Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 10


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




Tentu saja Bi Eng gelisah sekali mendengar ini, akan tetapi Bhok Kian Teng dengan pandai menghiburnya dan mengatakan bahwa tentu pemuda dengan monyetnya itu telah dapat melarikan diri dan melanjutkan perjalanannya. Dengan pancingannya ia berhasil membuat Bi Eng mengaku bahwa kakaknya hendak ke Lu-liang-san, maka Bhok-kongcu lalu mengusulkan untuk menyusul ke Lu-liang-san. Bi Eng yang masih hijau pengalamannya itu menurut saja dan berangkatlah dia bersama Bhok-kongcu ke Lu-liang-san, sedangkan Yo Leng Nio oleh Bhok-kongcu diberi perintah untuk terus mencari Han Sin, kalau-kalau pemuda itu pergi ke jurusan lain.

Demikianlah, sekarang gadis yang bertemu di dekat kota Tai-goan dengan Han Sin, bukan lain adalah Yo Leng Nio, tangan kanan Bhok-kongcu. Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Leng Nio. Ia ingin berjasa kepada kongcunya, maka cepat ia mengajak pemuda itu pergi ke Tai-goan di mana terdapat sebuah rumah bagus kepunyaan Bhok-kongcu.

Tahu akan maksud Bhok-kongcu, yaitu hendak merampas surat wasiat Lie Cu Seng yang dibawa pemuda ini, Leng Nio hendak menggunakan siasat, merampas surat dan membunuh pemuda ini agar tidak menimbulkan banyak urusan. Dengan surat wasiat itu ia dapat menyenangkan hati Bhok-kongcu yang dicintainya sepenuh hati. Kalau tidak hendak menjalankan siasat, mana ia sudi memboncengkan pemuda itu di atas kudanya?

Ketika kuda yang mereka tunggangi itu akan memasuki kota Tai-goan, tiba-tiba dari pintu kota keluar sebuah kereta yang ditarik oleh seekor kuda putih. Kereta itu bergerak cepat dan ketika bersimpangan dengan kuda Leng Nio, tirai jendela kereta itu tersingkap dari dalam dan kelihatanlah wajah seorang gadis cantik yang gelung rambutnya amat indah. Yo Leng Nio segera menahan kudanya dan menjura dengan hormat ke arah kereta. Han Sin juga memandang. Segera ia mengenal wajah ini dan tak terasa ia berseru,

"Nona Thio Li Hoa.....!"

Memang nona itu bukan lain adalah Thio Li Hoa yang pernah dijumpainya di Cin-ling-san ketika ia di "hukum" dalam jurang Can-tee-gak. Nona dalam kereta itu melirik sebentar, sepasang matanya bersinar marah sekali, lalu ia melengos dan menutup kembali tirai jendela keretanya.

"Kau kenal dia?" tanya Leng Nio sambil menjalankan kembali kudanya, perlahan-lahan.

"Kenal? Tidak, hanya pernah bertemu dengan dia di Cin-ling-san."

"Hemm, tentu datang bersama para pengemis, bukan?"

"Bagaimana kau bisa tahu?" Han Sin bertanya heran.

Leng Nio tidak menjawab, malah berkata ketus, "Turunlah, kita sudah sampai di kota. Masa kau masih mau nongkrong terus membikin kita menjadi buah tertawaan orang?"

Merah muka Han Sin dan ia merosot turun dari atas punggung kuda. Mereka memasuki kota Tai-goan yang besar dan ramai. Akan tetapi waktu itu agak sepi karena hari telah menjadi senja. Leng Nio membawanya ke sebuah gedung kecil mungil dan indah sekali yang letaknya agak di pinggir kota. Benar-benar sebuah bangunan yang menyenangkan dan enak sekali kalau dipergunakan untuk mengaso.

Letaknya di tempat yang tidak begitu ramai, juga gedungnya kecil saja akan tetapi taman bunganya besar penuh tetanaman yang indah-indah. Tentu rumah orang kaya, pikir Han Sin yang memandang kagum ketika ia memasuki halaman rumah itu. Akan tetapi segera semua ini tidak diperhatikan lagi karena hatinya berdebar memikirkan adiknya. Apakah ia akan bertemu dengan Bi Eng di sini?

"Apakah adikku berada di rumah ini?" tanyanya.

Leng Nio menggeleng kepala. "Nanti sambil makan kita bicara tentang dia." Pada saat itu dua orang pelayan laki-laki datang. Leng Nio memberikan kudanya kepada seorang di antara mereka lalu berkata kepada orang kedua.

"Saudara ini tamu Bhok-kongcu, kau antarkan dia ke sebuah kamar tamu." Pelayan itu mengangguk lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Han Sin untuk mengikutinya. Han Sin terpaksa menurut saja karena ia membutuhkan keterangan tentang adiknya. Baiklah aku bersabar sampai mendengar keterangannya, kalau tidak memuaskan aku bisa pergi dari sini, pikirnya.

Ketika pelayan itu mengantarnya ke sebuah kamar yang mewah dan indah, ia mencoba untuk menyelidiki dari mulut pelayan itu. "Eh, sobat, sebetulnya rumah ini milik siapakah? Apakah milik Bhok-kongcu? Dan di mana tuan rumahnya?"

Akan tetapi pelayan yang sedang menyapu lantai kamar itu sama sekali tidak menjawab, menengokpun tidak seakan-akan tidak mendengar pertanyaannya. Han Sin mendongkol sekali. Masa pelayan saja sampai berani menghadapinya dengan sikap memandang rendah? "Eh, sobat!" katanya tak sabar sambil menowel lengan pelayan itu. Pelayan itu menengok dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pertanyaan.

"Di mana Bhok-kongcu? Apakah ada seorang nona she Cia di sini?" tanya Han Sin pula.

Pelayan itu mengangkat pundak, lalu menyapu lagi. "Eh, kurang ajar kau, apa kau gagu?" pelayan itu kembali memandang kepadanya, lalu menuding ke arah kedua telinganya dan membuka mulut. Ternyata pelayan ini tidak berlidah dan kedua telinganya tuli. Lidahnya dipotong dan telinganya dilubangi orang!

Han Sin melengak, namun diam-diam ia bercuriga. Aneh sekali orang-orang di sini. Kalau dia benar tak dapat mendengar, bagaimana tadi dia bisa mengerti perintah nona itu? Ia tentu saja tidak tahu bahwa pelayan ini memang tuli dan bisu seperti semua pelayan dari Bhok-kongcu, dan tadi dapat dimengerti ucapan Leng Nio karena memandang gerak bibir gadis itu.

Karena merasa lelah dan tubuh serta pakaiannya memang kotor terkena debu, Han Sin segera mandi ketika pelayan itu menyiapkan air, dan dengan gembira dan penuh harapan ia lalu pergi ke ruang makan ketika pelayan mengajaknya. Di situ sudah menunggu nona galak tadi yang kini sudah mengenakan pakaian baru, mukanya dibedak dan digincu sehingga kelihatan makin cantik. Namun sayang, demikian pikir Han Sin, nona ini wajahnya membayangkan sifak galak, pendiam dan sungguh-sungguh, sama sekali tidak ada sinar terangnya. Alangkah banyak bedanya dengan wajah Bi Eng, pikirnya. Malah lebih galak dari pada wajah nona Thio Li Hoa.

Di atas meja sudah tersedia masakan-masakan yang masih panas dan arak wangi. Melihat kedatangan Han Sin bersama Siauw-ong, ia mengerutkan kening dan berkata, "Harap monyet kotor itu jangan dibawa ke sini. Suruh dia bermain-main di luar."

Han Sin tersenyum, tanpa menjawab ia lalu mengambil beberapa butir buah dari atas meja, memberikannya kepada Siauw-ong sambil berkata, "Siauw-ong, kau bermain-main di luar sana, jangan ganggu kami. Jangan datang sebelum kupanggil!" Monyet itu mengerti, menerima buah dan melompat ke luar setelah berjebi kepada Leng Nio.

Han Sin tertawa lalu duduk menghadapi meja. "Cia-kongcu silahkan makan dulu, baru nanti kita bicara," kata nona itu tanpa sungkan-sungkan lagi karena perutnya memang sudah lapar, Han Sin makan dengan lahapnya. Leng Nio yang juga menemaninya makan, memandang cara pemuda makan ini dengan senyum mengejek, lalu ia berkata.

"Kongcu agaknya jarang melakukan perjalanan jauh dan tidak pernah bertemu dengan orang-orang jahat."

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Kalau aku berniat jahat dan memberi racun dalam makanan ini, bukankah kau akan celaka? Kau sama sekali tidak berhati-hati, terus saja makan tanpa memeriksa lagi."

Merah wajah Han Sin. Bukan karena ia ceroboh, dan bukan karena ia tidak tahu akan bahaya-bahaya seperti ini. Dahulu sering kali Ciu-ong Mo-kai memberi nasehat kepadanya, atau lebih tepat kepada Bi Eng, agar hati-hati menghadapi orang-orang kang-ouw yang seringkali menggunakan racun untuk menjatuhkan musuhnya. Akan tetapi soalnya bukan ia ceroboh, melainkan karena ia terlalu percaya kepada orang. Ia juga percaya sekali kepada nona ini, mana bisa hatinya menaruh curiga dan takut diracuni? Masa ada seorang gadis cantik seperti ini mau main racun?

"Nona, aku percaya kepadamu, percaya dengan membuta karena kau sudah begitu baik hendak bicara tentang adikku. Masa aku takut diracun?" jawabnya sambil tersenyum.

Setelah selesai makan dan meja itu sudah dibersihkan, Leng Nio berkata, "Nah, sekarang marilah kita bicara." Memang saat ini yang dinanti-nanti oleh Han Sin, maka ia lalu berkata.

"Nona sudah begini baik terhadap aku, mengajak aku ke sini, malah sudah menjamu dengan hidangan enak. Kalau nona sekarang bicara tentang adikku, itulah menunjukkan bahwa kau memang seorang yang mulia dan aku Cia Han Sin akan berterima kasih sekali."

"Huh, siapa yang mulia? Aku hanya melakukan kewajibanku. Ketahuilah, aku adalah pelayan Bhok-kongcu bernama Yo Leng Nio." Hati Han Sin berdebar. Lagi-lagi seorang pelayan Bhok-kongcu setelah pertemuannya dengan nona baju merah yang hidungnya buntung. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan mendengarkan terus.

"Aku tidak mau bicara panjang lebar. Pendeknya, adikmu itu kini telah ditawan oleh Bhok-kongcu dan disembunyikan di suatu tempat. Hanya dengan satu syarat yang kau penuhi, adikmu itu akan dibebaskan dan kau akan dapat bertemu kembali dengan dia."

Bukan main kaget dan herannya hati Han Sin. Orang sudah berlaku begini baik, akan tetapi mengapa di belakang kebaikan ini terkandung sesuatu yang demikian jahat?

"Kenapa adikku di tawan? Apa salahnya? Ayoh, kaulepaskan, kalau tidak akan kulaporkan kepada pembesar setempat!" katanya marah.

Leng Nio tertawa mengejek. "Jangan kau ngaco belo! Bhok-kongcu adalah putera raja muda, mana segala macam pembesar bisa mengganggunya? Pendeknya, kau penuhi syarat itu atau...... kau takkan dapat berjumpa kembali dengan adikmu, malah jiwamu juga akan terancam."

"Tidak perduli dengan jiwaku! Asal adikku selamat. Di mana dia?"

"Kau terima syaratnya atau tidak?"

"Apa syaratnya, lekas kau beritahukan. Asalkan patut dan dapat kulakukan, tentu saja aku suka bertukar dengan keselamatan adikku."

Yo Leng Nio berdiri dan dengan suara agak gemetar saking tegangnya, ia berkata. "Kau serahkan surat wasiat Lie Cu Seng, dan kau akan segera kuantar ke tempat adikmu." Sambil berkata demikian, sepasang matanya menatap tajam.
Han Sin melengak. Eh, kiranya ke situlah tujuannya? Heran dia, kenapa semua orang kang-ouw ini tergila-gila kepada surat wasiat Lie Cu Seng dan agaknya berlumba-lumba untuk mendapatkannya? Mau tak mau ia tertawa getir mendengar permintaan ini.

"Kenapa kau tertawa? Apakah kau lebih sayang surat itu dari pada keselamatan adikmu?" bentak Yo Leng Nio penuh ancaman.

"Bukan begitu, aku hanya merasa geli kenapa semua orang begitu gila hendak mendapatkan surat itu."

"Berikan padaku demi keselamatan Bi Eng," kata Leng Nio penuh gairah karena ia mengharapkan siasatnya ini berhasil.

Han Sin menggeleng kepalanya. "Tak mungkin, surat itu memang tadinya berada di tanganku, akan tetapi sekarang telah hancur, sudah hilang."

"Bohong!"

"Kau tidak percaya, ya sudah. Memang tidak ada lagi padaku, sudah rusak dan hancur di dalam jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san."

Akan tetapi mana Leng Nio mau percaya? Surat wasiat yang dirindukan oleh semua tokoh kang-ouw, mana bisa dirusak begitu saja? Ia mengerutkan keningnya yang berkulit halus, lalu berkata. "Sudahlah, kau boleh istirahat. Kuberi waktu semalam ini. Besok kau harus dapat memberi keputusan, lebih sayang surat atau lebih sayang adik."

Setelah berkata demikian ia tinggalkan pemuda itu seorang diri. Han Sin bingung sekali dan akhirnya karena memang lelah, iapun pergi ke kamarnya dan memanggil Siauw-ong. Akan tetapi monyet itu tidak muncul, agaknya pergi main-main terlalu jauh. Ia tahu bahwa Siauw-ong tentu akan kembali sendiri, maka ia lalu membaringkan tubuh di atas tempat tidur yang empuk dalam kamar itu. Ia putar-putar otak mencari jalan keluar terbaik menghadapi persoalan ini, namun sia-sia.

Memang surat wasiat itu sudah dia hancurkan sebagian dan yang sebagian pula dirobek-robek oleh Thio Li Hoa, bagaimana dia bisa menyerahkan surat itu? Apakah ia harus membuat gambar baru dari peta itu dan menyerahkannya kepada Leng Nio? Kalau hal ini ia lakukan, kemudian ternyata Bi Eng tak dapat ia jumpai, siapa tahu orang-orang kang-ouw ini banyak sekali akal curangnya, bukankah itu merupakan kerugian besar? Pula, ia seperti mendurhaka kepada mendiang ayahnya. Surat wasiat itu memang haknya dan hak Bi Eng, bagaimana bisa diserahkan begitu saja kepada orang lain?

Lewat sedikit tengah malam, ketika keadaan di seluruh gedung itu sunyi, sesosok bayangan yang amat gesit membuka jendela kamar Han Sin dan memasuki kamar itu. Keadaan di dalam kamar amat gelap akan tetapi agaknya bayangan itu sudah mengenal baik kamar itu, buktinya ia dapat menyimpangi meja yang terpasang di dekat jendela. Orang lain tentu akan menabrak meja dalam kegelapan itu. Bayangan itu mengeluarkan sebuah lilin kecil dan menyalakannya setelah mendengarkan sebentar dan dari pernapasan yang lambat panjang tahu bahwa pemuda yang berada di pembaringan sudah pulas betul.

Ia melihat baju luar Han Sin yang ditaruh di atas bangku. Cepat tangannya menggerayangi baju itu dan memeriksa. Ketika mendapat kenyataan, ia lalu menaruh kembali baju itu dan menyingkap kelambu melihat ke atas pembaringan. Tiba-tiba ia nampak terkejut sekali dan sekali tiup lilinnya padam. Bayangan ini dengan tergesa-gesa dan kelihatan ketakutan melompat lagi ke jendela untuk lari.

Ternyata dia melihat cara tidur Han Sin yang amat aneh, yaitu dengan kepala di bawa kaki di atas, berjungkir balik! Tentu saja melihat orang dalam keadaan seperti itu, ia terkejut bukan main dan siapakah orangnya yang mau percaya bahwa pemuda itu berada dalam keadaan tidur pulas?

Memang sesungguhnya Han Sin tidur pulas. Tadi karena pikirannya agak bingung dan khawatir memikirkan keadaan adiknya, pemuda ini lalu berlatih samadhi seperti biasa dengan berjungkir balik sampai ia tertidur dalam keadaan demikian. Dalam keadaan seperti itu, pendengaran pemuda ini tajam sekali, maka ia segera terbangun ketika mendengar suara perlahan di jendela, suara kaki bayangan itu menyentuh daun jendela.

Tiba-tiba terdengar suara Siauw-ong cecowetan dan disusul suara bentakan perlahan. "Monyet sial, minggat kau!" Itulah suara Leng Nio!

Han Sin turun dari pembaringan dan menyalakan lilin dan pada saat itu Siauw-ong melompat ke dalam kamar itu, di kedua tangannya membawa sebuah sisir, sebuah cermin kecil, dan sebuah saput atau alat penyapu muka kalau sedang dibedaki. Entah dari mana dia mendapatkan alat berhias wanita ini. Melihat itu Han Sin menjadi geli dan membentak.

"Siauw-ong, dari mana kau dapatkan barang-barang ini? Ayoh, kembalikan kepada pemiliknya!"

Siauw-ong menjebikan bibirnya yang tebal, membuat gerakan seperti orang menyisir rambut kepalanya lalu berbedak sambil bercermin. Benar-benar seperti seorang wanita sedang berhias! Mau tak mau Han Sin tertawa geli dan menggebah monyet itu keluar dari kamarnya. Lalu tidur kembali, diam-diam mendongkol kepada Leng Nio yang sudah terang tadi mencoba untuk menggeledahnya, agaknya mencari surat wasiat Lie Cu Seng!

Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah mendengar suara ribut-ribut. Suara ini adalah suara cecowetan Siauw-ong dan makian Yo Leng Nio. Ketika mendengar suara Siauw-ong, seperti kalau sedang menantang berkelahi, Han Sin cepat memakai bajunya dan keluar dari kamarnya terus menuju ke taman bunga dari mana suara ribut-ribut itu terdengar.

Betul saja, Siauw-ong sedang "cekcok" dengan Yo Leng Nio. Nona ini memaki-maki,"Monyet sialan, kembalikan barang-barangku!"

Akan tetapi dengan suara "ngak-nguk, ngak-nguk!" Siauw-ong agaknya malah menantang dan mempermainkan gadis itu.

"Setan, kau minta mampus!" Dan gadis itu dengan amat cepatnya lalu menyerang, memukul kepala monyet itu. Namun mana bisa Siauw-ong dipukul begitu saja. Sambil menjebikan bibirnya yang tebal, ia meloncat dengan elakan yang indah, lebih cepat dari pada serangan Leng Nio. Gadis itu penasaran, lalu menyerang lagi, tapi luput lagi. Akhirnya saking marah dan penasaran, Leng Nio menyerang sungguh-sungguh dengan gerakan ilmu silat, malah menggunakan jari tangannya untuk menotok dan menusuk mata monyet itu.

Siauw-ong benar-benar hebat, sambil menyengir ia terus mengelak ke sana ke mari sehingga tubuhnya berkelebatan di antara ke dua tangan Leng Nio yang melakukan pukulan bertubi-tubi. Dan kini monyet itu bukan hanya sembarangan mengelak mendasarkan kegesitan yang wajar seekor monyet. Kalau dia hanya mengandalkan kegesitan monyet biasa, tentu dia akan kena pukul oleh gadis yang lihai itu. Akan tetapi Siauw-ong mengelak dengan jurus-jurus ilmu silat pula, ilmu silat Liap-hong Sin-hoat yang tinggi. Langkah-langkah dan gerak tubuhnya teratur sehingga selalu Leng Nio menghantam tempat kosong.

Han Sin merasa puas melihat Siauw-ong mempermainkan nona itu. Agaknya monyet ini tahu pula akan usaha nona itu menggeledah kamarnya, pikir Han Sin. Maka sebagai pembalasan, Siauw-ong juga memasuki kamar nona itu dan mencuri alat-alat berhias. Akan tetapi melihat Leng Nio makin lama makin marah, ia merasa tidak enak juga. Betapapun juga, ia masih mengharapkan penjelasan nona ini tentang adiknya.

"Siauw-ong, jangan kurang ajar. Kembalikan barang-barang nona Yo!" Akhirnya ia membentak. Mendengar seruan ini, Siauw-ong melemparkan tiga buah benda itu sekali gus ke arah Leng Nio sambil melompat ke pundak Han Sin. Leng Nio menggerakkan tangan menangkap benda-benda itu, akan tetapi hanya berhasil menangkap cermin dan alat berbedak, sedangkan sisir itu telah melayang ke arah rambutnya dan menancap di situ! Mukanya menjadi merah dan dengan mata melotot ia memandang monyet yang kini cengar-cengir di atas pundak Han Sin.

"Orang she Cia! Monyetmu sungguh kurang ajar. Suruh dia turun, biar kuhancurkan kepalanya!" Nona itu membentak marah sekali.

Han Sin tersenyum. "Maafkanlah dia, nona Yo. Agaknya semalam ia melihat gerak-gerik orang memasuki kamar orang lain. Agaknya dia telah melihat seorang pencuri maka dia meniru-niru memasuki kamarmu dan mengambil barang-barangmu itu. Monyet memang suka sekali meniru-niru manusia."

Berubah wajah Yo Leng Nio mendengar ini. Ia merasa disindir dan ia tak dapat menjawab.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disusul ucapan halus. "Betul sekali ucapan itu. Memang memalukan kalau seorang perempuan memasuki kamar seorang pemuda di waktu tengah malam buta!" Dan dari balik tembok meloncat masuk seorang gadis cantik yang berpakaian indah dan mewah. Gelungnya yang tinggi amat indah dan mengeluarkan bau harum. Han Sin segera mengenal nona ini, Yo Leng Nio berubah pucat mukanya dan ia cepat-cepat membungkukkan tubuh memberi hormat. "Kiranya Thio-siocia (nona Thio) datang berkunjung. Tidak kebetulan sekali Bhok-kongcu tidak ada di sini, nona."

Thio Li Hoa tersenyum mengejek dan suaranya ketus ketika menjawab, "Aku tahu ke mana perginya kongcumu itu bersama seorang gadis she Cia. Aku datang bukan untuk bertemu dengan kongcumu, melainkan untuk membawa pergi bocah she Cia." Ia menudingkan telunjuknya ke arah Han Sin.

"Thio-siocia, akan tetapi..... dia.... dia ini hendak mencari adiknya...." kata Yo Leng Nio gagap.

Mata Li Hoa yang tajam sekali itu tiba-tiba memancarkan sinar berapi. "Dia mencari adiknya, kenapa kau bawa ke sini? Pula, malam-malam waktunya orang tidur kau menggerayangi tempat tidur orang..... hemmmm, hendak kudengar apa yang akan dikatakan Bhok-kongcu kalau kuceritakan kepadanya tentang hal itu!"

Wajah Yo Leng Nio makin pucat. Ia tahu bahwa ia takkan tertolong lagi kalau sampai di dalam hati Bhok-kongcu di bangkitkan perasan cemburu. Bergidik ia kalau mengingat akan hal ini, dan ia tahu pula bahwa terhadap nona Thio ini, tentu saja Bhok-kongcu percaya penuh.

"Tidak. Thio-siocia...... jangan...... harap kau tidak bercerita yang bukan-bukan terhadap Bhok-kongcu......."

"Plakk!" Cepat sekali bagaikan ular menyambar, tahu-tahu tangan kanan Li Hoa sudah menampar pipi Leng Nio. Han Sin yang melihat itu, tersenyum dan teringat akan pipinya sendiri yang juga pernah ditampar oleh nona Thio yang galak ini.

"Apa kau bilang? Aku bicara bukan-bukan? Kau berhadapan dengan siapakah?" bentak puteri perwira tinggi itu.

YO LENG NIO mendapat akal. Ia menjura dan berkata lemah. "Aku berhadapan dengan nona Thio Li Hoa yang cantik dan gagah perkasa dan yang boleh dipercaya serta tidak pernah memburukkan nama orang lain. Tentu saja aku tidak berani membantah perintah nona, hanya mengingat bahwa kongcu mencari orang ini dan untuk mempertanggung jawabkan """"

Li Hoa mengeluarkan sehelai surat. "Lihat ini! Surat kuasa untuk menangkap bocah she Cia ini. Dia telah membunuh utusan pemerintah dan harus ditangkap. Apa kau berani menentang surat perintah penangkapan?"

Yo Leng Nio melirik dan mendapat kenyataan bahwa memang betul nona Thio ini datang membawa surat perintah menangkap Cia Han Sin. Ia menjura lagi dan berkata, "Aku tidak berani membantah. Silahkan nona tangkap bocah ini, hanya kuharap tidak lupa bahwa pelayan Bhok-kongcu juga berjasa dalam bantuannya menemukan bocah yang dicari ini."

"Hemmmm," Li Hoa melirik ke arah Han Sin dan berkata, "Ayoh, ikut aku!"

Han Sin pernah mengenal kepalsuan gadis she Thio ini yang dulupun hendak menolong dia keluar dari jurang, akan tetapi yang sesungguhnya hendak mencari surat wasiat Lie Cu Seng, kemudian malah bersama para pengemis tua hendak menangkapnya. Sekarang melihat gadis ini datang lagi, ia bersikap waspada. Akan tetapi tadi dia mendengar percakapan dua orang gadis itu dan mengingat gadis ini agaknya tahu pula ke mana Bi Eng dibawa pergi oleh Bhok-kongcu, ia tidak hendak membantah, malah lalu menjura di depan Yo Leng Nio dan berkata.

"Nona Yo Leng Nio, aku dan Siauw-ong merasa berterima kasih sekali telah mendapatkan tempat menginap dan makan minum dengan gratis darimu." Leng Nio hanya memandang dengan mata melotot ketika Han Sin pergi mengikuti Li Hoa. Sinar mata pemuda ini berseri, mulutnya tersenyum ketika ia memandang kepada Li Hoa dan sikapnya seolah-olah menantang dengan kata-kata tak terucapkan. "Kau mau apa? Peta sudah hancur!"

Setelah pergi jauh meninggalkan kota Tai-goan, tanpa berkata-kata, akhirnya gadis itu memecah kesunyian, "Hemm, berbahaya sekali "..! Untung aku segera datang membawa kau pergi!"

Han Sin hanya melirik, tanpa menjawab.

"Eh, bocah! Kenapa diam saja? Kau seharusnya berterima kasih kepadaku telah melepaskan kau dari perempuan rendah itu!"

"Kau dan dia apa bedanya? Selalu menyebut aku bocah. Eh nona, kaukira kau ini sudah nenek-nenek dan lebih tua dari padaku?" jawab Han Sin mendongkol.

Gadis itu tertawa, manis sekali kalau dia tertawa. Sayangnya jarang tertawa dan mukanya selalu keras. "Hemm, kau tidak tahu bahwa kau baru saja terlepas dari bahaya maut. Kalau ada Bhok Kian Teng di sana, kiraku kau takkan mampu pringas-pringis (menyeringai) seperti sekarang ini. Kau dan monyetmu tentu telah mampus. Berbahaya sekali!" gadis itu benar-benar nampak gentar.

Akan tetapi Han Sin tidak perduli. "Apa bedanya di tangan mereka atau di tanganmu? Entah mana yang lebih berbahaya. Luka di pundakku karena paku berkarat yang dihadiahkan oleh kawanmu pengemis tua itu masih terasa sampai sekarang." Han Sin sengaja meringis kesakitan dan meraba pundaknya.

Merah muka Li Hoa. "Apakah masih terasa sakit? Aku membawa obat pemunah racun """ Dengan sikap sungguh-sungguh ia mendekati Han Sin dan pemuda ini merasa heran mengapa gadis ini bisa bersikap begini lembut dan ramah.

"Tak usah, biarkan saja. Aku tidak menyalahkan kau, karena bukan kau yang melukai pundakku." Setelah berkata demikian Han Sin lalu duduk mengaso di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Matahari mulai muncul dan enak sekali duduk di bawah pohon itu. "Nona Thio, sudahlah kau tinggalkan aku sendiri, aku tidak mau mengganggu kau lebih lama lagi."

Li Hoa menghampiri pemuda ini. "Orang she Cia, aku baik-baik membebaskan kau dari tangan kuntilanak itu dan betul-betul hendak membantumu mencari kembali adikmu, kau malah mengusirku. Benar tak kenal budi."

Han Sin tersenyum pahit. "Mau mencarikan adikku ataukah mau mencari rahasia surat wasiat?"

Wajah nona ini menjadi merah lagi. "Soal itu "" kita bicarakan belakangan saja kalau aku sudah berhasil mendapatkan kembali adikmu yang dibawa pergi Bhok Kian Teng."

"Terima kasih, aku bisa cari sendiri," kata Han Sin dingin.

Li Hoa melompat. "Eh, sombong! Ke mana mau mencarinya?"

"Ke mana lagi? Tentu ke rumah orang she Bhok itu, di kota raja, bukan? Putera raja muda Bhok Hong yang berjuluk Pak-thian-tok, tidak betulkah dugaanku?" Han Sin tersenyum bangga.

Gadis itu tertawa geli. "Ah, tololnya! Kalau diajak ke kota raja, selain adikmu tidak sudi, juga tentu aku sudah mengetahuinya siang-siang karena akupun tinggal di kota raja. Di kota raja kau takkan dapat mencari adikmu, malah bayangannya pun tidak ada."

Han Sin terdiam, bingung. Kemudian ia terpaksa bertanya juga, biarpun dengan lidah berat. "Apa kau tahu ke mana adikku dibawah oleh orang itu?"

"Tentu saja aku tahu, kalau tidak mana aku berani bilang hendak mencarikan adikmu?" Kini giliran Li Hoa yang "jual mahal".

"Ke mana? Di mana?"

Bibir yang merah tipis itu tersenyum mengejek, tapi malah manis.

"Kalau aku beritahu, mau kau berjanji?"

"Berjanji apa?"

"Berjanji bahwa kau akan ikut dengan aku tanpa banyak cerewet, ikut dan menurut kehendakku, tidak meninggalkan aku dan kita berdua mencari adikmu."

Han Sin tertegun. Dan pemuda yang jujur ini tak dapat menahan lagi menyatakan keheranan hatinya melalui mulut. "Nona Thio Li Hoa, begitu sukakah kau melakukan perjalanan bersama aku? Kenapa begitu?"

Wajah nona itu menjadi merah sekali dan tiba-tiba sinar matanya berapi-api. Ia melompat maju dan tangannya sudah siap hendak menampar pipi pemuda itu, akan tetapi melihat pemuda itu memandangnya dengan wajah jujur dan mata yang mengeluarkan cahaya menakjubkan, ia menahan tangannya, diturunkannya kembali dan katanya terengah-engah, "Kau ". kau bocah she Cia benar-benar kurang ajar! Kau kira aku orang apa maka tergila-gila hendak berdekatan dengan engkau?"

"Hush, bukan begitu maksudku, nona. Aku ".. hemmm, sekarang aku malah tahu mengapa kau ingin aku selalu berada di dekatmu, hemmmm, benar sekarang ingatlah aku."

Mata yang indah itu mengerling tajam, penuh ancaman. "Apa maksudmu? Kau tahu apa?"

"Tentu saja aku tahu. Kau tidak ingin berpisah dari aku karena "..karena surat wasiat itu. Ha ha! Semua orang menghendaki surat wasiat, dan semua orang hendak menangkap aku, tentu karena surat itu. Dan kau sendiri, ha ha ha, kau takut kalau-kalau surat itu terjatuh ke tangan orang lain!"

Tepat sekali kata-kata ini dan Li Hoa menundukkan mukanya. "Memang sebagian benar, tapi hanya sebagian saja """ katanya perlahan.

"Yang sebagian lagi, apakah?" Han Sin mendesak.

Muka Li Hoa makin merah. "Sudahlah. Mau tidak kau berjanji? Kalau kau mau, aku segera memberitahukan di mana adanya adikmu dan kita bersama pergi mencarinya."

"Ya, ya, aku mau. Siapa tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang nona yang ". yang ""."

"Yang apa? Jangan main-main kau!"

Tadinya Han Sin hendak menggoda dengan mengatakan "yang galak" akan tetapi takut benar-benar ditampar, ia lalu menyambung. "Yang cantik dan gagah. Kau gagah, apa yang kutakuti kalau berjalan di sampingmu? Orang jahat tidak berani mengganggu aku dan Siauw-ong. Dan kau cantik jelita, aku memang paling suka melihat apa-apa yang indah, suka membaca syair-syair yang bagus, melihat tamasya alam yang indah permai. Melihat dan mencium kembang yang cantik dan wangi """"

"Mata keranjang! Jangan main gila kau ".. kutampar nanti mulutmu ""

"Lho, aku bilang kembang yang cantik dan wangi, masa aku berani ". berani ". anu ". kau!"

"Cukup, mari kita berangkat," Li Hoa yang tadinya juga duduk di atas akar pohon, sekarang berdiri.

"Eh, nanti dulu. Aku sudah mau berjanji, tapi kau belum katakan di mana adikku."
"Tentu saja di Lu-liang-san. Ayoh, kita menyusul ke sana."

"Di.... Lu-liang-san?"

"Bodoh, banyak mendongeng di sini sedangkan adikmu terancam bahaya. Lekas berangkat, nanti di jalan kuceritakan."

Mendengar ucapan ini, Han Sin segera berdiri dan memegang tangan Siauw-ong. "Siauw-ong, ayoh, kita susul nonamu."

Sambil berjalan, Li Hoa berkata, "Bhok-kongcu orangnya licik sekali. Setelah menawan adikmu, tentu dia bisa memaksa adikmu itu mengaku arah tujuan perjalananmu dan tahu bahwa kalian hendak ke Lu-liang-san. Karena usaha selirnya yang goblok, Yo Leng Nio itu....."

"Bukan selir, dia bilang pelayannya," Han Sin memotong.

"Apa bedanya? Selirnya yang goblok itu berhasil mengambilmu di Cin-ling-san, maka Bhok-kongcu tentu pikir lebih baik menanti di Lu-liang-san sedangkan ia menyuruh Leng Nio pergi mencarimu. Tentu saja tanpa petunjukmu dia takkan berhasil menemukan tempat rahasia, dan selama dia belum mendapatkan tempat itu, keselamatan adikmu terjamin."

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Han Sin mengangguk-angguk. "Betul.... betul sekali. Semua orang menghendaki harta warisan orang lain, semua orang ingin kaya. Benar-benar tolol seperti kerbau. Memperebutkan harta benda mempertaruhkan nyawa. Aahhh......"

Setelah berkata demikian, untuk menghibur hati dan untuk mencela orang-orang yang hanya memikirkan duit belaka, pemuda ini lalu bernyanyi, mengambil sajak dalam Tok-tik-khing:

"Warna-warna indah dapat membutakan mata (hati)
Suara-suara merdu dapat menulikan telinga (hati)
Rasa-rasa nikmat dapat merusak perasaan (hati)
Memburu (nafsu) dapat membuat orang menjadi buas.
Barang yang sukar diperoleh (harta benda) dapat membuat orang menjadi curang
Karena itu, seorang kuncu (budiman) mengutamakan kebutuhan Sang Perut,
tak pernah memperdulikan penglihatan Sang Mata.
Dan dia memilih yang benar membuang yang sesat."

Thio Li Hoa adalah seorang puteri pembesar, seorang bangsawan bangsa Han yang semenjak dulu mengutamakan pelajaran sastra dan silat. Biarpun ayah Thio Li Hoa, yaitu Thio-ciangkun, telah terpikat dan terbujuk oleh penjajah Mancu sehingga sudi menghamba kepada pemerintah penjajah ini, namun dia tidak melupakan pendidikan untuk dua orang puterinya. Karena ini, Li Hoa juga termasuk seorang gadis yang pandai dalam hal sastra. Tentu saja ia pernah membaca sajak yang dinyanyikan oleh Han Sin tadi. Diam-diam ia merasa dirinya tersindir dan tidak bijaksana maka ia mendongkol sekali. Betapapun juga ia harus memuji pandainya pemuda ini bernyanyi, dengan suara yang nyaring dan empuk serta dapat menjadikan sajak keramat dari agama To itu menjadi nyanyian yang enak didengar.

"Orang she Cia, kau tahu apa? Menyindir-nyindir orang dengan Tok-tik-khing ayat kedua belas. Kau kira aku tergila-gila oleh harta peninggalan dalam surat wasiat Lie Cu Seng? Huh, bodoh. Orang tuaku sendiri kaya raya, apakah orang yang sudah berenang di air masih kehausan dan minta hujan?"

Han Sin mendongkol. "Kau ini benar tidak memandang mata padaku, nona. Selalu menyebutku orang she Cia, bocah she Cia, benar-benar tidak enak didengarnya. Melakukan perjalanan bersama apa sih enaknya?"

Mau tidak mau Li Hoa tersenyum juga mendengar omelan ini, akan tetapi ia tetap ketus ketika berkata, "Habis, apakah aku harus menyebut kau tuan muda? Ataukah kakanda? Atau tuan besar?"

Sambil tunduk melihat jalan yang dilalui kakinya dan meraba-raba dagunya dengan tangan kiri, Han Sin berkata, "Hemmm, sebutan tuan muda atau tuan besar, terlalu menghormat. Sebutan kakanda.... terlalu mesra." Ia berpikir sebentar, lalu berkata, "Nona Thio, setelah kita melakukan perjalanan bersama, sudah sepatutnya kalau kita ini mengaku sebagai saudara. Kalau bukan saudara, bagaimana bisa melakukan perjalanan bersama? Kalau orang lain mendengar bahwa kau menyebutku kakak dan aku menyebutmu adik, tentu tidak akan ada yang mencelanya."

"Perduli apa dengan orang lain? Aku tidak suka menjadi adikmu. Bukankah kau sudah mempunyai adik, yaitu Bi Eng?"
Wajah Han Sin berseri. "Kalau begitu, biarlah kau jadi enci (kakak) dan aku menjadi adik."

"Cih, tak tahu malu. Kau kira kau ini masih kanak-kanak? Kau lebih tua dari aku, mana bisa jadi adikku?"

Han Sin merasa bohwat (habis daya). Dia seorang pemuda terpelajar dan menurut kitab-kitabnya, amat tidak sopan seorang pemuda dan seorang gadis yang tidak ada hubungan apa-apa melakukan perjalanan bersama.

"Habis bagaimana?" akhirnya ia bertanya.

"Kau tidak mau disebut orang atau bocah she Cia, biarlah sekarang kusebut namamu saja kalau memanggil, dan kau pun boleh menyebut namaku. Dengan demikian orang akan menganggap kita sahabat-sahabat baik."

"Sahabat-sahabat baik? Kok begitu? Masa sahabat baik seorang laki-laki dan seorang wanita....."

"Rewel kau! Apa kau tidak mau dianggap sebagai sahabat baikku?"

"Ehm, tentu saja....... tentu saja."

"Nah sudah, jangan banyak rewel. Kalau kau mau, aku menyebut kau Han Sin begitu saja dan kau menyebut aku Li Hoa. Kalau tidak mau, aku boleh menyebutmu bocah she Cia, monyet she Cia atau apa yang kusuka, kau mau apa?"

Han Sin tidak dapat membantah lagi dan terpaksa menerima keputusan ini. Ia mendongkol melihat sikap yang galak, ketus dan mau menang sendiri dari gadis ini. Sebetulnya ia suka kepada Li Hoa dan kalau gadis ini mau bersikap lunak dan manis sedikit saja tentu ia akan merasa senang melakukan perjalanan ini. Maka ia tidak mau perdulikan lagi kepada gadis itu dan di sepanjang jalan ia bernyanyi-nyanyi sajak atau bercakap-cakap dengan Siauw-ong.

Karena didiamkan saja, kadang-kadang disindir dalam nyanyian, Li Hoa mendongkol juga.

"Kulihat Siauw-ong monyetmu itu lebih pintar dari pada tuannya. Benar-benar aneh, benar-benar mengherankan."

Tentu saja Han Sin mendengar ini, namun dia diam saja, pura-pura tidak mendengar.

"Seekor monyet sudah dapat menghadapi serangan-serangan perempuan hina dari Bhok Kian Teng, benar tidak mengecewakan menjadi binatang peliharaan keluarga Cia di Min-san yang terkenal sebagai keturunan gagah perkasa. Akan tetapi tuan mudanya..... hemmm, seorang kutu buku yang bisa bernyanyi membaca sajak, lemah dan tidak becus apa-apa!"

Kembali Han Sin diam-diam, malah membaca sajak untuk menjawab cela-celaan ini. Kembali ayat-ayat Tok-tik-khing:

"Langit dan bumi itu abadi
Karena hidup bukan untuk diri sendiri
Seorang kuncu menaruh diri paling belakang
karenanya menjadi paling depan
Karena ia menyampingkan diri sendiri
maka ia selamat terpelihara
Karena tidak mementingkan diri pribadi
maka ia dapat menyempurnakan pribadinya."

Tiba-tiba Li Hoa tertawa. Ia anggap pemuda ini lucu, juga menjengkelkan. "Hi hi, kau anggap dirimu sendiri sebagai kuncu (budiman)?"

Terpaksa Han Sin menjawab, "Tidak ada yang mengaku diri sebagai kuncu, hanya setuju akan sikap seorang kuncu dan karenanya berusaha meniru jejak langkahnya."

"Ha, kau memang seorang kuncu. Ah, hebatnya! Biar sekarang kau memakai nama julukan Bu-lim Kun-cu ( Sang Budiman dari Rimba Persilatan). Bagus, bagus!"

Han Sin diam saja, keduanya melanjutkan perjalanan dengan membisu. Keadaan yang sunyi ini tidak menyenangkan hati Han Sin, akan tetapi pemuda ini sudah mahir menguasai perasaannya maka pada wajahnya yang tampan tidak nampak tanda sesuatu. Sebaliknya, Li Hoa tidak kuat menahan. Memang melakukan perjalanan berkawan akan tetapi berdiam-diam saja amat melelahkan dan menjemukan. Akhirnya setelah beberapa lama diam saja, gadis ini mulai bicara pula.

"Tadinya melihat kau duduk sekuda dengan Leng Nio, kemudian menginap di rumah Bhok-kongcu, ku anggap kau......"

"Ya?" Han Sin mendesak karena ucapan yang tidak diselesaikan itu menggatalkan hatinya.

"Kuanggap kau mata keranjang, kusangka seorang pemuda hidung belang yang menjemukan. Hatiku panas bukan main."

"Lho kenapa panas? Apa sangkut-pautnya dengan kau mengenai perbuatanku?" Han Sin memotong cepat.

Merah wajah Li Hoa. "Karena..... aku benci melihat laki-laki mata keranjang."

"Hemmmm........"

"Apa kau tidak anggap Leng Nio itu cantik, genit dan menarik?"

"Memang dia cantik. Tapi apa hubungannya dengan aku? Cantiknya sendiri, tidak sangkut-pautnya dengan aku."

"Biasanya laki-laki tergila-gila oleh kecantikan wanita......"

"Hemmm...."

"Tapi aku salah duga. Kau bukan laki-laki model Bhok-kongcu."

"Terima kasih......."

"Ya, kau bukan pemuda sembarangan. Kau..... kau Bu-lim Kun-cu!" Li Hoa tertawa mengejek. Kini mau tidak mau Han Sin merengut, namun tetap tidak berkata apa-apa. Makin geli hati Li Hoa. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, setelah dekat dengan pemuda ini, timbul kejenakaannya dan ia ingin selalu menggoda pemuda yang tak pernah marah ini.

Jalan mulai ramai orang karena mereka mendekati sebuah kota. Ketika itu dari arah depan mendatangi tiga orang berpakaian pengemis, ketiganya membawa sebuah mangkok butut dan memegang sebatang tongkat. Melihat tiga orang pengemis itu, tiba-tiba Li Hoa berjalan dekat sekali dengan Han Sin dan pemuda itu merasa betapa tangannya dipegang oleh sebuah tangan yang hangat dan halus. Ketika ia melirik, bukan main herannya melihat bahwa yang memegang tangannya itu adalah Li Hoa. Hatinya berdebar, ingin ia menarik tangannya akan tetapi takut menyinggung perasaan gadis itu, maka dibiarkan saja. Lebih heran lagi dia ketika mereka bersimpangan dengan tiga orang pengemis itu, Li Hoa berkata dengan suara keras, manis dan manja.

"Koko, nanti di kota kau harus belikan sepasang sepatu baru untukku!"

Tentu saja Han Sin heran bukan main. Tak mungkin gadis itu bicara kepada orang lain, tentu kepadanya. Akan tetapi mengapa bicaranya begitu? Ia hendak bertanya, akan tetapi tiba-tiba tangan yang memegangi tangannya itu menggencet keras-keras. Baiknya ia kuat sekali sehingga tidak berteriak kesakitan. Kau main gila atau membadut, pikirnya. Baiklah, aku layani.

"Tentu saja, adikku yang manis. Sedikitnya dua pasang kubelikan nanti!" jawabnya dan ia menggandeng nona itu makin dekat!

Tiga orang pengemis itu sudah jauh tak kelihatan lagi dan tiba-tiba Li Hoa merenggut tangannya terlepas. Mukanya merah sekali dan mulutnya merengut. "Gila, kenapa kau gandeng-gandeng aku dan siapa minta dibelikan sepatu?" omelnya dengan suara marah.

Han Sin mendongkol. Ia mendorong Siauw-ong turun dari pundaknya dan membentak. "Jalan sendiri kau! Aku lelah!" Jarang pemuda itu marah dan sekarang dia benar-benar kesal hatinya, merasa dipermainkan oleh Li Hoa. Siauw-ong sampai kaget. Tadinya monyet ini melengut ngantuk di pundak tuannya.

"Sebetulnya yang gila kau ataukah aku? Yang mulai menggandeng tangan dan bicara tentang sepatu itu kau atau aku?" bantahnya dengan suara marah pula.

Eh, gadis itu tersenyum! Makin mendongkol hati Han Sin.

"Li Hoa, kalau kau selalu mempermainkan aku, lebih baik kita berjalan saling berjauhan atau mengambil jalan masing-masing."

"Han Sin, kau tidak bisa membedakan orang bersandiwara atau bersungguh-sungguh. Kau tidak melihat tiga orang pengemis tadi? Aku tadi sengaja berbuat begitu supaya mereka tidak mengenal kau dan aku."

Baru sekarang Han Sin mengerti. "Hemm, begitukah? Siapa sih mereka itu? Kenapa kau kelihatan takut-takut? Kau begini lihai......"

"Sssttt, sudahlah. Belum waktunya kau ketahui hal itu. Mari kita lekas memasuki kota dan mencari warung nasi. Perutku lapar sekali."

Kota yang mereka masuki itu berada di tepi sungai Fen-ho, sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Kota itu sudah termasuk kaki pegunungan Lu-liang-san.

Li Hoa segera memilih sebuah rumah makan yang teratur dan bersih tempatnya. Agaknya pelayan-pelayan rumah makan sudah mengenal nona ini, buktinya sikap mereka amat hormat dan ramah tamah. Diam-diam Han Sin mengagumi nona ini yang menghadapi pelayanan penuh hormat itu bersikap tenang dan agung sebagai mana layaknya seorang puteri bangsawan. Dengan suara halus tapi berpengaruh nona ini memesan masakan-masakan yang aneh-aneh bagi pendengaran Han Sin.

Cepat pula pelayanan mereka. Sebentar saja hampir sepuluh macam masakan yang masih panas dan berbau harum lezat tersedia di depan dua orang muda itu, membuat Han Sin timbul seleranya dan perutnya yang sudah lapar menjadi makin lapar. Segera keduanya makan tanpa banyak cakap lagi.

"Hemm, kalau Eng-moi berada di sini dan makan bersamaku, alangkah akan senangnya." Begitu memikirkan adiknya, tiba-tiba leher Han Sin terasa seret dan nafsu makannya berkurang banyak. Li Hoa yang bermata tajam tentu saja dapat melihat ini.

"Eh, ayoh makan. Sudah dipesan, untuk apa kalau tidak dimakan? Ayoh sikat saja, mana kegembiraanmu?"

Han Sin menggunakan sumpitnya mengambil sepotong daging ikan yang gemuk, makan daging itu dan menarik napas panjang. "Enak sekali makanan ini, sayang adikku tidak turut menikmatinya."

"Hemm, kembali kau teringat kepada adikmu? Agaknya bukan main besarnya cinta kasihmu terhadap adikmu Bi Eng itu."

"Dialah satu-satunya orang yang paling kucinta di dunia ini," kata Han Sin sambil menyodorkan sepotong bakso kepada Siauw-ong yang ikut pula makan sambil duduk di atas bangku di sebelah kiri pemuda itu.

"Senang betul menjadi dia......." kata Li Hoa perlahan.

"Eh, kenapa........"

"Ada yang menyayangnya........."

"Li Hoa, apakah...... apakah tidak ada orang yang menyayangmu?"

Ketika gadis itu menggeleng kepala, Han Sin membantah. "Aku tidak percaya. Masa seorang seperti engkau ini tidak ada yang menyayang? Tak mungkin.... tak mungkin......."

Li Hoa memandang tajam. "Kenapa tidak mungkin? Aku seorang yang kasar, galak dan tidak mau mengalah. Orang-orang benci kepadaku, bahkan ayah selalu cekcok dengan aku dan ibu......." Tiba-tiba gadis itu menghentikan kata-katanya, agaknya teringat bahwa tidak semestinya ia bicara tentang keluarganya kepada pemuda yang baru saja dikenalnya ini.

Pada saat itu terdengar suara nyaring dari pintu luar. "Kami manusia-manusia kurang makan pakai mohon dikasihani....."

Wajah Li Hoa berubah, tapi ia tidak menengok, melanjutkan makan. Han Sin menengok dan melihat tiga orang pengemis yang bertemu di jalan tadi ternyata telah berdiri di depan pintu! Mata tiga orang pengemis itu semua ditujukan ke arah dia dan Li Hoa.

Seorang pelayan cepat datang menghampiri dan membentak, "Ada tamu sedang makan, jangan ganggu. Kalian tunggu di luar saja kalau hendak minta sedekah!"

Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak memperdulikannya, malah kini ketiganya melangkah maju tiga tindak mendekati meja Han Sin.

"Tuan dan nona muda harap menaruh kasihan kepada kami bertiga, mohon derma untuk menyembayangi roh lima orang kawan kami yang mati kelaparan di Cin-an....." kata pula seorang di antara mereka, seorang kakek yang berjenggot seperti kambing bandot.

Kembali wajah Li Hoa menegang, akan tetapi nona ini masih siam saja dan Han Sin melihat dengan jelas betapa nona itu kelihatan gelisah dan takut-takut. Timbul rasa jengkelnya terhadap para pengemis. Memang sudah selayaknya mereka minta bantuan dari orang-orang mampu, akan tetapi cara mereka benar-benar melanggar aturan. Mana ada orang minta bantuan begini mendesak dan tidak menanti sampai orang habis makan?

Lebih-lebih jengkelnya ketika pengemis kedua, yang hidungnya pesek, tiba-tiba meludah ke lantai dengan suara keras. Ia juga kaget sekali melihat betapa air ludah itu ketika mengenai lantai, membuat lantai itu berlubang! Ah, kiranya mereka ini orang-orang berilmu yang menyamar sebagai pengemis-pengemis, pikirnya. Ia teringat akan suhunya, Ciu-ong Mo-kai yang juga selalu berpakaian pengemis dan juga memiliki kepandaian menyemburkan arak sebagai senjata ampuh.

"Nona, kami tiga orang kakek jembel sudah sabar menanti," kata pula si jenggot kambing.

Li Hoa minum araknya, lalu ia memutar tubuhnya di atas bangku.

"Aku ada urusan penting, tidak ada waktu melayani kalian. Kalau ada urusan, datang saja di rumah. Urusan di Cin-an ada ayah yang membereskan, kalian kesanalah." Heran sekali, suara nona ini terdengar sabar dan mengalah, Han Sin senang dan menganggap alasan ini tepat biarpun ia tidak tahu akan urusannya. Akan tetapi kakek jembel yang meludah tadi berkata, suaranya parau seperti suara burung gagak.

"Sudah berjumpa dengan nona di sini, itu berarti rejeki kami. Kalau kami lewatkan, bukankah itu berarti kami tidak menerima datangnya rejeki? Nona yang baik, marilah kau bawa kami ke rumahmu agar ayahmu mau berbaik hati memberi sumbangan."

Han Sin makin mendongkol. Biarpun dia belum luas pengetahuannya tentang keadaan di dunia kang-ouw, ia merasa tiga orang kakek ini sengaja hendak memaksa, mungkin hendak menawan Li Hoa. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata.
"Kalian bertiga ini apa-apaan? Minta sedekah kok memaksa? Nonamu tidak ada waktu, perlu mencari sepatu. Pergilah kalian dari sini dan jangan ganggu kami." Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang perak, "Nih, sedekahku!"

Kakek berjenggot kambing menerima uang itu lalu..... melemparkan uang perak itu keluar! Han Sin terkejut dan mulai marah. Benar-benar cara pengemis yang aneh dan terlalu sekali, pikirnya.

"Aha, kalian tidak mau uang? Agaknya sudah lapar sekali? Nah, terimalah sisa masakan-masakan ini." Ia memberikan beberapa mangkok makanan dari atas meja. Tiga orang pengemis menerima masing-masing semangkok lalu...... melempar lagi isi mangkok keluar. Tanpa menoleh mereka melempar isi mangkok yang terbang keluar pintu sampai mangkok-mangkoknya menjadi kosong, lalu berbareng mereka melemparkan mangkok kosong ke atas meja. Aneh mangkok-mangkok itu berputaran di udara dan turun ke atas meja tanpa mengeluarkan suara!

"Terima kasih atas kemurahan hati tuan muda." Biarpun perbuatan mereka itu menunjukkan kepandaian yang lihai, namun Han Sin menjadi semakin gemas.

"Hemm, kalian tidak suka daging, mungkin yang kalian cari adalah tulang-tulang dan sisa kuah. Terimalah!" Secara sembarangan ia menyapu tulang-tulang di atas meja dengan tangan, kemudian dengan kaku dan seperti orang marah-marah ia menuang kuah-kuah panas dari mangkok ke arah tiga orang pengemis itu.

Li Hoa kaget sekali menyaksikan kesembronoan Han Sin. "Jangan.....!" cegahnya. Akan tetapi kuah-kuah panas telah disiramkan dan tiga orang kakek itu tentu saja hendak mengelak. Celaka bagi mereka, secara aneh sekali tulang-tulang dan duri-duri ikan menyambar dan dengan tepat mengenai jalan darah di kedua pundak mereka, membuat mereka tak mampu bergerak dan mandah saja kepala mereka disiram kuah panas sampai kuah itu membasahi muka! Hal ini benar-benar mengejutkan hati Li Hoa yang tidak menyangka sama sekali bahwa tadi diam-diam Han Sin mengerahkan tenaga dan menggunakan tulang dan duri ikan untuk menyerang dengan gerak tipu dari ilmu sakti Lo-hai-hui-kiam!

Tiga orang kakek itupun terkejut bukan main. Mereka tadi mencoba untuk mengerahkan lweekang, namun serangan tulang-tulang kecil itu terlampau kuat sehingga sebelum mereka sempat mencegah, jalan darah mereka sudah tertotok, membuat mereka tak mampu bergerak dan terpaksa menerima siraman kuah-kuah panas!

Han Sin pura-pura kaget dan menyesal, "Ah, tadi kalian memperlihatkan kepandaian, kenapa sekarang benar-benar menerima siraman kuah? Celaka, aku membuat pakaian kalian kotor saja. Harap kalian maafkan dan suka pergi jangan mengganggu kami." Sambil berkata demikian, dengan muka sungguh-sungguh ia menghampiri mereka dan menepuk-nepuk pakaian mereka di punggung dan pundak yang basah oleh kuah. Kelihatannya saja ia membersihkan pakaian para pengemis, sebetulnya ia mengerahkan tenaga dan membebaskan totokannya.

Tiga orang kakek itu memandang tajam kepada Li Hoa, lalu mendelik ke arah Han Sin dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka mengeloyor pergi, keluar dari rumah makan itu.

Li Hoa bengong. "Aneh sekali....." katanya dengan muka pucat. "Han Sin, kau tidak tahu betapa berbahayanya mereka itu. Entah mengapa mereka tiba-tiba mengundurkan diri. Benar-benar Thian masih melindungi kita."

"Li Hoa, mereka itu siapakah dan mengapa agaknya memusuhimu?"

Akan tetapi, Li Hoa cepat membayar uang makanan dan mengajaknya keluar dari rumah makan itu. "Nanti kuceritakan," katanya pendek. Han Sin menggandeng tangan Siauw-ong dan ia mengikuti nona itu keluar dari rumah makan, diam-diam bersyukur bahwa mudah saja dia tadi mengusir pengemis-pengemis yang hendak membikin kacau. Bersyukur bahwa tidak terjadi peristiwa pertempuran hebat.

"Berbahaya sekali....." kata Li Hoa setelah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke sungai Fen-ho. "Mereka itu adalah para pengemis tingkat empat dari Sin-yang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis dari Sin-yang). Mereka selalu menimbulkan kerusuhan dan baru-baru ini ayahku telah menghukum mati lima orang pengemis-pengemis dari perkumpulan itu di Cin-an. Entah bagaimana agaknya mereka hendak membalas dendam kepadaku, takut kalau menghadapi ayah." Agaknya nona ini bicara terbatas dan singkat sekali.

"Curang," kata Han Sin. "Ayahmu yang menghukum mereka, kenapa kau yang diganggu."

Nona itu menarik napas panjang, "Han Sin, kau berkelana seorang diri atau berdua dengan adikmu, kau tidak mengerti ilmu silat dan kau sama sekali tidak tahu menahu tentang keadaan kang-ouw. Benar-benar berbahaya sekali."

Mereka menyeberangi sungai dengan perahu sewaan dan setiba mereka di seberang, Li Hoa mengajak kawannya buru-buru melanjutkan perjalanan. "Lu-liang-san sudah kelihatan dari sini, kita harus melakukan perjalanan cepat-cepat. Siapa tahu adikmu sudah menanti di sana bersama Bhok Kian Teng."

Mendengar ini Han Sin kelihatan girang sekali akan tetapi sebaliknya Li Hoa selalu mengerutkan keningnya. Nona ini maklum betul bahwa biarpun perjalanan sudah dekat, bahayanya makin besar dan ia diam-diam khawatir sekali. Dia sendiri memiliki kepandaian dan kiranya tak usah takut tertimpa malapetaka. Kepandaiannya cukup dan biarpun tadi diganggu tiga orang pengemis, andaikata terjadi pertempuran kiranya ia masih akan menang.

Akan tetapi bagaimana kalau orang-orang kang-ouw mengenal Cia Han Sin dan menangkapnya untuk mendapatkan surat wasiat? Inilah yang menggelisahkan hatinya. Dia tadi memang sengaja berlaku lemah dan mengalah terhadap orang-orang Sin-yang Kai-pang, bukan karena takut, melainkan semata-mata karena khawatir kalau-kalau Han Sin dikenal orang!

Kekuatiran hati Li Hoa ternyata terbukti. Baru beberapa li mereka meninggalkan pantai sungai Fen-ho, tiba-tiba mereka mendengar seruan dari belakang. "Orang-orang muda di depan, berhentilah!" Seruan itu terdengar perlahan seperti diteriakan orang dari jauh, akan tetapi terdengar jelas sekali. Li Hoa mengerti bahwa orang yang berseru mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.

Ketika ia menoleh, betul saja ia melihat empat orang kakek yang datang dengan cepat sekali mengejar mereka. Tak perlu lagi melarikan diri, pikirnya. Ia bersikap tenang padahal hatinya gelisah, memikirkan bagaimana ia harus melindungi Han Sin. Menyuruh pemuda itu pergi bersembunyi, tak mungkin lagi karena mereka tiba di tempat terbuka, di kaki gunung yang gundul dan hanya terdapat sawah-sawah kering di kanan kiri jalan.

Tiga orang pengemis menjemukan itu, mengejar dan yang di depan itu bukan orang sembarangan," katanya kepada Han Sin.

Pemuda ini mendongkol. "Mereka benar-benar tak kenal aturan," katanya. Mendengar nada suara Han Sin, Siauw-ong melompat turun dan mengeluarkan suara menantang sambil memandang ke arah empat orang yang datang seperti terbang cepatnya.

Betul dugaan Li Hoa. Yang datang adalah tiga orang pengemis yang mereka jumpai di rumah makan tadi, bersama seorang kakek pengemis yang yang memegang tongkat pendek sekali, hanya satu kaki pendeknya dan di tangan kirinya memegang sebuah mangkok dari emas! Benar-benar amat aneh, seorang pengemis berpakaian butut memegang mangkok emas yang mahal.

Hati Li Hoa terkejut melihat tongkat yang pendek itu dan mangkok emas. Celaka, pikirnya. Kiranya yang datang adalah ketua dari Sin-yang Kai-pang sendiri! Heran dia mengapa ketua yang biasanya berada di Sin-yang ini tahu-tahu muncul di sini. Ia tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedangnya dan menanti dengan waspada.

Tiga orang pengemis itu ketika berhadapan dengan Li Hoa dan Han Sin memandang dengan mata mendelik, terutama kepada Han Sin. Sebaliknya pengemis tua yang memegang tongkat pendek dan bertubuh tinggi kurus itu menjura sambil tertawa. "Hebat, murid-muridku yang bodoh telah mendapat pengajaran ji-wi yang muda. Benar-benar mengagumkan sekali bagaimana jaman sekarang yang muda-muda mengalahkan yang tua. Sayang seribu sayang, bakat-bakat yang baik tersesat dan menerima menjadi kaki tangan penjajah!" Kakek itu menarik napas panjang dan kelihatan benar-benar menyesal. Diam-diam Han Sin merasa suka kepada kakek ini dan dari ucapannya dapat diduga memiliki jiwa patriotik.

Dengan pedang melintang di depan dada dan sikapnya gagah, Li Hoa berkata kepada kakek ini. "Kalau aku tidak salah, lo-enghiong adalah ketua dari Sin-yang Kai-pang. Aku yang muda tidak ada urusan dengan lo-enghiong maupun dengan Sin-yang Kai-pang. Kalau lo-enghiong mau bicara tentang negara, bukan urusanku, kalau mau bicara tentang lima orang anggautamu di Cin-an bicaralah dengan ayahku. Kenapa orang-orangmu mendesak aku yang muda?"

Kakek pengemis itu tertawa bergelak. "Ha ha ha, Thio-siocia benar-benar pandai bicara dan bermata awas. Memang benar aku Kui Kong yang memimpin Sin-yang Kai-pang! Ayahmu seorang perwira yang pandai, sayang menghambakan diri kepada pemerintah penjajah. Kau sebagai puterinya, setelah bertemu dengan para pembantuku seharusnya dengan baik-baik ikut untuk mengemukakan pembelaan dirimu di depanku, akan tetapi kau malah menghina mereka. Hemm, sebagai murid Coa-tung Sin-kai kau tentu memiliki ilmu silat yang baik. Dan pemuda ini siapakah? Aku belum mendengar Thio-ciangkun mempunyai seorang mantu."

Merah wajah Li Hoa, apalagi kalau ia teringat akan ucapannya sendiri kepada Han Sin untuk membelikan sepatu dan ucapan ini didengar oleh tiga orang pengemis itu. Ia menjadi marah dan menjadi ketus, "Dia ini sahabatku dan lebih-lebih tidak ada urusan dengan kaum Sin-yang Kai-pang. Harap lo-enghiong jangan mengganggu kami dan biarkan kami pergi."

"Ha ha, nona merendahkan diri. Setelah berani menghina kawan-kawanku, tentu berani menghadapi lohu. Gerakan pedangmu, hendak kulihat sampai di mana lihainya ilmu silat murid Coa-tung Sin-kai!" Kakek itu lalu menggerakkan tongkatnya yang pendek dan terdengar suara angin menderu, tanda bahwa tenaganya amat besar.

Cari Blog Ini