Kasih Diantara Remaja 16
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Dengan muka masih tersenyum ramah Bhok-kongcu menjawab, "Adikmu itu selamat dan berada di kota raja menanti kedatanganmu. Saudara Cia, apakah kau sudah mendapatkan kitab rahasia itu?"
Diam-diam Han Sin terkejut. Bagaimana pemuda pangeran ini bisa tahu tentang kitab? la menggeleng kepala. "Takkan kukatakan kepadamu, atau kepada siapapun juga. Kau bohong tentang adikku. Kau telah menawannya. Ayoh lepaskan dia!"
Bhok-kongcu mendongkol sekali, akan tetapi masih dapat menahan kemarahannya. la tahu bahwa Han Sin memiliki keberanian dan kekerasan hati luar biasa, maka harus dihadapi dengan lemah-lembut. "Saudaraku yang baik, seorang kuncu tak akan menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkannya. Kau sudah berjanji padaku........"
"Berjanji apa? Berjanji hendak membawamu ke tempat penyimpanan harta peninggalan pahlawan Lie Cu Seng. Bukankah aku sudah membawamu ke sini? Ayoh, jangan banyak cakap, lekas lepaskan adikku!"
Bhok-kongcu seorang cerdik. Melihat pemuda itu tidak mau bicara tentang kitab wasiat, ia menaruh curiga bahwa kitab itu tentu telah ditemukan Han Sin. Maka ia lalu berkata manis,
"Saudara Cia, adikmu selamat di kota raja. Mudah saja melepaskan dia supaya berkumpul lagi denganmu, akan tetapi kitab itu...... kau harus berikan dulu kepadaku sebagai penukaran diri adikmu. Bukankah ini adil?"
Kemarahan Han Sin meluap. Sepasang matanya seperti kilat menyambar ke arah wajah Bhok-kongcu, membuat kongcu itu surut dua langkah saking kagetnya. "Aku tidak mau lagi masuk perangkapmu yang keji!'" seru Han Sin. "Aku tidak sudi berjanji apa-apa, tidak sudi menukar apa-apa. Adikku tidak bersalah, mengapa kau tawan? Ayoh keluarkan!" Dengan penuh kemarahan pemuda ini melangkah maju menghampiri Bhok-kongcu.
Tentu saja Bhok-kongcu tidak takut menghadapi Han Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang hanya berani dan aneh, akan tetapi lemah. Pada saat itu terdengar suara tertawa mengejek dan majulah tiga orang hwesio, menghadang Han Sin. Mereka ini adalah Thian-san Sam-sian, yaitu Gi Ho Hosiang, Gi Hun Hosiang dan Gi Thai Hosiang. Yang tertawa adalah Gi Hun Hosiang, yang sudah mencabut pedang dan tasbehnya.
"Ha-ha-ha, bocah she Cia. Apakah kau masih belum kapok dan minta disiksa lagi seperti dulu? Ingin pinceng mencokel keluar kedua matamu yang seperti mata iblis itu!"
Melihat tiga orang hwesio yang menaruh dendam kepada keluarga Cia itu sudah maju, Bhok-kongcu berkata, "Jangan bunuh dia, tangkap saja!"
Adapun Han Sin ketika melihat tiga orang hwesio yang pernah menyiksanya ini, bangkit kemarahannya. "Kalian ini setan-setan berwajah manusia berselimut pakaian pendeta. Kalian mencemarkan agama dan mengotorkan dunia!" serunya marah sambil maju terus, sama sekali tidak memperdulikan tiga orang itu.
Serentak tiga orang hwesio itu maju dan sesuai dengan perintah Bhok-kongcu, mereka tidak menggunakan senjata, melainkan menggunakan tangan kosong untuk mencengkeram Han Sin. Yang maju lebih adalah Gi Hun Hosiang yang menggunakan tangan kiri menampar kepala dan tangan kanan mengcengkeram pundak.
Han Sin tidak perdulikan serangan itu, hanya menggerakkan tangan kiri mengibas ke depan dan....... tubuh Gi Hun Hosiang terlempar sampai empat meter lebih, bergulingan dan mengaduh-aduh! Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang kaget dan marah sekali. Serentak mereka maju mengirim serangan dahsyat.
Namun, dengan hanya satu kali menggerakkan kedua tangannya, kembali Han Sin membuat dua orang kepala gundul itu terpelanting dan tak dapat bangun lagi. Ternyata Thian-san Sam-sian telah roboh dengan tulang-tulang pundak patah-patah dan menderita luka dalam yang sekaligus melenyapkan sebagian besar dari pada tenaga dan kepandaian mereka. Biarpun Han Sin tidak membunuh mereka, namun selanjutnya tiga orang hwesio ini tidak dapat berbuat sewenang-wenang lagi karena mereka telah menjadi penderita-penderita cacat di sebelah dalam dadanya!
Semua orang melongo melihat kejadian ini. Akan tetapi Tok-gan Sin-kai yang tidak kenal gelagat, masih tidak percaya dan menganggap hal itu bisa terjadi karena kesembronoan dan kebodohan Thian-san Sam-sian. Tanpa menanti perintah lagi ia meloncat maju dan menyerang dengan tongkatnya. Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai, ilmu tongkatnya berbahaya dan lihai sekali.
Tentu saja Han Sin mengenal pengemis mata satu ini. Pernah dulu ia diberi hadiah Coa-kut-teng (Paku Tulang Ular) oleh pengemis ini sampai ia menderita luka di pundaknya dan terkena racun. Ia tahu bahwa di ujung tongkat pengemis mata satu itu terdapat alat senjata rahasia paku itu.
"Tua bangka keji, apa kau hendak menggunakan lagi paku-paku busukmu?" katanya sambil tersenyum mengejek. Watak Han Sin benar-benar banyak berubah setelah ia "bertapa" selama empat puluh hari di dalam guha. la kini menjadi jenaka, tidak pendiam lagi seperti dulu. Welas asih terhadap sesama manusia memang sudah menjadi dasar wataknya, hanya sekarang ia tidak menurutkan perasaan ini secara membuta. la bukan seorang yang bersemangat tahu lagi, ia bukan seorang pemuda yang berjiwa lemah. Ia harus membasmi kejahatan!
Tok-gan Sin-kai yang memandang rendah pemuda ini, sudah melakukan gerakan pertama, tongkatnya menyambar dan menusuk ke arah ulu hati Han Sin. Pemuda itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali, malah menanti sampai ujung tongkat mengenai kulitnya. Alangkah kagetnya hati Tok-gan Sin-kai ketika ia merasa ujung tongkatnya meleset ketika mengenai kulit dada pemuda itu, seakan-akan baja yang keras dan licin. Sebelum ia menarik kembali tongkatnya, Han Sin sudah menyambar tongkat itu dan seperti mematahkan sebatang biting, ia patah-patahkan tongkat itu lalu menjumput tujuh buah paku yang tersembunyi di pucuk tongkat.
"Makanlah paku-pakumu!" katanya sambil melemparkan paku-paku itu ke arah pemiliknya. Tok-gan Sin-kai kaget dan mencoba untuk mengelak, namun terlambat. Ia merasa sakit pada kedua pundak, kedua siku, kedua lutut dan roboh terguling seketika itu juga. Ternyata di antara tujuh batang paku, yang enam telah menancap di kedua pundak, kedua lengan dan kedua kaki membuat urat-uratnya di tempat itu putus dan selanjutnya, seperti halnya Thian-san Sam-sian, pengemis mata satu ini juga menjadi seorang tak berguna lagi, cacat selama hidupnya!
Gegerlah semua orang yang menyaksikan kejadian ini. Bhok-kongcu hampir tak dapat mempercayai pandangan matanya sendiri. Sekilat pikiran melintas dalam benaknya. Tentu pemuda Min-san itu sudah menemukan kitab wasiat! Akan tetapi mungkinkah hanya dalam puluhan hari saja sudah dapat mewarisi isi kitab dan memiliki kepandaian sehebat itu? Wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat Han Sin dengan langkah tegap menghampirinya dan mulut pemuda itu terus mendesak,
"Di mana Bi Eng? Lepaskan dia!"
Bhok-kongcu bukanlah pemuda yang nekat mengandalkan kepandaian sendiri. Dia lebih mengandalkan kecerdikannya. Melihat keadaan Han Sin, dia tidak mau berlaku sembrono, cepat ia memberi perintah,
"Tangkap dia!".
Puluhan orang kaki tangannya yang tadinya bungkam dan tak bergerak saking herannya melihat pemuda aneh itu merobohkan tiga orang tokoh besar secara demikian mudah, kini mendengar perintah majikannya, serentak maju menyerang Han Sin. Pemuda ini makin mendongkol.
"Kalian semua bukan orang baik-baik!" tegurnya dan ketika kedua lengannya bergerak, orang-orang yang mengeroyok roboh bergelimpangan. Betapapun marah hati Han Sin, pemuda ini masih tidak tega untuk membunuh orang, maka ia membatasi tenaganya dan hanya merobohkan para pengeroyoknya itu dengan mematahkan tulang-tulang mereka.
Keadaan menjadi ribut dan makin lama makin banyak orang roboh tumpang-tindih, membuat yang lain menjadi jerih dan ragu-ragu untuk maju. Ketika akhirnya Han Sin terbebas dari pengeroyokan dan tak seorangpun berani maju, ia mendapatkan bahwa Bhok-kongcu sudah tidak berada di tempat itu lagi, kongcu yang cerdik itu ternyata telah kabur! Han Sin tidak mau perdulikan, Bhok-kongcu, sebaliknya ia menyambar lengan seorang pengeroyok dan membentak,
"Ayoh katakan, di mana adanya nona Cia Bi Eng, adikku!" Pandang matanya yang tajam luar biasa itu membuat, orang yang dipegangnya ketakutan setengah mati.
"Ampun, taihiap........ nona itu dibawa oleh Tung-hai Siang-mo ke kota raja......."
"Siapa yang menyuruh dan dibawa ke rumah siapa?"
"Bhok-kongcu yang memerintah dan....... tentu saja dibawa ke rumah Bbok kongcu......."
Han Sin melepaskan lengan orang, lalu pergi turun gunung tanpa banyak cakap lagi. Tujuannya hanya satu, menolong adiknya di kota raja kemudian baru bersama adiknya melakukan perjuangan bersama para patriot bangsa lainnya, mengusir kaum penjajah yang hendak mencengkeram tanah air!
Dengan melakukan perjalanan cepat tak kenal lelah Han Sin turun dari puncak Lu-liang-san sebelah timur dan terus menuju ke timur, ke kota raja. Ia merasa tubuhnya amat ringan dan kuat, jauh sekali bedanya dengan sebulan yang lalu. Bukan main girangnya karena ia maklum bahwa kesemuanya ini adalah berkat ketekunannya mempelajari ilmu dari kitab Thian-po-cin-keng yang sudah ia bakar ketika ia hendak keluar dari dalam guha. Kitab itu sudah dibakarnya karena ia maklum bahwa banyak sekali tokoh kang-ouw menghendaki kitab itu, maka untuk mencegah keributan lebih lanjut, ia membakar kitab itu sampai habis menjadi abu.
Ketika pemuda ini sedang melakukan perjalanan yang sukar melalui Pegunungan Tai-hang-san, di lereng gunung yang amat sunyi dan indah pemandangannya, tiba-tiba ia mendengar suara orang dari jauh. Hatinya tertarik, apa lagi ketika mendengar suara-suara itu seperti dua orang tengah berselisih.
Segera ia mengerahkan ginkang dan berlari ke arah suara itu. Makin dekat ia menjadi makin tertarik karena mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah Hoa Hoa Cinjin! Cepat ia menyelinap dan bersembunyi di belakang batu besar ketika sudah tiba dekat dan melihat benar-benar Hoa Hoa Cinjin sedang bercekcok dengan seorang kakek bertopi lebar yang bertubuh jangkung kurus.
Kakek ini membawa sebuah pikulan yang ditaruhnya di tanah, pakaiannya sederhana, wajahnya keren dan sepasang matanya bersinar-sinar. Namun mulutnya selalu tersenyum dan dari mulutnya inilah nampak kesabaran dan kebaikan hatinya.
"Hoa Hoa Cinjin," terdengar kakek bertopi itu berkata, suaranya mengandung kehalusan dan kesabaran, "dahulu kau menewaskan suteku Koai-sin-jiu Bhok Kim, aku diam saja karena itu adalah urusan pribadi antara dia dan kau. Juga kau menyerang dan memukul murid keponakanku, Ang-jiu Toanio, inipun masih kusabarkan karena mungkin sekali dia yang menyerangmu lebih dulu. Dalam pertempuran, kalah menang bukan soal aneh dan sudah semestinya. Akan tetapi kau orang tua sampai menghina yang muda, menghina muridku Phang Yan Bu, malah mengucapkan kata-kata menantangku. Hemmm, tosu sombong, hal ini tidak bisa kudiamkan saja!"
Hoa Hoa Cinjin tertawa seram, melengking nyaring seperti suara setan. Kemudian ia berkata mengejek, "Heh heh, tukang obat. Percuma saja kau berjuluk Yok-ong (Raja Obat). Ternyata kau tidak mampu mengobati perempuan galak itu dan sekarang karena penasaran kau mencariku. Ha ha ha! Kepandaianmu mengobati sudah kulihat, hanya kepandaianmu silat yang belum. Hendak pinto lihat apakah sama rendahnya dengan kepandaianmu tentang pengobatan!"
Setelah berkata demikian, Hoa Hoa Cinjin bersiap untuk melakukan penyerangan. Kakek bertopi itu yang bukan lain adalah Yok-ong Phoa Kok Tee, guru Yan Bu dan merupakan seorang tokoh yang aneh dan jarang keluar di dunia kangouw, bersikap tetap sabar.
"Hoa Hoa Cinjin, memang aku sengaja hendak mencoba kepandaianmu. Orang keji macam kau ini kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi, hanya akan menimbulkan bencana saja bagi orang baik-baik."
"Tukang obat sombong, kaulah yang akan mampus!" Hoa Hoa Cinjin mengakhiri seruannya dengan sebuah serangan kilat. Pukulannya mengeluarkan hawa menyambar dahsyat dan melihat warna lengannya itu yang bersemu hijau, tahulah Yok-ong Phoa Kok Tee bahwa lawannya itu telah mempergunakan Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) yang amat berbahaya.
Namun ia tidak menjadi gentar karenanya. Untuk menghadapi Cheng-tok-ciang lawan, ia lalu menggunakan ilmu totoknya yang paling lihai, yaitu yang disebut It-yang-ci. Raja Obat ini sudah melatih diri dengan ilmu ini puluhan tahun lamanya. Tidak saja totokan satu jari ini dapat dipergunakan untuk mengobati orang-orang terluka dalam, akan tetapi juga dapat dipergunakan dalam pertempuran sebagai ilmu yang dahsyat. Hawa totokannya saja cukup untuk merobohkan orang, sehingga ilmu ini memang tepat untuk menghadapi Cheng-tok-ciang yang berbahaya.
Pertempuran berlangsung dengan hebat, keduanya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian. Diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat lawannya. Baru kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, dan Ilmu Totok It-yang-ci yang sudah lama ia dengar itu, baru sekarang ia buktikan kelihaiannya.
Di lain pihak, Phoa Kok Tee juga amat kagum. Pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh Hoa Hoa Cinjin mengandung tenaga mukjizat yang sukar ia lawan. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, baru ia dapat mengimbangi saikong itu.
Sementara itu, di tempat sembunyinya Han Sin menonton pertempuran. Ingin ia muncul dan membantu kakek bertopi. Ia maklum bahwa Hoa Hoa Cinjin jahat, akan tetapi ia tidak mengenal kakek bertopi, bagaimana ia bisa membantu? Siapa tahu kakek bertopi itupun bukan manusia baik-baik?
Pada saat itu, pertempuran sudah mencapai puncaknya dan keduanya sudah mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang kalau mengenai lawan tentu akan mendatangkan bencana hebat. Melihat ini, Han Sin menjadi tidak tega juga. la tidak dapat mendiamkan saja dua orang berkepandaian tinggi hendak saling bunuh. Dari sambaran-sambaran angin pukulan kedua fihak, sebagai seorang ahli dia sudah tahu akan bahayanya pertempuran itu. Maka ia lalu melangkah keluar dari tempat sembunyinya, langsung menghampiri tempat pertempuran dan membentang kedua lengan di tengah-tengah antara mereka.
"Hoa Hoa Cinjin, di mana-mana kau hendak membunuh orang? Bagus!"
Hoa Hoa Cinjin dan Phoa Kok Tee kaget setengah mati ketika tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terpental mundur, tertolak oleh tenaga dahsyat sekali namun tidak merupakan dorongan yang berbahaya, hanya bertenaga kuat. Melihat bahwa yang datang adalah Han Sin, hampir Hoa Hoa Cinjin melompat dan menangkapnya. Namun ia cerdik.
Menghadapi Phoa Kok Tee saja sukar baginya mencari kemenangan, apa lagi sekarang ada pemuda aneh. Siapa tahu kalau-kalau pemuda aneh ini benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi? Tiba-tiba ia mendapat akal baik. Sebagai tokoh kang-ouw tentu si tukang obat juga ingin mendengar tentang kitab rahasia Tat Mo Couwsu atau hendak mendapatkannya. Maka ia lalu menegur.
"Kiranya Cia Han Sin! Kau telah menipu kami, setelah memasuki guha kau membawa lari kitab pusaka peninggalan Lie Cu Seng. Ayoh, kembalikan kitab itu!"
Han Sin tertawa. "Kitab memang ada, akan tetapi bukan untuk manusia jahat. Sekarang sudah kubakar, kukirim kembali kepada mendiang Tat Mo Couwsu. Kau mau apa?"
Melihat sikap pemuda ini menantang, Hoa Hoa Cinjin tertegun juga. Ia melirik Phoa Kok Tee, menaksir-naksir apakah si Raja Obat itu akan membantu Han Sin kalau ia menyerang pemuda ini dan menawannya.
"Yok-ong, pemuda ini merampas kitab pusaka, mari kita tangkap dia. Kita bagi bersama kitab itu," ia memancing.
Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum mengejek. "Tosu jahat, kau kira semua orang sejahat dan seserakah engkau? Tak sudi aku orang tua menghina orang muda."
Bukan main mendongkolnya hati Hoa Hoa Cinjin. Ia cemberut dan mengebutkan ujung lengan bajunya. "Sudahlah, dasar kau tua bangka tak tahu diri. Biar lain kali kita lanjutkan pertempuran kita." Ia lalu berkelebat dan pergi dari tempat itu.
Sementara itu, Phoa Kok Tee sudah amat tertarik ketika melihat munculnya pemuda ini. Ia hanya menduga-duga karena iapun tidak bisa percaya begitu saja kalau pemuda ini tadi telah mengeluarkan ilmunya untuk memisah. Masa sekali membentang lengan bisa membuat dia terhuyung ke belakang?
"Jadi kau bernama Cia Han Sin? Kau putera mendiang Cia Sun?"
Han Sin bersikap waspada. Lagi-lagi orang mengenalnya, apakah juga hendak merampas kitab yang sudah dibakarnya? Ia menjura. "Betul, locianpwe, aku bernama Cia Han Sin putera Cia Sun. Aku mendengar tadi kau orang tua menyebut bahwa Phang Yan Bu adalah muridmu. Dia seorang yang amat baik, sayang ibunya galak sekali......."
Yok-ong tertawa. "Akupun mendengar namamu dari mereka."
Han Sin teringat akan peristiwa ketika anak dan ibu itu diserang Hoa Hoa Cinjin, maka ia segera bertanya, "Bagaimana dengan keadaan nyonya tua itu? Apakah lukanya akibat pukulan Hoa Hoa Cinjin sudah sembuh?"
Yok-ong menggeleng kepala. "Marilah kau ikut denganku. Ang-jiu Toanio tak tertolong lagi dan ia berpesan kalau aku bertemu denganmu, supaya membawamu kepadanya."
"Memanggil aku? Ada apakah?"
"Entah, urusan penting katanya. Mengenai adikmu. Ayoh lekas, atau kau tidak mau memenuhi permintaan orang yang sudah hampir mati?"
"Tentu saja aku mau!" Cepat Han Sin menjawab, apa lagi karena urusan itu mengenai diri adiknya. Ada urusan apakah? Jangan-jangan Bi Eng tidak berada di kota raja, siapa tahu sudah berada bersama Yan Bu!
Phoa Kok Tee cepat meloncat dan lari setelah menyambar pikulannya. Mula-mula ia berlari agak lambat karena takut pemuda itu tertinggal. Akan tetapi, ia melihat Han Sin dengan mudah dapat mengimbangi kecepatannya, maka ia lalu menambah kecepatan.
Ketika menoleh dan melihat Han Sin masih berada di dekatnya, kakek ini mulai terheran-heran dan mengerahkan semua tenaga dan ginkangnya untuk berlari secepat terbang melalui jurang-jurang dan bukit. Akan tetapi, ketika ia melirik, ia melihat pemuda itu dengan enaknya masih berada dekat di belakangnya. Kagetlah Yok-ong dan mulai ia mengerti bahwa keturunan orang-orang gagah di Min-san ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi!
Dua orang itu berlari cepat sekali menuruni Bukit Tai-hang-san di sebelah timur dan beberapa jam kemudian Phoa Kok Tee membawa Han Sin masuk ke dalam sebuah hutan kecil yang penuh bunga. Di tengah hutan terdapat sebuah pondok bambu dan keadaan di situ amat indah. Tanaman daun-daun obat dan bunga-bunga memenuhi tempat itu, burung-burung berkicau di udara dan keadaan yang sunyi dan menyenangkan ini benar-benar amat mengamankan hati.
Ketika mereka memasuki pintu pondok, Han Sin melihat Yan Bu duduk bertopang dagu, nampaknya sedih benar. Pemuda ini mengangkat muka dan girang rnelihat gurunya datang bersama Han Sin. Juga Han Sin girang dan segera menegurnya,
"Saudara yang baik, kau telah berlaku baik sekali kepadaku dan kepada adikku. Baru sekarang aku sempat bertemu dan bercakap denganmu. Terima kasih atas semua kebaikanmu dahulu."
Yan Bu terpaksa mengusir kemuraman wajahnya dan menjawab sederhana, "Jangan berlaku sungkan, saudara Cia. Ibu ingin sekali bertemu dan bicara denganmu. Kau sudah mau datang ini saja menandakan kebaikan hatimu."
Phoa Kok Tee dan Yan Bu mengajak Han Sin memasuki sebuah kamar bersih di sebelah kiri dan di atas sebuah pembaringan kelihatan Ang-jiu Toanio berbaring. Keadaannya payah dan lemah sekali, wajahnya kurus dan pucat. Nyonya tua ini kehilangan kegarangannya dan sekarang dengan lemah ia menoleh, memandang kepada Han Sin yang datang bersama Yan Bu dan Phoa Kok Tee. Untuk sesaat sepasang matanya bersinar seperti orang mau marah, akan tetapi hanya sedetik dan lenyap kembali sinar itu.
"Kau...... kau putera Cia Sun...." katanya perlahan.
Han Sin memberi hormat dan tidak tahu harus bicara apa. Maka ia hanya berkata perlahan, "Menyesal sekali toanio dilukai orang jahat tanpa dapat menolong, kuharap saja toanio segera sembuh kembali."
"Orang muda, sebelum aku mati.... aku hendak bertanya padamu. Siapakah gadis yang selalu kau sebut sebagai adikmu itu? Yang bernama Cia Bi Eng itu?"
Han Sin tertegun, bingung oleh pertanyaan itu. "Apa maksudmu, toanio? Bi Eng adalah adik kandungku."
Ang-jiu Toanio menggeleng-geleng kepalanya, nampak tidak sabar. "Bukan, sama sekali bukan. Dia bukan adikmu, juga bukan anakku...... Ahhhhh, apa yang terjadi dengan anakku....?" Dan nyonya itu menangis!
Han Sin merasa jantungnya berdebar. Ia mengerti bahwa diwaktu mudanya, nyonya ini mempunyai urusan dengan orang tuanya, buktinya dahulu uwak Lui disaat kematiannya memperingatkan kepadanya supaya berhati-hati terhadap orang yang bernama Ang-jiu Toanio!
"Toanio, apa maksudmu? Bi Eng itu adikku......" jawabnya bingung.
"Katakan, apakah di dekat telinga adikmu itu ada tanda tahi lalat merah?"
Makin berdebar hati Han Sin. Juga dulu uwak Lui menyebut-nyebut tentang gadis bertahi lalat merah dekat telinga dan gadis bertahi lalat di mata kaki kiri! Ia masih ingat akan pesan semua itu baik-baik. "Tidak toanio, tidak ada tanda itu pada diri Bi Eng."
Ang-jiu Toanio menarik napas panjang. "Apa kataku, dia bukan anakku...."
"Tentu saja bukan, toanio. Dia adikku, anak ayah dan ibuku....."
"Bodoh! Kau tahu apa? Kau dengar baik-baik! Karena dulu tidak berhasil membalas dendam terhadap ayahmu, aku lalu menukarkan anakku dengan anak ayah ibumu. Celakanya, anakku itu kiranya sudah ditukar orang pula.... ah, celaka. Apa yang terjadi dengan anak perempuanku......?"
Han Sin menjadi pucat. Jadi Bi Eng yang selama ini dianggap adiknya, orang satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, sebenarnya bukan adik kandungnya?
"Kalau begitu, di mana adikku yang telah kauculik itu?" tanyanya agak ketus karena ia merasa akan perbuatan Ang-jiu Toanio yang dianggapnya keji itu.
"Dia telah dirampas seorang Mongol gundul yang memelihara harimau.... katanya hendak dijadikan mangsa harimau.......!"
"Kau keji......!"
Ang-jiu Toanio tersenyum lemah. "Pembalasan terhadap ayahmu. Perbuatan yang keliru. Susiok telah menginsyafkanku. Banyak penderitaan kurasakan setelah itu, aku.... aku rindu kepadamu anakku. Ah, kenapa kulakukan hal gila itu? Kemana sekarang anakku.......?"
Han Sin merasa kasihan sekali, akan tetapi juga hatinya sendiri tak karuan rasanya. Bi Eng bukan adiknya! Bagaimana mungkin ini?
"Anak Cia Sun, adikmu itu, ada tahi lalat di kaki kirinya, dan anakku..... anakku yang mungil..... ada tanda merah di dekat telinga. Ah, anakku.... anakku.....!" Ang-jiu Toanio lalu menangis sedih dan tak dapat bicara lagi.
Tiba-tiba wajah Han Sin menjadi merah dan sepasang matanya yang bersinar tajam itu mengeluarkan cahaya kilat. Ia melangkah maju dan berkata, "Kalau begitu, kaulah orangnya yang membunuh ayah bundaku, kemudian menukarkan anakmu dengan adikku!"
Mendengar ucapan ini, wajah Yan Bu menjadi pucat, akan tetapi Ang-jiu Toanio yang menangis, sekarang mengangkat mukanya dan mendadak tertawa. "Hi hi hi, sayang sekali bukan aku! Ketika malam itu aku datang ke kamarnya, dia dan isterinya sudah mati. Aku lalu menukarkan anak untuk memberikan pembalasan terakhir, tapi.... tapi..... ah, anakku......!" Kembali nyonya ini menangis dan kini mukanya membayangkan warna kehijauan.
Yok-ong Phoa Kok Tee melangkah maju melihat ini, lalu ia memegang nadi tangan Ang-jiu Toanio yang kelihatan lemas, kemudian menggeleng kepalanya. "Saudara Cia, harap kau suka keluar. Dia sudah terlalu lelah dan racun hijau makin menjalar, kasihanilah dia....."
Yan Bu menahan isak dan menubruk kaki ibunya. Sebetulnya Han Sin masih ingin bertanya kepada nyonya itu siapa pembunuh ayah bundanya, akan tetapi melihat keadaan Ang-jiu Toanio, ia tidak tega mendesak lagi, lalu ia keluar dari kamar.
Ternyata Ang-jiu Toanio tidak dapat lama lagi bertahan. Beberapa jam kemudian nyonya ini menarik napas terakhir dalam pelukan puteranya, Phang Yan Bu. Ketika Yok-ong dan Yan Bu keluar dari kamar itu, ternyata Han Sin sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Pemuda ini sudah lama pergi dari situ, sebelum Ang-jiu Toanio meninggal.
Thio-ciangkun, perwira she Thio yang mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan Mancu, marah-marah kepada dua orang puterinya. Pembesar ini merasa malu sekali ketika menerima dua orang puterinya, Li Hoa dan Li Goat, yang diantar oleh Tung-hai Siang-mo sebagai utusan Bhok-kongcu. Setelah Tung-hai Siang-mo pergi membawa Bi Eng untuk menahan gadis ini di gedung Bhok-kongcu, Thio-ciangkun lalu marah-marah kepada dua orang puterinya.
"Kalian ini benar-benar membikin malu orang tua!" bentak pembesar itu setelah puas memaki-maki. "Ayahmu dikenal sebagai seorang petugas yang setia, sekarang kau rusak namaku dengan perbuatan-perbuatan yang tak tahu malu. Dengan menentang Bhok-kongcu dan membantu musuh, bukankah berarti kalian ini menjadi pembantu para pemberontak? Hemm, anak-anak macam apa kalian ini?"
Li Hoa dan Li Goat berdiri tegak di depan ayah mereka, sama sekali tidak takut. Memang dua orang gadis ini semenjak kecil dimanja, maka mereka tidak takut biarpun ayah mereka marah besar. Selain ini, memang mereka mempunyai pendirian sendiri dan kini dengan penuh semangat Li Hoa menjawab,
"Ayah, yang anak berdua tentang adalah orang-orang Mongol yang mengabdi kepada pemerintah penjajah. Yang anak berdua bela adalah orang-orang Han yang tertindas!"
Merah wajah pembesar itu dan ia membanting kakinya. "Keparat, dengan lain kata kau hendak memaki ayahmu yang membantu pemerintah baru? Setan, memang aku membantu pemerintah baru, karena kuanggap pemerintah Mancu bijaksana. Kau tahu apa tentang pemerintahan? Ketika negara berada di tangan bangsa Han sendiri, keadaan kacau balau, pertahanan lemah dan rakyat sengsara. Lihat sekarang, perubahan terjadi dan kaisar yang bijaksana telah membangun pemerintahan yang kuat dan sanggup membikin makmur rakyat. Beras siapa yang kau makan setiap hari dan pakaian dari mana yang kalian pakai? Semua dari hasilku mengabdi kepada pemerintah baru. Dan sekarang kau mencela ayahmu?"
Li Hoa menjadi pucat mukanya, matanya berkilat ketika ia menghadapi ayahnya dan berkata keras. "Ayah! Bagaimana seorang Han bisa bicara seperti ayah? Bagi aku, lebih baik miskin dari pada menjadi penjilat penjajah!"
"Enci Li Hoa berkata benar, ayah. Betapapun juga bangsa yang terjajah merupakan bangsa yang rendah dan terhina. Di samping enci Hoa, akupun rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dari cengkeraman penjajah!" kata Li Goat, penuh semangat pula.
Kalau orang luar mendengarkan ucapan dua orang gadis ini, tentu mereka akan menjadi heran dan tak percaya. Siapa bisa percaya ucapan-ucapan seperti itu keluar dari mulut dua orang puteri dari Thio-ciangkun yang terkenal sebagai pembasmi kaum pemberontak, sebagai pembesar setia dari pemerintah Mancu!
"Anak-anak setan.....!" Thio-ciangkun membanting cawan araknya sampai hancur di atas lantai. Kemarahannya memuncak dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menampar kedua orang anaknya yang ia sayang itu. Pada saat itu, tiba-tiba dari pintu dalam terdengar suara wanita bersajak halus merdu suaranya.
"Biarpun sangkar diselaput emas
Sangkar tetap mengurung!
Biarpun belenggu dihias mutiara
Belenggu tetap mengikat
Patahkan belenggu!
Hancurkan sangkar!
Biar darah rakyat bagai api membakar!
Biarpun belenggu mutiara
Biarpun sangkarnya emas
Enyahkan segera!
Kami ingin bebas!"
"Ibu.....!" Li Hoa dan Li Goat menoleh memandang seorang nyonya setengah tua keluar dari pintu itu. Nyonya ini adalah nyonya Thio yang cantik dan lemah lembut, berwajah agak pucat namun sepasang matanya memancarkan semangat berapi-api.
Thio-ciangkun yang tadinya marah-marah, menjadi reda. Ia cemberut dan menjatuhkan dirinya duduk lagi di atas kursinya, lalu menarik napas panjang dan berkata perlahan. "Hemm, selalu kau yang terlalu memanjakan mereka, yang menjadikan pikiran yang bukan-bukan dalam kepala mereka yang kecil dan tak berotak. Sekarang, sajak apalagi yang kau ucapkan tadi?"
Nyonya itu tersenyum dan dari senyum ini dapat dengan jelas dilihat betapa cantik manisnya ketika ia masih muda. Ia mengambil tempat duduk di samping suaminya, memandang penuh kasih kepada kedua puterinya, lalu berkata kepada suaminya.
"SUAMIKU, ucapan anak-anak kita tadi memang benar belaka. Coba kautanyakan kepada burung-burung dalam sangkar. Biarpun kau mengurungnya dalam sangkar emas yang indah dan mahal, biarpun setiap hari kau memberinya makan minum secukupnya, biarpun setiap saat kau memuji-mujinya dengan muka manis seperti yang dilakukan setiap penjajah kepada rakyat jajahannya, tetap saja burung-burung di dalam sangkar itu ingin bebas merdeka. Demikian pula rakyat. Kemakmuran duniawi yang bagaimana hebatpun yang bisa didatangkan oleh kaum penjajah kepada bangsa terjajah, tetap saja tak dapat melenyapkan hasrat untuk merdeka. Apa sih enaknya dilolohi makanan lezat, diselimuti pakaian mahal, oleh bangsa lain yang menginjak-injak tanah air dan bangsa? Anak-anakmu lebih benar......." Nyonya itu lalu bernapas panjang, nampaknya sedih sekali.
"Habis kau mau suruh aku bagaimana? Suruh aku menyerahkan kepalaku untuk dipenggal sebagai pemberontak? Apa kalian ibu dan anak sudah begitu ingin melihat aku mampus?" akhirnya Thio-ciangkun berkata penuh kejengkelan. Ia merasa diperlakukan tidak adil oleh isteri dan anak-anaknya. la sudah bekerja keras, merebut pangkat, semua ini untuk menyenangkan anak-isterinya.
la tahu bahwa isterinya dahulu adalah puteri seorang patriot pengikut Lie Cu Seng dan tahu bahwa isterinya adalah seorang gadis pejuang. Akan tetapi karena cinta, ia mengawininya juga dan ternyata sekarang isterinya itu menurunkan semangat kepatriotan itu kepada dua orang anaknya!
"Tidak, ayah. Kami hanya ingin melihat ayah insyaf dan meninggalkan kedudukan ini, meninggalkan pemerintah penjajah," kata Li Hoa dengan berani.
"Huh, bicara sih gampang. Ayoh masuk ke sana."
"Ayah ada satu hal lagi," kata Li Hoa. "Bhok-kongcu telah menawan seorang gadis bernama Cia Bi Eng dan sekarang dia dibawa oleh dua orang iblis tadi ke gedung Bhok-kongcu. Dia itu kawan baik kami, ayah. Penangkapan itupun bermaksud keji. Harap sudi menolongnya."
"Dia itu gadis pemberontak?" tanya Thio-ciangkun.
"Pemberontak atau bukan, melihat seorang gadis baik-baik dalam cengkeraman si keji Bhok, kau harus berusaha menolongnya," kata nyonya Thio-ciangkun dengan suara tetap.
"Sudahlah, sudahlah akan kudayakan."
Percakapan ini ternyata telah menolong Bi Eng. Karena terdesak oleh isterinya yang amat dicintainya dan yang selalu membela anak-anaknya, Thio-ciangkun lalu menemui seorang yang amat dihormatnya, seorang pangeran yang selalu menjadi tempat ia bermohon, seorang yang dianggapnya arif bijaksana dan karenanya membuat Thio-ciangkun rela menjadi abdi pemerintah Mancu.
Pangeran ini adalah putera kaisar dari seorang selir Bangsa Han. Namanya juga nama Han dan berjuluk Pangeran Yong Tee. Pangeran ini paling pandai menyesuaikan diri dengan Bangsa Han, malah tak sedikitpun ada tanda bahwa dia berdarah Mancu. Wajahnya tampan, seorang ahli sastera dan nasehat-nasehatnya dalam pemerintahan banyak mendatangkan kemajuan dalam pekerjaan ayahnya, Kaisar dari Mancu.
Kesukaan Pangeran Yong Tee adalah berdandan sebagai seorang rakyat kecil dan melakukan perjalanan seorang diri, keluar masuk kampung dan mempelajari perikehidupan rakyat jelata. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang diperlihatkan oleh Pangeran Yong Tee inilah yang menarik hati Thio-ciangkun, membuat perwira ini berkesan baik terhadap pemerintah Ceng yang dipimpin oleh orang-orang Mancu itu.
Ketika Pangeran Yong Tee mendengar permohonan Thio-ciangkun untuk menolong seorang gadis sahabat anak-anaknya yang ditawan oleh Bhok-kongcu, segera pangeran ini memenuhi permintaannya. Dengan sepucuk surat pendek saja, para petugas di rumah gedung Bhok-kongcu tak berani membantah dan segera mengirim Bi Eng ke istana Pangeran Yong Tee!
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau Bhok-kongcu pulang, tentu terjadi hal-hal tidak enak antara dia dan aku," kata kemudian Thio-ciangkun kepada dua orang puterinya. "Semua ini gara-gara kalian berdua. Maka lebih baik kalian pergi kepada suhu kalian, jangan berada kota raja untuk sementara waktu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak baik."
"Aku tidak mau pergi kepada suhu, ayah. Suhu juga hanya seorang kaki tangan Bhok-kongcu, tentu suhu akan marah kepada kami. Kami akan pergi dari kota raja dan akan membantu para patriot yang berusaha mengusir penjajah."
"Setan! Kau akan menjadi lawan ayahmu sendiri?"
"Bukan ayah yang kami lawan, melainkan penjajah!" Dengan kata-kata ini, Li Hoa dan adiknya, Li Goat, lalu berpamit kepada ibu mereka dan pergi meninggalkan kota raja lagi. Memang dua orang gadis ini jarang berada di kota raja. Kembalinya mereka ke situ hanya karena terpaksa dan tak berdaya menghadapi Tung-hai Siang-mo yang mengawal mereka sebagai tahanan-tahanan. Juga kalau dahulu dua orang gadis ini membantu ayah mereka, itu hanyalah ketika mereka masih muda dan semangat yang sejak kecil ditanam dalam hati mereka oleh Nyonya Thio, belum berkobar seperti sekarang setelah mereka banyak berhubungan dengan para patriot.
Kita kembali kepada Han Sin yang meninggalkan tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee. Hatinya tidak karuan ketika mendengarkan pengakuan Ang-jiu Toanio. Bi Eng bukan adiknya! Hebat kenyataan ini, membuat hatinya berdebar dan perasaannya penuh diliputi kedukaan. Adiknya sendiri mempunyai tahi lalat di mata kaki, sedangkan puteri Ang-jiu Toanio mempunyai tahi lalat di dekat telinga, tahi lalat merah.
Ah, di mana adanya adiknya yang sesungguhnya? Di mana pula puteri Ang-jiu Toanio dan persoalan terbesar yang dihadapinya sekarang ialah siapa yang menukar anak Ang-jiu Toanio dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng? Anak siapa? Mengapa bisa berada bersama dia? Siapa yang menukar anak Ang-jiu Toanio dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng, adiknya yang cantik manis, mungil lucu dan yang ia cinta dengan sepenuh hatinya itu? Semua pertanyaan ini berputaran dalam otaknya ketika pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Betapapun juga, yang terpenting sekarang ialah bahwa dia harus menolong Bi Eng dari tangan Bhok-kongcu. la harus tolong Bi Eng, tak perduli gadis itu adik kandungnya sendiri atau bukan! Dia sayang Bi Eng, dia cinta gadis itu, orang satu-satunya di dunia yang dikasihinya. Adik sendiri atau bukan, ia tetap mencinta Bi Eng. Tiba-tiba jantungnya berdebar aneh. Bagaimana kalau dia kelak mengetahui bahwa mereka bukan saudara kandung? Bahwa mereka sebetulnya tidak ada sangkutan kekeluargaan apa-apa?
"Tak perlu kuberi tahu kepadanya, tak perlu," demikian ia mengambil keputusan, khawatir kalau-kalau berita itu akan membuat Bi Eng berubah sikap kepadanya.
Karena ingin segera mencari Bi Eng di kota raja, dengan melakukan perjalanan cepat, Han Sin turun gunung dan terus menuju ke timur. Beberapa hari kemudian ia telah tiba di sebelah barat tembok kota, di sebuah dusun kecil yang ramai. Dari jauh ia mendengar suara ribut-ribut, tanda bahwa di dalam dusun itu terjadi pertempuran.
la mempercepat langkahnya dan segera ia melihat seorang tosu setengah tua yang bertubuh tinggi besar memimpin empat kawannya menghadapi dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan serdadu Mancu. Segera Han Sin mengenal bahwa lima orang tosu itu adalah tosu-tosu Cin-ling-pai, yang memimpin adalah Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng, sedangkan empat orang kawannya adalah tosu-tosu Cin-ling-pai gelung tiga.
Adapun dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan serdadu penjajah itu bukan lain adalah dua orang pentolan Cin-ling-pai sendiri, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu! Tak jauh dari situ menggeletak dua mayat manusia yang ternyata adalah Hap Tojin dan Tee Tojin, dua orang di antara Cin-ling Sam-eng.
"Hee-sute apakah kau tidak mau menyerah? Apakah kau tetap hendak membangkang terhadap perintah suheng-suheng yang menjadi pengganti gurumu?"
Hee Tojin menjadi merah sekali mukanya, matanya melotot merah dan suaranya menggeledek ketika ia membantah, setelah menoleh ke arah dua orang mayat yang membujur di situ. "Dua orang suhengku yang sudah gugur ini jauh lebih mulia dari pada kalian, dua orang pengkhianat tak tahu malu. Siapa sudi mengaku kalian sebagai pengganti suhu? Cih, mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus?"
It Cin Cu biasanya paling suka kepada Hee Tojin, maka dengan suara sabar ia mencoba membujuk, "Hee-sute, apa kau lupa akan hubungan kita sebagai saudara seperguruan? Insyaflah bahwa aku dan Ji-suhengmu ini telah mengambil keputusan setelah memikirkannya masak-masak. Pemerintah baru adalah bijaksana, dan demi keselamatan Cin-ling-pai, kau harus mengajak semua sute dan murid untuk membangun kembali Cin-ling-pai dan menaluk kepada pemerintah. Hee-sute, jangan membuat kami menjadi serba susah dan terpaksa turun tangan terhadapmu."
Hee Tojin mengangkat dada dan tongkat di tangannya tergetar. "Apakah kalian lupa akan ajaran suhu? Seorang gagah, lebih baik mati berdiri dengan senjata di tangan dari pada hidup bertekuk lutut di depan penjajah! Lebih baik kalian yang cepat-cepat insyaf bahwa amat memalukan bagi seorang gagah untuk mengkhianati tanah air dan bangsa sendiri, amat rendah untuk membantu penjajah. It Cin Cu dan Ji Cin Cu, di mana jiwa satria kalian? Sudi menjadi anjing-anjing penjilat?"
It Cin Cu marah sekali. "Setan bermulut busuk! Kaulah yang lupa akan ajaran-ajaran mendiang suhu! Bukankah setiap murid sudah bersumpah untuk menjunjung semua perintah ketua Cin-ling-pai? Setelah suhu meninggal, pinto yang menjadi penggantinya. Pinto yang menjadi ketua Cin-ling-pai. Apakah kau masih hendak membangkang?" Berkata demikian, It Cin Cu mencabut pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Hee Tojin memandang ragu. Dia memang seorang yang amat jujur dan setia, maka ucapan ini benar-benar meragukan hatinya. Memang, menurut peraturan Cin-ling-pai, seorang murid harus pertama-tama mentaati perintah ketua, biarpun harus berkorban nyawa untuk perintah itu.
Setelah Giok Thian Cin Cu meninggal dunia, memang tak dapat disangkal pula bahwa It Cin Cu sebagai murid tertua yang menjadi penggantinya. Apa yang harus ia perbuat? Tiba-tiba dua orang di antara tosu-tosu gelung tiga itu sudah menjatuhkan diri berlutut di depan It Cin Cu dan berkata,
"Teecu berdua tidak berani membantah perintah ketua."
Menyaksikan semua ini, bukan main mendongkolnya hati Han Sin. Pemuda ini teringat akan pesan terakhir dari Giok Thian Cin Cu. Pesan itu selain menugaskan dia memimpin Cin-ling-pai, juga mewariskan ilmu pedang dan terutama sekali pesan agar supaya dia bisa menjaga jangan sampai Cin-ling-pai diselewengkan dan menjadi partai pengkhianat nusa bangsa!
Sekarang tiba saatnya. Sudah terang-terangan It Cin Cu dan Ji Cin Cu menjadi anjing penjilat penjajah dan malah mencoba untuk membujuk sute-sutenya dan murid-murid Cin-ling-pai supaya menaluk kepada pemerintah Mancu. Han Sin melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berkata nyaring,
"It Cin Cu, kau benar-benar murid Cin-ling-pai yang murtad dan seorang rakyat yang berkhianat!" Semua orang menengok dan tercengang ketika mengenal siapa yang bicara ini. Han Sin sebaliknya lalu menjura ke arah Hee Tojin dan berkata,
"Totiang patut dicontoh dan diberi hormat. Totiang benar-benar seorang gagah dan patriot yang sejati."
Ji Cin Cu dengan mulut tetap melengeh seperti dulu, menjadi marah sekali melihat Han Sin bersikap dan berkata demikian. la melangkah maju dan membentak, "Eh, kau ini pengacau cilik, mau apa?"
Han Sin kini menghadapi dua orang tosu tua itu dan tersenyum mengejek. "Mendiang Giok Thian Cin Cu memang berpemandangan tajam, agaknya beliau sudah menduga bahwa sepeninggal beliau, akan ada murid-murid murtad seperti kalian. Karena itu beliau mengangkat aku sebagai penggantinya untuk menyelamatkan Cin-ling-pai. Eh, para tosu Cin-ling-pai, aku Cia Han Sin menjadi pelindung Cin-ling-pai dan ahli waris Giok Thian Cin Cu. Inilah buktinya!" Cepat tangannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang tajam berkilau telah berada di tangannya.
"Im-yang-kiam......!" seru Hee Tojin dan bersama empat orang sutenya ia lalu berlutut. "Menanti petunjuk pangcu (ketua)......."
"Kau telah mencuri Im-yang-kiam! Jangan bodoh, dia bohong. Dia mencuri pedang pusaka partai kita!" kata It Cin Cu marah. Ucapan ini kembali membuat Hee Tojin dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu.
"Pedang memang bisa dicuri, akan tetapi ilmu silat tidak. Lihat, bukankah ini ilmu silat Cin-ling-pai? Aku telah mewarisinya dari suhu Giok Thian Cin Cu." Han Sin lalu menggerakkan pedangnya, dengan cepat berturut-turut ia mainkan ilmu Silat Im-yang-kun dan Cin-ling-kun. Hee Tojin tentu saja mengenal ilmu silat ini dan ia memandang kagum, keraguannya melenyap.
Juga It Cin Cu dan Ji Cin Cu kaget setengah mati. Bagaimana suhu mereka dapat menurunkan ilmu silat dan pedang pada pemuda itu? Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda ini hendak merusak tugas mereka, It Cin Cu lalu berseru, "Kalau betul kau mewarisi ilmu dari suhu, coba kaukalahkan pinto!" Berkata demikian, ia lalu menyerbu dengan pedang dan tongkatnya. Juga Ji Cin Cu yang melihat betapa gangguan pemuda ini membahayakan kedudukannya, lalu menyerang pula.
"Curang.....!" Hee Tojin berseru. "Masa dua orang tua bangka mengeroyok seorang bocah?" Tentu saja Hee Tojin yang tidak tahu bahwa Han Sin sudah memiliki ilmu tinggi, merasa kuatir akan keselamatannya.
Akan tetapi Han Sin berseru, "It Cin Cu dan Ji Cin Cu, kalian benar-benar sudah buta. Kalau masih tidak percaya, lihat dengan gerakan-gerakan apa aku sekarang menghadapi kalian." Setelah berkata demikian, tanpa bergerak dari tempatnya berdiri dia menggerakkan pedang Im-yang-kiam secara aneh dan tahu-tahu sinar pedang telah gemerlapan membentur dan menangkis serangan dua orang tosu itu. Inilah ilmu pedang hebat yang ia warisi dari Giok Thian Cin Cu, yaitu Lo-hai Hui-kiam.
"Lo-hai Hui-kiam.....!" It Cin Cu dan Ji Cin Cu berseru kaget. Mereka hanya sedikit sekali tahu tentang ilmu pedang aneh ini, akan tetapi melihat gerakan dan sinar pedang itu, tahulah mereka dan hal ini benar-benar membuat keringat dingin mengucur dari jidat mereka.
Adapun Hee Tojin yang melihat gerakan ini dan mendengar bahwa pemuda itu malah mahir bermain, pedang Lo-hai Hui-kiam yang menjadi ilmu ciptaan mendiang Giok Thian Cin Cu, makin kagum dan yakin akan kebenaran pengakuan pemuda itu. Melihat betapa para kaki tangan dua tosu itu, serdadu-serdadu Mancu maju hendak mengeroyok Han Sin, Hee Tojin lalu berseru nyaring dan bersama sute-sutenya lalu menyerbu maju menyerang para serdadu musuh!
Pertempuran antara Han Sin menghadapi dua orang tosu tua itu berjalan sebentar saja. Dengan Lo-hai Hui-kiam, dua orang tosu itu tidak berdaya. Sebelum mereka tahu bagaimana harus menghadapi ilmu pedang yang bersinar seperti halilintar menyambar-nyambar itu, keduanya sudah roboh dengan pundak terluka dan tak mampu bangun kembali.
Sementara itu, para serdadu Mancu itu mana kuat menghadapi Hee Tojin dan sute-sutenya, murid-murid tingkat dua dan tiga dari Cin-ling-pai? Hampir berbareng dengan robohnya It Cin Cu, para serdadu itupun roboh seorang demi seorang dan akhirnya tak seorangpun tertinggal hidup. Han Sin mengeraskan hati dan berdiri di pinggiran melihat bagaimana Hee Tojin dengan pedangnya sendiri membunuh It Cin Cu dan Ji Cin Cu.
Pemuda ini diam-diam menaruh kasihan dan tidak tega melihat pembunuhan, namun setelah hatinya berkeras dan semangat kepatriotannya bangkit, ia dapat membenarkan pembunuhan itu. Memang, orang-orang berjiwa pengkhianat seperti dua orang tosu tertua dari Cin-ling-pai itu, sudah sepatutnya dibunuh, bahkan perlu sekali dilenyapkan dari muka bumi karena amat berbahaya bagi keselamatan nusa bangsa.
Hee Tojin bersama empat orang sutenya lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han Sin. Hee Tojin berkata, "Kami berlima mengucapkan syukur bahwa mendiang suhu telah mengangkat taihiap sebagai ahli waris. Mulai saat ini, kami semua murid Cin-ling-pai taat kepada petunjuk taihiap."
Han Sin cepat melangkah maju dan mengangkat bangun lima orang tosu itu. Hebatnya bagi para tosu itu, begitu pemuda ini menyentuh pundak mereka, otomatis mereka berdiri karena ada tenaga luar biasa yang memaksa mereka bangun kembali!
"Cu-wi totiang jangan berlaku sungkan terhadap orang sendiri. Biarpun aku telah menjadi ahli waris suhu Giok Thian Cin Cu, tidak seharusnya cu-wi mengangkatku setinggi itu. Tugas kita adalah sama, yakni mempertahankan nusa bangsa dan menolongnya dari cengkeraman penjajah. Marilah kita berjuang bersama. Karena sebetulnya aku hanya kebetulan menjadi murid suhu, tidak berhak aku untuk mengaku menjadi orang Cin-ling-pai. Maka biarlah sekarang kuberikan pedang pusaka ini kepada Hee Tojin dan selanjutnya kuharap Hee Tojin suka menggantikan mendiang suhu untuk memimpin Cin-ling-pai. Aku hanya berdiri di luar sebagai pengawas dan pembantu belaka. Kembali tentang perjuangan, kuharap Hee Tojin suka mengumpulkan semua murid Cin-ling-pai dan memimpinnya untuk menentang pemerintahan Mancu. Sebaliknya totiang jangan menentang secara terang-terangan karena fihak musuh amat kuat. Berjuanglah dengan sembunyi-sembunyi, menyerang bagian-bagian yang terjaga lemah. Lebih baik lagi kalau totiang dan kawan-kawan menggabungkan diri dengan para pejuang lain, di antaranya dapat kuperkenalkan Sin-yang Kai-pang yang dipimpin oleh pangcunya bernama Kui Kong yang amat patriotik. Kurasa semua anak murid yang berada di bawah bimbingan Ciu-ong Mo-kai, pasti termasuk pejuang patriotik, dan boleh dijadikan kawan seperjuangan."
Hee Tojin menerima pedang dengan ucapan terima kasih. Setelah memberi penjelasan itu, Han Sin lalu minta supaya para tosu itu mengubur jenasah It Cin Cu dan Ji Cin Cu secara baik-baik, juga kalau masih ada waktu mengubur pula jenasah para serdadu Mancu. Kemudian ia sendiri lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke kota raja.
Belum lama ia berjalan melalui jalan yang sunyi, di sebuah persimpangan tiga, dari sebelah kanan datang seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana. Dari pakaiannya dapat diketahui bahwa pemuda itu adalah seorang sasterawan miskin. Yang amat menarik perhatian Han Sin adalah mata yang bersinar lembut serta senyum yang amat ramah dan manis pada bibir pemuda itu. Pemuda itupun memandang kepadanya dengan tertarik, dan pada saat mereka bersua, pemuda itu cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata ramah,
"Maafkan kelancanganku menegur saudara. Apakah saudara hendak pergi ke kota raja?"
Han Sin tersenyum dan balas memberi hormat. "Sudah jamak kalau bertemu di jalan saling menegur. Memang tepat dugaanmu, aku hendak pergi ke kota raja. Tidak tahu loheng (saudara) hendak ke manakah?"
Pemuda itu tertawa dan makin sukalah hati Han Sin terhadapnya. Dari suara ketawanya yang wajar dan tarikan wajah yang tampan dan terang itu dapat ia menduga bahwa pemuda ini seorang yang berwatak halus dan jujur. "Ucapan kuno menyatakan betapa senangnya bertemu dengan sahabat lama, akan tetapi kiranya tidak kalah senangnya bertemu dengan seorang sahabat baru yang cocok! Saudara yang baik, kebetulan sekali aku sendiripun akan ke kota raja. Apakah kau keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama?"
Sebetulnya Han Sin ingin melakukan perjalanan secepatnya. Jika bersama pemuda ini, tentu saja tak mungkin ia menggunakan ilmu lari cepat. Akan tetapi, untuk menolakpun ia tidak dapat, melihat orang demikian ramah dan baik kepadanya. la tersenyum dan menjawab, "Tentu saja tidak keberatan, malah senang sekali bertemu dengan loheng."
"Bagus ini namanya sekali bertemu sudah cocok!" Pemuda itu memegang tangan Han Sin yang merasa betapa telapak tangan pemuda ini halus. "Saudara yang baik, aku she Yong bernama Tee, dua puluh empat tahun usiaku dan masih membujang." Kata-katanya amat terbuka dan jujur, menyenangkan hati Han Sin.
"Siauwte bernama Han Sin she Cia, dalam hal usia, lebih muda tiga empat tahun dari padamu."
Yong Tee tertawa lagi dengan girangnya sehingga sinar mata yang ganjil ketika ia mendengar nama Han Sin menjadi tertutup dan tidak terlihat oleh Han Sin.
"Cia-lote, kau benar-benar menyenangkan. Melihat gerak-gerikmu, tentu kau pandai dalam hal kesusasteraan, dan dalam perjalanan ini aku banyak mengharapkan petunjuk darimu."
"Ah, Yong-loheng terlalu merendah. Aku hanya seorang gunung, mana ada kepandaian? Sedikit tulisan ceker ayam aku dapat, mana bisa dibandingan dengan kau orang kota? Akulah yang perlu banyak mendapat petunjukmu, Yong-loheng."
Gembiralah dua orang pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanan perlahan-lahan. Tiba-tiba tampak debu mengepul dari depan dan sepasukan serdadu berkuda terdiri dari tiga puluh orang lebih mendatangi cepat dari depan. "Minggir! Minggir kalau tidak mau diinjak mampus!" teriak serdadu terdepan sambil mengayun cambuknya.
Han Sin sudah melompat ke pinggir, akan tetapi alangkah heran hatinya ketika ia melihat Yong Tee tidak minggir malahan berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang dan kedua matanya melotot.
"Yong-loheng, kau nanti celaka.....!" kata Han Sin, siap hendak menolong jika sahabat barunya ini benar-benar akan diseruduk kuda.
Akan tetapi, tiba-tiba para penunggang kuda itu serentak menahan kendali kuda, membuat binatang-binatang tunggangan itu berdiri di kaki belakang dan meringkik-ringkik. "Hai.....! Siapa berdiri di tengah jalan menghalang dan mengacaukan barisan?" bentak suara para serdadu di sebelah belakang.
Serdadu-serdadu di depan tentu saja mengenal siapa adanya yang bukan lain adalah pangeran Yong Tee yang suka melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa. Tentu saja mereka tidak berani menerjang putera junjungan mereka itu. Yong Tee marah sekali dan membentak, sikapnya masih seperti seorang biasa,
"Begitukah sikapnya pasukan yang seharusnya menjaga keamanan? Seperti perampok-perampok ganas? Hemmm, ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Thio-ciangkun tentang anak buahnya ini!"
Seorang serdadu, agaknya pemimpin pasukan itu, buru-buru meloncat turun dari kudanya dan memberi hormat kepada Yong Tee. la maklum akan watak pangeran ini dan ia tidak berani membuka rahasia pangeran ini di depan Han Sin, maka katanya, "Kongcu yang mulia, harap sudi maafkan kami. Karena kami tergesa-gesa hendak menuju ke dusun di depan, menjalankan perintah Thio-ciangkun untuk menangkap tosu-tosu Cin-ling-pai yang memberontak, maka tadi kawan-kawan minta kongcu minggir. Harap maafkan dan tidak menyampaikan hal ini kepada ciangkun."
Yong Tee dengan senyum mengejek mengibaskan lengan bajunya yang lebar. "Menjadi tentara harus ramah-ramah terhadap rakyat, jangan mengagulkan diri dan memperlakukan rakyat dengan kasar. Makin buruk sikap tentara terhadap rakyat, akan menjadi makin besarlah pemberontakan-pemberontakan. Segala kekuatan ada pada rakyat, dan negara baru boleh dikata kuat kalau rakyat seluruhnya mendukungnya dan mencintainya. Dan kalian sebagai alat negara harus menjadi pelopor agar rakyat menaruh cinta kepada negara. Awas, terhadap orang-orang yang kalian katakan memberontak tadipun jangan berlaku sewenang-wenang. Kalau memang betul mereka memberontak, harus ada buktinya dan setelah demikianpun jangan gampang-gampang membunuh orang. Tawan saja agar diperiksa oleh Thio-ciangkun sendiri."
Pemimpin pasukan itu memberi hormat. Yong Tee lalu berjalan pergi menghampiri Han Sin dan mengajak pemuda ini melanjutkan perjalanan. Setelah mereka lewat, barulah rombongan serdadu itu menaiki kuda masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Han Sin memandang kawan barunya dengan amat kagum.
"Yong-loheng! Tak kusangka kau sedemikian berpengaruh sampai puluhan orang serdadu tunduk kepadamu."
"Bukan, bukan aku yang berpengaruh, melainkan Thio-ciangkun. Aku kenal Thio-ciangkun yang amat adil dan berdisiplin. Tentu saja mereka takut kalau-kalau aku mengadukan mereka kepada Thio-ciangkun, maka mereka menjadi takut kepadaku. Ha ha, saudara Cia yang baik. Orang-orang macam mereka itu yang kasar-kasar sewaktu-waktu memang perlu mendapat petunjuk dan teguran keras."
Han Sin mengangguk. "Kiranya selain pandai, kaupun mempunyai jiwa yang gagah, Yong-loheng."
"Ah, sudahlah Cia-lote. Kau membikin aku malu saja."
Dua orang itu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Makin lama makin akrab hubungan mereka dan makin tertarik hati Han Sin. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang secocok ini dengan isi hatinya. Baik dalam persoalan filsafat, maupun kesusasteraan, bahkan dalam hal pendirian orang-orang gagah, Yong Tee ternyata mempunyai pandangan yang amat cocok dengan dia sendiri. Tidak heran apabila mereka sudah melakukan perjalanan sehari lamanya, hati Han Sin demikian tunduk dan tertarik sehingga ia girang bukan main ketika Yong Tee mengusulkan untuk bersumpah mengangkat saudara!
"Yong-loheng! Apakah dengan setulusnya hati kau mengusulkan pengangkatan saudara dengan aku? Kau tidak tahu siapa aku. Aku adalah seorang pemuda miskin, yatim piatu, seorang dari gunung yang bodoh. Jangan-jangan nanti kau ditertawai oleh orang-orang di kota kalau bersaudara dengan aku!" Han Sin berkata karena dia memang benar-benar merasa kaget dan heran di samping kegembiraan hatinya.
Yong Tee memegang pundaknya. "Kau terlalu merendah. Kau seorang jantan, seorang budiman. Kau seorang kuncu! Kalau orang seperti kau tidak bisa disebut kuncu, tidak tahu lagi aku orang macam apa yang layak disebut kuncu. Justeru karena kau yatim piatu, maka lebih keras lagi keinginanku untuk menjadi saudaramu. Tentu saja kalau....... kalau kau sudi."
"Tentu saja aku suka! Mempunyai seorang giheng (kakak angkat) seperti kau......... ah, benar-benar anugerah langit!"
Demikianlah, dalam sebuah kelenteng tua, dua orang pemuda ini lalu mengangkat sumpah, menjadi saudara angkat yang saling setia. Yong Tee menjadi saudara tua dan Han Sin menjadi saudara muda.