mempunyai hubungan dengan dua orang tokoh sesat itu? Tentu seorang di antara anak buah Lai-ciangkun, rnungkin tokoh yang telah membunuh dua orang bertopeng itu.
Thian Lee merasa tidak perlu untuk berpura-pura lagi
"Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai! Apa maksud kalian mengepungku dan mengancamku? Sepanjang ingatanku, belum pernah aku bermusuhan dengan kalian berdua!"
"Kalau belum pernah bermusuhan, mengapa engkau membayangi kami berdua?" Tanya Hek-bin Mo-ko.
"Engkau membayangi kami berdua tentu bukan dengan maksud mengajak kami beramah-tamah, bukan?" ejek Sinciang Mo-kai.
"Karena aku merasa heran dan ingin tahu mengapa dua orang seperti kalian berkeliaran di kota Hui-cu!" jawab Thian Lee.
"Sudahlah, Mo-ko, mengapa mengajak calon mayat ini bercakap-cakap? Cepat habisi nyawanya!" kata pula Sin-ciang Mo-kai dengan marah dan ia pun sudah melompat ke depan dan tongkatnya menyambar ke arah leher Thian Lee.
Pendekar ini cepat miringkan tubuhnya mengelak dan dari samping dia sudah menampar ke arah pundak Si Pengemis Iblis. Hawa pukulan yang amat dahsyat membuat Sin-ciang Mo-kai terdorong mundur biarpun dia sudah mengelak sehingga dia terkejut sekali. Akan tetapi pada saat itu, ruyung berduri di tangan Hek-bin Mo-ko sudah menyambar dengan hantaman yang amat kuat ke arah dada Thian Lee.
"Mampuslah!" bentak Mo-ko, akan tetapi dengan mudah saja Thian Lee menghindarkan diri dari sambaran ruyung itu. Ketika Sin-ciang Mo-kai dan anak buahnya menyerbu, dia sudah mengambil pedangnya dari dalam buntalan pakaiannya dan dari situ pedang Jit-goat-sin-kiam telah berada di tangannya. Ketika dia memutar, pedangnya menangkis hujan senjata tajam itu, terdengarlah suara nyaring berdenting-denting. Para pengeroyok hanya melihat sinar terang bergulung-gulung menyilaukan mata dan banyak di antara mereka yang menjadi kaget karena senjata mereka telah patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan sinar terang itu! Thian Lee menggerakkan kakinya dan nnenendangi mereka yang masih terkejut itu sehingga empat orang pengeroyok terpental sampai tiga meter dan jatuh berpelantingan seperti daun-daun kering tertiup angin! Tentu saja para pengeroyok menjadi terkejut bukan main, akan tetapi mereka mengandalkan banyak teman dan semakin ketat, bersikap hati-hati agar senjata mereka tidak bertemu dengan pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu.
Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai juga terkejut. Mereka hanya pernah mendengar bahwa Panglima Besar Song Thian Lee adalah seorang yang sakti, akan tetapi mereka belum pernah membuktikannya sendiri. Kini, mengandalkan pengeroyokan banyak kawan, mereka berdua maju dan menerjang dengan berani dan dahsyat, dibantu oleh seorang yang bertubuh katai dan yang memainkan sebatang pedang samurai yang panjang dan melengkung. Orang ini juga lihai sekali permainan pedangnya. Melihat gerakan pedang samurai itu, Song Thian Lee da-pat menduga.bahwa dia tentu seorang bangsa Jepang yang sering didengarnya. Jagoan-jagoan Jepang memang mahir menggunakan pedang panjang melengkung yang dimainkan dengan nnemegangi tangkai pedang dengan kedua tangannya.
Kemelut Kerajaan Mancu Eps 2 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 2 Gelang Kemala Eps 7