Kasih Diantara Remaja 11
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"KECUALI kalau nona mau mengaku salah dan minta maaf, tentu lohu tidak ada hati mengganggu orang muda."
Li Hoa adalah seorang gadis yang keras hati dan berani. Biarpun ia maklum akan lihainya orang ini, mana dia mau minta maaf? Iapun memasang kuda-kuda dan menjawab, "Orang she Kui jangan kira aku Thio Li Hoa takut akan gertakanmu!"
"Bagus! Kausambutlah seranganku!" Kakek ini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan tongkat di tangan kanan dan mangkok di tangan kiri, melakukan serangan yang amat hebat, didahului sambaran angin yang keras.
Li Hoa kaget sekali. Benar-benar ia menghadapi serangan yang luar biasa sehingga ia hanya melihat bayangan mangkok yang berkilauan saling susul dengan bayangan tongkat pendek yang amat cepat gerakannya. Gadis ini cepat memutar pedangnya menangkis mangkok sehingga menimbulkan suara nyaring, akan tetapi tongkat telah menyusul ke arah mukanya sehingga tidak ada lain jalan bagi Li Hoa kecuali melempar tubuh ke belakang sampai ia terhuyung-huyung dengan muka pucat. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan jurus yang demikian hebatnya.
Terdengar seruan kaget dan Han Sin sudah melompat maju. Pemuda ini kaget sekali karena mengenal jurus tadi. Itulah jurus Pak-hong-hui-lam (Angin Utara Terbang ke Selatan) sebuah jurus pertama dari ilmu silat Liap-hong Sin-hoat dari gurunya, Ciu-ong Mo-kai!
"Seorang tua menggunakan Pak-hong-hui-lam menyerang yang muda, benar-benar keterlaluan!" serunya marah. Kalau pengemis ini sudah bisa mainkan jurus pertama dari Liap-hong Sin-hoat, tidak boleh tidak tentu ada hubungannya dengan Ciu-ong Mo-kai, tapi kenapa begini tidak tahu malu menyerang seorang nona yang sudah mengalah?
Di lain pihak, ketua Sin-yang Kai-pang itu terkejut setengah mati mendengar seruan Han Sin. Jurus ini baru sekarang ia keluarkan karena menganggap bahwa nona Thio tidak boleh dipandang ringan. Padahal jurus itu adalah kepandaian simpanannya dan ilmu silat Liap-hong Sin-hoat, baru beberapa jurus saja ia pelajari karena memang Ciu-ong Mo-kai hanya mewariskan seluruhnya kepada Bi Eng dan Han Sin.
Akan tetapi Kui Kong masih ragu-ragu. Ia telah mendengar dari tiga orang kawannya bahwa pemuda ini memang seperti tolol akan tetapi sebetulnya lihai. Biarpun begitu, dari mana bisa mengenal jurusnya tadi? Ia mencoba lagi, kini mainkan jurus kedua, tidak menyerang Li Hoa, melainkan ia maju menyerang Han Sin, lebih hebat serangannya ini sampai dua senjatanya itu terputar dan mendatangkan hawa pukulan seperti angin lesus!
Sekali lihat saja Han Sin sudah tahu bahwa orang ini kembali menggunakan Liap-hong Sin-hoat jurus kedua. Tentu saja ia yang sudah hafal akan ilmu ini, tahu betul bagaimana harus menghindarkan diri. Dalam hal ilmu sakti Liap-hong Sin-hoat, kakek itu masih boleh berguru kepadanya. Tahu bahwa tangan kiri lawan tentu akan menyerang pundak kirinya dan tangan kanan lawan akan menghantam kaki kanan, ia melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh menyembunyikan pundak kiri. Gerakannya ini otomatis dan kelihatannya seenaknya bukan seperti orang bersilat, lebih menyerupai orang takut dan mundur-mundur. Akan tetapi serangan hebat itu benar-benar mengenai angin!
"Kui lo-enghiong, Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun) tadi kurang sempurna, kalau orang tua she Tang melihatnya, kau pasti disemprot!" kata Han Sin.
Tiba-tiba Kui Kong berdiri tegak, matanya memandang penuh arti. Mulutnya berkemak-kemik dan matanya berkedip-kedip seperti lagi "main mata" dengan Han Sin. Pemuda ini membelalakkan matanya, mengangkat pundak karena heran dan tidak mengerti. Sebetulnya kakek itu yang kaget mendengar ucapan Han Sin tadi. Segera menganggap pemuda ini segolongan, apa lagi sudah menyebut-nyebut orang tua she Tang. Maka ia memberi tanda rahasia dengan bibir dan matanya. Akan tetapi tentu saja Han Sin tidak mengerti.
"Laote, kau ber she apakah?" kakek itu lalu bertanya, suaranya kini penuh hormat.
"Siauwte she Cia. Harap lo-enghiong sudi mengalah dan jangan terlalu mendesak nona Thio. Kalau dilihat orang lain apakah tidak memalukan kalau seorang tua berkedudukan tinggi seperti kau mendesak seorang gadis muda?"
"Lohu salah..... terima salah...." kata kakek itu merendah sambil membungkuk-bungkuk. Kemudian kembali ia memandang dengan mata berkedip-kedip dan melihat tidak ada "reaksi" apa-apa dari pemuda itu, ia lalu berkata.
"Bagaimana mungkin seekor domba berkawan seekor srigala?"
Tentu saja Han Sin makin heran dan makin tidak mengerti. Ia anggap orang telah bicara kacau-balau tidak karuan. Akan tetapi agar jangan memperlihatkan bahwa ia tidak mengerti, ia menjawab saja seenaknya.
"Tentu saja mungkin karena ada kakek-kakek tua menghina orang-orang muda."
Jawaban ini kembali membuat ketua Sin-yang Kai-pang itu melengak. Ia mencoba untuk menatap wajah pemuda aneh itu dengan tajam, akan tetapi segera ia menundukkan mukanya ketika matanya terbentur sinar mata yang luar biasa kuat dan tajam berpengaruh dari mata pemuda itu. Akhirnya ia berkata, "Lohu bersalah... terima salah...." Lalu ia mengeloyor pergi mengajak tiga orang kawannya yang saling pandang dengan penuh keheranan. Sebentar saja empat orang itu sudah lenyap dari tempat itu.
Semenjak tadi Li Hoa memandang semua ini dengan heran dan penuh kekuatiran. Ia takut kalau-kalau pemuda itu celaka di tangan ketua Sin-yang Kai-pang yang lihai itu, maka biarpun ia tahu bahwa tidak mudah melawan Kui Kong, namun gadis ini menggenggam pedangnya erat-erat di tangan kanan dan menyiapkan tiga batang piauw di tangan kiri untuk melindungi Han Sin.
"Eh, apa-apaan kau tadi? Kenapa mereka mengeloyor pergi?" tanya gadis ini sambil menghampiri Han Sin yang masih berdiri mematung.
Han Sin angkat pundaknya. "Aku sendiripun tidak tahu. Kakek itupun seperti yang lain-lain hanya seorang badut yang tidak lucu," jawabnya. Sebetulnya Han Sin sudah dapat menduga bahwa karena melihat dia paham Liap-hong Sin-hoat, tentu pengemis tua itu menganggap dia seorang tokoh kai-pang pula di selatan atau setidaknya mempunyai hubungan baik dengan Ciu-ong Mo-kai, maka kakek itu mengalah dan pergi. Hanya ia masih tidak mengerti apa artinya "domba berkawan srigala" tadi?"
Pada saat itu terdengar suara melengking tinggi, suara lengkingan ketawa yang aneh dan menggetarkan kalbu. Han Sin terkejut bukan main karena ia merasa jantungnya berguncang. Cepat ia menenangkan pikiran dan mengirim hawa panas dari pusarnya ke dada untuk melindungi isi dadanya. Ia melihat Li Hoa pucat dan menggigil, lalu gadis ini meramkan mata menahan napas, terang sekali sedang mengerahkan lweekang untuk menahan pengaruh pekik yang dahsyat itu. Setelah pekik melengking itu lenyap dan tinggal gemanya yang panjang, gadis itu membuka matanya dan dengan muka pucat ia menyambar lengan Han Sin diajak lari. Siauw-ong sejak tadi sudah ketakutan dan meloncat ke pundak pemuda itu.
"Eh eh, ada apa lari-lari seperti dikejar setan?" tanya Han Sin.
"Memang dikejar setan!" jawab Li Hoa, heran sekali suara gadis ini gemetar ketakutan. "Kalau dia bisa menyusul kita, celaka....!" dan ia lari makin keras menyeret tangan Han Sin. Saking takutnya, gadis itu tidak menghiraukan lagi ke mana mereka lari dan karenanya ia memilih jalan yang paling enak, membelok ke kiri memasuki sebuah dusun kecil.
Han Sin tak sempat bertanya lagi, dan memang dia tidak tahu keadaan dunia kang-ouw maka ia menurut secara membuta saja. Kalau gadis ini begitu ketakutan, tentu ada bahaya yang luar biasa besarnya. Diam-diam ia mengeluh. Lebih enak berdiam di Min-san tidak memasuki dunia ramai, pikirnya. Ternyata dunia begini penuh manusia-manusia buas yang jahat sehingga dari tiap sudut dan pada setiap detik ada bahaya mengancam!
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang amat nyaring, suara yang serak seperti suara burung gagak atau ular besar. "Mana orang she Cia? Kalau ada lekas berhenti!"
"Aduh, siapa setan itu.....?" Han Sin bertanya sambil lari tersaruk-saruk karena tadi kakinya tersandung batu ketika Li Hoa menyeretnya makin kencang.
"Dia Hoa Hoa Cinjin dan.... aduh....!" Gadis itu menjerit dan terhuyung, tapi masih terus lari sambil menyeret tangan Han Sin. Pemuda ini melihat pundak gadis itu mengeluarkan darah, membasahi bajunya. Ternyata entah dari mana datangnya, sebuah jarum berwarna hijau telah menancap pada pundak gadis itu. Orang dapat menyerang dari jarak jauh sebelum kelihatan bayangannya, benar-benar menandakan betapa hebat dan tingginya kepandaian orang itu.
"Lekas, kita cari tempat sembunyi....." Suara gadis itu lemah dan mukanya pucat, sama sekali tidak perdulikan luka dipundaknya.
Li Hoa memasuki sebuah rumah gubuk seorang petani. Penghuni rumah itu, seorang laki-laki dan seorang wanita yang sedang menggendong seorang anak laki-laki berusia tiga tahunan, kaget setengah mati ketika pintu rumah mereka tiba-tiba terbuka dan masuk dua orang muda yang membawa seekor monyet. Secepat kilat Li Hoa merampas bocah cilik itu, menotok jalan darah di leher yaitu urat gagu sehingga bocah itu tidak bisa menangis, lalu berkata penuh ancaman sambil mencabut pedang.
"Kalau ada orang datang mencari kami, bilang tidak ada. Kalau kalian mengaku, anak kalian akan kubunuh lebih dulu!" Setelah berkata demikian, Li Hoa menyeret tangan Han Sin memasuki kamar tidur suami isteri itu. Karuan saja sepasang suami isteri tani itu melongo dengan muka pucat sekali, akan tetapi melihat anak mereka sudah berada dalam gendongan nona yang cantik itu, terpaksa mereka mengangguk-angguk dengan tubuh gemetar.
Han Sin tidak setuju sekali melihat sepak terjang Li Hoa yang dianggapnya keterlaluan dan kejam. Masa minta tolong orang untuk bersembunyi menggunakan ancaman malah merampas anak orang? Akan tetapi ia telah diseret masuk dan "bluss"! Gadis itu menariknya masuk ke kolong pembaringan dan mereka meringkuk di bawah pembaringan seperti tikus-tikus bersembunyi!
"Li Hoa, kenapa....."
"Sssttt...." Gadis itu menggunakan tangan menutupi mulutnya dan Han Sin terpaksa diam diri. Siauw-ong sudah turun dan hendak keluar dari pembaringan, akan tetapi melihat sikap Li Hoa, Han Sin lalu menariknya kembali. Akhirnya monyet itu dengan mulut dimonyongkan karena tak senang terpaksa duduk meringkuk di tempat yang tidak enak itu. Bocah yang dirampas tidak dapat menangis dan kini didekap oleh Li Hoa yang memepetkan tubuhnya pada Han Sin.
Han Sin mendengarkan. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang menegangkan dan meremas jantung. Seakan-akan terdengar jantung mereka berdebar-debar dan napas mereka terengah-engah.
Tiba-tiba terdengar suara keras di luar. "Braakkk!" Terang sekali suara daun pintu dipukul pecah, disusul jerit ketakutan suami isteri petani. Lalu terdengar suara yang parau kasar menusuk telinga. "Ayoh kalian bilang, apakah tadi melihat seorang pemuda membawa seekor monyet lalu di sini?"
Han Sin merasa betapa tubuhnya didekap tubuh lain yang hangat dan halus, tubuh itu gemetar seperti seekor kelinci tertangkap. Hidungnya mencium bau yang amat harum dan lehernya agak keri (geli) karena sesuatu yang halus tebal menyentuh-nyentuh lehernya. Keadaan di kolong itu gelap sehingga ia tidak dapat melihat nyata. Akan tetapi ia tahu bahwa Li Hoa dan yang menyentuh lehernya adalah rambut gadis itu. Dalam takut dan gelisahnya agaknya gadis itu lupa segala.
Berdebar jantung Han Sin. Dia merasai ketakutan dan kegelisahan seperti gadis itu, pikirannya masih terang maka keadaan begini tentu saja menimbulkan perasaan yang tidak karuan dalam hatinya. Memang pada dasarnya Han Sin adalah seorang pemuda romantis, mungkin darah ayahnya menurun kepadanya, maka ketika merasa betapa gadis itu mendekapnya, ia jadi "melek meram" dan berusaha menahan guncangan-guncangan jantungnya yang menjadi gedebak-gedebuk tidak puguh (tidak karuan).
"Tidak..... tidak ada pemuda yang loya cari itu....." terdengar pak tani menjawab takut.
"Jangan bohong kau!"
"Loya, mohon ampun........ kami benar-benar tidak tahu, tidak melihatnya....." isterinya membantu.
"Awas kalau kugeledah dan ada..... kalian akan kuhancurkan kepalamu!"
Mendengar begini, timbul jiwa kesatria di hati Han Sin. Tidak boleh setan itu membunuh orang karena dia. Ia lalu merayap keluar dari kolong dan berdiri dalam kamar, siap berlari keluar. Akan tetapi Li Hoa juga melompat dan tahu-tahu gadis ini sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan, sikapnya melindunginya! Gadis itu berdiri menghadapi pintu kamar yang tertutup dan Han Sin berdiri di belakangnya. Melihat sikap gadis ini, Han Sin terharu. Terang bahwa gadis ini hendak melindunginya.
"Loya, mana kami berani membohongimu? Kami bersumpah....."
"Sudah tidak perlu cerewet. Kalau pemuda itu hilang di dusun ini, semua orang dusun ini akan ku basmi!" Keadaan menjadi sunyi kembali dan dapat diduga bahwa setan itu sudah pergi meninggalkan rumah gubuk dan mencari ke lain tempat.
Li Hoa mengeluarkan napas panjang, lalu tubuhnya lemas dan tahu-tahu ia sudah pingsan dan tentu terguling kalau Han Sin tidak cepat-cepat memeluknya. Pemuda itu melihat muka gadis itu pucat sekali, akan tetapi dalam pingsannya masih memondong bocah itu. Han Sin lalu mengangkat Li Hoa, dibaringkan di atas tempat tidur, lalu ia melepaskan bocah dari pelukan Li Hoa. Ketika melihat pundak gadis itu, ia menjadi gelisah sekali. Jarum itu masih menancap dan di sekitar luka terdapat bengkak yang hitam menghijau, tanda keracunan!
Han Sin teringat ketika ia terluka oleh paku yang dilepas oleh pengemis kawan gadis ini. Maka tanpa ragu-ragu ia lalu mencabut jarum dari pundak gadis itu dan keluarlah darah hitam semu hijau. Ia bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus mengobati luka itu. Pada saat itu suami isteri petani memasuki kamar dengan muka pucat. Melihat anaknya menggeletak di tempat tidur di samping nona yang pingsan, ibu itu lalu menyambar anaknya.
"Nanti dulu, biar kupulihkan dia," kata Han Sin sambil membebaskan totokan di leher bocah itu. Bocah itu lalu menangis, akan tetapi ibunya cepat mendekap mulutnya, lalu bersama suaminya mereka lari dari pintu belakang.
Han Sin tidak perdulikan mereka, sibuk mengurus Li Hoa yang masih pingsan. "Siauw-ong, kau jaga di pintu kamar, kalau ada orang jahat, kau serang dia," kata Han Sin. Kemudian ia merobek pakaian gadis itu di bagian pundak yang terluka. Dalam keadaan seperti itu ia tidak memperhatikan betapa kulit pundak gadis itu putih halus dan di lain saat pasti akan membuat dia merasa malu dan jengah.
Karena ia dapat menduga bahwa luka itu beracun, ia lalu membungkuk dan menggunakan mulutnya menyedot keluar darah dari luka itu. Ia merasa mulutnya getir dan pedas, akan tetapi ia tidak perduli dan menyedot terus. Aneh sekali, begitu ia menyedot, darah dari luka itu menyembur keluar memenuhi mulutnya. Cepat ia meludahkan darah yang agak kehijauan, lalu menyedot lagi. Baru menyedot dua kali saja, ia merasai darah yang asin-asin manis dan ketika ia mengangkat mulutnya yang penuh darah, luka itu sudah menjadi merah dan darah yang keluar dari luka itu juga sudah merah.
Hatinya lega sekali ketika ia meludahkan darah untuk kedua kalinya. Biarpun ia tidak mengerti pengobatan, tapi melihat luka itu sudah merah darahnya, ia dapat menduga bahwa racun itu tentu sudah terhisap keluar. Namun ia masih penasaran dan membungkuk untuk menyedot sekali lagi.
Selagi ia menyedot, tubuh gadis itu bergerak, merintih perlahan dan tiba-tiba berontak dan..... "plak! plak! plak!" tiga kali pipi Han Sin digaplok keras sekali oleh Li Hoa.
"Kau.... kau mau apa? Kurang ajar.....!" Muka yang tadinya pucat itu kini menjadi merah sekali, mata yang indah itu berapi-api.
Han Sin melongo dan memandang bodoh. "Aku hanya menghisap keluar racun di lukamu. Kalau kau menganggap itu kurang ajar, terserah. Niatku hanya menolong, lain tidak....."
"Kau.... kau telah merobek pakaianku..... kau telah me.... melihat pundakku.... malah menciumnya... kau.... kau... aku bisa membunuhmu!" Gadis itu meloncat turun dan menyambar pedangnya.
Han Sin tersenyum pahit. "Lukamu memang di pundak, kalau tidak merobek baju di pundak, bagaimana bisa memeriksanya? Menghisap darah memang dengan mulut, kalau tidak.... menempelkan bibir pada pundak, bagaimana bisa menghisapnya?"
"Kau..... kau....." Li Hoa lalu menangis.
"Aneh bin ajaib....." Han Sin mengomel panjang pendek. Pada saat itu terdengar jerit-jerit mengerikan di luar rumah.
Mendengar ini, Han Sin teringat akan "setan" yang oleh Li Hoa disebut bernama Hoa Hoa Cinjin. Nama ini sudah dikenalnya karena pernah Ciu-ong Mo-kai menyebutnya sebagai nama yang harus dihadapi dengan hati-hati karena mungkin orang inilah yang dulu membunuh orang tuanya. Kini mendengar jerit-jerit mengerikan itu ia menduga tentu setan itu menganiaya orang-orang dusun, maka ia segera melompat keluar disusul oleh Siauw-ong.
Akan tetapi sebelum ia keluar dari pintu depan, tangannya ditarik orang dan Li Hoa sudah berada disampingnya dengan pedang di tangan. "Jangan keluar, bahaya maut mengancam di luar....."
Han Sin mengangkat pundak. "Apa salahnya? Matipun sudah patut bagi seorang laki-laki kurang ajar."
Mata Li Hoa yang tadinya terbelalak takut itu menjadi basah. "Han Sin.... kau maafkan aku tadi... aku... aku... jangan kau keluar. Biar aku menjagamu di sini."
Han Sin tidak tega memaksa. Mereka lalu mengintai dari balik dinding bilik rumah gubuk itu dan melihat kejadian yang hebat di dalam dusun. Ternyata "setan" itu yang sebetulnya seorang kakek yang menakutkan, kakek berpakaian tosu yang wajahnya menyeramkan dan galak, tinggi besar dengan pedang di punggung, mengamuk di dusun dan membunuhi keluarga dusun yang tidak berapa banyak itu. Dusun kecil itu hanya mempunyai enam buah rumah gubuk dan semuanya kini dibasmi oleh Hoa Hoa Cinjin yang marah-marah karena tidak menemukan Han Sin! Benar-benar seorang yang berhati buas dan kejam sekali di samping kepandaiannya yang luar biasa.
Ketika itu, dari luar dusun terdengar suara roda dan tahu-tahu sebuah kereta dorong telah memasuki dusun dengan kecepatan luar biasa. Seorang nenek duduk di dalam kereta dorong itu dan seorang pemuda tampan mendorongnya dari belakang. Pada saat itu, Hoa Hoa Cinjin yang sedang mengamuk sedang menghampiri rumah gubuk di mana Han Sin dan Li Hoa bersembunyi, bermaksud hendak membasmi seisi rumah. Akan tetapi melihat datangnya nenek dalam kereta dorong, ia tidak jadi masuk rumah, malah segera menghadang di jalan.
Nenek dan pemuda itupun terkejut sekali melihat tosu itu.
"Hoa Hoa Cinjin si keparat! Kebetulan sekali kau berada di sini, tidak susah-susah lagi aku mencarimu!" terdengar nenek itu berteriak dengan suara melengking tinggi.
Hoa Hoa Cinjin melengak, bibirnya menyeringai di balik kumisnya.
"Kau siapa?" tanyanya ragu-ragu karena memang tidak mengenal wanita setengah tua yang duduk di kereta.
"Bangsat tua, lupakah kau kepada guruku Koai-sianjin Bhok Kim?"
Tiba-tiba tosu tua itu tertawa bergelak, suara ketawanya melengking nyaring dan kembali Li Hoa dan Han Sin harus mengerahkan lweekang untuk menolak pengaruh suara menyeramkan ini. "Ha ha ha, kiranya murid Koai-sianjin? Jadi kau yang dijuluki orang Ang-jiu Toanio? Ha ha, sudah lama pinto mendengar kau hendak mencariku untuk membalas dendam? Nah, sekarang pinto sudah di sini, kau boleh menyusul nyawa gurumu!" Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju dan secepat kilat memukulkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah kereta dorong.
"Krakkkk......!!" Suara keras ini disusul dengan hancurnya kereta dorong seolah-olah kereta dorong itu diledakkan dan menjadi hancur berkeping-keping. Adapun Ang-jiu Toanio dan pemuda itu yang bukan lain adalah Yan Bu puteranya, cepat mempergunakan ginkang mereka, melayang ke atas menghindarkan diri dari pukulan maut ini. Indah gerakan mereka, apalagi Ang-jiu Toanio yang tadinya duduk ternyata sekarang sudah melompat ke atas dengan kedudukan telentang, tapi sekali ia membalik, tubuhnya menukik ke bawah dan mencengkeram kepala tosu itu dengan kedua tangan yang sudah berubah merah.
Kenapa Yan Bu bersama ibunya bisa muncul di tempat itu? Untuk mengetahui ini, baik kita mundur sebentar untuk mengikuti pengalaman Yan Bu, pemuda yang simpatik ini.
Seperti telah kita ketahui, ketika Han Sin diserang oleh Balita di gunung Cin-ling-san, Yan Bu muncul dan menolongnya. Yan Bu memenuhi permintaan Bi Eng, gadis lincah jenaka yang membetot semangatnya, untuk mencari dan menolong Han Sin dari Cin-ling-pai. Akan tetapi ternyata ia mendapatkan Cin-ling-pai sedang geger dan kacau karena diserang oleh kaki tangan pemerintah. Yan Bu tidak mau mencampuri urusan ini dan mencari Han Sin yang akhirnya ia jumpai sedang diancam oleh Balita.
Biarpun Yan Bu telah mewarisi ilmu kepandaian yang tinggi, terutama ginkang dan ilmu golok dari suhunya, Yok-ong Phoa Kok Tee, namun menghadapi Balita ia masih kalah segala-galanya. Puteri Hui yang lihai ini bukan lawannya dan terpaksa ia memancing Balita meninggalkan Han Sin untuk menolong nyawa kakak dari gadis yang dikasihinya itu. Ia melawan sambil berlari, melawan lagi kalau tersusul, dan lari lagi kalau ada kesempatan. Dengan cara demikian, ia dapat membikin Balita menjadi marah, penasaran dan terus mengejarnya. Mereka berkejaran sampai turun gunung dan akhirnya saking lelah, Yan Bu tak dapat lari lagi dan terpaksa ia melakukan perlawanan mati-matian.
Dalam keadaan terdesak itu, tiba-tiba muncul Ang-jiu Toanio! Ternyata nyonya ini ketika ditinggal oleh puteranya, dalam hati merasa tidak tega dan diam-diam lalu menyusul. Baiknya ia datang pada saat yang amat tepat. Melihat puteranya terdesak hebat dan hampir tidak kuat lagi menghadapi tongkat tulang ular di tangan Balita, ia lalu menyerbu sambil memaki-maki.
Melihat munculnya Ang-jiu Toanio, Balita tahu bahwa menghadapi keroyokan ibu dan anak itu terlalu berbahaya baginya. Kalau hanya menghadapi Ang-jiu Toanio seorang saja, ia tidak gentar dan sanggup mengalahkannya. Akan tetapi putera Ang-jiu Toanio ini memiliki ilmu golok luar biasa dan kalau dia dikeroyok, dia bisa celaka. Apalagi dia memang tidak mempunyai permusuhan dengan ibu dan anak ini, maka sambil tertawa mengejek ia lalu melarikan diri, kembali ke tempat di mana tadi ia meninggalkan Han Sin. Akan tetapi ternyata pemuda itu telah lenyap.
Yan Bu dengan singkat menuturkan kepada ibunya tentang pengalamannya dan tentu saja dia tidak bicara terus terang bahwa dia jatuh hati kepada Bi Eng. Hanya ia ceritakan bahwa ia telah berhasil mencari Han Sin putera Cia Sun, akan tetapi di sana ada Balita sehingga ia tidak sempat menanyakan tentang surat wasiat, juga tidak sempat bicara dengan pemuda she Cia itu.
Ang-jiu Toanio membanting-banting kakinya. "Sayang sekali! Ayoh kita kembali ke sana dan cari dia!"
Seperti juga Balita, Ang-jiu Toanio dan puteranya itu tidak bisa mencari Han Sin. Akhirnya Yan Bu mengajak ibunya kembali ke sungai Wei-ho untuk menemui Bi Eng. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk melindungi gadis itu apabila ibunya hendak berlaku keras. Akan tetapi, juga di tepi sungai Wei-ho dia tidak melihat Bi Eng. Lalu bersama ibunya ia mencari terus sehingga ia sudah sampai di pegunungan Lu-liang-san dan kebetulan bertemu dengan Hoa Hoa Cinjin yang sedang mengamuk dan membasmi semua penduduk sebuah dusun kecil. Seperti dulu, Yan Bu yang berbakti tidak tega melihat ibunya berjalan lalu membuatkan sebuah kereta dorong yang kini dengan sekali pukul dihancurkan oleh tosu sakti musuh besar ibunya itu.
Kembali ke dusun itu. Biarpun kelihatan lemah, Ang-jiu Toanio masih merupakan orang yang berilmu tinggi. Pukulan-pukulannya yang disertai tenaga Ang-see-jiu merupakan pukulan beracun yang dapat merenggut nyawa lawan. Juga ginkangnya amat hebat sehingga tidak mudah bagi Hoa Hoa Cinjin untuk mengalahkan nyonya ini dalam waktu singkat. Apalagi di situ ada Yan Bu yang tentu saja tidak membiarkan ibunya menghadapi musuh besar ini seorang diri. Pemuda ini sudah mencabut goloknya dan menyerbu dengan tikaman dan bacokan maut.
Pertempuran hebat terjadi dan sepak terjang Hoa Hoa Cinjin benar-benar dahsyat sekali. Tosu sakti ini tidak mencabut pedangnya, akan tetapi pukulan-pukulan tangan dan lengan bajunya mendatangkan angin bersiutan dan debu mengebul tinggi, tanda bahwa kakek ini sudah memiliki tenaga lweekang yang sukar diukur tingginya. Matanya yang bersinar-sinar seperti mata iblis itu makin mengerikan dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan suara ketawa mengejek.
"Ha ha ha, murid Koai-sianjin Bhok Kim ternyata hanya seorang wanita berpenyakitan dan lemah," katanya sambil mendesak hebat. Memang benar, Ang-jiu Toanio tidak dapat berbuat banyak menghadapi tosu ini. Pukulan Ang-see-jiu, yang biasanya amat ampuh dan dengan sekali pukul dari jarak jauh saja sudah dapat merobohkan seorang lawan, kini menghadapi Hoa Hoa Cinjin seperti tidak ada artinya lagi. Hawa pukulan Ang-see-jiu mental kembali begitu terbentur oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan tosu sakti itu. Sebaliknya, desakan-desakan Hoa Hoa Cinjin membuat Ang-jiu Toanio repot sekali dan beberapa kali sambaran hawa pukulan tosu ini membuat dia terhuyung-huyung.
Melihat betapa ibunya didesak, dengan nekat Yan Bu mainkan goloknya dan Hoa Hoa Cinjin sampai berseru kagum. "Hebat ilmu golok dari Yok-ong. Tapi, bocah, jangan kaukira pinto jerih menghadapinya. Ha ha ha!" Secepat kilat, dengan ilmu silat Kong-jiu-coan-to (Tangan Kosong Terjang Golok) ia memapaki serangan pemuda itu. Akan tetapi tosu ini berseru kaget ketika golok pemuda itu tiba-tiba menyambar dan hampir saja lengan kanannya terbabat kalau ia tidak lekas-lekas menarik kembali. Keringat dingin membasahi jidatnya dan diam-diam ia harus akui bahwa ilmu golok dari Yok-ong ini benar-benar lihai dan tidak terduga gerakannya.
Ia berseru keras sekali, ujung lengan bajunya menyambar dengan tangan tersembunyi di dalamnya. Ujung lengan bajunya yang lemas ini begitu membentur golok terus melibat dan tangan yang tersembunyi di dalamnya secara tiba-tiba menangkap keluar dan di lain saat golok pemuda itu telah dapat ia rampas!
Pada saat itu Ang-jiu Toanio menyergap dari samping dengan pukulan Ang-see-jiu. Sambil tertawa Hoa Hoa Cinjin menggunakan golok rampasannya untuk menangkis pukulan sambil membabat tangan.
"Krakk!" Golok itu terlempar dan gagangnya yang terbuat dari pada kayu telah remuk di tangan Hoa Hoa Cinjin. Kalau bukan golok mustika, tentu akan patah-patah terpukul Ang-see-jiu. Biarpun golok terlempar oleh pukulan, namun saking kuatnya pegangan Hoa Hoa Cinjin, gagangnya tidak ikut terlepas malah hancur di tangannya, sedangkan tangan Ang-jiu Toanio yang tertekan golok luka berdarah. Hoa Hoa Cinjin mendesak maju dan totokan dengan ujung lengan bajunya membuat tubuh Ang-jiu Toanio terguling.
"Jangan ganggu ibu!" bentak Yan Bu sambil menubruk maju, namun sekali dupak pemuda itu terpental.
Sambil tertawa-tawa Hoa Hoa Cinjin melangkah maju, mengangkat tangan hendak memukul kepala nyonya yang sudah tak berdaya itu. Tangan diangkat, pukulan akan dijatuhkan, akan tetapi tiba-tiba ia membatalkan maksudnya. "Hemmm, melihat muka dia, aku ampunkan nyawamu," katanya perlahan. Tak seorangpun tahu siapakah yang dimaksud oleh tosu ini dengan sebutan "dia" tadi. Pukulan ke arah kepala dibatalkan, sebaliknya ia lalu menghantam ke arah pundak kiri nyonya itu.
"Plakk!" Ang-jiu Toanio menjerit dan pingsan.
"Kau berani celakai ibu?" Yan Bu yang sudah bangun, menerjang lagi dengan marah, penuh kekuatiran melihat ibunya dipukul oleh tosu kejam itu.
Sambil mengelak, Hoa Hoa Cinjin membentak.
"Kalau kau tidak memiliki ilmu golok Yok-ong Phoa Kok Tee, apakah pinto sudi mengampunimu? Ayoh, kau lekas bawa ibumu mencari Yok-ong biar Raja Obat itu mencoba kepandaiannya. Dalam sepuluh hari kalau kau tidak bertemu dengan Yok-ong, ibumu akan mampus."
Mendengar ini, Yan Bu tidak jadi menyerang lalu menubruk ibunya. Ia melihat wajah ibunya pucat sekali. Sebagai seorang murid Raja Obat, tentu saja Yan Bu mengerti ilmu pengobatan, maka ia cepat memeriksa pundak kiri ibunya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat ada tapak jari hitam menghijau di pundak itu, tanda bahwa ibunya telah terkena pukulan beracun yang lebih berat dari pada Ang-see-jiu! Dan ia maklum pukulan apakah ini.
"Manusia keji! Kau menggunakan Ceng-tok-ciang memukul ibu!" seru Yan Bu marah, gelisah dan sakit hati.
Hoa Hoa Cinjin membelalakkan matanya lalu tertawa. "Ha ha, kau tidak percuma menjadi murid Yok-ong. Dalam sepuluh hari kau boleh mencarinya, akan tetapi kalau sudah bertemu, belum tentu gurumu itu becus mengobatinya. Ha ha ha!"
Yan Bu memondong tubuh ibunya. "Hoa Hoa Cinjin, kau dulu membunuh guru ibuku, bagiku hal itu takkan kutarik panjang. Akan tetapi perbuatanmu terhadap ibu hari ini, kelak aku Phang Yan Bu pasti akan mencarimu untuk mengadu nyawa!" Lalu pemuda itu berlari cepat sambil memondong tubuh ibunya.
Semenjak tadi hati Han Sin sudah panas dan marah sekali menyaksikan sepak-terjang Hoa Hoa Cinjin yang ganas. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu adalah seorang pemeluk agama To-kauw, ia makin pemasaran. Hanya karena ditahan oleh Li Hoa maka dia menyabarkan diri. Akan tetapi ketika ia melihat betapa kakek itu melukai Ang-jiu Toanio yang biarpun oleh Ciu-ong Mo-kai dianggap musuh ayahnya akan tetapi dalam pandangannya tidak lain hanya seorang wanita setengah tua yang berpenyakitan, dan melihat pula betapa kakek itu menghina Yan Bu, pemuda yang dianggapnya amat baik kepadanya dan pernah pula menolongnya ketika ia diserang Jin Cam Khoa Balita, Han Sin tak dapat menahan kesabarannya pula. Sebelum Li Hoa tahu dan sempat mencegah, Han Sin sudah melompat keluar, diikuti oleh Siauw-ong. Bukan main gelisahnya hati Li Hoa melihat ini dan terpaksa iapun melangkah keluar.
Hoa Hoa Cinjin yang sama sekali tidak menyangka, ketika melihat seorang pemuda tampan dengan tenangnya bersama seekor monyet keluar dari rumah gubuk itu, berdiri tercengang. Bukankah yang dia cari adalah seorang pemuda yang membawa-bawa seekor monyet? Dia belum pernah melihat Han Sin, hanya mendengar saja tentang pemuda ini. Dicari setengah mati, malah karena mencarinya ia tadi telah membunuh banyak penduduk dusun tanpa hasil. Eh, tahu-tahu orang yang dicarinya muncul dan menghampirinya. Keherannya ini ditambah lagi ketika ia melihat sikap dan mendengar kata-kata pemuda itu yang datang-datang menudingkan telunjuk kepadanya dan berkata marah.
"Eh, orang tua yang bernama Hoa Hoa Cinjin, kau benar-benar telah menyeleweng secara luar biasa sekali! Dandananmu adalah seorang tosu, kenapa sebagai seorang pendeta To-kauw begitu keji dan tidak mengenal prikemanusiaan? Apa kau sudah lupa bunyi permulaan ayat ke tiga puluh satu dari kitab Tok-tik-khing bahwa senjata merupakan alat kejahatan yang dijauhi oleh penganut To? Apakah lupa bahwa guru besar Khong Hu Cu mengutamakan Jin-gi-lee-ti-sin yang menuntun jalan hidup manusia ke arah prikemanusiaan? Bagaimana pula ajaran guru besar Mo Ti yang menyuruh manusia cinta kepada sesama manusia tanpa perbedaan? Juga semua aliran, seperti aliran Im-yang, Hoat, malah Beng-kauw sendiripun tidak ada satu yang akan membenarkan perbuatan tadi. Untuk mencari aku seorang, kau membunuh-bunuhi rakyat tidak berdosa, kau malah melukai seorang perempuan setengah tua yang lemah dan berpenyakitan, hemm, coba jawab Hoa Hoa Cinjin, sebagai seorang tosu apakah perbuatanmu itu tidak menyeleweng?"
Han Sin bicara penuh nafsu, sepasang matanya bersinar-sinar sedemikian tajamnya sehingga diam-diam Hoa Hoa Cinjin kaget sekali karena dia sendiri yang memiliki sepasang mata yang tajam dan kuat, terpaksa harus tunduk menghadapi pengaruh dari sepasang mata bocah ini. Dan ia sampai melongo saking terheran-heran melihat pemuda yang dicarinya itu kini datang-datang memberi kuliah tentang filsafat-filsafat kuno dari pelbagai aliran demikian lancarnya! Keadaan ini biarpun membuat dia terheran-heran, namun begitu lucu baginya sehingga lupa ia akan marahnya, lupa bahwa dia telah dikuliahi seperti seorang murid oleh seorang bocah!
"Ha ha ha, kau lucu.....! Lucu......!"
"Apanya yang lucu? Kau ini tosu tua jangan anggap perbuatan-perbuatanmu tadi sebagai hal remeh saja. Dosamu besar sekali. Akan tetapi tidak ada dosa yang tak dapat diampuni oleh Thian, asal saja yang berdosa itu memenuhi satu syarat, yaitu merasa bertobat dan menebus dosa-dosanya dengan pemupukan perbuatan baik dan menyenangkan serta menolong orang lain. Kalau kau bisa sadar dan berubah menjadi tosu yang baik, Hoa Hoa Cinjin, kelak aku Cia Han Sin akan menganggapmu betul-betul sebagai seorang yang bijaksana."
Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin sudah menjadi marah kembali. Apa lagi ketika pemuda ini sudah memperkenalkan diri. Tadinya ia ragu-ragu apakah betul pemuda ini putera Cia Sun yang kabarnya sudah membunuh sutenya, Ban Kim Cinjin karena melihat pemuda ini seperti orang muda yang otaknya miring dalam pandangannya.
"Bocah, kau membunuh suteku saja sudah patut mampus. Sekarang kau berani membuka mulut besar menegur dan memberi nasehat kepadaku, benar-benar kau pantas mampus sepuluh kali!" Tosu ini dengan marah melangkah maju dan siap memukul.
"Hidup atau mati adalah urusan Thian, bagaimana kau tosu berdosa besar masih berani bicara tentang mati sepuluh kali?" Han Sin membentak, marah melihat orang yang dianggapnya terlalu jahat.
"Keparat, tutup mulutmu untuk selamanya!" Hoa Hoa Cinjin mengangkat tangannya.
"Totiang, tahan!" dan Li Hoa meloncat ke depan menghadapi tosu itu.
Hoa Hoa Cinjin memandang. "Eh, kiranya Thio-siocia...." katanya terheran-heran dan mukanya berubah. Memang ia tahu bahwa pemuda ini tidak hanya bersama seekor kera, juga kabarnya mempunyai seorang adik perempuan dan tadinya ia mengira pemuda ini bersama adiknya itu. Tidak tahunya sekarang muncul puteri Thio-ciangkun!
"Totiang, orang she Cia ini adalah tawananku, harap totiang jangan mengganggunya," kata gadis itu dengan pandangan mata tajam.
Hoa Hoa Cinjin kelihatan bingung. "Jadi..... selama ini kaukah yang bersama dia, siocia? Dan ketika aku memukul seorang gadis disampingnya dari jauh......"
"Akulah orang itu. Kau telah melukai pundakku."
Muka tosu itu menjadi merah. "Ehh....... celaka. Pinto salah lihat..... siapa sangka nona yang bersama dia? Maaf, bocah ini yang menimbulkan malapetaka ini. Harap nona jangan salahkan pinto."
Li Hoa tersenyum pahit. "Tidak apalah. Sekarang harap totiang tinggalkan kami dan urusan orang ini berada di tanganku."
"Tapi, nona..... dia ini, dia anak Cia......."
"Aku sudah tahu. Totiang laporkan saja sudah berada di tanganku."
"Dia..... dia sudah membunuh Ban Kim Cinjin....."
"Itupun aku sudah tahu. Sudahlah, tinggalkan kami."
"Tapi, Thio-siocia......"
"Hoa Hoa Cinjin! Apakah setelah melukai pundakku, kaupun ada keberanian untuk memberontak?"
"Bukan....... tapi dia yang menyuruhku...... Thio-siocia. Bocah ini berbahaya. Kalau sampai terlepas lagi, tentu kita mendapat marah."
"Siapa berani marah kepadaku? Tidak, totiang. Serahkan urusan ini kepadaku."
Hoa Hoa Cinjin ragu-ragu. Han Sin terheran-heran melihat sikap Li Hoa. Ternyata gadis ini mempunyai pengaruh yang besar dan kelihatan sama sekali tidak takut menghadapi Hoa Hoa Cinjin. Akan tetapi kenapa tadi nona itu kelihatan ketakutan setengah mati ketika dikejar Hoa Hoa Cinjin? Rahasia apakah berada di balik semua kejadian ini?
Akhirnya Hoa Hoa Cinjin berkata, "Bagaimanapun juga, resikonya terlalu besar membiarkan bocah setan ini berkeliaran dan kau berada di dekatnya, nona Thio. Dia harus dibuat tak berdaya." Setelah berkata demikian, secepat kilat tangannya bergerak ke arah Han Sin. Pemuda itu sama sekali tidak menyangka dirinya bakal diserang. Ia mengeluh dan roboh terguling.
"HOA HOA CINJIN..... kalau kau bunuh dia.....!" Li Hoa melompat. Nona ini lalu menekuk lutut dan memeriksa Han Sin yang sudah setengah pingsan, dadanya terasa sakit sekali. Akan tetapi ia masih dapat melihat dan mendengar dua orang itu bicara.
"Dia tidak mati. Akan tetapi dalam sepuluh hari dia akan mampus dalam keadaan menderita sekali. Pinto memberi waktu sepuluh hari, karena bukankah sebelum waktu itu kau bisa membawanya ke puncak? Di sana pinto akan menanti bersama dia yang akan memberi keputusan. Pinto lakukan ini demi keselamatanmu sendiri, nona. Nah, sampai ketemu!"
Tosu itu hendak pergi tapi tiba-tiba terdengar lengking ketawa yang tinggi kecil. Lengking ini menyerupai lengking yang suka dikeluarkan oleh Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi lebih tinggi dan menusuk telinga. Biarpun Han Sin sudah roboh hampir pingsan, jantungnya masih berdebar dan berguncang mendengar bunyi ini dan Li Hoa kelihatan terkejut sekali. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin tertawa dan membalas dengan suara lengkingnya yang keras.
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak lama kemudian berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ berdiri seorang gadis yang bertubuh ramping sekali berkulit putih halus, di punggungnya kelihatan gagang pedang. Akan tetapi kepala gadis ini ditutup kedok sutera putih yang tidak hanya menyembunyikan mukanya, malah seluruh kepalanya tersembunyi di dalam kedok yang bentuknya seperti sebuah kantong itu. Hanya di bagian mata diberi lubang sedikit dan dari balik kedok sutera itu bersinar sepasang mata yang bercahaya bening, mata seorang wanita cantik.
"Gi-hu, berhasilkah kau menangkap bocah she Cia?" terdengar suara gadis berkedok itu, suaranya juga merdu halus, tidak kalah oleh suara Li Hoa. Diam-diam Han Sin terheran-heran dan meremang bulu tengkuknya. Tidak nyana seorang gadis yang memiliki suara demikian empuk, memiliki potongan tubuh demikian ramping dan kulit demikian putih halus, kiranya adalah anak angkat seorang kejam dan jahat seperti Hoa Hoa Cinjin. Kalau ayah angkatnya sudah demikian keji, tentu perempuan inipun bukan orang baik-baik. Kedoknya saja sudah begitu menyeramkan, pikirnya.
"Ha ha, Hoa-ji, kau menyusulku? Bagus, memang aku mengharapkan kau dapat menyaksikan keramaian di puncak, hitung-hitung menambah pengalaman. Kau tanya tentang bocah she Cia? Itu dia, sudah kuhadiahi Tong-sim-ciang. Ha ha ha!"
Nona berkedok yang dipanggil Hoa-ji (anak Hoa) itu juga tertawa, suara ketawanya merdu sekali seperti orang bernyanyi. "Gi-hu (ayah angkat), kenapa tidak dimampuskan saja dan dirampas surat wasiatnya?"
Sambil berkata demikian, nona berkedok itu sekali menggerakkan tubuhnya yang langsing, tubuh itu melayang amat ringannya ke tempat Han Sin menggeletak. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar menatap ke wajah pemuda itu. Melihat ini Li Hoa serentak berdiri dan di lain saat pedangnya sudah berada di tangan kanan. Gadis ini dengan wajah keren tanpa kenal takut membentak.
"Siapa kau? Jangan sembarangan bergerak!" Sikapnya mengancam sekali. Tadi Li Hoa mendengar gadis berkedok ini menyebut "gi-hu" kepada Hoa Hoa Cinjin. Ia tidak pernah mendengar bahwa tosu kosen itu mempunyai anak angkat ataupun murid, akan tetapi ia dapat menduga bahwa gadis berkedok ini setelah menjadi anak angkat tosu itu, tentu juga kejam dan lihai sekali. Ia hanya dapat melihat sepasang mata yang berkilat-kilat ditujukan kepada Han Sin, tidak tahu bagaimanakah wajah gadis ini dan tidak dapat menduga pula pikiran apa yang terkandung di balik sepasang mata indah itu.
"Hoa-ji, jangan bunuh dia. Dia menjadi tawanan nona Thio yang tentu akan membawanya ke puncak Lu-liang-san. Nona Thio puteri Thio-ciangkun itu orang sendiri, bukan lawan," terdengar Hoa Hoa Cinjin berkata.
Nona berkedok itu mengeluarkan suara mendengus, agaknya memandang rendah. Matanya mengerling sekilat ke arah Li Hoa, akan tetapi segera dialihkan kembali menatap wajah Han Sin. Pada saat itu, Han Sin sudah sadar betul dan pemuda ini kebetulan juga memandang kepadanya sehingga dua pasang mata itu bertemu. Nona berkedok meramkan matanya yang terasa pedas ketika bertemu dengan sinar mata pemuda itu yang luar biasa tajam berpengaruh.
"Iiihh, Dia bermata iblis....." terdengar nona ini berseru, lalu mundur tiga tindak. Baru sekarang ia menoleh dan menghadapi Li Hoa, kini pandang matanya menyelidik. Dipandangnya gadis she Thio itu dari kaki sampai ke rambutnya yang disanggul secara istimewa. Ia mengeluarkan suara ketawa kecil, akan tetapi suaranya penuh pujian ketika ia berkata, "Inikah nona puteri Thio-ciangkun yang membantu orang-orang Mancu, gi-hu? Cantik manis.....!"
Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. "Ha ha ha, Hoa-ji. Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi engkau....?" Tosu itu lalu berkelebat pergi dan nona berkedok itupun melesat cepat mengikuti gi-hunya, dan dari jauh masih terdengar lengking ketawa mereka, satu keras parau dan yang satu lagi tinggi kecil dan nyaring.
"Hebat........" terdengar Li Hoa berkata seorang diri. "Agaknya tidak lebih tua dariku, akan tetapi sudah memiliki khikang demikian tinggi. Sungguh hebat dan berbahaya...."
"Aduuhhh...... hemm.... dingin..........!"
Li Hoa cepat membalikkan tubuh dan berlutut lagi di dekat Han Sin. Pemuda itu kelihatan menggigil kedinginan dan menekan-nekan perutnya.
"Bagaimana....? Sakitkah?" Li Hoa bertanya gelisah.
"Dingin sekali....... seperti beku isi dada dan perutku......" kata Han Sin meringis menahan sakit.
Pemuda ini tadi terpukul oleh Hoa Hoa Cinjin yang menggunakan pukulan Tong-sim-ciang yang mengandung lweekang tinggi. Kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya, tentu jantungnya sudah tergetar dan rusak mendatangkan maut. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin sengaja menahan tenaganya, memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk hidup sepuluh hari lagi. Hanya Hoa Hoa Cinjin yang akan dapat mengobati pemuda ini, itupun akan memakan waktu lama sekali.
Pukulan Tong-sim-ciang ini mengandung tenaga "Yang" yaitu tenaga yang amat panas sehingga orang yang terkena pukulan ini akan merasa dirinya terbakar hidup-hidup dan jantung akan menjadi rusak karena darah berjalan terlalu cepat akibat hawa panas yang merasuk ke dalam jalan darah. Akan tetapi, mengapa pemuda ini malah merasa dingin dan menggigil? Tentu saja kalau Hoa Hoa Cinjin masih berada di situ dan melihat keadaan Han Sin, tosu itu akan menjadi terheran-heran dan tidak mengerti.
Memang keadaan Han Sin tidak sama dengan orang-orang biasa. Dia telah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa dan di dalam jalan darah di tubuhnya sudah mengalir sebagian dari pada darah ular itu. Maka begitu ia terkena pukulan yang tak disangka-sangkanya itu, racun pukulan yang bertemu dengan racun Pek-hiat-sin-coa, bertanding di dalam jalan darahnya dan racun Tong-sim-ciang itu segera berubah sifatnya, sebaliknya malah mendatangkan hawa dingin karena berubah menjadi hawa "Im" yang amat dingin. Akan tetapi hal ini tidak membahayakan Han Sin, malah melenyapkan bahaya yang mengancamnya, jantungnya tidak terganggu dan ia hanya menderita perasaan dingin yang luar biasa saja di dalam perut dan dadanya.
Li Hoa yang tidak tahu akan keadaan sebenarnya dalam tubuh Han Sin, melihat pemuda itu menggigil dengan muka pucat, makin gelisah sampai-sampai ia tidak merasa betapa dua butir air mata membasahi di pipinya!
"Han Sin...... jahat sekali tosu itu..... awas dia, kalau sampai kau tidak tertolong, aku akan mengadu nyawa dengannya.....! Ah, bagaimana baiknya ini?" Ia merangkul belakang leher Han Sin, mencoba untuk mendudukkan pemuda itu. Akan tetapi Han Sin yang baru saja terserang hawa dingin, hanya menggigil keras dan tidak bisa bangun, malah ia tidak sadar betapa gadis itu memeluknya dan menangis.
"Dingin...... dingin.....!" Gigi pemuda itu sampai bersuara karena menggetar. "Minta...... minum panas-panas......!"
Li Hoa menurunkannya lagi telentang di atas tanah. "Aku akan mencarikan minum panas untukmu." Cepat ia memasuki rumah-rumah gubuk di dusun itu. Akan tetapi rumah-rumah itu sudah kosong, penghuninya sudah pada mati bergeletakan di depan atau di dalam rumah sampai hati nona yang biasanya tabah ini menjadi ngeri melihatnya.
"Ganas sekali Hoa Hoa Cinjin," pikirnya dengan mengkirik. Banyak sudah ia melihat orang dibunuh akan tetapi pembunuhan itu adalah hukuman bagi orang-orang yang dianggap jahat oleh ayahnya. Sekarang ia melihat orang-orang dusun yang tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh Hoa Hoa Cinjin, hatinya memberontak. "Kenapa ayah bekerja sama dengan manusia macam Hoa Hoa Cinjin? Kenapa orang-orang jahat belaka yang bekerja dengan ayah....?" Pikiran ini menimbulkan keraguan dan kesangsian di dalam hatinya akan tepatnya pekerjaan yang dipegang oleh ayahnya.
Karena memikirkan keadaan Han Sin, ia lalu memasuki sebuah dapur di rumah gubuk terdekat, yaitu rumah petani yang sudah menyembunyikan mereka. Cepat-cepat ia membuat api dan memasak air. Lalu ia kembali kepada Han Sin sambil membawa secawan air panas.
"Ini air panas, Han Sin. Kau minumlah...." Ia lalu membantu pemuda itu bangun duduk. Han Sin agaknya sudah sadar lagi karena ia dapat duduk biarpun masih payah. Baru sekarang ia menyadari keadaannya, betapa gadis itu menahan belakang lehernya dan memberinya minum. Diam-diam ia terharu dan teringatlah ia adegan tadi betapa gadis ini melindungi dan membelanya. Diam-diam ia merasa heran sekali. Ke dalam golongan orang bagaimana ia harus masukkan gadis ini? Golongan jahat atau golongan baikkah? Akan tetapi ia tidak sempat berpikir lagi dan segera minum air panas dari cawan yang disodorkan ke bibirnya oleh Li Hoa.
Aneh sekali, begitu perutnya kemasukan air panas, rasa dingin melenyap dan tenaganya pulih kembali. Memang rasa dingin di perutnya itu bukan gejala penyerangan atau keracunan, melainkan akibat dari pada kemenangan racun Pek-hiat-sin-coa yang mengalahkan racun pukulan Tong-sim-ciang sehingga hawa panas pukulan ini berubah menjadi dingin.
Melihat wajah pemuda itu menjadi segar kembali dan kelihatan sembuh, bukan main girangnya hati Li Hoa, sungguhpun masih ada kekhawatirannya karena mendengar dari Hoa Hoa Cinjin bahwa pemuda ini hanya akan dapat hidup sepuluh hari saja. Mana ia tahu bahwa racun pukulan tadi itu sudah musnah dan tidak ada bahayanya lagi?
"Han Sin, jangan khawatir. Betapun kejinya, Hoa Hoa Cinjin takkan berani membantah permintaan ayah. Aku akan minta kepada ayah supaya Hoa Hoa Cinjin memberi obat pemunah racun pukulannya. Mari kita pergi ke puncak Lu-liang-san ini.
Han Sin kelihatan bengong. Kemudian ia menggeleng kepala. "Tosu itu tersesat. Aku tidak apa-apa Li Hoa, tidak merasa dingin atau sakit lagi. Kau tidak usah kuatir. Li Hoa, kau baik sekali. Kenapa kau sebaik ini padaku? Eh, kenapa kau selalu melindungiku? Apakah hanya karena kau ingin aku membawamu ke tempat penyimpanan warisan rahasia dari Lie Cu Seng?"
Muka gadis itu menjadi merah sekali ketika mendengar pertanyaan ini. Tadinya ia hendak menentang pandangan mata Han Sin, akan tetapi ketika matanya bertemu dengan sinar mata pemuda itu yang memandangnya penuh selidik, ia lalu tundukkan mukanya.
"Bagaimana Li Hoa. Jawablah agar aku tidak menyangka yang bukan-bukan."
Li Hoa tidak menjawab, hanya mengangguk. Han Sin menghela napas, kecewa bukan main. Ia tadinya mengharap bahwa gadis ini melindungi dan membelanya karena keluar dari hati yang baik sehingga ia tanpa ragu akan memasukkan gadis ini ke dalam golongan orang-orang baik. Mendengar bahwa "kebaikan" gadis ini hanya untuk tujuan mendapatkan harta simpanan, ia sudah bukan menganggap hal-hal itu semacam kebaikan lagi. Kembali ia menarik napas panjang, nampaknya kecewa dan berduka sekali. Benar-benar sedih hatinya kalau ia harus memasukkan gadis ini ke dalam golongan orang jahat.
"Salah...... salah, Li Hoa. Kau telah tersesat dan menyeleweng dari pada kebenaran."
"Apa maksudmu....?"
"Kalau tidak hendak menolong, janganlah menolong. Melakukan kebaikan disertai pamrih, disertai harapan untuk menerima balasan, bukanlah kebaikan lagi namanya, melainkan penipuan, malah pemerasan! Melakukan perbuatan yang bersifat kebajikan haruslah berdasarkan perasaan hati yang bersih, berdasarkan prikemanusiaan yang mewajibkan setiap manusia berlaku baik. Haruslah digerakkan oleh perasaan kasihan yang sewajarnya, kasih sayang antara manusia. Dengan demikian barulah perbuatan baik itu benar-benar baik dan bersih. Janganlah mengharapkan balasan keuntungan duniawi, bahkan dengan mengharapkan syukur dan terima kasih saja dari yang ditolong, sudah lenyaplah sifat murni dari kebaikan itu, sudah minta DIBELI dengan terima kasih! Kau keliru Li Hoa, kau tersesat dan aku menyesal sekali....."
Terpukul hati Li Hoa mendengar filsafat pemuda yang aneh ini. Tadi ia tidak berterus terang, sekarang melihat pemuda ini dan mengingat bahwa mungkin sekali dalam sepuluh hari ini tidak akan melihat pemuda ini masih hidup, ia mengesampingkan rasa jengah dan malu, lalu berkata,
"Han Sin, memang sejak sebelum berjumpa dengan kau, di dalam hatiku sudah ada keinginan mendapatkan surat wasiat Lie Cu Seng. Maka bukan semata karena surat itulah aku membelamu, biarpun tanpa adanya surat wasiat, aku... aku tetap akan membelamu."
"Hemm, hanya terhadap aku seorangkah perasaanmu itu?"
"Habis, masa terhadap setiap orang aku harus begitu?"
"Seharusnya demikian, harusnya. Bukan hanya terhadap aku."
"Tak mungkin aku harus mempertaruhkan nyawa untuk membela setiap orang."
Sunyi sebentar. "Eh, Li Hoa, kenapa justru terhadap aku kau mempunyai perasaan begitu yakin...... hendak membela mati-matian?"
Li Hoa menundukkan mukanya. Bodoh amat pemuda ini, pikirnya. Mana bisa seorang gadis seperti dia harus mengaku terang-terangan bahwa dia menyinta pemuda itu? "Entahlah, Han Sin. Hanya aku harus, sekali lagi aku harus membelamu, karena... mungkin sekali karena aku tidak suka melihat kau kena celaka."
Han Sin menghela nafas, tidak puas. "Sudahlah, kau memang baik. Sayang kau tidak mempelajari filsafat-filsafat para bijaksawan jaman dahulu. Mari kita lanjutkan perjalanan. Puncak Lu-liang-san sudah nampak, aku ingin bertemu secepatnya dengan Bi Eng. Entah ada apa di sana itu, agaknya orang-orang... tersesat, seperti Hoa Hoa Cinjin berkumpul di sana. Aku kuatir sekali akan diri adikku....."
Maka berangkatlah dua orang muda itu. Han Sin dengan penuh kepercayaan bahwa dia tentu akan dapat bertemu dengan Bi Eng dan menolong adiknya itu. Sebaliknya, Li Hoa penuh kegelisahan, takut kalau-kalau pemuda ini takkan dapat tertolong dari lukanya di sebelah dalam akibat pukulan Hoa Hoa Cinjin.
Mari kita tengok keadaan Bi Eng, gadis lincah jenaka yang memiliki keberanian luar biasa itu. Tanpa menduga sedikitpun juga bahwa ia telah terjatuh ke dalam tangan seorang luar biasa, seorang yang pada nona ini mengikuti Bhok-kongcu menuju ke Lu-liang-san. Memang sukarlah menyangka pemuda ini sebagai seorang jahat. Sikap lemah lembut, bicaranya manis budi, gerak-geriknya seperti seorang sastrawan muda, seorang kongcu (tuan muda) yang betul-betul memiliki kepandaian sastra dan silat (bun-bu-coa-jai).
Lebih percaya lagi Bi Eng kepada pemuda itu ketika mendapat kenyataan betapa di sepanjang perjalanan mereka berdua menuju ke Lu-liang-san, pemuda itu memperlihatkan sikap yang menghormat sekali, sama sekali tak pernah memperlihatkan kekurangajaran. Bermalam di rumah penginapan, selalu Bhok-kongcu memilihkan kamar terbaik bagi Bi Eng dan dia sendiri memilih kamar sederhana. Malah pernah terjadi ketika hanya mendapatkan sebuah kamar karena semua kamar penuh, pemuda ini tidur di depan pintu kamar, di atas bangku sebagai seorang jaga malam!
Selain itu, setelah melakukan perjalanan berdua, Bi Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar pandai sekali dalam ilmu kesusasteraan, pandai melukis, pandai menabuh Khim dan meniup suling, jago dalam main catur dan mengubah sajak!
Sebentar saja gadis yang masih hijau ini menjadi tertarik dan menganggap bahwa pemuda itu malah lebih hebat dari pada kakaknya, Cia Han Sin! Makin tebal keyakinannya bahwa pemuda yang tampan dan aneh ini memiliki kekuasaan dan pengaruh yang amat besar ketika di manapun juga orang-orang selalu menerimanya dengan penuh penghormatan dan takut-takut. Hanya setelah mereka berada dekat Lu-liang-san dan melalui dusun-dusun, penduduk dusun tidak ada yang mengenalnya dan hal ini agaknya menyenangkan hati Bhok-kongcu.
"Menyenangkan sekali...." Ia memuji ketika melihat penyambutan sederhana dari pemilik warung di sebuah dusun. "Sewajarnya dan sederhana mereka, orang-orang dusun itu. Tidak dibuat-buat dalam sikap, tidak menjilat-jilat, sewajarnya sesuai dengan alam. Alangkah bedanya dengan sikap orang-orang kota, jemu aku dibuai penghormatan mereka."
"Memang kehidupan yang tenteram di dusun membuat sikap orang menjadi sederhana dan wajar," sambung Bi Eng yang teringat akan kata-kata kakaknya. "Biasanya, bodoh mendatangkan jujur dan sederhana, sebaliknya pintar mendatangkan curang dan mewah. Betulkan ini, Bhok-kongcu?"
Ucapan ini tanpa disengaja menyindir keadaan kongcu itu yang mewah dan pesolek, dan baru setelah mengucapkan kata-kata yang dikutipnya dari omongan-omongan yang pernah ia dengar dari Han Sin, gadis ini tersadar bahwa tanpa disengaja ia menyindir. Dasar ia jenaka dan lincah, ia malah menambahkan, "Ah, tidak tahunya kata-kata itu seperti menyindir kau yang suka akan berpakaian indah dan mewah. Jangan kau marah, Bhok-kongcu!"
Bhok-kongcu tertawa terbahak, pada wajahnya yang tampan dan putih itu tidak nampak perubahan apa-apa. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata. "Tidak bisa begitu. Kebodohan dan kepintaran tidak bisa disatu padukan dengan kejujuran dan kecurangan. Tidak kurang banyaknya orang pintar yang jujur dan orang bodoh yang curang."
Bi Eng semenjak kecil hidup di samping kakaknya yang sudah menjadi seorang ahli pikir dan ahli filsafat. Biarpun dia sendiri tidak mempelajari atau tidak suka membaca kitab-kitab kuno, namun dari "dongeng-dongeng" kakaknya, sedikit banyak ia tahu akan filsafat hidup. Setelah merenung sebentar, ia membantah.