Pemberontakan Taipeng 18
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
"Tranggg...!" Golok itupun terlepas dan jatuh ke atas lantai, dan sebuah tangan mencengkeram tengkuk si penyerang. Tangan yang dingin seperti es!
"Hiiihhhh...!" Orang itu hampir pingsan saking ngerinya dan diapun lalu meloncat, menyusul temannya yang sudah lari terlebih dahulu. Mereka lari jatuh bangun dan babak bundas menabrak pohon, tersandung batu, bangun lagi, lari sambil merangkak dan menghilang di dalam gelap. Yu Bwee melepaskan kain putih yang ternyata adalah alas tempat tidurnya, dan tertawa. Daun jendela kamar Ibunya terbuka dan Ibunya juga tertawa.
"Bagus, begitu caranya agar mereka ketakutan dan tidak berani lagi mengganggu," kata Ceng Hiang yang ternyata sudah siap karena tadi pun ia sudah mendengar gerakan di atas genteng. Ibu dan anak yang gagah itupun tidur lagi. Yu Kiang tidak tahu sama sekali akan peristiwa itu dan tentu saja dua orang penjahat itu menceritakan kepada teman-temannya betapa keluarga itu dilindungi oleh setan yang amat menakutkan. Mereka memperlihatkan dua benjolan di kepala mereka untuk meyakinkan teman-teman mereka. Dan selamatlah rombongan keluarga itu keluar dari kota dan melanjutkan perjalanan.
Masih dua kali mereka mengalami gangguan di jalan. Yang pertama dapat dihindarkan oleh Ceng Hiang yang memberikan lima puluh tael perak kepada gerombolan perampok yang jumlahnya belasan orang. Mereka mau menerima sumbangan itu dan pergi meninggalkan kereta tanpa mengganggu lagi. Akan tetapi, pencegatan kedua di dalam hutan di lereng sebuah bukit, tidak dapat dihindarkan dengan sumbangan. Ketika Ceng Hiang bersama Yu Bwee keluar dari kereta dan Ceng Hiang menawarkan lima puluh tael perak sebagai sumbangan, mereka hanya terkekeh-kekeh mentertawakan Ibu dan anak itu. Jumlah para perampok itu ada lima belas orang dan tentu saja mereka memandang rendah kepada dua orang wanita itu, seorang kusir tua dan seorang bangsawan yang agaknya membiarkan dua orang wanita menghadapi perampok sedangkan dia sendiri tinggal di dalam kereta. Memang Ceng Hiang membujuk suaminya agar tinggal saja di dalam kereta.
"Ha-ha-ha, nyonya yang cantik dan nona yang mungil! Apa kalian mengira bahwa kami adalah anak-anak kecil yang merengek minta uang jajan? Ha-ha-ha, kami sudah lama menanti kalian di sini! kami akan membunuh laki-laki yang berada di dalam kereta, juga Kakek kusir itu, kemudian kami mengambil semua barang yang berada di dalam kereta, dan.kalian berdua... hemmm, buah yang masak dan buah yang ranum segar. Yang sebutir sudah masak manis, yang kedua ranum dan renyah! Ha-ha-ha, kalian akan menjadi penghibur kami!"
Bukan main marahnya Yu Bwee mendengar ucapan itu. Baru kalimat pertama dan kedua saja sampai pada kata-kata bahwa orang itu mau membunuh Ayahnya, sudah membuat mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. Ucapan selanjutnya membuat ia tidak mampu menahan kemarahannya dan sekali tubuhnya begerak, ia telah meloncat ke depan dan menggerakkan tangan menampar muka kepala perampok itu. Kepala perampok yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu melihat gerakan orang, akan tetapi tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata karena tubuh gadis itu seperti terbang saja. Dia masih berusaha menggerakkan kedua tangan, untuk menangkis dan sekaligus menyambar dan menangkap.
"Plakkk!" Tamparan itu tiba tanpa dapat dihindarkan lagi, bukan main kerasnya sehingga kepala perampok itu mengeluarkan seruan keras saking nyerinya, merasa seolah- olah kepalanya di sambar pertir dan tubuhnya terpelanting, lalu terjungkal dan tidak mampu bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak berputaran, mulutnya mengeluarkan suara mengorok. Kiranya tamparan itu telah membuat tulang rahangnya patah-patah, berikut giginya rontok dan bibirnya pecah-pecah. Darah muncrat keluar dari bibir yang pecah dan lidah yang terluka oleh hancurnya gigi dan tulang rahang!
Para perampok terkejut setengah mati. Muka kepala perampok itu seperti dihantam dengan sebuah kapak saja, bukan ditampar oleh tangan yang demikian kecil dan lembut! Akan tetapi, dasar perampok-perampok kasar yang biasanya hanya mengganggu orang lemah, suka mempergunakan kekerasan, mereka tidak mengenal keadaan dan kini beramai- ramai mereka menyerbu, ada yang hendak menangkap Yu Bwee yang jelita, ada yang hendak menubruk Ceng Hiang yang demikian cantik manis, ada yang hendak membunuh kusir dan menyerang ke dalam kereta, untuk membunuh laki-laki yang berada di kereta, dan ada pula yang hendak memperebutkan harta benda yang berada di dalam kereta.
"Bwee-ji (anak Bwee), jangan membunuh orang!" Ceng Hiang berseru mendahului puterinya yang ia tahu amat marah sehingga telah menampar sedemikian kerasnya sehingga membuat kepala perampok terluka parah. Akan tetapi, kemarahan Yu Bwee hanyalah kepada kepala perampok itu, karena ucapannya tadi. setelah menampar seperti itu, kemarahannya mereda dan iapun tersenyum kepada Ibunya,
"jangan khawatir, Ibu. mari kita hajar anjing-anjing tak tahu diri ini!" Dua tubuh wanita itu berkelebatan dan kini belasan orang perampok itu merasa seperti sedang mimpi buruk sekali. Mereka tidak sempat melihat bagaimana dua orang wanita itu bergerak. Tahu-tahu mereka itu merasa seperti disambar petir dan belasan orang itupun roboh satu demi satu sebelum mereka.sempat melakukan apa ya dikehendaki mereka tadi. Ada yang tiba-tiba pening kepalanya dengan pandang mata berpusing,
Ada yang tiba-tiba saja menerima hantaman yang membuat tulang pundak mereka terlepas, tulang lengan patah dan tulang kaki retak. Dalam waktu beberapa detik saja, mereka semua telah roboh dan mengaduh-aduh, ada yang memegangi kepala, kaki, pundak dan lengan, merangkak bangun dan memandang seperti orang bodoh ke arah kereta yang kini sudah bergerak lagi melanjutkan perjalanan! Keluarga itu melanjutkan perjalanan, terus ke selatan. masih tiga kali lagi mereka mengalami gangguan dan hadangan para perampok, namun Ceng Hiang dan Yu Bwee dapat mengatasi gangguan itu. Sepak terjang mereka membuat para perampok lari ketakutan atau roboh tak berdaya dan walaupun tidak pernah ada yang tewas, namun mereka yang pernah menerima hajaran, sama sekali tiak berani lagi mencoba untuk melakukan pengejaran.
Dusun yang dimaksudkan oleh Ceng Hiang ketika memberi tahu puterinya, yaitu dusun di mana terdapat tanah pertanian luas yang telah dibeli suaminya, berada jauh di selatan, di dekat perbatasan yang menjadi daerah kekuasaan pasukan Tai Peng! Tanah itu memang subur karena termasuk lembah Sungai Yang-ce-kiang. Terletak di lereng sebuah bukit yang hijau dan begitu tiba ti tempat itu, Yu Bwee merasa suka sekali. Tempat itu memang indah, selain tanahnya subur, juga pemandangan alamnya amat indah, banyak pula terdapat pedusunan yang melihat keadaan rumah-rumahnya merupakan pedusunan yang cukup makmur. Merek tiba di dusun itu di suatu sore dan seorang Kakek petani yang bertubuh tinggi kurus menyambut kereta itu dengan gembira sekali. Di belakangnya nampak berlari-lari beberapa orang penduduk dusun.
"Yu-Taijin (pembesar Yu) datang... Yu-Taijin datang!" teiak Kakek itu dengan gembira. Yu Kiang tersenyum melihat Kakek itu, juga Ceng Hiang dan Yu Bwee mengenalnya. Kakek itu pernah bekerja kepada mereka di kotaraja, merupakan seorang pegawai yang sudah lama bekerja di dalam keluarga mereka sebagai seorang tukang kebun. Kakek inilah yang mengatur pembelian tanah di pedusunan itu. Bahkan kusir tua itupun mengenal baik Kakek dan mereka saling menyapa dengan gembira.
"Ciu-lopek, bagaimana kabarnya? Jangan sebut aku Taijin lagi, karena aku sudah bukan seorang pembesar lagi sekarang. Bukankah engkau juga sudah mendengar akan hal itu?" kata Yu Kiang smbil turun dari kereta, disusul oleh Ceng Hiang dan Yu Bwee. Penat juga melakukan perjalanan hari itu, karena sejak pagi sekali mereka berkereta, sampai senja itu baru berhenti. Akan tetapi Kakek Ciu tetap saja menyebut Yu Kiang dengan sebutan Taijin, karena memang sudah terbiasa. ceng Hiang disebutnya Toanio (nyonya besar) dan Yu Bwee dia panggil Siocia (nona).
"Yu-Taijin, syukurlah kalau Taijin bertiga dapat tiba di sini dalam keadaan selamat. Hati saya sudah merasa tidak enak sekali karena suasana sekarang begini kacau dan banyak perampokan. Bahkan dusun-dusun kini tidak aman lagi, Taijin. Dusun kita inipun selalu terancam dan kami penduduknya hidup dalam keadaan gelisah. Semoga setelah Taijin sekeluarga berada di sini, dusun ini menjadi aman." Mereka lalu memasuki rumah ang sederhana namun cukup bersih dan besar, rumah yang sdah dibeli oleh Yu Kiang dengan perantaraan Kakek Ciu, dan yang selama ini dijaga dan dibersihkan oleh pelayan yang setia itu. Ada tiga kamar besar di dalam, sebuah untuk Yu Kiang dan isterinya, sebah untuk Yu Bwee dan sebuah lagi untuk kamar tamu, dan di belakang terdapat pula kamar-kamar untuk pelayan.
"Paman Ciu, apakah yang telah terjadi? Apakah dusun ini pernah dirampok?" setelah mereka tiba di dalam rumah dan telah memeriksa keadaan rumah baru mereka itu, Ceng Hiang bertanya kepada Kakek Ciu.
"Dusun ini belum, Toanio. Akan tetapi dusun-dusun di sekitar sini sudah pernah dirampok. kami semua berada dalam keadaan ketakutan."
"Akan tetapi, apakah tidak ada pasukan keamanan yang membasmi perampok itu?"
"Aih, sudah lama di sini tidak ada lagi pasukan keamanan, Toanio. Benteng pertahanan dari pasukan pemerintah agak jauh dari sini, dan mereka itu tentu tidak memperdulikan nasib orang-orang dusun seperti kami."
"Kenapa orang-orang dusun tidak bersatu dan melawan perampok-perampok itu?" Yu Bwee bertanya sambil mengerutkan alis. Ia benci terhadap para perampok yang sudah pernah pula mengganggu perjalanan orang tuanya.
"Siocia, siapakah yang berani menentang mereka? Mereka bukan perampok biasa..."
"Bukan perampok biasa? Apa maksudmu? Siapakah mereka itu?" Yu Bwee menjadi penasaran. Kakek itu memandang ke arah jendela dan pintu, seolah-olah ketakutan untuk menjawab, lalu berkata lirih,
"Mereka adalah pasukan Tai Peng..."
"Hemmm, pasukan Tai Peng" Ceng Hiang bertanya dengan alis berkerut.
"Bukankah dusun ini masih termasuk wilayah kekuasaan pemerintah kita?"
"Benar, Toanio, akan tetapi mereka kini semakin berani selama beberapa bulan akhir-akhir ini. Dengan dalih pembersihan dan mencari mata-mata, mereka menyerbu dusun- dusun, merampok, membunuh dengan kejam..."
"Keparat!" Yu Bwee mengepal tinju.
"Kalau mereka berani menganggu dusun ini, aku yang akan menghajar mereka"
"Tentu saja Kakek Ciu sudah tahu akan kelihaian nyonya majikan dan puterinya, maka diapun memnadang dengan wajah berseri.
"Dengan adanya keluarga Taijin di dusun ini, kami merasa lega."
Akan tetapi Ceng Hiang dan Yu Bwee tidak tahu bahwa di setiap dusun di sekitar perbatasan itu tentu ada mata-mata Tai Peng sehingga kedatangan keluarga yang membawa barang-barang berharga itu telah diketahui oleh para perajurit Tai Peng. Juga Ibu dan anak ini sama sekali tidak menyangka bahwa pasukan Tai Peng yang suka merampok itu selain amat banyak jumlahnya, juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan cara mereka menyerbu dusun seperti kalau menyerbu musuh dan mempergunakan siasat perang! Beberapa hari kemudian, para penduduk dusun merasa lega karena tidak terjadi apa-apa dan mereka percaya kepada Kakek Ciu bahwa keluarga bangsawan yang baru saja pindah dari kotaraja itu merupakan orang-orang pandai yang tentu ditakuti para perampok.
Malam itu terang bulan dan Yu Bwee bersama Ibunya, yang selama beberapa hari ini berjaga-jaga diwaktu malam, siap menghadapi segala kemungkinan, malam ini tidak lagi merasa tegang. mereka berdua menganggap bahwa Kakek Ciu dan penduduk dusun itu terlalu ketakutan karena buktinya, tidak pernah terjadi gangguan selama mereka tiba di situ. Akan tetapi lewat tengah malam, ketika Ceng Hiang, suaminya, dan juga Yu Bwee sedang tidur nyenyak, mereka dikejutkan oleh suara gaduh yang makin lama semakin ribut. Teriakan-teriakan "kebakaran" dan "rampok" mengejutkan mereka. Apalagi ketika Yu Bwee sudah mengetuk pintu kamar orang tuanya dan ketika Ibu dan Ayahnya keluar, ia berkata dengan suara gugup,
"Wah, mereka telah datang menyerang dan membakari rumah-rumah di sekitar dusun!"
"Keparat!" Ceng Hiang berseru.
"Kita harus basmi mereka." Akan tetapi ketika ia dan puterinya hendak keluar, ia teringat kepada suaminya dan menjadi khawatir. Mungkin sekali para perampok itu akan menyerbu rumah mereka!
"Sebaiknya engkau bersembunyi saja dan mengenakan pakaian seperti penduduk biasa," katanya dan pada saat itu, Kakek Ciu datang berlari-lari dari belakang dengan tubuh gemetar.
"Paman Ciu, jangan khawatir. sekarang lebih baik engkau membawa suamiku pergi bersembunyi di kebun belakang. kami berdua akan membasmi para perampok kurang ajar itu!"
Melihat Ceng Hiang dan Yu Bwee berpakaian ringkas dan memegang pedang, kelihatan demikian tenang dan gagah, hati Kakek Ciu menjadi lega dan diapun cepat mengajak Yu Kiang untuk berembunyi di dalam kebun yang gelap karena di situ terdapat banyak pohon-pohon dan semak-semak. Ceng Hiang dan Yu Bwee lalu berloncatan keluar dan melihat keadaan di dusun itu, mereka berdua menjadi marah sekali! Ternyata para perampok itu sebelum menyerbu dusun, lebih dahulu membakari rumah-rumah penduduk. Melihat ini, terpaksa Ceng Hiang dan Yu Bwee berpencaran dan mereka lalu menyerbu para perampok yang sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa melakukan kekejaman yang luar biasa. Membunuhi orang-orang lelaki, merampok barang-barang, ada pula yang memanggul wanita yang menjerit-jerit minta tolong.
"Jahanam busuk!" bentak Yu Bwee dan pedangnya berkelebat, menusuk dada seorang perampok yang memanggul seorang gadis remaja. perampok itu mengeluh dan roboh, sedangkan gadis remaja itu sudah disambar oleh tangan kiri Yu Bwee.
"Bersembunyilah!" kata Yu Bwee melepaskan gadis itu yang lari sambil menangis ketakutan. Melihat betapa ada kawannya yang roboh tewas, dua orang perampok menjadi marah dan dengan golok di tangan mereka menyerang Yu Bwee.
"Perampok-perampok busuk!" Yu Bwee membentak, pedangnya berkelebat menangkis dan begitu pedangnya bergerak, terdengar suara nyaring dua kali dan dua orang itupun roboh mandi darah! Kiranya sambil menangkis, gadis perkasa ini mengelebatkan pedangnya dan sekali sambar saja, pedangnya sudah membabat batang leher kedua orang perampok. Gegerlah para perampok melihat ini. Di bagian lain, para perampok juga menjadi terkejut melihat betapa seorang wanita cantik, dengan pedangnya, juga mengamuk dan merobohkan beberapa orang perampok.
Segera mereka memberi tanda dengan suitan-suitan dan kini muncul lebih banyak perampok, dipimpin oleh para perwiranya yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Yang menerjang Yu Bwee kini adalah seorang perwira yang bermuka hitam, dibantu oleh belasan orang anak buahnya. Perwira muka hitam itu memainkan siang kiam (sepasang pedang) dan melihat gerakannya, jelaslah bahwa dia seorang ahli silat yang cukup lihai. Pantas perampok-perampok Tai Peng ini berani mengganas, pikir Yu Bwee. selain jumlahnya banyak, terlatih, juga dipimpin oleh perwira yang lihai. Akan tetapi, begitu ia memutar pedangnya, perwira yang bermuka hitam itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja lengan kanannya terbabat pedang gadis itu. Lengan bajunya robek dicium ujung pedang!
Dia lalu berseru kepada anak buahnya dan Yu Bwee dikeroyok banyak orang yang menghujankan senjata kepadanya. Namun ia tidak takut dan pedangnya diputar dengan cepat dan kuat sehingga banyak senjata para pengeroyok yang patah, dan ada pula beberapa orang yang roboh oleh tendangannya. Ceng Hiang juga menghadapi pengeroyokan banyak orang. Bahkan ada dua orang perwira yang mengeroyoknya, dua orang yang lihai sekali, yang seorang bersenjata cambuk baja dan yang kedua bersenjata sebuah tombak gagang pendek. Selain dua orang perwira yang lihai ini, masih ada belasan orang mengeroyoknya, namun seperti juga Yu Bwee, nyonya perkasa ini mengamuk dan sinar pedangnya merobohkan beberapa orang pengeroyok. Kini hanya dua orang wanita itulah yang menjadi pusat perhatian para perampok yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang itu.
Mereka mengerahkan tenaga untuk merobohkan Ibu dan anak itu, namun makin didesak, makin banyak anak buah mereka roboh sehingga akhirnya mereka menjadi gentar juga. Perwira muka hitam yang mengeroyok Yu Bwee maklum bahwa kalau diteruskan, tentu anak buahnya akan habis dibasmi gadis perkasa itu, dan diapun meloncat keluar kalangan, membiarkan anak buahnya mengepung ketat dan diapun lari untuk mencari teman-temannya yang boleh diandalkan. Akan tetapi, dia terkejut melihat betapa tak jauh dari situ, seorang wanita lain mengamuk, dikepung oleh kawan-kawannya bersama anak buah yang sama banyaknya. Juga keadaan kawan-kawannya di situ menderita kerugian besar. Dia lalu mengeluarkan sempritan dan meniupnya berkali-kali, memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk mundur.
Apalagi dia melihat kawan-kawan lain sudah banyak yang membawa lari barang rampokan dan ada pula yang menculik gadis dusun. Mendengar ditiupnya isyarat untuk mundur ini, legalah hati para pengeroyok Ibu dan anak yang amat lihai itu. Mereka memang sudah merasa jerih terhadap wanita sakti yang mereka keroyok, maka begitu mendengar suara sempritan, mereka lalu berloncatan pergi, didahului oleh para perwira yang memimpin pengeroyokan. Baik Ceng Hiang maupun Yu Bwee tidak mau membiarkan mereka lari begitu saja dan kembali ada beberapa orang perampok yang roboh oleh pedang mereka! Akan tetapi segera terdengar derap kaki kuda dan mengertilah Ceng Hiang dan Yu Bwee bahwa perampok itu datang dengan menunggang kuda yang agaknya mereka tambatkan di luar dusun.
Kini mereka melarikan diri dengan berkuda, dan tidak ada gunanya lagi dikejar. Yang terpenting adalah membantu para penduduk memadamkan rumah-rumah yang terbakar. Ceng Hiang dan Yu Bwee teringat akan rumah mereka maka merekapun cepat berlari pulang. terkejutlah mereka melihat betapa keadaan rumah merekapun morat-marit, tanda bahwa rumah itupun tadi diserbu penjahat! Dan ketika mereka memasuki rumah, mereka melihat Kakek Ciu memapah Yu Kiang yang terluka. tentu saja mereka terkejut dan cepat memeriksa keadaan Yu Kiang. Untunglah bahwa luka itu tidak parah, hanya bacokan pada pundak yang melukai daging pangkal lengan, tidak membikin putus otot atau mematahkan tulang.
"Bagaimana dapat terjadi?" tanya Ceng Hiang kepada suaminya sambil mengobati luka itu dan membalut pundak. Yu Kiang yang kesakitan itu sukar menjawab, dan Kakek Ciu yang menjawab dan memberi keterangan.
"Kami bersembunyi di kebun. Ketika Taijin mendengar bahwa rumah diserbu, dia memaksa untuk kembali ke rumah. Saya sudah mencegahnya sehingga terjadi ketegangan dan pada saat itu, nampak seorang perampok lari menyeret seorang gadis tetangga. melihat ini, Yu-Taijin menjadi marah dan membentak. Perampok itu membacok dengan golok dan Yu- Taijin roboh. Untung bahwa perampok itu sibuk dengan gadis yang meronta-ronta, maka dia tidak menyerang lagi dan cepat menyeret gadis itu pergi." Ketika mereka memasuki rumah dan memeriksa, ternyata sebagian besar dari harta mereka, sebuah peti berisi emas dan perak yang mereka bawa dari kota raja sebagai hasil penjualan barang-barang dan rumah mereka, telah lenyap!
"Jahanam!" bentak Yu Bwee.
"Berani melukai Ayahku dan merampok barang kita! Aku harus menghajar mereka dan merampas kembali barang kita!" berkata demikian, Yu Bwee lalu meloncat keluar dari dalam rumahnya.
"Bwee-ji, jangan...!" teriak Ibunya akan tetapi karena ia sedang merawat suaminya, ia tidak mengejar dan tak lama kemudian terdengar derap kaki seekor kuda membalap keluar dari dusun. Yu Bwee melakukan pengejaran sambil menunggang kuda.
Ceng Hiang tidak setuju dengan perbuatan Yu Bwee. Melawan perampok tidak berbahaya, akan tetapi karena perampok itu adalah pasukan Tai Peng, maka mengejar mereka sungguh amat berbahaya. Bagaimanapun juga, Ibu ini percaya akan kepandaian Yu Bwee yang tentu akan mampu menjaga diri sendiri. Gadis itu sudah cukup berpengalaman. Bukankah pernah ia suruh melindungi keluarga Kaisar dan berhasil baik? Yu Bwee tidak dapat melakukan pengejaran dengan cepat karena ia harus meneliti jejak para perampok yang melarikan diri tadi, di tengah malam pula. Untung baginya bahwa ada sinar bulan sehingga ia dapat mencari jejak kaki banyak kuda yang lari ke selatan. Ia melakukan pengejaran terus. Sayang bahwa ia telah ketinggalan jauh, karena tadi ia membuang banyak waktu untuk pulang ke rumah. Andaikata ia tadi langsung melakukan pengejaran, tentu ia sudah dapat menyusul mereka!
Akan tetapi sampai sinar matahari subuh mulai menerangi bumi mendahului sang matahari sendiri, ia belum berhasil menyusul para perampok. Yu Bwee berhenti di tepi sebuah hutan, membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri lalu masuk ke dalam hutan, encari-cari jejak kaki kuda di situ, bersimpang siur. Apakah ia salah jalan? Tiba-tiba ia menyelinap di balik sebatang pohon. dari jauh ia melihat dua orang laki-laki berjalan setengah berlari, tertatih-tatih keberatan karena mereka meggendong bungkusan- bungkusan besar yang kelihatan berat. mereka adalah dua orang laki-laki tinggi besar bermuka brewokan dan kasar, dan mereka lewat tak jauh dari pohon di balik mana Yu Bwee bersembunyi. Terengah-engah mereka lewat, dan mereka berhenti sebentar hanya untuk menyeka keringat dari leher dan muka, menggunakan lengan baju mereka,
Kemudian mereka melanjutkan langkah memasuki hutan. Selagi Yu Bwee mempertimbangkan apa yang akan dilakukan terhadap dua orang yang menurut pakaiannya adalah anggauta pasukan Tai Peng yang semalam menyerbu dusun, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan iapun mengurungkan niatnya untuk keluar dan bersembunyi lagi. Seorang penunggang kuda yang berpakaian serba putih datang dari arah lain. Dua orang itu, yang belum begitu jauh dari tempat Yu Bwee bersembunyi sehingga ia dapat melihat mereka, nampak terkejut dan berhenti sehingga sebentar saja penunggang kuda berpakaian putih dapat menyusul mereka dan kini si penunggang kuda menghentikan kudanya di depan mereka. Dua orang itu yang tadinya terkejut, kini menyeringai.
"Heh-heh, kiranya Gan-Ciangkun. kami sampai terkejut!" kata mereka dengan sikap menghormat. Yu Bwee terbelalak. tentu saja ia mengenal pemuda yang berpakaian serba putih itu. Gan Han Le! Biarpun masih putih, akan tetapi bentuk pakaian itu adalah pakaian seorang perwira, dan pemuda itu disebut Gan-Ciangkun (perwira Gan) oleh dua orang anggauta pasukan Tai Peng yang semalam merampok dusun! Akan tetapi, agaknya sikap Han Le berlawanan dengan sikap dia orang perajurit Tai Peng yang menyeringai gembira itu. Sikapnya dingin, dan sepasang matanya yang kebiruan itu
menyinarkan kemarahan.
"Dari mana kalian dan kenapa kalian tidak bersama pasukan?" Seorang di antara perajurit itu, yang matanya melotot lebar, sambil menyeringai menjawab,
"Ciangkun, kami baru saja kembali dari penyerbuan sebuah dusun untuk membersihkan tempat itu dari persembunyian mata-mata. Kami mendapat perlawanan sehingga pasukan tercecer dan kami tertinggal. Karena tidak kebagian kuda kami terpaksa menyusul pasukan dengan jalan kaki..."
"Hemmm... dan barang-barang apa yang kalian bawa itu?, Dua orang itu saling pandang sambil menyeringai.
"Bukan apa-apa... Gan-Ciangkun. Tahu sendirilah, ini barang-barang rampasan dari para mata-mata musuh..."
"Tar-tar...!" Tangan Han Le bergerak dan cambuk kudanya menyambar, mengenai muka kedua orang itu. Dua orang itu tersentak kaget dan tepekik kesakitan, buntalan yang mereka bawa di atas punggung tadi terlepas jatuh, bungkusannya terbuka dan isinya berserakan. ternyata barang- barang rumah yang berharga, yang terbuat dari perak, gulungan kain dan sebagainya lagi. Muka kedua orang itu lecet berdarah dan mereka kini memandang dengan mata terbelalak, terkejut, heran dan juga ketakutan.
"Kalian tadi malam melakukan permpokan dalam sebuah dusun dengan alasan aksi pembersihan terhadap mata-mata musuh! Kalian membunuh, merampok, dan memperkosa wanita! hayo mengaku!" Dua orang itu saling pandang dan mereka kini menjadi semakin takut.
"Tapi, tapi... kami hanya melaksanakan perintah atasan, Ciangkun..."
"Kalian perampok-perampok dan penjahat-penjahat yang berpakaian prajurit! Sungguh hanya mengotori nama perjuangan saja!" Kembali Han Le menggerakkan cambuknya dan orang itu berteriak-teriak kesakitan, leher dan muka mereka lecet-lecet berdarah terkena cambuk dan mereka lalu berlutut.
"Ampun, Gan-Ciangkun, kami hanya melaksanakan perintah atasan kami, dan para perwira itupun hanya melaksanakan perintah dari Lee-Ciangkun..."
"Tarrr!" cambuk itu menampar mulut sehingga bibir itu pecah.
"Cukup! Aku sudah muak mendengarnya. Hayo angkat barang-barang itu dan ikuti aku!" Dua orang perampok yang menjadi anggauta pasukan Tai Peng itu tidak berani membantah, tidak berani melawan karena berdua cukup mengenal siapa adanya Gan Han Le, seorang panglima baru yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat tinggi sehingga tiga orang perwira tinggi yang mengeroyoknya dalam ujian tidak mampu menang terhadapnya. Mereka lalu dengan susah payah karena tubuh mereka yang sudah kelelahan itu kini ditambah lagi oleh penderitaan cambukan, mereka mengangkat dua buah buntalan setelah membetulkan bungkusan itu, dan berjalan di belakang kuda yang dijalankan perlahan oleh Han Le, memasuki hutan.
Tentu saja Yu Bwee menjadi bengong keheranan. tadinya ia terkejut dan heran melihat betapa Han Le kini telah menjadi perwira Tai Peng, akan tetapi ia menjadi semakin terkejut dan heran pula melihat sikap Han Le terhadap dua orang anggauta Tai Peng itu. Sikap inilah yang melegakan hatinya, yang tadi khawatir sekali melihat pemuda yag tak pernah dapat dilupakannya itu menjadi perwira Tai Peng, dan kini diam-diam ia membayangi dari jauh karena ia maklum akan keliahaian Han Le dan tidak ingin pemuda itu melihatnya sekarang, Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Han Le selanjutnya, dan ingin melihat apa rahasia pemuda itu. Han Le berhenti di tengah hutan di mana terdapat petak rumput di mana bertumpuk barang-barang rampokan, termasuk sebuah peti milik Ayahnya! barang-barang itu tertumpuk malang melintang.
"Taruh kedua buntalan itu disitu!" bentak Han Le kepada dua orang anak buah pasukan yang tidak berani membantah. Melihat banyaknya barang rampasan yang berkumpul disitu, tahulah dua orang anak buah ini bahwa bukan hanya mereka berdua yang tertangkap basah oleh Gan-Ciangkun dan dipaksa menaruh barang rampasan itu di disitu. Mereka adalah dua orang anak buah tokoh-tokoh sesat yang menjadi kaki tangan Lee Song Kim, mereka sudah terbiasa melakukan kejahatan, maka melihat barang-barang itu, mereka lalu mengira bahwa tentu Gan-Ciangkun merampas barang-barang itu untuk dirinya sendiri. Maka, sambil menyeringai, si muka hitam berkata setelah bersama temannya melempar buntalan itu di atas tumpukan barang-barang itu.
"Gan-Ciangkun, kasihanilah kami yang sudah kelelahan. Ciangkun memperoleh begini banyak, apakah berkeberatan untuk membagi sedikit saja kepada kami berdua?"
"Benar, Ciangkun. Berilah bagian kepada kami dan kami tidak akan melapor kepada Lee-Ciangkun!" kata orang kedua dengan nada memeras.
"Tar-tar!" Cambuk itu melecut-lecut sehingga kedua orang itu kini jatuh terguling-guling, hampir terinjak kaki kuda yang ditunggangi Han Le. Setelah puas menghajar Han Le membentak.
"Nah, pergilah kalian sekarang dari sini! Lebih lama sedikit saja aku melihat muka kalian, tentu aku akan membunuh kalian!" Mendengar ini, dua orang yang kesakitan itu lalu melarikan diri tunggang langgang. Sejenak Han Le duduk tegak di atas punggung kudanya memandang ke arah larinya dua orang itu, dan tiba-tiba dia menggebrak kudanya lari ke utara dengan cepat sekali.
Yu Bwee terkejut, hendak mengejar akan tetapi maklum bahwa selain sukar mengejar kuda yang dibalapkan itu, juga tidak ingin kelihatan oleh Han Le. Biarlah ia akan menanti di sini, pikirnya. Bagaimanapun juga, Han Le tentu tidak akan meninggalkan barang-barang ini begitu saja, tentu akan kembali karena tak mungkin dia merampas barang-barang itu tanpa ada kelanjutannya. Dugaannya benar. Tak lama kemudian ia mendengar suara derap kaki kuda tunggal datang dari jauh dan segera muncul Gan Han Le menunggang kuda, memboncengkan seorang penduduk dusun yang sudah tua. Orang tua itu kelihatan ketakutan dan ketika Han Le melompat turun dari kudanya sambil membawa tubuh orang tua itu turun, dia segera berlutut.
"Ampunkan saya... jangan bunuh saya..." Han Le mengerutkan alisnya.
"Jangan takut, paman. Aku membawa paman ke sini bukan untuk membunuhmu, melainkan untuk memberi tahu bahwa sebagian barang milik penduduk dusun yang malam tadi dirampok, berada di sini. Sayang aku tidak dapat mengembalikan semuanya. Beritahukan kepada para penduduk bahwa sebagian barang itu berada di sni dan suruh mereka mengambilnya kembali."
"Ahhh...!" Petani itu kelihatan terkejut dan girang, lalu memandang tumpukan barang itu, lalu berlari menghampiri dan mengambil sebuah keranjang berisi pakaian dan barang- barang lain.
"Ini milik kami..."
"Kalau milikmu ambillah kembali, paman, akan tetapi harap cepat pergi ke dusun memberi tahu kepada mereka yang kehilangan barang agar cepat mengambilnya ke sini."
"Baik, baik... Taihiap... ah, terima kasih, Taihiap..." kata orang itu memberi hormat, lalu pergi dengan cepat sambil memanggul kembali keranjang yag terisi pakaian keluarganya yang tadi dirampok.
Sejenak Gan Han Le mengikuti kepergian orang itu, kemudian menoleh ke arah tumpukan barang-barang, dan menarik napas panjang, Pada saat itu Yu Bwee yang tidak ingin melihat Han Le pergi lagi sebelum bertemu dengannya, meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan berlari cepat menghampiri. Han Le terkejut bukan main melihat munculnya orang secara tiba-tiba itu, akan tetapi ketika dia mengenal siapa gadis itu, dia makin terkejut dan terheran, akan tetapi juga girang sekali. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan memandang wajah gadis itu dengan mata bersinar-sinar dan senyum berseri. Gadis yang selama ini tak pernah meninggalkan ingatannya itu kini tiba-tiba saja berdiri di depannya!
"Gan... Ciangkun...!" kata Yu Bwee sambil menjura, kata terakhir terdengar penuh nada mengejek. Wajah Han Le menjadi kemerahan ketika dia membalas penghormatan itu.
"Ah,... nona Yu, harap jangan menyebutku seperti itu. Aku masih tetap Gan Han Le seperti dahulu..."
"Benar, akan tetapi dengan kedudukan sebagai seorang panglima yang ditakuti dari pasukan Tai Peng yang...merampok, bukan?" Wajah itu semakin merah.
"Nona, agaknya engkau telah sejak tadi mengintai, maka tentu engkau tahu bagaimana sikapku terhadap perampok-perampok tak tahu malu itu. Sayang aku hanya dapat mengumpulkan barang-barang rampasan sebegini saja, karena aku tahu setelah terlambat. Tak kusangka bahwa pasukan pilihan dari Tai Peng melakukan perampokan, dan aku akan menuntut Lee-Ciangkun mengenai perbuatan yang memalukan ini! Akan tetapi, bagaimana engkau tiba-tiba saja berada di sini, nona? Bukankah engkau masih berada di Yehol, ataukah sudah kembali ke kotaraja?"
"Baru beberapa hari aku sekeluarga tinggal di dalam dusun yang dirampok oleh anak buahmu, Ciangkun. Kami melawan dan berhasil mengusir para perampok, akan tetapi Ayah terluka dan barang kami ada yang dilarikan. Aku mengejar sampai di sini, dan bertemu dengan engkau yang ternyata telah menjadi seorang perwira Tai Peng, perwira dari pasukan yang merampok dusun kami! Gan-Ciangkun, aku minta pertanggung-jawabanmu atas malapetaka yang meimpa dusun kami, atas tewasnya beberapa orang dan terlukanya banyakorang termasuk Ayahku, juga atas terculiknya beberapa orang gadis, dan perampokan atas barang-barang penduduk dusun. Kami berhadapan sebagai musuh!" Han Le kelihatan terpukul dan sedih sekali.
"Dengarlah dulu, nona. Sungguh mati aku tidak tahu sama sekali bahwa pasukan Tai Peng suka melakukan kejahatan seperti ini, dan baru malam ini aku menhetahuinya. belum lama aku diterima menjadi panglima oleh raja di Nan-king dan aku menghambakan diri kepada pasukan Tai Peng yang kuanggap sebagai pasukan kau m patriot yang hendak membebaskan bangsa dari penjajah. Aku mendapat tugas melakukan pembersihan di perbatasan utara, menagkap dan membasmi para mata-mata musuh yang mempersiapkan pemberontakan mengepung Nan-king. Nah, agaknya aku selalu nampak buruk di depanmu, nona, seperti juga dahulu ketika aku difitnah di yehol. maukah engkau percaya kepadaku, nona Yu?" Mereka saling pandang dan tentu saja Yu Bwee percaya kepada pemuda ini. Tadipun ia sudah dapat meduga apa yang terjadi, dan sikap Han Le terhadap para perampok sudah jelas menunjukkan bahwa dalam hal perampokan-perampokan itu, pemuda ini sama sekali tidak bersalah dan tidak tahu-menahu.
"Aku percaya kepadamu. Akan tetapi apa artinya kepercayaan itu? Kalau engkau tidak keluar dari pasukan yang suka merampok itu, bagaimana aku dapat mempercayaimu lagi selanjutnya?" Han Le mengepal tinju.
"Andaikata aku tidak berjumpa denganmupun, aku pasti akan mengurus hal ini, akan kutuntut kepada Lee-Ciangkun! Aku bukanlah orang yang suka menjadi perampok, nona. Aku akan tuntut dia, dan aku akan keluar dari pasukan Tai Peng kalau ternyata pasukannya melakukan kejahatan!"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras. Han Le dan Yu Bwee terkejut sekali dan Han Le sudah meloncat ke dekat Yu Bwee, siap untuk saling melindungi dengan gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dan muncullah seorang panglima yang bukan lain adalah Lee Song Kim! Dialah yang tertawa tadi dan di belakangnya ampak para pembantunya, antara lain Tiat-Pi Kim-Wan, Seng-jin Sin-touw, juga dua orang wanita pembantunya yang setia, yaitu Theng Ci ketua Ang-Hong-Pai, dan Sing-kiam Moli serta beberapa orangtokoh kang-ouw lagi. Akan tetapi, Han Le tidak merasa takut melihat munculnya panglima yang sebetulnya merupakan atasannya itu.
"Kebetulan sekali engkau datang, Lee-Ciangkun!" katanya dengan suara lantang.
"Memang aku ingin sekali pergi menghadapmu dan ingin mengajukan tuntutan atas sepak terjang anak buahmu yang memimpin pasukan untuk merampoki dusun-dusun!" Kembali Lee Song Kim tertawa dan sepasang mataya yang tajam dan genit itu kini mengamati Yu Bwee yang cantik manis.
"Ha-ha-ha-ha! Sudah lama kuragukan kesetiaanmu, orang she Gan. Ternyata sekarang terbuktilah bahwa engkau hanyalah seorang pengkhianat yang berpihak kepada mata-mata pihak musuh! Kiranya engkau telah menjadi mata-mata musuh yang diselundupkan ke dalam pasukan kami!"
"Itu bohong!" benak Han Le.
"Bohong? Pasukan kami membasmi para mata-mata musuh yang bersembunyi di dalam dusun-dusun, merampas barang-barang musuh, akan tetapi engkau malah membela musuh, memukuli para perajurit sendiri, merampas barang-barang untuk dikembalikan kepada para mata-mata musuh! Dan lebih hebat lagi, sekarang engkau berada di sini dengan seorang mata-mata Kerajaan Mancu! Bukankah itu sudah menjadi bukti yang cukup?"
"Bohong lagi! Nona ini bukan mata-mata Mancu..."
"Ha-ha-ha, pengkhianat Gan, kau kira kami ini orang-orang bodoh yang dapat kau bohongi begitu saja? Kami tahu siapa perempuan ini. Ia mata-mata dari Kerajaan Mancu, seorang puteri bangsawan she Yu."
"Lee-Ciangkun, kiranya tidak perlu banyak perbantahan dengan pengkhianat ini, biar kami yang menangkap mereka!" kata Tiat-Pi Kim-Wan yang sudah menerjang maju,
Diikuti Seng-jin Sin-touw, juga Theng Ci dan Sin-kiam Moli menerjang dan mengeroyok Han Le dan Yu Bwee dengan pedang mereka. Lee Song Kim sendiripun cepat menerjang dan menyerang Han Le dengan pedangnya sehingga senjata menyambar ke arah tubuh Han Le dan Yu Bwee. Namun, dua orang muda ini sudah siap siaga menghadapi pengeroyokan ini, maka mereka sudah cepat saling membelakangi karena dengan cara demikian mereka dapat saling melindungi kawan sambil melakukan perlawanan. Han Le mencabut pedangnya, pedang sebagai tanda kedudukannya dalam pasukan Tai Peng, sedangkan Yu Bwee juga mengeluarkan pedangnya, mengamuklah dua orang muda ini menghadapi para pengeroyoknya yang terdiri dari banyak orang pandai itu.
Yu Bwee dikeroyok oleh dua orang wanita yang amat lihai, yaitu Theng Ci ketua Ang-Hong-Pai dan Sin-kiam Moli. Dua orang wanita ini adalah para pembantu Lee Song Kim yang setia dan lihai bukan main, keduanya merupakan ahli-ahli pedang yang berpengalaman. Sedangkan Yu Bwee adalah seorang gadis remaja yang usianya baru menjelang delapan belas tahun, dibandingkan dua orang wanita pengeroyoknya tentu saja kalah jauh dalam hal pengalaman dan kematangan ilmu silat. Akan tetapi ia adalah puteri Ibunya Ceng Hiang, seorang wanita sakti yang mewarisi beberapa macam ilmu kesaktian dari Keluarga Pendekar Pulau Es. Biarpun pengeroyoknya dua orang wanita itu berbahaya sekali,
Namun dengan Ilmu Pek-seng Sin-pouw yang membuat ia dapat mengatur langkah-langkah ajaib sehingga mudah menghindarkan diri dari ancaman pedang kedua orang pengeroyoknya, dan dengan ilmu pedangnya yang amat cepat gerakannya, Yu Bwee dapat mengimbangi mereka, dapat membalas dengan tak kalah dahsyatnya pula. Han Le sendiri juga repot menghadapi Lee Song Kim yang amat lihai karena Song Kim masih dibantu oleh orang- orangnya yang berilmu tinggi, terutama sekali Tiat-Pi Kim-Wan dan Seng-jin Sin-touw. Akan tetapi, pemuda perkasa ini mengamuk dengan hebatnya, mengeluarkan semua ilmu kepandaian yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan mengerahkan seluruh tenaganya. Sukarlah bagi Song Kim untuk merobohkannya, bahkan banyak sudah mengeroyoknya yang kurang tinggi ilmunya roboh oleh Han Le, juga oleh amukan Yu Bwee.
Yang lebih repot lagi adalah Yu Bwee. Dua orang lawan utamanya, yaitu Theng-Toanio atau Theng Ci ketua Ang-Hong-Pai dan Sin-kiam Moli amatlah tangguhnya, apalagi dua orang wanita ini masih dibantu oleh belasan orang perwira, seperti halnya mereka yang mengeroyok Han Le, Yu Bwee sudah merasa lelah sekali, gerakan pedangnya mulai mengendur dan benar-benar terancam bahaya maut. Pada saat itu, datang pula pasukan yang dipimpin oleh Tang Ki, Sang Pemaisuri! Kiranya permaisuri ini sedang menemani Kaisar yang berburu di hutan tak jauh dari situ dan begitu mendengar keterangan pasukan bahwa Gan Han Le memberontak dan kini sedang diserang oleh Lee Song Kim dan para pembantunya, iapun cepat datang ke tempat itu.
Dilihatnya Gan Han Le dan seorang gadis cantik sedang mengamuk dan dikepung. Ia marah sekali dan cepat ia menyerbu dan begitu ia meloncat, tubuhnya seperti terbang saja berada di atas Yu Bwee dan pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dari atas, ia telah mempergunakan ginkang dari Ilmu Hui-thian Yan-cu yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Tat-mo Couw-su itu. Memang ginkang dari permaisuri ini hebat sekali. Yu Bwee terkejut. Biarpun ia cepat mengelak sambil mengelebatkan pedangnya menangkis, tetap saja pundaknya tercium ujung pedang Tang Ki, bajunya robek dan pundaknya terluka. Walaupun tidak parah luka itu, namun membuat Yu Bwee menjadi semakin terdesak dan repot, apalagi kini Tang Ki membantu dua orang wanita lihai mengeroyoknya. Lewat belasan jurus lagi, sebuah tendanga kaki Sin-kiam Moli mengenai lambung Yu Bwee.
Gadis ini sudah melindungi lambung yang tertendang dengan sinkang sehingga ia tidak menderita luka dalam yang parah, namun tetap saja ia terpelanting roboh! Kesempatan ini dipergunakan oleh Tang Ki untuk menyerangnya dengan pedang. Yu Bwee bergulingan menyelamatkan diri sambil menangkis, akan tetapi keselamatannya terancam hebat ketika TangKi terus emngejar dan menyerangnya bertubi-tubi. Akhirnya Yu Bwee berhasil meloncart bangun akan tetapi tetap saja pangkal lengan kirinya terserempet pedang dan kembali darah mengucur dari lukanya. tang Ki menyusulkan tendangan dan tubuh Yu Bwee terguling lagi, sekali ini agak payah karena tendangan yang mengenai atas lututnya itu membuat sebelah kaki terasa nyeri dan kaku. Tang Ki tidak emberi kesempatan lagi dan menubruk dengan pedangnya.
"Tarrr...!" Tiba-tiba terdengar letusan dan nampak asap mengepul dari sebuah pistol kecil yang dipegang oleh Han Le. Tang Ki mengeluarkan jerit tetahan dan roboh terjungkal! Peristiwa ini amat mengejutkan semua orang, terutama Lee Song Kim yang sama sekali tidak menyangka bahwa Han Le akan mempergunakan pistolnya menyerang permaisuri sehingga permaisuri itu roboh.
"Pasukan bersenapan, tangkap dia!" teriaknya dengan penuh penyesalan karena baru sekarang dia teringat untuk mempergunakan pasukan bersenjata api untuk menghadapi dua orang muda itu. Tadi, dia sudah merasa yakin akan dapat merobohkan Han Le dan Yu Bwee dengan pengeroyokan itu, maka dia tidak sedikitpun teringat untuk mempergunakan pasukan bersenjata api, Kini, penggunaan pistol oleh Han Le seperti mengingatkannya. Terdengar tembakan-tembakan ke atas sebagai ancaman dan kini belasan orang yang memegang senjata api menodongkan moncong senjata mereka kepada Han Le dan Yu Bwee.
"Kalian berdua menyerah, lempar senjata, atau kami tembak!" bentak Lee Song Kim, Han Le tidak melihat jalan lain kecuali menyerah. Tadi dia terpaksa mempergunakan pistolnya untuk menolong Yu Bwee yang terancam bahaya maut, jatuh dan diserang oleh Tang Ki. Kini, melihat belasan orang menodong dia dan Yu Bwee, dia maklum bahwa pemainannya telah selesai dan kalau dia lanjutkan, sama saja dengan membunuh diri dan membunuh Yu Bwee. Maka diapun melepaskan pistol dan berbisik,
"Tidak ada jalan lain, kita harus menyerah." Sebetulnya Yu Bwee tidak ingin menyerah karena menyerahpun besar sekali kemungkinannya mereka akan dibunuh, lebih keji lagi. Akan tetapi melihat betapa Han Le telah menyerah, iapaun tidak dapat berbuat lain kecuali melepaskan pedangnya, akan tetapi pandang matanya terhadap Han Le berubah menjadi penuh keraguan. Pemuda itu aneh sekali. Jelas ia melihat pemuda itu tadi mengamuk, membunuh banyak orang, bahkan telah menembak tewas permaisuri Raja Tai Peng.
Ia sudah banyak mendengar tentang permaisuri ini dari Ibunya, maka ketika tadi Tang Ki terjun ke dalam pertempuran dan melihat akan sikap semua orang pihak lawan demikian menghormatinya, iapun dapat menduga bahwa wanita itu tentulah sang permaisuri yang menurut Ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai, bahkan pemaisuri itu dahulu di waktu masih gadis dan belum menjadi pemaisuri raja pemberontak Tai Peng, pernah bersahabat erat sekali dengan Ibunya. Akan tetapi sekarang, setelah tertodong senjata api pihak lawan, pemuda ini tidak melanjutkan amukannya, bahkan tiba-tiba saja menyerah! Ia sama sekali tidak tahu bahwa Han Le menyerah bukan karena takut, melainkan karena ingin menyelamatkan Yu Bwee. Baru ia tahu akan hal ini ketika Han Le berkata kepada Lee Song Kim dengan suara lantang.
"Lee Song Kim, dengarlah baik-baik. Nona ini bernama Yu Bwee dan ia sama sekali bukan mata-mata Kerajaan Mancu. Ia adalah seorang di antara penghuni dusun yang dirampok oleh pasukan yang menyeleweng dan ia melakukan pengejaran sampai kesini. Aku sudah memberontak terhadap Tai Peng karena melihat sepak terjang Tai Peng yang menyeleweng dari kebenaran, dan aku pula yang telah menembak mati sang permaisuri. Oleh karena itu, aku menyerahkan diri dan berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatanku. Akan tetapi nona Yu Bwee tini tidak bersalah, maka harap dibebaskan sekarang juga!" Lee Song Kim yang tadi terkejut bukan main, kemudian marah sekali melihat betapa Tang Ki, permaisuri yang menjadi kekasihnya itu, mati tertembak oleh Han Le, mendengar ucapan Han Le tertawa mengejek.
"Membebaskan? Tidak begitu mudah, pengkhianat! Tangkap mereka dan belenggu!" teriaknya dan para anak buahnya lalu membelenggu kedua tangan Han Le dan Yu Bwee, diikat di belakang tubuh mereka.
Lee Song Kim maju menotok pundak mereka dua kali kanan kiri, membuat Han Le dan Yu Bwee tidak mampu lagi mengerahkan tenaga menggerakkan kedua lengan mereka. Dengan kemarahan yang meluap, Song Kim yang merasa sakit hati sekali kepada mereka, menyeret sendiri dua orang tawanan yang sudah tidak berdaya itu, memasuki sebuah tenda besar yang didirikan anak buahnya tak jauh dari situ. Dia menyeret kedua orang tawanan itu masuk ke dalam tenda, lalau melemparkan tubuh Yu Bwee ke atas sebuah pembaringan darurat sedangkan tubuh Han Le dia kemparkan ke atas lantai. Dua orang muda itu tidak mampu melawan karena tubuh mereka lemas tertotok, tidak dapat mereka mengerahkan sinkang mereka. Mereka melihat betapa wajah Lee Song Kim menjadi beringas merah sekali, sepasang matanya mendelik menakutkan.
"Keparat busuk engkau Gan Han Le! Engkau telah menembak mati pemaisuri, dosamu sungguh tak terukur besarnya."
"Hemm, engkau merasa kehilangan seorang kekasih gelap, bukan seorang atasan," kata Han Le,
(Lanjut ke Jilid 17 - Tamat)
Pemberontakan Taipeng (Seriall 02 - Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17 (Tamat)
sikapnya masih tenang.
"Plakkk!" Sebuah tendangan mengenai pipi Han Le dan darah mengucur dari bibir yang pecah. Kalau saja Lee Song Kim tidak begitu marah sehingga dia tidak ingin membunuh Han Le secara mudah, tentu tendangannya itu akan dapat mematikan. Akan tetapi tidak. Dia menendang hanya untuk menyiksa, bukan untuk membunuh maka tendangannya hanya mengandung tenaga kaki biasa, cukup untuk membuat pipi Han Le menjadi biru lembam dan bibirnya pecah. tidak, dia tidak akan membunuhnya demikian mudah!
"Benar! Permaisuri Tang Ki adalah kekasihku! Dan engkau telah membunuhnya! Sekarang, aku ingin membuka matamu melihat betapa kekasihmu juga kusiksa lahir batinnya!" Berkata demikian, dengan senyum kejam Lee Song Kim mulai menanggalkan baju luarnya. Melihat ini, seketika wajah Han Le menjadi pucat sekali karena dia dapat menduga apa yang akan dilakukan manusia iblis itu terhadap Yu Bwee yang terlentang tak berdaya di atas pembaringan.
"Ha-ha-ha, engkau boleh lakukan apa yang kau suka!" Dia sengaja tertawa mengejek.
"Kau kira akan dapat menyakitkan hatiku karena melihat ia kau siksa? Ia bukan kekasihku! Aku hanya ingin melihat ia tidak tersangkut dalam urusanku denganmu. Ia bukan apa-apaku, percuma saja engkau akan menyiksanya di depan mataku!"
"Cukup!" Song Kim membentak.
"Kau kira aku bodoh dan dapat kau tipu dengan kata-katamu ini? Aku tahu kalian saling mencinta, mudah dilihat ketika kalian dikeroyok dan saling melindungi tadi. Bahkan engkau tadi menembak permaisuri sampai tewas untuk melindungi gadis ini! Engkau telah membunuh wanita yang kucinta, sekarang aku akan memperkosa gadis yang kau cinta di depan matamu!" Berkata demikian, dengan hanya mengenakan pakaian dalam, dengan sikap beringas Song Kim menghampiri pembaringan.
"Lee Song Kim, nanti dulu!" teriak Han Le, kini tak dapat lagi berpura-pura karena ternyata ucapannya tadi tidak dipercaya Song Kim.
"Ingat, engkau adalah pembantu utama dari Raja Ong Siu Coan, alangkah hina dan rendahnya kalau engkau hendak melakukan perbuatan terkutuk itu! Lepaskan nona Yu Bwee dan engkau boleh menyiksa aku sampai mati! Lepaskan nona itu!" Akan tetapi Song Kim tertawa gembira.
"Ha-ha, tidak ada siksaan yang lebih hebat bagimu daripada melihat wanita yang kau kasihi diperkosa orang di depan matamu tanpa engkau mampu berbuat sesuatu! Aku akan memperkosanya dan membunuhnya, dan engkau... bagianmu akan ditentukan oleh Sri Baginda sendiri!" Kini tangan Song Kim meraih ke arah tubuh Yu Bwee.
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lee Song Kim..." Han Le berteriak dan berusaha melepaskan belenggu kedua tangannya dengan sia-sia.
"Brettt...!" Baju luar Yu Bwee terobek dalam cengkeraman tangan Song Kim dan gadis itu mengeluarkan jerit ketakutan. Ia menghadapi ancaman bahaya yang amat mengerikan hatinya. Padahal, ancaman maut tidak akan membat gadis ini berkedip mata. Pada saat yang amat gawat dan berbahaya bagi Yu Bwee itu, tiba-tiba kain tenda terobek dari belakang dan berkelebat bayangan dua orang memasuki tenda. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu dengan sigapnya lalu menyerang Song Kim dengan sebuah senjata aneh, yaitu senjata kipas yang gagangnya runcing terbuat dari baja. Serangannya cepat dan kuat sekali. Han Le tidak lupa kepada gadis itu, karena pernah dia bertemu dengannya, bahkan pernah pula dia bertanding melawan gadis cantik yang wajahnya berseri cerah itu.
Akan tetapi kini dia tertarik melihat betapa pemuda bersenjata kipas itu menyerang Lee Song Kim yang sudah membalas serangan dengan pedangnya sambil bersuit mengeluarkan tanda bahaya, memanggil para pembantunya. Gadis manis yang mempunyai tahi lalat merah di dagunya bagian bawah itu segera meloncat ke dekat pembaringan, lalu menggunakan jari tangannya membebaskan totokan yang membuat Yu Bwee tak mampu bergerak tadi. Begitu ia dapat menggerakkan lagi kaki tangannya, Yu Bwee lalu mengerahkan sinkangnya dan belenggu kedua tangannya dapat dibikin putus dengan tidak sukar lagi. Yu Bwee tidak sempat mengucapkan terima kasih karena gadis itu kini sudah menarik sebatang tongkat dari ikat pinggangnya dan kini ia membantu pemuda yang mainkan kipasnya,
Lee Song Kim terkejut dan terhuyung ke belakang. tentu saja dia mengenal ilmu kedua orang lawannya ini. Ilmu kipas itu jelas adalah ilmu kipas dari mendiang San-tok, sedangkan ilmu tongkat yang dimainkan gadis manis ini tentu ilmu dari Tee-tok yang disebut Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam pengejar Nyawa)! Karena maklum akan kelihaian lawan, apalagi melihat Yu Bwee telah terlepas, diapun cepat meloncat keluar dari tenda itu, dikejar oleh pemuda dan gadis yang perkasa itu. Dugaan Lee Song Kim tidak keliru. Pemuda itu bukan lain adalah Tan Bun Hong. Seperti kita ketahui, Tan Bun Hong adalah putera dari pasangan Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong dan telah mewarisi ilmu-ilmu San-tok, termasuk ilmu mempergunakan kipas sebagai snjata itu. Adapun gadis itu adalah Thio Eng Hui, puteri dari Thio Ki dan Ciu Kui Eng.
Ayahnya, Thio Ki adalah ketua Kang-Sim-Pang, seorang ahli pedang yang lihai, sedangkan Ibunya adalah murid tersayang dari Tee-tok. Tentu saja Eng Hui mewarisi ilmu tongkat Cui-beng Hek-pang yang menjadi andalan Ibunya. Muda-mudi ini membantu perjuangan rakyat, dan para pendekar telah bergabung dan membantu gerakan yang dipimpin oleh Li Hong Cang dan Ceng Kok Han. Seperti diketahui, gerakan rakyat yang dipimpin oleh dua orang gagah ini sekarang mencurahkan segenap perhatian dan kekuatan mereka untuk menghadapi pemerintah Tai Peng. Bun Hong dan Eng Hui ditugaskan untuk melakukan penyelidikan di sepanjang perbatasan dan kebetulan saja mereka melihat dari tempat pengintaian mereka ketika Han Le dan Yu Bwee dikeroyok banyak orang Tai Peng yang dipimpin sendiri oleh Lee Song Kim.
Bahkan mereka melihat sendiri betapa Han Le membunuh Permaisuri Tang Ki dengan pistolnya dan hal ini saja sudah meyakinkan hati mereka bahwa Han Le dan Yu Bwee adalah orang-orang yang boleh digolongkan sebagai kawan karena telah bertempur melawan orang-orang Tai Peng. Apalagi sudah berjasa membunuh permaisuri! Biarpun hati Eng Hui diliputi keheranan besar tentu saja. Ia pernah bertemu dengan pemuda bermata biru itu, bahkan pernah bertanding dengannya karena ia dan kawan-kawannya menganggap pemuda itu mata-mata Tai Peng. Dan sekarang, ternyata pemuda itu malah membunuh permaisuri dari Raja Tai Peng! Tentu saja ia dan Bun Hong tidak mempunyai banyak waktu untuk menyelidiki keanehan ini dan melihat betapa Yu Bwee terancam bahaya perkosaan oleh Lee Song Kim,
Jiwa pendekar mereka memberontak dan merekapun segera turun tangan mencegah perbuatan terkutuk itu! Ketika Lee Song Kim meloncat keluar dikejar oleh Bun Hong dan Eng Hui, Yu Bwee cepat membebaskan Han Le dan mereka berduapun segera memburu keluar untuk membantu dua orang muda yang telah menyelamatkan mereka tadi. Akan tetapi, setelah tiba di luar, mereka melihat betapa keadaan di situ kacau balau dan pertempuran terjadi antara pasukan Tai Peng melawan pasukan yang datang menyerbu! Melihat betapa pemuda dan gadis yang tadi menolong mereka kini dikeroyok oleh banyak orang, Han Le dan Yu Bwee segera terjun ke dalam pertempuran. Dengan mudah mereka merobohkan beberapa orang anggauta pasukan Tai Peng dan merampas senjata mereka.
Pedang Naga Kemala Eps 9 Rajawali Hitam Eps 10 Pedang Naga Kemala Eps 41