Jago Pedang Tak Bernama 3
Jago Pedang Tak Bernama Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah untuk memenuhi permohonannya ini, dan sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik, Hwesio ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada diambang pintu kematiannya. Demikianlah, setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo mencari rumah Liu Pa San. Ia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda Liu Pa San yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan, timbul kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati, sedangkan Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat baik. Semenjak itu ia tinggal di rumah itu untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya. Rencananya, setelah mendidik Cin Eng beberapa lama, maka gadis itu akan dapat mewakilkan ia mendidik kedua adiknya.
"Sute", berkata Kim Kong Tianglo setelah sudah selesai bercerita, "Umur berapakah kau sekarang?" tiba-tiba saja pertanyaan ini hingga Bu Beng memandang suhengnya dngan heran karena tidak mengerti maksudnya. Tapi ia menjawab juga.
"Dua puluh enam tahun, suheng. Ada apakah?" Kim Kong Tianglo tertawa.
"Tidakkah kau pikir usia sedemikian itu sudah cukup untuk menjadi seorang suami?" Untuk sejenak Bu Beng memandang muka suhengnya, kemudian ia tunduk dan mukanya menjadi merah. Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat laku pemuda itu.
"Sebenarnya memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute. Tapi percayalah, aku adalah seorang yang telah cukup pengalaman, dan menurut penglihatanku, Cin Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, baik mengenai rupa dan tabiatnya maupun mengenai ilmu silatnya. Bagaimana pikiranmu sute, kalau aku berlaku lancing menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?" Dengan masih tunduk dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata.
"Suheng, beribu terima kasih kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini. Memang, bagiku di dunia ini setelah suhu meninggal dunia, hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku, saudaraku dan juga guruku. Aku ini orang macam apakah untuk menampik seorang seperti nona Cin Eng itu? Tapi, yang menjadi persoalan ialah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan mantu? Kalau sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng. Baiknya janganlah coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!" Kim Kong Tianglo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sutenya.
"Jadi kau suka padanya? Baik, baik, sute. Soal yang lain serahkan saja padaku. Ketahuilah olehmu, Hun Gwat Go pernah menyatkan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya ingin mndapatkan seorang yang berkepandaian melebihi si gadis sendiri dan melebihi ibunya pula! Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun toanio mengundang kau mampir di rumahnya? Biasanya tidak sembarangan ia mengundang seseorang begitu saja. Tentu ada maksudnya. Ha, ha!" Bu Beng hanya menyerahkan saja urusan itu kepada suhengnya dan ketika Kim Kong Tianglo pergi kedalam untuk menjumpai Hun Gwat Go dan membicarakan urusan ini, ia hanya menanti di ruang tamu sambil saban-saban minum araknya untuk memenangkan hatinya yang bergoncang. Ia bangkit dengan segera dan berdebar-debar ketika tak lama kemudian suhengnya balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum girang.
"Selamat, sute. Kionghi, kionghi," kata Hwesio itu dengan gembira dan wajah berseri-seri. Bu Beng angkat tangan membalas ucapan selamat itu. Setelah Hun wat Go duduk diatas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata.
"Eh, sue, tunggu apa lagi? Hayo beri hormat kepada gakbomu." Dengan muka merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada calon ibu mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan.
"Ah, tercapai kini cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, dapat seorang mantu yang gagah melebihi ayahnya." Sampai disini, tiba-tiba Gwat Go menangis tersedu-sedu dan air mata membasahi kedua pipinya yang kempot karena ia eringat suaminya yang telah mati.
"Kau... kau harus balaskan sakit hati ini..." katanya kepada Bu Beng yang hanya mengangguk sambil tundukkan kepala. Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul kembali, ia berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu Beng segera tundukkan kepala lebih dalam dan tak berani berkutik. Cin Eng berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo tampak berseri-seri gembira. Ia mengerling kearah Bu Beng dan bertambah keheranannya melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan diam-diam ia dapat menduga hingga tak terasa lagi warna merah menjalar keseluruh muka dan telinganya.
"Ada apa, ibu?" tanyanya.
"Eng, sediakan makanan lezat. Ini hari kita harus berpesta sepuasnya. Tambah lagi arak wangi kepada... gurumu... eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi suheng dan beri hormat juga kepada calon suamimu," berkata demikian ini sambil menunjuk kepada Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak. Cin Eng yang biasanya sangat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa membangkang.
Ia hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan kepada Bu Beng ketika ia telah berdiri dihadapan pemuda itu yang memandangnya dengan malu, tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua tangan menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo tertawa tergelak-gelak hingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan muka merah. Tak lama kemudian, meraka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi meja dan makan bersama. Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda Cicinya, karena iapun sudah mendengar perihal pertunangan itu. Beberapa kali ia melirik kerah Cicinya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding kearah Bu Beng, hingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya. Cin Lan berteriak.
"Ah, ah, Cici nakal sekali, awas nanti kuberitahukan kepada cihu!" semua orang tertawa dan Cin Eng makin malu hingga sukar rasanya baginya untuk menelan makanan. Bu Beng juga hampir tak dapat makan karena malu. Sebenarnya didalam hatinya terbit dua macam perasaan pada saat itu. Rasa bahagia dan rasa sedih. Ia merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati ia cinta adan kagum kepada Cin Eng. Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tidak ada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar-benar sebatang kara di dunia ini.
Menurut keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan akan dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti sampai Cin Eng menghabikan mata perkabungannya atas kematian ayahnya. Pesta kecil itu berjalan dengan gembira sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim Kong Tianglo dan Gwat Go yang lalu pergi ke kamar masing-masing. Cin Han dan Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng sibuk membersihkan sisa persta, sedangkan Bu Beng yang diharuskan tidusr bersama suhengnya, tidak pergi ke kamar itu tapi lalu keluar seorang diri membawa sulingnya. Ketika hendak keluar dari rumah itu ia bertemu dengan Cin Eng. Mereka saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih dulu.
"Nona, kalau suheng mencariku tolong beritahu bahwa aku hendak pergi mencari hawa sejuk di hutan." Cin Eng hanya mengangguk tapi diam-diam ia mengerling karena mendengar suara Bu Beng yang terdengar parau seperti suara orang bersedih. Setelah tiba di hutan, Bu Beng jatuhkan diri diatas rumput hijau dengan hati sedih.
"Aku tak dapat kawin, tak mungkin..." keluhnya. Tapi tiada seorangpun mendengar keluhan itu, hanya angin malam saja berbisik diantara daun-daun seakan-akan menjawab keluhannya itu.
"Aku seorang diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara. Kalau Cin Eng menjadi isteriku, apakah ia juga harus hidup sengsara seperti aku? Ah, tidak, kasihan kalau ia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini. pula, aku belum tahu siapa orang tuaku, dimana tempat makamnya dan belum dapat membalas sakit hati mereka. Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak dan membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini? tidak tidak."
Bu Beng berdongak memandang Dewi Malam yang pada saat itu tengah tersenyum simpul diantara gulungan awan. Ia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya yang menjadi basah karena ruput. Setelah duduk melamun beberapa lama, ia mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu merayu dan sedih, Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula perasaannya sedang perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan penuh getaran jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan bathinnya minta perlindungan dan pembelaan Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara lemah dibelakangnya,
"Koko..." Bu Beng yang sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh jiwa dan hatinya, tak mndengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya. Lambat laun suara sulingnya merendah dan perlahan-lahan berhenti. Kedua lengannya terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar.
"Koko..." suara ini terdengar halus dibarengi isak. Bu Beng segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari tangannya. Ia berdiri dan menengok ke belakang. Di depannya berdiri Cin Eng yang dalam pakaian putihnya tersinar bulan purnama merupakan dewi yang baru turun dari kayangan. Bu Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju.
"Moi-moi...
" katanya berbisik dan Cin Eng tundukan kepala.
Sebetulnya Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut "adik" pada gadis itu, tapi karena mendengar gadis itu menyebutnya "kanda", ia jadi berani merobah sebutan "nona" menjadi "dinda."
"Adik Eng... mengapa kaupun berada disini?" tanyanya halus.
"Aku... aku... mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?" Bu Beng menghela napas.
"Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?"
"Tidak, koko. Hanya saja, tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku merasa tak enak hati lalu menyusul disini..."
"Duduklah adik Eng," kata Bu Beng dan mereka duduk diatas rumput hijau yang merupakan permadani indah dimalam terang bulan ini.
"Sebenarnya aku terkenang kepada orang tuaku adik Eng," katanya dan ia lalu menceritakan riwayat hidupnya yang penuh kepahitan. Cin Eng mendengar dengan terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri.!
"Jadi itukah yang membuatmu sedih? Kukira..."
"Kau kira apa, adikku?"
"Kukira bahwa kau... tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini..." Bu Beng menggerakkan tangan dan pegang tangan Cin Eng. Gadis itu terkejut tapi ia tidak menarik tangannya, hanya membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng yang merasa betapa tangan itu bergemetar.
"Jangan sangka yang tidak-tidak, adik Eng. Ketahuilah, ketika suheng majukan usul ini, aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita berjumpa, aku... aku .. suka sekali kepadamu..." Cin Eng hanya tundukkan kepala.
"Dan kau bagaimana adikku? Sukakah kau akan pilihan ibumu ini?" Cin Eng mengangkat wajahnya yang jelita memandang mesra, kemudian ia tundukkan kepala sambil berkata lemah.
"Koko, semenjak pertempuran kita tadi, aku terpikat oleh ilmu silatmu dan oleh kesopananmu. Aku sebagai seorang anak yang puthauw tentu saja menurut segala kehendak ibu, dan pilihan ibu... Tentu saja aku setuju sekali..."
"Apakah kalau pilhan ibumu jatuh pada seorang yang kau tidak suka, kau juga akan menurut? Tanya Bu Beng. Cin Eng gelengkan kepala keras-keras.
"Tidak! dalam hal ini biarpun ibu sendiri akan kutentang."
"Kalau begitu kau suka padaku? Tanya Bu Beng dan pegangan tangannya dipererat. Cin Eng hanya tunduk.
"Entahlah..." kemudian ia berkata.
"Cin Eng adiku, bilanglah terus terang. Cintakah kau padaku? Jawab saja dengan geleng atau angguk." Cin Eng mengangkat mukanya dan mengangguk.
"Betul betul kau cinta padaku? Ingat, aku seorang miskin. Lihat saja bajuku, penuh tambalan. Aku hidup sebatang kara, dan ingatlah, bahwa jika kau menjadi istriku,maka kau akan hidup serba kekurangan dan sengsara." Cin Eng pandang wajah Bu Beng dengan tajam.
"Koko, jangan kau berkata begitu. Kau anggap aku ini gadis apa? Biarpun akan menderita hidup miskin, disampingmu aku akan berbahagia!" Saking girangnya rasa hati Bu Beng, ia menarik tangan Cin Eng hingga gadis itu tersentak dan jatuh bersandar kedadanya.
"Adikku yang jelita, adikku yang tercinta! Tahukah kau bahwa brusan aku merasa sedih sekali dan bahkan mengambil keputusan untuk tidak kawin denganmu karena takut kalau-kalau kau akan menjadi sengsara? Kini hatiku puas. Aku menjadi berani, karena dengan kau disampingku aku berani menempuh gelombang penderitaan yang bagaimana hebatpun." Cin Eng meramkan matanya dan bersandar di dada yang bidang itu dengan hati memukul penuh kebahagiaan. Untuk beberapa lama mereka tenggelam dalam ombak asmara, mabuk alunan mesra. Sengguhpun kedua taruna itu diam saja tak bergerak, yang wanita bersandar ke dada dengan meramkan mata, yang pria duduk memegang kedua lengan dengan berdongak memandang dewi malam yang gemilang, dilamun pikiran penuh keindahan, tiba-tiba Cin Eng tersentak bangun. Ia berdiri memandang Bu Beng dengan mata dibuka lebar lalu berkata hampir berteriak.
"Tidak...! tidak...! Tidak mungkin...!" kemudian sebelum Bu Beng sadar dari terkejutnya gadis itu lari cepat masuk hutan.
"Adik Eng... adik Eng...!" Bu Beng loncat mengejar dengan cepat dan sebentar saja gadis itu telah berada dalam pelukannya.
"Adikku sayang... ada apa? Mengapa kau lari? Apa yang kau susahkan?" Cin Eng menangis sedih dan geleng-gelengkan kepala bagaikan orang gila. Ia berontak-rontak dalam pelukan Bu Beng, tapi pemuda itu tak mau melepaskannya.
"Adik Eng, kalau ada kesukaran, beritahulah aku. Mari kita pecahkan bersama-sama." Tapi Cin Eng hanya geleng-geleng kepala dengan sedih. Tiba-tiba Bu Beng lepaskan pelukannya.
"Hm, agaknya ternyata bahwa kau tidak cinta padaku, ya? Memang lebih baik begitu aku orang miskin tak berharga. Nah, aku takkan mencegah dan menahanmu. Kau bebas, biar aku cinta sepenuh hati dan jiwaku padamu tapi aku sebagai orang laki-laki tak kan gunakan kekerasan untuk memilikimu." Mata Cin Eng terbelalak, ia lalu menangis makin sedih.
"Tidak, koko, bukan demikian, kau salah sangka! Dengarlah, koko kita tak mungkin menjadi suami-istri... karena... karena..." Bu Beng pegang pundaknya.
"Karena apa? Siapa yang melarang? katakanlah... katakanlah!"
"Tidak adayang melarang, koko... tapi... tapi... Kalau kita kawin, maka... itu berarti aku akan menjadi pembunuh...!" Bu Beng terkejut dan tak mengerti.
"Apa katamu? Pembunuh? Siapa yang akan kau bunuh?"
"Aku akan menjadi pembunuh... anakku... Anak kita...!" Bu Beng makin heran. Ia mulai bersangsi. Gilakah gadis ini?
"Cin Eng tenanglah. Apa maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali. Jelaskanlah dan bicaralah dengan tenang. Kau kan wanita gagah? Mengapa begini lemah?"
"Begini koko" kata Cin Eng setelah susut air matanya, "Sebenarnya aku... aku mempunyai semacam penyakit dalam tubuh... kata ayah dulu, akibat penyakitku ini walaupun tidak mengganggu badanku sendiri, tapi akan merusak anak dalam kandungan. Anak yang kukandung akan dimakan penyakit itu dan akan lahir tak bernyawa lagi..." Bu Beng terkejut dan untuk sejenak ia berdiri bagaikan patung dengan hati tak karuan rasa.
"Tak dapatkah diobati?" Cin Eng menahan isaknya.
"Inilah soalnya yang sukar. Inilah mengapa ibu inginkan mantu yang mempunyai kegagahan diatas dia sendiri. Obat penyakit ini sukar sekali dicarinya. Obat ini hanya jantung seekor ular yang telah bertapa dan mempunyai mustika didalam kepalanya! Nah, bayangkan, betapa sukarnya mencari obat ini!" Bu Beng benar-benar terpukul hatinya dan ia pandang wajah kekasihnya dengan putus asa.
"Dimana... dimanakah orang bisa dapatkan ular demikian itu...?" Cin Eng melihat wajah pemuda yang suram dan bersedih itu menjadi kasihan, maka buru-buru ia menerangkan.
"Koko, dulu pernah ayah dan ibu berdua pergi ke tempat dimana terdapat ular macam itu, tapi ternyata mereka gagal dan bahkan hampir saja ayah dan ibu terbinasa karenanya, karena tempat gua dimana ular itu bersembunyi adalah sangat berbahaya. Biarpun ayah ibu berkepandaian tinggi, mereka tak berdaya. Maka, akhirnya kami putuss asa dan aku hidup mengandung kedukaan dan kecemasan. Ibu dan aku sendiri lalu memutuskan bahwa orang yang diterima lamarannya terhadap diriku harus orang yang berkepandaian tinggi dan yang kiranya cukup kuat untuk dapat mencari obat itu. Bu Beng mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi gembira kembali. Ia yakin bahwa ia tentu akan dapat mencari obat itu. Segera ia berkata.
"Adikku, tenangkan hatimu. Aku pasti dapat mencari obat itu. Katakanlah dimana tempat itu? Aku akan segera berangkat mencarinya." Cin Eng, pegang erat lengan Bu Beng,
"Jangan, koko... Jangan..."
"Eh, mengapa jangan?" Tanya Bu Beng heran.
"Tempat itu sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir... kau... kau...!"
"Khawatir aku menemui bahaya? Ah, betapa besar bahayanya membunuh seekor ular? Jangankan baru harus menghadapi ular, biarpun disuruh menghadapi seekor naga sakti sekalipun, demi kebahagianmu, akan kutempuh juga dengan berani." Cin Eng sandarkan kepalanya ke dada Bu Beng.
"Koko, kau... Kau seorang mulia. Sebenarnya aku akan bahagia sekali dapat hidup bersamamu di dunia ini yang penuh kegetiran ini. tapi... Kalau kau pergi dan mendapat bencana di tempat berbahaya itu, ah... lalu aku bagaimana koko?" air matanya menitik turun.
"Jangan khawatir, adikku. Rasa sedih dan doamu akan membuat aku tidak mempan oleh segala bahaya. Aku pasti akan kembali. Katakanlah dimana tempat ular itu?"
"Menurut kata ibu, tempatnya jauh sekali, karena bukan di daratan Tiongkok, tapi disebuah pulau sebelah timur pantai Tiongkok, yaitu di pulau Ang Coat Ho. Disitu terdapat sebuah gua di dalam gunung dan disitulah telah bertahun-tahun duduk bertapa seekor ular yang besar sekali. Kepalanya mengeluarkan cahaya dan ia berbahaya serta ganas. Hawa dari mulutnya saja dapat membakar kulit kita, kata ibu. Tapi, lebih baik kita Tanya ibu, karena ia tentu dapat memberi petunjuk yang lebih nyata lagi."
Tanpa membuang waktu lagi, Bu Beng menggandeng tangan Cin Eng dan mereka kembali ke kampung. Cin Eng langsung menuju kerumahnya dan Bu Beng duduk bersamadhi di ruang tamu karena untuk tidur sudah kepalang baginya. Pagi-pagi sebelum fajar menyingsing, Bu Beng segera menjumpai Hun toanio yangternyata sudah bangun pula. Kim Kong Tianglo juga sudah bagun, maka mereka bertiga bercakap-cakap. Bu Beng langsung majukan pertanyaan kepada Hun toanio tentang pulau Ang Coat Ho.
"Ah, kau sudah tahu? Tentu dari Cin Eng! Memang hari ini aku hendak ceritakan padamu, mantuku. Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayah atau ibu Cin Eng di waktu mudanya, maka Cin Eng menderita sakit terkutuk itu. Pulau yang kau tanyakan itu terletak di sebelah timur. Aku sendiri tidak tahu jelas. Tapi ada satu jalan yang takkan membawamu tersesat, yahni, dari sini kau menuju ke utara. Terus saja, setelah kira-kira empat lima ratus li, kau akan bertemu dengan sungai besar yang mengalir ke timur. Nah, dari situ kau bisa menggunakan perahu menurut aliran sungai sampai ke laut. Kau harus hati-hati, air sungai itu setelah mendakati laut menjadi sangat besar dan berbahaya. Setelah perahu sampai di permukaan laut, tepat dimana air sungai itu terjun, maka dari situ kau dapat melihat sebuah pulau yang panjang dan kecil bentuknya, agak arah timur laut dan warnanya hitam kehijau-hijauan. Pulau itu mudah dikenal diantara pulau-pulau lain, karena pulau-pulau panjang kecil hanya sebuah itu saja. Nah, dari situ kau dapat berlayar ke pulau itu. Di Ang Coat Ho terdapat sebuah bukit yang puncaknya meruncing keatas. Kau boleh mendarat disebelah selatan pulau itu dan naik bukit melalui sebuah hutan pohon siong yang terdapat di sebelah selatan bukit. Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya, maka akan sampailah kau di mulut gua ular yang kumaksudkan itu. Nah, disitu kau harus bertindak hati-hati dan segala-galanya terserah kepada pertimbagnan dan kewaspadaanmu sendiri." Bu Beng mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Sue, Hun toanio dan suaminya yang terkenal gagahpun tidak berhasil membunuh ular itu. Kau harus tahu bahwa usahamu kali ini adalah berbahaya sekali dan bukan tidak mungkin jiwamu dalam bahaya pula. Maka, sudah bulat benar-benarkah hatimu untuk pergi kesana?" Bu Beng memandaang suhengnya dengan sinar mata tetap,
"Suheng, kau sendiri yang mengajar padaku supaya menjadi seorang laki-laki jantan dan memegang teguh kepercayaan. Kini, suheng begitu mencinta kepadaku dan mencarikan pasangan hidup. Maka setelah orang menaruh kepercayaan kepadaku sedemikian besarnya hingga rela menjadi istriku, pantaskah kalau aku mundur hanya karena rintangan ini? pantaskah kalau aku menjadi takut untuk berkorban, biar dengan jiwaku sekalipun? Tidak, suheng sendiri tentu akan mencelaku habis-habisan kalau aku mundur dan takut." Kim Kong Tianglo berdiri dan memegang pundak sutenya.
"Bagus, bagus! Beginilah seharusnya sikap seorang jantan, kau pantas menjadi murid terkasih dari guru kita yang bijaksana. Dan dengan kata-katamu ini terbayanglah betapa besarnya cintamu terhadap calon istrimu. Sayang aku sudah tua dan lemah, sute. Kalau tidak tentu aku akan turut dan membantumu."
"Terima kasih suheng. Aku tidak berani membawamu kedalam bahaya ini. Pula ini adalah tanggung jawab dan kewajibanku sendiri. Disamping itu, akupun ingin meluaskan pengalaman dan menjelajah tempat-tempat yang asing untuk menambah pengetahuanku."
"Bilakah kau akan berangkat, anakku?" Tanya Hun toanio dengan suara halus dan ramah.
"Sekarang juga," jawab Bu Beng dengan suara tetap. Hun Gwat Go berteriak memanggil Cin Eng. Baru saja ia menutup mulutnya, gadis itu telah muncul dari pintu karena semenjak tadi telah mendengarkan di balik daun pintu. Sepasang matanya yang bagus itu berwarna kemerah-merahan bekas tangis dan tangannya membawa sebuah bungkusan. Hun toanio berkata,
"Anakku, kokomu hendak berangkat mencari obat untukmu, hayo haturkan selamat jalan!" Cin Eng tak menjawab tapi menghampri Bu Beng tanpa kata-kata apa-apa hanya mengangsurkan bungkusan itu sambil memandang wajah pemuda itu dengan mata sayu.
"Apakah ini, adik Eng?" Tanya Bu Beng dengan terharu.
"Pakaian dan selimut penahan dingin," jawab gadis itu perlahan sambil tundukkan kepala, lalu ia membalikkan tubuh lari ke pintu. Tapi setiba di ambang pintu, ia menengok memandang sekilas lagi kepada Bu Beng dan bibirnya berbisik perlahan,
"Hati-hatilah koko...
" Hun Gwat Go dan Kim Kong Tianglo ikut terharu melihat perpisahan ini dan diam-diam mereka heran mengapa kedua taruna itu nampak telah demikian mesra seakan-akan sudah tak asing lagi. Bu Beng berjalan cepat tiada hentinya sehari penuh. Karena daerah yang dilaluinya itu masih asing baginya, maka ia sendiri tidak tahu kemana ia sedang menuju! Ia hanya tahu bahwa ia harus mengambil jalan langsung kearah utara. Maka ia menjadi bingung juga ketika matahari telah tenggelam dan cuaca sudah mulai gelap, masih saja ia belum keluar dari sebuah hutan.
Ketika ia melihat dua ekor burung mendekam diatas dahan pohon yan rendah, maka tiba-tiba ia merasa letih. Tadi semangatnya yang berkobar-kobar hendak lekas-lekas tiba di tempat yang ditujunya membuat ia tak kenal lelah, tapi dua ekor kurung yang sedang beristirahat dengan nikmatnya itu membuat kedua kakinya terasa lemas dan tiba-tiba ia ingat pula bahwa sehari itu ia belum makan apa-apa. Ia pasang mata dan telinga kalau-kalau di dekat situ terdapat rumah makan atau runah perkampungan. Tapi ternyata hutan itu liar dan hanya penuh dengan pohon-pohon besar. Bu Beng loncat keatas, dari mana ia memandang kesana kemari kalau-kalau ada, tentu ia akan dapat melihat sinar api pelita rumah orang.
Betul saja, di jurusan selatan ia melihat sinar api berkelap-kelip. Segera ia meloncat turun dan menuju ke tempat itu. Ternyata sinar pelita itu keluar dari sebuah pondok kecil yang sederhana. Pintu pondok itu tertutup rapat. Bu Beng maju mengetuk tapi tiada terdengar jawaban. Bu Beng mengetuk lagi sambil memanggil-manggil. Tetap tiada jawaban. Ia menjadi curiga dan segera mengintip dari celah-celah bilik dan daum jendela. Ia melihat rumah itu kosong dan tidak ada penghuninya, tpi diatas meja tampak makanan didalam beberapa buah mangkuk. Dan timbullah seleranya. Tanpa memperdulikan bahwa tindakannya itu tidak sopan, ia gunakan tenaganya untuk mendobrak daun pintu. Ketika ia memasuki rumah itu, bau arak wangi menambah laparnya dan langsung ia menuju ke meja yang penuh makanan itu.
Tiba-tiba terdengar suara dan seperti ada sesuatu bergerak-gerak di ruang sebelah kamar itu. Bu Beng segera berlaku waspada. Sekali meloncat ia lewati pintu tembusan dan berada dalam kamar sebelah itu. Alangkah kagetnya ketika melihat seorang tua rebah di lantai tak berdaya. Ketika ia melihat lebih cermat, ternyata bahwa orang laki-laki tua itu tidak lain adalah Lui Im si Golok Setan, ketua Cung lim pang yang telah ditemuinya di rumah Lim San dulu itu. Orang tua gagah itu tak berdaya dan Bu Beng maklum Lui Im terkena totokan jari tangan seorang pendekar ulung. Ia segera mengulurkan tangannya dan menggunakan jari tengah untuk memulihkan jalan darah Lui Im. Setelah jalan darahnya baik kembali, Lui Im menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu meloncat berdiri. Ia memandang Bu Beng dan merasa girang bercampur terkejut ketika menganalnya. Segera ia menjuru.
"Ah, terima kasih, Bu Beng Taihiap. Sungguh hebat totokan yang membuatku tak berdaya tadi sehingga setelah mengumpulkan semangat, aku hanya mampu menggerak-gerakkan kakiku saja untuk menarik perhatian orang. Ternyata yang masuk rumah ini tadi adalah kau sendiri. Sukurlah, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan diriku." Bu Beng balas menghormat,
"Aku juga girang sekali dapat berjumpa dengan Lo-Enghiong disini. Bagaimanakah erjadinya maka Lo-Enghiong sampai dalam keadaan begini dan ini rumah siapa?" Lui Im menghela napas.
"Kalau diceritakan, sungguh membuat aku malu. Kali ini hancurlah nama si Golok Setan dan sekaligus tercemar dan hina pulalah nama perkumpulanku," kemudian ia bercerita. Lui Im yang terkenal dengan sebutan Golok Setan karena memang permainan goloknya sangat ditakuti kaum persilatan, meminpin sebuah perkumpulan yang berpengaruh yaitu perkumpulan Cung lim pang. Telah lama perkumpulannya menanam bibit permusuhan dengan perkumpulan Hong bu pang yang berada di kota itu juga. Permusuhan itu sebenarnya dibangkitkan oleh soal yang kecil saja.
Mula-mula terjadi perkelahian pribadi antara seorang anggota perkupulan Cung lim pang dan seorang anggota Hong bu pang. Tentu saja rasa setia kawan dari masing-masing pihak mudah saja terbakar oleh perkelahian ini dan rasa permusuhan menjalar begitu dalam hingga Lui Im sendiri dan ketua Hong bu pang yang bernama Tan tek Seng seorang jagoan cabang atas, ikut-ikut terseret. Kedua jago tua ini sebenarnya memiliki kepandaian tinggi dan mempunyai kesabaran yang besar, tapi desakan api permusuhan yang dikobarkan oleh anak buah masing-masing demikian besar hingga pada suatu hari kedua jago-jago tua itu bertemu untuk mengadu tenaga.! Dalam perkelahian yang hebat itu Tan Tek Seng dapat dikalahkan oleh Lui Im. Tentu saja kekalahan ini tidak ditelan mentah-menatah oleh Pangcu dari Hong bu pang itu. Ia menaruh dendam hati yang ditahan-tahan.
Beberapa bulan kemudian. Lui Im menerima surat tantangan dari Tan Tek Seng untuk mengadu tenaga di hutan Hek san lim di luar kota. Dalam surat itu disebutkan bahwa masing-masing tidak boleh membawa teman. Lui Im adalah seorang jagoan tua yang gagah berani. Menerima surat itu, walaupun dalam hatinya terbit curiga, namun ia merasa malu jika ia tidak berani datang ke hutan itu seorang diri. Demikianlah, pada hari itu ia pergi seorang diri ke hutan tersebut. Di tengah hutan telah menanti Tan Tek Seng, tapi Pangcu yang licik itu ternyata tidak datang seorang diri. Ia mempunyai seorang kawan yang disembunyikan. Maka, ketiak mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba daja muncul seorang pendeta memelihara rambut panjang memisahkan mereka dan pura-pura menanya persoalan mereka.
Sebenarnya imam itu adalah orang bawaan Tan Tek Seng. Untuk membuktikan bahwa Tan Tek Seng datang seorang diri, maka imam itu diminta datang belakangan. Dalam keputusan dan pengadilan yang berat sebelah Lui Im menjadi marah dan akhirnya ia bertarung dengan imam itu yang mengaku bernama Ang Hwat Tojin. Ternyata imam itu hebat sekali hingga akhirnya Lui Im kena totok roboh dan tak berdaya. Tahu-tahu ia telah dibawa oleh lawannya kedalam pondok itu, sedangkan kedua lawannya makan minum hidangan yang telah disediakan dalam pondok. Dalam keadaan tidak berdaya inilah Lui Im dapat menangkap pembicaraan mereka dan tahu bahwa Ang Hwat Tojin memang sengaja diundang oleh Tan Tek Seng untuk menjatuhkannya. Sehabis bercerita. Lui Im menghela napas lagi.
"Bu Beng hiante, mereka sangat menghinaku. Ketika hendak pergi, imam itu berkata bahwa jika aku hendak menuntut balas aku boleh datang ke rumah Tan Tek Seng Pangcu karena ia akan berdiam disana selama satu bulan. Sungguh sakit sekali hatiku. Biarpun aku harus mengakui bahwa ia lebih unggul dariku, tapi aku lebih baik mati daripada menerima hinaan ini. sekarang juag aku harus pergi kesana mengadu tenaga!" Sambil mengucapkan kata-kata ini, Lui Im berdiri dan dengan tangan mengepal ia kertakan gigi, kedua matanya bersinar menyala-nyala. Bu Beng juga merasa panas akan kecurangan Tan Pangcu. Lebih-lebih jika diingat bahwa Lui Im adalah sahabat baik suhengnya, Kim Kong Tianglo. Sebelum ia berkata sesuatu, Lui Im berkata lagi dengan suara sedih.
"Ah sayang sekali, kalau saja sahabatku Kim Kong Tianglo berada disini, belum tentu aku yang tua ini sampai terhina demikian rupa!" Bu Beng merasa akan sindiran ini, ia maklum bahwa bagaimanapun juga, Lui Im tidak percaya bahwa ia cukup kuat untuk membelanya. Maka dengan tenang ia berkata.
"Lo-Enghiong, aku sebagai sute dari Kim Kong Tianglo, mana dapat berpeluk tangan melihat saja semua kejadian ini? maka jika kau sudi menerimanya, aku tawarkan tenagaku yang tak beranti ini untuk mewakili suhengku membantumu dalam persoalan ini." Lui Im berdiri dengan wajah girang.
"Terima kasih hiante, terima kasih. Kalau kau suka membantu, pasti sakit hatiku ini dapat dicuci bersih."
"Jangan terlalu berbesar harap, Lo-Enghiong, tapi aku akan bekerja sekuat tenaga. Bilakah kita akan kesana?"
"Mari kita makan dulu, hiante. Bangsat-bangsat itu sengaja meninggalkan makanan diatas meja agar aku merasa sengsara dan menderita. Mari kita beristirahat dulu semalam ini. besok pagi=pagi kita berangkat."
Keduanya lalu makan dan Bu Beng yang telah merasa lapar sekali makan dengan lahapnya. Kemudian mereka mengaso dalam kamar itu dimana terdapat sebuah tempat tidur bata. Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka berangkat dan langsung manuju ke kampung Hong bu pang. Perkampungan itu terdiri dari beberapa petak rumah yang semuanya milik anggota-anggota perkumpulan itu. Kampung itu dikelilingi oleh tembok tinggi yang dipasang besi-besi runcing diatasnya. Empat pintu besar di tiap penjuru dibuka lebar-lebar dan beberapa gerobak hilir mudik melaluinya. Pintu itu masing-masing dijaga oleh enam orang bersenjata tombak dan golok. Sikap mereka galak dan angkuh. Lui Im dan Bu Beng menghampiri pintu selatan. Mereka dihentikan oleh penjaga-penjaga disitu dan ditanya keperluan mereka.
"Kami berdua hendak menjumpai Tan pangsu." Ketika penjaga-penjaga itu mendengar bahwa yang datang adalah Pangcu dari Cung lim pang, berubahlah wajah mereka dan dua orang diantaranya segera lari masuk memberi laporan. Tak lama kemudian, dari dalam perkampungan kecil itu keluar orang setengah tua yang bertubuh tegap dengan tindakan kaki tetap, menandakan bahwa ia adalah seorang ahli silat. Ketika melihat Lui Im, ia menjuru dengan hormat.
"Maafkan, Lui Pangcu, Pangcu kami kebetulan sedang keluar kampung. Tapi ia tadi memberi pesan padaku, bahwa jika ada orang datang mencarinya, diminta agar kembali lagi malam nanti." Lui Im kenal bahwa yang datang itu adalah seorang jagoan di Hong bu pang yang bernama A Liat si Angin Ribut. Maka ia balas menjuru dan berkata kecewa.
"Ah, sayang sekali. Sebenarnya aku datang memenuhi undangan Ang Hwat Tojin."
"Ang Hwat Tojin juga keluar bersama-sama Pangcu. Sebaiknya Lui Im Pangcu kembali saja malam nanti." Ketika berkata demikian A Liat mengerling kearah Bu Beng sambil mengamat-amati, seakan-akan sedang mengukur-ukur kekuatan orang itu. Ketika itu Lui Im duduk diatas sebuah bangku yang terdapat ditempat jaga itu dan melihat Bu Beng berdiri saja, si Angin Ribut segera menghampiri bangku batu di sudut dan dengan sekali congkel dengan kaki bangku itu melayang keatas dan diterima olehnya seakan-akan bangku batu yang beratnya ada seratus kati itu hanya merupakan bangku bamboo saja. Kemudian ia membawa bangku itu kepada Bu Beng dan berkata.
"Silakan duduk, tuan muda," ucapan "tuan muda" ini mengandung sindiran, karena Bu Beng yang ketika itu belum mengganti pakaian kuning penuh tambalan sesungguhnya sebutan "tuan muda" itu tidak pantas dan menggelikan. Bu Beng maklum bahwa orang itu sedang menunjukkan kekuatan tenaganya. Maka ia pura-pura kaget dan termangu.
"Ah, tenaga tuan sungguh mengkagumkan! Terima kasih!" kemudian ia duduk di bangku batu yang tebal itu, tapi diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya dan "krak!" kaki bangku itu patah menjadi empat.
"Sayang bangkumu lapuk sekali, tuan," kata Bu Beng tersenyum dan berdiri tegak. Bukan main kaget A Liat melihat hal ini. diam-diam ia kagum sekali, maka ia menjuru dan berkata, "Maaf."
"Nah, kalau begitu, biarlah kami kembali malam nanti pada kentungan sembilan kali. Katakanlah kepada Pangcumu agar ia bersikap demikian pula kepada Ang Hwat Tojin," kata Lui Im yang segera mengajak Bu Beng pergi.
Mereka berdua lalu menuju ke kampung Lui Im. Semua anggota perkumpulan Cung Lim pang yang tadinya telah merasa cemas dan khawatir karena Pangcu mereka semalam tidak pulang, kini menjadi girang melihat Pangcu mereka kembali dalam keadaaan sehat. Istri Lui Im dan Kui hwa anak gadisnya menyambut kedatangan mereka dengan ramah tamah. Lui Im membuat perjamuan untuk menghormati tamunya. Ketika mendengar bahwa anak muda yang berpakaian kuning penuh tambalan itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo yang mereka kenal baik, nyonya Lui Im makin manis sikapnya dan lebih-lebih Kui hwa. Lui Im merasa gembira sekali, karena ia yakin bahwa Bu Beng pasti dapat membersihkan namanya. Maka ia makan minum sepuas-puasnya sampai mabuk. Di tengah-tengah perjamuan ia berkata kepada tamunya.
"Bu Beng hiante, maafkan kalau aku berlaku lancing. Berapakah usia hiante tahun ini dan apakah sudah mempunyai hujin?" Merah wajah Bu Beng mendengar pertanyaan ini. karena pertanyaan dari seorang yang mempunyai anak gadis yang diajukan seperti ini bukannya tak mengandung arti. Maka dengan malu-malu ia berkata.
"Siauwte berusia dua puluh enam tahun dan belum kawin, tapi..." Ia menyambung cepat, "siauwte sudah bertunangan." Biarpun ditahan-tahan, nampak juga kekecewaan menggores wajah Lui Im.
"Siapakah nona tunanganmu itum hiante?"
"Ia adalah puteri dari mendiang Lui Pa San Lo-Enghiong." Katanya dan tiba-tiba ia teringat akan penyakit yang diderita Cin Eng hingga tak terasa menghela napas. Demikianlah, hari itu mereka lewati dengan makan minum dan bercakap-cakap. Lui Im suka sekali kepada pemuda yang bersikap sopan dan pandai membawa diri itu. Bu Beng mendapat sebuah kamar istimewa dan ketika ia dipersilakan mengaso, ia buka bungkusan pemberian Cin Eng.
Ternyata bungkusan itu berisi dua stel pakaian warna kuning yang masih baru dan sehelai selimut. Bu Beng kagum sekali betapa cepatnya gadis pujaannya itu mempersiapkan pakaian untuknya. Ah, tentu sepulangnya dari hutan itu, tunangannya terus menjahit hingga pagi! Ia lepaskan pakaiannya yang lapuk dan mengenakan pakaian baru itu. Ternyata pas benar! Ia makin kagum kepada kekasihnya. Kemudian ia berbaring dan tidur. Pada kira-kira pukul tujuh malam, ia jaga dari tidurnya dan terus duduk bersemedhi menentramkan semangat karena ia harus menghadapi kemungkinan bertempur melawan orang-orang lihai. Beberapa jan kemudian terdengar panggilan Lui Im perlahan. Bu Beng yang sudah siap lalu membuka pintu. Orang tua itu telah berpakaian ringkas dan pinggangnya tergantung goloknya. Ia nampak gagah dan sigap.
"Sudah siap, hiante?" tanyanya perlahan.
"Sudah, marilah." Ternyata Lui Im tidak memberitahukan persoalannya kepada anak istrinya agar mereka jangan merasa khawatir. Maka diam-diam kedua orang itu meninggalkan kampung dan menuju kearah Hong bu pang. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang Hong bu pang, ternyata pintu itu tertutup rapat. Bu Beng mencoba mendorongnya, tapi pintu itu terbuat daripada besi tebal dan terkunci dari dalam, kuat sekali.
"Eh, kenapa mereka menutup pintu? Takutkah mereka?" Tanya Bu Beng.
"Tidak mungkin mereka demikian pengecut!" seru Lui Im keras-keras dengan sengaja agar dapat terdengar dari balik tembok. Tiba-tiba Bu Beng memperingatkan.
"Awas senjata gelap!" tapi Lui Im dapat mendengar juga suara angin menyambar kearah mereka. Ia meloncat dan tiga batang piauw menyambar lewat. Bu Beng mengulurkan kedua tangannya menangkap dua batang pelor yang menyambar kearahnya.
"Ha, ha, ha! Lui Im! kau berani datang mencari mampus! Masuklah kalau kau dapat dan berani." Terdengar suara Tan Tek Seng menertawakan mereka dari atas tembok.
"Orang she Tan pengecut! Biar kukejar sampai dimana juga!" teriak Lui Im dengan marah dan ia siap meloncat keatas, tapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Bu Beng. Lui Im merasakan pegangan itu kuat sekali hingga tak mungkin baginya untuk melepaskan diri dan meloncat.
"Sabar, Lui Lo-Enghiong biarlah siauwte yang naik dulu untuk melihat suasana. Aku khawatir mereka memasang jebakan diatas, sebagaimana yang telah mereka lakukan dengan mengirim senjata gelap tadi." Sebelum Lui Im dapat menjawab, anak muda itu mengayunkan tubuhnya dan melayang keatas tembok. Bagi orang lain, biarpun ia mempunyai kepandaian tinggi, jika meloncat tembok itu tentu sesampainya diatas akan berpegangan kepada besi runcing. Tapi Bu Beng mempunyai ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang sempurna dan gerakannya gesit sekali.
Maka dengan sengaja ia perkeras loncatannya hingga tubuhnya melayang keatas besi-besi itu dan menginjakkan kedua kakinya diujung besi! Tubuhnya dengan tetap dan ringan bagaikan seekor burung berdiri diatas besi itu sambil memandang kebawah dengan tajam. Benar saja, dari bawah menyambar beberapa belas piauw dan pelor besi kearahnya. Secepat kilat Bu Beng mencabut pedang pendek wee liong kiam dari punggungnya dan memutarnya untuk melindungi tubuh. Semua senjata rahasia itu terpental kembali dengan suara berderincingan. Maka pemuda yang tajam itu melihat beberapa bayangan tubuh di bawah tembok. Ia segera mengayunkan tangannya dan melepaskan dua buah pelor yang tadi disautnya ketika ia mula-mula mendapat serangan. Terdengar suara teriakan orang kesakitan dibawah tembok.
"Tan Pangcu! Ang Hwat Tojin! Tidakkah sambutan ini sangat memalukan dan bukan perbuatan orang-orang gagah? Atau kalian takut kepada Lui Pangcu?" seru Bu Beng dari atas.
"Orang gagah Dari mana yang datang ini. turunlah dan bawa orang she Mui itu masuk. Kami ingin memandang mukamu dan mempersilakan kamu masuk," terdengar suara Tan Tek Seng.
Bu Beng segera memberi isyarat kepada Lui Im yang masih berdiri dibawah. Lui Im menggerakkan kakinya dan meloncat keatas. Ia tidak berani meniru perbuatan dan gerakan Bu Beng tadi, tapi menggunakan tangan kirinya memegang sebuah besi untuk menahan tubuhnya. Kemudian dengan Bu Beng mendahuluinya, mereka turun ke dalam. Mereka disambut oleh tiga orang yang berdiri di tengah-tengah lapangan. Di sekitarlapangan itu ditaruh obor yang membuat tempat itu terang sekali bagaikan siang. Di belakang obor-obor itu berdiri berpuluh orang dengan pakaian ringkas dan senjata di pinggang merupakan barisan. Keadaan mereka kelihatan perkasa sekali dan rupa-rupanya mereka telah melakukan persiapan sejak tadi. Tan Tek Seng yang bertubuh gemuk pendek melangkah maju, dan menjuru kepada Lui Im.
"Lui Pangcu. Sungguh beruntung hari ini aku dapat bertemu kembali dengan kau dalam keadaan sehat."
"Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau, Tan Pangcu. Bukankah kau adalah pecundangku? Aku datang menagih janji dan memenuhi undangan Ang Hwat Tojin." Ia melirik kearah orang pendeta kurus tinggi yang memegang kebutan putih berdiri tenang sambil memandang kearah tamu-tamu itu dengan acuh tak acuh.
Jago Pedang Tak Bernama Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siancai, siancai!" pendeta itu berkata dengan lagak seorang alim.
"Rupanya Lui Pangcu mendapat bantuan orang pandai hingga berani berlagak setelah pinto ampuni jiwanya."
"Hm, pendeta jahat! Selama hidupku belum pernah bermusuhan dengan orang seperti kau. Tapi mengapa kau berani-berani mencampuri urusan kami tanpa mengetahui duduk perkaranya? Apakah ini pantas disebut perbuatan seorang yang mencucikan diri dan telah memakai jubah pendeta? Kau bilang aku membawa teman, memang betul, tapi siapakah yang melanggar perjanjian lebih dahulu? Aku datang seorang diri di hutan malam tadi, tapi ternyata Tan Pangcu diam-diam mengundang kau. Sekarang aku datang membawa seorang kawanku, bukankah ini cukup adil?"
"Orang she Lui! Jangan kau lancing mulut menyebut-nyebut tentang kedudukanku. Kau sudah nyata bukan tandinganku, apakah kau mencari mampus? Tentang kawanmu, janganlah hanya seorang, biar kau bawa beberapa orang lagi, aku tidak ambil pusing. Jangan kira kami takaut padamu dan pada kawan-kawanmu," jawab Ang Hwat Tojin sambil menuding-nudingkan kebutannya.
"Lui Lo-Enghiong," kata Bu Beng dengan suara mengandung ejekan, "Mereka bilang tidak takut kepada kita yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, tapi lihatlah dia itu, bukankah dia itu agaknya orang yang siang tadi mereka cari untuk diminta bantuannya?" Lui Im memandang kearah orang yang dituding pemuda itu dan melihat seorang kate yang berpakaian seperti pengemis sambil memegang tongkat. Oran itu duduk diatas tanah dengan tak acuh sama sekali tentang pembicaraan mereka, tapi hanya menggunakan tongkatnya menggaris-garis tanah. Bu Beng tertarik sekali oleh goresan tongkat itu karena biarpun hanya ditekan lemah tapi goresannya dalam sekali menunjukkan adanya tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Ia jadi memperhatikan apa yang dituliskan oleh si kate itu.
Ternyata dibaris pertama adalah ujar-ujar nabi Khong Hu Cu yang berbunyi
(Lanjut ke Jilid 04)
Jago Pedang Tak Bernama (Serial 01 - Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
"Su Hai Lwee Kai Heng Tee Ya" yang artinya, "Di empat penjuru lautan semua orang adalah saudara," lalu dibawah kedua disambung ujar-ujar lain yang berbunyi.
"Janganlah kau lakukan kepada orang lain sesuatu yang kau sendiri tidak mau dilakukan oleh orang lain kepadamu." Orang kate itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya terdapat banyak uban dan awut-awutan tak terurus. Mukanya kotor penuh daki dan wajahnya menunjukkan watak sembarangan dan tidak pedulian, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam berpengaruh yang tertutup oleh pelupuk mata yang selalu tampak seperti orang mengantuk. Bu Beng diam-diam herean dan menduga-duga siapakah pengemis tua yang luar biasa ini. Sementara itu, mendengar ejekan Bu Beng, ANg Hwat Tojin menjadi malu dan mukanya berubah merah. Ia kibas-kibaskan kebutannya dan berkata.
"Sudahlah jangan banyak mengobrol kata-kata busuk yang tak berharga. Sekarang kalian sebagai tamu yang sudah datang maka kami sebagai tuan rumah hendak bertanya apakah kehendak kalian? Apakah kau masih sakit hati dan hendak mengadu tenaga dengan pinto, orang she Lui?" ia menantang sikapnya sombong dan memandang rendah. Bu Beng mewakili Lui Im menjawab,
"Ang Hwat Tojin maafkan aku yang muda ikut bicara. Kalau dipikir dalam dalam kau sebenarnya tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Lui Im. Maka, jika kiranya Tan Pangcu masih belum puas, ia boleh ada tenaga dengan Lui Pangcu. Tetapi sebenarnya menurut pikiranku yang bodoh, tak perlu permusuhan ini dilanjutkan berlarut-larut, mengingat bahwa kedua-duanya adalah ketua dari perkumpulan besar yang seharusnya dapat memberi teladan baik bagi semua anggotanya dan mejauhi pertikaian yang tiada guna. Adapun kau sendiri karena kau menjadi orang undangan Tan Pangcu, jika kau hendak main-main, sudah terang bahwa Lui Pangcu bukan tandinganmu. Bukannya aku yang muda mau berlaku sombong, tapi kasihan kalau Lui Pangcu yan sudah tua itu harus menjadi korban totokanmu lagi, biarlah ia kuwakili denan tubuhku yang lebih muda."
"Sudah kusangka, sudah kusangka. Lui Im takkan berani datang kesini kalau tidak ada orang yang diandalkan. Tentu kau mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripada orang she Lui itu. Nah, majulah, majulah anak muda biar kita main-main sebentar." Bu Beng maju dua langkah dan setelah menjuru kepada lawannya, ia mencabut pedang pendeknya dari punggung. Ang Hwat Tojin melihat pedang itu menjadi kaget dan berseru,
"Tahan dulu! siapakah namamu?"
"Orang sebut aku Bu Beng."
"Bu Beng Kiam Hiap? Kau kah ini? ha, ha, ha! ini namanya ular dicari-cari kemana-mana tidak terdapat, tahu-tahu ular itu merayap kearah kaki! Hm, jadi kau kah yang telah membinasakan suteku dan merampas pedangnya? Hayo kembalikan Hwe hong kiam itu padaku!" Bu Beng memutar-mutar pedang pendeknya dan tersenyum.
"Gampang saja kau mau minta pedang ini. jadi kau ini suheng dari Kong Bouw? sungguh heran, seorang pendeta mempunyai sute kepala penjahat yang kejam dan ganas! Ketahuilah, Ang Hwat Tojin, sutemu biarpun mati di tanganku tapi sebenarnya ia mati karena kejahatan dan dosanya sendiri. Kalau ia tidak jahat dan penuh dosa, masakan dia dapat bertempur dengan aku? Dan kalau tidak bertempur dengan aku, masakan dia dapat tewas? Tenang Hwe hong kiam ini, aku dapatkan setelah bertempur mati-matian dikeroyok oleh Kong Bouw dan komplotannya. Maka sekarang, kalau kau hendak memilikinya, ambillah dari tanganku. Pedang ini tidak pantas dimiliki untuk melakukan kejahatan. Sudah cukup pedang ini menderita karena siraman darah orang-orang yang tidak berdosa, kini aku harus mencuci segala noda itu dengan darah orang-orang jahat yang layak menjadi korbannya."
Bukan main marahnya Ang Hwat Tojin mendengar uraian itu. Ia menggerakkan tangan kanan mencabut pedang yang terselip di punggungnya. Kemudian sambil menggeram keras ia maju menyerang. Bu Beng berlaku hati-hati karena dulu ia telah bertanding dengan Kong Bouw yang ternyata ilmu silatnya hebat juga. Kini berhadapan dengan suheng kepala penjahat itu, ia harus berhati-hati kareena tentu saja suhengnya lebih hebat daripada sutenya. Serangan lawan itu ditangkisnya dan cepat ia balas menyerang dengan tipu berbahaya dari Kim liong kiam hoat.
Pedang Hwe hong kiamnya berkilat seperti kilat menusuk dada lawan. Ang Hwat Tojin terkejut melihat ini dan cepat cepat ia gunakan kebutannya yang dipegang tangan kiri untuk menyabet pedang itu dengan gerakan "ular putih melilit dahan." Kebutan itu benar saja telah melilit peadang Bu Beng dengan kuatnya. Bu Beng kaget juga melihat kehebatan imam itu. Ia mencoba manarik pedangnya, tapi makin ditarik makin keras saja libatan itu. Mereka berdua mengerahkan tenaga, Bu Beng menarik dan lawannya menahan. Tiba-tiba Ang Hwat Tojin menusukkan pedangnya ketenggorokan Bu Beng. Bukan main hebat dan berbahayanya serangan ini justru pada saat Bu Beng sedang mengerahkan tenaga kearah pedangnya yang terlibat!
Anak muda itu memutar pergelangan tangannya untuk membalikkan mata pedang dengan maksud menggunakan mata pedang itu membabat kebutan itu sambil ia berkelit merendahkan tubuhnya menghindari tusukan lawan. Ang Hwat Tojin merasakan lilitan kebutannya tiba-tiba mengendur dan ketika ia lihat, bukan main rasa panas dan marahnya kaarena ternyata kebutannya telah putus oleh tajamnya pedang hwe hong kiam. Dengan marah ia ayunkan gagang kebutan yang erbuat dari besi itu kearah Bu Beng. Bu Beng maklum akan kerasnya ayunan itu, maka ia tidak berani menerimanya, dan mengelakkannya. Gagang kebutan itu terlempar kesisi dan menancap diatas tanah hingga tak kelihatan lagi. Demikian hebatnya tenaga imam itu, hingga kalau gagang kebutan itu mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa hebat akibatnya.
"Bangsat kecil lihat pedang!" Ang Hwat Tojin berseru marah.
Ia memutar pedangnya demikian rupa sehingga sinarnya berkilauan karena cahaya api obor. Ia menggunakan ilmu pedangnya "Halilintar mengamuk" menyerang dengan tiba-tiba dan mematikan. Tapi Bu Beng menghadapinya dengan gagah. Pemuda ini memainkan Kim liong kiam hoat dicampur denagn tipu-tipu pedang dari Hoa San Pai yang hebat hingga sinar pedangnya bergulung-gulung menindih sinar pedang imam itu, pertempuran berjalan ramai sekali, mereka merupakan sepasang naga yang sedang bercanda, mendatangkan angin dingin bersiutan karena gerakan mereka yang didorong oleh tenaga iweekang yang tinggi. Semua orang melihat jalannya pertempuran dengan bengong dan kagum. Bahkan orang tua kate yang kini berdiri dengan tongkat terjepit dibawah lengan turut menonton. Berkali-kali terdengar bisikan di mulutnya yang kecil.
"Bagus, bagus..." Pada satu saat, ketika Ang Hwat Tojin menusuk karah ulu hati Bu Beng, pemuda itu menggerakkan pedangnya menangkis, tapi ia terus gunakan tenaga iweekangnya menempel pedang lawan,
Memutar lengannya dengan cepat hingga Ang Hwat Tojin terpaksa mengikuti gerak putaran itu dan sekali menyenakkan pedang pendeknya keatas, Ang Hwat Tojin berteriak kaget dan pedangnya terlepas dari tangannya terbang ke udara. Ketika pedangnya mengikuti putaran tadi, Ang Hwat Tojin merasa telapak tangannya kesemutan dan pedangnya seakan-akan menempel ke pedang lawan, dan ketika ia sedang kebingungan untuk melepaskan pedangnya dri tempelan, tiba-tiba tenga keras menarik pedangnya dan sentakan lawan membuat ia tak dapat menahan lagi hingga pedangnya terpelanting keatas. Sebelum Ang Hwat Tojin hilang kagetnya, jari tangan Bu Beng secepat kilat menusuk dan menotok jalan darah di pundaknya. Pendeta itu jatuh terduduk dan tak dapat bangun kembali, karena totokan yang hebat itu membuatnya lumpuh dan mati setengah tubuhnya.
"Bangunlah, Ang Hwat Tojin, bangunlah," tiba-tiba pengemis kate itu berkata dan menggunakan tangannya memegang pundak Ang Hwat Tojin sambil membantunya bangun. Tapi diam-diam orang kate itu menggunakan tangannya menekan pundak dengan gerakan capung melayang memukul air untuk menyembuhkan totokan Bu Beng. Ang Hwat Tojin segera dapat bangun berdiri dengan wajah merah dan sepasang matanya memandang lawan yang muda itu dengan melotot. Orang kate itu menghadapai Bu Beng dan bertindak maju sampai hanya tiga kaki terpisah dari Bu Beng. Ia masih mengempit tongkatnya dan menjuru sambil merangkapkan kedua tangan.
"Bu Beng Taihiap, kau sungguh hebat dan membuat aku sangat kagum." Katanya dengan senyum. Bu Beng merasa ketapa dari kedua lengan itu menyambar tenaga besar hingga ia sangat terkejut. Buru-buru ia rangkapkan kedua tangan sambil mengerahkan iweekangnya dan balas menjuru.
"Losuhu terlalu memuji. Mohon keterangan siapakah losuhu ini?" si kate yang sedang mencoba kehebatan anak muda itu merasa tenaganya terpukul kembali hingga diam-diam ia makin mengagumi Bu Beng.
"Ha, ha, sungguh hebat. Sungguh hebat. Masih semuda ini, tapi memiliki kepandaian yang tak tercela. Dengarlah anak muda, lohu disebut orang Pengemis Kecil tongkat Wasiat. Namaku Lo Sam dan pekerjaanku mengemis." Kembali Bu Beng terkejut. Tak heran bahwa pengemis kate ini demikian hebat, sebab ia adalah ketua perkumpulan pengemis dari daerah barat yang sangat terkenal namanya! Tapi, menurut Kim Kong Tianglo, suhengnya, Lo Sam adalah seorang yang sangat mengutamakan budi kebaikan, bahkan ia berlaku sangat bengis terhadap anggota-anggota perkumpulannya, karenanya iaa sangat dipuji kaum persilatan. Tapi kini ia membantu orang semacam Ang Hwat Tojin dan Tan Tek Seng. Bu Beng menjuru dengan hormat.
"Tidak kusangka Lo-Enghiong yang kuhdapi. Maaf, maaf, kalau aku yang muda berlaku kurang hormat. Dengan adanya Lo-Enghiong disini, siauwte yakin bahwa urusan ini pasti dapat diselesaikan dengan damai dan sempurna, karena siauwte sudah mendengar tentang keadilan Lo-Enghiong."
"Hm, hm, kau pandai membawa diri, anak muda. Bolehkah aku mengetahui siapa gurumu yang mulia?"
"Kiranyaakan cukup jika siauwte katakana bahwa siauwte adalah adik seperguruan dari Kim Kong tianglo."
"Oo... begitukah? Tak heran kau begitu hebat! Tak kusangka kau adalah murid dari Hun San Tojin almarhum." Sementara itu Ang Hwat Tojin pun terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo, karena ia sendiri pernah jatuh dalam tangan Hwesio yang lihai itu.
"Bu Beng Taihiap, karena kau masih muda, maka biarpun sifat-sifatmu baik, namun kau masih juga dikuasai oleh nafsu berkelahi. Ketahuilah kedatanganku ini walaupun memenuhi undangan Ang Hwat Tojin tapi bukan sekali-kali untuk mengadu kepandaian. Aku sengaja datang untuk mendamaikan urusan ini. sebetulnya telah kuketahui bahwa Tan Pangcu maupun Lui Pangcu kedua-duanya adalah orang-orang baik dan jujur. Sayang mereka berdua kurang luas pandangannya dan mudah saja terbakar oleh murid-murid atau anggota-anggota mereka hingga terjadi bentrokan ini. sebenarnya apakah untungnya untuk berkelahi antara kita sendiri? Kita dikurniai kepandaian bukanlah dimaksudkan untuk mencari permusuhan, tapi bahkan sebaliknya, membinasakan segala kejahatan, bukankah demikian? Kalau permusuhan didendamkan makin mendalam hingga terjadi balas membalas, siapakah yang rugi? Tak lain kita sendiri karena di dunia ini tidak ada orang terpandai!" Bu Beng heran mendengar kata-kata yang lancer dan berisi itu, karena melihat orangnya yang kecil pendek itu tak tersangka dapat bicara demikian panjang lebar dan penuh isi. Dan terpaksa ia membenarkan uraian tadi dan berkata.
"Lo-Enghiong benar sekali, siauwte juga akan merasa gembira sekali jika hal ini dapat dibereskan secara damai." Melihat perkembangan urusan ini hati Tan Tek Seng menjadi lemah. Sejak tadipun, setelah melihat betapa Ang Hwat Tojin yang ia andalkan dapat dijatuhkan oleh tangan kawan Lui Im, ia sudah merasa putus harapan untuk mempertahankan namanya. Harapan satu-satunya tinggal kepada Lo Sam yang ia tahu betul kehebatannya. Tapi kini mendengar kata-kata pengemis pendek kecil itu, lenyaplah harapan satu-satunya. Ia tahu diri maka segera ia maju dan menjuru kepada Lo Sam sambil berkata,
"Memang ucapan Lo-Enghiong tadi sangat tepat. Aku mengaku salah telah terlibat dalam pertempuran anggota-anggotaku yang tak berarti hingga terjadi bentrokan dengan Lui Pangcu. Tapi karena kesalahan terletak dikedua pihak yang tidak mau mengalah hingga aku meminta bantuan Ang Hwat Tojin dan Lo-Enghiong sendiri sedangkan di pihak Lui Pangcu juga minta bantuan Bu Beng Taihiap yang tinggi ilmu kepandaiannya ini, hatiku merasa sangat penasaran sebelum menyaksikan pihak manakah yang lebih hebat kawannya. Ang Hwat Tojin sudah terkalahkan tapi aku masih ada Lo-Enghiong yang datang kesini atas undanganku. Maka aku yang bodoh mohon dengan sangat untuk menambah pengetahuanku yang rendah, sudilah Lo-Enghiong melayani Bu Beng Tahiap bermain-main sebentar secara sahabat. Jika Bu Beng Tahiap yang masih muda tapi sangat hebat ini ternyata lebih unggul daripada Lo-Enghiong, maka denan rela aku akan minta maaf lebih dulu kepada Lui Pangcu. Sebaliknya jika Bu Beng Taihiap tak dapat mengalahkan kepandaian Lo-Enghiong, sudah sewajarnya kalau Lui Pangcu yang minta maaf lebih dulu dan kami berdua selanjutnya menghabiskan permusuhan ini dan melanjutkan persahabatan semula. Bagaimana pendapatmu Lui Pangcu?" Lui Im yang sejak tadi sangat kagum melihat kehebatan Bu Beng, dan ia mengerti pula bahwa Lo Sam bukanlah orang sembarangan, maka iapun ingin sekali melihat kedua orang ini mengadu ilmu agar ia dapat menyaksikan untuk menambah pengalaman. Melihat sikap tan Tek Seng yang tiba-tiba berubah manis, iapun bergembira dan sambil tersenyum ia berkata,
"Setuju, setuju! Tapi tentu saja saya tidak dapat dan tidak berani memaksa Bu Beng Taihiap saya hanya mengharapkan persetujuannya saja." Lo Sam tertawa tergelak-gelak.
"Ah, ah memang kedua Pangcu ini jahat dan usilan! Memaksa aku yang tua dan Bu Beng Taihiap yang hebat ini akan dijadikan jago aduan dan mereka berdua dengan enak bertaruhan? Ah, tak beres, tak beres!" Bu Beng tersenyum dan sambil menggeleng-gelengkan kepala berkata,
"Ah, mana berani siauwte berlawan tangan dngan Lo Sam Lo-Enghiong? Sudah lama siauwte mendengar kehebatannya, bagaimana siaute dapat menandinginya? Lui Pangcu sebaiknya kau saja yang mengalah dan minta maaf lebih dulu untuk menjaga mukaku!"
"Ha, ha kau sungguh tahu diri dan pandai merendahkan diri, sobat muda," kata Lo Sam.
"belum tentu lohu dapat mengalahkanmu. Kulihat kepandaianmu lebih tinggi daripada Kim Kong Tianglo suhengmu itu. Mari, biarlah kita menjadi dua pelawak sebentar dan memenuhi kehendak kedua Pangcu yang jahat ini." Bu Beng terpaksa maju menghampiri dan memasang bheksi pertahanan dengan sikap mempersilakan orang tua itu bergerak dulu. tapi Lo Sam sambil memperdengarkan suaranya yan nyaring menggoyang-goyangkan tongkatnya dan berkata,
"Anak muda, kiam hoatmu tadi kulihat hebat sekali, kalau tidak salah itu adalah Kim liong kiamhoat maka cabutlah pedangmu, biar kucoba dengan tongkat usangku ini." Bu Beng terpaksa mengeluarkan pokiamnya dan lagi-lagi memasang kuda-kuda pertahanan.