Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 13


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




"Hoa Hoa Cinjin locianpwe sudah datang! Silahkan.... silahkan masuk....."

Ji Kak Tow berkata kepada suhengnya setelah saling pandang dengan suhengnya ini. "Diapun pembantu Bhok-kongcu? Hebat. Dengan adanya dia di sini tak perlu lagi bicara tentang jago silat nomor satu!" Ji Kong Sek mengangguk-angguk sambil memandang keluar.

Dari luar bertiup angin dan tahu-tahu seorang tosu bertubuh tegap dan gagah menyeramkan masuk ke ruangan itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan yang amat menarik adalah sepasang matanya yang tajam dan liar, bukan seperti mata manusia lagi. Atas sambutan Bhok-kongcu yang amat menghormat, ia hanya membalas dengan menjura, sikapnya dingin dan tenang. "Bhok-kongcu sudah berhasil mengumpulkan banyak pembantu, itu bagus," kata Hoa Hoa Cinjin dengan suaranya yang serak seperti suara burung gagak. "Akan tetapi harus dipilih betul-betul jangan hanya mengumpulkan segala kantong nasi yang tiada gunanya."

Dengan matanya yang luar biasa tosu ini menyapu semua tamu di situ. Tak seorangpun berani menentang pandang mata yang hebat ini. Pandang mata Hoa Hoa Cinjin terhenti pada dua orang tosu Cin-ling-pai. It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang berani menentang pandang matanya dengan tabah.

"Kalian ini tosu-tosu tertua dari Cin-ling-pai, apa buktinya bahwa kalian benar-benar hendak membantu pemerintah baru? Kalau kalian tidak bisa menyeret sute-sute kalian Cin-ling Sam-eng dan dihadapkan kepada Bhok-kongcu, siapa percaya bahwa kalian benar-benar hendak mengabdi dengan hati bersih?"

Dua orang tosu itu berubah air mukanya, dan Bhok-kongcu segera berkata. "Ji-wi tosu, siauwte percaya penuh bahwa ji-wi tentu akan dapat memenuhi permintaan Hoa Hoa Cinjin yang memang sepantasnya ini. Siauwte menanti di sini selama satu bulan."

Ucapan ini merupakan perintah, juga merupakan ujian bagi kesetiaan dua orang tosu Cin-ling-pai itu. It Cin Cu dan Ji Cin Cu bangkit berdiri, menjura dan berkatalah It Cin Cu. "Dalam waktu sebulan pasti pinto berdua akan membawa para sute datang menghadap Bhok-kongcu." Setelah berkata demikian, keduanya berkelebat pergi dan turun dari puncak Lu-liang-san.

"Kongcu, bocah she Cia itu sedang menuju ke sini. Dia agaknya dilindungi oleh Thio-siocia. Hemmm, sikap Thio-siocia amat aneh, harap kongcu berhati-hati terhadapnya. Dua orang puteri Thio-ciangkun itu makin lama makin mencurigakan."

Bhok-kongcu mengangguk-angguk, senyumnya berubah pahit. "Memang banyak terjadi hal aneh, locianpwe. Seperti baru-baru tadi, seorang kawan baruku, nona Cia telah diculik oleh nona berkedok. Siauwte pernah mendengar bahwa locianpwe mempunyai seorang murid perempuan yang selalu berkedok. Entah dia......"

HOA HOA CINJIN mengeluarkan suara aneh, lalu mengomel, "Kau tahu satu tidak tahu dua, kongcu. Apa hatimu akan senang kalau melihat nona Cia itu dibuntungi hidungnya oleh pembantumu? Ha ha ha!"

Bhok Kian Teng menjadi pucat dan ia cepat menengok ke belakang di mana Leng Nio berdiri dengan wajah pucat pula. "Aku.... aku hanya mengancamnya, kongcu, karena dia hendak melarikan diri," kata Yo Leng Nio kepada Bhok Kian Teng. Pemuda ini mengangguk, percaya akan keterangan Leng Nio.

Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba meloncat keluar dan di lain saat ia sudah melempar tubuh Bi Eng ke dalam ruangan itu. Tadinya Bi Eng kaget setengah mati ketika tahu-tahu ada orang melayang ke dekatnya, akan tetapi sebelumnya ia sempat bergerak, orang itu sudah mencengkeram pundaknya dan melemparkannya ke dalam ruangan. Terpaksa Bi Eng menggunakan ginkangnya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya dan turun dengan tenang sambil menghadapi Bhok-kongcu.

"Hoa-ji, turunlah kau," terdengar Hoa Hoa Cinjin berseru sambil memandang keluar.

Terdengar jawaban suara merdu dari luar yang gelap, "Tak usah, gi-hu. Biar aku di sini saja, terlalu banyak orang menjemukan di sana."

Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. "Sesukamulah, akan tetapi coba kau amat-amati di luar, jangan sampai Thio-siocia membawa bocah she Cia itu ke lain tempat."

Pada saat itu terdengar suara nona Thio Li Hoa yang nyaring di luar pintu. "Hoa Hoa Cinjin, jangan menjual omongan busuk. Aku datang bersama Cia Han Sin. Ayoh kaukeluarkan obat pemunah pukulanmu yang busuk beracun!" Dan muncullah Li Hoa bersama Han Sin yang menggandeng tangan Siauw-ong.

Diam-diam Hoa Hoa Cinjin memandang penuh perhatian dan kagetlah dia. Kenapa pemuda itu tidak kelihatan seperti menderita sakit? Ia tahu betul bahwa beberapa hari yang lalu ia melukai pemuda ini dengan pukulannya Tong-sim-ciang (Pukulan Menggetarkan Jantung) dan dalam waktu sepuluh hari kalau tidak dia obati, tentu akan mati. Kenapa sekarang nampak segar bugar seperti tidak menderita sama sekali?

Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa dengan lweekangnya yang luar biasa, ditambah daya tahan dari racun Pek-hiat-sin-coa ditubuhnya, jangankan baru pukulan Tong-sim-ciang, biarpun pukulan sepuluh kali lebih jahat, belum tentu akan dapat merampas nyawa pemuda ini.

"Sin-ko.....!" Bi Eng melompat dan menubruk kakaknya.

"Eh, Bi Eng.....!" Han Sin merangkul adiknya penuh kasih sayang. "Alangkah senangku bertemu dengan kau dalam keadaan selamat di sini."

Siauw-ong yang nampak girang sekali dan monyet ini lalu menari-nari.

"Sin-ko, banyak sekali orang jahat di dunia ini...." kata Bi Eng dengan suara mengandung kekecewaan dan penasaran.

"Tidak jahat, Eng-moi, tidak jahat. Mereka itu hanya tersesat dari jalan kebenaran, terpengaruh oleh nafsu. Kalau mereka sudah insyaf dan sadar dari pada kesesatan, mereka akan menyesal dan menjadi baik kembali. Juga tidak semua orang tersesat, Eng-moi. Contohnya, seorang pemuda yang bernama Phang Yan Bu adalah seorang baik, juga nona Thio Li Hoa ini amat baik kepadaku. Mereka berdua tidak bisa digolongkan orang-orang yang sesat."

Bi Eng memandang ke arah Li Hoa dengan sinar mata penuh selidik, dan wajahnya berseri ketika mendengar nama Phang Yan Bu. "Kau sudah bertemu dengan saudara Phang Yan Bu? Memang dia orang baik. Koko, akupun tidak mau bilang bahwa semua orang jahat, Bhok-kongcu inipun amat baik kepadaku." Ia menoleh kepada Bhok-kongcu dan memperkenalkan kakaknya. "Bhok-kongcu, inilah kakakku Cia Han Sin."

Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya hati Bi Eng ketika melihat Bhok-kongcu tiba-tiba bangkit berdiri dan dengan suara keren memberi perintah. "Tangkap pemuda ini." Ia memberi perintah kepada Huang-ho Sam-ong, maka tiga orang ini lalu melompat maju dan di lain saat kedua tangan Han Sin sudah mereka pegang dengan kuat. Terlalu heran hati Han Sin melihat ini sehingga ia tidak sempat bergerak, malah tidak ada niat untuk melawan.

Li Hoa melompat maju. "Bhok-kongcu, dia telah terluka hebat oleh pukulan Hoa Hoa Cinjin. Aku minta kau suka menyuruh Hoa Hoa Cinjin mengobatinya lebih dulu. Soal lain dapat diurus belakangan.!"

Bhok-kongcu tersenyum masam. Aha, tidak nyana nona Thio Li Hoa yang biasanya angkuh dan memandang rendah pria, agaknya sekarang hatinya terjerat oleh keturunan Cia! Aneh.... aneh....!"

Merah muka Li Hoa. "Sratttt!" Pedangnya telah tercabut dan ia menudingkan ujung pedang di depan hidung Bhok-kongcu sambil membentak.

"Bhok Kian Teng! Orang lain boleh takut kepadamu dan gentar kepada ayahmu, akan tetapi jangan kira aku Thio Li Hoa boleh kau hina begitu saja!" Gadis ini menggerakkan pedangnya dan "Siuuttt!" pedang itu telah melakukan serangan hebat, menusuk leher Bhok Kian Teng. Inilah hebat.

Bhok Kian Teng atau lebih terkenal Bhok-kongcu adalah seorang yang pada waktu itu memiliki kekuasaan dan kedudukan tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan Thio-ciangkun ayah Li Hoa, jangankan menyerangnya, bersikap kurang ajar saja orang tidak berani. Malah Hoa Hoa Cinjin tokoh besar yang ditakuti orang itupun bersikap hormat dan takut terhadap kongcu ini.

Sekarang Li Hoa mendamprat dan menyerangnya, ini menunjukkan betapa tabah hati nona ini. Memang di antara gadis dan pemuda ini sudah ada permusuhan atau kebencian. Pihak Bhok-kongcu benci karena ketika dahulu ia tergila-gila dan mencoba untuk mengganggu Li Hoa, ia menghadapi dampratan. Pihak Li Hoa memang sudah lama benci melihat tingkah laku pemuda hidung belang ini.

Namun ilmu kepandaian Bhok-kongcu jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian Li Hoa. Diserang secara hebat itu, ia tersenyum saja. Cepat kipasnya ia gerakkan dan tahu-tahu ujung pedang di tangan Li Hoa sudah "ditangkap" oleh kipas itu yang tertutup secara mendadak. Selagi Li Hoa berusaha menarik pulang pedangnya, Hoa Hoa Cinjin melangkah maju dan sekali totok pergelangan nona itu, pedangnya terlepas dan nona itu sendiri terhuyung-huyung dengan lemas.

Bi Eng marah bukan main. Setelah dapat menindas keheranannya, ia melangkah maju dan membentak. "Lepaskan kakakku! Bhok-kongcu, kenapa kau bersikap begini terhadap kakakku? Ayoh, lepaskan dia!"

Bhok-kongcu menggerakkan tangannya dan dilain saat kedua lengan Bi Eng sudah dipegangnya sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi. "Nona Cia, menyesal sekali, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu ini. Jangan kau kuatir, kakakmu tidak apa-apa asal dia mau menunjukkan di mana tempat penyimpanan warisan Lie Cu Seng. Maaf, nona. Aku benar-benar menyesal harus mengecewakan hatimu, akan tetapi kita menghadapi urusan besar sehingga terpaksa aku mengesampingkan perasaan pribadiku." Suaranya benar-benar mengandung penyesalan besar dan sinar matanya dengan lembut memandang Bi Eng, membuat gadis ini bingung dan tidak mengerti.

Pada saat itu terdengar suara tertawa bergelak dan dari luar berkelebat bayangan orang. Bayangan ini menyerbu ke arah Huang-ho Sam-ong sambil berkata, "Han Sin, kau ikut aku!"

Kim-i Tok-ong melihat bahwa yang menyerbu ini adalah seorang kakek pengemis yang rambutnya awut-awutan, suaranya tinggi kecil, dan tangan kirinya memegang sebuah guci arak. Melihat pengemis tua ini datang-datang hendak menarik lengan Han Sin yang menjadi orang tangkapannya, Kim-i Tok-ong serentak mengirim pukulan dengan tangan kirinya ke arah telinga pengemis tua itu. Juga Ban-jiu Touw-ong dan Hui-thian Mo-ong yang serentak mengenal pengemis tua itu, cepat mengirim serangan.

"Hemmm, tiga manusia beracun, pergilah!" Pengemis tua itu yang bukan lain adalah Ciu-ong Mo-kai Tang Pok, menggerakkan guci araknya, sekali gus menangkis serangan Ban-jiu Touw-ong dan Hui-thian Mo-ong, kemudian lengannya yang memegang guci itu ditangkiskan ke arah kepalan tangan Kim-i Tok-ong. Serangan tiga orang itu terpental kembali dan kuda-kuda mereka gugur!

Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak dan tiba-tiba dari mulutnya tersembur keluar sinar kuning emas yang bukan lain adalah arak. Semburan arak ini seperti puluhan batang jarum yang menyerang muka ketiga Huang-ho Sam-ong. Kaget bukan main tiga orang itu dan cepat mereka meloncat mundur karena mereka sudah mendengar akan hebatnya senjata aneh dari Raja Arak ini.

Secepat kilat Ciu-ong Mo-kai sudah menarik lengan Han Sin. Akan tetapi sebelum ia dapat membawa pemuda itu keluar, Hoa Hoa Cinjin bergerak mendekati sambil membentak, "Pengemis busuk, di mana-mana kau mengacau saja!" Sambil berkata demikian ia menggerakkan tangan kiri dan sinar hijau menyambar tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh Ciu-ong Mo-kai. Itulah Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang amat ganas dari Hoa Hoa Cinjin. Hebat kepandaian Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi hebat pula pengemis tua itu.

Sekali ia meniup, semburan arak yang bersisa di mulutnya dengan tepat telah menahan jarum-jarum itu sehingga terdengar suara halus ketika jarum-jarum itu runtuh di atas lantai. Sementara itu, Tung-hai Siang-mo yang tidak mau kalah dalam mencari jasa di depan Bhok Kian Teng, sudah melompat maju. Tamu-tamu lain biarpun rata-rata berkepandaian tinggi, mereka jerih menghadapi Ciu-ong Mo-kai dan tidak berani sembarangan turun tangan. Tung-hai Siang-mo menyerang Ciu-ong Mo-kai dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan tunggal yang keras dan kuat.

"Ha ha, iblis-iblis timur juga menjadi anjing-anjing Mancu? Bagus!" seru Ciu-ong Mo-kai sambil menggerakkan kedua lengan menangkis. Kedua lengannya bertemu dengan lengan lawan dan pengemis sakti ini terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi dua orang lawannya juga terhuyung mundur sampai tiga tindak. Dari sini saja sudah dapat diukur kepandaian tiga orang tokoh besar ini dan ternyata dalam hal tenaga lweekang, pengemis sakti itu masih menang setingkat.

Namun diam-diam Ciu-ong Mo-kai Tang Pok mengeluh. Baru dua orang iblis ini saja sudah amat sukar dikalahkan. Dalam pertandingan sungguh-sungguh, tak mungkin dia bisa menang dalam waktu dua tiga ratus jurus. Apalagi di situ masih ada Hoa Hoa Cinjin.

Hoa Hoa Cinjin menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya yang tinggi. Karena sekarang Ciu-ong Mo-kai tidak lagi memegangi lengan Han Sin, maka iapun diam saja, hanya siap untuk menghalangi apabila pengemis itu hendak membawa pergi pemuda yang diperebutkan itu. Ciu-ong Mo-kai menarik napas panjang, lalu memanggil muridnya.

"Bi Eng, budak tak tahu malu, kesinilah!"

Kaget sekali Bi Eng mendengar makian gurunya ini. "Suhu...." serunya penasaran dan heran.

"Ke sini kau, pergi bersamaku!" bentak lagi gurunya. "Kau sudah begini tak tahu malu bergaul dengan manusia-manusia rendah, memalukan aku saja. Ayoh pergi!" Ia menyambar lengan Bi Eng yang sudah bertindak dekat, lalu membawa muridnya melompat pergi. Pengemis ini maklum bahwa kalau ia mengajak pergi Bi Eng muridnya, takkan ada yang berani menentangnya dan pikirannya ini ternyata tepat. Tak seorangpun melihat kepentingan dalam diri Bi Eng maka tidak ada yang berani mengambil resiko menahan kepergian pengemis itu dengan muridnya.

"Han Sin, kalau kau membuka rahasia warisan, adikmu akan kubunuh!" terdengar Ciu-ong Mo-kai berkata dan suaranya menandakan bahwa dia sudah tiba di tempat jauh.

"Kejar, tangkap pemberontak itu!" Bhok Kian Teng berseru marah. Tentu saja pemuda mata keranjang yang sudah tergila-gila kepada Bi Eng itu tidak rela melihat gadis yang disayanginya itu dibawa pergi.

Banyak kaki tangannya mengejar keluar, akan tetapi di tempat gelap itu tidak kelihatan lagi bayangan Ciu-ong Mo-kai dan Bi Eng. Dengan marah ditahan-tahan Bhok Kian Teng yang tadi ikut mengejar, memasuki lagi ruangan itu dan ia memberi perintah kepada tiga orang hwesio yang sejak tadi berada di situ, "Sam-wi losuhu harap bawa bocah she Cia ini ke dalam kamar tahanan dan paksa sampai dia mengaku dan membuka rahasia warisan Lie Cu Seng!"

Tiga orang hwesio itu bukan lain adalah Thian-san Sam-sian, itu tiga orang hwesio yang dahulu pernah memusuhi Cia Sun ayah Cia Han Sin di Min-san. Mereka memang sudah lama menjadi pembantu-pembantu Bhok-kongcu. Adanya Bhok Kian Teng menyuruh mereka, karena pemuda yang pintar ini tahu akan adanya dendam permusuhan yang terkandung di hati tiga orang tokoh Thian-san itu terhadap keluarga Cia, maka ia maklum bahwa mereka tentu cukup tega dan kejam untuk melakukan penyiksaan terhadap Han Sin.

"Baik, kongcu. Percayalah, pinceng bertiga pasti akan berhasil memaksa dia membuka mulut, biarpun untuk itu pinceng harus menguliti atau membakar dia hidup-hidup!" jawab Gi Ho orang termuda dari tiga hwesio itu.

Dengan kasar mereka menyeret Han Sin. "Tunggu dulu!" kata Hoa Hoa Cinjin. Kakek ini cepat menggerakkan tangan menotok beberapa jalan darah di tubuh Han Sin dan pemuda ini yang masih terlalu heran menyaksikan munculnya Ciu-ong Mo-kai dan dibawanya pergi adiknya oleh pengemis itu, tidak mampu melindungi dirinya. Setelah menotok, Hoa Hoa Cinjin lalu mengeluarkan rantai baja dan membelenggu kaki tangan pemuda itu. "Nah, sekarang seret dia pergi," katanya puas.

Bhok Kian Teng mengerutkan alisnya yang bagus. "Locianpwe, perlu apa mesti begini berhati-hati? Apakah dia berlengan enam berkepala tiga?"

Hoa Hoa Cinjin menarik napas panjang. "Pemuda ini bermata iblis dan aneh sekali, lebih baik jangan sampai gagal."

Sementara itu, Thian-san Sam-sian menyeret tubuh Han Sin yang sudah dibelenggu itu ke dalam. Tiba-tiba Li Hoa melompat dan mendorong mereka dengan marah. "Mundur kalian! Jangan ganggu dia!"

Thian-san Sam-sian sudah mengenal Li Hoa. Mereka takut menghadapi kekuasaan Thio-ciangkun, maka dengan bingung mereka memandang Bhok-kongcu, tak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, setelah Bi Eng hilang, muncul kekejaman Bhok-kongcu dan lenyaplah sifat lemah lembut yang memang palsu dan dia keluarkan hanya di depan Bi Eng. Dengan kecepatan luar biasa pemuda ini sudah meloncat ke depan Li Hoa, kipasnya bekerja dua kali dan Li Hoa roboh tertotok, tak mampu bergerak lagi.

"Bawa dia sekalian ke dalam kamar siksaan, biar dia menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana jantung hatinya disiksa!" katanya sambil menyeringai, kemudian disambungnya kepada Li Hoa. "Thio Li Hoa, kau adalah seorang puteri Thio-ciangkun, akan tetapi sikapmu benar-benar memalukan. Apakah kau mau berpihak kepada pemberontak? Biarlah aku melancangi, kuwakili ayahmu untuk membikin kau merasai sedikit hukuman. Kelak ayahmu akan memaafkan dan berterima kasih kepadaku."

Demikianlah, Han Sin diseret ke dalam kamar siksaan dan Li Hoa terpaksa harus mengikuti karena orang menarik tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya oleh totokan Bhok-kongcu yang lihai. Gadis itu didudukkan di pojok kamar siksa, duduk di lantai tak berdaya. Dengan sedih ia memandang kepada Han Sin yang masih tersenyum tenang.

Pemuda itu tidak begitu kuatir lagi setelah melihat adiknya selamat dan kini adiknya dibawa pergi Ciu-ong Mo-kai. Biarpun sikap pengemis tua itu marah-marah, namun seribu kali lebih baik Bi Eng pergi dengan gurunya dari pada berada di sini, di antara orang-orang yang memusuhinya. Melihat Li Hoa memandangnya begitu sedih, Han Sin berkata perlahan, "Li Hoa, jangan kuatir. Biar dipukul mampus tak nanti aku membuka rahasia itu."

Pemuda itu tahu betul bahwa Li Hoa juga menghendaki warisan itu, maka ia salah kira. Dianggapnya bahwa Li Hoa membelanya mati-matian karena tidak ingin warisan itu terjatuh ke dalam tangan orang lain, maka ia mengeluarkan kata-kata hiburan ini.

Sementara itu, dengan muka menyeringai tiga orang hwesio itu sudah menggosok-gosok tangan, nampaknya puas sekali mendapat kesempatan untuk membalas dendam kepada cucu Cia Hui Gan, yang mereka anggap musuh besar karena Cia Hui Gan dahulu pernah membunuh seorang murid mereka yang terkasih. Mereka tidak berhasil membalas kepada Cia Hui Gan karena sudah keburu tewas, tidak dapat membalas Cia Sun pula karena ketika mereka dulu bermaksud membunuh Cia Sun, muncul Balita yang menolong Cia Sun. Sekarang, mereka dengan mudah saja mendapat kesempatan untuk menyiksa putera Cia Sun, tentu saja mereka yang sudah menjadi gila karena benci dan dendam ini menjadi girang sekali.

"Eh, Orang muda she Cia. Tahukah kau siapa pinceng bertiga?" tanya Gi Ho Hosiang, yang termuda.

"Aku belum mendapat keberuntungan berkenalan dengan losuhu bertiga yang terhormat," jawab Han Sin yang biasa amat menghormat orang-orang beribadat, apalagi terhadap tiga orang hwesio yang berkepala gundul dan berpakaian sederhana, tanda manusia-manusia yang sudah menindas hawa nafsu keduniawian.

Gi Thai Hosiang, yang tertua, tertawa mengejek. "Orang muda, kami adalah Thian-san Sam-sian yang mempunyai dendam dan permusuhan besar dengan kakek dan ayahmu! Sekarang lekas kau mengaku di mana adanya rahasia warisan Lie Cu Seng, kalau kau tidak mengaku, jangan harap kami akan menaruh kasihan lagi kepada kau keturunan musuh besar kami."

"Ah, lebih baik jangan lekas-lekas kau mengaku, agar pinceng puas menyiksamu setengah mampus. Ha ha ha!" kata Gi Hun Hosiang sambil mengepal tinjunya.

Han Sin melengak. Inilah sama sekali tak pernah ia sangka. Mungkinkah ada pendeta-pendeta gundul begini jahat? Benar-benar jauh bedanya dengan apa yang ia baca dalam kitab-kitab. Ia menarik napas panjang dan sambil mendongak pemuda itu berkata, "Sam-wi losuhu. Mengapa kalian begini jauh tersesat? Apakah kalian tidak ingat lagi ujar-ujar Sang Buddha yang kalian puja? Dengar, lupakah kau akan kata-kata ini:

"Usirlah benci, marah, dan nafsu dari pikiranmu,
Jangan hadapi kejahatan dengan kejahatan pula,
Melainkan kalahkan kejahatan dengan kebajikan,
Hadapi kemarahan dengan cinta kasih,
hadapi kejahatan dengan kebajikan,
hadapi ketamakan dengan kedermawanan,
hadapi kebohongan dengan kebenaran.
Karena orang yang dikuasai kebencian dan
kemarahan lalu menyiksa orang lain,
sebetulnya hanyalah akan menyiksa diri sendiri."

"Sa-wi losuhu, sedikit ujar-ujar yang kupetik dari kitab-kitab suci agamamu ini, apakah kalian sudah lupa lagi? Aku tidak takut kalian siksa, juga tidak sudi membuka rahasia yang bukan menjadi hak orang lain. Akan tetapi aku betul-betul kasihan kepada kalian yang sudah menyeleweng terlalu jauh dari pada kebenaran dan dari pada ajaranmu sendiri.

Untuk sejenak tiga orang hwesio itu melengak dan saling pandang. Mereka, pendeta-pendeta Buddha, sekarang mendapat kuliah dari seorang pemuda yang menjadi tawanan! Tentu saja mereka kenal ujar-ujar itu yang terdapat di dalam kitab suci Dham-ma-pa-da. Akan tetapi, sebagaimana patut disayangkan, sebagian besar di antara orang yang mempelajari kebatinan atau agama, hanyalah menghafal dan mempelajari kata-katanya saja tanpa memperdulikan persesuaian antara kelakuan dan kata-kata dalam pelajaran itu.

Alangkah menyedihkan kalau melihat seseorang yang baru saja keluar dari kelenteng setelah mendengarkan atau membaca kitab-kitab pelajaran tentang cinta kasih antara sesama, begitu keluar dari kelenteng serta merta membuka mulut memaki orang atau memukul karena sesuatu hal yang merugikan. Alangkah menyedihkan mendengar seseorang bicara panjang lebar tentang cinta kasih sesama manusia, akan tetapi di dalam rumahnya sendiri selalu ribut dengan anak isteri atau saudara-saudaranya!

Ah, kalau saja manusia bisa menyesuaikan kelakuan dengan isi pelajaran kitab-kitab suci, tidak usah seratus persen, baru sepuluh persen saja, kiranya dunia ini akan aman, tidak muncul oknum-oknum yang angkara murka, ingin menjajah dan menguasai orang lain, ingin enaknya sendiri saja tanpa memperdulikan orang lain, tidak segan-segan mengorbankan kepentingan bangsa atau negara lain demi kesenangan bangsa dan negara sendiri.

Inilah kiranya yang membuat Nabi Locu selalu mencela adanya pelajaran-pelajaran kebatinan, karena agaknya sudah dapat melihat bahwa yang penting adalah si manusia. Sebelum manusia kembali kepada asalnya, yaitu seperti watak anak-anak, putih bersih dan suci, biarpun dilolohi (diberi makan) seribu satu macam pelajaran kebatinan, tetap akan menyeleweng dan makin tersesat.

Demikian pula tiga orang hwesio itu. Karena hati dan pikiran mereka sudah dikotori oleh benci dan dendam, mana sedikit kata-kata Han Sin itu bisa memasuki sanubari mereka? Bahkan ujar-ujar beberapa kitab-kitab tebal sudah mereka lupakan isinya. Dengan marah Gi Hun Hosiang malah mengayunkan kepalan tangan memukul mulut Han Sin. "Plakk!" Anehnya, bukan Han Sin yang roboh, melainkan Gi Hun Hosiang sendiri yang memekik kesakitan sambil memegangi tangannya yang mendadak menjadi matang biru dan bengkak-bengkak!

Kenapa bisa begini? Tiga orang hwesio itu terkejut bukan main. Pemuda tadi sudah ditotok oleh Hoa Hoa Cinjin, kenapa sekarang setelah dipukul malah pemukulnya yang bengkak-bengkak tangannya? Tentu saja mereka tidak tahu bahwa totokan Hoa Hoa Cinjin tadi sama sekali tidak mempengaruhi Han Sin.

Pemuda ini sekarang sudah memiliki kepandaian cara menyalurkan jalan darahnya, sehingga ketika ditotok tadi, otomatis ia menghentikan jalan darahnya dan totokan itu tidak ada artinya. Ia hanya mandah di belenggu karena tadi ia terlalu heran dan kaget. Sekarang begitu menghadapi pukulan, otomatis pikirannya lalu memerintahkan hawa sakti di dalam tubuhnya ke arah bagian yang terpukul sehingga tenaga pukulan Gi Hun Hosiang membalik dan melukai si pemukul sendiri.

Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang tentu saja masih belum percaya bahwa Gi Hun Hosiang tadi memukul dengan tenaga besar dan menjadi korban hawa pukulannya sendiri. Merekapun melayangkan pukulan dan terdengar suara "buk" dua kali ketika pukulan mereka itu mengenai tubuh Han Sin. Akan tetapi, dua orang hwesio inipun memekik kesakitan dan merekapun menjadi terheran-heran dan berbareng marah dan penasaran.

"Bocah setan, kau menggunakan ilmu siluman!" pekik Gi Hun Hosiang.

"Kalian bertiga ini hwesio-hwesio murtad, sudah memukul orang masih memaki-maki lagi," kata Han Sin mendongkol juga. Sementara itu, Li Hoa yang menyaksikan peristiwa itupun menjadi heran bukan main.

Thian-san Sam-sian yang menjadi marah dan penasaran, kini sibuk memikirkan cara untuk menyiksa pemuda aneh itu. Gi Hun dan Gi Ho sudah mencabut pedang dan tasbeh masing-masing, senjata yang mereka andalkan. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Gi Thai berkata.

"Tak usah menggunakan senjata. Bhok-kongcu tidak ingin melihat dia mampus sebelum dia membuka rahasianya."

Setelah berkata demikian, Gi Thai Hosiang lalu mengeluarkan tiga buah obor dan menyuruh dua orang suhengnya menyalakan obor-obor itu. Kemudian ia mengangkat obor itu dan mengancam,

"Cia Han Sin, apakah sekarangpun kau tidak mau mengaku?"

Han Sin menggigit bibirnya. "Hwesio sesat, kau mau bunuh aku boleh bunuh, jangan harap kau dapat memaksaku membocorkan rahasia itu."

Gi Thai Hosiang tertawa mengejek, "Bagus, memang pinceng tidak ingin kau cepat-cepat mengaku. Biar kau rasakan panasnya api, hendak kulihat apakah kau masih bisa menggunakan ilmu siluman lagi." Ia lalu mendekatkan api pada muka Han Sin.

"Sam-wi losuhu, jangan!" Li Hoa menjerit. "Tidak boleh kalian menyiksa dia sampai begitu!"

Akan tetapi, tidak seperti tadi, tiga orang hwesio itu kini tidak menghiraukan larangan Li Hoa. "Thio-siocia harap tenang saja, pinceng bertiga hanya menjalankan perintah Bhok-kongcu." Kata Gi Thai Hosiang sambil mendekatkan api itu pada muka Han Sin. Pemuda itu terhuyung ke belakang dan meramkan mata karena karena merasa amat panas pada mukanya. Akan tetapi dari belakang ia dipapak obor oleh Gi Hun Hosiang sehingga sebentar saja tiga batang obor menyala sudah didekatkan di sekeliling mukanya, seakan-akan kepalanya sedang dipanggang.

Muka pemuda ini menjadi merah sekali dan peluh bercucuran, namun ia hanya menggigit bibir dan mengerutkan kening, sama sekali tidak mengeluarkan suara mengeluh. Melihat pemuda yang dicintainya disiksa begitu rupa, Li Hoa yang tidak berdaya menolong, tidak kuasa memandang lebih lama lagi dan gadis itu membuang muka, Air matanya tak dapat dicegah lagi, turun berlinang dan membasahi kedua pipinya.

"Han Sin "".. kasihan kau "." bisiknya dengan perasaan hancur.

Ia mendengar suara berdebuk dan ketika ia memberanikan hati menengok, ia melihat pemuda itu sudah roboh bergulingan di atas lantai, akan tetapi tiga batang obor itu masih saja didekatkan pada mukanya yang sudah menjadi merah sekali seperti udang direbus! Li Hoa tidak kuat lagi.

"Han Sin, demi keselamatanmu, kau mengakulah. Biarlah warisan terkutuk itu membawa mereka ke neraka jahanam!"

Han Sin membuka matanya yang menjadi merah dan bengkak, ia memandang Li Hoa dan menggeleng kepala. "Tidak bisa, Li Hoa. Aku tidak bisa mengorbankan nyawa adikku ".." suara Han Sin terengah-engah.

"Ha ha ha, kau masih tidak mau mengaku?" ejek Gi Thai Hosiang.

"Bunuhlah ".. bunuhlah "".. aku tidak takut "." Jawab Han Sin. Gi Thai Hosiang marah dan menekan obornya pada leher pemuda itu maka terciumlah bau sangit ketika kulit leher itu termakan api dan melepuh!

"Hwesio keji, tahan!" Li Hoa berseru keras dengan suara penuh ancaman. Gadis ini adalah puteri Thio-ciangkun yang berkuasa besar di kota raja. Biarpun tiga orang hwesio itu sudah mendapat perkenan dari Bhok-kongcu dan kebencian mereka kepada keturunan Cia Hui Gan amat besar, namun terhadap Thio-siocia mereka masih mempunyai rasa jerih. Gi Thai Hosiang memberi tanda kepada dua orang sutenya untuk menunda siksaan itu. Biarpun lehernya melepuh dan sakitnya bukan main, namun tanpa mengeluh Han Sin berdiri tegak.

"Thio-siocia hendak bicara apakah?" tanya Gi Thai Hosiang.

"Biarkan aku bicara dengan dia, tunda siksaan yang keji ini."

Li Hoa lalu menghadap Han Sin, karena biarpun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, ia dapat menggerakkan leher dan dapat bicara seperti biasa. "Han Sin, jangan bodoh kau. Mereka ini mana berani membunuhmu? Bhok-kongcu takkan membiarkan kau terbunuh. Mereka akan menyiksamu setengah mati. Untuk apa kau memberatkan warisan Lie Cu Seng atau warisan siapapun juga lebih dari pada nyawamu? Warisan, betapapun juga, hanyalah warisan duniawi, biarpun di sana ada kitab pelajaran ilmu silat yang bagaimana hebatpun, untuk apa disembunyikan terus dengan taruhan nyawa? Tentang adikmu, percayalah. Tidak ada guru yang mengganggu muridnya. Ciu-ong Mo-kai tak mungkin akan mengganggu adikmu. Diapun bukan orang goblok yang lebih suka melihat kau disiksa sampai mati dari pada memberikan rahasia tempat warisan Lie Cu Seng."

"Tapi ".. tapi ". Kalau warisan terjatuh kedalam tangan orang jahat ". Kalau Eng-moi betul-betul dibunuh suhunya "" apa artinya hidup bagiku?"

"Bodoh benar! Warisan berupa apapun juga terjatuh ke dalam tangan orang jahat, baik harta ataupun kepandaian, itu hanya akan mempercepat mereka masuk neraka! Tentang adikmu, andaikata dia tidak dibunuh, kalau kau mati di sini, bukankah itu sama saja? Apakah dia tidak akan susah setengah mati melihat kau tewas? Han Sin, bukalah matamu, pergunakanlah pikiranmu. Kalau kau menolak permintaan mereka, kemungkinan mati bagimu sudah seratus persen. Kalau menuruti permintaan mereka, kemungkinan mati bagi adikmu hanya sepuluh persen. Kau pilih yang mana?

Han Sin kalah debat. Ia anggap pikiran gadis ini memang tepat sekali. Iapun tidak percaya kalau Ciu-ong Mo-kai akan membunuh adiknya kalau dia memberikan rahasia tempat penyimpanan warisan Lie Cu Seng itu kepada Bhok-kongcu. Ia lalu mengangguk dan berkata kepada Thian-san Sam-sian.

"Katakan kepada Bhok-kongcu bahwa aku akan membawanya ke tempat disimpannya warisan menurut peta yang sudah kuhafal. Akan tetapi bukan sekali-kali karena aku takut akan siksaan kalian, melainkan karena aku setuju akan kata-kata Thio-siocia tadi. Pergilah!"

Tiga orang hwesio itu kecewa. Memang mereka boleh dianggap berjasa telah berhasil menyiksa pemuda ini sampai mengaku, akan tetapi mereka merasa belum puas. Gi Hun Hosiang menyeringai sambil menghampiri pemuda itu. Hatinya masih sakit karena tangan kanannya bengkak-bengkak dan belum sembuh karena tadi ia gunakan memukul Han Sin.

"Enak saja. Dengan kedua kakimu putus kau juga masih dapat membawa Bhok-kongcu ke tempat itu!" Ia mencabut pedangnya dan mengayun pedang ke arah kedua kaki Han Sin.

"Hwesio busuk!" Li Hoa menjerit lalu menutup matanya, tak tahan menyaksikan pemuda yang ia cinta itu dibuntungi kakinya. Akan tetapi ia mendengar suara keras dari beradunya senjata dan terdengar suara keras hwesio itu menjerit kesakitan. Ketika gadis itu membuka matanya, ia melihat Bhok-kongcu sudah berada di dalam kamar itu dan Gi Hun Hosiang menggeletak dengan lengan berlumur darahnya sendiri.

Ternyata pada saat hwesio galak itu hendak membuntungi kaki Han Sin, Bhok-kongcu yang sejak tadi memang mengintai, segera turun tangan mencegah, malah melukai tangan Gi Hun Hosiang. Dan ini ia kerjakan dalam sekejap mata saja, menggunakan biji-biji catur sebagai senjata rahasia. Dapat dibayangkan betapa lihainya pemuda ini.

"Tugasmu hanya menyiksa sampai dia mengaku, tidak boleh menurutkan nafsu dan kepentingan pribadi." Bhok-kongcu mengomel dan Gi Hun Hosiang bersama dua saudaranya membungkuk-bungkuk minta maaf lalu mundur.

Bhok Kian Teng kini menghadapi Han Sin sambil tersenyum, lalu melirik ke arah Li Hoa dengan muka mengejek. Ia makin yakin bahwa Li Hoa ternyata jatuh cinta pada pemuda gunung itu, dan diam-diam ia merasa sakit hati dan cemburu sekali. Pernah ia tergila-gila pada Li Hoa dan ditolak dengan keras oleh gadis itu.

Sekarang ia melihat Li Hoa begitu menyinta Han Sin, bagaimana hati pemuda mata keranjang ini takkan merasa sakit dan iri hati? Tapi, dasar Bhok Kian Teng orangnya luar biasa, perasaan hatinya ini tak terbayang pada wajahnya yang tampan putih itu. Diam-diam ia memutar otak untuk membalas sakit hati ini, maka ia tersenyum kepada Han Sin dan berkata, "Cia Han Sin, apakah kau seorang laki-laki yang boleh dipercaya mulutnya?"

Tentu saja Han Sin menjadi marah. "Saudara she Bhok, aku tidak kenal kau dan tidak tahu kau manusia bagaimana, akan tetapi percayalah bahwa aku Cia Han Sin sekali mengeluarkan omongan takkan kutarik kembali!"

"Ha ha ha, bagus sekali. Kau benar-benar seorang laki-laki sejati. Kau tadi sudah berjanji hendak membawaku ke tempat disimpannya warisan Lie Cu Seng. Apakah kau takkan menjilat kembali ludahmu dan menarik kembali omongan dan janjimu itu?"

Pandai sekali Bhok Kian Teng memanaskan hati orang. Han Sin yang masih hijau itu makin marah, dengan mata melotot ia membentak. "Orang she Bhok, ternyata kau tidak tahu akan aturan. Apa kau kira aku ini orang yang tidak mengikuti syarat kebajikan jin-gi-lee-ti-sin (welas asih, pribudi, peraturan, pengertian dan kepercayaan)? Ucapan yang keluar dari mulut seorang kuncu (budiman) lebih berharga dari pada nyawanya. Tahukah kau?"

Bhok Kian Teng bertepuk-tepuk tangan. "Hebat.... hebat..... pujian nona Bi Eng terhadap kakaknya ternyata tidak berlebihan. Cia Han Sin, kau benar-benar seorang kuncu tulen." Kemudian Bhok-kongcu menoleh pada Li Hoa dan dengan gagang kipasnya ia menotok jalan darah nona ini, membebaskan totokan Hoa Hoa Cinjin tadi. Setelah bebas dari totokan Hoa Hoa Cinjin tadi. Setelah bebas dari totokan, Li Hoa meloncat bangun, memandang kepada Han Sin dengan mata berduka.

"Nona, Thio Li Hoa, benar-benar kaupun harus dipuji. Pandai sekali kau menjalankan siasatmu sehingga bocah she Cia ini masuk perangkap dan mau mengaku di mana adanya warisan yang diperebutkan itu. Ha ha ha, tidak percuma kau menjadi puteri Thio-ciangkun yang sudah menjerat leher ratusan orang pemberontak. Ha ha, jangan kuatir, nona Li Hoa aku sendiri yang akan mencatat jasa-jasamu dan menyampaikan kepada kaisar."

Han Sin kaget sekali, mukanya menjadi pucat dan ia menoleh kepada Li Hoa. "Li Hoa, kau.... kau...." Ia lalu menarik napas panjang untuk menindas perasaannya yang tertusuk dan amat kecewa. Di antara sekian banyaknya manusia sesat yang mengganggunya dan melakukan perbuatan jahat, ia masih terhibur melihat Li Hoa yang ia anggap seorang baik-baik. Dalam diri Li Hoa ia melihat seorang sahabat baik yang melindunginya. Eh, tidak tahunya itu semua hanya siasat. Hal ini membuktikan bahwa gadis itu malah lebih jahat dan palsu dari pada yang lain!

Sementara itu, Li Hoa mendengar kata-kata Bhok-kongcu dan melihat pandang mata Han Sin kepadanya, penuh penyesalan dan kekecewaan, segera melangkah maju. "Han Sin.... aku... aku tidak begitu.... jangan kau menyangka yang bukan-bukan...."

"Ha ha ha, nona Thio Li Hoa. Kurasa tak perlu lagi kau bersandiwara di depan bocah she Cia ini!" Bhok-kongcu memotong cepat. "Bagus sekali siasatmu tadi, berpura-pura membelanya, berpura-pura menangis tidak tega melihat dia disiksa. Bagus pula bujukanmu sehingga dia mau mengaku. Sekarang tak perlu lagi, dia akan membawa kita ke tempat penyimpanan warisan. Ha ha ha!"

"Orang she Bhok, kubunuh kau!" Li Hoa melompat dan menyerang Bhok-kongcu dengan pukulan keras. Namun Bhok Kian Teng dengan mudah mengelak sambil miringkan tubuh, lalu menyampok ke samping. Tubuh gadis itu terlempar ke atas lantai. "Eh, eh, kau berani menyerangku? Kau tentu menghendaki warisan itu, bukan? Celaka, apakah kau hendak memberontak karena warisan itu?"

Benar-benar pandai Bhok-kongcu. Ia bisa mengatur sedemikian rupa sehingga Han Sin terpedaya dan makin marah pemuda ini karena menganggap Li Hoa benar-benar seorang yang berhati palsu. Memang ia percaya bahwa Li Hoa menghendaki warisan, karena bukankah dahulu gadis itu sudah secara terang-terangan menghendaki harta warisan Lie Cu Seng? Kiranya sikap manis dahulu itu adalah karena warisan itu!

"Gadis berhati palsu!" katanya penuh kekecewaan. Li Hoa menjadi demikian berduka dan mendongkol dan akhirnya gadis itu hanya bisa menangis.

Pada saat itu muncullah Hoa Hoa Cinjin sambil tertawa. "Selamat, Bhok-kongcu. Dia sudah mau berjanji hendak membawa ke tempat penyimpanan harta. Lebih baik sekarang saja suruh dia menjadi penunjuk jalan."

Bhok-kongcu sambil tersenyum menjawab, "Cinjin berkata benar, akan tetapi saudara Cia Han Sin masih lelah, perlu beristirahat dulu. Sekarang kuminta kepada Cinjin sukalah memberitahu kepada semua kawan di luar supaya pulang semua. Tentang pertempuran dan pemilihan jago diundurkan, nanti pada cap-gwe-je-it (tanggal satu bulan sepuluh) di istana ayah di kota raja. Diminta saja supaya masing-masing kawan membawa teman-teman baru sebanyak mungkin. Suruh Leng Nio memberi bekal masing-masing seratus tail perak disertai ucapanku selamat jalan."


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


HOA HOA CINJIN mengangguk dan hendak keluar, akan tetapi Bhok-kongcu berkata lagi. "Harap Cinjin menahan Tung-hai Siang-mo ji-wi loenghiong itu untuk menemani kita mengambil warisan. " Hoa Hoa Cinjin mengangguk lagi, diam-diam memuji Bhok-kongcu yang selalu berhati-hati. Memang, semua orang di dunia kang-ouw mengingini warisan itu, maka bukanlah hal yang tidak ada bahayanya kalau nanti mereka mengambilnya. Perlu penjagaan yang kuat. Memang tidak usah menguatirkan sesuatu dengan adanya dia di situ, akan tetapi kalau dibantu pula oleh dua orang iblis dari laut timur itu, kedudukan mereka menjadi lebih kuat lagi.

Setelah Hoa Hoa Cinjin keluar, dengan wajah berseri Bhok-kongcu lalu menghampiri Han Sin, "Saudara Cia, harap kau maafkan bahwa kau tadi telah menderita kaget. Kami tidak bermaksud mengganggumu, hanya warisan Lie Cu Seng itulah yang menimbulkan semua urusan ini. Sekarang kuharap kau suka mengaso dulu dan menerima hidanganku."

Dengan kedua tangannya sendiri Bhok-kongcu melepaskan belenggu pada kaki tangan Han Sin, kemudian menuntun pemuda yang sudah lemas dan sakit-sakit tubuhnya ini menuju ke ruang tengah. Ia menoleh kepada Thian-san Sam-sian supaya keluar dari situ, kemudian kepada Li Hoa ia berkata, "Nona Thio, apakah kau juga hendak melihat aku mengambil warisan itu?" Ucapan ini mengandung ejekan. Li Hoa yang tadi menundukkan muka sambil menangis, sekarang mengangkat mukanya dan sepasang matanya yang indah itu memandang penuh kebencian kepada Bhok-kongcu kemudian memandang kepada Han Sin dengan penuh keharuan.

"Han Sin, berhati-hatilah kau menjaga dirimu," katanya perlahan. Kemudian tanpa pamit kepada Bhok-kongcu, gadis ini melompat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri turun puncak. Bhok-kongcu tertawa bergelak,

"Saudara Cia, kau masih belum berpengalaman. Lain kali jangan kau terlalu mudah tertipu oleh wajah cantik dan omongan manis. Dia itu bersama adiknya, sudah terkenal amat licik dan seringkali menggunakan kecantikan mereka untuk menggoda orang."

Han Sin makin tak senang kepada Bhok-kongcu, juga makin kecewa kalau mengingat gadis itu. Akan tetapi dia diam saja dan karena memang perutnya lapar dan tubuhnya lemas, ia tidak menolak ketika orang menyuguhkan makanan dan arak. Setelah makan minum sampai kenyang, Han Sin lalu tidur di dalam kamar yang indah.

Bhok-kongcu biarpun masih mudah namun pandangannya luas dan kecerdikkannya luar biasa. Sekali bertemu dan melihat sikap Han Sin, ia sudah tahu bahwa pemuda Min-san itu adalah seorang kutu buku yang terlalu banyak dipengaruhi kitab-kitab kuno dan karenanya tentulah seorang yang selalu berusaha untuk bersikap sebagai seorang kuncu sebagaimana sering kali dimunculkan sebagai teladan di dalam kitab-kitab. Maka ia segera memegang kelemahan Han Sin, yaitu menyuruh pemuda itu berjanji. Ia yakin bahwa pemuda seperti itu takkan mungkin mau mengingkari janjinya.

Ia tahu pula bahwa pemuda itu sudah menderita hebat, maka perlu diberi makan dan mengaso agar pulih kembali tenaganya. Kalau dipaksa mencari warisan dan terlalu lelah menderita, mungkin akan menjadi nekat karena tidak kuat menahan lagi. Itulah mengapa dia bersikap ramah dan menjamu Han Sin, malah memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menghilangkan lelahnya dan tidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah bangun dan merasa tubuhnya sehat dan segar. Lehernya yang melepuh ternyata telah diberi obat oleh gadis pelayan atas perintah Bhok-kongcu dan bukan main manjurnya obat itu. Rasa sakit sudah lenyap, malah kulit yang melepuh sudah pulih kembali. Ia tidak tahu bahwa obat ini adalah pemberian Hoa Hoa Cinjin, juga ia tidak tahu betapa Hoa Hoa Cinjin diam-diam merasa terheran-heran ketika melihat bahwa pemuda ini sama sekali sudah terbebas dari pengaruh pukulannya.

Tentu saja sebagai seorang tokoh besar, ia tidak mau membicarakan urusan ini dengan orang lain, karena hal ini akan merugikan namanya sendiri. Diam-diam ia menduga barangkali Li Hoa telah berusaha minta pertolongan orang pandai untuk mengobati luka Han Sin. Mungkin Ciu-ong Mo-kai yang telah menyembuhkannya, pikirnya. Mana ia tahu bahwa pemuda itu dengan lweekangnya yang ajaib telah dengan sendirinya melindungi tubuhnya dari pukulannya yang beracun?

Begitu Han Sin bangun, empat orang gadis-gadis pelayan yang mudah dan cantik, dengan sikap genit memikat memasuki kamarnya dan segera pemuda ini mendapatkan pelayanan sebagai seorang kongcu. Han Sin menjadi likat malu-malu, namun ia sama sekali tidak mau melayani sikap mereka yang genit-genit itu. Malah diam-diam ia menjadi jemu dan menyuruh mereka keluar setelah ia menerima bawaan mereka, yaitu air untuk mencuci muka, makanan pagi dan minuman hangat.

Tadinya mereka berkeras hendak melayaninya. Dengan kata-kata halus, senyum manis dan kerling mata memikat mereka membujuk, namun Han Sin tetap menyuruh mereka keluar. Dengan bibir dicibirkan dan dengus mengejek empat orang gadis pelayan yang mendapat tugas menyenangkan hati Han Sin itu terpaksa keluar. Han Sin segera membersihkan diri lalu makan pagi.

Ketika Bhok-kongcu memasuki kamarnya, Han Sin sudah siap. "Selamat pagi, saudara Cia. Apakah kau sudah segar kembali? Sudah siapkah mengantar siauwte pergi?"

"Aku sudah siap," jawab Han Sin sederhana.

Ketika mereka keluar, ternyata Hoa Hoa Cinjin dan kedua Tung-hai Siang-mo juga sudah menanti.

"Di mana tempat penyimpanan itu?" Bhok-kongcu bertanya ketika mereka sudah berada di luar gedung.

"Menurut petunjuk peta yang sudah lenyap, tempat itu berada di lereng sebelah sana. Marilah ikut denganku," jawab Han Sin yang segera melangkah dengan kening berkerut, menuruni puncak. Pemuda ini mencurahkan pikirannya, mengingat-ingat letak tempat penyimpanan itu. Di dalam peta sudah dilukis dengan jelas, yaitu di lereng di mana terdapat sebuah batu besar berbentuk segi tiga. Ia sudah hafal benar dan tahu ke mana harus mencarinya. Karena bukit di mana gedung Bhok-kongcu berada inipun tergambar di dalam peta, maka ia tahu bahwa ia harus menuruni puncak itu menuju ke selatan.

Bhok-kongcu mengiringkan Han Sin, diikuti oleh Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo yang menjadi penjaga atau pengawal. Beberapa jam setelah mereka turun dari puncak dan tiba di sebuah hutan yang penuh pohon besar, terdengar suara berkresek di antara daun-daun pohon. Bhok-kongcu mengira bahwa itu adalah suara binatang semcam tupai atau burung besar yang hinggap di dahan pohon. Akan tetapi tiba-tiba Ji Kong Sek tertawa menyeramkan lalu membentak.

"Pengecut, keluarlah!" tangan kirinya bergerak dan sebatang paku atau bor yang disebut Toat-beng-cui (Bor Penyabut Nyawa) melayang ke arah pohon.

"Tahan.....!" Hoa Hoa Cinjin berseru dan lengan bajunya dikipatkan. Angin pukulan dahsyat menyambar dan Toat-beng-hui menyeleweng arahnya, tidak mengenai tempat yang dijadikan sasaran. Ji Kong Sek terheran dan tak senang, akan tetapi segera Hoa Hoa Cinjin berseru ke arah pohon itu,

"Hoa-ji, jangan main sembunyi, bisa-bisa disangka musuh. Ayoh, turunlah, ada apa kau di situ?"

Terdengar suara ketawa merdu sekali disusul suara yang bening dan manja, "Gi-hu pergi, masa anak tidak boleh ikut?"

Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. "Bocah manja! Turunlah di sini."

"Banyak orang di situ, aku malu, gi-hu (ayah angkat)!"

Bhok-kongcu yang segera tertarik dan kagum sekali mendengar suara yang demikian merdunya, tersenyum bertanya, "Cinjin, apakah dia itu puteri angkatmu?"

"Betul, kongcu. Dia nakal dan bandel, bukan aku yang membawanya ke sini." Ucapan ini seakan-akan mengandung permintaan supaya puterinya itu diperbolehkan ikut.

"Tidak apa, tidak apa. Bukankah dia itu puterimu dan boleh dibilang orang sendiri? Suruhlah dia turun, aku sudah lama mendengar namanya dan aku ingin sekali berkenalan."

"Hoa-ji, kalau kau tidak mau turun, kau tidak boleh mengikuti kami. Ayoh, turun!"

"Gihu, kau bilang semua laki-laki jahat belaka, biar dia itu pangeran atau sastrawan. Aku tidak mau berkenalan dengan orang lelaki!" jawab suara itu. Kali ini tidak hanya Bhok-kongcu, malah Tung-hai Siang-mo juga tertawa bergelak.

"Betul sekali! Ha ha ha!" kata Ji Kak Touw yang panjang lehernya.

"Betul apa?" tiba-tiba terdengar suara Han Sin dengan suara mendongkol. Sifatnya sebagai "kuncu" memberontak tiap kali mendengar pendapat yang dianggapnya salah. "Siapa berani bilang semua laki-laki jahat belaka? Laki-laki maupun wanita sama saja, dan sudah jamak kalau ada yang tersesat jalan hidupnya. Akan tetapi tidak kurang yang bijaksana, terutama manusia laki-laki malah. Pernahkah orang mendengar tentang orang bijaksana atau Nabi wanita, kecuali Kwan im Pouwsat seorang? Yang bilang laki-laki semua jahat adalah seorang sombong dan bodoh!"

Bhok Kian Teng bertepuk-tepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. "Hebat, hebat! Saudara Cia Han Sin benar-benar hebat."

Sementara itu wanita yang bicara tadi, yang bukan lain adalah Hoa-ji si gadis berkedok puteri angkat Hoa Hoa Cinjin, bukan main mendongkolnya mendengar ucapan Han Sin. Tampak berkelebat bayangan dan tubuhnya yang ringan seperti sehelai daun kering itu melompat turun dari pohon.

Bhok-kongcu menghentikan tawanya dan mulutnya melongo. Baru sekarang ia melihat gadis berkedok yang pernah ia dengar namanya ini. Bukan main kagumnya melihat bentuk tubuh yang ramping dan molek itu, dengan pakaian sederhana yang ketat. Tubuh seorang gadis muda yang luar biasa indahnya, dan kulit lengan yang keluar dari lengan baju pendek sebatas siku itu amat halus dan putih, dihias gelang perak. Biarpun seluruh kepala ditutup kedok, Bhok-kongcu berani bertaruh batok kepala bahwa di balik kedok itu tentu tersembunyi wajah yang cantik jelita. Hatinya berdebar-debar dan cepat ia menjura dengan senyum manis dan suara ramah.

"Siauwte Bhok Kian Teng merasa bahagia sekali dapat bertemu dengan Hoa-kouwnio (nona Hoa) yang sakti seperti bidadari kahyangan. Benar-benar hati siauwte dipenuhi kekaguman!"

Hoa-ji balas menjura karena maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang amat dihormat oleh ayah angkatnya, namun ia tidak menjawab dan Bhok-kongcu tidak tahu bahwa dibalik kedok itu, mulut si gadis tersenyum mengejek padanya. Akan tetapi muka dibalik kedok itu menghadap kepada Han Sin dan berkata.

"Hemm, berbeda sekali dengan adiknya. Adiknya jenaka dan cerdik, kakaknya kok begini tolol dan sombong. Gi-hu, kau mengantar si tolol ini hendak ke manakah?"

"Kami mengikutinya, dia hendak menunjukkan di mana tempat penyimpanan....."

"Sst. Harap Cinjin hati-hati sedikit. Siapa tahu pohon-pohon ini bertelinga," kata Bhok-kongcu perlahan, memotong kata-kata Hoa Hoa Cinjin. Hoa Hoa Cinjin sadar dan tidak melanjutkan kata-katanya. "Hoa-ji, mari kau ikut dengan kami."

Nona berkedok itu mengeluarkan suara ketawanya yang merdu. "Main teka-teki, apa dikira aku tidak tahu? Hi hi hi!"

Rombongan itu berjalan terus karena Han Sin sudah mulai berjalan terus, tidak mau memperdulikan gadis yang memakinya tolol dan sombong itu. Semua wanita, demikian pikirnya, kecuali Bi Eng, adalah mahluk-mahluk yang berbahaya! Ia teringat akan Li Hoa, akan Leng Nio, lalu gadis-gadis pelayan di gedung Bhok-kongcu yang amat genit-genit menjemukan. Gadis berkedok ini, sebagai puteri angkat Hoa Hoa Cinjin, tentu juga bukan manusia baik-baik, pikirnya.

Bhok-kongcu berjalan mendekati Hoa-ji dan mengajak gadis itu bercakap-cakap dengan sikap memikat sekali. Sebaliknya, dari balik kedoknya, Hoa-ji memandang Bhok-kongcu dengan jemu dan benci. Hanya apabila ia memandang kepada Han Sin saja wajahnya menjadi berseri dan pandangan matanya bersinar kekaguman.

Ia memang kagum melihat melihat pemuda yang kelihatan lemah itu demikian gagah beraninya, sama sekali tidak kelihatan gentar padahal berada dalam tangan orang-orang seperti Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin yang ia tahu amat ganas dan paling gampang membunuh orang. Tokoh yang bagaimana gagahnya di dunia kang-ouw, kalau berada dalam keadaan seperti pemuda Min-san itu, pasti akan pucat dan ketakutan.

Han Sin membawa rombongan orang-orang itu ke sebuah lereng di mana terdapat sebuah batu karang besar segi tiga dan di atas batu itu, bertumpuk di lereng yang terjal, terdapat batu besar. Yang di depan sendiri, di belakang dan agak di atas batu segi tiga, adalah sebuah batu yang amat besar. Di depan batu segi tiga ini Han Sin berhenti.

"Di sinilah tempatnya," katanya singkat.

Bhok-kongcu melompat maju dan melihat keadaan sekitarnya. Bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi tempatnya berada di bagian paling belakang dari Lu-liang-san, jadi agak terpencil dan tersembunyi. Akan tetapi, tidak ada apa-apanya yang aneh, melainkan lereng yang terjal penuh batu-batu yang besar. Ia menjadi curiga dan bertanya, agak ketus. "Cia Han Sin, jangan main-main. Di tempat begini gundul, mana bisa untuk simpan harta pusaka?"

Han Sin menggeleng kepala. "Ucapan seorang laki-laki takkan ditarik kembali. Aku tidak main-main dan memang menurut peta di tempat inilah letaknya. Batu segi tiga ini menjadi tanda yang amat jelas. Menurut peta di belakang batu segi tiga inilah tempatnya." Han Sin menudingkan telunjuknya ke arah batu itu.

Bhok-kongcu menjadi pucat. "Di belakang ini?" Ia memandang lebih teliti. Batu segi tiga itu tidak berapa tinggi, hanya setinggi orang. Akan tetapi tebal dan karena batu itu adalah batu hitam yang sudah tua sekali, maka beratnya tentu paling sedikit ada dua ribu kati! Kalau tempat itu berada di belakang batu segi tiga, berarti bahwa batu itu harus disingkirkan. Ia lalu berpaling pada Hoa Hoa Cinjin dan bertanya,

"Cinjin, tanpa pembantu-pembantu yang banyak, bagaimana mungkin menggeser batu yang besar ini?"

Hoa Hoa Cinjin menggulung lengan bajunya dan menjawab, "Kongcu, dalam urusan ini, tidak baik mendatangkan banyak pembantu. Biarlah pinto mencobanya."

Tosu tua yang bertubuh kekar ini lalu mendekati batu segi tiga dari samping. Ia melihat batu itu hanya bersandar pada tebing karang, tidak menjadi satu dengan karang maka ia merasa masih sanggup menggesernya. Dengan memasang kuda-kuda yang amat kuat, ia lalu menggunakan tenaga Jeng-king-kang (Tenaga Seribu Kati) dan mendorong batu itu. Akan tetapi batu itu tidak bergeming. Terdengar suara tertawa dan ternyata Tung-hai Siang-mo sepasang iblis itu yang tertawa.

Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran. Dikerahkan seluruh tenaga dan dari ubun-ubun kepalanya sampai keluar uap, tulang-tulang tubuhnya berbunyi berkerotokan dan urat-urat di kedua lengannya tersmbul seperti ular melilit-lilit. Batu besar itu bergerak sedikit, namun tetap tidak dapat bergeser. Akhirnya terdengar suara dan batu yang sudah goyang itu membalik sedangkan kedua kaki Hoa Hoa Cinjin amblas sampai selutut ke dalam tanah! Terpaksa tosu itu melepaskan dorongannya dan menyusut peluh. Ia mencabut keluar kedua kakinya dan mencari injakan lain untuk mencoba pula.

"Gi-hu, batu itu terlampau berat. Tak mungkin tenaga seorang manusia menggesernya," kata Hoa-ji mencegah ayahnya.

"Ha ha ha, kau benar, nona berkedok. Tenaga Hoa Hoa Cinjin seorang mana mampu?" kata Ji Kong Sek mengejek. Adapun Ji Kak Touw tertawa-tawa mendengus.

Hoa Hoa Cinjin sudah melotot. Matanya yang mempunyai sinar menakutkan, luar biasa tajamnya itu seperti mengeluarkan api. Ia marah sekali kepada Tung-hai Siang-mo yang mengejeknya. Melihat ini, Bhok-kongcu mendahuluinya berkata kepada sepasang iblis itu.

"Ji-wi lo-enghiong berdua yang terkenal memiliki tenaga Pai-san-ciang (Tangan Mendorong Gunung), tentu akan dapat mendorongnya."

Sepasang iblis itu saling pandang. Tidak enak kalau mereka diam saja tanpa turun tangan. Maka keduanya lalu menghampiri batu itu. Tadi Hoa Hoa Cinjin mendorong dari kiri, sekarang karena di bagian kiri itu tanahnya sudah amblong terinjak kuda-kuda kaki Hoa Hoa Cinjin, mereka mendorong dari kanan. Berdua mengerahkan tenaga dan menyatukan kekuatan, mendorong batu segi tiga itu.

Kembali batu bergoyang-goyang, akan tetapi tetap tidak dapat bergeser. Sampai merah muka kedua orang itu, juga dari kepala mereka mengebul uap karena mereka mengerahkan seluruh tenaga dalam, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya mereka menyerah dan melepaskan dorongan.

"Ha ha ha! Tenaga Pai-san-ciang kiranya hanya bisa untuk mendorong gunung-gunungan, jangankan mendorong gunung sungguh-sungguh, mendorong batu saja tidak becus. Ha ha ha!" Hoa Hoa Cinjin membalas kedua orang itu dengan ketawa mengejek. Hoa-ji tentu saja membela ayah angkatnya dan nona inipun tertawa merdu dan nyaring.

Tung-hai Siang-mo malu dan marah. "Hoa Hoa Cinjin, kau sendiri tidak becus, kenapa kau mentertawai orang? Setidaknya tenaga kami berdua tidak kalah oeh tenagamu!" kata Ji Kak Touw sambil melotot.

Cari Blog Ini