Ceritasilat Novel Online

Gelang Kemala 11


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




"Eh-eh, engkau takut? Ada aku di sini, Twako, jangan takut. Dan ada pula Ayah."

"Bukan takut, Li-moi. Hanya aku tidak ingin karena untuk mellndungi aku, ayahmu dan engkau akan bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Aku akan pergi mengunjungi makam ibuku, aku akan mencari pengalaman di kota raja atau mana saja."

"Ah, aku menyesal sekali.

"Kenapa menyesal, adik yang baik? Bukankah engkau biasanya tidak suka kepadaku?"

"Ihh, kenapa engkau berkata begitu, Twako? Bukankah aku telah melatihmu ilmu silat dengan sungguh-sungguh? Aku sama sekali bukan tidak suka kepadannru. Dan... eh, bagaimana dengan luka dt lenganmu itu? Sudah sembuhkah?" Gadis itu memandang ke arah lengan Thlan Lee yang pernah terluka oleh pedangnya tempo hari.

"Ah, hanya luka lecet, Li-moi. Sekarang sudah sembuh dan kering."

"Sekali lagi, Twako, engkau bukan pergi karena... marah kepadaku, bukan?"

"Sama sekali tidak. Selama ini engkau baik sekali kepadaku, Li-moi. Aku berterima kasih sekali kepadamu dan ingin mengucapkan selamat tlnggal."

"Kalau begitu, selamat jalan, Twako. Dan kalau engkau sudah bosan merantau, kembalilah ke sini. Ayah tentu akan menerimamu dengan senang. Aku tahu bahwa Ayah amat sayang kepadamu."

Terharu juga hati Thian Lee diingatkan begitu. Dia pun tahu bahwa supek-nya sayang kepadanya dan mungkin ka-rena kesayangannya itu, gadis inl merasa iri dan biasanya bersikap tidak manis kepadanya? "Terima kasih, Li-moi."

Hwe Li lalu melarijutkan langkahnya memasuki rumah dan Thian Lee pergi ke istal kuda. Sampai lama dia berada di istal kuda mengelus setiap kuda yang biasa dia rawat dan beri makan. Kemudian dia kembali ke kamarnya untuk mengambil keputusan bulat. Dia akan pergi bersembahyang ke makam ibunya, setelah itu, dia akan merantau dan bekerja.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Lee sudah mandi lalu berkemas. Dia telah diberi beberapa stel pakaian oleh supeknya dan semua pakaian itu dia bungkus dengan sehelai kain lebar. Dia tidak lupa untuk mengambil pedangnya dari bawah atap lalu menyembunyikan pedang itu di dalam buntalan pakaiannya. Dengan mengikatkan buntalan itu ke punggungnya, dia lalu mencari supeknya di ruangan dalam. Dan supeknya yang agaknya sudah tahu bahwa dia akan berangkat pagi-pagi ternyata juga sudah bangun dan menantinya di situ.

"Ah, engkau sudah hendak berangkat, Thian Lee."

"Benar, Supek. Saya hendak berangkat pagi-pagi, menuju ke dusun Nam-kiang-jung untuk menyembahyangi makam ibu saya."

"Thian Lee, aku tidak dapat menahan keinginanmu merantau dan aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali ini. Ba-walah ini untuk bekal perjalananmu dan sebelum bekal ini habis, engkau bekerjalah, atau kalau tidak mendapatkan pekerjaan, engkau kembalilah ke sini." Pangcu itu menyerahkan sekantung uang perak kepada Thian Lee.

Pemuda itu merasa terharu sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut dl depan Souw Can.

"Supek telah bersikap baik sekali kepada saya. Saya tidak akan melupakan budi kebaikan Supek ini," katanya sambil memberi hormat.

Souw Can mengangkat bangun.

"Aih, sudahlah. Apa yang kulakukan kepadamu belum cukup untuk membalas budi mendiang ayahmu kepadaku."

Setelah menerima sekantung uang perak dan menylmpannya dalam buntalannya, Thian Lee memberi hormat lagi lalu berpamit dan meninggalkan supeknya. Hari masih terlalu pagi dan agaknya anggauta keluarga lainnya belum bangun. Thian Lee lalu keluar dari rumah itu dan di pekarangan yang masih sepi itu tiba-tiba dia mendengar suara panggilan lirih, Dia menoleh dan melihat Lui Ceng yang memanggilnya. Sepasang mata gadis itu merah seperti bekas menangis.

"Ah, engkau Ceng-moi? Sepagi ini engkau sudah di sini?"

"Setiap hari aku bangun pagi, Lee-ko. Aku... aku sudah mendengar bahwa engkau hendak pergi. Engkau... hendak pergi ke manakah, Lee-ko?"

"Aku hendak pergi merantau, Ceng-moi."

"Akan tetapi kenapakah, Lee-ko? B Sudah baik engkau berada di sini, kenapa hendak pergi? Kenapa, Lee-ko?" Thian Lee merasa heran sekali mendengar suara yang menggetar itu, seperti suara orang menahan tangis!

"Aku hendak merantau mencari pengalaman hidup Ceng-moi. Aku... aku merasa tidak enak karena membikin ribut di sini dan menanamkan bibit permusuhan dengan orang-orang kangouw. Aku tidak ingin melibatkan Supek dengan permusuhan itu."

"Ah, akan tetapi itu bukan salahmu! Tidak ada yang berhak menyalahkanmu dalam peristiwa itu!" kata Ceng Ceng dengan suara mengandung penasaran.

"Bukan hanya itu, Ceng-moi. Memang aku ingin merantau, ingin menengok makam ibuku, ingin meluaskan pengalaman hidupku. Aku tidak bisa ikut Supek terus, menjadi keenakan dan tidak akan merasakan bagaimana sukarnya hidup bekerja sendiri."

"Ah, Lee-ko, aku... aku iri kepada-mu," dan gadis itu tidak dapat menahan mengalirnya air matanya.

"Aku pun sepertimu, aku yatim piatu... aku menggan-tungkan hidupku pada Paman... ah, kalau saja aku bisa seperti engkau, merantau dan hidup sendiri!"

"Mana mungkin, Ceng-moi? Engkau seorang gadis, dan pamanmu begitu baik kepadamu, juga Li-moi sudah menganggap, engkau seperti saudara sendiri."

"Aku tahu bahwa Adik Hwe Li tidak. bersikap baik kepadamu, bahkan ia sering mengejek dan menghinamu. Juga Suheng Siong Ek bersikap tidak baik dan som-bong kepadamu. Apakah hal itu yang membuatmu pergi dari sini, Lee-ko?"

"Ah, tidak sama sekali, Ceng-moi. Juga Li-moi tidaklah sejahat yang ia perlihatkan. Aku memang ingin merantau terbang bebas ke udara seperti burung bangau...."

"Aku... aku akan merasa kehilangan, , aku akan merasa kesepian, Lee-ko!" Dan kini Ceng Ceng menangis!

Thian Lee terbelalak bengong.

"Tapi, kenapa, Ceng-moi?"

"Entahlah, Lee-ko. Selama ini... di dalam hati aku merasa dekat sekali denganmu. Aku memandang engkau sebagai seorang yang senasib, ikut mondok di rumah Paman. Kalau melihat engkau, setidaknya hatiku terhibur karena ada kawan senasib. Akan tetapi mendadak engkau akan pergi Ah, aku rnerasa bersedih sekali, Lee-ko!"

Thian Lee merasa kasihan sekali.

"Sudahlah, ceng-moi, tenangkan hatimu. Engkau seorang anak yang baik sekali, pamanmu dan saudara misanmu amat mencintamu. Engkau akan hidup bahagia di sini."

"Akan tetapi kalau aku teringat akan sikap Suheng kepadaku, rasanya aku tidak betah lagi tinggal di sini, Lee-ko. Kalau saja aku dapat ikut bersamamu pergi merantau!"

"Husss, jangan bicara demikian. Tidak boleh sama sekali, Ceng-moi. Sedang aku mengurus diriku sendiri saja belum mam-pu, bagaimana engkau akan ikut? Juga pamanmu tentu akan melarang keras dan aku sendiri pun tidak berani. Tentu orang lain akan menyangka yang bukan-bukan. Sudahlah, tabahkan hatimu, Ceng-moi. Percayalah, nasibmu akan baik kelak ka-rena engkau seorang anak yang baik. Selamat tinggal, Ceng-moi."

"Lee-ko, engkau... engkau tidak akan lupa kepadaku, bukan?" tanya gadis Jutu memelas.

Thian Lee tersenyum.

"Bagaimana mungkin cku dapat melupakan seorang gadis seperti engkau, Ceng-moi. Engkau cantik ielita, engkau baik hati dan engkau pandai. Sudahlah, aku pergi, Ceng-moi."

"Selamat jalan, Lee-ko. Semoga Thian akan menunjukkan jalan bagimu dan akan selalu membimbingmu."

"Terima kasih. Doamu itu amat ber-"harga bagiku."

Thian Lee lalu berangkat, melangkah diikuti pandang mata yang berlinang air.

Setelah rneninggalkan Pao-ting, Thian Lee langsung saja menuju ke dusun Nam-kiang-jung, sebuah dusun di sebelah se-latan sungai yang dulu menjadi tempat tinggal ibunya. Perjalanan jauh itu di-tempuhnya dengan selamat dan lancar karena dia dibekali uang yang o-ikup oleh pamannya. 3uga penampilannya yang sederhana tidak menarik perhatian orang jahat sehingga dalam perjalanan tidak ada orang mau mengganggunya. Siapa yang akan mengganggu seorang pemuda berpa-kaian sederhana mennbawa buntalan dan kain kasar yang agaknya tidak ada isinya yang berharga itu?

Jantung Thian Lee berdebar tegang ketika dia akhirnya memasuki dusun Nam-kiang-jung dan terbayanglah semua yane terjadi di dusun itu dalam benak-nya. Ketika untuk pertama kali ibunya dan dia datang ke dusun itu, membeh tanah dan mendirikan rumah, berolah tani. Kemudian kemunculan lurah yang biadab itu, yang mengakibatkan tewasnya ibunya. Dia sengaja berjalan-jalan di dusun itu, melewati bekas rumah ibunya yang kini agaknya ditinggali orang lam. 3uea dia melewati rumah lurah yang kini telah mengalami perubahan, rumahnya kini nampak besar dan keadaannya lebih indah. Memang dusun itu pada umumnya mengalami perubahan, walaupim ada beberapa rumah yang masih seperti sepuluh tahun yang lalu.

Ke mana dia harus mencari makan, ibunya? Dia harus bertanya kepada seseorang yang dahulu mengetahui peristiwa itu. Langkahnya membawanya menuju ke sebuah rumah yang terletak di belah kanan bekas rumah ibunya, karena rumah itu masih rumah lama dan dikenalnya benar sebagai rumah keluarga Cia. Bahkan dahulu ketika peristiwa itu terjadi, Paman Cia yang menyuruhku agar cepat pergi, pikirnya.

Dia memasuki pekarangan rumah kuno yang cukup besar itu. Ada dua orang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun bermain-main di halaman depan dari meceka memandang heran ketika rnelihat Thian Lee masuk.

"Adik yang baik, aku mencari Paman Cla. Apakah dia berada di rumah?" tanyanya kepada kedua orang anak itu. Dia mengingat-ingat. Dahulu yang tinggal di rumah itu adalah Paman Cia dan seorang puteranya bersama mantunya. Mungkin anak itu adalah cucunya, pikirnya.

"Kakekmu she Cia?" Dia menambahkan, seperti membantu anak itu.

Anak yang mukanya buiat mengangguk.

"Apakah engkau mencari kakekku? Dia berada di rumah, sedang mencangkul di kebun belakang."

"Benar, maukah engkau memanggilnya untukku. Katakan saja bahwa Kak Song datang berkunjung."

Kedua orang anak itu lalu berlari-lari memasuki rumah dan Thian Lee me-nanti dengan hati tegang. Kalau benar Paman Cia yang muncul, tentu dia akan dengan mudah mendapatkan keterangan di mana makam ibunya.

Tak iama kemudian dua orang anak itu muncul lagi bersama seorang kakek berusia enam puluhan tahun. Biarpun sudah lama iewat, sudah hampir sepuluh tahun, Thian Lee masih ingat benar kakek itu. Seorang kakek yang kurus berkeriput akan tetapi tubuhnya masih sehat dan kuat berkat kerja keras di alam terbuka. Kakek Cia yang dulu menasihati agar dia melarikan diri cepat-cepat. Akan tetapi kakek itu tidak mengenai-nya. Dengan baju yang masih kotor berlumur, dia memberi hormat kepada Thian Lee.

"Orang muda, engkau mencariku tanyanya ragu.

Thian Lee tersenyum.

"Paman Cia, lupakah Paman kepadaku? Aku Song Thian Lee, anak dari tetangga sebelah yang sepuluh tahun lalu terpaksa melarikan diri itu.

Sepasang mata itu terbelalak. Waktu sepuluh tahun bagi seorang tua tidak membawa banyak perubahan pada wajahnya, akan tetapi tidak demikian bagi seorang kanak-kanak. Thian Lee sepuluh tahun yang lalu tentu saja berbeda dengan yang sekarang. Dulu dia masih kanakkanak, sekarang telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tarnpan dan gagah.

"Ah engkau....? Engkau yang ibunya...."

"Benar, Paman. Akulah anak itu."

Orang itu lalu cepat berkata, "Mari masuk ke dalam. Kita bicara di dalam saja, orang muda."

Thian Lee mengikuti kakek itu masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudlan mereka telah berhadapan duduk di kursi, dalam sebuah ruangan tertutup.

"Ah, Thian Lee. Sukurlah, aku khawatir kalau mengingatmu. Sukurlah engkau selamat dan kini menjadi seorang pemuda dewasa. Kau tahu, ibumu dianggap pemberontak, telah membunuh lurah, maka engkau kuajak masuk. Kalau pejabat mengetahui bahwa engkau putera ibumu yang dianggap pemberontak, tentu akan terjadi keributan, oleh karena itu engkau kuajak bicara di dalam. Sekarang, apa maksudmu kembali ke dusun ini? Sebaiknya kalau engkau menjauhkan diri dari dusun ini yang sudah mulai melupakan peristiwa rnasa lalu itu."

"Aku hanya ingin bertanya kepadamu, Paman, apa yang sebetulnya telah terjadi dengan ibuku pada waktu itu, dan di mana jenazah ibuku dimakamkan."

"Apa yang terjadi? Ah, ibumu terlalu keras hati dan Bouw-cungcu (Lurah Bouw) itu memang seorang yang mata keranjang. Lurah Bouw hendak memaksa ibumu yang janda untuk menjadi selirnya. Ibumu tidak mau dan bahkan telah memukul lurah itu. Maka Lurah Bouw lalu melaporkan kepada atasan bahwa ibumu seorang pemberontak yang berani melawan lurah. Pasukan datang, ibumu ditangkap dan akan diperkosa oleh lurah itu. Ibumu yang sudah diikat kaki tangarnya itu masih mampu menggigit leher lurah Bouw, sampai urat-urat leher putusputus dan Lurah Bouw tewas dalam keadaan mengerikan sekall. Akan tetapi ibumu juga dibunuh oleh pasukan yang mengawal lurah itu. Nah, itulah yang terjadi, Thian Lee. Ketika melihat engkau masih hidup dan menangisi jenazah ibumu, aku segera menasihatkan agar engkau cepat lari karena kalau tidak, mungkin saja engkau sebagai puteranya ditangkap."

"Terima kasih atas budi Paman itu. Karena peringatan Paman maka aku masih hidup sampai sekarang. Akan tetapi di mana jenazah ibuku dimakamkan, Paman? Aku ingin bersembahyang ke sana."

"Kami para tetangga beramai-ramai menguburkan jenazah ibumu, akan tetapi tidak di tanah kuburan umum, hal ini dilarang oleh para pimpinan dusun dan terpaksa kami menguburkannya di lereng bukit di luar dusun itu."

"Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan pergi ke sana bersembahyang. Oya, ada sedikit lagi, Paman, bagaimana dengan rumah ibu sekarang? Siapa yang menempatinya?"

"Terus terang saja, aku yang mengurus rumah ibu. Aku menyewakannya kepada sebuah keluarga dan uang sewanya kupergunakan untuk merawat rumah itu. Kalau engkau membutuhkan rumah itu...."

"Tidak, Paman. Aku tidak akan mungkin tinggal di dusun inl. Mengingat semua kebaikan Paman, biarlah rumah itu kuberikan saja kepada Paman. Aku tidak membutuhkannya."

"Ah, terima kasih, Thian Lee Kakek itu berseru girang.

Thian Lee lalu meninggalkan dusun itu dan mendaki bukit kecil di luar dusun. Karena memang hanya satu-satunya makam yang berada di lereng bukit itu
maka mudah saja bagi Thian Lee menemukan makam ibunya dan dia mejatuhkan dirinya berlutut di depan makam itu. Ada sebuah rusan kayu di mana dituliskan nama ibunya dan kayu itu sudah mulai lapuk, namun nama yang dituiiskan di atas papan itu masih dapat terbaca. Nama itu adalah Kwa Siang, nama ibunya.

Setelah memberi hormat dengan berlutut delapan kali, Thian Lee lalu duduk dl atas rumput depan makam, melamun. Teringatlah dia akan kehidupan di masa kanak-kanak, bersama ibunya yang amat menyayangnya, betapa dia dilatih ilmu silat oleh ibunya. Masih teringat dia akan cerita ibunya tentang ayahnya, dan pesan ibunya agar kelak dia menjadi seorang pendekar dan menentang semua pangeran! Bahkan kalau mungkin dia disuruh membunuh semua pangeran Mancu.

Thian Lee menghela napas panjang.

"Tidak mungkin, Ibu. Tidak semua pangeran jahat, bagaimana aku harus membunuhi mereka? Kalau bertemu orang jahat, biar dia pangeran ataupun bukan, pasti akan kutentang. Pesan Ibu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan tetap kujunjung tinggi, Ibu. Ayah tewas di tangan pasukan, demikian pula Ibu. Tidak mungkin aku mendendam kepada semua pasukan pemerintah. Musuh pribadi Ibu adalah Lurah Bouw yang sudah Ibu bunuh sendiri. Musuh pribadi Ayah adalah seorang pangeran yang keadaannya sudah sakit-sakitan. Ayah dianggap pemberontak karena memukuli seorang pangeran. Sudahlah, Ibu. Tidak ada dendam pribadi lagi meracuni hatiku dan harap Ibu tenang di alam baka. Demikian hatinya bicara seorang diri.

Akan tetapi tetap saja dia merasa tidak tenang seolah-olah membayangkan ibunya akan marah-marah kepadanya karena dia tidak membalaskan kematian ayahnya.

"Baiklah, Ibu...." Akhirnya dia meng-hela napas panjang.

"Sekarang juga aku akan pergi ke kota raja. Akan tetapi aku tidak akan membunuh pangeran itu begitu saja. Akan kuselidiki dulu apakah dia masih melakukan kejahatan. Kalau tidak, tak mungkin aku membunuh orang yang sudah sadar dari kejahatannya. Tenang sajalah, Ibu."

Dia berlutut lagi dan memberi hormat sampai lama, baru kemudian dia meninggalkan makam itu setelah membabat rumput di sekltar makam sampai bersih.

Thlan Lee memasuki kota raja. Dia mencari pekerjaan yang akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan sebagai pencucl mangkok piring! Dia menerima pekerjaan kasar Ini sekedar untuk mendapatkan tempat tinggal dan makan. Oi rumah makan terdapat banyak tamu dan dia dapat melakukan penyelidikannya dengan mendengar-dengar berita tentang Pangeran Bian Kun. Di dalam hatinya, sebetulnya tidak ada semangat untuk membalas dendam kepada pangeran itu. Pangeran itu membujuk-bujuk gadis dusun rnenjadi selirnya. Orang tua si gadis sudah memberikannya, akan tetapi ayahnya mencampuri dan menghajar pangeran itu. Agaknya ayahnya berdarah panas dan mudah marah. Kemudian, karena memukuli pangeran, ayahnya dianggap pemberontak lalu dikeroyok pasukan.

Bagaimanapun juga, pangeran itu tidak langsung bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Andaikata ayahnya tidak mencampuri urusan pengambilan gadis, tentu ayahnya tidak dikeroyok tentara. Akan tetapi dia ingin pula menyelidiki, bagaimana kelakuan pangeran itu sekarang. Kalau masih seperti dulu, tentu dia akan memberi hajaran kepadanya, bukan karena kematian ayahnya, melainkan karena kejahatan pangeran itu. Dia condong menaati pesan guru-gurunya bahwa perbuatan membalas dendam adalah perbuatan yang tidak benar. Kalau dia menentang seseorang, maka kejahatan orang itulah yang ditentangnya, bukan karena dendam.

Baru saja bekerja sebulan lamanya, Thian Lee sudah diangkat menjadi pelayan. Agaknya dia amat rajin dan majikannya menyukai pekerjaannya, maka dia diangkat menjadi pelayan. Dan ini memang amat dikehendaki Thian Lee. Dengan menjadi pelayan dia akan lebih mudah berhubungan dengan para tamu dan mendengar lebih banyak.

Pada suatu siang yang ramai. Rumah makan itu penuh dengan tamu, terutama sekali dl ruangan dalam. Para tamu leblh senang mendapatkan ruangan dalam ini karena selain lebih luas dan nyaman, juga kursi-kursinya lebih bagus dibandingkan dengan yang berada di ruangan luar. Ketika itu, ruangan dalam yang hanya terdiri dari lima meja itu telan penuh dengan tamu.

Mendadak terdengar ribut-ribut di luar dan tak lama kemudian, pemilik rumah makan itu bersama dua orang yang berpakaian sebagai perwira memasuki ruangan dalam. Setelah tiba di ruangan itu, pemilik rumah makan lalu memberi hormat kepada semua tamu dan berkata dengan suara terpaksa dan mengandung penyesalan, "Harap Cuwi suka memaafkan kami kalau kami terpaksa mempersilakan Cuwi untuk pindah duduk di ruangan luar karena ruangan ini akan dipakai oleh rombongan Bian-kongcu, putera dari Pangeran Bian. Harap Cuwi rnaklum dan suka berpindah ke depan."

Mendengar ini, para tamu bangkit dari tempat duduknya dan berbondong pindah, pindah ke depan. Mereka semua segan untuk membantah dan berurusan dengan Pangeran Bian! Akan tetapi setelah semua orang berpindah, di situ masih terdapat seorang yang masih di kursinya menghadapi meja.

Pemillk rumah makan itu menghampiri orang ini, dan memandang penuh perhatian. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, nampak gagah walaupun pakaiannya sederhana, mukanya persegi empat dengan alis yang hitam lebat dan mata mencorong seperti mata harimau. Lalu pemilik rumah makan i.tu berkata, "Sobat, agaknya engkau bukan penduduk kota raja. Kami harap agar engkau suka berpindah ke bagian depan rumah makan itu karena ruangan ini akan dipakai oleh rombongan Bian-kongcu."

"Hemm, bukankah ini rumah makan yang dibuka untuk umum?" tanya orang itu dengan suaranya yang lantang.

"Benar."

"Nah, aku juga makan minum dengan membayar di sini. Bagaimana seenaknya saja orang boleh mengusir aku? Sebelum aku selesai makan minum, aku tidak akan meninggalkan tempat ini."

Melihat kekerasan dan kelihaian orang itu, pemilik rumah makan menjadi bingung dan serba salah. Dia lalu memberi hormat lagi, "Sobat, harap suka mengalah. Biarlah engkau boleh makan minum di sini tanpa bayar asal engkau suka pindah ke bagian depan dan mengosongkan ruangan ini."

Orang itu bangkit dari kursinya dan matanya melotot.

"Eh, kaukira aku ini orang yang suka makan nijinum tanpa bayar? Tidak, aku akan tetdp duduk di sini, tidak peduli siapa pun yang akan menempati kursi-kursi yang lain."

Selagi pemilik rumah makan itu kebingungan, dua orang perwlra itu lalu menghampiri orang yang kukuh tadi dan sebrang di antara mereka membentak, "Tempat ini akan dipakal Biankongcu dan para tamunya, bahkan ada pula putera Pangeran Tua yang akan hadir, dan engkau tetap tidak mau pergi?"

"Tidak, ini tempat umum. Biarpun siapa saja tldak dapat mengusir aku pergi dari sini!" kata orang tadi dengan sikap menantang.

Thian Lee yang mendengar ribut-ribut Segera menjenguk ke dalam dan dia kagum akan sikap orang itu walaupun dia tahu bahwa sikap keras itu pasti memancing timbulnya keributan. Orang itu agaknya keras kepala dan pemarah, dan tidak menghormati para bangsawan.

"Kalau engkau tidak mau pergi, kami akan mpnggunakan kekerasan!" kata perwira ke dua.

"Terserah, aku tldak takut akan kekerasan!" jawab orang itu melotot.

Dua perwira itu lalu memberi isyarat ke belakang mereka dan masuklah berserabutan belasan orang anak buah mereka.

"Tangkap orang ini dan seret dia keluar." perintah perwira-perwira itu dengan marah.

Belasan orang perajurit itu lalu maju dan hendak menangkap si orang bermuka persegi, akan tetapi segera mereka itu bergelimpangan terkena tamparan dan tendangan orang itu. Thian Lee melihat bahwa orang itu cukup tangkas, dalam waktu singkat saja telah merobohkan tiga belas orang perajurit dengan tamparan dan tendangannya. Melihat ini, dua orang perwira itu menjadi marah bukan main. Mereka mencabut pedang masing-masing, lalu keduanya menyerbu ke arah orang itu dengan pedang mereka. Thian Lee melihat gerakan dua orang perwira ini tidak merasa khawatir. Orang itu jauh lebih tangguh, pikirnya. Dan benar saja, orang itu menyambar sebuah kursi dan menghadapi dua batang pedang itu de-ngan kursi kayu. Akan tetapi, amukannya demikian hebat sehingga dalam belasan jurus saja dua orang perwira itu pun terkapar seperti halnya belasan orang anak buahnya. Mereka sepertl anak buah mereka, lalu melarikan dlri keluar dari ruangan itu.

Pada saat itu, mendadak kelihatan seorang pemuda yang berpakaian mewah memasuki ruangan itu. Pemuda ini berusia masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun, selain pakaiannya mewah juga wajahnya tampan sekali dengan mata yang sipit sehlngga kelihatannya seperti terpejam selalu.

"Hemm, orang hutan dari mana berani datang ke kota raja membuat kerusuhan?" bentak pemuda itu dengan sikapnya yang tenang.

"Ruangan ini kami yang akan pakai, mengapa engkau berkeras tidak mau pindah bahkan telah main pukul terhadap para pengawal kami?"

Orang itu laiu memandang pemuda itu lalu tersenyum mengejek, "Aha, ini agaknya yang bernama Bian-kongcu dar yang memaksa orang pindah meninggalkan mejanya? Sombong benar engkau, Bian-kongcu. Aku tldak akan pindah dari situ sebelum makan minumku selesai Aku pun membayar di sini, tahu?" SiKapnya sedikit pun tidak menghormat dan pemuda itu tidak menjadi marah, atau kalau marah pun tldak diperlihatkan karena dia tersenyum. Pemuda ini bukan lain adalah Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun dan murid Hek-tung Kai-pang. Dia memegang sebatang tongkat, akan tetapi bukan tongkat hitam seperti yang dimiliKi oleh para anggauta Hek-tung Kai-pang, melainkan sebatang tongkat sepanjang lengannya yang lebih merupakan perhiasan karena terselaptit emas.

"Hemm, yang sombong adalah engkau! Agaknya engkau bukan orang kota raja sehingga tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Aku maslh suka memaafkanmu kalau engkau cepat pergi dari sini, akan tetapi kalau engkau masih membangkang, jangan salahkan aku kalau aku menggunakan kekerasan!"

"Aku tidak takut. Aku tidak bersalah maka aku tidak takut!" jawab orang itu.

Bian Hok menyelipkan tongkatnya di pinggang, kemudian melangkah maju.

"Kalau begitu terpaksa aku akan melemparkan engkau keluar darl sini seperti seekor anjing.

"Bagus, coba lakukan kalau engkau mampu!" tantang orang itu sambil bertolak pinggang. Thian Lee yang menonton merasa khawatir. Pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Agaknya bukan orang sembarangan dan dia mengkhawatirkan nasib orang jujur dan kasar pemberani itu.

Pemuda itu lalu maju memukul dengan tangan kirinya dan benar saja seperti dugaan Thian Lee. Pemuda itu memiliki gerakan yang mantap sekali. Pukulannya bukan saja kuat, akan tetapi juga amat cepat. Orang yang dipukui segera menangkis dan balas memukul. Segera terjadi pertandingan tangan kosong yang seru, akan tetapi seperti yang sudah diduga oleh Thian Lee, pertandingan itu tidak berlangsung lama. Baru belasan jurus saja, dada orang yang bermuka persegi itu terkena tamparan keras sehingga dia terhuyung, kemudian Bian Hok menyusulkan sebuah tendangan yang keras sekali dan orang itu terlempar keluar dari ruangan itu! Orang itu roboh terbanting dan tidak mampu bergerak karena ternyata pukulan Bian Hok tadi adalah sebuah totokan yang membuat tubuh orang itu menjadi lumpuh.

Kebetulan sekall jatuhnya orang itu di dekat Thian Lee menonton. Thian Lee pura-pura menolong membangunkan orang itu, akan tetapl dlam-diam dia membebaskan totokannya dan berbisik, "Cepat pergi menyelamatkan nyawamu!"

Orang itu terkejut sekali melihat betapa lihainya pemuda berpakaian mewah tadi. Dia tahu bahwa dia tidak akan menang menandingi pemuda itu, dan mendengar bisikan Thian Lee, dia pun cepat mengangkat kaki dan melangkah lebar setengah berlari meninggalkan rumah makan, diikuti gelak tawa para perajurit yang tadi dia robohkan.

Bian Hok juga tidak menyuruh orang-orangnya melakukan pengejaran. Dia lalu minta kepada pemilik rumah makan untuk membereskan ruangan itu dan mempersiapkan hidangan untuk para tamunya. Thian Lee girang sekali mendapat tugas melayani para tamu agung itu bersama para pelayan lainnya. Dia segera memasuki ruangan itu dan membereskan meja kursi yang berantakan.

Tak lama kemudian bermunculan ta-mu-tamu yang menjadi tamu Bian-kong-cu. Mereka itu terdiri dari tujuh orang pemuda bangsawan yang rata-rata ber-pakaian serba mewah dan indah. Begitu nnemasuki ruangan itu, seorang di antara mereka menegur, "Eh, Bian-te, aku men-dengar engkau baru saja menghajar orang yang kasar dan tidak mau meninggalkan ruangan ini. Ah, sayang aku datang terlambat sehingga tidak dapat menyaksikan kelihaianmu!" Yarig bicara ini seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun, jangkung dan bermuka kuning.

"Benar, Tang-twako. Dia seorang yang mungkin bukan penduduk, sini sehingga berani menolak pindah dari ruangan ini. Ah, hanya orang kasar biasa, dengan kepandaian yang biasa saja," kata Bian Hok. Mendengar ini, Thian Lee makin hati-hati. Bian-kongcu ini seorang yang lihai sekali, plkirnya. Orang yang me-ngamuk tadi sudah lihai, akan tetapi berhadapan dengan Bian-kongcu dia tidak mampu berbuat apa-apa. Diam-diam dia pun merasa heran bagaimana seorang pemuda bangsawan seperti ini dapat memiliki kepandaian silat yang demikian lihai. Juga diam-diam dia berpikir apa hubungannya Biang-kongcu ini dengan Pangeran Bian Kun. Setelah mendapat kesempatan ketika mengambil masakan dari dapur, dia bertanya kepada kepala dapur tentang hubungan antara Bian-kongcu dan Pangeran Bian Kun, dan jawaban kepala dapur itu sungguh mengejutkan hatinya. Bian-kongcu ternyata adalah putera Pangeran Bian Kun!

Kemudian datang serombongan gadls-gadis muda yang cantik dan mereka ini adalah gadis-gadis penghibur yang sengaja dipesan dan didatangkan oieh Bian-kongcu untuk menghibur dan menemani merekak makan minum. Suasana dalam ruangan itu lalu menjadi meriah dan gembira sekali. Thian Lee memasang telinga un-tuk mendengarkan mereka, kalau-kalau ada sesuatu yang penting. Akan tetapi ternyata mereka hanya bersenang-senang saja dan

percakapan mereka tidak pen-ting bahkan condong ke arah ucapan-ucapan jorok untuk mengganggu para gadis penghibur. Thian Lee merasa jemu dan segera sibuk di belakang, membiarkan para pelayan lain yang melayani para kongcu tukang pelesir itu. Akan tetapi diam-diam dia mengenang laki-laki yang tadi membikin ribut. Dia teringat kepada ayahnya. Barangkali seperti itulah watak ayahnya, tidak mau mengalah dan menghormati para bangsawan sehlngga mengakibatkan kematian-nya. Ingin dia mengetahui siapa orang itu, maka setelah selesai pekerjaannya, dia meninggalkan rumah makan untuk mencari laki-laki tadi. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Kota raja cukup besar dan dia tidak tahu ke mana laki-laki itu pergi. Orang itu .sepertl a seorang kang-ouw dan melihat pakaiannya bukan seorang yang berduit, maka dia lalu pergi ke kuil tua di mana biasanya dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw dan para pengemis untuk melewatkan malam tanpa membayar.

Akhirnya setelah keluar masuk kuil kosong, dia menemukan orang yang di-carinya. Di sebuah ruangan kuil kosong, bertilamkan rumput kering, kuil yang berada di luar kota raja, dia melihat orang itu merebahkan diri dalam keadaan sakit! Di situ terdapat dua batang lilin menyala sehingga cuaca cukup terang dan Thlan Lee dapat mengenal orang itu. Keadaan di kuil itu sunyi, hanya ada be-berapa orang pengemis yang berada di ruangan lainnya. Kuil-kuil kosong di da-lam kota lebih padat dijadikan tempat bermalam orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal ini.

"Engkau sakit....?" tanya Thian Lee sambil berjongkok dekat orang yang mukanya persegi itu. Orang itu membuka mata dan memandang. Lalu sambil meringis dia bangkit duduk.

"Engkau... bukankah engkau sebagai pelayan rumah makan itu?" tanyanya agaknya segera mengenal wajah Thian Lee orang yang rnembisiki agar dia cepat melarikan diri.

"Benar, aku sengaja mencarimu. Coba kuperiksa, aku pernah mempelajarl ilmu pengobatan," katanya dan dia pun memerlksa bagian dada yang terpukul atau tertotok tadi. Ternyata luka itu cukup hebat, luka dalam yang dapat berbahaya kalau tidak segera diobati. Adapun lukanya di paha akibat tendangan itu tidaklah parah.

"Benar saja, engkau terluka dalam untung aku membawa obat luka dalarm yang manjur. Nah, telanlah tiga butir pel ini." Thian Lee memang sengaja membawa bekal obat karena dia sudah menduga bahwa orang itu tentu luka berat. Dia tadi melihat pukulan Biang-kongcu bukan pukulan atau totokan biasa, melainkan mengandung sin-kang yang kuat.


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Orang itu menerima pel dan segera menelannya. Dan benar saja, dia rnerasa ada hawa panas dari perutnya dan rasa nyeri di dada banyak berkurang.

"Sobat, siapakah engkau yang begitu mempedulikan diriku?"

"Engkau sudah mengenal diriku, Twa-ko. Aku pelayan rumah makan itu namaku Song Thian Lee. Aku tadi melihat engkau berani menentang Bian-kongcu, maka aku merasa tertarik dan kagum. Karena aku menduga bahwa engkau tentu terluka dan aku mempunyai obat manjur untuk luka dalam, maka aku mencarimu sampai di sini."

Orang itu menghela napas.

"Ahhhh, aku yang bodoh. Namaku Lauw Tek, dan aku seorang yang biasa malang-melintang dan merantau di dunia kang-ouw. Aku sudah mendengar bahwa putera Pangeran Bian Kun itu memillki ilmu silat yang tinggi. Tak kusangka selihai itu sehingga dengan mudah aku dapat dikalahkan oleh-nya. Aku memang sengaja bersikap melawan dan menentang agar orang-orang melihat bc.nwa ada orang yang berani menentang sikap sewenang-wenang para bangsawan itu. Akan tetapi aku mengecewakan."

"Ah, tidak, Twako' Engkau cukup gagah dan semua orang memujimu. Apakah engkau banyak tahu tentang Pangeran Bian Kun, Twako?"

"Kenapa tidak mengenal Pangeran Bian Kun? Dia seorang pangeran mata keranjang dan di waktu mudanya dia banyak merampas anak gadis, bahkan isteri orang. Aku heran sekali, seorang pria selemah dia mampu mernipunyai putera segagah itu,"

"Apakah sampai sekarang Pangeran Bian Kun masih suka merampas anak gadis dan isteri orang?"

"Ah, sekarang mana dia mampu? Dia sudah menjadi seorang yang berpenyakitan, tubuhnya hampir separuhnya lumpuh." "Dan bagaimana dengan puteranya itu?"

"Puteranya yang tadi? Sepanjang pendengaranku, dia tidak pernah melakukan kejahatan, hanya kabarnya berwatak tinggi hati dan karena pandai ilmu silat tentu saja di.a sudah biasa memukul orang. Sebetulnya, aku datang ke kota raja ini untuk melakukan penyelidikan." "Penyelidikan tentang apa, Lauw-twa-ko?"

Lauw Tek memandang ke sekellling.

"Ini rahasla.... tak boleh terdengar orang
. Thian Lee memasang pendengarannya memperhatikan. Tidak terdengar ada orang dekat dengan mereka, maka dia berkata, "Tidak akan ada yang mende-ngar, Twako. Apa yang akan kauselidiki itu?"

"Secara kebetulan sekali aku mendengar bahwa ada seorang pangeran tua yang bermaksud untuk merebut kedudukan Kaisar."

"Ah, pemberontakan?

"Semacam itulah. Hendak merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar dan para pangeran yang dekat dengan Kaisar."

"Akan tetapi, dia akan berhadapan dengan bala tentara!" kata Thian Lee.

"Tidak kalau pembunuhan inl dilakukan dengan rahasia. Pangeran itu mempergunakan orang-orang kang-ouw golongan sesat untuk melaksanakan rencananya Justeru itulah aku mendengar berita dan hendak melakukan penyelidikan."

"Mengapa engkau hendak menyelidiki, Lauw-twako? Bukankah engkau sendiri tidak suka kepada para bangsawan Kalau mereka saling membunuh, apa hubungannya denganmu?"

Lauw T'ek menghela napas panjang.

"Ahhh, bagaimanapun juga, aku menghormati Kaisar Kian Liong. Beliau adalah seorang kaisar yang baik, dan yang selalu menghormati orang kang-ouw. Juga, tidak semua pangeran atau bangsawan jahat belaka. Misalnya Pangeran Tang Gi Su, dia adalah seorang pangeran dan pejabat yang baik sekali, yang keras dan adil, yang bersikap keras terhadap para pejabat yang brengsek dan korup. Men-dengar ada orang hendak membunuh Kaisar dan para pangeran yang dekat dengannya, tentu saja aku menjadi penasaran dan hendak menyelidiki. Kalau sudah ada bukti, akan kulaporkan kepada Pangeran Tang Gi Su agar komplotan pem-bunuh itu dapat dibasmi. Akan tetapi sayang, belum apa-apa aku sudah terluka oleh Bian-kongcu, karena watakku yang keras dan tidak mau mengalah."

Thian Lee berpikir sebentar. Tugas itu memang penting sekali. Lauw-twako, mungkln aku dapat membantumu melakukan penyelidikan itu. Sebagai pelayan rumah makan aku seringkali melayani para bangsawan dan mengenal banyak orang. Mungkin aku bisa mendapatkan berita tentang usaha pemberontakan itu. Katakan, siapakah pangeran yang hendak melakukan pembunuhan itu?"

"Hati-hati, jangan sampai ada orangt lain mengetahui, dapat berbahaya sekali bagi dirimu. Pangeran itu telah menyewa tenaga orang-orang kang-ouw, bahkan datuk-datuk kang-ouw yang lihai sekali. Dia adalah Pangeran Tua dan namanya adalah Tang Gi Lok. Pangeran Tang Gi Lok dan dia masih kakak sendiri dari Pangeran Tang Gi Su, seayah berlainan ibu. Karena itu kalau tidak ada buktinya, akan percuma saja melapor kepada Pa-ngeran Tang Gl Su karena Pangeran Tua adalah kakaknya sendiri.

"Tahukah engkau, Lauw-twako, siapa saja orang kang-ouw yang hendak dia pergunakan tenaganya untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?"

"Hal itu yang masih perlu kuselidiki, yang aku tahu hanya seorang saja di antara mereka, yang berjuluk Liok-te Lo-mo dan kabarnya lihai bukan main."

Berdebar jantung dalam dada Thian Lee mendengar disebutnya nama ini. Liok-te Lo-mo, gurunya yang pertama! Memang gurunya itu seorang datuk sesat seorang yang suka berbuat jahat!

"Jangan khawatir, Twako. Aku akan membantumu melakukan penyelidikan, dan di mana kita selajutnya dapat bertemu?"

"Di slni saja, Song-te. Biarlah tempat inl menjadi tempat pertemuan kita. Setiap malam aku pasti berada di sini."

"Baiklah, dan sekarang aku harus kembali sebelum mereka semua kehilangan aku."

Thian Lee lalu kembali ke dalam kota raja dan kembali ke runnah makan di mana dia bekerja. Dia bekerja biasa, akan tetapi setiap malam dia meninggalkan kamarnya tanpa ada yang mengetahui, mengenakan pakaian hitam dan juga menutupi mukanya dengan saputa-ngan hitam untuk melakukan penyelidikan.

Apa yang diceritakan Lauw Tek me-mang benar. Secara tidak disengaja Lauw Tek mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw dihubungi Pangeran Tua dan diberi pekerjaan penting. Dia merasa tertarik dan setelah dia melakukan penyelidikan, tahulah dia akan rencana pemberontakan itu. Lauw Tek adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berjiwa pendekar, akan tetapi wataknya jujur dan kaisar. Dia ingin menyelidiki dan kalau mungkin mencegah pembunuhan itu karena dia merasa suka dan hormat kepada Kalsar Kian Liong.

Pangeran Tua adalah sebutan pangeran itu. Pangeran Tang Gi Lok, rnemang sudah tua dan terhitung saudara sepupu Kaisar Kian Liong, putera dari Jwak Kalsar Kian Liong. Akan tetapi kalau Kaisar Kian Liong memberl kedudukan tinggi kepada Pangeran Tang Gi Su yang dia tahu berwatak baik dan jujur, tidak demikian dengan Pangeran Tang Gi Lok. Karena wataknya yang buruk, tukang pelesir dan berwatak palsu, Kaisar tidak nnemberi kedudukan apa pun. Hal ini membuat Pangeran Tua menjadi marah dan membenci Kaisar, bahkan juga men-dendam dan iri hati.

Maka dia lalu merencanakan pemberontakan terselubung. Bukan memberontak secara terang-te-rangan karena tentu saja dia tidak bera-ni menghadapi kekuatan balatentara yang setia kepada Kaisar. Dia hendak melakukan pembersihan dengan membunuh Kai-sar dan para pangeran yang dekat dengan Kaisar. 3uga para pangeran putera Kaisar akan dibunuhnya semua. Sehlngga kalau semua usaha ini berhasil, besar kemungkinan tentu kerajaan akan terjatuh ke tangannya sebagai saudara tertua! Kalau Kaisar tewas dan semua yang terdekat dengannya tewas, maka dialah yang ber-hak mengambil-alih kekuasaan.

Tentu saja dia mengajak mereka yang sama-sama tidak mendapatkan kekuasaan dari Kaisar untuk bersekutu, yaitu para pangeran yang tidak mendapatkan kedudukan dan merasa iri dan sakit hati. Memang selalu demikianlah keadaan se-orang kaisar atau seorang kepaia negara. Betapa baik pun seorang kepala negara, tentu ada yang memusuhinya, yaitu mereka yang tidak mendapatkan bagian kekuasaan, tidak mendapatkan kedudukan dan mereka yang merasa berjasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Dan tentu saja seorang pemimpin yang baik akan memilih pembantu-pembantu yang cakap dan jujur, dan menjauhkan mereka yang berwatak palsu dan curang. Demikian pula Kaisar Kian Liong. Biarpun saudaranya sendiri, kalau wataknya palsu dan curang, tidak dia beri kedudukan penting paling banyak hanya mendapatkan kedudukan biasa dan kecil yang tidak berarti saja. Dan tidak mungkin bagi Kaisar Kian Liong untuk memberi kedudukan tinggi kepada semya keluarganya atau kawankawannya!

Salah seorang yang dipilih oleh pangeran Tua untuk menjadi sekutunya adalah Pangeran Bian Kun. Seperti juga dla, pangeran ini tidak memperoleh kedudukan. Akan tetapi Pangeran Bian Kun sudah menjadi seorang tua yang lemah dan cacat, maka puteranya yang maju dan puteranya, Bian Hok, yang mewakili ayahnya, bersekutu dengan Pangeran Tua. Kebetulan sekali putera dari Pangeran Tua yang bernama Tang Boan, berusia dua puluh lima tahun, adalah sahabat sejak kecil dari Bian Hok. Dua orang pemuda ini seringkali bersama-sama mengadakan pelesir bersenang-senang. Hanya bedanya, kalau Bian Hok suka mempelajarl ilmu silat, bahkan menjadi murid Hek-tung Kai-ong sehingga dia menjadi seorang ahli silat yang tangguh, Tang Boan sebaliknya tidak suka mempelajari ilmu silat, akan tetapi mempelajari ilmu sastra sehingga dia menjadi seorang ahli politik yang pandal bersiasat.

Pada suatu malam, ketika Bian Hok berkunjung kepada paman tuanya, yaitu Pangeran Tang Gi Lok, pangeran ini antara lain membicarakan tentang adiknya sendiri, adik tirinya yang bernama Pangeran Tang Gi Su.

"Yang amat mengkhawatirkan hatiku adalah Tang Gi Su. Dia selalu menen-tang pendapatku tentang Kaisar dan dia kelak dapat menjadi penghalang yang amat berbahaya. Aku rasa orang yang paling' dulu harus disingkirkan adalah dia inilah!"

"Akan tetapi, ada jalan lain yang lebih baik, Paman," kata Bian Hok.

"Hemm, jalan apakah itu?"

"Dengan menarik dia menjadi keluarga. Bukankah dia mempunyai seorang puteri yang bernama Cin Lan?"

"Ah, bagaimana sih engkau ini? Tidak mungkin puteraku menikah dengan puterinya! Kami masih satu margal"

"Jangan Paman salah mengerti. Maksud saya bukan dinikahkan dengan putera Paman, melainkan dengan saya. Nah, kalali puterinya sudah menjadi isteri saya, tentu akan mudah membujuknya kelak."

"Bagus! Suatu pikiran yang bagus sekali!"

"Sudah lama saya menginginkan Cin Lan menjadi isteri saya, Paman. Akan tetapi saya khawatir kalau-kalau lamarai saya akan ditolak, mengingat bahwa Ayah teiah menjadi lemah dan berpenyakitan. Maka, saya mengharapkan bantuan Paman. Kalau Paman yang menjadi jalan saya kira tidak ada masalahnya lagi dan tentu Paman Tang Gi Su akan menerima dengan balk."

"Baik, aku akan membantumu dan yang akan melamarkan puterinya untuk menjadi jodohmu, ha-ha-ha!"

Demikianlah, beberapa hari kemudian, Pangeran Tang Gi Lok datang berkun-jung, ke gedung adik tirinya. Setelah saling menanyakan kesehatan sebagaimana lajimnya, Pangeran Tua langsung saja membicarakan maksud hatinya, yaitu mewakili Pangeran Bian Kun untuk meminang Tang Cin Lan wti^JcJApdRhkan dengan Bian Hok.

"Adikku, aku ditangisi oleh keponakan kita itu yang mengatakan telah jatuh cinta kepada puterimu. Karena itu, kuha
tap kerelaanmu untuk menerima pinangan tini. Bian Hok adalah seorang pemuda yang baik. Dia tampan dan pintar dan engkau sendiri tahu bahwa dia seorang di iantara para pemuda bangsawan yang memiliki ilmu silat yang tinggi, cocok benar dengan puterimu yang kabarnya juga seorang ahli silat tinggi. Tidak ada pasangan yang lebih cocok lagi darlpada mereka berdua. Ha-ha-ha!"

Pangeran Tang Gi Su menjadi serba salah. Memang dia pun tahu bahwa Bian Hok seorang pemuda yang cukup baik. Akan tetapi kalau mengingat kehidupan ayahnya, tukang pelesir, tukang mencari dan mengumpulkan wanita, hatinya merasa ragu. Akan tetapl, yang meminangkgin adalah kakak tirinya, Pangeran Tua.

"Terima kasih atas perhatian Kakanda," akhirnya dia berkata.

"Akan tetapi urusan perjodohan anak merupakan masalah seluruh keluarga. Oleh karena itu, saya harus terlebih dahulu membicarakan dengan ibunya dan dengan anaknya pula. Setelah itu, barulah saya akan mengirim berita kepada Kakanda."

"Ha-ha, tentu saja. Akan tetapi aku percaya penuh bahwa isterimu tentu akan setuju. Mana ada perjaka yang lebih cocok dan lebih baik untuk menjadi suami Cin Lan? Dan anakmu tentu setuju pula. Nah, aku hanya menanti berlta baik darimu, Adinda!" Setelah berpamlt, Pangeran Tua meninggalkan adiknya yang duduk bengong dan melamun sampai lama. Akhirnya dia menghela napas panjang. Tak ada lain jalan kecuali menerima pinangan itu.

Bagaimanapun juga, kalau menjadi isteri seorang pemuda seperti Bian Hok, puterinya itu akan tetap men-jadi seorang wanita bangsawan. Bahkan andaikata orang mengetahui bahwa puterinya itu bukan anak kandungnya, kalau ia sudah menikah dengan Bian Hok, otomatis ia menjadi seorang wanita bangsawan. Bagaimanapun juga, ayah pemuda itu, Bian Kun, hanya seorang laki-laki yang selalu mata keranjang, akan tetapi sepanjang yang dia ketahui, tidak pernah melakukan perbuatan yang jahat. Karena sifatnya yang mata keranjang itulah maka dia tidak mendapatkan kedudukan dari Kaisar! Dan tentang kakak tirinya, ah, walaupun dia tidak setuju dengan jalan pikiran kakak tirinya yang seringkali mencela politik pemerintahan Kaisar, namun kakak tirinya adalah seorang pa-ngeran yang disegani dan juga memiliki pengaruh yang cukup besar dl kalangan keluarga kerajaan.

Pangeran Tang Gi Su lalu menemui selirnya, Lu Bwe Si dan menyampaikan tentang pinangan itu kepadanya. Mendengar ini Lu Bwe Si menjadi pucat mukanya dan ia memandang kepada suaminya dengan blngung.

Akan tetapi... ia... ia sejak kecil sudah dijodohkan!" akhirnya ia membantah. la memang pernah menceritakan tentang perjodohan dengan tanda ikatan jodoh sepasang gelang kemala itu kepada suaminya.

"Apa artinya perjodohan itu? Cin Lan tidak mengetahuinya dan tidak perlu mengetahuinya," kata Sang Pangeran.

"Akan tetapi, ia sudah tahu!" jawab Lu Bwe Si dan ia lalu menceritakan tentang peristiwa gangguan para pengemis beberapa tahun yang lalu.

"Ada orang yang mengatakan bahwa Cin Lan hanya anak tirimu. Anak itu lalu bertanya kepadaku. Terpaksa aku menceritakannya karena aku tidak yakin hal itu akan dapat dirahasiakan lagi. Cin Lan sudah dewasa dan akhirnya ia akan mendengar juga. Nah, tiga tahun yang lalu itulah aku menceritakan kepadanya tentang ayah kandungnya, dan juga tentang geiang kemala.

"Ah, sayang sekali
D&n bagairnana tanggapannya?"


la tidak setuju dan tidak senang bahwa sejak bayi ia sudah dijodohkan. Agaknya ia menentang perjodohan itu."

"Bagus! Kalau begitu ia harus menerima pinangan keluarga Bian. Kami sama-sama pangeran dan kalau Cin Lan menjadi isteri pemuda Bian, maka ia akan tetap menjadi seorang nyonya bangsawan."

Lu Bwe Si tidak dapat membantah kehendak suaminya. la pasrah saja karena bagaimanapun juga ia tidak akan mampu memaksa puterinya untuk menikah dengan keluarga Song yang menjadi keputusan mendiang suaminya yang pertama. Juga, ke mana ia harus mencari putera Song itu? Ia sudah mendengar bahwa Song Tek Kwl juga dibunuh oleh pasukan dan tidak ada orang mengetahui ke mana perginya jandanya dan puteranya. Mungkin puteranya sudah tewas pula.

"Di mana Cin Lan? Panggil ke sini. Aku ingin memberi tahu kepadanya sekarang juga," kata Pangeran Tang Gi Su. Lu Bwe Si masuk ke belakang dan tldak lama kemudian ia sudah kembali bersama Cin Lan yang memandang ayahnya dengan heran. Tidak seperti biasanya ayahnya memanggilnya seperti ini, tentu ada urusan penting dan ibunya tadi tidak mau mengatakan urusan apa yang membuat ayahnya memanggilnya.

"Ayah memanggilku? Ada keperluan apakah, Ayah?" tanyanya.

"Cln Lan, eogkau sekarang bukan seorang kanak-kanak lagi. Engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang mau tidak mau harus mengalami pernikahan, Ayahmu telah menerima pinangan untuk dirimu. Kami ingin menjodohkan engkau dengan Kongcu Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun yang mengajukan pinangan
Bahkan pinangan itu dilakukan sendiri oleh uwakmu, yaitu Pangeran Tang Gi Lok"

Wajah Cin Lan berubah pucat, lalu menjadi merah sekali.

"Bian Hok? Tidak, Ayah. Aku tidak mau menjadi jodoh Bian

"Cin Lan....!" Ayahnya membentak.

"Ayah, sejak dulu aku tldak suka kepada pemuda yang matanya kurang ajar itu. Aku benci padanya. Aku tidak sudi menjadi isterinya!"

"Cin Lan, berani engkau bersikap seperti ini? Seorang anak perempuan h.irus menurut apa yang dikatakan ayahnya! Terutama sekali dalam urusan perjodohan, harus menurut apa yang dipilih oleh ayahnya."

"Tidak, aku tidak sudi menjadi isteri Bian Hok!" kata pula Cin Lan sambil menangis.

Ibunya merangkulnya.

"Cin Lan, engkau harus menaati kehendak ayahmu...."

"Tidak, Ibu. Aku tidak mau'." kata Cin Lan sambll merangkul ibunya.

"Cin Lan! Mau atau tidak engkau harus menerima pinangan itu! Engkau tidak boleh membantah apa yang sudah kuputuskan!" Setelah berkata demikian, Pangeran Tang Gi Su bangkit berdiri.

"Apakah engkau hendak menjadi seorang anak yang durhaka dan tidak berbakfi kepada orang tua?" Setelah itu dia meninggalkan ruangan itu, membiarkan is-terinya untuk membujuk anaknya.

Setelah pangeran itu pergl keluar ruangan, Cin Lan menangis semakin keras.

"Tidak, Ibu, aku tidak sudi...." la menangis.

"Engkau tidak tilsa menolak kehendak ayahmu, Cin Lan," bujuk ibunya.

"Dia bukan ayahku. Aku bukan anak kandungnya.. Dla tidak bisa memaksakan kehendaknya kepadaku."

"Tapi, Cin Lan...."

"Ibu, Ibu pernah mengatakan bahwa ayah kandungku meninggalkan pesan mengenai perjodohanku. Itu saja aku sudah tidak dapat menerima, apalagi sekarang. Aku tidak mau dipaksa dalam hal perjodohan oleh siapapun juga. Kalau aku tidak suka, aku pun tidak mau dan aku tldak mau dipaksa.

Kini Lu Bwe Si yang menangis sambil merangkul puterinya.

"Aihh, anakku, bagaimana mungkin kita akan menolak kehendak Pangeran untuk menjodohkan engkau? Kita telah berhutang budi kepadanya, hutang budi setinggi gunung. Sejak kecil engkau dipeliharanya seperti anak sendiri, dicinta dan dimanja. Bagai-mana sekarang engkau dapat menolaknya? Bagaimana aku dapat berkata kepadanya bahwa engkau tidak mau dinikahkan dengan pemuda yang dipilihnya?"

Cin Lan melepaskan rangkulan ibunya, "Tidak, Ibu. Kalau aku dipaksa menikah dengan Bian Hok itu, aku akan lari minggat dari sini!" Setelah berkata demikian, sambil menahan isak ia lalu lari keluar dari ruangan itu.

"Cin Lan....!" Ibunya memanggil, akan tetapi Cin Lan tidak peduli dan berlari terus. Ibunya hanya dapat menangis dengan hati khawatir. la sendiri merasa heran mengapa puterinya begitu membenci Bian Hok, padahal kalau menurut penglihatannya, pemuda putera Pangeran Bian Kun itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Memang benar dia putera Pangeran Bian Kun, pangeran yang dahulu dipukuli oleh Bu Cian, bahkan kemudian yang menyebabkan Bu Cian tewas dikeroyok pasukan. Apakah karena itu puterinya menjadi benci kepada Bian Hok? La menjadi bingung sekali bagaimana harus menghadapi suaminya dalam urusan perjodohan ini.

Sejak jaman dahulu, urusan perjodohan memang selalu mendatangkan keributan. Banyak orang muda yang merasa tidak suka dipilihkan jodohnya oleh orang tua dan menganggap bahwa perjodohan harus dipilihnya sendiri. Menurut para orang muda, perjodohan bukan pilihan hati sendiri, yang tidatr berdasarkan cinta, tentu akan gagal. Sebaliknya, para orang tua menilai bahwa pilihan anak sendiri tidak memakai perhitungan yang masak dan hanya tertarik oleh kecantikan atau ketampanan belaka sehingga perjodohan seperti itu tldak akan berakhir baik bagi mereka.

Harus diakui bahwa tidak semua perjodohan pilihan orang tua tidak berakhir bahagia dan tidak semua perjodohan pilihan hati sendiri berakhir bahagia. Ba-nyak perjodohan pilihan orang tua yang dapat menjadi suami isteri bahagia, sebaliknya banyak pula perjodohan pilihan hati sendiri berakhir dengan kehancuran fumah tangga. Akan tetapi satu hal sudah jelas. Apa pun jadinya dengan perjodohan pilihan sendiri, maka kedua orang itu bertanggung jawab seridiri dan tidak akan menyalahkan orang tua yang tidak ikut memilihkan. Pilihan orang tua memang lebih teliti. Bukan hanya memilih berdasarkan wajah melainkan juga tabiat, keturunan dan sebagainya lagi. Sedangkan pilihan hati selalu berdasarkan rasa suka atau tidak suka yang mereka namakan cinta, padahal cinta yang berdasarkan keindahan bentuk tubuh atau muka hanyalah cinta nafsu belaka dan mudah sekali cinta seperti itu menjadi luntur di lain waktu.

Penolakan Cin Lan bukan semata-mata karena dia menentang orang tua. Sama sekali tidak. Penolakannya terhadap Bian Hok memang didasari hati yang sudah merasa tidak suka kepada pemuda itu. Adapun penolakannya terhadap perjodohan gelang kemala didasari karena pendapat yang sama sekali menolak d-jodohkan dengan orang yang sama sekali tidak pernah dilihatnya bahkan tidak diketahui bagaimana orangnya.

la melarikan diri dari ruangan itu terus keluar dari rumah, bahkan keluar dari kota raja menunggang kudanya yang berbulu putih.

Kuburah itu selama belasan tahuh tidak pernah dikunjungi orang, apalagi dlsembahyangi. Siapa yang berani mengunjungi kuburan seorang pemberontak? Di batu nisan sederhana itu ditulis dengan huruf-huruf yang jelas.

"Kuburan pemberontak Bu Cian". Akan tetapi pada siang hari itu, seorang gadis berlutut di depan makam yang tidak terawat sehingga rumput alang-alang tumbuh dengan suburnya. Gadis itu adalah Cin Lan. Tidak sukar baginya untuk berkunjung ke dusun Teng-sia-bun yang tidak berapa jauh letaknya dari kota raja dan setelah tiba di dusun itu, juga tidak sukar untuk menemukan kuburan Bu Cian. Semua orang mengenal kuburan ini. Resminya kuburan pemberon-tak Bu Cian, akan tetapi bagi penduduk dusun itu, terutama kaum tuanya, kuburan itu mereka sebut kuburan Pendekar Bu Cian! Walaupun tidak ada orang yang berani merawat kuburan itu, akan tetapi mereka menganggap kuburan itu sebagai kuburan yang keramat.

Cin Lan tidak tahu bahwa sejak ia keluar dari kota raja, ia telah dibayangi belasan orang dari jauh. Mereka ini ada-lah anak buah Pangeran Tua yang diam-diam menyuruh orang-orangnya memata-matai rumah Pangeran Tang Gi Su. Adik tirinya ini merupakan seorang di antara mereka yang dianggap musuh, yang menentang kehendaknya memusuhi Kaisar, maka dianggap berbahaya. Belasan ordng-orang itu membayangi Cin Lan segera memberi laporan bahwa Cin Lan berkunjung ke makam pemberontak Bu Cian. Mendengar ini Pangeran Tua terkejut dan juga girang, merasa mendapatkan kesem-patan untuk menekan Pangeran Tang Gi Su. Dia pun tahu bahwa Cin Lan adalah puteri pemberontak Bu Cian akan tetapi karena hal itu tidak pernah dikemukakan oleh adik tirinya, dia pun tidak dapat berbuat sesuatu. Kini, gadis itu berkunjung ke makam pemberontak itu.

"Cepat tangkap gadis itu yarig mengunjungi makam pemberontak Bu Cian!" Perintahnya kepada dua orang perwira yang menjadi anak buahnya. Seperti semua pangeran, biarpun dia tidak menduduki pangkat sesuatu, dia mempunyai pasukan pengawal.

Cin Lan beriutut di depan makam ayah kandungnya sambil menangis.

"Ayah mereka hendak menjodohkan aku dengan putera musuh besar Ayah!" ratapnya sambll menangis sedih. Baru sekarang merasa berduka sekali. Dan baru sekarang ia berkunjung ke makam ayah kandungnya. la membayangkan ayahnya se-bagai seorang pria yang gagah perkasa, karena ibunya mengatakan bahwa ayah-nya adalah seorang pendekar! Makin di-kenang dan dibayangkan, ia menjadi semakin sedih.

Duka. Manusia manakah yahg lidak pernah berkenalan dengan duka? Hidup ini sendiri adalah duka. Sudah ditandai dengan kelahiran. Sekali masuk ke dunia ini, manusia melakukan perbuatan yang pertama kali adalah menangis! Dan tangis itu tanda duka.

Hidup adalah suatu kenyataan. Tantangan datang dari mana-mana dan biasanya tantangan ini dianggap problem yang menimbulkan duka. Padahal, tantangan hidup adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi dan diatasi, justeru romantikanya hidup adalah tantangan-tantangan inilah. Bayangkan saja kalau kehidupan Ini tanpa tantangan, tanpa kesukaran dan kesulitan. Tentu akan membosankan sekali. Justeru adanya tantangan ini menimbulkan gairah dan semangat hidup karena timbul keinginan untuk melawan dan memenangkan tantangan yang datang itu. Jangan sekali-kali menganggap bahwa tantangan kesulitan yang datang itu sebagai problema yang mendatangkan duka. Namun ladapi sebagai suatu kenyataan yang wajar dan memang demikianlah hidup.



Jodoh Si Naga Langit Eps 15 Kisah Si Pedang Kilat Eps 13 Dewi Sungai Kuning Eps 2

Cari Blog Ini