Ceritasilat Novel Online

Dewi Ular 8


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




Jeng-ciang-kwi juga merasa penasaran sekali. Gadis ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Sudah banyak ilmu yang dia keluarkan, namun semua dapat dihindarkan dan dipunahkan gadis itu. Dia sudah mulai berkeringat dan napasnya memburu. Bagaimanapun juga, faktor usia amat menentukan dalam adu kekuatan dan ilmu silat. Karena usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, Jeng-ciang-kwi mengalami kemunduran yang hebat tanpa disadari olehnya. Karena selama ini tidak pernah menghadapi lawan berat, maka dia selalu dapat menang dengan mudah sehingga dia mengira bahwa kekuatannya masih seperti duIu di waktu dia muda. Baru setelah kini berhadapan dengan lawan tangguh, terasa olehnya betapa tenaganya hampir terkuras dan napasnya terengah-engah.

Merasa bahwa kalau dia tidak cepat dapat menjatuhkan lawannya yang muda ini, dia tentu akan kalah karena kehabisan tenaga. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan menyeramkan dan tiba-tiba gerakannya berubah. Tongkat bambu kuning itu bergerak seperti gelombang lautan menyerang Lee Cin. Gadis ini terkejut karena merasa betapa dahsyatnya gelombang serangan gulungan sinar kuning itu. Biar pun ia sudah memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ia terdesak dan terpaksa mengelak mundur. Tiba-tiba tongkat itu meluncur dengan kecepatan yang sedemikian hebatnya sehingga tidak keburu ditangkis pedang. Lee Cin dalam kagetnya lalu mengerahkan ginkangnya, tubuhnya mencelat ke atas seperti seekor burung walet terbang!

Melihat lawannya lenyap "terbang" ke udara, Jeng-ciang-kwi yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi girang. Inilah kesempatan terbaik baginya. Dia lalu memasang tongkatnya untuk menyambut tubuh Lee Cin kalau turun. Akan tetapi Lee Cin juga sudah waspada. Ketika tiba di udara Lee Cin lalu mengerahkan tenaganya dan berjungkir balik sehingga ketika tubuhnya turun, ia menukik dengan kepala di bawah. Dengan sendirinya jangkauan tangannya juga berada paling bawah. Ketika ia melihat kakek itu menyambutnya dengan tusukan tongkat bambu kuning. Lee Cin mengerahkah tenaganya dan pedangnya membabat tongkat itu berkali-kali.

"Crak-crak-crak-crak!" Setiap kali Pedang Ular Merah membabat tongkat bambu itu, sebagian tongkat itu terpotong! Agaknya penyaluran sinkang dari Jeng-ciang-kwi sudah tidak begitu kuat lagi sehingga dia tidak mampu mempertahankan tongkat seperti tadi. Kini empat kali tongkatnya terbacok putus dan tubuh gadis itu semakin dekat dengannya. Sambil membabat lagi, Lee Cin menggerakkan tangan kirinya dan menotok ke arah ubun-ubun kepala Jeng-ciang-kwi. Kakek itu sedang terkejut melihat tongkatnya terpotong-potong dan mencurahkan seluruh perhatiannya ke sana, maka dia tidak dapat menghindar lagi ketika jari tangan gadis itu menotok ubun-ubun kepalanya.

"Tukk!" Jeng-ciang-kwi mengeluarkan teriakan panjang, tubuhnya terhuyung lalu ia roboh menelungkup di atas tanah, tidak bergerak lagi. Lee Cin menggunakan kakinya untuk membalikkan tubuh itu sehingga telentang dan ia melihat betapa kakek yang tangguh itu telah tewas dengan tongkat bambu yang tinggal pendek masih tergenggam di tangan kanannya!

Lee Cin menoleh ke arah ibunya. Ibunya masih mengamuk karena kini tiga puluh orang anak buah Guha Tengkorak juga maju mengeroyoknya. Akan tetapi sudah ada belasan orang yang rebah malang melintang tidak dapat ikut mengeroyok lagi karena ada yang tertotok tubuhnya sehingga tidak mampu bergerak dan ada pula yang patah tulang dan terluka akan tetapi tidak ada yang tewas.
Melihat ibunya mengamuk dengan kebutannya dan sulingnya yang tadi dilemparkan kepada ibunya masih dipegang tangan kiri ibunya dan digunakan untuk menangkis serangan para pengeroyok, Lee Cin berseru,

"Ibu, lemparkan suling itu ke sini!"

Ang-tok Mo-li melemparkan suling yang disambar oleh Lee Cin. Kemudian Lee Cin berkata nyaring,

"Siapa yang tidak mau berhenti mengeroyok, akan dikeroyok ular sampai mati!"

Ia lalu meniup sulingnya dan ularular yang tadi mengepung saja dan tidak bergerak walaupun di situ terdapat perkelahian, kini mulai bergerak maju, mempersempit lingkaran pengepungan mereka. Melihat ini, para anak buah Guha Tengkorak menjadi gentar, apalagi mereka melihat betapa Jeng-ciang-kwi telah tewas. Di antara sepuluh orang kepala perampok, yang belum roboh ada dua orang. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu dan takut dipagut ular berbisa, dua orang ini lalu membuang golok mereka dan menjatuhkan diri berlutut.

"Kami menyerah! Jangan biarkan ular-ular itu menyerang kami!" teriak dua orang kepala perampok itu. Perbuatannya ini segera diikuti oleh para anak buah Guha Tengkorak yang memang sudah kehiIangan semangat dan keberanian.

"Kami semua menyerah kepada Dewi Ular!" kata mereka gemuruh.

Lee Cin meniup lagi sulingnya dengan nada lain dan ular-ular itu lalu memutar tubuh dan merayap pergi dari tempat itu! Melihat ini, dua kepala perampok dan semua anak buah Guha Tengkorak menjadi lega dan seorang di antara dua kepala perampok itu sambil berlutut memberi hormat kepada Lee Cin sambil berkata dengan suara nyaring,

"Kami mohon kepada Dewi Ular untuk memimpin kami!"

Teriakan ini disambut oleh semua anak buah Guha Tengkorak yang sudah taluk benar-benar karena gadis itu telah membunuh pemimpin mereka dengan suara gemuruh,

"Hidup Dewi Ular!"

Lee Cin mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata dengan suara tegas dan nyaring,

"Dengar kalian semua! Jeng-ciang-kwi telah mengacau di tempat kami maka hari ini kami datang melakukan pembalasan, Jeng-ciang-kwi telah mati dan kalian boleh mengangkat seorang di antara kalian untuk menjadi pemimpin. Aku Dewi Ular tidak ingin menjadi pemimpin kalian, hanya pesan kami agar kalian tidak mengganggu penduduk dusun yang tidak berdosa. Kalau merampok pun harus pilih-pilih, jangan menculik wanita dan jangan sembarangan membunuh orang. Kalau kalian melanggar laranganku ini, kelak kalau aku lewat di sini aku tidak akan mengampuni kalian lagi!"

"Coa Sian-li (Dewi Ular), kami mohon sudilah Sian-li memimpin kami yang telah kehilangan pemimpin. Kami akan menaati semua perintah Sian-li" terdengar seorang berseru.

Lee Cin tersenyum dan menggeleng kepalanya

"Tidak mungkin. Aku masih mempunyai banyak sekali tugas yang harus kuselesaikan. Nah, selamat tinggal!" Lee Cin memberi isyarat kepada ibunya dan keduanya lalu meloncat jauh dan sebentar saja sudah lenyap dari penglihatan empat puluh orang yang masih berlutut di situ.

Setelah menuruni Bukit Kui-san dan tiba di kaki bukit, Ang-tok Mo-li dan Lee Cin berhenti berlari dan mereka berjalan seenaknya.

"Lee Cin, hatiku senang sekali engkau telah dapat membantuku membunuh Jeng-ciang-kwi. Kepandaian silatmu telah maju dengan pesat."

"Di antara kita tidak perlu berterima kasih, Ibu. Sudah menjadi kewajiban membantumu."

"Kenapa engkau tadi menolak pengangkatan mereka menjadi pemimpin mereka, Lee Cin? Senang mempunyai anak buah seperti mereka yang rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan. Engkau akan menjadi tokoh yang amat terkenal dan dihormati semua orang kang-ouw di daerah ini."

"Aih, Ibu. Apakah Ibu senang kalau aku menjadi kepala gerombolan penjahat, Ibu? Aku tidak sudi menjadi seorang datuk sesat. Sekarang kita bicara tentang dirimu, Ibu. Engkau sudah berjanji kepadaku, kalau aku dapat membantumu, menghadapi Jeng-ciang-kwi, maka Ibu akan mempertimbangkan permintaanku, yaitu agar Ibu mau memaafkan Ayah dan suka hidup bersama dengan kami di Hong-san. Aku sekarang menagih janji Ibu itu."

KaIau dalam keadaan biasa, Ang-tok Mo-li tentu akan marah mendengar Lee Cin menagih janji yang seolah menyudutkannya itu. Akan tetapi saat itu hatinya sedang senang karena ia telah melihat musuh besarnya terbunuh oleh Lee Cin. Maka ia hanya mengerutkan alisnya dan balas bertanya kepada puterinya,

"Apakah dia membutuhkan maafku?"

Lee Cin memegang tangan ibunya

"Ah, Ibu. Perlukah kujelaskan lagi? Ayah selama ini sungguh tersiksa memikirkan Ibu, memikirkan kesalahan yang telah dilakukannya terhadap Ibu. Kalau aku mengajaknya bicara tentang Ibu, Ayah menghela napas berulang-ulang dan wajahnya tampak berduka sekali. Aku yakin bahwa kalau Ibu suka memaafkan dia dan suka tinggal di sana bersama kami, Ayah akan menjadi orang paling berbahagia di dunia."

"Tapi..... ayahmu adalah seorang bengcu yang terhormat, sedangkan aku? Kau tahu sendiri siapa aku, seorang wanita iblis yang dikutuk banyak orang! Derajat dan kemuliaan ayahmu akan ternoda dan terseret turun kalau aku hidup bersamanya."

Lee Cin merangkul ibunya

"Jangan begitu Ibu. Aku tahu bahwa biarpun Ibu dijuluki Mo-li (Iblis Betina), namun di lubuk hati Ibu, Ibu adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan pembela keadilan. Dan tentang Ayah, dia akan mengundurkan diri dari kedudukan bengcu itu, Ibu."

"Ehhh?" Ang-tok Mo-li memandang wajah puterinya dengan kaget

"Mengapa rnengundurkan diri?"
"Belum lama ini, Ayah didatangi seseorang yang memakai kedok hitam dan orang itu memaki-maki Ayah sebagai seorang bengcu antek penjajah Mancu, karena ketika pengangkatannya direstui oleh Kaisar Mancu. Kemudian orang berkedok hitam itu menyerang Ayah dan dalam perkelahian itu Ayah terluka oleh pukulan tapak hitam dari orang itu. Sekarang pun Ayah masih beristirahat untuk memulihkan tenaganya Ibu. Beruntung bahwa aku telah mempelajari It-yangci sehingga aku dapat menyelamatkan Ayah. Nah, sejak itu Ayah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Dia tidak mau dianggap oleh dunia kang-ouw sebagai bengcu antek penjajah Mancu."

"Hemm, siapakah penyerang itu?"

"Ayah tidak mengetahuinya, Ibu. Dan ketika itu aku pun sedang tidak ada di rumah. Ayah hanya mengatakan bahwa orang itu masih muda, berkedok hitam dan memiliki pukulan tapak tangan hitam yang disebutnya pukulan "merontokkan jalan darah". Sebetulnya Ayah telah menghabiskan urusan dengan Si Kedok Hitam itu, akan tetapi aku tidak dapat menerimanya begitu saja, Ibu. Aku akan pergi mencari orang itu dan membalas kekalahan Ayah. Barangkali Ibu mengetahui siapa yang memiliki iImu pukulan seperti itu?"

Ang-tok Mo-li mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat

"Aku pernah mendengar tentang ilmu tapak tangan hitam dari keluarga Cia, akan tetapi entah mereka atau bukan yang melukai ayahmu. Seingatku ilmu tapak tangan hitam keluarga Cia disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)."

"Aku juga sudah mendengar akan mereka di Hui-cu, di kaki bukit Lo-sian, bukan?" Ibunya mengangguk.

"Kalau begitu, sekarang juga aku akan pergi ke sana untuk menyelidikinya!"

"Akan tetapi mereka itu terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah perkasa, bukan golongan penjahat."

"Siapa pun mereka, akan kuselidiki. Kalau betul ada di antara mereka yang dulu memakai kedok dan melukai Ayah, tentu akan kutantang dan kubalas dia!"

Ang-tok Mo-li menghela napas panjang dan mengamati wajah puterinya. Ada keharuan di hatinya. Kekerasan hati puterinya itu jelas ia yang menurunkannya. Andaikata ia yang menjadi Lee Cin, ia pun tentu akan mencari orang itu sampai dapat ditemukan.

"Kalau begitu, sesukamulah, Lee Cin. Engkau sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk bertindak sendiri. Akan tetapi, bagaimana dengan keadaan ayahmu?"

"Dia masih menderita oleh akibat pukulan itu, Ibu. Biarpun dia sudah tidak terancam bahaya lagi, namun dia masih lemah dan perlu beristirahat. Aku sudah mencari seorang paman dari dusun untuk merawat dan melayaninya selama aku pergi."

"Aku..... aku maafkan dia..... Sudah lama, selama engkau pergi, aku sudah maafkan dia," katanya lirih.

Mendengar ini, Lee Cin merangkul dan mencium ibunya dengan kedua mata basah. Ketika ia memandang wajah ibunya, ia melihat betapa kedua mata ibunya juga basah. Di dalam hatinya Lee Cin bersorak. Ibunya menangis! Ini merupapakan hal yang langka sekali dan ini mungkin sekali berarti bahwa hati ibunya yang tadinya membeku dan keras sudah mencair dan lunak kembali!

"Ibu," ia berbisik dekat telinga ibunya,

"Ayah amat mencinta Ibu, sungguh amat mencintaimu."

Ang-tok Mo-li melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alisnya

"Kenapa tidak dari dulu?"

"Ayah sudah menyesali hidupnya, Ayah merana dalam hatinya dan selalu merindukan Ibu. Setelah Ibu memaafkan dia, tidakkah Ibu kasihan melihat dia terluka? Alangkah akan bahagia hatinya kalau Ibu sudi menengok Ayah yang sedang lemah dan beristirahat."

"Bagaimana nanti sajalah. Kapan engkau akan pergi ke Lo-sian?"

"Sekarang juga, Ibu."

"Kalau begitu berangkatlah, akan tetapi hati-hatilah. Sedapat mungkin jangan sampai engkau bermusuhan dengan keluarga Cia, hal itu berbahaya sekali."

Baik, Ibu. Akan kuingat pesan Ibu."

Kedua orang wanita, ibu dan anak itu Ialu berpisah. Lee Cin menuju ke barat dan ibunya menuju ke selatan.

Lima orang laki-laki berdiri sambil bercakap-cakap di dalam sebuah hutan di pegunungan Hong-san. Mereka ini bukan orang-orang lemah karena mereka membawa golok di pinggang mereka. Kuncir mereka melilit leher dan sikap mereka congkak seperti kebanyakan orang yang merasa dirinya kuat dan berkuasa. Memang, lima orang ini bukan orang sembarangan, melainkan segerombolan perampok yang mengepalai banyak anak buah di sebelah timur Pegunungan Hong-san. Yang mereka bicarakan adalah bengcu Souw Tek Bun.

"Tidak salahkah keterangan yang kau peroleh bahwa Souw-bengcu itu kini sedang sakit dan lemah?" tanya seorang kepada kawannya yang bermuka hitam.

"Tidak salah. Petani yang kini merawatnya menceritakan hal ini kepada beberapa orang dusun dan berita itu menyebar sehingga aku mendengarnya. Kiranya, sekaranglah saatnya yang terbaik untuk bergerak," kata Si Muka Hitam.

"Akan tetapi ada puterinya yang kabarnya tidak kalah tangguhnya dibandingkan dengan Souw-bengcu," kata orang ke tiga.

"Bahkan puterinya itu akhir-akhir ini dikenal sebagai Dewi Ular. Kabarnya ia dapat memanggil semua ular di daerah ini untuk membantunya menghadapi musuh. Ih, mengerikan!" kata orang ke empat.

"Kalau berbahaya sekali, lebih baik ditangguhkan, tunggu sampai kita memperoleh bantuan yang tangguh, baru kita serbu," kata orang ke lima.

"Kenapa kalian begitu ketakutan? Sudah kukatakan bahwa anak perempuannya itu pergi jauh. Karena itu maka orang dusun itu disuruh menjaga dan merawat Souw-bengcu. Jangan kalian takut, begitu pengecutkah kalian?" kata Si Muka Hitam yang agaknya menjadi pemimpin mereka. Orang ini memang kelihatan menyeramkan. Mukanya hitam sekali, rambutnya sangat subur, dikuncir tebal dan kuncir itu melilit lehernya. Di punggungnya terdapat sebatang ruyung dan di pinggangnya tergantung sebuah golok. Lima orang ini menamakan diri mereka sendiri Hong-san Ngo-houw (Lima Harimau Bukit Hong-san). Mereka bercakap-cakap di hutan yang sunyi itu, membicarakan niat mereka untuk menyerbu rumah Souw-bengcu.

"Apakah benar pedang itu amat berharga maka engkau hendak merampasnya?" tanya orang pertama kepada Si Muka Hitam.

"Hem, tentu saja! Amat berharga sekali. Orang di dunia kang-ouw tentu akan berani membayar mahal untuk pedang Ceng-liong-kiam! Kalian tahu pedang itu adalah pedang pemberian Kaisar kepada Souw-bengcu. Dengan pedang itu di tangan, orang dapat memasuki istana dan semua penjaga akan memberi hormat. Orang itu akan dapat langsung menghadap Kaisar! Bukankah benda itu amat berharga? Selain itu, juga pedang itu merupakan pedang pusaka yang ampuh sekali."

Mendengar keterangan ini, empat orang rekannya menyeringai dan mengangguk-angguk.
"Kalau begitu kapan kita akan menyerbu ke sana?"

"Sekarang juga, selagi masih pagi."

Berangkatlah lima orang itu mendaki puncak Hong-san menuju ke tempat kediaman Souw Tek Bun. Mereka mendaki setengah berlari dan nampak wajah mereka penuh gairah, penuh semangat.
Akhirnya sampai juga mereka di depan pondok tempat tinggaI Souw Tek Bun yang kelihatan sunyi sekali. Selagi lima orang itu menjenguk ke sana-sini, muncullah seorang laki-laki setengah tua dari dalam pintu pondok. Melihat lima orang itu, dia terkejut dan cepat menghampiri sambil bertanya,

"Siapa kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?" tanyanya.

Akan tetapi sebagai jawabannya, sebatang golok berkelebat dan pelayan itu berteriak mengaduh satu kali lalu terkulai roboh dengan dada terkoyak.

Mendengar teriakan ini, Souw Tek Bun yang sedang berada di dalam menjadi terkejut dan dia pun muncul dari pintu. Karena tidak menyangka buruk, bengcu ini tidak membawa senjata apa pun. Melihat lima orang yang tampak garang dan bengis itu, Souw Tek Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika dia melihat pelayannya sudah menggeletak mandi darah, dia terkejut dan marah sekali.

"Siapakah kalian dan apa yang kalian lakukan ini?"

Si Muka Hitam memutar tubuh memandang kepada Souw Tek Bun. Dan empat orang rekannya juga memandang bengcu itu dengan sinar mata penuh perhatian dan juga ada tersisa perasaan gentar karena mereka sudah mendengar kabar tentang kegagahan bengcu ini dengan ilmu silatnya yang tinggi. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah yakin akan kebenaran berita yang diterimanya lalu tertawa,
"Ha-ha-ha, kiranya yang namanya Souw-bengcu hanya seorang tua yang lernah dan berpenyakitan!"

Souw Tek Bun yang tidak tahu bahwa ucapan itu untuk memancing dan mengetahui keadaannya, menghela napas dan berkata sejujurnya,

"Memang aku sedang tidak sehat, akan tetapi mengapa kalian membunuh pelayanku yang sama sekali tidak berdosa ini?"

Si Muka Hitam mencabut golok dan ruyungnya diikuti empat rekannya yang juga sudah mencabut golok mereka

"Souw Tek Bun! Kami datang bukan untuk mengobrol denganmu! Cepat kau serahkan Ceng-liong-kiam kepada kami atau engkau akan mati seperti pelayanmu ini!"

Biarpun keadaannya lemah dan tenaganya belum puIih, Souw Tek Bun adalah seorang gagah perkasa yang tidak mungkin mau tunduk atas perintah gerombolan penjahat begitu saja.

"Ceng-liong-kiam adalah pedangku, tidak boleh orang lain memilikinya!" katanya dengan gagah.

"Kalau begitu mampuslah" bentak Si Muka Hitam yang langsung menyerang dengan golok di tangan kanan dan ruyung di tangan kiri. Biarpun Souw Tek Bun kehilangan tenaganya, namun dia tidak kehilangan ilmu silatnya yang sudah mendarah daging, maka dengan mudah dia mengelak dari serangan golok dan ruyung itu. Akan tetapi empat rekan Si Muka Hitam sudah maju menyerang dari segala jurusan!

Souw Tek Bun hanya mampu mengelak, akan tetapi karena dia kehilangan tenaganya, maka gerakannya juga tidak begitu gesit lagi. Kembali ruyung Si Muka Hitam menyambar ke arah kepalanya. Souw Tek Bun mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang dan pada saat itu, dua batang golok menyambar dari kanan kiri. Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan dapat berjungkir-balik satu kali, hanya untuk menghadapi golok lain dari depan dan belakangnya. Dia memutar tubuh dan kembali mengelak, akan tetapi elakannya kurang cepat sehingga ketika ruyung menyambar ke arah kepala dan dielakkannya, ruyung itu masih menimpa ujung pundaknya.

"Dess......!" Tubuh Souw Tek Bun terguling. Akan tetapi begitu roboh dia menggulingkan tubuhnya lalu bangkit berdiri dengan pundak kiri terasa nyeri bukan main. Kembali hujan goIok dan ruyung mengeroyoknya. Karena dia tidak diberi kesempatan untuk membalas, maka dia hanya berloncatan ke sana sini untuk mengelak dan suatu saat kaki kanan Si Muka Hitam mencuat dan mengenai perutnya.
"Bukk.....!" Kembali tubuh Souw Tek Bun terpelanting, kini terjengkang, akan tetapi dia masih dapat bergulingan menghindarkan diri. Tahulah Souw Tek Bun bahwa nyawanya terancam maut. Kalau dia tidak kehabisan tenaga sebagai akibat pukulan tapak tangan hitam, biarpun dia bertangan kosong, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan mampu merobohkan lima orang itu. Akan tetapi tenaganya tidak ada sehingga kegesitannya pun berkurang.

"Sing-sing-sing......!" Tiga batang golok berdesing menyambut dan hampir saja mengenai tubuh pendekar itu. Dia melompat mundur ke belakang menghindarkan diri dari sambaran golok-golok itu. Akan tetapi ketika Si Muka Hitam mengejar dan menggerakkan ruyungnya, kembali ruyung itu mengenai pahanya dan Souw Tek Bun lalu terguling roboh, tidak mampu berdiri kembali. Dengan wajah menyeringai bengis, lima orang itu sudah berlompatan mengangkat senjata masing-masing untuk mengirim bacokan atau tusukan maut.

"Wuuutt..... tar-tar-tar-tar-tar.....!" Sinar merah menyambar lima kali dan lima orang perampok itu berpelantingan dan tidak dapat bangkit kembali karena kepala mereka sudah retak disambar ujung kebutan berbulu merah. Ang-tok Mo-li sudah berada di situ, melangkah mendekati Souw Tek Bun dan memandang dengan alis berkerut.

Souw Tek Bun yang sudah menderita luka di pundak dan pahanya itu, juga menerima tendangan di perutnya, memandang wanita itu. Pandang matanya menjadi kabur, akan tetapi dia masih mengenal wanita itu dan mulutnya berkata lirih,

"Kau.... kau..... Bu Siang......!" Dan dia pun terkulai pingsan.

Ketika dia membuka matanya kembali, Souw Tek Bun mendapatkan dirinya sudah rebah di pembaringan di dalam kamarnya dan melihat Ang-tok Mo-li sedang membalut luka di pundak dan pahanya.
"Bu Siang..... kau..... kau menyelamatkan aku..... dan merawatku.....?" pertanyaan itu keluar dengan suara penuh haru.

"Sttt, diamlah dan mengasolah. Engkau tidak terluka parah, hanya perlu beristirahat," kata Ang-tok Mo-li atau Bu Siang dengan lembut.

Souw Tek Bun memandang kepada wanita itu dan kedua matanya basah

"Bu Siang, tidak mimpikah aku? Benarkah ini engkau yang merawatku? Bu Siang, katakan bahwa ini bukan sekedar mimpi....."

Bu Siang tersenyum memandang kepada pria yang sesungguhnya amat dicintanya ini. Kalau ia pernah membencinya, hal itu karena besarnya cinta yang gagal.

Akan tetapi kini ia menyadari bahwa apa yang dikatakan puterinya itu bukan bohong. Pria ini masih mencintanya dan mengharapkan kedatangannya.

Ia mengangguk

"Apakah engkau mengharapkan kedatanganku dan merasa rindu kepadaku?" tanyanya lirih.
Souw Tek Bun menangkap tangan wanita itu dan menciumi tangan itu dengan air mata berlinang

"Haruskah kukatakan lagi, Bu Siang. Aku mengharapkan engkau datang, agar kita dapat hidup bersama. Aku mengharapkan maafmu yang sebesar-besarnya, atau kalau tidak, aku akan rela mati kau bunuh......"

Ang-tok Mo-li menggeleng kepalanya

"Hemm, laki-laki tolol, kalau saja begini sikapmu sejak dulu....."

"Akan tetapi aku belum terlambat, bukan? Kau sudi memaafkan aku atas kebodohanku itu? Aku sungguh menyesal dan dengan setulus hati aku berjanji akan mempergunakan sisa umurku untuk membahagiakanmu, Siang-moi (Adik Siang)."

"Dengan satu syarat bahwa engkau harus tidak menjadi bengcu lagi. Aku akan selalu merasa rendah diri untuk hidup di samping seorang bengcu yang namanya dimuliakan dan dihormati seluruh orang kang-ouw."

Souw Tek Bun menarik tangan Ang-tok Mo-li dan merangkulnya

"Jangan khawatir, Siang-moi. Sebelum engkau datang pun aku sudah bermaksud untuk mengundurkan diri dari jabatan bengcu."

Tentu saja Bu Siang sudah mendengar akan hal ini dari puterinya. Ia membiarkan dirinya dirangkul dan kedua orang itu tenggelam ke dalam kemesraan dan baru sekarang wanita itu menyadari bahwa selama ini ia tidak dapat pernah melupakan Souw Tek Bun, bahwa selama ini ia masih mencinta pria itu.
Manusia dipermainkan suka dan duka sebagai akibat permainan nafsu. Manusia selalu mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan "si aku" yang dianggapnya sebagai diri sejati. Padahal, yang mengaku aku itu bukan lain adalah nafsu. Nafsu daya rendah selalu berebutan untuk menguasai manusia dan mengaku diri sebagai Aku-nya manusia itu. Dan menjadi sifat nafsu daya rendah untuk mementingkan diri sendiri. Dari pementingan diri sendiri inilah timbul segala macam perasaan suka duka.

Kalau terjangkau apa yang diinginkan datanglah suka, kalau tidak terjangkau datanglah duka. Bukan berarti bahwa manusia harus menjauhi nafsu atau meniadakan nafsu. Tanpa nafsu manusia tak mungkin dapat merasakan kenikmatan hidup, bahkan tanpa nafsu manusia tidak akan dapat hidup. Segala macam penemuan manusia yang membawa kepada kemajuan lahiriah ini adalah berkat dorongan nafsu.

Akan tetapi manusia bijaksana akan selalu menjadi majikan dari nafsu-nafsunya. Setiap kali nafsu menyimpang dari fungsinya dan hendak mencengkeram akan menjadikan manusia sebagai budak, manusia bijaksana akan selalu dapat melihat bahwa apa yang dia pikirkan, katakan dan perbuat itu bukanlah dilakukan oleh dirinya yang sejati, melainkan oleh nafsu. Dengan kewaspadaan ini, manusia akan dapat mengembalikan kedudukannya sebagai majikan dan menarik kembali nafsu yang menguasai itu menjadi pembantu atau alat.

Manusia sendiri tidak akan mungkin atau akan teramat sukar untuk dapat menguasai nafsu-nafsunya. Yang dapat menundukkan nafsu adalah Kekuasaan Tuhan. Karena itu tiada jalan lain bagi manusia untuk meniadakan nafsu yang suka mengaku-aku dan menariknya menjadi pembantu hanyalah penyerahan diri kepada Tuhan dengan segala kepasrahan, keihlasan dan ketawakalan. Kalau sudah begitu, maka Tuhan dengan Kekuasaan-Nya yang tidak terbatas akan meletakkan nafsu-nafsu di tempat masing-masing sebagaimana mestinya.

Mengapa nafsu demikian kuat dan besar kekuasaannya atas diri manusia lahir dan batin? Karena nafsu selalu menarik manusia kepada kesenangan duniawi yang gemerlapan, tampak indah dan menyenangkan, mendatangkan kepuasan jasmani. Dengan kesenangan ini manusia terpikat, terbujuk dan akhirnya menyerah menjadi bulan-bulanan dan permainan nafsu itu sendiri. Dan kalau nafsu sudah menguasai diri, bukan hanya tindakan kita saja yang menyeleweng dari kebenaran, bahkan hati akal pikiran kitapun sudah bergelimang nafsu sehingga hati dan pikiran bahkan membenarkan perbuatan yang didorong nafsu itu. Maka sukarlah bagi manusia untuk menyadari kesalahan sendiri, karena hati akal pikirannya selalu membenarkan.

Contoh yang sederhana adalah manusia yang melakukan korupsi. Dia tahu benar bahwa perbuatan itu tidak benar. Akan tetapi kalau dia melakukannya lalu hati akal pikirannya membelanya dengan bisikan-bisikan lembut dan menghibur, misalnya,

"tidak apa-apa, toh semua orang melakukannya" atau "engkau melakukan karena terpaksa oleh keadaan, maka itu bukan dosa" dan "yang kau lakukan hanya kecil saja, lihat orang lain melakukannya dengan jumlah yang lebih besar lagi". Pendeknya, hati akal pikiran selalu membela perbuatan yang tidak benar itu menjadi perbuatan yang dianggap benar!
Maka, seorang manusia bijaksana akan selalu berhati-hati dan waspada, sehingga dia akan dapat merasakan bahwa perbuatan itu bukan kehendak dirinya yang sejati melainkan dilakukan karena bujukan iblis nafsu, dan bahwa bisikan-bisikan membela itu bukan datang dari nuraninya, melainkan dari iblis nafsu yang sama.

Setelah Bu Siang kembali ke dalam pelukannya, Souw Tek Bun baru menyadari bahwa dia memang telah bersalah besar. Seharusnya, kalau benar dia mencinta Bu Siang, dia harus membimbing wanita itu ke arah jalan yang benar, bukan meninggalkannya begitu saja dan menikah dengan wanita lain! Kalau dulu dia tidak meninggalkannya melainkan memberi bimbingan, belum tentu Bu Siang akan menjadi seorang datuk sesat yang tidak segan melakukan perbuatan jahat. Kini dia menyesal dan berjanji kepada diri sendiri untuk melanjutkan membimbing wanita yang dicintanya itu ke jalan yang benar dan tidak lagi bersikap dan bertindak sebagai seorang tokoh sesat.

Lee Cin berhenti di bawah pohon besar di kaki Bukit Lo-sian. Tempat itu sunyi dan hari itu panasnya membakar sehingga terasa sejuk dan nyaman berada di bawah pohon besar itu melepaskan lelah.
Kalau ada orang melihatnya tentu akan merasa heran. Seorang gadis cantik duduk seorang diri di bawah pohon di tempat yang amat sepi itu. Memang Lee Cin amat menarik perhatian. Gadis ini memiliki kecantikan yang khas. Wajahnya yang bulat telur itu manis sekali dengan mulut yang kecil mungil dengan bibir yang selalu merah membasah. Hidungnya yang kecil mancung itu ujungnya agak menjungat ke atas sehingga menimbulkan kesan lucu. Setiap kali ia menggerakkan mulutnya, dua lesung pipit di kanan kiri mulutnya nampak jelas. Matanya bersinarsinar tajam dan amat jeli, seolah selalu menyelidik apa yang berada di depan dan dipandangnya.

Lee Cin memang seorang gadis cantik jelita, berusia sembilan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mekar semerbak harum. Pakaiannya juga cerah berkembang. Ia tidak nampak membawa senjata karena pedangnya dililitkan di pinggang sehingga tampaknya seperti sabuk saja. Suling yang hitam terselip di pinggang itu pun tidak kelihatan sebagai senjata walaupun sesungguhnya suling itu merupakan senjata yang ampuh dan juga dapat dipergunakan untuk memanggil ular.

Lee Cin menyeka keringat dari leher dan dahinya, menggunakan sehelai saputangan sutera biru. Ia menjulurkan kedua kakinya yang terasa agak pegal karena sudah dipakai berjalan menempuh jarak jauh. Tidak akan ada orang yang menduga bahwa gadis cantik menarik ini sebetulnya adalah seorang gadis yang amat lihai, bahkan terkenal dengan julukan Dewi Ular!

Lee Cin duduk termenung. Ia teringat kepada ibunya dan diam-diam ia mengharapkan agar ibunya benar-benar mau memaafkan ayahnya dan akhirnya suka tinggal bersama ia dan ayahnya di Hong-san. Pikirannya melayang-layang mengenangkan masa lalunya.

Ia teringat akan Song Thian Lee. Pernah ia jatuh cinta setengah mati kepada pendekar itu. Akan tetapi akhirnya ia melihat kenyataan pahit bahwa Thian Lee tidak mencintanya melainkan mencinta gadis lain dan kini sudah menikah dengan gadis itu. Apakah dulu ibunya juga mengalami seperti ia? Ibunya mencinta ayahnya akan tetapi ayahnya memilih wanita lain untuk menjadi isterinya.
Tidak, sama sekali tidak sama. Ibunya telah menyerahkan diri dan kehormatannya kepada ayahnya. Tentu saja setelah ditinggal menikah dengan gadis lain, ibunya menjadi sakit hati. Akan tetapi ia tidaklah demikian. Hubungannya dengan Thian Lee bersih.

Ia menghela napas. Masa patah hati telah lewat. Ia tidak lagi merasa berduka karena harus berpisah dari Thian Lee. Ia tahu diri. Maklum bahwa cinta tidak dapat bertepuk sebelah tangan. Thian Lee telah menemukan jodohnya dan ia terpaksa harus meninggalkan pemuda itu, tidak lagi terasa penyesalan atau duka. Ia bahkan merasa seperti seekor burung terbang menyendiri di angkasa raya. Tidak akan mudah rasanya untuk tertarik kepada pria lain. Hatinya tidak membeku terhadap cinta, akan tetapi ia merasa sangsi apakah ada pemuda yang dapat menarik hatinya seperti Thian Lee. Ia teringat kepada Thio Hui San dan menarik napas panjang. Pemuda itu pun seorang pendekar perkasa, seorang pemuda yang gagah dan tampan menarik. Seorang pemuda yang berhati lembut dan yang terus terang menyatakan cinta kepadanya. Akan tetapi ia sendiri tidak mempunyai perasaan cinta terhadap Thio Hui San. Dan ia merasa kasihan sekali. Ia sudah pernah merasaan betapa pahitnya untuk jatuh cinta kepada orang yang tidak membalas cintanya. Tentu Hui San juga merasakan kepahitan seperti yang pernah ia rasakan.

Tiba-tiba, perasaan sedih mencekam hatinya. Ia merasa kesepian. Ayah dan ibunya, dua orang yang paling dekat di hatinya, masih belum dapat hidup bersama seperti yang diharapkannya. Dan ia sendiri, ah, betapa hidup ini sunyi seperti yang sebuah kapal di tengah samudra luas. Tidak tampak tepi daratan, tidak tampak nusa harapan di mana kapal itu dapat berlabuh. Ia hanya dapat mengharapkan suatu kemujijatan terjadi atas dirinya. Haruskah ia mengalami nasib seperti ibunya yang selalu kesepian dan merana? Tidak, tidak mungkin. Ibunya menderita kesengsaraan karena ulah sendiri, karena hatinya dipenuhi dendam yang meracuni diri sendiri. Ia tidak mendendam kepada siapapun juga. Kalau ia mencari Si Kedok Hitam, hal itu bukan dikarenakan dendam, melainkan penasaran.

Ia ingin menemukan Si Kedok Hitam untuk ditanya mengapa dia menyerang ayahnya dan melukainya. Kalau Si Kedok Hitam tidak dapat memberi jawaban yang menghilangkan rasa penasaran itu, ia akan menantangnya untuk bertanding agar ia dapat melukainya seperti yang dilakukan orang itu kepada ayahnya.

Semangat hidupnya bangkit kembali ketika ia teringat akan tugasnya ini. Persetan semua kelemahannya! Ia tidak boleh membiarkan dirinya terseret oleh hati dan pikiran yang melemahkan dirinya, menyeretnya ke dalam kedukaan. Hidupnya masih berarti! Selain mencari Si Kedok Hitam, ia pun harus mempersatukan ayah dan ibunya.

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Lee Cin bangkit dari duduknya dan menggeliat. Otot-otot tubuhnya terasa kaku karena dipakai duduk sampai lama. Ia harus bergerak kembali, harus melangkah lagi mendaki Bukit Lo-sian, menuju ke kota Hiu-cu yang terletak di lereng di balik bukit itu. Ia sudah mencari keterangan di dusur yang dilewatinya tadi dan mendapat petunjuk bahwa Hui-cu terletak di seberang bukit.

Saat itu matahari telah naik tinggi. Siang hari yang amat terik dan panas. Lee Cin meregangkan kaki tangannya yang kaku, lalu mengambil kembali buntalan pakaiannya dan digendongnya buntalan pakaian itu dipunggungnya.

Selagi ia hendak melangkah, tiba-tiba ia mendengar gerakan orang. Lee Cin menahan langkahnya dan waspada. Muncullah tiga orang dari balik pohon dan mereka itu menghadang di depan Lee Cin sambil memandang gadis itu degan sinar mata penuh selidik.

"Siapakah engkau, Nona? Apakah engkau dari keluarga Cia?" bentak orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan. mukanya penuh brewok. Si Tinggi Besar ini nampak kokoh kuat dan kuncir rambutnya dibiarkan tergantung di depan dadanya. Kancing bajunya terbuka sebagian sehingga tampak dadanya yang berbulu dan kekar.

Mendengar pertanyaan ini, Lee Cin menjadi tertarik sekali. Tentu ada sesuatu antara tiga orang ini dengan keluarga Cia. Kalau ia menjawab bahwa ia bukan anggauta keluarga Cia, dan mereka itu pergi begitu saja, tentu ia tidak akan mendengar keterangan apa pun tentang keluarga Cia. Sebaiknya ia mengaku keluarga Cia dan ia ingin tahu apa yang akan terjadi, agar ia mendengar sesuatu tentang keluarga yang sedang diselidikinya itu.

"Kalau benar aku keluarga Cia, kalian mau apa?" jawabnya dengan pertanyaan yang menantang.
"Kubunuh engkau!" jawab orang ke dua yang berwajah tampan dan bertubuh sedang. Orang ini bernama Bong Cui Kiat, berusia empat puluh lima tahun.

"Kucincang kau!" bentak orang ke tiga yang bernama Bong Cui An, adik orang ke dua, bertubuh tinggi kurus dan berusia empat puluh tahun.

"Ha-ha-ha, tidak begitu! Engkau akan kuambil sebagai isteriku yang paling muda!" kata orang pertama yang bernama Lay Ki Seng dan berusia lima puluh tahun, orang yang tinggi besar dan brewok itu.
Lee Cin tersenyum. Keterangan itu masih belum ada artinya. Ia ingin tahu tentang keluarga Cia, bukan tentang mereka.

"Hemm, tidak begitu mudah untuk mengikat jodoh! Setidaknya aku harus tahu lebih dulu, kalian ini orang-orang dari mana dan mengapa pula memusuhi keluarga Cia?"

"Kalau engkau anggauta keluarga Cia tentu mengenal kami, setidaknya mengenal nama kami. Kami adalah Kim-to Sam-ong (Tiga Raja Golok Emas), tiga pimpinan Kim-to-pang (Perkumpulan Golok Emas). Lebih baik engkau menyerah dan menjadi isteri mudaku, daripada tubuhmu kami cincang dan nyawamu kami cabut!"

Dari sikap mereka ini saja Lee Cin dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang berwatak jahat, dan kalau gerombolan orang jahat memusuhi keluarga Cia, mudah diduga bahwa keluarga Cia adalah keluarga yang baik.

"Nanti dulu.. Biarpun aku anggauta keluarga Cia, akan tetapi sudah lama meninggalkan perkampungan dan baru hari ini akan pulang. Aku tidak mengenal siapa kalian dan mengapa ada permusuhan antara kalian dan keluarga kami? Ceritakan dulu, baru aku akan mempertimbangkan usulmu tadi."

Lay Ki Seng menjadi girang mendengar ini, mengira bahwa gadis itu tentu akan dapat dia peristeri dengan mudah

"Dengarlah, Nona manis. Aku bernama Lay Ki Seng dan aku orang pertama dari tiga pimpinan Kim-to-pang. Sudah beberapa kali anggauta keluarga Cia menentang dan menghalangi kami, karena itu kini kami bertemu denganmu. Sebaiknya engkau menurut dan menjadi isteri mudaku untuk menebus kesalahan keluargamu kepada kami. Kalau engkau sudah menjadi isteriku, tentu hubungan antara keluarga Cia dengan kami dapat menjadi baik dan akrab. Nah, engkau tentu setuju, bukan? Aku lebih suka kalau engkau menyerah dengan sukarela daripada aku harus menggunakan paksaan!"

"Aku mau dan setuju menjadi isterimu, akan tetapi dengan satu syarat bahwa engkau tidak boleh memakai kepalamu itu lagi!"

Lay Ki Seng dan kedua orang rekannya terbelalak dan wajah orang tinggi besar itu berubah marah sekali karena marah. Muka yang memang sudah hitam itu berubah semakin hitam lagi dan cuping hidungnya kembang-kempis seperti seekor kuda. Akan tetapi agaknya dia memandang dirinya terlalu tinggi untuk menangkap seorang gadis seperti Lee Cin, maka dia membentak kepada rekannya termuda,

"Cui An, tangkap gadis ini untukku!"

Bong Cui An kelihatan girang sekali dengan tugas ini

"Baik, Twako!" katanya dan di saat lain dia sudah menubruk ke arah Lee Cin, kedua lengannya dikembangkan dan kedua tangannya yang kurus itu mencengkeram ke arah Lee Cin. Agaknya dia sudah yakin bahwa tubrukannya pasti akan berhasil karena dia bergerak cepat sekali.

Lee Cin juga melihat bahwa Si Tinggi Kurus ini memiliki gerakan yang cukup cepat, akan tetapi tidak terlalu cepat baginya dan sekali ia berkelebat, tubrukan itu luput. Karena memandang rendah, ketika tubrukannya luput Bong Cui An tidak menjaga dirinya maka Lee Cin membalikkan tubuhnya dan sekali kaki kirinya menendang ke arah pantat orang itu, tubuh Bong Cui An tersungkur ke depan dan mukanya mencium tanah!

Tentu saja orang tinggi kurus itu menjadi marah sekali. Dia sudah melompat lagi dan membalikkan tubuh, kemudian setelah mengetahui bahwa gadis itu bukan orang lemah, dia kini menyerang dengan pukulan tangannya. Serangan itu hebat juga dan tahulah Lee Cin bahwa orang-orang ini bukan hanya bersikap sombong, akan tetapi memang memiliki kepandaian yang lumayan tingginya. Serangan itu saja demikian dahsyat, dilakukan dalam keadaan yang marah. Namun tentu saja Lee Cin dengan mudah dapat mengelak dan membalas dengan tamparan tangannya. Setelah lewat tiga puluh jurus, Lee Cin dapat menampar pundak Bong Cui An, membuat dia untuk kedua kalinya terpelanting.

Lay Ki Seng menjadi marah melihat betapa rekannya termuda dua kali roboh oleh Lee Cin. Dia membentak kepada Bong Kui Kiat untuk membantu adiknya dan dua orang kakak beradik itu lalu mengeroyok Lee Cin. Namun, dengan gerakannya yang lebih cepat Lee Cin dapat menghindarkan semua serangan dan berbalik menyerang mereka dengan tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat sekali, membuat kedua orang itu terdesak.

Kini tanpa malu lagi Lay Ki Seng terjun ke dalam perkelahian. Dan begitu dia meloncat, dia sudah mencabut goloknya. Golok itu besar dan tampaknya seperti terbuat dari emas. Padahal warna emas itu hanya selaputnya saja. Di dalamnya golok itu terbuat dari baja yang baik.

"Bocah setan, mampuslah!" katanya dan goloknya menyambar dahsyat. Lee Cin mengelak dan meloncat ke belakang. Kini, kedua kakak beradik Bong itu pun sudah mencabut golok masing-masing dan jelas bahwa mereka bertiga kini bukan bermaksud menangkap Lee Cin, melainkan membunuhnya!
Lee Cin mengerutkan alisnya. Kalau ia menghendaki, tadi ia tentu dapat membunuh tiga orang lawannya ketika bertanding dengan satu lawan satu. Akan tetapi ia tidak mau membunuh sembarangan. Dan sekarang ternyata mereka bertiga mengeroyoknya dengan golok dan jelas bahwa mereka bermaksud untuk membunuhnya. Ilmu golok mereka memang hebat dan berbahaya. Karena itu, dengan cepat ia mencabut Ang-coa-kiam dari pinggangnya lalu memutar pedang itu menjadi gulungan sinar merah.

Pertandingan itu hebat bukan main. Gulungan sinar merah bertemu dengan tiga gulungan sinar emas sehingga tampak indah sekali. Akan tetapi dalam keindahan itu terkandung bahaya maut bagi Lee Cin. Biarpun ia sudah menggunakan pedangnya, tetap saja gadis perkasa ini mulai terdesak mundur. Ilmu golok mereka, terutama yang dimiliki Lay Ki Seng, benar-benar tangguh dan berbahaya sekali. Pada saat Lee Cin terdesak oleh gulungan sinar emas dari tiga golok mereka, tiba-tiba terdengar bentakan orang,
"Tiga pangcu Kim-to-pang sungguh tidak tahu malu, mengeroyok seorang gadis muda!" Sesosok bayangan berkelebat didahului sinar putih yang terang menyambar ke arah tiga sinar golok itu.

"Trang-tranggg.....!" Dua buah golok terpental dan para pengeroyok cepat berlompatan ke belakang lalu memandang siapa orang yang datang menentang mereka itu. Juga Lee Cin melompat ke belakang dan memandang penuh perhatian.

Yang datang itu adalah seorang pemuda yang usianya sekitar dua puluh dua tahun. Wajahnya tampan sekali dan sepasang matanya mencorong. Tangan kanannya memegang sebatang suling yang putih seperti perak. Agaknya tadi dia menggunakan suling perak itu untuk menangkis dan membuat terpental dua golok emas.

Melihat pemuda itu, Lay Ki Seng menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka pemuda itu dan membentak,

"Orang she Cia, kebetulan engkau datang mengantarkan nyawa. Mampuslah!" begitu membentak Lay Ki Seng sudah menyerang pemuda itu, dibantu oleh Bong Cui Kiat. Dua orang itu sudah mengeroyok si pemuda sambil menggerakkan golok mereka dengan dahsyat. Akan tetapi pemuda itu dengan sikap tenang sekali menggerakkan suling peraknya menangkis lalu balas menyerang.

Lee Cin yang melihat betapa Bong Cui An, orang ke tiga yang kurus tinggi itu hendak maju mengeroyok pula, sudah menghadang dengan pedangnya dan berkata,

"Tidak malukah kalian, selalu melakukan pengeroyokan!"

Melihat gadis itu menghadangnya, Bong Cui An menyerang dengan goloknya. Golok itu menyambar dari atas kepala Lee Cin, akan tetapi dengan mudah Lee Cin mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya. Tentu saja kini Lee Cin merasa amat ringan kalau harus menghadapi seorang saja dari mereka. Begitu pedangnya bergerak cepat, Bong Cui An sudah terdesak hebat. Belum sarnpai tiga puluh jurus, Pedang Ular Merah di tangan Lee Gin sudah melukai lengan kanan lawan sehingga terpaksa Bong Cui An melepaskan goloknya, lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri! Lee Cin yang tidak mempunyai persoalan dengan mereka, tidak mengejar dan membiarkan orang itu melarikan diri. Kini Lee Cin menonton pertandingan antara pemuda bersuling perak yang dikeroyok oleh dua orang itu dan ia menjadi kagum.

Suling perak yang panjangnya selengan itu dimainkan seperti sebatang pedang, akan tetapi juga dapat menotok jalan darah. Gerakan pemuda itu sedemikian ringan dan cepatnya sehingga kedua orang lawannya mulai terdesak mundur. Karena tahu bahwa pemuda itu tidak akan kalah dikeroyok dua, maka Lee Cin menyimpan pedangnya dan hanya menonton saja, diam-diam mempelajari gerakan suling pemuda itu. Pemuda itu adalah seorang she Cia, berarti dia seorang anggauta keluarga Cia yang sedang diselidikinya. Apakah pemuda ini yang dulu memakai kedok hitam melukai ayahnya? Diam-diam jantungnya berdebar tegang. Bukan tidak mungkin pemuda ini yang dicarinya, mengingat bahwa ilmu silatnya juga tinggi. Akan tetapi ia tidak boleh menuduh sembarangan, dan harus ia ketahui buktinya. Kalau pemuda itu menggunakan pukulan tapak hitam yang disebut Hek-tok-ciang itu, barangkali ia akan mendapatkan bukti bahwa pemuda itu yang pernah melukai ayahnya.

Akan tetapi pemuda itu tidak mempergunakan pukulan tangan kosong, melainkan mendesak kedua orang pengeroyoknya itu dengan totokan-totokan sulingnya. Akhirnya, sebuah tendangan kakinya membuat Lai Ki Seng terhuyung dan totokan suling pada siku kanan Bong Cui Kiat membuat orang ini melepaskan golok emasnya! Kedua orang itu agaknya mengerti bahwa mereka tidak akan menang, apalagi melihat bahwa Bong Cui An sudah melarikan diri, mereka berdua juga melarikan diri tunggang langgang. Pemuda itu hanya tersenyum dan tidak melakukan pengejaran pula. Lee Cin memandang ke arah dua buah golok emas yang tadi dilepaskan oleh Bong Cui An. Agaknya pemuda itu melihat ini dan dia tertawa sambil memungut sebuah golok emas.

"Golok ini hanya disepuh emas, Nona. Dalamnya bukan emas!" Setelah berkata demikian, dia menggunakan kedua tangan nya untuk menekuk dan "trakk!" golok itu patah menjadi dua potong dan tam paklah bahwa golok itu terbuat dari baja yang disepuh emas! Hanya golok biasa saja yang tidak ada harganya.

Kini mereka saling berhadapan dan dalam waktu singkat keduanya saling mengamati dengan teliti dan keduanya saling mengagumi. Bukan hanya kagum akan kecantikan dan ketampanan mereka, akan tetapi juga kagum akan kelihaian mereka.

"Nona, engkau lihai sekali, dapat melawan tiga orang ketua Kim-to-pang itu. Akan tetapi yang membuat aku terheran, mengapa engkau sampai dapat dikeroyok mereka? Apakah Nona mempunyai permusuhan dengan mereka?"

Lee Cin menggeleng kepalanya. Ia mendapat kesempatan untuk menyelidiki langsung keadaan keluarga Cia,

"Tidak, aku bahkan selamanya baru sekali ini bertemu dengan mereka."

"Akan tetapi mengapa Nona bentrok dengan mereka? Sepanjang yang kuketahui, mereka bukan perampok-perampok kecil melainkan ketua dari perkumpulan Kim-to-pang."

Lee Cin tersenyum

"Mereka mengira bahwa aku adalah anggauta keluarga Cia, maka aku dikeroyok. Entah mengapa mereka bermusuhan dengan keluarga Cia, dan siapakah keluarga Cia itu?"

Pemuda itu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan memperkenalkan diri

"Akulah seorang di antara keluara Cia. Namaku Cia Tin Siong. Kalau boleh aku mengetahui namamu, Nona?"

Lee Cin berpikir. Ia sedang menyelidiki keluarga Cia. Kalau ia memperkenalkan nama marga ayahnya, yaitu she (marga) Souw, tentu akan membuat keluarga itu bercuriga dan menghubungkan nama keluarganya dengan nama ayahnya. Maka ia lalu menggunakan nama keluarga ibunya, yaitu she Bu.

"Aku bernama Bu Lee Cin dan kebetulan saja aku melakukan perjalanan lewat di sini. Kalau Kim-to-pang memusuhi keluarga Cia, tenth ada sesuatu, yang pernah dilakukan keluarga itu yang tidak menyenangkan hati Kim-to-pang."

Cia Tin Siong tertawa lirih

"Hemm, tentu saja ada sebabnya. Keluarga kami adalah keluarga para pendekar dan Kim-to-pang adalah perkumpulan penjahat. Tentu saja di antara kami sering terjadi bentrokan bahkan beberapa kali aku pernah menentang anak buah mereka yang melakukan pemerasan terhadap orang-orang dusun. Engkau disangka anggauta keluarga kami? Ah, betapa akan bangga rasa hati kami kalau mempunyai anggauta keluarga sepertimu, Nona Bu."

Walaupun ucapan ini dikeluarkan dengan nada sopan, namun mengandung arti yang dalam. Ia adalah orang luar dan seorang gadis. Untuk menjadi anggauta keluarga Cia tidak ada lain jalan kecuali kalau ia menjadi mantu keluarga itu!

"Aku juga kagum terhadap keluarga Cia yang dimusuhi perkumpulan penjahat dan ingin sekali berkenalan dengan anggauta keluarga Cia, kalau mungkin."

Tin Siong membelalakkan matanya

"Benarkah, Nona Bu? Ah, kami akan menerima dengan tangan dan hati terbuka. Marilah, kuantarkan Nona mengunjungi tempat tinggal kami dan kuperkenalkan dengan keluarga besar kami."

"Di manakah tempatnya?" Lee Cin berpura-pura.

"Tidak jauh dari sini, sebelum sore kita sudah akan dapat tiba di sana, kami tinggal di kota Hui-cu di kaki bukit ini sebelah utara. Marilah, Nona, selagi siang agar kita tidak kemalaman tiba di sana dan sebelumnya aku menghaturkan terima kasih atas kehormatan yang Nona berikan kepada keluarga kami."
Sikap dan ucapan yang sopan dan lembut ini semakin menarik hati Lee Cin. Seorang pemuda yang tampan, lembut, sopan serta memiliki ilmu silat yang tinggi, dan dari keluarga pendekar pula!
Mereka melakukan perjalanan cepat. Agaknya Cia Tin Siong ingin menguji ginkang (ilmu meringankan tubuh) Lee Cin. Dia berlari cepat sekali dan hal ini dianggap kebetulan bagi Lee Cin yang juga mempunyai keinginan yang sama, yaitu menguji ilmu berlari cepat pemuda itu. Tanpa bersepakat lebih dulu dan dengan diam-diam, kedua orang itu berlari cepat seakan berlumba! Lee Cin melihat betapa pemuda itu selalu dapat mengimbangi kecepatan larinya dan ia menjadi semakin kagum. Demikian pula Tin Siong, melihat kecepatan berlari Lee Cin, dia menjadi kagum sekali.

Tak lama kemudian mereka telah melewati Bukit Lo-sian dan tiba di kaki bukit sebelah utara, di mana terdapat sebuah kota yang sejuk dan tidak begitu ramai, akan tetapi tampak rakyatnya hidup tenteram dan tenang. Di mana-mana tampak wajah orang yang penuh senyum sehingga menyenangkan hati Lee Cin. Keluarga Cia itu tinggal di sebuah gedung besar sekali yang berada di ujung kota. Rumah itu kelihatan kuno dan angker, akan tetapi catnya agaknya diperbarui sehingga nampak cerah. Di sekelilingnya terdapat taman bunga dengan bunga yang sedang berkembang beraneka warna dan taman ini menambah keceriaan gedung itu. Seorang tukang kebun setengah tua sedang menyabit rumput di halaman depan. Ketika melihat Tin Siong dan Lee Cin, tukang kebun itu bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormatnya kepada Tin Siong

"Selamat sore, Toa-kongcu (Tuan Muda Terbesar)!"

Tin Siong hanya mengangguk saja sambil lalu dan menoleh kepada Lee Cin sambil berkata,

"Kita sudah sampai ke rumah kami." Mereka menghampiri rumah itu dan setelah tiba di serambi depan di mana terdapat meja dan bangku pemuda itu berkata dengan senyum ramah,

"Silakan tunggu sebentar, Nona Bu. Aku akan memberitahu tentang kunjunganmu kepada keluarga kami."

Lee Cin tersenyum dan mengangguk, dalam hatinya ia merasa beruntung bahwa demikian mudahnya ia dapat berdekatan dengan keluarga ini sehingga ia dapat menyelidikinya. Ia lalu duduk di atas bangku menghadapi taman bunga. Ia mengagumi beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan dari bunga ke bunga mencari madu. Betapa indahnya pemandangan itu, demikian serasi dan cocok dengan keadaan tempat yang tampak tenang dan tenteram itu.

Suara banyak kaki membangunkan Lee Cin dari lamunannya. Ketika melihat serombongan orang datang bersama Tin Siong, ia segera bangkit berdiri. Dengan wajah berseri Tin Siong memperkenalkan Lee Cin kepada keluarganya.

"Ini adalah Nona Bu Lee Cin seperti yang kuceritakan tadi. Nona Bu, ini adalah ayahku, ibuku, dan kedua orang pamanku!"

Lee Cin memberi hormat kepada mereka. Ia melihat betapa ayah pemuda itu seorang yang usianya sebaya dengan ayahnya dan bertubuh tegap, nampak gagah akan tetapi lembut. Ibu pemuda itu pun seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih nampak cantik dan lemah-lembut. Juga dua orang pamannya itu kelihatan sopan dan lembut. Agaknya keluarga Cia itu merupakan sebuah keluarga yang terpelajar, biarpun pakaian mereka sederhana dan tidak memberi kesan kaya, namun sikap mereka seperti sikap keluarga bangsawan yang terpelajar.

"Nona Bu, silakan masuk, mari kita bicara di ruang tamu saja," kata ayah Tin Siong dengan sikap ramah. Yang lain-lain, juga tersenyum ramah sehingga Lee Cin terpaksa bersikap hormat. Ia mengikuti mereka memasuki sebuah ruangan yang cukup luas dan di situ terdapat sebuah meja besar dan banyak bangku. Lee Cin dipersilakan duduk dan lima orang pihak tuan rumah itu pun duduk mengelilingi meja.

"Nona Bu ini seorang gadis yang amat lihai, Ibu," kata Tin Siong kepada ibunya

"Bayangkan saja, seorang diri ia mampu bertahan menghadapi pengeroyokan tiga orang Ketua Kim-to-pang!"

Ayah ibu dan kedua paman Tin Siong memandang kepada Lee Cin dengan pandang mata kagum sehingga Lee Cin merasa malu dan cepat berkata,

"Kalau tidak datang Cia-kongcu ini, tentu aku sudah celaka."

"Ah, aku hanya percaya bahwa mereka akhirnya akan kalah mengeroyokmu, Nona Bu. Harap jangan merendahkan diri. Ayah, Ibu dan para Paman, Nona Bu ini merasa tertarik sekali dengan nama keluarga Cia dan ia menyatakan ingin berkenalan, maka aku mengajaknya singgah di sini."

"Engkau masih muda sudah memiliki kepandaian tinggi, sungguh membuat aku kagum sekali, Nona Bu," kata Cia Kun, ayah dari Tin Siong, sambil memandang kagum.

"Ah, saya masih banyak belajar, Paman."

"Kita sudah berkenalan, engkau dapat dibilang seorang sahabat dari Tin Siong, maka kami harap engkau suka tinggal di sini selama beberapa hari, Nona Bu," kata pula ibu Tin Siong sambil tersenyum ramah.
"Terima kasih atas kebaikan hati Paman dan Bibi," kata Lee Cin, menerima tawaran itu. Memang ia hendak menyelidiki, maka penawaran itu sungguh membuat hatinya senang

"Apakah keluarga Cia hanya terdiri dari Paman bertiga, Bibi, dan Saudara Cia Tin Siong?" tanyanya sambil lalu.

Cia Kun tersenyum

"Ah, tidak. Masih ada lagi seorang putera kami yang lain bernama Cia Tin Han, adik Tin Siong, dan ibuku yang sudah tua, Nenek Cia yang selalu berada di pondok belakang di tengah taman belakang rumah kami ini."

Lee Cin mengangguk-angguk. Hatinya semakin tertarik. Di antara mereka semua, agaknya hanya Tin Siong dan adiknya yang bernama Tin Han itu yang patut dicurigai. Bukankah ayahnya memberitahu bahwa Si Kedok Hitam itu seorang yang masih muda? Ayah dan dua orang paman Tin Siong bukan orang muda, maka mereka tidak perlu dicurigai. Akan tetapi pantaskah kalau ia mencurigai Tin Siong yang tampak begitu lembut dan baik hati? Ia harus berhati-hati, jangan sampai salah tuduh dan membuat permusuhan dengan keluarga yang tampaknya merupakan keluarga terhormat dan baik ini. Akan tetapi masih ada seorang pemuda lagi, yaitu adik Tin Siong yang bernama Tin Han. Siapa tahu kalau-kalau pemuda yang ke dua itu pantas dicurigai.



Kemelut Kerajaan Mancu Eps 3 Gelang Kemala Eps 6 Kisah Si Pedang Kilat Eps 23

Cari Blog Ini