Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 43


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 43




   "Suhu, memang sebenarnya teecu tidak mempunyai ayah bunda. Semenjak kecil teecu di pelihara oleh seorang inang pengasuh atas perintah kong kong Koai Thian Cu. satu satunya orang tua yang mengaku teecu sebagai cucu angkatnya. Teecu tidak tahu siapa ayah teecu, juga menurut kong kong, ibu teecu sudah tidak mau mengakui teecu lagi sebagai anak semenjak teecu terlahir."

   Suara anak itu terdengar menggetar mengharukan, dan matanya yang lebar dan tajam itu dikejap kejapkan menahan keluar air mata.

   "Hmmm, aneh sekali. Apa kau tidak ingin mencari ayah bundamu?" kakek Song memancing.

   "Suhu, ayah bunda yang tidak sayang dan tidak menghiraukan anaknya, bukan orang tua yang baik. Sebaliknya, biar orang lain kalau melepas budi, kita boleh menganggapnya seperti orang tua sendiri. Orang tua teecu yang tidak sudi mengaku teecu sebagai anak, mengapa harus teecu cari? Teecu sudah mendapat penggantinya, tadinya kong kong Koai Thian Cu, sekarang suhu yang harus teecu anggap sebagai guru dan orang tua sendiri."

   Kakek Song sampat melongo mendengar jawaban ini. Bagaimana seorang bocah begini cilik dapat mengeluarkan jawaban seperti itu. Seperti pikian orang dewasa saja!

   "Eh, Beng Han. Dari siapakah kau mendapatkan pikiran seperti itu?"

   "Sejak kecil kong kong Koai Thian Cu telah mendidik teecu dan teecu tidak berani melupakan segala apa yang diajarkannya kepada teecu."

   
Kemudian dalam tanya jawab ini tahulah kakek Song hahwa bocah itu ternyata tidak saja memiliki pengertian yang mendalam tentang hal hal di sekelilingnya, juga telah mempelajari baca tulis dan dasar dasar ilmu silat tinggi dan ilmu hoat sut! Sungguh luar biasa sekali hasil yang di capai anak itu selama belajar satu tahun lamanya dari Koai Thian Cu.

   Maka giranglah hati Thian te Kiam ong dan dia sendiri sampai lupa diri akan usia tua dan mulai menurunkan ilmu silat yang pelik pelik kepada anak itu untuk dihafal teorinya untuk kelak dipelajari sendiri latihan prakteknya.

   Sementara itu, diam diam kakek Song menuliskan ilmu Pedang Kim kong kiam dalam sebuah kitab, dan menyuruh seorang pandai besi yang biasa membuat pedang untuk membuatkan sebuah pedang berselaput emas yang sama benar dengan Kim kong kiam. Hal ini diakukan dengan rahasia, bahkan Tek Hong sendiri tidak tahu akan perbuatan ayahnya ini.

   Song Tek Hong bertiga isteri dan puterinya juga Liem Pun Hui bertiga isteri dan putranya, sama sekali tidak tahu ramalan kakek aneh yang baru baru ini datang mengunjungi ayah mereka, mereka juga tidak keberatan untuk menerima Thio Beng Han, oleh karena bocah itu memang pandai membawa diri dan menimbulkan rasa kasihan dan suka kepada mereka. Hanya Song Bi Hui puteri Song Tek Hong yang mengomel,

   "Kong kong aneh sekali. Sudah sering kau aku minta memberi pelajaran ilmu pedang tak pernah dipenuhi, sebaliknya sekarang mengambil murid seorang anak kecil dari luar. Apakah ini bukan berarti membocorkan kepandaian keluarga sendiri?"

   "Bi Hui, mengapa kau mengomel? Biarpun kong kong tidak memberi petunjuk padamu, bukankah ayahmu dan aku sendiri sudah memberi pelajaran? Ilmu pedang yang kuajarkan kepadamu juga tidak terlalu jelek!" kata Ong Siang Cu, ibunya dengan suara lembut menyembunyikan ketidak senangan hatinya.

   Memang iapun merasa kurang senang terhadap ayah mertuanya setelah mendengar kata kata puterinya. Semenjak mudanya, nyonya Song Tek Hong ini memang terkenal keras hati sekali.

   Tek Hong mengerutkan keningnya mendengar kata kata anak dan isterinya ini.

   "Bi Hui, kau tidak boleh bilang begitu! Kau adalah anakku, berarti cucu kong kongmu. Sudah ada aku yang menurunkan kepandaian keturunan keluarga Song, mengapa kau masih kurang puas dan minta kepada kong kongmu sendiri? Ilmu kepandaian tidak ada batasnya, kalau kong kongmu menurunkan semua kepandaiannya kepadamu, apa kau kira kau akan mampu menerimanya? Satu macam saja ilmu silat, kalau dipelajari sampai sempurna betul, sudah cukuplah. Biar ada seratus macam kepandaian, kalau semuanya setengah matang, takkan ada gunanya."

   Bi Hui cemberut, bibirnya yang manis itu sampat berkerut kerut.

   "Ayah, aku memang anak cerewet. Memang sudah banyak aku menerima pelajaran dari ayah dan ibu, akan tetapi.... masih saja aku belum diberi pelajaran Kim kong Kiam sut secara lengkap!"

   Tek Hong membanting banting kakinya.

   "Kau benar benar tak tahu diri! Ayahmu sendiri biarpun sudah membanting tulang mencurahkan seluruh perhatiannya, masih belum dapat mempelajari Kim kong Kiam sut seluruhnya, baru berhasil empat lima bagian saja. Kau kira gampang menguasai Kim kong Kiam sut?"

   "Ayah cuma mewarisi empat lima bagian. Kalau kelak bocah bernama Beng Han itu mewarsi seluruhnya, bukankah hal itu akan amat ganjil? Kim kong Kiam sut adalah ilmu warisan yang paling dibanggakan oleh keluarga kita, ayah sama halnya dengan pedang pusaka Kim kong kiam."

   Tek Hong menarik napas panjang. Kalau dipikir pikir betul juga kata kata anaknya.

   "Tak mungkin kalau sampai begitu, itupun hanya menjadi tanda bahwa keturunan ayah tidak ada cukup berbakat dan kiranya bukan kesalahan Thio sute kalau sampai dia berhasil mewarisi seluruhnya."

   Percakapan mereka terhenti dengan munculnya Liem Pun Hui dan anak isterinya.

   "Ah, agaknya sedang mengadakan perundingan besar sekeluarga!" Song Siauw Yang menegur gembira. "Apakah kami mengganggu?"

   "Sama sekali tidak." jawab kakaknya. "Kami hanya sedang memberi nasehat nasehat kepada anak kita yang cerewet ini!"

   Siauw Yang menghampiri Bi Hui dan memeluknya. "Twako jangan terlalu galak! Keponakkanku begini manis bagaimana disebut cerewet?" mendengar ini, Bi Hui yang manja lalu menangis dan masuk ke dalam kamarnya!

   "Anak manja!" Tek Hong memaki.

   "Sudahlah, twako. Jangan terlalu galak, Bi Hui kan masih terlalu muda." kembali Siauw Yang menyambar kakaknya, sedangkan Siang Cu hanya diam saja, kening berkerut dan pandang mata tidak puas.

   "Sebetulnya aku hendak memberi tahu kepadamu bahwa kami bermaksud hendak pulang ke Liok Can. Sudah terlalu lama meninggalkan rumah dan sekarang ayah nampak sehat bahkan agak gembira semenjak bocah itu berada di sini."

   "Kaumaksudkan Thio sute?" membetulkan Tek Hong mendengar adiknya menyebut "bocah" kepada sutte kecil itu.

   Siauw Yang tersenyum. "Betul, siauw sute itulah. Demikian rajin dan berbakti nampaknya"

   "Memang dia rajin dan berbakti kepada ayah. Dia anak baik, kalian ini orang orang perempuan memang banyak cemburu dan curiga. Siauw Yang baru satu bulan saja tinggal di sini, kau sudah hendak pulang. Moi hu (adik ipar), mengapa tergesa gesa?"

   Liem Pun Hui tersenyum, "Twako, kau tahu bahwa di rumah sana aku menerima beberapa orang murid dalam ilmu sastera. Diantara mereka ada yang hendak menempuh ujian kota raja, maka terpaksa aku harus pulang dulu. Apalagi gak hu (ayah mertua) sudah nampak sehat kembali seperti sediakala."

   "Baiklah kalau begitu. Apakah kalian sudah minta diri kepada ayah?"

   "Belum, sekarang juga kami akan berpamit."

   Akan tetapi, ketika Liem Pun Hui, Song Siauw Yang dan putera meraka menghadap kakek Song dan menyatakan keinginan mereka hendak pulang ke Liok Can, orang tua itu menahan mereka.

   "Jangan pulang dulu, masih belum habis rasa rinduku Siauw Yang, kau dan suami serta anakmu tinggallah di sini sedikitnya satu bulan lagi. Aku tidak mau kalian tinggalkan sebelum lewat sebulan lagi."

   Tentu saja Pun Hui, Siauw Yang dan juga Kong Hwat tidak berani membantah dan menghadapi permintaan kakek itu dengan hati merasa berat. Dulu dulu belum pernah Thian te Kiam ong Song Bun Sam menahan mereka sampai satu bulan.

   Tentu saja mereka tidak tahu bahwa permintaan kakek Song ini ada hubungannya dengan ramalan Koai Thian Cu sebulan yang lalu bahwa hidup kakek Song tinggal dua bulan lagi! Sebelum ramalan ini terbukti benar atau keliru, kakek Song ingin selalu didekati anak cucunya.

   Terpaksa Pun Hui dan Siauw Yang membatalkan kehendak mereka, hanya Pun Hui mengirim seorang utusan ke Liok can untuk memberi tahu kepada murid muridnya apabila mereka hendak melakukan ujian di kota raja supaya mampir di Tit le.

   Beberapa hari kemudian, di waktu malam gelap gulita, sedangkan semua penghuni rumah sudah tidur nyenyak, di dalam kamarnya kakek Song sedang melatih muridnya yang baru, Thio Beng Han. Kakek Song tahu bahwa andaikata ia tidak mati dalam waktu dua bulan seprrti telah diramaikan oleh Koai Thian Cu, tetap saja usianya sudah terlalu tua dan tidak ada waktu lagi untuk menurunkan ilmu silatnya kepada Beng Han.

   Maka ia langsung menurunkan ilmu yang tinggi, yaitu pelajaran samadhi dan pernapasan untuk membersihkan darah dan hawa dalam tubuh sehingga anak ini akan mempunyai ginkang yang kuat kelak. Guru dan murid duduk bersila di dalam kamar itu, kakek Song di atas pembaringan sedangkan Beng Han bocah luar biasa itu, dalam waktu sebulan saja sudah dapat menguasai cara berlatih lweekang dan samadhi yang hebat ini. Ia sudah pandai mengatur napas sehingga gurunya amat puas melihat kemajuannya.

   Tiba tiba Beng Han yang pendengarannya sudah tajam berkat latihan samadhi ini, mendengar suara dari luar jendela. Suara orang berbisik seperti membaca doa. Ia membuka mata dan melirik ke arah gurunya. Kakek itu tetap duduk bersamadhi seperti patung, seakan akan tidak mendengar suara itu.

   
Tak lama kemudian, Beng Han merasa kepalanya pening dan matanya mengantuk sekali, seakan akan ada tenaga tidak kelihatan yang memaksanya supaya tidur. Akan tetapi karena ia sedang berlatih lweekang dan pikirannya sedang jernih, ia mengerahkan tenaga untuk melawan kekuatan tidak kelihatan ini. Tetap saja ia tidak dapat melawannya dan makin lama kedua matanya makin berat, pikirannya hampir tak dapat dikuasai lagi.

   Teringatlah ia akan pelajaran yang dahulu ia terima dan Koai Thian Cu. Cepat ia mengerahkan tenaga terakhir, bibirnya komat kamit, lalu ia menggunakan ibu jarinya untuk membasahi kedua matanya dengan ludahnya sendiri. Benar saja, rasa mengantuk lenyap, pikirannya terang kembali dan kini ia mendengar jelas suara orang diluar jendela, suara orang berbisik bisik halus sekali.

   Ketika ia melirik, gurunya masih saja duduk bersamadhi.

   Di luar pintu kamar itu ia mendengar suara wanita wanita menguap dan mengeluh, disusul suara orang roboh di lantai. Beng Han merasa aneh sekali. Tadi memang lapat lapat ia mendengar dua orang pelayan wanita yang menjaga segala keperluan kakek Song, masih bercakap cakap perlahan di luar kamar.

   Apakah mereka ini tadi menguap? Hal ini amat mengherankan, oleh karenanya biasanya mereka tidak mungkin berani berlaku begitu tak tahu sopan, menguap dengan suara keras. Beng Han bangkit berdiri, perlahan menghampiri pintu dan membuka sedikit untuk melihat. Ia makin terkejut dan heran melihat dua orang pelayan itu telah tertidur di atas lantai dalam keadaan tidak karuan, bukan sewajarnya orang tidur, saling tindih. Agaknya mereka tadi saking mengantuknya lalu roboh dan tidur di situ seperti orang orang pingsan.

   Melihat ini, Beng Han dapat menduga pasti terjadi hal yang tidak sewajarnya. Akan tetapi karena melihat suhunya tetap saja duduk bersamadi tak bergerak, ia tidak berani mengganggu. Ditutupnya lagi pintu kamar dan iapun duduk lagi bersila seperti tadi.

   Tak lama kemudian, suara bisik bisik di luar jendela berhenti, lalu terdengar suara orang ketawa, merdu nyaring dan amat menyeramkan. Beng Han melirik ke arah suhunya, masih saja suhunya tidak bergerak.

   Apakah suhunya sudah tertidur pula seperti dua orang pelayan wanita itu? Suara ketawa itu keras, mengapa orang orang di dalam rumah tidak ada yang mendengarnya? Padahal di dalam rumah itu berkumpul ahli ahli silat yang ia tahu berkepandaian amat tinggi. Biasanya jangankan suara ketawa demikian kerasnya, suara sedikit saja yang mencurigakan cukup membangunkan mereka dari tidur.

   Jendela bergerak dan daun jendela terbuka sedikit demi sedikit. Tanpa menggerakkan tubuhnya, Beng Han melirik ke arah jendela ini. Jendela kamar suhunya ini menembus ke taman bunga di samping kiri rumah, maka begitu jendela terbuka terdengar suara jangkerik, belalang dan lain lain binatang kecil. Akan tetapi Beng Han tidak memperhatikan semua ini. Yang menarik perhatiannya adalah sebuah lengan tangan yang mendorong daun jendela itu, lengan tangan yang berkulit putih halus seperti tangan mayat karena di bawah sinar suram suram dan sebuah lilin di meja, tangan itu nampak pucat.

   Kemudian muncul sebuah kepala seorang wanita dengan muka yang cantik tapi menyeramkan, muka yang pucat dengan mulut tersenyum kejam dan mata bersinar sinar sebagai mengeluarkan api.

   Dengan tenangnya wanita yang masih muda dan cantik itu melompati jendela dan masuk ke dalam. Gerakannya cukup gesit dan ia menekankan tangan pada jendela ketika melompat ke dalam kamar. Pakaiannya serba putih dan bersih, potongan tubuhnya tinggi ramping.

   
Saking terkejut, heran, dan agak ngerinya, Beng Han sampai tak dapat bergerak d tempat duduknya, ia kini membelalakkan matanya, memandang penuh perhatian. Apa yang hendak di lakukan oleh wanita aneh itu? Silumankah ia atau manusia jahatkah? Anehnya suhunya masih saja duduk bersila tak bergerak.

   Wanita muda yang cantik dan aneh ini bukan lain adalah Kui Lian. Seperti telah dituturkan, dia mendapat tugas dan Koai Thian Cu untuk mencuri pedang Kim kong kiam dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Kui Lian sudah mendengar dari suhunya tentang keluarga Song ini, keluarga yang menurut suhunya adalah keluarga paling gagah di kolong langit, ia sudah mendengar pula akan kelihaian kakek Song, dan mendengar suhunya memuji muji Kim kong kiam sebagai pedang pusaka yang luar biasa, Kui Lian tidak saja mentaati pesan suhunya untuk mencuri pedang itu agar bahaya ancaman pedang pada keluarga Song terhindar akan tetapi terutama sekali karena ia tertarik dan ingin memiliki pedang pusaka itu untuk dirinya sendiri.

   Dengan ilmu hoat sutnya, ia menyirep penghuni rumah itu, kemudian memasuki kamar kakek Song dan tertawa tawa bangga karena melihat seisi rumah tidak ada yang bergerak, tanda bahwa mereka semua telah berada di bawah pengaruh sihirnya. Ia melihat seorang kakek duduk bersila di pembaringan, memandang tajam dan tertawa lagi. Disambarnya dua batang lilin di atas meja dan dinyalakan dua lilin itu. Kini ada tiga batang lilin yang bernyala di situ sehingga keadaan d dalam kamar lebih terang lagi.

   Kui Lian menghampiri kakek Song, menatap wajah kakek yang oleh suhunya amat dipuji puji ini. Dengan sedikit pengetahuannya tentang tanda tanda di wajah orang, ia melihat pula akan tanda kematian di kening kakek Song itu.

   "Hi, hi, hi! Thian te Kiam ong Song Bun Sam Si Raja Pedang? Hanya seorang kakek yang sudah mendekati lubang kuburan? Hi, hi, hi!" Dengan bangga sekali karena ia berhasil membuat seorang pendekar besar seperti Than te Kiam ong tak berdaya oleh pengaruh hoat sutnya Kui Lian bersikap keterlaluan ia mengulurkan jari tetunjuk nya yang mungil untuk menyentuh jidat kakek Song yang licin itu, hanya untuk main main, dengan lagak centil dan genit sekali.

   Benar benar hebat perobahan yang terjadi pada diri Kui Lian setelah enam tahun belajar hoat sut dan bertapa di tepi Sungai Wei ho, yang memasuki dirinya sehingga gadis yang tadinya lemah dan halus itu kini berobah genit dan sombong.

   "Ayaa....!" Kui Lian melompat mundur ke belakang ketika ia merasa betapa jari telunjuknya seperti terbakar ketika menyentuh jidat setengah botak dari kakek Song itu. Akan tetapi ketika ia memandang, kakek itu tetap saja duduk tak bergerak seperti patung, ia lalu mencari cari dengan matanya, merasa tidak enak dan tidak berani lama lama berada di kamar orang sakti ini.

   Dilihatnya pedang Kim kong kiam tergantung di dinding dekat pembaringan. Ia menjadi girang dan cepat ia mengambil pedang itu, mencabut dari sarungnya dan melihat pedang dengan mata bersinar sinar.

   "Memang pedang pusaka yang hebat...." katanya. Tiba tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Siluman wanita jangan mencuri pedang!"

   Kui Lan kaget setengah mati. Tak pernah disangka sangkanya ada orang yang dapat menahan sihirnya. Akan tetap ketika ia memutar tubuh dan melihat bahwa yang berteriak itu hanya seorang bocah laki laki berusia lima tahun, ia tersenyum mengejek.

   Beng Han memang sejak tadi memperhatikan gerak gerik wanita itu. Gemas bukan main hatinya melihat wanita itu mengejek suhunya dan kemarahannya tak dapat dikekang lagi ketika melihat wanita itu mengambil Kim kong kiam, pedang pusaka suhunya.

   Melupakan bahaya, anak itu melompat dan menyerang Kui Lian dengan pukulan tangan kanan, sedangkan tangan kiri berusaha merampas pedang. Akan tetapi, tentu saja ia bukan lawan wanita itu. Sebuah tendangan membuat tubuh Beng Han terpental dan bergulingan ke tempatnya semula.

   Akan tetapi Beng Han bukanlah disebut bocah luar biasa kalau ia gentar dan kapok mengalami tendangan ini. Dengan amat sigap ia melompat kembali dan melihat wanita itu hendak pergi dari jendela membawa Kim kong kiam. Ia menubruk dari belakang dan memeluk kedua kaki wanita itu.

   "Siluman jangan lari," teriak bocah itu.

   Beng Han tidak merasa lagi betapa pipinya yang sebetah kiri tergurat ujung pedang Kim kong kiam yang berada di tangan kiri wantia itu. Darah mengucur membasahi pipi dan lehernya, namun ia tidak merasa dan tidak tahu.

   Di lain pihak, Kui Lian menjadi marah sekali. Dengan menggoyangkan tubuh, kembali ia membikin Beng Han terpental menubruk tembok. Ketika bocah itu dengan nekad kembali menubruk, ia menjadi mata gelap dan pedang Kim kong kiam ditusukkan, memapaki datangnya tubuh bocah yang tabah itu.

   "Mampus kau, tikus kecil...!"

   
Pada saat ujung pedang itu sudah hampir menyentuh kulit dada Beng Han, tiba tiba pedang itu terpental dan Kui Lian melompat ke belakang sambi berseru kaget. Ternyata yang menolong Beng Han adalah kakek Song yang dari tempat duduknya dapat menangkis pedang itu dengan pukulan jarak jauh mengandalkan lweekangnya yang hebat. Kini kakek Song ini sudah terjaga, sepasang matanya memandang wanita itu dengan tajam.

   Kui Lian marah bukan main melihat serangannya gagal, apalagi digagalkan dengan cara yang demikian mudahnya. Ia menerjang maju, menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah dadanya. Kakek Song sama sekali tidak mau mengelak, hanya tersenyum memandang seperti seorang tua memandang seorang anak nakal.

   Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati Kui Lian ketika ujung pedangaya menusuk dada, ia merasa tangannya tergetar dan ujung pedang itu sama sekali tidak dapat menembus atau melukai dada, seakan akan menusuk sebuah benda yang keras dan ulet, meleset dan terpental kembali. Di lain saat, tangan kakek Song bergerak dan pedang itu sudah terampas.

   Baru Kui Lian insyaf bahwa nama besar kakak ini bukan kosong belaka, bahwa pujian pujian gurunya bukan main main dan kakek Song ini memang benar benar seorang yang sakti sekali. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, ia seperti tanah melawan baja menghadapi kakek ini.

   Cepat melangkah mundur tiga tindak, sepasang matanya seperti dua buah bintang berkeredap memandang dengan sinar mata menyambar wajah kakek Song, bibirnya yang berbentuk indah itu berkemak kemik, sepuluh buah jari tangannya melakukan gerakan gerakan mistik, sinar matanya makin tajam.

   
"Perempuan siluman...." kakek Song berkata lirih, "kau siapakah dan apa kehendakmu?"

   Kui Lan hanya tertawa haha hihi, lalu berkata menantang,

   "Thian te Kiam ong, kau mengandalkan kepandaian untuk merebut pedang. Apa kau kira akupun tidak ada kepandaian?"

   Tiba tiba dalam pandangan kakek Song, wanita di depannya itu perlahan lahan berobah menjadi asap dan di lain saat sudah lenyap dari pandangannya! Dan tak lama kemudian, pedang di tangannya itu ditarik tarik oleh tangan yang tidak kelihatan! Akan tetapi, dengan pengerahan tenaga lweekangnya, tangan tidak kelihatan yang hendak merampas pedang itu tidak berhasil. Kemudian kakek Song merasa ada sambaran angin dari tangan yang memukulnya. Dia tersenyum saja karena sambaran ini baginya amat lemah. Benar saja, kepalan yang lunak menghantamnya beberapa kali di dada, leher dan mukanya.

   Beng Han sudah bangun kembali. Baru sekarang ia melihat darah mengalir dari pipinya yang tergurat pedang. Lukanya dalam juga hingga darahnya banyak. Akan tetapi tidak sempat memperhatikan diri sendiri karena melihat pemandangan yang amat aneh.

   Ilmu sihir yang dikerahkan oleh Kui Lian hanya mempengaruhi kakek Song sehingga dalam pandangan kakek itu, ia tidak kelihatan lagi. Akan tetapi Beng Han masih dapat melihatnya. Wanita itu tadi mengerahkan sihir dengan pengaruh matanya, dan karena matanya tadi hanya memandang kepada kakek Song dan tidak memandang kepada Beng Han, maka anak itu terluput dari pengaruh sihir.

   Dan Beng Han melihat hal aneh. Ia melihat betapa wanita itu melangkah maju, membetot betot dan menarik narik pedang Kim kong kiam, berusaha untuk merampasnya tanpa hasil. Kemudian ia melihat wanita itu marah marah dan nemukuli tubuh dan muka kakek Song, sedangkan gurunya hanya diam saja, bahkan seakan akan tidak melihat adanya wanita itu.

   "Siluman kurang ajar, jangan menghina guruku!"

   Beng Han berseru marah dan biarpun tubuhnya sudah sakit sakit karena beberapa kali terbanting, ia menyerbu dan memukul wanita itu dari belakang. Kui Lian marah, membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah kepala Beng Han. Akan tetapi, tiba tiba lengan tangan nya terasa sakit sekali bertemu dengan jari kakek Song! Biar pun matanya tak dapat melihat wanita itu, namun Thian te Kiam ong masih lihai untuk mendengar desir hawa pukulan mengancam kepala Beng Han, maka ia dapat menangkis dengan tepat sekali.

   "Siluman wanita, pergi kau dari sini! Kalau tidak, terpaksa aku akan memukul roboh padamu!" bentakan yang dikeluarkan oleh kakek Song ini disertai lweekang yang hebat sehingga Kui Lian merasa tergetar jantungnya.

   Merasa tidak berdaya menghadapi kakek sakti ini, ia lalu melarikan diri, melompat keluar dari jendela dan terus kabur di matam gelap!

   "Tak lama lagi setelah kau mampus, baru aku datang mengambil pedang itu," katanya perlahan menghibur kekecewaannya.

   Setelah Kui Lian pergi, kakek Song menarik napas dan segara mengobati pipi Beng Han yang terluka. Ia menjadi makin sayang kepada bocah ini yang sekarang telah membuktikan ketabahannya dan kesetiaannya.

   "Beng Han, aku mempunyai dugaan bahwa siluman wanita tadi tentu ada hubungannya dengan Koai Thian Cu "

   
"Akan tetapi kong kong tidak jahat, suhu. Wanita tadi jahat sekali."

   Song Bun Sam menghela napas "Mungkin juga dugaanku keliru. Beng Han, andaikata.... ini andaikata saja, kelak ternyata olehmu bahwa Koai Thian Cu yang kau anggap sebagai kong kongmu sendiri itu benar seorang jahat yang bermaksud menipuku dan menyuruh orangnya mencuri pedang pusakaku, apa yang akan kaulakukan?"

   Anak kecil itu mengerutkan keningnya, kemudian berkata,

   "Kalau benar demikian, maka hal itu luar biasa anehnya, suhu. Kong kong sering kali memberi nasihat nasihat baik kepada teecu dan dalam mengajar teecu membaca telah menyuruh teecu menghafal isi kitab kitab Su si Ngo keng. Akan tetapi, apabila ternyata kong kong jahat seperti yang suhu khawatirkan itu, biarpun dia itu teecu anggap sebagai kong kong sendiri, akan teeeu lawan. Siapapun orangnya, kalau jahat, pasti teeeu akan berusaha membasminya. Akan tetapi mudah mudahan tidak demikian, karena kalau teecu sampai bermusuh dengan dia, teecu akan merasa berduka dan sengsara. Dia seorang baik, suhu."

   Girang sekali hati Thian te Kiam ong mendengar ini Ah, pikirnya, tidak salah aku menerima anak ini sebagai murid.

   "Beng Han," katanya lirih, "ingatlah baik baik, aku hendak memesan sesuatu yang amat penting kepadamu. Akan tetapi kau harus berjanji dulu akan menyimpan rahasia ini baik baik dan tidak akan memberitahukan kepada lain orang."

   Beng Han berlutut di depan pembaringan gurunya dan suaranya terdengar sungguh sungguh ketika ia berkata, "Teecu bersumpah akan menjunjung tinggi pesan suhu dan kalau teecu melanggarnya, biarlah teecu binasa di bawah ujung Kim kong kiam!"

   "BAGUS! Tepat sekali sumpahmu ini, karena memang pesanku ini terutama sekali mengenai Kim kong kiam. Kau tahu, pedang ini sesungguhnya bukanlah Kim kong kiam yang aseli, ini hanya tiruan. Adapun pedangku yang aseli bersama kitab Kim kong Kiam sut yang kutulis, sengaja kusembunyikan di puncak menara Kim Hud tah di Gunung Kui san. Kelak, apabila kau benar benar memerlukan dua benda itu, kaulah orangnya yang kubolehkan mewarisinya, dan kau akan dapat mengambilnya dengan mempelihatkan s uratku ini."

   Sambil berkata demikian, kakek Song menyerahkan sebuah surat yang memang sudah dibuatnya sebelumnya. Surat itu menerangkan bahwa pembawanya boleh mengambil dua benda yang ia simpan di tempat itu.

   Beng Han menerima surat bersampul itu sambil bercucuran air mata.

   "Eh, mengapa kau menangis?"

   "Suhu, mengapakah teecu yang suhu warisi semua ini? Apakah kelak tidak akan menimbulkan kemara han dari pihak keturunan suhu sendiri? Kim kong kiam adalah pedang pusaka keluarga Song, demikian pula ilmu silat pedang dari suhu adalah ilmu silat keturunan, bagaimana justeru teecu seorang luar yang suhu percaya?"

   Diam diam kakek Song makin kagum kepada muridnya ini dan hatinya makin mantap.

   "Bukan karena aku benci kepada anak cucuku, Beng Han. Sama sekali bukan Bahkan, terus terang saja, aku sengaja melakukan ini untuk.... kalau dapat, menolong dan menjaga keselamatan mereka. Sudahlah, kau tak perlu banyak bertanya dan penuhi saja pesanku. Andaikata kau betul betul telah memerlukan dua benda tersebut dan ingin mewarisinya, kau naiklah ke Kim Hud tah (Menara Bhuddha Emas) dan jangan kau turun kembali sebelum kau mempelajari ilmu pedang itu sampai sempurna betul. Kalau kau mengambil begitu saja dan membawa turun, kau akan celaka."

   Beng Han mencatat dalam otaknya segala pesan suhunya ini dan menyatakan kesanggupannya untuk mentaati semua perintah kakek Song.
Hampir sebulan kemudian, dengan amat tiba tiba, penyakit yang diderita oleh kakek Song kambuh kembali secara hebat! Napasnya menjadi sesak, kepala berat, tubuh lemas dan kedua kaki lumpuh!

   Melihat hal ini, orang seisi rumah kaget sekali dan air mata mulai bercucuran. Akan tetapi kakek Song sendiri tersenyum.

   "Beng Han, kong kongmu itu memang orang luar biasa pandainya," katanya teringat akan ramalan Koai Thian Cu. Semenjak tukang gwamia itu datang, dua bulan hanya kurang tiga hari lagi! Tinggal tiga harikah usianya?

   Thian te Kiam ong Song Bun Sam mengumpulkan anak cucunya. Di dalam kamarnya yang besar itu penuh dengan orang, semua memperlihatkan wajah muram dan berduka, kecuali si sakit sendiri! Di situ berkumpul Song Tek Hong dan isterinya, Ong Siang Cu serta puteri mereka, Song Bi Hui. Juga Song Siauw Yang dan suaminya Liem Pun Hui serta putera mereka, Liem Kong Hwat hadir. Tadinya Beng Han hendak meninggalkan kamar demi kesopanan tanpa diminta oleh siapa pun sehingga Tek Hong menjadi kagum dan memandangnya dengan terima kasih, akan tetapi kakek Song menahannya.

   "Beng Han, kau juga muridku. Guru dan orang tua sederajat, murid dan anak juga setingkat. Maka kau tinggal saja disini mendengarkan pesan pesanku agar ketak kalau anak cucuku ada yang lupa, kau
(Lanjut ke Jilid 54)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 54
dapat mengingatkan mereka." Kakek Song berhenti sebentar untuk mengatur napasnya yang amat sukar keluarnya.

   "Tek Hong, kau kelak yang mewakili aku mengawasi dan menjaga ketenteraman semua keluarga kita. Kau tahu bahwa dahulu aku telah banyak menanam permusuhan dengan orang orang kalangan hitam (penjahat). Tentu di antara mereka dan keturunan mereka banyak yang mendendam sakit hati. Oleh karena itu, kau dan semua kekeluarga harus selalu waspada dan hati hati. Ketahuilah bahwa Kim kong kiam juga selalu diincar incar orang, oleh karena itu, aku minta supaya pedang Kim kong kiam ini disimpan saja di Liok can, di rumah Siauw Yang,"

   Kembali ia mengatur napas dan semua yang mendengarkan menjadi makin berduka.

   "Aku tahu, ilmu kepandaian dari mantuku Siang Cu amat lihai. Alangkah baiknya kalau kalian mengadakan tukar menukar kepandaian sehingga kepandaian Bi Hui dan Kong Gwat bertambah, sungguhpun semacam saja kalau dipelajari dengan sempurna akan mengalahkan seratus macam yang tidak dipelajari secara baik. Sayang.... sayang aku tak dapat menyaksikan cucu cucuku menikah...."

   Kata kata ini memancing isak tangis dari Siauw Yang, Siang Cu, dan Bi Hui.

   "Jangan menangis, manusia mana yang tidak akan mati? Kiranya aku masih akan dapat tahan kalau dua tiga hari lagi. Bahkan lucunya.... kalau sampai empat hari aku tidak mati, berarti aku akan hidup beberapa tahun lagi! Ha, ha, ia!"

   Semua orang yang tidak tahu akan ramalan Koai Thian Cu, mendengar kata kata ini menjadi bengong dan mengira bahwa kakek Song telah bicara kacau karena sakitnya.

   "Tek Hong, muridku Beng Han ini jangan kau sia sia. Kau pelihara dia baik baik, kau beri pelajaran ilmu silat sebaik baiknya, kau mewakili aku mengajarnya. Kelak ia akan berguna sekali untuk keluarga Song. Kalau dia ingin belajar sastera, biar dia belajar dari mantuku Pun Hui. Dia anak yatim piatu, tak boleh disia sia, harus ditolong. Amat tidak baik menghina seorang anak yatim piatu."

   Beng Han menggigit bibirnya untuk menahan isak tangisnya Hanya sepasang matanya saja tak dapat menahan dan air mata turun bercucuran di sepanjang pipinya, melalui luka di pipi kiri yang masih membekas karena ujung pedang yang dipegang oleh Kui Lian dahulu.

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah banyak banyak memesan kepada semua anak cucunya, kakek Song tertidur saking lelahnya. Anak cucunya menjaga secara bergiliran, akan tetapi Beng Han tak mau meninggalkan lantai di depan pembaringan suhunya.

   Biarpun beberapa kali Tek Hong menyuruh ia mengaso, ia menyatakan tidak lelah dan ingin menjaga terus suhunya sehingga Tek Hong menjadi terharu melihat kebaktian anak ini dan menyetujui permintaannya.

   Kita tinggalkan dulu keluarga Song yang sedang prihatin dan diliputi suasana muram karena kakek Song menderita sakit itu dan marilah kita mengikuti perjalanan Kui Lian.

   Biarpun ilmu silatnya tidak berapa tinggi, namun dengan bekal ilmu hoat sut yang ia pelajari secara mendalam sehingga ia memiliki kepandaian luar biasa dalam ilmu ini, Kui Lian menjadi amat tabah.

   Di bagian depan sudah diceritakan betapa ia sampai berani menyerbu ke rumah keluarga Song yang terkenal sebagai sarang naga dan harimau. Akan tetapi, biarpun ia dapat menghilang di depan mata Thian ie Kiam ong Song Bun Sam, namun ia dibikin tidak berdaya oleh kakek sakti itu.

   Terpaksa ia pergi dengan tangan kosong mengambil putusan untuk kelak datang mencuri pedang kalau kakek itu sudah mati. Dengan sedikit ilmu melihat tanda tanda di muka orang, ia telah melihat tanda kematian yang sudah dekat dari kakek Song, maka terhiburlah hatinya.

   Kini Kui Lian menujukan tindakan kakinya ke Soa couw, tempat yang selama ini selalu muncul di dalam alam mimpinya, untuk melakukan idam idamannya yang telah lama ia tahan di hati selama beberapa tahun. Ke Soa couw, ke rumah keluarga Thio. Membalas dendam, menagih perhitungan lama. Dengan senyum manis akan tetapi menyeramkan dan sinar matanya membayangkan kekejian, Kui Lian melakukan perjalanan itu dan kalau membayangkan betapa ia akan melakukan pembalasan dendam, ia tertawa bergelak gelak, ketawa yang nyaring dan merdu, akan tetapi mengandung suara seperti bukan suara manusia lagi.

   Kui Lian sengaja memilih hari menjelang tahun baru untuk mendatangi Soa couw. Ia sengaja menanti di luar kota sampai lima hari agar dapat memasuki kota itu tepat di hari malaman Sinchia. Ia sengaja melakukan hal ini untuk memperingati pengalamannya yang luar biasa sengsaranya di malaman Sinchia enam tahun yang lalu.

   Kota Soa couw masih sama dengan dulu. Cara penduduknya merayakan malaman Sinchia, masih tidak berubah, sama benar dengan dulu dulu. Rumah rumah dihias indah dicat baru. Orang orang hilir mudik dengan wajah gembira.

   Di mana mana terdengar orang orang merayakan hari raya itu, tetabuan dibunyikan, mercon mercon membikin bising dan gembira. Semua masih sama dengan enam tahun yang lalu. Akan tetapi, alangkah bedanya Kui Lun sekarang dengan Kui Lian enam tahun yang talu. Enam tahun yang lalu, Kui Lian diseret seret keluar kota, mengalami penghinaan sebesarnya, diusir di tengah malam dan menangis sampai matanya hampir berdarah. Kui Lian enam tahun yang lalu meninggalkan kota Soa couw dengan perasaan perih dan hati remuk redam.

   Akan tetapi Kui Lian sekarang memasuki Soa couw dengan senyum manis di bibir, mata bercaha ya cahaya penuh kegembiraan hendak tercapai cita cita membalas dendam, menebus sakit hati enam tahun yang lalu.

   Di sepanjang jalan, ketika pada senja hari Kui Lian memasuki kota Soa couw, orang orang memberi hormat dan menyapanya dengan manis budi dan ramah. Siapa yang tak senang melihat seorang wanita muda cantik jelita yang melihat pakaiannya dan kebutan di tangannya tak salah lagi tentu seorang tokouw (pendeta wanita)? Terutama para pemudanya.

   Biarpun mulut mereka tentu saja tidak berani kurang ajar terhadap seorang tokouw namun sinar mata mereka lebih kurang ajar dari pada andaikata, mereka berani bicara tak pantas. Memang Kui Lian manis dan cantik, lebih manis dari dulu, lebih cantik. Kerling mata dan senyum bibirnya manis dan matang, pendeknya memenuhi selera setiap laki laki yang memandangnya.

   Tak seorangpun yang akan dapat mengenal tokouw ini sebagai Kui Lian yang dahulu.

   Dulu usianya baru enambelas tahun ketika ia terusir, biarpun ia telah mengandung, namun sebenarnya dia masih kanak kanak. Sekarang usianya sudah duapuluh tahun lebih, tubuhnya lebih berisi, sifat kekanak kanakan pada muka dan tubunya sudah lenyap, terganti sifat wanita sepenuhnya.

   Di depan gedung keluarga Thio ia berhenti.

   Biarpun ia terlatih, tetap saja dadanya berdebar keras dan darahnya berdenyar kencang ketika ia melihat rumah gedung ini. Indah dan dihias seperti dahulu pula. Teringat ia betapa dahulu sebelum dijatuhi fitnah dan hukum, beberapa hari di muka ia ikut pula menghias ruangan depan, ikut pula bergembira ria menyambut datangnya Sinchia yang hampir tiba.

   Sampai lama ia berdiri saja di depan pintu pekarangan depan, matanya tak pernah berkedip, seakan akan hendak menembus rumah itu, dan kadang kadang mata itu bercahaya seperti hendak membakar rumah gedung beserta sekalian isinya.

   "Suthai hendak mencari siapakah?" teguran tiba tiba ini membuat Kui Lian sadar dari lamunannya. Ia cepat tersenyum manis dan ramah kepada seorang laki laki yang berpakaian seperti pelayan itu. Saking dalamnya ia melamun tadi, sampai ia tidak melihat munculnya pelayan ini.

   "Eh, pinto ingin sekali bertemu dengan tuan rumah. Ada urusan yang amat penting sekali. Sukakah kau memberi tahu kepada majikanmu bahwa seorang tokouw dari kuil Cai im tang di luar kota mohon bertemu?"

   Pelayan baru yang tidak di kenal oleh Kui Lian. Dia ini seorang mata keranjang yang segera tertarik sekali oleh tokouw yang muda dan cantik manis ini. Maka mendengar permintaan Kui Lian yang diucapkan dengan suara halus dan ramah, timbul kekurangajarannya untuk mengganggu.

   Memang pada masa itu, bukan jarang terdapat pendeta pendeta laki laki atau wanita yang berlaku nyeleweng, menggunakan pakaian pendeta hanya untuk kedok saja, maka banyak orang yang memandang rendah dan berani menggoda para tokouw atau nikouw.

   Pelayan itupun timbul kekurangajarannya melihat seorang tokouw muda yang cantik, apalagi ia yang telah pengalaman dalam hal ini melihat senyum dan kerling mata yang genit itu.

   "Suthai yang baik. Pada saat seperti ini, loya dan keluarganya tak boleh diganggu. Kalau suthai hendak ikut berpesta gembira, marilah bergembira dan berpesta dengan aku saja. Aku baru mendapat hadiah sepuluh tael dari majikanku," ia menepuk sakunya di mana terdapat uang hadiah itu.

   
Kui Lian mendongkol. Digerakkannya hud tim di tangannya, menuding muka pelayan itu dan katanya ketus.

   "Orang macam engkau ini mana punya uang?" Pelayan itu merogoh sakunya dan... uang sepuluh tael perak yang ia baru saja dapat dari Thio loya, benar benar telah lenyap!

   Selagi ia melongo dan pucat, Kui Lian berkata,

   "Hayo sampaikan pesanku tadi kepada majikanmu!"

   Pelayan itu tiba tiba nampak kaku dan bagaikan sebuah boneka yang dapat berjalan, ia memutar tubuh dan masuk ke dalam rumah ia telah bergerak bukan karena kehendak sendiri, akan tetapi seluruh kemauannya telah dikuasai oleh pengaruh sihir dari Kui Lian!

   Pelayan itu langsung memasuki ruangan dalam di mana Thio Kin sedang makan minum dilayani oleh selir selirnya. Nyonya Thio duduk menemani suaminya. Semua orang memandang pelayan ini dengan heran, dan Thio Kin memandang marah. Akan tetapi pelayan yang masuk bukan atas kehendaknya sendiri dan dalam keadaan tidak sadar itu, tidak perduli, terus saja melangkah maju menghadapi Thio Kin dan berkata tantang,

   "Loya, diluar ada seorang tokouw dari kuil Cui im tang hendak bertemu dengan loya untuk urusan yang sangat penting." Baru saja kata kata ini habis dikeluarkan, iapun terguling dan roboh dalam keadaan pingsan, kaku!

   Thio Kin terkejut melihat kejadian ini dan menjadi curiga. Dipanggilnya para pengawalnya yang tetap saja menjaga di malaman tahun baru itu, di ruang belakang sedang minum minum dan main judi. Lima orang pengawal berlari datang kemudian mengikuti rombongan Thio loya yang menuju ke luar untuk melihat tokouw siapakah yang datang itu.
Ketika Thio Kin dan semua orang tiba di luar, mereka tertegun. Apalagi Thio Kin, begitu melihat tokouw itu, melihat matanya seperti tertarik oleh sesuatu yang luar biasa. Di dalam pandang matanya, tokouw itu manis dan cantik sekali, dan selalu bermain mata dengan kerling memikat disertai senyum menantang yang manis sekali.

   "Suthai hendak bertemu dengan siapakah? Dan ada keperluan apa?" tanya thio Kin.

   Dengan sikap agung dan suara keren Kui Lian berkata,

   "Ketika tadi aku lewat di depan, aku melihat hawa siluman di atas rumah ini maka aku menjadi kasihan kepada penghuni rumah dan hendak mengusir setan."

   Semua orang kaget, akan tetapi Thio Kin dapat melenyapkan rasa kagetnya dan bertanya, "Suthai, apakah tandanya bahwa di dalam rumah ada siluman?"

   Kui Lian menunjuk dengan kebutannya ke atas rumah dan berkata, "Kalian lihatlah, di atas rumah itu ada uap kehitaman seperti mega, itulah hawa siluman!"

   Thio Kin dan semua orang memandang ke atas dan.... betul saja, mereka melihat uap hitam mengebul tebal di atas wuwungan rumah!

   "Celaka...." Thio Kin mengeluh dan cepat ia menjura kepada pendeta wanita yang catik lagi muda itu sambil berkata, "Mohon pertolongan suthai.... tolonglah nyawa kami sekeluarga."

   Suaranya menggigil ketakutan, sedangkan para selir sudah sejak tadi saling peluk dengan tubuh menggigil. Hanya Thio hujin yang agak bersikap tenang. Ia memandang tajam kepada tokouw muda ini, sama sekali tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Kui Lian bekas pelayan pribadinya.
"Suthai, tadinya tidak terjadi sesuatu, tidak ada apa apa yang buruk di rumah kami. Mengapa sekarang tiba tiba ada siluman? Dan mengapa pelayan kami tadi begitu melapor tentang kedatanganmu lalu roboh pingsan?" Nyonya ini berkata sambil memandang tajam kepada wajah cantik yang serasa pernah dikenalnya ini.

   "Toanio, memang siluman itu baru saja datang. Agaknya sengaja datang di waktu malaman Sinchia, entah mengapa harus kuselidiki lebih dahulu. Adapun pelayan yang pingsan, tentu telah terkena gangguan siluman itu, aku sanggup untuk menyembuhkannya setelah aku memeriksa orangnya."

   Mendengar ini Thio Kin lalu mengajak tokouw itu masuk ke dalam rumah sambil tiada hentinya menyatakan pengharapannya agar tokouw itu cepat cepat mengusir siluman itu dari rumahnya. Pelayan yang pingsan kaku itu masih dalam keadaan seperti tadi, tak dapat siuman kembali biarpun banyak kawannya sudah berusaha membetot betot urat urat tubuhnya dan mengguyur kepalanya dengan air dingin.

   Tokouw itu berdiri dan memandang kepada pelayan itu. Lalu katanya, "Dia betul terganggu siluman yang berada di atas rumah. Ambil kotoran manusia dan jejalkan ke dalam mulutnya. Hanya itulah obatnya, dia akan sembuh kembali."

   Biarpun terheran heran akan "obat" aneh ini, Thio Kin menyuruh pelayan pelayannya untuk mentaati perintah tokouw itu. Kasihan sekali pelayan tadi, karena kelancangan mulutnya terhadap Kui Lian sekarang terpaksa merasa dijejali kotoran mulutnya!

   Akan tetapi benar saja, setelah mulut pelayan yang pingsan kaku itu dipaksa terbuka dan dijejali kotoran manusia, ia siuman kembaii sambil mengeluh, kemudan muntah muntah dan lari ke kamar mandi untuk membersihkan mulutnya! Semua orang, biarpun ketakutan dan merasa ngeri, mau tak mau tertawa melihat hal lucu ini.

   "Kuharap semua penghuni rumah ini berkumpul agar menyaksikan aku menangkap siluman. Harus lengkap semua keluarga dan pelayan, tidak boleh ada yang ketinggalan serorangpun. Terutama sekali tuan dan nyonya rumah bersama anak anak mereka." Tentu saja Kui Lian mengharapkan munculnya Thio Sui yang sejak tadi tidak kelihatan di situ.

   "Semua sudah berkumpul," kata Thio Kin, "kecuali anak kami Thio Sui yang berada di kota raja untuk menghormat calon mertuanya di sana."

   "Dan tiga orang pelayan yang pulang ke kampung menjelang tahun baru," sambung Thio hujin.

   Tokouw muda itu mengeratkan alisnya yang hitam panjang dan melengkung. "Bagi tiga orang pelayan masih tidak apa, akan tetapi kongcu harus dibersihkan dari hawa siluman. Biarlah, tidak apa, asal saja aku diberi tahu di mana ia tinggal di kota raja, aku dapat mengusir hawa siluman yang mengikutinya itu dari jauh."

   "Calon mertuanya adalah seorang pembesar berpangkat siupi she Ma. Di kota raja semua orang mengenal Ma siupi, dan putera kami setelah lulus dalam ujian dan menjadi tiong goan akan melangsungkan pernikahannya di sana dua bulan lagi."

   Kui Lian mengangguk angguk. "Cukuplah, aku dapat mengurusnya dari jauh." Kemudian ia menyuruh semua orang diam dan berkatalah dia, dengan suara amat berpengaruh sehingga semua mata memandangnya, penuh perhatian, "Semua orang lihatlah kepadaku!" Ia lalu berjalan mundar mandir di dalam ruangan tengah itu, semua mata mengikut gerak geriknya tanpa berkedip. Kemudlan tokouw itu duduk bersila di atas lantai, di tengah tengah ruangan, mulutnya berkemak kemik, tiba tiba ia berkata lantang, "Siluman sudah datang....!"

   Semua orang, termasuk Thio Kin dan lima orang pengawalnya yang biasanya tabah dan sombong, menjadi gemetar dan para wanita hampir pingsan ketika tiba tiba mereka melihat uap hitam bergulung gulung dari atas turun ke bawah dan berputar putar di depan Kui Lian!

   Semua tak berani bergerak dan memandang kepada Kui Lian yang menggerak gerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara, seperti sedang bercakap cakap dengan "siluman" berupa uap hitam bergulung gulung di depannya itu. Tak lama kemudian uap hitam menghilang. Semua orang merasa lega hatinya, dan tokouw itu berkata.

   "Siluman sudah takluk kepadaku dan bersedia untuk meninggalkan rumah ini. Dia itu adalah roh dari seorang pelayan wanita yang dulu diusir dan sini dalam keadaan mengandung."
"Kui Lian....!" terdengar Thio hujin mengeluh.

   Biarpnn sengaja mempermainkan mereka, namun hatinya berdebar ketika mendengar bekas nyonya majikannya itu menyebut namanya.

   "Apakah dia dulu pernah menerima penghinaan dari rumah ini?" tanyanya.

   Thio Kin hanya menundukkan mukanya, dan Thio hujin yang menjawah lemah, "Ya, ya.... mungkin dia sakit hati..... "

   "Habis dia mencemarkan nama baik keluarga kami," tiba tiba Thio Kin membela nama keluarganya dan sama sekali sidak melihat betapa tokouw itu memandangnya dengan mata tajam menusuk.

   Kui Lian mengangguk angguk, lalu berkata lagi,

   "Tentu saja roh nya ingin membalas dendam kepada orang orang yang pernah mengganggunya dahulu. Oleh karena itu, penghuni rumah ini yang pernah merasa menjadi musuhnya, yang pernah secara diam diam membencinya, dan merasa senang atas kesengsaraannya dahulu, supaya sekarang berkumpul di sini untuk dibersihkan dan dimintakan maaf. Yang lain lain yang tak pernah mengenalnya, atau yang dulu ada hubungan baik dengan dia, tak usah khawatir, dia takkan mengganggunya dan boleh meninggalkan ruangan ini. Hanya mereka yang pernah membencinya, baik berterang maupun secara diam diam, diharuskan berkumpul di sini bersama loya dan hujin."

   Para pelayan itu memang tentu saja ada yang dulu bergirang melihat nasib buruk Kui Lian, yaitu mereka yang iri hati melihat Kui Lian disayang oleh majikan majikannya, apalagi melihat Kui Lian dikasihi oleh Thio kongcu. Mereka yang pernah merasa benci kepada Kui Lian, tentu ingin sekali dirinya "dibersihkan" dan dibebaskan dari pengaruh dendam siluman itu. Pada masa itu, tidak ada orang yang tidak percaya akan adanya siluman siluman dan dewata dewata, maka tentu saja bagi Kui Lian yang memiliki kepandaian hoat sut yang tinggi, mudah saja melakukan peranannya.

   Setelah semua orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan Kui Lian meninggalkan ruangan itu, di situ yang tinggal hanya Thio Kin, Thio hujin, dua orang selir dan tiga orang pelayan wanita. Dua orang selir itu diam diam membenci Kui Lian karena gadis itu menjadi kekasih Thio kocgcu yang secara rahasia mengadakan perhubungan dengan mereka pula. Adapun tiga orang pelayan itu, membenci Kui Lian karena pelayan baru itu dijadikan kepercayaan dan menjadi pelayan pribadi Thio hujin.

   Setelah melihat orang orang yang menjadi musuhnya berkumpul di depannya, tiba tiba tokouw itu tertawa, dengan suara ketawanya yang menyeramkan bulu tengkuk. Kemudian ia membuka tutup kepalanya dan membiarkan rambutnya terurai. Rambut yang panjang dan hitam itu berombak ombak menutupi pundak dan punggungnya, sebagian ke depan menutupi dadanya yang berombak karena kemarahannya timbul menghadapi musuh musuhnya ini.

   Dalam pandangan wanita wanita di situ, ia kelihatan mengerikan dan menakutkan. Akan tetapi dalam pandangan Thio Kin yang biarpun sudah tua tetap masih mata keranjang itu. Ia kelihatan begitu cantik menarik sehingga mata si bandot tua ini melongo menatapi wajah dan rambutnya! Tetap saja tak seorang di antara mereka yang mengenalnya, biarpun kini mereka merasa seperti pernah ketemu dengan tokouw pengusir siluman ini Kemudian, terdengarlah suara Kui Lian, suara yang nyaring menusuk, diiringi pandang mata bersinar sinar penuh kekejaman, dan senyum menyeringai setengah mengejek.

   "Benar benarkah kalian tidak mengenal aku lagi....? Thio loya hujin, dan yang lain lain? Apakah mata kalian sudah buta semua dan tidak mengenal aku, orang yang dulu kalian hina dan kalian tertawakan? Ha, ha, ha, tidak hanya perasaan dan hati kalian yang buta, juga mata kalian sudah hampir buta! Lihat baik baik, loya. Lihatan baik baik dengan matamu yang berminyak itu. Ha, ha, kambing tua tak tahu malu. Dan juga, hujin, kau yang bermuka palsu, pura pura berbudi mulia akan tetapi curang. Kalian berdua tidak memperbaiki perbuatan putera kalian, malahan menyalahkan kepada pelayan yang sudah ditimpa kemalangan!"

   "Kui Lian.... kau.... kau Kui Lian....!"

   Kini Thio hujin yang mengenalnya, dan mendengar ini, semua orang terbuka matanya. Para selir kaget, juga para pelayan dan mereka hendak buru buru angkat kaki dari tempat itu.

   "Berhenti! Kalian tak dapat bergerak! Semua tak kuasa berkutik dan tidak bisa berteriak!"

   Kedua lengan Kui Lian diangkat, jari jari tangannya dikembangkan, sepasang matanya memancar kan pengaruh yang dahyat dan.... tujuh orang itu benar benar tak dapat bergerak! Thio Kin yang ingin berteriak rnemanggil pengawal pengawalnya juga tak dapat mangeluarkan suara. Mereka semua telah jatuh ke dalam pengaruh ilmu sihir yang memancar keluar dari sepuluh jari tangan yang dikembangkan dan dari pandang mata yang mengerikan itu.

   Dahulunya Kui Lian bukan searang yang berhati kejam. Dia seorang gadis temah lembut yang baik hati. Akan tetapi, iblis memang tidak berjauhan dengan manusia. Sedikit saja mendapat kesempa tan, iblis akan menempatkan diri dalam hati manusia. Kesempatan ini terbuka ketika Kui Lian merasa dibikin sakti hati, ketika gadis itu menaruh dendam kepada orang orang yang membikin dia sengsara. Dendam ini menimbulkan sifat sifat kejam padanya, ingin ia melihat musuh musuhnya tersiksa, menderita seperti dia dahulu, bahkan lebih lagi.

   Kui Lian menghadapi Thio Kin dan isterinya. "Kalian yang menjadi biang keladi kesengsaraan dan penderitaanku, kalian tak berhak hidup lebih tama lagi. Thio Kin, kau dan isterimu tak boleh menyaksikan pernikahan anak kalian. Berdoalah minta ampun kepada nenek moyangmu!"

   Setelah berkata demikian, kebutan di tangan Kui Lian menyambar mengenai kepala bagaian belakang dari Thio hujin. Hud tim itu menotok jalan darah di belakang kepala dan Thio hujin roboh tak berkutik iagi. Nyawanya melayang tanpa ia sempat mengeluarkan suara.

   Thio Kin ketakutan, mukanya pucat, matanya terbelalak dan keringat dingin memenuhi mukanya. Ia ingin minta ampun, ingin berlutut, ingin pula melawan dan memanggil pengawalnya, akan tetapi ia tidak dapat bergerak, tak dapat berteriak, hanya dapat memandang Kui Lian dengan mata melotot. Kemudian datanglah hud tim itu menyambar leher dan dadanya dua kali.

   Thio Kin terguling dari kursinya dan dalam keadaan hampir mati terlepaslah ia dari pengaruh sihir, ia menjerit ngeri dan panjang lalu tubuhnya berkelojotan! Kui Lian tertawa bergelak gelak dan air matanya mengucur keluar dari sepasang mata yang sudah kelihatan merah menyeramkan itu "Hi, hi. hi, hi, mampus kau! Mampus kau!" teriaknya dengan suara parau seperti bukan suaranya sendiri.

   Dapat dibayangkan betapa takutnya dua orang selir dan tiga orang pelayan itu. Boleh dibilang semangat mereka sudah setengahnya terbang keluar meninggalkan badan saking takut mereka menghadapi peristiwa mengerikan ini, tanpa dapat bergerak atau berteriak.

   Tentu saja jerit yang dikeluarkan oleh Thio Kin dan suara ketawa dari Kui Lian ini terdengar oleh mereka yang berada di luar ruangan itu. Akan tetapi karena mereka ini menduga bahwa di dalam sedang terjadi hal hal yang menyeramkan untuk mengalahkan siluman, hal ini bahkan membikin mereka seram dan takut.

   Para wanita bahkan sudah lari menjauhkan diri, dan hanya lima orang pengawai itu saja yang berani mendekat dengan golok dicabut. Akan tetapi merekapun tidak berani melongok ke dalam, takut kalau kalau siluman akan mencabut nyawa mereka.

   Sementara itu, di dalam ruangan itu Kui Lian menghadapi dua orang selir yang memandang nya dengan muka tak berdarah.

   "Kalian benci kepadaku, ya? Kalian anjing anjing betina yang tak tahu malu, kalian membenci padaku karena menganggap aku merampas kekasih kalian, Thio Sui. Anjing betina yang bermain gila dengan anak tiri sendiri, kalian tidak tahu malu dan semenjak sekarang, kalian akan kehabisan rasa malu. Seperti anjing anjing rendah kalian takkan malu melakukan apapun juga!"

   Dua kali hud tim itu berkelebat dan ujungnya mencambuk kening dua orang selir itu. Tiba tiba mereka berdua itu menjambak jambak rambut sendiri, merasa kepala mereka sakit sakit dan gatal gatal hingga saking tidak tahan lagi, keduanya sampai merenggut pakaian mereka terlepas, bergulingan sambil menangis.

   Kui Lian tertawa lagi dengan buas, lalu menghadapi tiga orang pelayan perempuan yang menjadi makin ketakutan melihat semua itu.

   "Kalian bertiga juga membenci aku? Hmm, benar benar tak punya otak, sama sama pelayan membenci. Daripada punya sedikit otak tak mampu mempergunakannya, lebih baik sama sekali tak punya otak. Kau tidak akan ingat apa apa lagi selama hidupmu! "

   Kembali hud tim itu bergerak gerak memecut kepala tiga orang wanita pelayan itu dan di lain saat tiga orang pelayan ini sudah kehilangan ingatan mereka. Ketika Kui Lian tertawa bergelak, tiga orang wanita ini ikut pula tertawa terkekeh kekeh sehingga suara yang terdengar dari dalam ruangan itu besar benar menegakkan bulu tengkuk.

   Lima orang pengawal menjadi kaget dan heran sekali. Dengan memberanikan diri mereka menyerbu masuk karena mendapat firasat yang tidak enak. Alangkah kagetnya ketika mereka berlima melihat keadaan di dalam ruangan itu.

   Thio loya dan isterinya menggeletak tak bernyawa lagi di atas lantai, dua orang selir dengan telanjang bulat bergulingan di atas lantai sambil menangis dan tiga orang pelayan berjingkrak jingkrak tertawa tawa dengan mata terputar putar.

   Sedangkan tokouw yang katanya hendak mengusir siluman, berdiri di sudut dengan senyum mengejek. Hud timnya digerak gerakkan secara rahasia untuk menambah pengaruhnya membikin gila lima orang wanita itu!

   Ketika seorang di antara para pengawal membungkuk dan memeriksa keadaan Thio Kin dan tahu bahwa majikannya telah tewas, bukan main marahnya.

   "Tokouw siluman, apa yang telah kau lakukan?" Bentaknya dengan golok siap di tangan. Kawan kawannya juga siap menghadapi Kui Lian.

   Tokouw muda yang rambutnya riap riapan itu tersenyum manis sekali, lalu melangkah maju menghampiri mereka.

   "Aku bunuh mereka, dan bikin gila lima anjing ini. Kalian mau bunuh aku? Mari, silahkan. Bunuhlah, hi hi hi." Kui Lian melenggang maju dengan langkah dan gaya memikat, sepasang matanya memandang tajam, bibirnya tersenyum manis dan kedua tangannya membuka rambut yang menutupi lehernya, memperlihatkan kulit lehernya yang halus dan putih.

   Sikapnya menantang sekali.

   Di dalam gerakan gerakan ini tersembunyi tenaga yang luar biasa dari ilmu hoat sut sehingga lima orang itu hanya berdiri melongo, golok mereka yang terpegang tergantung ke bawah dan mereka menjadi lemas.

   Dalam pandangan mata mereka, Kui Lian demikian cantik dan jelitanya sehingga mereda tak kuasa menggerakkan tangan, apalagi menggunakan golok membacok leher yang halus putih itu!
Sambil masih mengerling dan tersenyum senyum, Kui Lian berjalan melalui mereka, keluar dari ruangan menuju ke depan.

   Lima orang pengawal itu teringat bahwa majikan mereka telah tewas, maka berkatalah seorang yang tertua, "Kita harus tangkap dia! Dia pembunuh!"

   Serentak mereka mengejar dan mengurang Kui Lian. Kui Lian mengangkat kedua tangannya ke depan sambil menatap mata mereka dan lenyaplah dia dari kepungan.

   "Aku di sini, kalian hendak menangkap akukah?" tiba tiba mereka mendengar suara dan ternyata wanita itu telah berdiri di sudut, di luar kepungan sambil berjalan tersenyum senyum menghampiri mereka.

   "Kepung! Tangkap!" teriak yang tertua dan kembali mereka mengepung Kui Lian. Akan tetapi seperti tadi, sebentar saja wanita itu lenyap dari pandang mata.

   Ketika mereka mencari cari, mereka melihat berkelebatnya bayangan wanita itu di pekarangan luar. Mereka berteriak teriak sambil mengejar dan di pekarangan luar kembali mereka mengepung. Kini seorang di antara mereka yang termuda dan berani, cepat sekali menubruk dan memeluknya dari belakang.

   

Pedang Naga Kemala Eps 38 Pedang Naga Kemala Eps 8 Pedang Naga Kemala Eps 10

Cari Blog Ini