Ceritasilat Novel Online

Rajawali Hitam 4


Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




Bu Siang adalah seorang wanita yang berpengalaman. Melihat perubahan pada wajah anaknya, ia lalu bertanya,

"Eh, apa yang telah terjadi, Lee Cin? Pertanyaan ayahmu tentang Si Kedok Hitam agaknya mendatangkan duka di hatimu.

"

Lee Cin terkejut. Ia tidak mengira bahwa ibunya telah dapat membaca isi hatinya. Maka iapun mengambil keputusan untuk berterus terang.

"Ayah, aku sudah temukan Si Kedok Hitam. Akan tetapi ternyata dia bukan seorang jahat. Bahkan tiga empat kali dia menyelamatkan nyawaku dari ancaman bahaya yang mengancam diriku. Aku sudah bertanya kepadanya tentang penyerangannya kepada ayah dan dia menjawab sejujurnya bahwa memang benar dia yang melakukannya. Akan tetapi dia katakan bahwa hal itu dilakukan hanya untuk memperingatkan ayah. Dia menganggap bahwa ayah adalah seorang beng-cu dukungan pemerintah Mancu. Dia seorang patriot sejati, ayah, maka dia tidak senang kalau ada orang Han membantu pemerintah penjajah Mancu. Diapun bilang bahwa dia juga terluka lengannya oleh pedang ayah.

Bagaimana aku dapat mendendam kepadanya, ayah? Dia menyerang ayah dengan alasan kuat dan sebaliknya dia telah berulang kali menyelamatkan nyawaku. Pantaskah kalau aku memaksanya mengadu ilmu dan nyawa?"

Souw Tek Bun menghela napas.

"Sudah kuduga demikian. Dia memang tidak bermaksud membunuhku karena kalau hal itu dilakukan, tentu sekarang aku sudah tidak berada di dunia ini. Dan alasannya memang kuat. Sebetulnya itulah sebabnya mengapa aku hendak mengundurkan diri. Pengangkatanku sebagai beng-cu disaksikan dan direstui oleh orang-orang pemerintah Mancu. Hal ini membuat aku merasa tidak enak, seolah-olah aku diangkat oleh pemerintah Mancu. Padahal, di sudut hatiku sendiri aku tidak suka kepada pemerintah Mancu yang menjajah tanah air kita. Sudahlah, Lee Cin, urusanku dengan Si Kedok Hitam sudah kuanggap selesai dan tidak perlu lagi kita mencarinya, tidak perlu kami saling mendendam. Mungkin dia yang berada di pihak yang benar."

Mendengar ini, wajah Lee Cin semakin muram. Apa artinya menghabiskan permusuhan itu kalau Si Kedok Hitam telah tewas?

"Kenapa engkau masih merasa berduka, Lee Cin?" tanya ibunya.

"Aku teringat kepada Si Kedok Hitam, ibu. Sudah kukatakan tadi betapa sudah beberapa kali dia menyelamatkan diriku dari ancaman bahaya. Dan yang terakhir kalinya, ketika dia menolong dan membelaku, dia terkena tendangan yang membuat dia terlempar dan jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam. Aku......... aku sudah mencari jenazahnya, akan tetapi tidak berhasil. Ia mati dalam keadaan mengerikan, bahkan jenazahnya tidak dapat kutemukan." Lee Cin tidak dapat menahan kesedihannya dan cepat menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut beberapa titik air mata yang membasahi pipinya.

Bu Siang dan Souw Tek Bun saling pandang. Mereka sudah cukup tua untuk dapat menduga apa yang bergolak dalam Kati puteri mereka.

"Lee Cin, kau..... kau cinta padanya?" tanya Bu Siang.

Lee Cin memandang kepada ibunya, tidak dapat menjawab dan tiba-tiba ia menubruk dan merangkul ibunya sambil menangis! Ulahnya ini sudah merupakan jawaban yang jelas sekali bagi suami isteri itu. Mereka juga ikut berduka bahwa puteri mereka jatuh cinta kepada seorang yang telah mati!

"Lee Cin, tenangkan hatimu," kata Souw Tek Bun dengan suara menghibur.

"Kaukatakan sendiri bahwa engkau tidak berhasil menemukan jenazahnya! Hal itu berarti bahwa sangat boleh jadi dia belum mati."

Lee Cin melepaskan rangkulan pada ibunya, menyusut air matanya dan memandang kepada ayahnya dengan mata basah.

"Bagaimana mungkin itu, ayah? Tinggi tebing dari mana dia terjatuh itu ribuan kaki. Ketika dari atas tebing aku menjenguk ke bawah, dasarnya tidak nampak, yang tampak hanya kabut. Tidak mungkin seseorang yang terjatuh ke dalam jurang yang demikian dalamnya masih dapat selamat."

"Akan tetapi buktinya, ketika engkau menuruni tebing itu, engkau tidak dapat menemukan jenazahnya, bukan? Tidak mungkin jenazah hilang begitu saja. Banyak peristiwa aneh terjadi di dunia anakku. Siapa tahu Si Kedok Hitam itu dapat tertolong ketika dia melayang jatuh dari atas tebing itu."

Mendengar ucapan ayahnya, wajah yang muram itu mendapatkan sinar kembali. Sinar harapan yang memenuhi hatinya dan terpancar keluar dari pandang matanya.

"Lee Cin," kata ibunya.

"Engkau hanya menyebut dia Si Kedok Hitam. Sebetulnya siapakah dia? Siapa namanya? "Namanya Cia Tin Han, ibu."

"Di mana dia tinggal?"

"Tadinya keluarganya tinggal di Hui-cu."

"Ahhh! Apakah dia mempunyai hubungan dengan keluarga Cia, keluarga pendekar yang tinggal di Hui-cu itu?"

"Benar, ibu. Dia putera kedua."

"Lalu siapa yang menendangnya sampai dia terjatuh ke dalam jurang itu?"


"Yang menendangnya adalah Nenek Cia, neneknya sendiri."

"Ehhhh? Ini membingungkan!"

"Lee Cin, lebih baik engkau ceritakan semua dengan jelas tentang engkau dan Cia Tin Han itu, dan tentang Keluarga Cia di Hui-cu."

Karena sudah menceritakan tentang perasaan hatinya terhadap Cia Tin Han, mau tidak mau Lee Cin harus menceritakan semuanya.

"Keluarga Cia di Hui-cu adalah keluarga pendekar patriot yang membenci pemerintah Mancu, bahkan membenci semua orang Han yang bekerja kepada pemerintah penjajah.

Akan tetapi mereka telah bersekutu dengan Phoa-ciangkun yang memberontak, dan bersekutu pula dengan orang-orang Jepang."

"Aih, sungguh sayang. Banyak patriot yang berpemandangan sempit, mau saja diperalat oleh pengkhianat dan orang asing," kata Souw Tek Bun.

"Karena di Hui-cu muncul Si Kedok Hitam yang mendatangi para pembesar Han, aku menjadi curiga kepada keluarga itu. Tadinya kusangka bahwa yang menjadi Si Kedok Hitam yang telah melukai ayah adalah Cia Tin Siong, cucu pertama Nenek Cia, sehingga aku ingin menantangnya.

Akan tetapi, setelah beberapa kali aku terancam bahaya maut dan Si Kedok Hitam muncul menolongku, aku menjadi sangsi. Cucu Nenek Cia yang kedua, adalah Cia Tin Han akan tetapi pemuda itu merupakan pemuda yang paling lemah di antara keluarga Cia. Agaknya dia tidak mempelajari ilmu silat secara mendalam dan lebih suka mempelajari sastra. Dan diapun tidak setuju melihat keluarganya bersekutu dengan orang-orang Jepang. Cia Tin Han seorang patriot sejati yang lebih mengandalkan kekuatan rakyat untuk mengusir penjajah. Karena sikap keluarganya itu, aku jadi bentrok dengan mereka. Apa lagi setelah aku bertemu dengan kakak Song Thian Lee yang sebagai panglima muda menyamar dan melakukan penyelidikan ke timur. Aku bekerja sama dengan kakak Song akan tetapi kami tertawan oleh Keluarga Cia yang dipimpin oleh Nenek Cia, kami dikeroyok oleh para pemberontak dan orang-orang Jepang.

Dan ketika kami ditawan, kami dibebaskan oleh Si Kedok Hitam. Kakak Song Thian Lee lalu memimpin pasukan menyerbu Keluarga Cia yang melarikan diri. Ketika aku bertemu mereka, kembali aku tertawan. Ketika aku terancam, muncul Si Kedok Hitam yang menolongku dan menyuruh aku melarikan diri. Aku berlari dan mengintai ketika Si Kedok Hitam menahan serangan semua keluarga Cia. Aku melihat tongkat Nenek Cia merenggut kedok hitam dan tampaklah siapa Si Kedok Hitam! Ternyata orang yang lihai sekali ini bukan lain adalah Cia Tin Han yang dalam keadaan biasa tampak lemah. Dan Nenek Cia menjadi marah karena dikhianati cucunya, lalu dia menendang dan Cia Tin Han terlempar lalu jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam itu."

Lee Cin berhenti bercerita dan mengerutkan alisnya. Ibunya segera merangkulnya.

"Sekarang aku mengerti mengapa engkau mencinta Si Kedok Hitam atau Cia Tin Han itu. Akan tetapi jangan putus asa, anakku. Apa yang dikatakan ayahmu tadi benar. Belum tentu dia tewas. Boleh jadi sekali dia tertolong, entah oleh apa dan siapa."

"Benar sekali, Lee Cin. Nanti setelah selesai pertemuan rapat dan menyerahkan kembali kedudukan Beng-cu kepada mereka, ibumu dan aku ingin merantau dan biarlah kami berdua membantumu untuk mencarinya," kata Souw Tek Bun.

Lee Cin mengangguk.

"Kuharap dia masih hidup seperti yang kaukatakan, ayah. Aku sendiri setelah pertemuan rapat nanti akan pergi juga untuk mencarinya. Selama hidup aku akan merasa penasaran kalau tidak mengetahui bagaimana nasibnya. Ayah dan......... aku....... aku cinta padanya dan sebagai Si Kedok Hitam diapun pernah menyatakan cinta kepadaku," kata Lee Cin sambil mengusap setetes air mata.
Bu Siang terharu, merangkul dan mencium puterinya.

"Jangan khawatir, anakku. Kami akan membantumu menemukan dia kembali."

Lee Cin merasa terhibur dan berterima kasih sekali kepada orang tuanya. Mereka lalu bersiap-siap untuk menyambut orang-orang kang-ouw yang akan berdatangan ke Hong-san.

-ooOoo-

Tamu pertama yang datang ke Hong-san adalah Thio Hui San yang datang bersama Ceng Ceng. Begitu berhadapan dengan Lee Cin, Ceng Ceng memandang penuh perhatian seperti teringat akan sesuatu. Akan tetapi Lee Cin sudah menghampirinya dan memegang lengan Ceng Ceng dan berkata dengan girang.

"Enci, aku mengenalmu! Bukankah engkau gadis yang menggunakan kebutan dan pedang menyerang Siang Koan Tek untuk menolongku? Bukankah engkau murid Thian Tok?"

Kini Ceng Ceng teringat. Gadis ini yang dulu ditolong oleh ia dan gurunya akan tetapi dibawa lari oleh seorang berkedok hitam.

"Aih, sekarang aku teringat. Engkau yang dulu dilarikan oleh orang berkedok hitam itu, bukan?"

Thio Hui San tersenyum dan memperkenalkan kedua orang gadis itu.

"Ceng moi, inilah nona Souw Lee Cin, puteri beng-cu Souw Tek Bun yang pernah kuceritakan kepadamu.

Cin-moi ini adalah nona Liu Ceng, seorang ...... sahabat baikku."

Dua orang gadis itu saling pegang tangan dan sebentar saja mereka menjadi akrab.

"Ayah, pemuda ini adalah Thio Hui San, murid dari suhu In Kong Thai-su, jadi masih terhitung suhengku sendiri." Lee Cin memperkenalkan Hui San kepada ayah ibunya. Diam-diam ia merasa girang melihat hubungan antara Hui San dan Ceng Ceng tampak mesra. Hal ini dapat ia ketahui dari sinar mata mereka ketika saling pandang. Ia merasa kasihan kepada Hui San yang pernah menyatakan cinta kepadanya namun ditolaknya. Dan agaknya kini Hui San telah memperoleh gantinya dan Ceng Ceng juga seorang gadis yang baik dan perkasa.

"Paman Souw, sayalah yang diutus oleh susiok Hui San Hwe- sio untuk mengundang para tokoh kang-ouw agar datang mengadakan rapat pertemuan di sini. Waktu yang ditentukan adalah nanti tanggal limabelas bulan ini, kurang lima hari lagi. Suhu pasti akan datang, demikian pula locian-pwe Im Yang Seng-cu ketua Kun-lun-pai juga akan datang. Mereka berdualah yang akan memimpin rapat pertemuan karena mereka yang mengundang. Dan di dalam rapat pertemuan itu, permintaan paman untuk mengundurkan diri akan dibicarakan."

"Ah, begitukah? Saya telah membuat kedua lo-cian-pwe banyak repot dan juga membuat engkau bersusah payah mengundang orang-orang kang-ouw."

"Ayah, suheng Thio Hui San ini malah senang melakukan tugas itu karena memberi kesempatan kepadanya untuk merantau. Apa lagi dalam perjalanan itu dia ditemani enci Ceng Ceng!" Lee Cin menggoda sambil memandang kepada dua orang itu. Wajah Ceng Ceng ber ubah kemerahan, akan tetapi sambil tersenyum ia berkata kepada Lee Cin.

"Ah, secara kebetulan saja kami saling berjumpa. Dan tahukah engkau, adik Lee Cin? Perjumpaan kami adalah pada waktu aku dan suhu membantumu menghadapi Siangkoan Tek dan ayahnya itulah! Setelah engkau dilarikan oleh orang berkedok hitam, aku kewalahan menghadapi Siangkoan Tek. Akan tetapi untunglah, San-ko ini datang membantu sehingga kami dapat mengusir orang jahat dan ayahnya yang lihai itu."

"Dan sejak itu kalian melakukan perjalanan bersama, bukan?"

Kembali Ceng Ceng tersipu malu.

"Benar, pertama aku ingin meluaskan pengalaman mengunjungi para tokoh kangouw, dan kedua kalinya karena aku ingin bertemu dengan suhu yang juga akan datang ke sini menghadiri rapat pertemuan."

Thio Hui San membantu kekasihnya yang menjadi tersipu atas pertanyaan Lee Cin , lalu berkata kepada Lee Cin,

"Cin-moi, terus terang saja, Ceng-moi dan aku telah bersepakat untuk hidup bersama."

Lee Cin sudah menduga bahwa antara kedua orang muda itu tentu ada hubungan yang baik, maka mendengar ini ia segera memegang lengan Ceng Ceng dan berkata girang,

"Ah, kalau begitu aku mengucapkan kionghi (selamat) kepada kalian! Jangan lupa mengirimkan kartu merahnya kalau saatnya tiba."

"Tentu saja!" kata Ceng Ceng yang merasa lega bahwa tunangannya telah berterus terang sehingga ia tidak perlu malu-malu lagi.

Lee Cin segera dapat akrab dengan Ceng Ceng dan sepasang prang muda itu diberi kamar di dalam rumah Souw Tek Bun, bukan dianggap sebagai tamu bahkan sebagai keluarga sendiri. Tanggal limabelas tiba dan sejak pagi-pagi sekali, berbondong orang mendaki puncak Hong-san untuk menghadapi rapat pertemuan. Karena Souw Tek Bun memang tidak mempunyat prabot seperti meja kursi untuk menyambut para pendatang, dia menyambut dan mempersilakan mereka pergi ke lapangan rumput tak jauh dari pondoknya. Lapangan rumput itu luas sekali dan dapat menampung ratusan orang.

Bermunculan tokoh-tokoh dunia persilatan, terutama sekali para wakil partai persilatan yang besar seperti Siauwlim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Kong- thong-pai, bahkan dari Gobi-pai yang jauh juga mengirim dua orang tokoh wanita untuk menghadiri rapat pertemuan itu. Akan tetapi sekali ini, Hui Sian Hwesio tidak mengundang wakil dari pemerintah untuk menghindarkan bentrokan dari mereka yang pro dan anti pemerintah. Para tokoh yang telah disebut datuk besar juga berdatangan.

Thiah-te Mo-ong Koan Ek, Raja iblis Selatan, juga hadir dan dia datang seorang diri saja. Kemudian Siangkoan Bhok datang bersama muridnya yang telah mempelajari simpanannya, yaitu Ouw Kwan Lok yang lengan kirinya buntung. Setelah itu muncul pula Thian-tok Gu Kiat Seng yang disambut dengan penuh kegembiraan oleh Ceng Ceng. Lee Cin memandang dengan alis berkerut ketika ia melihat Ouw Kwan Lok datang bersama Siang Koan Bhok. Pemuda itu buntung lengan kirinya oleh pedangnya.

Kemudian Lee Cin terkejut juga ketika melihat Nenek Cia datang pula bersama Cian Kun dan Cia Tin Siong! Akan tetapi ia menyambut mereka semua dengan sikap tenang saja, karena mereka semua itu datang untuk membicarakan urusan dunia kang-ouw, terutama untuk membicarakan pengunduran diri ayahnya. Namun diam-diam hatinya berdebar tegang juga. Hadirnya orang-orang ini tentu akan menimbulkan guncangan. Di antara banyak orang tokoh lain, tampak pula Pek I Lokai, yaitu guru dari Tang Cin Lan isteri panglima muda Song Thian Lee. Kini yang mewakili Siauw-lim-pai selain Hui Sian Hwesio, datang pula In Kong Thaisu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu.

Setelah matahari naik tinggi, semua tamu sudah berkumpul di lapangan rumput di tengah mana didirikan sebuah panggung terbuka, Souw Tek Bun sebagai tuan rumah lalu naik ke atas panggung. Begitu dia naik ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru, keadaan menjadi hening dan orang-orang yang hadir menghentikan percakapan mereka yang membuat suasana menjadi gaduh.

"Cu-wi (Saudara sekalian) yang mulia. Sebagai tuan rumah di Hong-san ini, saya menghaturkan selamat datang kepada cu-wi dan terima kasih bahwa ini hari cu-wi melelahkan diri mendatangi tempat ini, sesuai undangan yang diberikan oleh pihak Siauw-lim-pai. Oleh karena pengundangnya adalah Siauw-lim-pai, maka saya menyerahkan agar pimpinan selanjutnya dipegang oleh wakil dari Siauwlim-pai demi kelancaran rapat pertemuan ini." Dia lalu memberi hormat sambil membungkuk ke arah Hui Sian Hwesio yang dalam pemilihan dahulu menjadi wakil ketua Bengcu bersama lm Yang Sengcu ketua Kunlunpai.

"Silakan, lo-cian-pwe."

Hui Sian Hwesio tersenyum lebar dan diapun naik ke atas panggung itu. Seperti yang dilakukan Souw Tek Bun yang kini sudah turun dari panggung, diapun memberi hormat ke empat penjuru dan suaranya terdengar lembut namun lantang ketika dia bicara.

"Saudara sekalian yang terhormat, dari pihak kami terpaksa mengadakan rapat pertemuan ini karena terjadi hal-hal yang teramat penting yang patut untuk kita perbincangkan bersama. Pertama-tama adalah keinginan Bengcu kami untuk mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai bengcu."

Segera terdengar seruan-seruan yang tidak setuju, riuh rendah mereka bicara untuk menyatakan ketidak-setujuan mereka sehingga suasana menjadi gaduh kembali. Hui Sian Hwesio lalu mengangkat tangannya untuk minta kepada semua yang hadir agar tenang. Setelah suasana menjadi tenang kembali diapun berkata,

"Cuwi, hendaknya mengetahui bahwa bengcu Souw Tek Bun mengundurkan diri karena alasan pribadi dan tentu saja dia berhak menentukan hal itu. Agar lebih jelas, kami persilakan bengcu Souw Tek Bun untuk mengemukakan alasannya mengapa dia mengundurkan diri dari jabatan bengcu. Kami persilakan!"

Souw Tek Bun kembali naik ke panggung dan berkatalah dia dengan suara lantang.

"Saudara sekalian, saya mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari kedudukan bengcu karena dua hal. Pertama, karena saya merasa tidak tepat dan bahwa tingkat kepandaian saya belum cukup untuk saya menjadi bengcu. Masih banyak saudara lain yang jauh lebih pandai dari pada saya untuk menjadi bengcu, lebih tepat dan lebih pantas. Kedua, karena saya ingin hidup tenang dengan keluarga saya, maka saya mengambil keputusan untuk berhenti menjadi bencu!"

Kembali orang-orang saling bicara sendiri sehingga suasana menjadi gaduh. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring mengatasi semua suara itu dan ternyata yang bicara itu adalah nenek Cia. Ia menggerak-gerakkan tongkat naganya ke atas kepala dan berteriak,

"Dengarlah aku bicara!" Semua orang kini diam dan semua mata ditujukan kepadanya.

"Aku setuju sekali kalau Souw Tek Bun berhenti menjadi bengcu. Kami seluruh keluarga Cia memang tidak sertuju dia menjadi bengcu. Dia hanya bengcu yang di pilih oleh pemerintah Mancu dan siapa tahu kalau dia menjadi antek Mangcu!"

Mendengar ini, suasana menjadi gaduh dan Im Yang Seng-cu segera naik ke atas panggung. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas minta kepada semua orang untuk diam, lalu dia berkata.

"Kalau Souw-enghiong hendak mengundurkan diri dari kedudukan bengcu, hal itu adalah haknya dan kita semua tidak mungkin bisa memaksa orang menjadi bengcu di luar kehendaknya. Akan tetapi pinto sungguh tidak senang mendengar dia disangka menjadi antek Mancu. Pinto sendiri menjadi wakil ketua dan tidak pernah melihat ketua kita menjadi antek Mancu. Ucapan keluarga Cia tadi hanya fitnah belaka! Pinto dan sahabat Hui Sian Hwesio adalah wakil-wakil ketua bengcu dan kami berdua menyatakan bahwa Souw-enghiong selama menjadi bengcu tidak pernah menjadi antek penjajah Mancu!"

Setelah lm Yang Seng-cu turun dari atas panggung, tiba-tiba seorang melompat naik ke atas panggung dan gerakannya demikian ringan seolah dia terbang saja. Semua orang memandang dan sebagian besar dari mereka mengenal siapa adanya kakek itu. Kakek yang usianya mendekati enampuluh tahun ini bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Juga dia memegang sebatang dayung baja yang besar. Dia adalah Siang Koan Bhok dan berjuluk Tung-haiong (Raja Laut Ti mur), seorang datuk yang nama besarnya sudah terkenal di dunia kang-ouw. Munculnya datuk ini tentu saja menarik perhatian orang dan semua orang memperhatikan dan ingin mendengar apa yang dikatakannya.

"Kami dari Pulau Naga setuju sepenuhnya dengan ucapan Keluarga Cia tadi. Kita semua mengenal Keluarga Cia sebagai Keluarga patriot yang selalu berusaha untuk menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Souw-bengcu selama dia menjadi bengcu?

Dia tidak pernah menggerakkan kita untuk menentang pemerintah penjajah! Seorang beng-cu harus memimpin kita semua untuk menentang penjajah, menggulingkan penjajah dan melepaskan rakyat dari belenggu penjajahan!"

Tepuk sorak menyambut ucapan yang bernada gagah dan patriotik ini. Akan tetapi Siang Koan Bhok kembali mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta agar semua orang diam. Setelah suasananya menjadi hening, dia berkata lagi dengan suaranya yang dalam dan lantang.

"Saudara sekalian! Selama ini, di Timur sudah banyak orang gagah yang bangkit untuk menentang pemerintah, namun sayang mereka diserbu oleh kekuatan pasukan pemerintah yang besar sehingga gerakan mereka gagal.

Kalau saja Beng-cu dan para Wakilnya membantu gerakan itu dan mengerahkan seluruh kekuatan dunia kang-ouw, tentu usaha itu akan berhasil baik. Akan tetapi beng-cu dan para wakilnya diam saja, maka sudah tepatlah kalau Souwbeng cu mengundurkan diri. Sekarang kita perlu melakukan pemilihan Beng-cu baru yang pantas untuk memimpin kita berjuang melawan penjajah. Kami sudah bicara, kemudian terserah saudara sekalian" Siang Koan Bhok turun dari panggung disambut tepuk sorak ramai yang mendukungnya. Kini Hui Sian Hwe-sio yang berada di panggung. Setelah semua orang diam, hwe-sio tokoh Siauw-lim-pai inipun berkata dengan suara lembut namun cukup lantang.

"Apa yang diucapkan oleh saudara Bhok itu tidak sepenuhnya benar. Biarpun kami tidak pernah melakukan perlawanan yang sifatnya memberontak terhadap pemerintah, itu bukan berarti bahwa kami pro-pemerintah penjajah, apa lagi menjadi anteknya. Kami hanya melihat bahwa waktunya belum tiba dan kekuatan pasukan pemerintah amat kuat. Kami orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, diam-diam adalah berjiwa patriot juga. Justeru gerakan-gerakan yang sudah memberontak terhadap pemerintah itulah yang kita hendak bicarakan setelah urusan pengunduran diri Souw-bengcu selesai. Kami melihat banyak orang kang- ouw yang bersekutu dengan orang-orang asing untuk melakukan pemberontakan dan hal ini kami sama sekali tidak setuju.

Apa lagi kalau bersekutu dengan para gerombolan penjahat yang menggunakan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan mereka mengacau rakyat jelata. Kami adalah patriot-patriot sejati yang tidak sudi bersekutu dengan mereka. Kami adalah pembela-pembela rakyat, bukan penindas rakyat. Hal ini tentu cu-wi telah mengetahuinya dengan baik untuk membedakan mana pejuangan sejati dan mana yang palsu."

"Kami protes!" Tiba-tiba Nenek Cia melompat ke atas panggung. Melihat ini, terpaksa Hui Sian Hwe-sio turun untuk memberi kesempatan kepada nenek itu untuk bicara.

"Kami protes atas ucapan Siauw-li pai tadi!" Nenek Cia berkata lantang "Kami sendiri mengakui bahwa baru-baru ini kami berjuang melawan penjajah dan kami bekerja sama dengan pasukan pemberontak dan dengan orang-orang Jepang! Walaupun kami telah gagal, akan tetapi kami anggap apa yang kami lakukan itu sudah benar! Pada saat seperti sekarang ini, perjuangan menentang penjajahan harus dilakukan oleh semua pihak. Tidak perduli golongan putih atau Imam, harus bersatu padu untuk mengusir penjajah. Tidak perduli kita bersekutu dengan orang asing, yang penting penjajah Mancu harus digulingkan. Kita perlu bertindak, sekarang juga, dengan mempersatukan segala pihak berjuang, bertindak sekarang juga, bukan hanya dengan omong kosong!" Setelah berkata demikian, Nenek Cia lalu melompat turun dari atas panggung dan kata-katanya yang bersemangat itu mendapat sambutan meriah. Suasana terasa panas menegangkan karena ada dua pihak yang berbicara dan saling bertentangan.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang nyaring mengatasi semua kegaduhanan sesosok tubuh yang pendek gendut melayang naik ke atas panggung. Dia dalah seorang kakek berusia limapuluh empat tahun yang bertubuh pendek gendut serba bulat, pakaian jubah pertapa dan tangannya memegang sebatang kebutan bulu putih. Dia adalah Thian Tok (Racun Langit) Gu Kiat Seng. Dia mengangkat tangan kiri dan kebutannya ke atas sehingga suasana menjadi tenang. Lalu terdengar suaranya yang melengking tinggi.

"Saudara sekalian! Saya melihat jalannya rapat tidak beres dan terjadi perbantahan. Kalau dilanjutkan begini bisa berakhir dengan perkelahian di antara kita sendiri. Sekarang harap diputuskan dulu acara pertama, yaitu tentang pengunduran diri Souw- bengcu dari kedudukannya sebagai beng-cu. Apakah hal ini dapat disetujui? Jawablah yang keras!"

Semua orang memang tidak melihat perlunya kedudukan beng-cu bagi Souw Tek Bun dipertahanankan karena orangnya sudah memberi asalan pengunduran diri, maka serempak mereka menjawab,

"Setujuuuu. ..... !!"

"Bagus, bagus!" Thian Tok berseru.

"Berarti acara pertama sudah beres. Kini, sebelum kita meningkat ke acara kedua sebaiknya kalau diadakan pemilihan beng-cu baru lebih Kalau sudah begitu, maka beng-cu baru yang akan memimpin rapat membicarakan tentang perjuangan. Bagaimana, saudara sekalian, apakah usul saya ini disetujui?"

"Setujuuu.......... !" Kembali orang-orang berseru nyaring.

Hui Sian Hwe-sio naik ke panggung dan dia mengangguk-angguk lalu memberi hormat kepada Thian Tok.

"Saudara Gu, terima kasih atas usul saudara yang tepat ini." Thian Tok tersenyum dan melompat turun kembali, meninggalkan Hui Sian Hwe-sio seorang diri.

"Cu-wi, apa yang diusulkan oleh saudara Thian-tok Gu Kiat Seng, tadi memang tepat sekali. Sekarang Souw-sicu sudah bukan beng-cu lagi dan kedudukan beng-cu menjadi kosong. Kami sebagai pengundang berkewajiban untuk mengadakan pemilihan beng-cu baru. Nah, saudara-saudara boleh mengajukan wakil-wakil calon beng-cu."

Nenek Cia melompat ke atas panggung dan berkata,

"Kami harap saudara sekalian tidak salah pilih. Karena perlu orang yang bersamangat muda sebagai pemimpin, sebaiknya kalau kita memilih calon-calon muda! Kami sendiri mengajukan cucu kami, Cia Tin Siong sebagai calon bengcu!"

Setelah berkata demikian, Nenek Cia melompat turun lagi. Hui Sian Hwe-sio berkata,

"Siapa lagi yang akan rpengajukan calonnya, harap naik ke panggung!"

Siang Koan Bhok melompat ke atas panggung.

"Saya setuju sekali dengan pendapat nyonya Cia. Sebaiknya kaum muda yang diserahi tugas memimpin orang-orang gagah sedunia. Saya mengajukan calon yaitu muridku sendiri bernama Ouw Kwan Lok!"

Banyak orang gagah golongan bersih memilih In Kong Thai-su ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu yang juga hadir.

Kakek ini lalu naik ke panggung dan sambil tersenyum berkata,

"Pin-ceng sudah tua, maka pin-ceng wakilkan sebagai calon ketua kepada murid pin-ceng yang bernama Thio Hui San!"

Ada pula golongan yang memilih Im Yang Seng-cu ketua Kun-lun-pai, ada yang memilih Thian Tok Gu Kiat Seng. Akan tetapi kakek gendut pendek ini berkata lantang.

"Saya adalah seorang yang bebas, tidak bersedia menjadi calon beng-cu yang akan mengikat kaki tangan dan membuat aku tidak bebas lagi!"

Akhirnya diputuskan bahwa calon beng-cu adalah Cia Tin Siong, Ouw Kwan Lok, Thio Hui San, dan Im Yang Sengcu. Tentu saja tiga orang muda itu didukung oleh guru masing-masing yang siap mempertahankan calonnya.

"Dipersilakan keempat calon naik ke panggung untuk diperkenalkan kepada hadirin!" kata pula Hui Sian Hwe-sio.

Berturut-turut Cia Tin Siong, Ouw Kwan Lok, dan Thio Hui Sari naik ke atas panggung disambut tepuk sorak dan segera orang-orang melakukan pemilihan masing-masing. Dengan sendirinya, golongan yang condong kepada golongan sesat memilih Ouw Kwan Lok yang dijagokan oleh Siang Koan Bhok, golongan yang merasa dirinya pejuang dan patriot memilih Cia Tin Siong yang dijagokan oleh Nenek Cia yang mereka kenal sebagai seorang patriot yang gigih. Dan golongan pendekar bersih tentu saja condong untuk memilih Thio Hui San yang dijagokan oleh Ketua Siauw-lim-pai.

Akhirnya Im Yang Seng-cu yang duduk di bawah panggung, terpaksa naik juga karena diapun dijadikan calon. Sebagai wakil ketua beng-cu dia tentu saja dapat menolak dan setelah berada di atas panggung dia berkata,

"Sian-cai ! Tiga Calon beng-cu yang muda-muda dan gagah telah dipilih, mengapa masih juga mengajukan pin-to untuk menjadi calon? Pinto sudah tua dan mengurus Kun- lun- pai saja sudah merepotkan, mana mungkin pinto dapat menjadi bengcu?"

Akan tetapi orang-orang golongan bersih yang masih ragu untuk memilih Thia Hui San, ragu akan kemampuan orang muda itu, tetap memilih Im Yang Seng-cu.

"Saudara sekalian!" kata Hui San Hwe-sio dari atas panggung.

"Sekarang terdapat empat orang beng-cu. Lalu bagaimanakah kita akan memilih siapa yang paling tepat di antara mereka?"

Siang Koan Bhok yang berada di bawah panggung berseru dengan suara lantang sehingga mengatasi semua kegaduhan.

"Menjadi seorang beng-cu haruslah dia yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Karena itu, seperti sudah sepatutnya memilih ketua, sebaiknya diadakan pi-bu (bertanding silat) antara empat calon itu!"

Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Mereka semua yang hadir di situ adalah orang-orang dunia persilatan, maka mendengar usul ini tidak ada yang tidak setuju. Dengan suara bulat mereka menyatakan persetujuan mereka karena mereka ingin sekali melihat pertandingan silat antara para jagoan itu.

Suara riuh rendah menyatakan persetujuan itu disambut oleh Hui San Hwe-sio sambil mengangkat kedua tangan mereka semua diam, kemudian dia berkata,

"Kami tanyakan kepada mereka yang tadi mengajukan calon beng-cu, apakah kalian setuju dengan diadakannya pi-bu ini? Pertama kepada Nyonya Cia kami tanyakan, apakah setuju dengan diadakannya pi-bu?"

"Kami setuju, kalau perlu pendukungnya dapat maju untuk mewakili calonnya!" Nenek itu menggerakkan tongkat naganya dengan garang.

"Bagai mana dengan saudara Siang Koan Bhok?"

"Aku setuju muridku diadu dengan calon lain, dan juga setuju kalau perlu para pendukungnya maju satu demi satu"

"Bagaimana dengan pendukung Im Yang Seng-cu?" Serempak para pendekar yang memilih ketua Kun-lunpai ini menjawab setuju. Kalau diadakan pi-bu, mereka yakin bahwa ketua Kun-lun-pai ini yang akan keluar sebagai pemenang melawan orang-orang muda itu.

"Kalau Im Yang Seng-cu yang maju, maka akulah yang akan menggantikan cucuku,� teriak Nenek Cia penasaran.

"Omitohud, bagaimana mungkin ini? Calon harus bertanding melawa calon, dan pendukung melawan pendukung. Kami sendiri setuju diadakan pertandingan antara calon. Sekarang sebaiknya diundi antara keempat calon, siapa lawan siapa yang akan maju."

Hui Sian Hwe-sio lalu memegang empat buah hio-swa (dupa biting), dua panjang dan dua pendek. Dia menggenggam empat batang hio-swa itu di bagian atasnya sehingga tidak tampak mana yang panjang dan mana yang pendek. Lain dia mempersilakan keempat calon mencabut sebatang hio. Hasilnya, Thio Hui San dan Im Yang Seng-cu mencabut hio panjang sedangkan Ouw K wan Lok dan Cia Tin Siong mencabut hio pendek. Ini berarti bahwa Thio Hui San akan bertanding melawan Im Yang Seng-cu dan Ouw Kwan Lok akan bertanding melawan Cia Tin Siong.

Lee Cin sejak tadi mengikuti semua yang terjadi di situ. Hatinya kadang terasa panas kalau melihat Nenek Cia. Nenek itu yang telah membunuh Cia Tin Han, pikirnya. Akan tetapi ia menahan kesabarannya karena amat tidak baik membuat keributan di saat itu. Melihat bahwa Ouw Kwan Lok harus bertanding melawan Cia Tin Siong, dara ini berbisik kepada ayah dan ibunya yang berdiri di dekatnya.

"Tingkat kepandaian Ouw Kwan Lok itu lebih tinggi, akan tetapi dengan buntungnya lengan kirinya, tentu keadaan menjadi ramai. Cuma kasihan saudara Thio Hui San harus bertanding melawan Im Yang Seng-cu. Bagaimana dia dapat menandingi ketua Kun-lun-pai itu walau pun aku tahu kepandaian Thio-twako juga amat tinggi?"

"Tenangkan hatimu. Kita lihat saja bagaimana kesudahannya. Aku khawatir ini akan menjadi besar dengan majunya para pendukung. Im Yang Seng-cu tentu akan mengalah terhadap Thio Hui San. Kita lihat sajalah," kata Souw Tek Bun.

"Yang penting, mereka tidak akan memaksa ayahmu," kata Ang-tok Mo-li Bu Siang.

"Kalau ada yang mengganggunya, aku yang akan menghadapi orang itu.�

Souw Tek Bun memandang kepada isterinya sambil tersenyum. Biarpun isterinya telah banyak berubah, namun kadang masih tampak juga kekerasan hatinya sebagai seorang datuk kang-ouw!

"Menurut hasil Thio Hui San harus bertanding melawan Im Yang Seng-cu, kemudian baru Ouw Kwan Lok melawan Cia Tin Siong. Yang lain harap turun dari panggung, kecuali kedua orang yang hendak bertanding, yaitu Thio Hui San dan Im Yang Seng-cu," kata Hui Sian Hwe-sio. Dia sendiri lalu turun dari panggung diikuti yang lain. sehingga kini yang berada di atas panggung hanya Thio Hui San dan Im Yang Seng-cu.

Thio Hui San memberi hormat kepada Im Yang Seng dan sambil tersenyum dia berkata,

"Apa yang dapat saya pergunakan untuk menandingi to-tiang? Harap to-tiang jangan mempergunakan tangan yang terlalu keras untuk mengalahkan saya." Im Yang Seng-cu tertawa sambil mengelus jenggotnya.

"Ha-ha-ha, sicu Thio Hui San jauh lebih tepat untuk menjadi ketua dari pada pin-to yang sudah tua. Biarlah pin-to mengaku kalah sebelum bertanding dan pin-to mengundurkan diri dari calon beng-cu!" Ucapannya itu terdengar lantang terdengar oleh semua orang. Tentu saja para pendukungnya merasa tidak puas, akan tetapi karena Im Yang Seng-cu mengalah terhadap Thio Hui San, murid Siauw-lim pai, mereka tidak terlalu kecewa. Mereka juga sudah maklum akan kehebatan Siauw- lim-pai.

Hui Sian Hwe-sio naik ke atas panggung ketika Im Yang Seng-cu turun dan dia berkata dengan lantang.

"Karena Im Yang Seng-cu sudah mengalah, maka Thio Hui San dianggap sebagai pemenang dalam pi-bu ini dan dia harus menghadapi pemenang dari pertandingan kedua." Dia lalu mengajak Hui San turun. Ceng Ceng menyambut pemuda itu dengan muka berseri.

"Aih, San-ko, hatiku sudah gelisah sekali melihat engkau tadi berhadapan dengan Im Yang Seng-cu. Untung bagimu dia mengalah dan mengundurkan diri."

"Akan tetapi aku harus menghadapi pemenang dari pertandingan ke dua, dan kurasa mereka bukan orang lemah."

"San-ko, mengapa engkau mau dijadikan calon beng-cu? Apakah engkau ingin sekali menjadi beng-cu?" Gadis itu bertanya sambil menatap tajam wajah tunangannya.

Hui San menghela napas panjang.

"Sama sekali aku tidak ingin, Ceng-moi. Akan tetapi bagaimana lagi kalau suhu minta aku mewakilinya. Tentu saja aku tidak berani menolak."

"Berhati-hatilah, San-ko. Aku ikut mendoakan semoga engkau keluar sebagai pemenang."

Sementara itu, Hui Sian Hwe-sio sudah memanggil dua orang calon lain untuk naik ke panggung dan kini Cia Tin Siong sudah berhadapan dengan Ouw Kwan Lok. Hampir semua orang, kecuali Siang Koan Bhok, memandang rendah kepada murid datuk ini. Pemuda yang lengan kirinya buntung, mana dapat menjadi seorang jagoan yang lihai ? Akan tetapi Cia Tin Siong tidak berani memandang rendah. Dia pernah bertemu dengan Ouw Kwan Lok yang ketika itu bersama Siang Koan Tek membantu gerakan pemberontak di Timur. Walaupun dia belum tahu sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi pemuda ini sudah diaku sebagai murid Siang Koan Bhok, tentu kakek itu sudah menurunkan ilmu- ilmunya yang tinggi.

Karena tidak memandang rendah, begitu maju Tin Siong telah mencabut suling peraknya dan menghadapi Ouw Kwan Lok.

"Sobat, keluarkan senjatamu!" tantangnya.

Ouw Kwan Lok tersenyum.

"Saudara Cia Tin Siong, benar-benarkah engkau mau melawan aku? Apakah engkau sanggup untuk menjadi seorang beng-cu yang memimpin dunia kang-ouw? Sebaiknya engkau mencontoh tindakan Im Yang Seng-cu tadi, mengalah saja kepadaku agar aku tidak perlu merobohkan seorang yang pernah menjadi sahabatku."

"Tin Siong, majulah dan jangan banyak bicara lagi. Kalau engkau sampai kalah, biar aku yang maju!" Terdengar teriak Nenek Cia yang membuat para penonton menjadi tegang.

Nenek itu agaknya hendak berkeras mendapatkan kedudukan beng-cu bagi cucunya, kalau perlu ia sendiri yang akan maju menandingi siapa saja yang tidak menyetujui cucunya menjadi beng-cu! Mendengar seruan neneknya, Cia Tin Siong berkata kepada Ouw Kwan Lok.

"Sobat she Ouw, majulah dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih patut menjadi beng-cu."

Ouw Kwan Lok kembali tersenyum lebar.

"Baiklah kalau engkau memaksa, akan tetapi jangan menyesal kalau terpaksa aku merobohkanmu di depan banyak orang. Nah, maju dan seranglah!"

"Tidak, keluarkan dulu senjatamu. Aku tidak mau menyerang lawan yang tidak bersenjata, apa lagi........" Dia tidak melanjut kan kata- katanya, hanya memandang lengan baju kiri yang kosong itu.

Ouw Kwan Lok mengerutkan alisnya lalu dia memutar lengan kiri yang tinggal sepanjang siku itu sehingga lebihan lengan baju itu berputar.

"Inilah senjataku!"

Melihat ini, Tin Siong tidak ragu lagi.

"Lihat seranganku!" bentaknya sulingnya menyambar dengan tusukan yang cepat dan kuat ke arah lehe Kwan Lok.

Akan tetapi dengan gerakan lincah sekali Ouw Kwan Lok mengelak dari tusukan lain lengan kirinya menyambar dan lengan baju yang kosong itu berubah tegang menotok ke arah dada Tin Siong! Tin Siong terkejut sekali dan mengelak, lalu membalas dengan serangan gencar. Demikian cepat gerakan sulingnya sehingga suling mengeluarkan suar mengaung-ngaung seperti ditiup. Akan tetapi Kwan Lok dapat mengimbangi kecepatan gerakan Tin Siong dan dia mengelak ke sana sini dan kadang menangkis dengan lengan bajunya.

Terjadilah pertandingan yang menarik dan seru. Dan Ouw Kwan Lok tetap saja tidak mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung. Dia menghadapi lawannya dengan tangan kosong saja. Mula-mula dia menggunakan ilmu silat Iek-wan-kun (Silat Lutung Hitam) yang gesit bukan main dan beberapa kali dia hampir dapat merampas suling perak lawan. Kemudian dia mengubah ilmu silatnya dan menggunakan Pek-swat ok-ciang (Tangan Beracun Salju Putih) yang dahulu dipelajarinya dari Thian-te Mo-ong.

Pukulannya mengandung hawa dingin yang mengejutkan hati Tin Siong. Akan tetapi pemuda ini telah mempelajari ilmu silat keluarga Cia dengan baik. Dia memutar sulingnya sehingga bentuk sulingnya lenyap dan berubah menjadi sinar perak yang bergulung-gulung. Pukulan-pukulan berhawa dingin dari Ouw Kwan Lok dapat dibendung dan bahkan dia dapat membalas dengan totokan-totokan suling peraknya. Akan tetapi kembali Kwan Lok mengubah ilmu silatnya. Kini dia mainkan Kui-Song-kun (Silat Naga Iblis) yang dipelajarinya dari Siang Koan Bhok. Ilmu silat ini hebat sekali karena mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga setiap kali ditangkis tangan, sulingnya terpental dan hampir terlepas dari pegangan Tin Siong.

Agaknya Kwan Lok memang sengaja hendak memamerkan ilmu-ilmunya, maka dia mengubah-ubah ilmu silatnya walaupun dia mampu merobohkan Tin Siong dalam waktu yang tidak terlalu lama. Berkat gemblengan Siang Koan Bhok yang hendak menggunakan muridnya untuk membalas dendam kepada musuh-musuhnya, kini Ouw Kwan Lok telah maju demikian pesat sehingga dia tidak kalah lihainya dibandingkan dengan Siang Koan Bhok sendiri. Dia telah menguasai ilmu-ilmu dari tiga orang datuk.

Pertama dari Pak-thian-ong datuk utara, kedua dari Thian-te Mo-ong datuk selatan, kemudian ke tiga dari Siang Koan Bhok datuk timur! Setelah memamerkan Kui-long-kun tiba-tiba dia merubah lagi ilmu silatnya dan inilah Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Sambaran hawa dari tangan kanan Kwan Lok membuat Tin Siong menjadi pening dan tiba-tiba saja ujung lengan baju tangan kiri yang berubah menjadi kaku telah menotok lehernya dan Tin Siong roboh terguling di atas panggung, sulingnya terlepas dari tangannya! Dia tidak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok jalan darahnya yang membuat dia lemas.

Akan tetapi Kwan Lok yang maklum bahwa keluarga Cia dapat ditarik menjadi sekutu, cepat menyambar tubuh itu dan sekali tangan kanannya bergerak dia telah membebaskan totokan sehingga Tin Siong mampu bergerak kembali dan dia sudah mengambilkan suling perak yang tadi terlepas lalu menyerahkan kepada Tin Siong.

Pada saat itu, terdengar suara melengking dan Nenek Cia sudah melayang naik ke atas panggung. Akan tetapi, Tin Siong menyambut neneknya dan ber kata,

"Nek, saya telah kalah. Saudara Ouw Kwan Lok sudah sepatutnya menjadi beng-cu."

Melihat cucunya sama sekali tidak terluka, Nenek Cia tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi pada saat itu Hui Sian Hwe-sio sudah naik ke atas panggung.

Dengan sikap hormat Hui Sian Hwe sio mempersilakan nenek itu turun dari atas panggung.

"Nyonya Cia, silahkan turun dari panggung karena segera akan diadakan pertandingan berikutnya. Si-cu Cia Tin Siong jelas telah mengalami kekalahan dalam pertandingan tadi."

Dengan muka. cemberut nenek itu segera menggandeng tangan Tin Siong dan diajak melompat turun dari atas panggung. Mereka yang berpihak kepada Ouw Kwan Lok, yaitu para golongan hitam, bersorak riuh menyambut kemenangan jagoan mereka itu.

Hui Sian Hwe-sio lalu mengangkat tangan ke atas dan berseru,

"Saudara sekalian, pertandingan kedua dimenangkan oleh si-cu Ouw Kwan Lok, maka sekarang akan diadakan pertandingan antara pemenang pertandingan pertama dengan pemenang pertandingan kedua. Thio Hui San, engkau naiklah ke panggung menghadapi si-cu Ouw Kwan Lok!"

Hui Sian Hwe-sio sendiri tidak khawatir. Dia cukup tahu akan kepandaian murid keponakannya. Thio Hui San telah menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-limpai dengan matang, bahkan dia mempunyai ilmu andalan yang jarang dimiliki orang lain, yaitu ilmu totok It-yang-ci. Akan tetapi In Kong Thai-su, guru Thio Hui San, mengerutkan alisnya dan dia merasa khawatir. Melihat ilmu kepandaian Ouw Kwan Lok tadi, dia menyangsikan apakah Thio Hui San akan mampu keluar sebagai pemenang. Dia hanya menghela napas saja karena tidak dapat berbuat sesuatu.

"San-ko, hati-hatilah menghadapi dia," bisik Ceng Ceng kepada Hui San yang mengangguk dan pemuda itu melompat naik ke atas panggung menghadapi Ouw Kwan Lok.

Lee Cin juga merasa khawatir juga melihat betapa Ouw Kwan Lok yang lengan kirinya sudah buntung itu bahkan lebih tangguh dari pada sebelum lengannya buntung!

Bahkan ibunya yang berdiri di sampingnya berkata lirih,

"Wah, kepandaian pemuda buntung itu hebat sekali! Heran aku bagaimana engkau dapat membuntungi lengan kirinya, Lee Cin."

"Ketika dia berkelahi melawan aku, ilmu kepandaiannya tidak sehebat itu, ibu. Aku sendiri juga heran mengapa sekarang dia demikian lihai." kata Lee Cin.

Souw Tek Bun menghela napas panjang.

"Tidak perlu diherankan. Tadinya, pemuda itu memang sudah lihai, walaupun masih kalah olehmu, Lee Cin. Akan tetapi sekarang dia menjadi murid Siang Koan Bhok dan agaknya datuk itu telah menurunkan ilmu-ilmunya yang paling hebat kepadanya."

Mereka bertiga berdiam dan dengan hati tegang memandang ke atas panggung di mana dua orang pemuda itu sudah berdiri saling berhadapan. Hui San tampak gagah dengan bajunya yang serba biru, tubuhnya yang jangkung tegap dan wajahnya yang tampan dan jantan. Sabaliknya Ouw Kwan Lok tampak seperti seorang pemuda yang lemah lembut, berpakaian serba putih, apa lagi lengan kirinya buntung. Hanya matanya yang mencorong tajam itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang lihai.

Melihat Thio Hui San sudah berhadapan dengannya, Ouw Kwan Lok tersenyum mengejek. Biarpun dia tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu seorang murid Siauwlim-pai yang lihai, namun dia memandang ringan dan bertanya dengan tersenyum.

"Orang she Thio, engkau hendak mempergunakan senjata apa? Keluarkanlah senjatamu!"

Wajah Kwan Lok menjadi merah. Dia menekan kemarahannya dan tersenyum mengejek.

"Aku sudah mendengar bahwa In Kong Thai-su terkenal dengan ilmu totok It-yang-ci, maka engkau tentu akan mengandalkan ilmu itu. Justeru aku ingin menguji sampai dimana kehehatan It-yang-ci!"

Hui San diam-diam terkejut. Pemuda lengan buntung ini benar-benar sombong sekali. Tidak aneh kalau dia mengetahui tentang It-yang-ci karena memang In Kong Thaisu, gurunya, terkenal dengan ilmu itu.

"Kalau begitu, mulailah, aku sudah siap!" kata Hui San sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat.

Melihat kuda-kuda ini, Kwan Lo kembali tersenyum mengejek.

"Sambutlah seranganku!" Begitu menyerang, dia sudah menggunakan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu Ban-tok-ciang. Ilmu pukulan ini mengandung racun yang berbahaya sekali dan orang yang terkena serangan ini, tentu darahnya akan keracunan. Hui San mengenal pukulan ampuh maka diapun cepat menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak dan membalas, langsung saja menggunakan It-yang-ci!

Hebat bukan main pertandingan ini. Pukulan mereka sama-sama mengeluarkan tenaga sin-kang yang hebat dan dahsyat, terdengar bersiutan. Akan tetapi mereka dapat mengelak atau menangkis dan balas menyerang. Walaupun tangannya hanya tinggal sebuah, namun Kwan Lok dapat menggunakan lengan baju kirinya yang kosong untuk menangkis, bahkan dapat pula lengan baju kiri dipergunakan untuk menyerang dengan totokan yang berbahaya pula.

Mereka saling serang silih berganti sampai enam puluh jurus lebih. Akan tetapi, lambat laun Hui San mulai terdesak karena lawannya mengubah-ubah ilmu silatnya sehingga sukar sekali bagi Hui San untuk dapat mengikuti gerak geriknya. Tiba-tiba Kwan Lok mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat ke atas lalu menyerang dengan pukulan tangan kanannya ke arah kepala Hui San!

Serangan yang menerkam dari atas ini berbahaya sekali. Tidak mungkin dapat dielakkan lagi oleh Hui San dan terpaksa Hui San menyambut dengan tangkisan yang sekuat-kuatnya. Tangan kirinya mendorong ke atas menyambut tangan kanan itu sedangkan tangan kanannya juga menangkis serangan lengan baju yang menusuk ke arah matanya.

"Wuuuuuttttt......... dessss......... !!!"......... tubuh Kwan Lok terpental sehingga dia berjungkir balik tiga kali baru turun ke atas panggung. Akan tetapi tubuh Hui San terdorong mundur terhuyung-huyung dan pemuda ini muntahkan darah segar dari mulutnya! Sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan menyambar tubuh Hui San, dibawa turun. Yang melakukan hal itu adalah In Kong Thaisu sendiri. Melihat muridnya sudah terluka parah, dia lalu menolong untuk segera mengobatinya dengan It-yang-ci.

Souw Tek Bun cepat menghampiri mereka.

"Mari, silakan membawanya masuk ke rumah kami, Thai-suhu."

In Kong Thai-su tidak sungkan lagi, lalu membawa tubuh Hui San ke dalam rumah di mana dia segera melakukan pengobatan dengan ilmu It-yang-ci. Ceng Ceng mengikuti dengan muka pucat dan hati cemas sekali. Sementara itu, melihat kemenangan muridnya, Siang Koan Bhok lalu berseru keras dari tempat dia berdiri,

"Muridku sudah menang. Berarti dialah yang menjadi bengcu baru!"

Hui Sian Hwe-sio, walaupun dengan hati cemas, naik ke atas panggung dan berkata kepada semua yang hadir, setelah minta mereka yang menyambut kemenangan itu dengan sorak sorai diam.

"Setelah diadakan pertandingan yang jujur dan adil, ternyata yang keluar sebagai pemenangnya adalah si-cu Ouw Kwan Lok. Dialah yang menjadi beng-cu baru, kalau tidak ada orang lain yang menolaknya." Sengaja dia mengeluarkan kata-kata ini dengan harapan kalau-kalau ada yang menentang pengangkatan beng-cu baru itu.

"Kalau Im Yang Seng-cu ikut bertanding, tentu dia yang menang!" terdengar suara beberapa orang yang tadi mendukung ketua Kun-lun-pai itu.

Tiba-tiba terdengar seruan melengking,

"Tunggu. !" Dan Nenek Cia tampak melayang ke atas panggung.
Ouw Kwan Lok mengerutkan alisnya. Apakah nenek yang terkenal galak ini tidak mau menerima kekalahan cucunya?

"Nenek Cia! Engkau tidak ikut menjadi calon beng-cu, mengapa naik ke panggung? Apa maumu? Engkau boleh bertanding melawan aku!" terdengar Siang Koan Bhok berseru.

"Aku bukan ingin merebut kedudukan beng-cu. Aku mengakui bahwa pemuda ini telah menang dan dia pantas diangkat menjadi beng-cu. Akan tetapi aku ingin mengukur sampai di mana kepandaiannya agar hatiku puas mengakui dia sebagai beng-cu!"

"Akulah musuhmu!" bentak Siang Koan Bhok marah. Akan tetapi dari atas panggung, Kwan Lok berkata kepada gurunya.

"Su-hu, biarlah Nenek Cia ini menguji kemampuanku, agar dia tidak lagi berani meremehkan suhu!"

Siang Koan Bhok tertawa bergelak. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian muridnya itu sudah melampaui dirinya maka memang lebih kuat Kwan Lok yang maju dari pada dia.

"Bocah she Ouw, kalau engkau mampu bertahan tigapuluh jurus menghadapi tongkatku ini, baru aku mengakui bahwa engkau memang pantas menjadi beng-cu!" kata Nenek Cia sambil memalangkan tongkat naganya.

"Jangankan tigapuluh jurus, biar limapuluh jurus atau lebih aku sanggup melayanimu, nek!"

Jawaban ini memerahkan telinga Nenek Cia. Dia memutar tongkatnya dan membentak,

"Bocah sombong, rasakan tongkatku!" Dan iapun sudah menyerang dengan dahsyatnya. Melihat serangan ini, Kwan Lok maklum bahwa nenek itu lihai sekali maka dia tidak berani main-main.

Cepat dia mengelak lalu menggerakkan lengan baju kirinya untuk menotok dan tangan kanannya menyambar ke arah tongkat untuk merampasnya. Akan tetapi nenek itupun sudah menarik kembali tongkatnya dan menggunakan untuk menyerampang kedua kaki Kwan Lok. Pemuda ini meloncat ke atas dan terjadilah saling serang dengan seru sekali.

Melihat gerakan nenek itu, Lee Cin diam-diam terkejut. Kini baru ia tahu bahwa kalau dulu ia pernah menang atas diri nenek ini, adalah karena nenek ini mengalah. Kalau nenek Cia bersungguh-sungguh, belum tentu ia akan dapat menang dengan mudah. Akan tetapi yang membuat ia tertegun dan terkejut adalah melihat betapa lincahnya gerakan Kwan Lok, betapa pemuda itu menghadapi tongkat nenek itu tanpa sedikitpun terdesak walaupun dia bertangan kosong.

Setelah lewat duapuluh jurus, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu Kwan Lok telah mencabut pedangnya. Begitu dia memutar pedang balas menyerang, Nenek Cia terkejut karena ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu amat dahsyat. Segera ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar tongkatnya untuk melindungi diri. Kwan Lok terus menyerang dengan desakan yang kuat sehingga kembali duapuluh jurus telah lewat. Sudah empat puluh jurus mereka bertanding dan Kwan Lok bukan saja mampu menandingi nenek itu, bahkan dia mampu mendesak!

"Haiiiiitttt......... !" Tiba-tiba Kwan Lok mengeluarkan teriakan nyaring dan pedangnya menyambar seperti kilat.

Nenek Cia menggerakkan gagang tongkatnya menangkis.

"Tranggg......... !" Nenek itu terhuyung mundur dan bukan main kagetnya ketika ia melihat sebagian dari hiasan naga tongkatnya telah terbabat buntung!

Kwan Lok sudah menyimpan kembali pedangnya dan tersenyum mengejek kepada nenek itu sambil berkata,

"Bagaimana, nek? Sudah puaskah engkau menguji aku? Sebetulnya di antara kita tidak pernah saling menyerang. Kita dapat bekerja sama untuk menggulingkan pemerintah Mancu. Kita sahabat, bukan musuh, kawan dan bukan lawan."

Nenek Cia harus mengaku kalah. merasa malu kalau terus berkeras, maka iapun mundur tanpa malu lagi, bahkan berkata,

"Engkau memang pantas untuk beng-cu."

Nenek yang keras hati itu lalu melompat turun dari atas panggung. Siang Koan Bhok merasa senang dan bangga sekali atas kemenangan muridnya itu, maka dari bawah panggung dia berteriak,

"Masih adakah orang yang tidak menyetujui muridku Ouw Kwan Lok menjadi beng-cu? Kalau masih ada, silakan maju dan mengujinya!"

Ouw Kwan Lok sendiri menjadi mabok kemenangan dan dia merasa bangga sekali. Sambil tersenyum dia memandang ke empat penjuru dan berkata lantang,

"Benar sekali apa yang diucapkan suhu. Kalau ada yang masih merasa penasaran, silakan naik dan bertanding dengan aku. Bagaimana kalau bekas beng-cu Souw maju mengujiku? Atau barangkali isterinya atau anaknya perempuan yang terkenal pandai ?"

Mendengar tantangan ini, Souw Tek Bun diam saja dan biarpun Lee Cin merasa tangannya gatal, iapun tidak berani mendahului ayahnya. Akan tetapi Ang-tok Mo-li Bu Siang tidak dapat menahan kemarahannya. Sekali berkelebat tubuhnya melayang naik ke panggung dan langsung saja ia menyerang Ouw Kwan Lok dengan pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) sambil berseru,

"Bocah sombong, rasakan pukulanku!"

Melihat wanita itu menyerangnya dari udara, Ouw Kwan Lok bersikap waspada. Dia sudah mendengar betapa lihainya datuk wanita ini, maka begitu melihat pukulan tangan kanan yang berubah kemerahan itu, diapun mengerahkan sin-kangnya dan menyambut dengan dorongan tangan kirinya.

"Plakkk.......... !!" Akibatnya, Ang-tok Mo-li terpental ke belakang akan tetapi dengan berjungkir balik ia dapat turun ke atas panggung, sedangkan Ouw Kwan Lok hanya mundur dua langkah! Tiba- tiba Souw Tek Bun sudah meloncat naik ke atas panggung. Ouw Kwan Lok mengira bahwa bekas beng-cu itu hendak mengeroyoknya, akan tetapi ternyata tidak. Souw Tek Bun memegang tangan isterinya dan menariknya mundur.

"Sudahlah, kita tidak mempunyai urusan sedikitpun dengan pengangkatan beng-cu ini. Siapapun yang akan diangkat, tidak ada urusannya dengan kita!"

Setelah berkata demikian, dia mengajak isterinya melompat turun. Makin besarlah kepala Ouw Kwan Lok. Dia tersenyum memandang kepada Im Yang beng-cu dan berkata lantang.

"Tadi ada yang menyesalkan mengapa Im Yang Seng-cu ketua Kun-lun-pai tidak ikut bertanding. Sekarang setelah aku keluar sebagai pemenang, kalau masih penasaran, silakan Im Yang Seng cu naik ke panggung untuk mengujiku!" Dengan lagak sopan dan ramah Ouw Kwan Lok menantang! Ini hebat sekali. Menantang ketua Kun-lun-pai, pada hal semua orang tahu betapa lihainya Im Yang Sengcu.

Banyak orang berseru,

"Im Yang Seng-cu naik ke panggung!" .dan mereka ingin sekali melihat pemuda sombong itu dikalahkan. Tadinya Im Yang Seng-cu yang sudah tua itu tidak mau melayani tantangan Ouw Kwan Lok, akan tetapi karena banyak suara mengharapkannya, terpaksa dia bangkit dan naik ke panggung. Ouw Kwan Lok menyambut dan memberi hormat.

"Terima kasih kalau to-tiang sudi memberi petunjuk kepadaku!" Sikapnya kelihatan sopan dan kata-katanya merendah, akan tetapi senyum dan pandang matanya penuh ejekan.

"Sian-cai ...... ! Ouw- sicu sungguh mengagumkan, masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tung-hai-ong boleh merasa bangga mempunyai seorang murid seperti engkau, Pin-to sudah tua, tidak ingin bertanding, hanya ingin menguji tenaga sin-kangmu."



Kemelut Kerajaan Mancu Eps 11 Dewi Ular Eps 9 Gelang Kemala Eps 1

Cari Blog Ini