Ceritasilat Novel Online

Dewi Ular 15


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




"Kau maksudkan pemuda yang menentang neneknya sendiri itu?"

"Benar, Lee-ko. Akan tetapi sayang bahwa dia seorang kutu buku yang tidak suka belajar ilmu silat. Dia seorang yang lemah walaupun jiwanya pendekar dan patriot tulen."

"Aku melihat pemuda itu bukan seorang pemuda biasa, Cin-moi. Dia memiliki keberanian besar dan aku juga melihat sesuatu hal yang akan menjamin keselamatanrnu, Cin-moi."

"Maksudmur tanya Lee Cin sambil menatap tajam wajah Thian Lee.

Thian Lee tersenyum

"Dua orang pemuda kakak beradik itu mencintamu, Cin-moi. Kakaknya yang bersenjata suling perak itu terang-terangan menyatakan cintanya kepadamu dan mengharapkan engkau menjadi jodohnya, sedangkan adiknya diam-diam mencintamu. Aku dapat melihat sinar matanya ketika dia membelamu dan memandangmu."

Lee Cin juga tersenyum dan mengangguk

"Aku juga sudah tahu akan hal itu. Lee-ko. Cia Tin Siong itu amat baik kepadaku dan aku berkenalan dengan keluarga Cia pertama kali karena mengenalnya. Akan tetapi aku melihat sesuatu yang keras dan mengerikan dalam pandang matanya yang membuat aku tidak suka kepadanya. Adapun Cia Tin Siong itu..... ah, dia hanya seorang pemuda sastrawan yang lembut, jauh berbeda dari kakaknya walaupun kuakui bahwa dia pemberani. Akan tetapi, mengapa kita membicarakan mereka, Lee-ko? Kita harus mencari jalan keluar dari tempat ini. Apakah engkau tidak mampu mele paskan dirimu dari belenggu itu, Lee-ko?"

"Agaknya aku dapat mematahkan belenggu ini, akan tetapi apa gunanya? Kita tidak akan dapat membobol pintu yang sekuat itu. Pula, kalau mereka melihat kita mematahkan belenggu, tentu mereka akan datang semua ke sini dan dalam kamar tahanan ini, bagaimana kita dapat membela diri?"

"Tepat dengan apa yang kupikirkan, Lee-ko. Aku pun kiranya akan sanggup mematahkan belenggu ini, akan tetapi kukira hal itu tidak mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita lihat saja kalau ada kesempatan, begitu pintu dibuka dari luar, kita terjang mereka dan membuka jalan dengan nekat." Akan tetapi apa yang mereka harapkan itu agaknya masih merupakan hal yang meragukan. Mereka hanya boleh berharap. Pihak lawan adalah orang-orang yang lihai dan pandai, tidak mungkin mereka bertindak secara sembrono."

Mereka berdua lalu duduk bersila dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga mereka agar mereka dapat bersiap setiap saat. Sambil bersila mereka berdua dapat pula tidur, karena hal ini penting sekali untuk menjaga kesehatan dan kesegaran tubuh mereka.

Dua orang muda gagah perkasa ini sedikitpun juga tidak merasa khawatir biarpun mereka sudah menjadi tawanan. Mati bagi mereka bukan hal yang mengkhawatirkan. Sejak kecil mereka sudah digembleng untuk menjadi orang gagah yang siap untuk mati apabila membela kebenaran. Mereka sama sekali tidak memikirkan waktu yang akan datang, hanya menghadang kenyataan penuh kewaspadaan. Sikap seperti inilah yang membuat orang bebas dari rasa takut, bebas dari rasa duka. Duka selalu timbul karena kita memikirkan dan membayangkan masa lalu yang telah lewat.

Peristiwa-peristiwa yang telah lalu, yang merugikan kita, mendatangkan rasa suka karena mengenangkan semua peristiwa itu membuat kita menjadi iba diri dan merasa bahwa diri kita paling sengsara di dunia ini. Rasa iba diri ini menumpuk dan mendatangkan duka nestapa. Sebaliknya, membayangkan hal-hal yang belum datang, membayangkan hari esok, hanya mendatangkan rasa takut. Membayangkan hari esok bagi orang-orang dalam keadaan seperti Thian Lee can Lee Cin tentu akan mendatangkan bayangan-bayangan yang menakutkan.

Kedua orang muda gagah itu sudah digembleng oleh pelajaran dan pengalaman. Mereka hanya mengenal saat ini. Mengenal apa yang mereka hadapi dan alami. Dengan kewaspadaan mereka rnenghadapi apa yang terjadi dan karenanya. menjadi awas dan selalu siap siaga, tidak was-was dan akan dapat bereaksi dengan cepat. Maka, mereka pun tetap tenang-tenang saja dan dalam kesempatan itu mereka dapat tidur sambil bersila, walaupun semua syaraf mereka siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Malam telah berganti pagi. Sinar matahari pagi lembut menerobos masuk melalui jeruji besi di atas pintu. Akan tetapi di luar pintu kamar tahanan itu sepi sekali. Ketika Thian Lee dan Lee Cin terbangun dari tidur mereka, mereka tidak mendengar suara di luar pintu kamar tahanan, padahal semalam para penjaga ramai saling bercakap-cakap. Apakah mereka tertidur semua? Atau meka telah pergi? Keheningan itu mencurigakan hati mereka. Tidak mungkin sedikitnya tiga puluh orang itu tidak ada yang bicara, atau mereka sedang hendak melakukan sesuatu?

Kemudian terdengar suara gedebukan di luar kamar tahanan. Tak lama kemudian, Lee Cin dan Thian Lee melihat sebuah kepala yang memakai kedok hitam di luar jeruji besi. Melihat ini, Thian Lee terkejut akan tetapi Lee Cin tersenyum gembira. Seperti mendapat perintah saja, keduanya lalu mengerahkan sin-kang mereka dan belenggu yang mengikat kedua tangan mereka itu patah-patah. Terdengar bunyi klak-klik dan daun pintu terbuka. Si Kedok Hitam masuk ke dalam dan melihat betapa dua orang tawanan itu telah dapat membebaskan dari belenggu, dia terbelalak kagum.

"Mari cepat, ikut aku!" bisiknya dia sudah mendahului keluar dari tempat tahanan itu. Lee Cin dan Thian Lee cepat mengikutinya, keluar dari pintu kamar tahanan. Setelah tiba di luar pintu, baru mereka melihat betapa tiga puluh orang yang tadinya berjaga di tempat itu, sudah roboh malang-melintang tidak bergerak lagi, agaknya terkena totokan yang lihai dari Si Kedok Hitam.

"Kembali engkau menolongku, sobat!" kata Lee Cin yang kini berada di belakang Si Kedok Hitam.
"Jangan bicarakan hal itu! Ikut aku!" bisik Si Kedok Hitam. Dia melompati pagar yang mengelilingi bangunan itu menjadi tempat persembunyian para pemberontak.

"Hayo lari cepat! Ikut aku!" katanya pula dan dia pun berlari cepat sekali, akan tetapi Lee Cin dan Thian Lee dapat mengimbanginya. Mendadak terdengar suara ribut-ribut di belakang mereka, suara orang-orang mengejar.

Si Kedok Hitam berhenti

"Mereka sudah tahu dan kalian dikejar. Ini, terimalah senjata kalian." Si Kedok Hitam mengeluarkan Jit-goat-sin-kiam milik Thian Lee dan menyerahkan Ang-coa-kiam milik Lee Cin. Kedua orang ini menerima dengan girang sekali. Akan tetapi para pengejar kini sudah dekat dan mereka tentulah orang-orang lihai yang juga memiliki ilmu berlari cepat.

Thian Lee dan Lee Cin sudah bersiap dengan pedang mereka, akan tetapi Si Kedok Hitam berkata,

"Jangan lawan mereka. Mereka terlalu banyak. Masuklah ke balik semak belukar ini, aku akan memancing mereka agar mengejarku dan kalau mereka sudah lewat, harap kalian suka melanjutkan lari ke bawah bukit," katanya sambil menuding ke arah bawah bukit. Dua orang muda itu tidak ragu-ragu lagi mengikuti petunjuknya, mereka menyusup ke balik semak belukar.

Si Kedok Hitam menanti sebentar sampai para pengejar itu kelihatan bayangannya. Dia lalu berteriak-teriak,

"Lari, cepat lari!" dan dia pun lari ke depan dengan cepat. Teriakan dan gerakannya ini terlihat oleh para pengejar. Tentu saja mereka mempercepat lari mereka untuk mengejar karena mereka yakin bahwa kedua orang tawanan itu tentu diajak lari oleh Si Kedok Hitam.

Tadi ketika Nenek Cia dan anak buahnya melihat para penjaga menggeletak malang-melintang dalam keadaan tertotok, ia cepat membebaskan totokan mereka dan mendapat keterangan mereka bahwa mereka ditotok oleh seorang yang berkedok hitam. Kini, dalam pengejaran itu tentu saja Nenek Cia yang lain-lain mengira bahwa Si Kedok Hitam itu yang mengajak dua orang tawanan melarikan diri. Mereka menjadi marah dan mengejar dengan secepatnya. Sementara itu, ketika melihat para pengejar itu mengejar bayangan Si Kedok Hitam, Thian Lee dan Lee Cin cepat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke jurusan lain menuruni bukit.

Thian Lee yang menjadi petunjuk jalan dan akhirnya mereka tiba di kaki bukit. Melihat Lee Cin sejak tadi diam saja, Thian Lee bertanya,

"Cin-moi kenapa engkau diam saja seperti termenung?"

"Aku sedang memikirkan Si Kedok Hitam, Lee-ko. Sudah tiga kali dia menolongku terlepas dari bahaya besar dan sekali ini aku yakin bahwa dia bukan anggauta keluarga Cia. Siapakah dia sebenarnya?"

"Aku pun tidak dapat menduganya, Cin-moi. Akan tetapi yang jelas, dia seorang laki-laki yang masih muda, matanya seperti mata naga, dan ilmu kepandaiannya tentu tinggi sekali. Akan tetapi mengapa dia memakai kedok, itu yang mengherankan hatiku."

Akan tetapi di dalam hatinya, Lee Cin terjadi suatu kebimbangan yang tidak ia ucapkan kepada Thian Lee. Si Kedok Hitam itu memiliki tubuh yang sedang, seperti tubuh Tin Han. Dan dia pun memiliki sikap yang sama dengan Tin Han, yaitu menentang Nenek Cia dan membelanya! Apakah Si Kedok Hitam itu Cia Tin Han? Akan tetapi mana mungkin Tin Han memiliki kepandaian yang tinggi? Tentu keluarganya akan mengetahuinya.

"Sekarang, apa yang akan kita lakukan, Lee-ko?" tanyanya sambil membuang pikiran yang penuh kebimbangan itu. Ia tidak akan pernah melupakan Si Kedok Hitam, yang diduganya penyerang ayahnya akan tetapi juga penolong besarnya.

"Aku harus bertindak secepatnya menguasai pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun untuk membasmi komplotan pemberontak itu sebelum mereka melakukan sesuatu yang amat merugikan."
"Aku akan membantumu, Lee-ko."

"Baik, sekarang juga kita pergi ke markas Lai-ciangkun. Akan tetapi harus berhati-hati, siapa tahu Lai-ciangkun juga terlibat dan dia sudah memasang perangkap untuk kita."

Mereka lalu berlari cepat melanjutkan perjalanan ke kota Hui-cu. Ketika akan memasuki kota Hui-cu, Lee Cin berbisik,

"Sssttt, Lee-ko, lihat siapa itu di depan sana."

Thian Lee memandang ke arah yang ditunjuk Lee Cin dan dia melihat seorang laki-laki bertubuh pendek sedang berjalan tergesa-gesa memasuki pintu gerbang kota. Thian Lee segera teringat. Orang itu seperti Yasuki!

"Cepat kita bayangi dia," bisiknya kembali.

Mereka membayangi Yasuki dari jarak jauh sehingga yang dibayangi tidak mengetahuinya. Dan yang membuat Thian Lee tercengang adalah ketika melihat orang Jepang itu memasuki markas pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun dengan memperlihatkan sepucuk surat kepada para penjaga. Dia diperkenankan masuk begitu saja setelah para penjaga melihat surat itu.

"Ini mencurigakan," kata Thian Lee

"Kita masuk dari belakang untuk melihat apa yang dilakukan orang Jepang itu."

Mereka mengambil jalan memutar dan akhirnya berhasil menemukan bagian tembok dinding pagar di belakang yang menembus taman dan tempat ini tidak terjaga. Bagaikan dua ekor burung mereka melayang naik ke pagar tembok dan masuk ke dalam. Berindap-indap. mereka menyeberangi taman dan akhirnya mereka dapat melompat ke atas atap dan mengintai ke bawah di mana terdapat sebuah ruangan tamu, ketika mereka mendengar suara bercakap-cakap di bawah. Dan benar saja, di ruangan itu, Yasuki sedang bicara dengan Lai-ciangkun. Mereka mengintai dengan hati-hati.

"Apa kau bilang? Mereka tertawan dan dapat lolos kembali? Kalau begitu, Song-ciangkun sudah tahu akan persekutuan kita? Celaka, kita harus cepat bertindak!" kata Lai-ciangkun dengan muka pucat.
Pada saat itulah Thian Lee melompat ke dalam, diikuti oleh Lee Cin. Melihat ini, Yasuki mencabut samurainya, akan tetapi dengan kecepatan kilat Lee Cin sudah menggerakkan pedangnya dan menodongkan pedang itu di leher orang Jepang itu sehingga dia terkejut sekali dan tidak jadi mencabut samurainya. Lee Cin menggerakkan tangan kiri, menotok dan Yasuki terkulai lemas. Sementara itu, Thian Lee menghadapi Lai-ciangkun yang menjadi sangat pucat wajahnja.

"Ah, Song-ciangkun, kami".. kami....." Dia tergagap.

"Cukuplah, Lai-ciangkun, kedokmu telah terbuka. Engkau bersekutu dengan orang Jepang, engkau pengkhianat rendah!" Thian Lee juga menodongkan pedangnya dan panglima itu tidak berani berkutik.
Thian Lee sambil menodong Lai-ciangkun membuka daun pintu kamar itu. Para pengawal yang berjaga di luar terkejut dan heran sekali melihat panglima mereka ditodong.

"Lai-ciangkun telah berkhianat, bersekutu dengan orang Jepang dan hendak memberontak. Kalau kalian mendukungnya, kalian akan kubasmi! Hayo cepat undang semua perwira untuk berkumpul di sini!" bentak Thian Lee.

Para pengawal itu menjadi jerih dan mereka lalu keluar dan memanggil para perwira. Tak lama kemudian belasan orang perwira berdatangan dan mereka juga heran sekali melihat Lai-ciangkun ditangkap. Thian Lee mengeluarkan surat perintah dari Kaisar dan memperlihatkannya kepada para perwira

"Aku adalah Panglima Besar Song Thian Lee. Mendiang Un-ciangkun adalah panglima yang setia dan baik, akan tetapi Lai-ciangkun ini seorang pengkhianat. Dia bersekutu dengan orang Jepang untuk mengadakan pemberontakan. Orang Jepang yang kami tangkap di sini adalah bukti dan saksinya. Mulai saat ini, pasukan di Hui-cu kuambilalih untuk sementara. Mengertikah kalian semua?"

Para perwira sudah tunduk begitu melihat surat kuasa dari Kaisar. Di antara mereka memang ada yang terbujuk oleh Lai-ciangkun, akan tetapi mereka belum terlibat. Kini mereka semua mendukung Thian Lee dan Lai-ciangkun bersama Yasuki lalu dimasukkan ke dalam karnar tahanan untuk menanti pemeriksaan lebih lanjut. Melihat tindakan Thian Lee yang demikian cepat dan bijaksana, Lee Cin menjadi kagum. Panglima muda itu sungguh berwibawa.

"Sekarang engkau tinggal mengerahkan pasukan untuk menangkapi mereka semua, Lee-ko. Menangkapi keluarga Cia dan juga menyerbu pasukan yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun yang berkhianat. Akan tetapi kalau menangkapi keluarga Cia, kuharap engkau menaruh kasihan kepada Cia Tin Siong dan Cia Tin Han. Mereka itu sungguh merupakan kawan baikku dan mereka kukira tidaklah sejahat neneknya."

Thian Lee menghela napas panjang

"Keluarga Cia itu tidak ada yang jahat, Cin-moi. Bahkan Nenek Cia adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan gigih. Banyak pendekar patriot seperti itu. Mereka demikian fanatik sehingga tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan keadaan. Karena nafsu mereka untuk cepat meruntuhkan kerajaan penjajah Mancu, mereka tidak segan-segan bersekongkol dengan orang Jepang dan orang-orang sesat, dengan tujuan hanya satu, yaitu menggulingkan pemerintahan Mancu."

"Ya, mereka membenci semua orang yang bekerja untuk pemerintah. Mereka menganggap bahwa siapa saja yang bekerja untuk pemerintah berarti menjadi antek penjajah yang menindas rakyat dan karena itu harus dibunuh. Mereka tidak menyadari bahwa perbuatan mereka itu merugikan rakyat jelata, apalagi kalau sampai terjadi perang pemberontakan, rakyat pula yang menjadi korban."

"Benar, Cin-moi. Mereka lupa bahwa dengan bersekongkol bersama orang Jepang perampok dan para tokoh sesat itu, mereka telah tersesat pula. Gerakannya mereka tidak didukung rakyat dan tidak akan berhasil, sebaliknya malah mengacaukan. Aku kasihan kepada mereka. Sebetulnya mereka itu merupakan pendekar patriot yang gagah perkasa, sayang tidak memakai perhitungan dan terburu nafsu."

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Lee-ko?"

"Terpaksa harus kuserbu keluarga Cia malam ini juga. Yang melawan terpaksa akan kutundukkan dengan kekerasan, yang sudah menaluk akan kutahan untuk sementara. Kalau mereka kelak menyatakan penyesalan mereka dan menyadari akan kesalahan mereka, aku pasti tidak akan membawa mereka ke kota raja dan akan kubebaskan pula mereka."

"Ah, engkau sungguh bijaksana, Lee-ko!"

"Tidak, Cin-moi. Kurasa itu lebih mendidik dan lebih baik. Menyadarkan para patriot lebih baik dan berdaya guna daripada menindas mereka dengan kekerasan."

"Hemm, kalau begitu dipihak manakah engkau berdiri, Lee-ko? Sebagai seorang panglima, aku percaya bahwa engkau berpihak kepada pemerintah, akan tetapi mengapa sikapmu begitu longgar terhadap patriot yang hendak menentang pemerintah?"

Thian Lee menghela napas

"Engkau sudah lama mengenalku, Cin-moi. Aku jelas bukan seorang antek penjajah yang menindas rakyat dan aku sama sekali bukan menjadi panglima untuk memperkaya diri dan mencari kekuasaan. Hanya karena aku melihat betapa Kaisar Kian Liong seorang yang bijaksana maka aku suka menjadi panglima. Dengan kedudukanku ini aku dapat mencegah terjadinya penindasan terhadap rakyat. Akan tetapi aku sama sekali tidak menentang para patriot. Bahkan kalau para patriot itu berjuang dengan dukungan rakyat jelata, berusaha untuk memerdekakan tanah air dan bangsa, aku setuju sekali dan kalau saat itu tiba, aku akan mengundurkan diri dari kedudukanku sebagai panglima dan sangat boleh jadi aku akan membantu gerakan perjuangan seperti itu. Akan tetapi kalau seperti sekarang ini, bersekongkol dengan orang Jepang dan dengan golongan sesat, sungguh aku tidak setuju."

Lee Cin mengangguk-angguk

"Aku mengerti perasaanmu, Lee-ko. Kita dahulu membantu pemerintah menghancurkan pemberontak, karena pemberontakan itu bukan perjuangan para patriot yang didukung rakyat, melainkan usaha pemberontakan dari seorang pangeran untuk merebut tahta kerajaan. Bukan berarti kita memihak kepada pemerintah penjajah."

"Nah, sukur kalau engkau mengerti, Cin-moi. Aku masih membutuhkan bantuanmu kalau engkau mau, yaitu menghadapi keluarga Cia, membujuk mereka agar menyerahkan diri daripada terbasmi oleh pasukan."

"Baik, Lee-ko. Akan kubantu engkau."

Demikianlah, Thian Lee mengadakan perundingan dengan para perwira pembantu, mengatur siasat untuk mengepung dan menundukkan keluarga Cia dan para anak buahnya. Dalam rapat perundingan itu, Lee Cin tidak ketinggalan, ikut pula. Kini semua perwira sudah percaya sepenuhnya kepada Thian Lee, apalagi setelah Thian Lee mengenakan pakaian panglima yang membuatnya nampak gagah dan berwibawa.

"Siapkan tiga ratus orang perajurit yang siap untuk melakukan penyerbuan sewaktu-waktu. Lebih dulu aku membutuhkan lima puluh orang perajurit untuk melakukan penggerebekan kepada keluarga Cia. Hati-hati, jangan melakukan penyerbuan sebelum ada perintah dariku." Para perwira bekerja cepat dan malam itu terkumpullah lima puluh orang perajurit pilihan yang siap mengikuti Thian Lee. Dengan bantuan dua orang perwira dan Lee Cin, Thian Lee lalu memimpin mereka dan pergi ke rumah keluarga Cia.

Akan tetapi, dia kecelik ketika memasuki pekarangan gedung keluarga Cia. Ternyata di situ sudah tidak ada orang, kecuali hanya beberapa orang pelayan yang mengatakan bahwa para majikan mereka telah pergi sore tadi dan tak seorang pun di antara mereka tahu ke mana majikan mereka pergi. Thian Lee maklum bahwa keluarga itu memang lihai. Agaknya mereka telah dapat menduga bahwa rumah mereka akan diserbu pasukan, maka sebelum itu mereka telah pergi lebih dulu. Karena, menduga bahwa mereka tentu pergi mengungsi ke tempat pertemuan rahasia di bukit itu, Thian Lee lalu memimpin dua ratus orang pasukan itu, mengejar ke bukit dan mengadakan pengepungan di puncak bukit itu.

Dugaannya tidak keliru. Rumah besar di puncak bukit itu penuh orang dan agaknya mereka telah bersiap-siap. Thian Lee bersama Lee Cin sudah melompat ke depan, tepat di depan pekarangan bangunan itu dan Thian Lee berseru dengan suara lantang,

"Keluarga Cia! Tempat ini sudah terkepung! Harap kalian menyerah saja agar kami tidak perlu melakukan kekerasan!"

Lee Cin juga ikut membujuk mereka dan ucapannya ditujukan kepada Tin Siong dan Tin Han,

"Saudara Cia Tin Siong dan Han-ko! Mintalah kepada keluarga kalian agar menyerah saja. Yasuki dan Lai-ciangkun telah tertangkap. Tidak ada gunanya lagi kalian melakukan perlawanan!"

Akan tetapi, sebagai jawaban, puluhan anak panah meluncur dari dalam bangunan itu. Thian Lee memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menggunakan perisai dan menyerbu ke arah bangunan. Kurang lebih lima puluh orang anak buah pemberontak berserabutan ke luar dengan golok di tangan menyerbu ke arah para pengepung. Terjadilah pertempuran yang hebat.

Thian Lee dan Lee Cin berlompatan ke pekarangan bangunan dan mereka segera disambut oleh Nenek Cia, Cia Kun, Nyonya Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok. Tidak terlihat Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok. Nenek Cia tanpa banyak cakap sudah memutar tongkat kepala naga dan menyerang Thian Lee. Thian Lee mengelak dan melompat ke belakang.

"Sekali lagi kami harap kalian suka menyerah dan kami akan mempertimbangkan keadaan kalian!"

"Nenek Cia, Song-ciangkun berkata benar. Kalian menyerahlah dan hentikan perlawanan dan aku tanggung dia akan membebaskan kalian kelak!" teriak pula Lee Cin.

"Kami tidak akan menyerah!" bentak nenek itu dan ia melanjutkan serangan kepada Thian Lee. Terpaksa Thian Lee mencabut pedangnya dan melawan karena dia melihat betapa lihainya nenek tua ini.
Tongkatnya menyambar demikian dahsyatnya, penuh dengan tenaga lweekang yang membuat tongkatnya mengeluarkan bunyi bercuitan dan tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam yang lebar. Tanpa banyak cakap lagi Cia Hok dan Cia Bhok meloncat dan membantu ibu mereka mengeroyok Thian Lee.

"Bocah tidak mengenal budi! Engkau pernah menjadi sahabat dan tamu karni tetapi ternyata sekarang memusuhi kami!" teriak Nyonya Cia Kun dan ia pun sudah menerjang maju dengan pedang di tangan. Suaminya, Cia Kun, juga menerjang maju sehingga Lee Gin dikeroyok oleh suami isteri ini. Dua orang perwira yang melihat pengeroyokan musuh, lalu maju membantu Thian Lee yang dikeroyok tiga.
Lee Cin mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Cia Kun masih lebih tinggi daripada kepandaian Cia Hok dan Cia Bhok, juga isterinya memiliki gerakan yang lumayan.

Maka ia pun terpaksa harus memutar pedangnya untuk membuat perlawanan yang kuat. Ia merasa heran ke mana perginya Tin Siong, karena kalau Tin Siong maju mengeroyoknya pula, ia tentu tidak akan mampu bertahan. Ilmu silat pemuda yang bersenjata suling perak itu tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya. Tiga puluh orang anak buah pemberontak itu, biarpun rata-rata lihai dengan golok mereka, namun terdesak hebat oleh dua ratus orang perajurit. Banyak di antara mereka yang roboh dan sisanya membela diri dengan mati-matian.

Tiba-tiba muncul Tin Siong dan pemuda ini berseru nyaring,

"Nenek, Ayah dan Ibu, lari! Cepat!" Pemuda itu lalu melemparkan beberapa bahan peledak yang meledak dan mengeluarkan asap tebal, kemudian Tin Siong menangkap tangan ibunya dan ditarik sambil diajak lari. Melihat ini, Nenek Cia, dan ketiga puteranya, Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok, lalu berlompatan melarikan diri.

Thian Lee memang bersikap lunak terhadap mereka. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan seorang di antara mereka yang melarikan diri. Akan tetapi dia tidak melakukan hal ini, lalu melompat ke atas atap bangunan dan berteriak,

"Semua anak buah pemberontak, menyerahlah dan kalian tidak akan dibunuh. Pimpinan kalian sudah melarikan diri!"

Lima puluh orang itu memang sudah payah keadaannya. Belasan orang di antara mereka telah roboh dan melihat pimpinan mereka sudah melarikan diri semua, mereka akhirnya membuang golok dan berlutut menyerah. Thian Lee dan Lee Cin kembali ke markas Hui-cu bersama pasukan yang menawan para perajurit pemberontak dan setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata benar seperti dugaannya, lima puluh orang itu adalah perajurit-perajurit barisan golok dari pasukan yang dipimpin Phoa-ciangkun.

Thian Lee lalu mengadakan perundingan lagi dengan belasan orang perwira pembantu. Akan tetapi sekali ini Lee Cin tidak lagi ikut berunding. Setelah penyerbuan ke bukit di mana keluarga Cia melarikan diri, Lee Cin merasa tidak perlu lagi melibatkan diri dalam pembasmian para pemberontak itu. Kalau tadinya ia membantu Thian Lee adalah karena ada hubungannya dengan keluarga Cia. Kini Thian Lee hendak menyerbu ke timur, ke pasukan perbatasan yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun, maka ia tidak merasa perlu untuk membantu. Itu sepenuhnya adalah urusan ketentaraan.

"Maaf, Lee-ko, aku sekarang terpaksa minta diri dan tidak dapat menyertaimu dalam penyerbuan ke timur," demikian ia berkata kepada Thian Lee setelah mereka kembali ke markas sambil menawan puluhan orang perajurit pemberontak itu.

Thian Lee maklum dia mengangguk

"Baiklah, Cin-moi. Engkau sudah membantu banyak kepadaku dan aku amat berterima kasih kepadamu. Mudah-mudahan saja keluarga Cia tidak mendendam kepadamu, dan berhati-hatilah engkau terhadap orang-orang seperti Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok. Mereka adalah orang-orang lihai dan juga jahat sekali, terutama Ouw Kwan Lok yang agaknya hendak membalaskan dendam guru-gurunya kepadamu."

"Aku mengerti, Lee-ko. Semoga engkau akan berhasil dengan tugasmu dan dapat segera pulang ke keluargamu dengan selamat."

"Terima kasih, Cin-moi, dan engkau jangan lupa, kalau kebetulan lewat kota raja, harap mampir ke rumah kami. Cin Lan tentu akan girang sekali kalau engkau singgah ke rumah kami. Ia sering membicarakanmu dengan penuh kerinduan."

Lee Cin tersenyum

"Baiklah, Lee-ko. Kalau aku kebetulan lewat di kota raja pasti aku akan berkunjung ke rumah kalian."

Setelah berpamit, Lee Cin lalu meninggalkan markas itu. Ketika tiba di jalan besar, ia teringat akan ke rumah keluarga Cia. Keluarga itu telah melarikan diri semua dan rumahnya tentu kini telah kosong. Rasa iba menyelubungi hatinya dan tanpa disadarinya, kakinya lalu melangkah menuju ke rumah besar bekas tempat tinggal keluarga Cia itu. Ia teringat akan Tin Han. Bagaimana nasib pemuda yang ramah dan jenaka itu? Tentu ikut pula pergi mengungsi menyelamatkan diri. Karena bagaimanapun juga, sebagai cucu Nenek Cia, tentu dia pun ikut dicurigai sebagai orang yang langsung terlibat dengan pemberontakan.

Lee Cin tidak dapat membayangkan pemuda yang jenaka dan gembira itu kini berada dalam pengasingan, menjadi buruan pemerintah. Ia menghela napas. Mengapa hanya kepada Tin Han ia merasa kasihan? Bukankah mereka semua, seluruh keluarga Cia mengalami nasib yang sama? Pikiran ini dibantahnya sendiri. Hanya Tin Han yang agaknya tidak terlibat dalam pemberontakan. Dan tiba-tiba timbul keinginan hatinya yang amat besar untuk dapat menolong Tin Han, untuk dapat bertemu dengan pemuda yang selalu bersikap jenaka dan membuatnya gembira itu. Akan tetapi ke mana ia akan mencari Tin Han? Dia tentu ikut dengan Nenek Cia.

Dengan pikiran penuh kenangan akan keluarga Cia, Lee Cin melangkah terus sampai ia tiba di rumah keluarga itu. Rumah itu telah ditutup pintunya dan terdapat beberapa orang perajurit menjaga rumah itu. Jelas bahwa rumah itu kosong, telah ditinggalkan semua penghuninya dan para pelayan yang ditinggalkan di situ tentu telah ditangkapi.

Ketika Lee Cin mengambil jalan memutar ke bagian belakang dari bangunan besar itu, ia melihat sesosok bayangan berkelebat, melompati pagar tembok dan melarikan diri. Orang itu baru saja meninggalkan bangunan itu! Tentu saja ia menjadi tertarik sekali. Seorang di antara keluarga Cia? Ataukah seorang pencuri yang memasuki bangunan yang kosong itu? Ia segera membayangi dan berlari cepat. Orang itu adalah seorang pemuda, akan tetapi dara ini belum melihat jelas muka orang itu. Tin Siongkah orang itu? Akan tetapi agaknya orang ini lebih tinggi daripada Tin Siong. Seorang pencurikah? Larinya cepat, akan tetapi Lee Cin dapat mengejarnya dan terus membayangi, hendak diketahuinya siapa orang itu dan mengapa dia mendatangi rumah keluarga Cia.

Orang itu meninggalkan kota Hui-cu melalui pintu gerbang sebelah selatan. Lee Cin terus membayanginya dan setelah tiba di jalan yang sepi, ia mulai mempercepat larinya untuk mengejar dan menyusul orang itu. Ia hanya ingin melihat siapa orang itu dan bertanya apa maksudnya datang ke rumah keluarga Cia yang kosong itu. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika orang itu berlari lebih cepat dari pada tadi. Ia mengejar lebih cepat lagi dan mendapat kenyataan bahwa ilmu berlari cepat orang itu tidak banyak selisihnya dengan kecepatan larinya.

Mereka berkejar-kejaran dan Lee Gin maklum bahwa orang yang dikejarnya itu sudah tahu akan pengejarannya. Melihat orang itu berlari cepat, ia menjadi semakin penasaran dan curiga. Akhirnya, setelah tiba di dekat sebuah hutan di lereng bukit yang mereka daki dalam kejar-kejaran tadi, orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapi Lee Cin. Setelah gadis itu tiba di depannya, ia tertawa bergelak,

"Ha-ha-ha, baru sekali ini calon mempelai wanita mengejar-ngejar calon mempelai prianya!"
Lee Cin terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu. Orang itu ternyata adalah Siangkoan Tek, musuh besarnya!

"Jahanam busuk, kiranya engkau yang menjadi pencuri di rumah keluarga Cia!" bentak Lee Cin sambil mencabut pedangnya.

"Ha-ha, siapa menjadi pencuri? Aku hanya mengambil barang-barangku yang tertinggal di sana. Setelah engkau mengejarku sampai di sini, tentu engkau bersedia menjadi isteriku, bukan, Adik Lee Cin yang manis?"

Sebagai jawaban Lee Gin menerjang maju sambil menyerang dengan pedangnya sambil membentak,

"Mampuslah engkau!"

Siangkoan Tek cepat mengelak dan dia pun sudah mencabut pedangnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia tidak banyak membalas karena dia pun tidak ingin melukai gadis yang telah menarik hatinya itu. Dia benar-benar mencinta Lee Cin dan mengharapkan gadis itu menjadi isterinya. Dia menganggap bahwa hanya Lee Cin yang pantas untuk menjadi isterinya. Tingkat ilmu kepandaian mereka. memang seimbang, mungkin Lee Cin menang sedikit karena dia diperkuat dengan ilmu totok It-yang-ci. Maka, kalau hanya mengalah terus tentu saja Siangkoan Tek menjadi terdesak hebat. Namun Lee Cin berhati-hati sekall. Ia tahu akan kelicikan pemuda itu dan ia tidak mau kalau ia sampai terjebak. Ia menyerang dan berhati-hati melindungi dirinya dari serangan gelap.

"Ayah, bantulah!" tiba-tiba Siangkoan Tek berseru setelah dia terdesak mundur mendekati hutan. Lee Cin terkejut karena kalau benar ayah pemuda itu, Siangkoan Bhok muncul, akan celakalah ia. Melawan Siangkoan Tek saja hanya berimbang, kalau ayah pemuda itu muncul, tentu ia akan kalah! Akan tetapi Siangkoan Bhok tidak muncul dan ia tahu bahwa pemuda itu hanya menggertak. Dengan gemas Lee Cin memperhebat serangannya sehingga Siangkoan Tek terus mundur kemudian pemuda itu lari memasuki hutan.

"Hendak lari ke mana engkau, keparat!" Lee Cin mengejar dan kembali mereka bertanding.

Lee Cin hendak mempercepat pertandingan karena ia sudah marah sekali kepada pemuda ini yang beberapa kali hampir dapat memperkosanya. Ia harus cepat merobohkan dan membunuh pemuda jahat ini sebelum ayahnya atau kawan-kawan lain pemuda itu muncul. Maka la lalu memainkan Ang-coa-kiam-sut dengan mengeluarkan jurus-jurus mautnya, dibarengi dengan tangan kiri yang melakukan totokan-totokan It-yang-ci yang lihai. Siangkoan Tek yang tidak ingin melukai gadis yang dicintanya itu tentu saja menjadi terdesak hebat.

"Ayah......!" Kembali dia berteriak.

"Ayahmu sudah mampus, tidak akan datang membantumu!" ejek Lee Cin yang mengira bahwa pemuda itu tentu hanya menggertak saja.

"Siapa bilang aku mampus?" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang dayung baja menyambar ke arah kepala Lee Cin dengan suara bercuitan saking cepat dan kuatnya. Lee Cin terkejut dan cepat ia menundukkan kepalanya untuk mengelak, lalu membalik untuk menghadapi orang itu. Seorang kakek yang tinggi besar gagah bermuka merah telah berdiri di situ sambil memegang dayung bajanya. Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga! Ternyata pemuda itu bukan hanya menggertak saja. Siangkoan Bhok memang berada di hutan itu. Mengertilah dia bahwa Siangkoan Tek sengaja memancingnya ke hutan itu, berdekatan dengan ayahnya sehingga ayahnya dapat membantunya!

"Engkaulah yang mampus!" Siangkoan Bhok kembali membentak dan dayung bajanya menyambar lagi, kini semakin dahsyat. Lee Cin mengelak dan ia menjadi nekat. Ia tidak mungkin dapat melarikan diri dari dua orang itu, maka jalan satu-satunya baginya hanya melawan dengan nekat dan mati-matian. Ia lalu membalas serangan kakek itu dan mereka terlibat dalam pertandingan yang seru.

"Ayah, jangan bunuh ia, Ayah!" Siangkoan Tek berseru sambil berjaga kalau-kalau gadis itu akan melarikan diri.

Namun dayung baja itu menyambar-nyambar dengan ganasnya sehingga Lee Cin menjadi terdesak.
"Ayah, jangan sampai lukai ia, Ayah! Ia calon isteriku!" kembali Siangkoan Tek berseru dan kini dia pun ikut rnenyerang dengan totokan-totokan untuk mernbuat Lee Cin tidak berdaya.

Lee Chi rnengamuk dan membalas serangan kedua orang itu dengan mati-matian. Karena dilarang puteranya agar jangan melukai atau membunuh Lee Cin, maka agak sukarlah bagi Siangkoan Bhok untuk merobohkan gadis itu tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya! Akan tetapi dia amat sayang kepada puteranya dan dia pun memutar dayung bajanya dengan cepat sekali sehingga dayung itu berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyelimuti tubuh Lee Cin, menutup semua jalan keluar bagi gadis itu.. Lee Cin masih melawan dengan sekuat tenaga, akan tetapi tangannya terpukul ujung dayung sehingga pedangnya terlepas dari pegangan dan di saat itu, Siangkoan Tek telah berhasil menotoknya sehingga ia pun roboh terkulai dengan lemas.

"Ha-ha, terima kasih atas bantuanmu, Ayah. Ayah, ia adalah calon isteriku. Kawinkan aku dengannya, Ayah!" Siangkoan Tek berkata dengan girang sekali. Dia tadi cepat menangkap tubuh Lee Cin sehingga gadis itu tidak sampai terpelanting dan kini dia masih memeluk tubuh Lee Cin.

"Hemm, bilang kepada ibumu. Aku tidak tahu urusan kawin!" Kakek itu mendengus dan sama sekali tidak mempedulikan keadaan Lee Cin.

Pada saat itu terdengar suara orang tertawa

"Ha-ha-ha, ayahnya busuk, mana mungkin puteranya menjadi baik? Siangkoan Bhok, di mana-mana engkau selalu mengumbar nafsu burukmu!" Dan muncullah seorang kakek bersama seorang gadis cantik.

Siangkoan Bhok menoleh dan dia terkejut melihat kakek itu. Kakek yang pendek gendut serba bulat, dengan jubah pertapa, mulutnya terbuka lebar dalam senyumnya yang aneh. Kakek itu memegang sebuah kebutan berbulu putih. Dia bukan adalah Thian-tok (Racun Langit) Gu Kiat Seng, datuk dari barat. Adapun gadis itu bukan lain adalah Liu Ceng atau yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, Ceng Ceng telah digembleng lagi oleh kakek sakti ini, mempelajari ilmu-ilmu pukulan yang ampuh. Kalau dulu Ceng Ceng hanya bersenjata sebatang pedang, kini ia mempergunakan sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang kebutan berbulu merah di tangan kiri. Ceng Ceng telah menjadi seorang gadis yang lihai sekali!

Melihat Lee Cin dalam rangkulan Siangkoan Tek, Ceng Ceng sudah menjadi marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedang dan kebutannya dan membentak,

"Lepaskan gadis itu!" Ia sudah menerjang maju dan menyerang Siangkoan Tek dengan kebutan yang menotok ke arah leher pemuda itu disusul pedangnya yang membacok ke arah pinggang!

"Haiiiitttt......!" Siangkoan Tek berseru dan cepat menghindar. Terpaksa dia melepaskan tubuh Lee Cin yang terpelanting ke atas tanah dan tidak mampu bergerak karena masih tertotok. Segera Siangkoan Tek balas menyerang dengan pedangnya sehingga dia sudah bertanding melawan Ceng Ceng dengan serunya.

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Thian Tok!" Seru Siangkoan Bhok rnarah,

"Urusan ini tak ada sangkut-pautnya denganmu, mengapa engkau mencampuri?"

"Ha-ha-ha, aku paling gatal kalau melihat orang mengganggu seorang wanita. Engkau membiarkan puteramu mengganggu wanita, apakah engkau tidak malu?"

Siangkoan Bhok menjadi marah

"Thian Tok, engkau selamanya memang seorang usil. Hari ini aku akan memecahkan kepalamu yang besar!" sambil berkata demikian Siangkoan Bhok menggerakkan dayung bajanya yang menyambar ke arah kepala bulat dari kakek itu. Thian-tok Gu Kiat Seng tertawa dan begitu menundukkan kepalanya, dayung baja itu bersuitar lewat di atas kepala. Dia lalu menggerakkan kebutannya yang menyambar ke arah dada Siangkoan Bhok. Biarpun yang menyerangnya hanya menggunakan sebuah kebutan yang ekornya lemas, akan tetapi Siangkoan Bhok maklum betapa lihainya kebutan itu, maka dia pun melompat ke belakang untuk mengelak.

Dengan marah akan tetapi juga waspada karena maklum akan kelihaian lawannya, Siangkoan Bhok menyerang lagi dengan amat dahsyatnya. Akan tetapi biarpun tubuhnya pendek gendut, gerakan Thian-tok ternyata amat gesitnya dan tubuh itu mengelak ke sana sini dengan lucu. Juga kebutannya menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya dengan totokan-totokan maut.

Saking bernafsunya untuk merobohkan lawan, Siangkoan Bhok menyerang lagi dengan ganas, dayung bajanya menyambar ke arah dada lawan. Thian-tok menyambut dayung itu dengan kebutannya. Ekor kebutan yang berwarna putih itu melibat dayung dan kakek gendut itu bergerak maju. Pada saat itu, Siangkoan Bhok melepaskan tangan kanannya dari dayungnya dan mengirim pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) ke arah dada Thian-tok!

Sebagai seorang ahli racun yang dijuluki Racun Langit, tentu saja Thian-tok mengenal pukulan yang amat berbahaya itu. Dia tidak mengelak, kebutannya masih membelit dayung dan dia menggunakan tangan kirinya untuk memapaki pukulan tangan kosong itu sambil tubuhnya merendah setengah mendekam dan dari perutnya keluar suara kuk-kuk-kuk ketika tangan kirinya didorongkan dengan jari tangan terbuka ke arah tangan Siangkoan Bhok yang memukul.

"Wuuuuttt.... desss!" Kedua tangan yang mengandung hawa beracun yang amat ampuh itu bertemu di udara dan akhirnya, tubuh kedua orang datuk itu terjengkang.

Akan tetapi keduanya dapat berdiri lagi dan sudah saling terjang lagi dengan ganas. Ternyata dalam tenaga beracun keduanya juga seimbang sehingga mereka kini bertanding lebih hati-hati lagi.

Sementara itu, pertandingan antara Siangkoan Tek dan Ceng Ceng juga berlangsung seru. Siangkoan Tek juga tidak berani main-main karena kebutan di tangan gadis itu dapat menyerangnya dengan totokan-totokan yang amat berbahaya. Dia memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedang kui-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Iblis). Setelah bertanding selama puluhan jurus mulailah Ceng Ceng terdesak. Biarpun dalam ilmu silat ia tidak kalah lihai, namun dibandingkan Siangkoan Tek ia masih kalah dalarn pengalaman bertanding dan perlahan-lahan ia mulai terdesak mundur.

Pada saat itu tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat ke arah tubuh Lee Cin yang masih menggeletak di situ, bayangan itu menyambar pedang Ang-coa-kiam milik Lee Cin yang tadi terpukul jatuh, kemudian dia memondong tubuh Lee Cin dan dibawa pergi dengan cepat sekali.

"Heiii......!" Siangkoan Tek yang melihat ini cepat mengejar, akan tetapi kebutan di tangan Ceng Ceng menyambar ke arah dadanya dan hampir saja dia tertotok. Terpaksa dia lalu rnenghadapi Ceng Ceng lagi, juga orang berkedok hitam yang membawa pergi Lee Cin sudah lenyap di antara pohon-pohon.
Kembali dia mengamuk dan Ceng Ceng terdesak mundur. Tiba-tiba nampak bayangan biru berkelebat dan terdengar bentakan,

"Tahan!" Seorang pemuda berpakaian serba biru sudah muncul dan dengan pedangnya dia menahan pedang Siangkoan Tek yang mendesak Ceng Ceng.

"Tranggg......!" Kedua pedang bertemu dan Siangkoan Tek merasa tangannya tergetar, tanda bahwa pemuda baju biru itu memiliki tenaga sinkang yang kuat.

"Kenapa engkau menyerang nona ini?" tanya pemuda itu yang bukan lain adalah Thio Hui San, murid In-kong Taisu dari Siauw-lim-pai.

Siangkoan Tek sudah menjadi marah sekali. Pemuda ini mengandalkan ayahnya, maka dia tidak takut kepada pemuda itu

"Jahanam, perlu apa engkau mencampuri urusanku?" bentaknya.
Thio Hui San yang dimaki tersenyum

"Dari makian ini saja aku dapat mengerti bahwa tentu engkau yang berada di pihak bersalah."

"Mampuslah kau!" Siangkoan Tek membentak dan pedangnya menyambar. Akan tetapi Hui San menangkis dan kedua orang pemuda itu sudah saling serang dengan seru. Melihat pemuda baju biru itu datang menolongnya, Ceng Ceng juga lalu membantunya mengeroyok Siangkoan Tek! Siangkoan Tek menjadi bingung. Baru menghadapi pemuda baju biru saja dia sudah harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, kini dikeroyok oleh Ceng Ceng yang tidak boleh dipandang rendah. Dia segera terdesak ke belakang dan mulailah pemuda ini berteiak-teriak,

"Ayah, Ayah".. bantu aku......!!"
Diam-diam Siangkoan Bhok kesal sekali melihat ulah puteranya yang sama sekali tidak menunjukkan kegagahan. Dia sendiri juga masih amat sukar untuk mengalahkan Thian-tok, bagaimana harus membantu puteranya yang jelas terdesak oleh dua orang lawannya? Jalan satu-satunya agar tidak kehilangan muka hanya melarikan diri.

"Thian-tok, cukup sekian dulu, lain kali kita lanjutkan. Siangkoan Tek mari kita pergi!" katanya. Mendengar ini, maklumlah Siangkoan Tek bahwa ayahnya tidak dapat membantunya dan menganjurkan agar melarikan diri. Maka dia pun rnenyerang dengan ganas sehingga dua orang pengeroyoknya melompat ke belakang dan rnenggunakan kesempatan ini, dia pun meloncat jauh mengejar ayahnya.

"Sudah, jangan kejar mereka, berbahaya," kata Thian-tok sambil tertawa rnelihat muridnya dan pemuda berpakaian biru itu hendak melakukan pengejaran

"Orang muda, siapakah engkau yang telah membantu muridku Ceng Ceng?"

Thio Hui San cepat mernberi hormat kepada kakek gendut pendek itu. Tadi dia rnelihat kakek ini menandingi Siangkoan Bhok. Sebagai seorang pemuda yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal Siangkoan Bhok akan tetapi tidak mengenal kakek ini. Dia mengingat-ingat siapa kiranya tokoh dunia kang-ouw yang bertubuh seperti ini. Akhirnya dia teringat. Kakek cebol gendut yang bersenjatakan kebutan bulu putih.

"Saya Thio Hui San memberi hormat kepada Locianpwe Thian-tok."

Thian-tok tertawa bergelak sambil memegangi perutnya yang terguncang.

"Ah, ternyata selain lihai engkau pun berpemandangan tajam. Aku memang Thian-tok Gu Kiat Seng. Kami bersukur bahwa engkau telah membantu muridku yang telah terdesak oleh Siangkoan Tek yang jahat. Akan tetapi, siapakah orang berkedok hitam yang tadi melarikan gadis itu? Apakah dia temanmu?"

"Orang berkedok hitam? Siapakah, Locianpwe? Saya tidak melihatnya," kata Hui San heran.

"Ah, celaka kalau begitu. Gadis itu telah dibawa lari orang yang tidak kita ketahui siapa. Akan tetapi kalau orang itu melarikannya, tidak membunuhnya, barang kali gadis itu masih dapat menyelamatkan diri. Ia seorang gadis pemberani yang lihai. Thio Hui San, aku melihat ilmu pedangmu tadi, bukankah engkau seorang murid Siauw-lim-pai?"

"Pandangan Locianpwe amat tajam, membuat saya kagum sekali. Memang sesungguhnyalah, Locianpwe, saya adalah seorang murid Siauw-lim-pai."

"Hemm, bagus. Siapakah gurumu, atau, tidak bolehkah aku mengetahuinya?"

"Tidak ada rahasia dalam perguruan. kami, Locianpwe. Guru saya adalah In Kong Taisu."

"Siancai.....! Jadi engkau murid In Kong Taisu? Pantas ilmu pedangmu hebat. Akan tetapi, bagaimana engkau yang tidak kami kenal langsung saja membantu kami? Engkau tidak tahu siapa yang bersalah di antara kami tadi."

"Locianpwe, saya sudah mengenal Siangkoan Bhok dan orang macam apa adanya dia. Maka, saya langsung membantu Nona yang saya lihat sudah terdesak dan terancam." Hui San memandang kepada Ceng Ceng dan kebetulan gadis itu juga sedang memandang kepadanya. Dua mata bertemu pandang, dua buah hati berdetak lebih keras dari biasanya dan Ceng Ceng segera menundukkan mukanya dengan malu-malu.

Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak,

"Ha-ha-hay, Thio Hui San, perkenalkan, ini adalah muridku bernama Lui Ceng atau biasa dipanggil Ceng Ceng. Ceng Ceng, haturkan terima kasih kepada Thio Hui San. Kalau dia tidak segera datang menolong, entah bagaimana jadinya dengan kita."

Ceng Ceng mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat, yang segera dibalas oleh Hui San. Sambil tersenyum malu Ceng Ceng berkata,

"Taihiap, banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi."

"Ah, Nona. Harap jangan menyebut aku taihiap (pendekar besar), membuat aku merasa malu saja."
Kembali Thian-tok tertawa,

"Ha-ha-ha, kalian dua orang muda bicaralah aku harus memulihkan tenagaku. Siangkoan Bhok setan tua itu sungguh lihai dan menguras tenagaku." Setelah berkata demikian, Thian-tok lalu pergi ke sebuah batu besar tak jauh dari situ dan naik ke atas batu, lalu duduk bersila menghimpun hawa murni.

"Nona Liu, sekali lagi, jangan menyebut aku dengan sebutan taihiap. Sebutan itu terlalu tingg bagiku, padahal ilmu kepandaianku tidaklah ada artinya dibandingkan dengan kesaktian gurumu."

"Habis, aku harus menyebutmu apa, Thio-taihiap, sedangkan engkau juga menyebutku nona," jawab Ceng Ceng dengan kedua pipi kemerahan. Hui San terpesona. Pemuda ini tidak mudah tertarik oleh wanita. Selama hidupnya baru satu kali dia tertarik, bahkan jatuh cinta kepada wanita, yaitu kepada Lee Cin. Akan tetapi setelah tahu bahwa Lee Cin tidak menanggapi cintanya, dia pun mundur dan tidak begitu mengharapkan lagi. Kini, untuk kedua kalinya dia terpesona oleh budi halus dan kecantikan wanita. Dalam pandangannya, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapi yang memiliki sikap lemah lembut keibuan.

Mendengar jawaban Ceng Ceng, Hui San memandang tajam lalu tersenyum dan menjawab,

"Kita telah bertemu dan berkenalan dan engkau bersama gurumu bersikap demikian baik dan bersahabat, apa salahnya kalau kita menjadi sahabat baik? Agar tidak canggung, bagaimana kalau selanjutnya aku menyebutmu moi-moi saja dan engkau menyebutku koko? Bagaimana juga, aku jauh lebih tua darimu. Bagaimana pendapatmu, Ceng-moi (Adik Ceng)?"

Ceng Ceng tersenyum. Pemuda yang dihadapinya itu demikian sopan clan halus, ucapannya demikian lembut dan sama sekali tidak ada kesan kurang ajar, melainkan bersahabat. Ia merasa senang sekali berkenalan dengan pemuda murid Siauw-lim-pai yang tangguh ini.

"Aku senang sekali, San-ko (Kakak San)," katanya dengan senyum malu-malu. Ceng Ceng adalah seorang gadis pingitan. Ketika ia masih ikut dengan pamannya, Souw Can, ia jarang keluar rumah dan tidak pernah bergaul, apalagi dengan pria, maka ia merasa malu-malu. Satu-satunya pria yang pernah dikenalnya dengan baik adalah Lai Siong Ek, suhengnya. Akan tetapi Siong Ek sering kali bersikap tidak wajar kepadanya, bahkan kalau rnereka sedang berdua, Siong Ek suka menggodanya dengan kata-kata nakal." Maka, bertemu dengan Hui San yang sopan dan lembut, ia merasa tertarik sekali. Apalagi baru saja ia mendapat pertolongan pemuda itu. Kalau pemuda itu tidak datang menolong, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Siangkoan Tek itu terlalu lihai baginya dan suhunya juga tidak dapat menolongnya karena suhunya sedang bertanding dengan seru melawan kakek bersenjata dayung baja itu.

"Ceng-moi, sebetulnya apakah yang terjadi. Kenapa engkau dapat bertanding dengan Siangkoan Tek itu, dan kenapa pula gurumu bertanding dengan Siangkoan Bhok?"

"Kebetulan saja Suhu dan aku lewat di sini ketika kami melihat mereka berdua menawan seorang gadis cantik. Begitu melihat pemuda itu, aku segera mengenalnya karena aku pernah bentrok dengan Siangkoan Tek itu. Maka aku segera berusaha menolong gadis itu dan menyerang Siangkoan Tek, sedangkan Suhu menyerang kakek berdayung baja yang ternyata adalah ayah dari Siangkoan Tek. Kami bertanding mati-matian dan sebelum engkau muncul, aku sudah terdesak hebat oleh Siangkoan Tek yang lihai dan jahat."

"Hemm, dan di mana gadis yang ditawan mereka itu? Apakah benar dia dibawa lari seorang yang berkedok hitam?"

"Begitulah, aku terdesak hebat oleh Siangkoan Tek sehingga tidak begitu memperhatikan. Aku hanya melihat seorang yang berpakaian dan berkedok hitam, berkelebat cepat dan membawa pergi nona tawanan itu."

"Apakah engkau tahu siapa gadis itu, Ceng-moi Mengapa ia ditangkap Siangkoan Tek dan ayahnya? Dan siapa pula Si Kedok Hitam itu?"

"Aku tidak tahu, San-ko. Juga Suhu tidak tahu. Akan tetapi Suhu dan aku sempat melihat betapa gadis itu dikeroyok ayah dan anak yang jahat itu, kemudian tertawan oleh mereka. Gadis itu memiliki kepandaian hebat, akan tetapi karena dikeroyok dua, akhirnya ia tertawan."

Mereka berhenti bicara dan ketika keduanya saling pandang, kembali jantung mereka berdebar kencang dan Ceng Ceng segera menundukkan pandang matanya. Hui San juga menjadi salah tingkah dan untuk meredakan debar jantungnya, dia bertanya, '"Ceng-rnoi, kalau boleh aku bertanya, siapakah kedua orang tuamu dan di manakah engkau tinggal?"

Pertanyaan itu seperti mencairkan kebekuan yang timbul karena rasa malu dan canggung. Akan tetapi jawaban Ceng Ceng terdengar mengandung kedukaan,

"Aku".. aku tidak mempunyai ayah dan ibu lagi, San-ko. Aku adalah seorang yatim piatu yang ditinggal mati kedua orang tuaku sejak aku masih kecil."
"Hemm, kalau begitu sejak kecil engkau ikut gurumu?"

"Tidak, San-ko. Baru dua tahun aku mengikuti guruku belajar ilmu, tadinya aku ikut menumpang di rumah pamanku yang tinggal di Pao-ting. Baru setelah bertemu dengan Suhu, aku memperdalam ilmu silat dan ikut Suhu merantau."

"Ah, kasihan sekali engkau, Ceng-moi. Riwayatmu penuh duka."

Ceng Ceng tersenyum

"Akan tetapi aku tidak merasa berduka lagi, San-ko. Aku merasa bahagia dapat belajar ilmu dari Suhu. Akan tetapi kenapa sejak tadi hanya bicara tentang diriku saja. Bagaimana dengan engkau, San-ko? Dari mana engkau berasal dan siapa orang tuamu?" Ceng Ceng bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda yang jangkung, gagah dan tampan itu.

Hui San menarik napas panjang, akan tetapi dia masih tersenyum sambil menatap wajah yang cantik jelita itu

"Riwayatku tidak jauh bedanya dengan riwayatmu, Ceng-moi. Aku pun yatim piatu sejak kecil dan sejak aku masih kecil aku sudah tinggal di dalam kuil Siauw-lim-si dan akhirnya menjadi murid Suhu. Aku mempelajari ilmu silat dan juga sastra dari para suhu di Siauw-lim-pai dan aku sering melaksanakan tugas yang diberikan oleh Suhu."

"Ah, kasihan juga engkau, San-ko. Kenapa hidup ini hanya membawa duka saja. Di mana-mana aku bertemu dengan orang-orang yang tidak bahagia hidupnya. Jadi engkau bertempat tinggal di kuil Siauw-lim-si? Di manakah kuil Siauw-lim-si yang tersohor itu, San-ko?"

"Pusat kuil Siauw-lim-si berada di kaki Gunung Sung-san, di Propinsi Ho-nan. Akan tetapi aku tinggal di kuil yang berada di Kwi-cu, sebuah kuil yang merupakan cabang dari Siauw-lim-si dan guruku, In Kong Taisu, menjadi ketua di sana. Aku tinggal di sana, akan tetapi aku lebih banyak berada di luar kuil karena banyak melaksanakan tugas yang diberikan Suhu. Sekarang pun aku sedang melaksanakan tugas untuk menyebar undangan kepada para tokoh kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan persilatan yang ternama."

"Apakah Siauw-lim-pai hendak mengadakan pesta maka menyebar undangan, San-ko?"

"Bukan Siauw-lim-pai yang mengadakan pesta, akan tetapi Siauw-lim-pai merupakan satu di antara pimpinan bengcu kami. Kami mengundang para ahli silat di dunia kang-ouw untuk nanti pada tanggal satu bulan lima agar mereka berkunjung ke Hong-san di mana akan diadakan pertemuan besar dan penting untuk membicarakan urusan di dunia kang-ouw dan juga mengadakan pemilihan bengcu yang baru."

"Aih, menarik sekali!" kata Ceng Ceng

"Apakah Suhu juga diundang? Aku akan merasa girang sekali kalau dapat ikut Suhu pergi ke sana!" Ceng Ceng menoleh ke arah suhunya dan ia terbelalak

"Eh, di mana Suhu?"

Hui San juga menoleh dan melihat ke arah batu di mana tadi kakek itu duduk bersila. Akan tetapi kini kakek itu tidak tampak bayangannya lagi dan sudah pergi dari situ! Kedua orang muda itu menjadi heran dan terkejut. Mereka cepat melompat dan berlari ke arah batu itu dan di atas batu besar di mana Thian-tok tadi duduk terdapat coretan pada permukaan batu yang merupakan huruf-huruf yang cukup jelas.
Ceng Ceng,

Engkau sudah cukup belajar, kita berpisah sekarang. Jaga darimu baik-baik dan kalau engkau pergi ke Hong-san, mungkin kita dapat saling jumpa di sana." Kata Thian-tok.

"Ah, Suhu meninggalkan aku!" kata Ceng Ceng dengan sedih. Ia tahu bahwa sekali waktu ia pasti akan harus berpisah dari gurunya, akan tetapi tidak seperti itu. Suhunya meninggalkannya tanpa pamit! Akan tetapi hatinya terhibur membaca kalimat terakhir. Bulan lima tidak lama lagi dan kalau ia pergi ke Hong-san, menghadiri rapat itu, mungkin ia akan dapat berjumpa dengan gurunya.

"Suhumu seorang manusia yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau dia memakai cara yang aneh untuk berpisah darimu, Ceng-moi."

"Aku..... aku merasa kehilangan sekali, San-ko. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi dan selama ini aku menganggap Suhu sebagai pengganti orang tuaku. Kini dia pergi dan aku sebatang kara....."

"Bukankah suhumu mengatakan bahwa engkau akan dapat berjumpa dengannya di Hong-san? Kalau engkau pergi ke sana"..."

"Akan tetapi aku bukan seorang yang diundang menghadiri rapat yang penting itu, San-ko."

"Mengapa tidak? Aku yang mengundangmu, mewakili guruku. Memang Suhu berpesan agar aku mengundang siapa saja yang pantas disebut sebagai pendekar atau tokoh kang-ouw. Dan engkau sudah pantas menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, Ceng-moi."

"Akan tetapi aku belum pernah melakukan perjalanan jauh seorang diri. Sebelum ikut Suhu, aku selalu tinggal di rumah dan selama ini aku hanya ikut Suhu. Aku tidak tahu di mana Hong-san itu."

Hui San adalah seorang pemuda yang berpengalaman. Tadinya dia pun merasa heran melihat cara Thian-tok meninggalkan muridnya begitu saja. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa girang. Thian-tok rneninggalkan murid perempuan itu setelah bertemu dengan dia. Bukankah ini berarti bahwa datuk itu mengharapkan agar dia dapat menemani Ceng Ceng? Kalau benar dugaannya, dia merasa bahagia sekali.



Kisah Si Pedang Kilat Eps 1 Kisah Si Pedang Kilat Eps 15 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 7

Cari Blog Ini