Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 17


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 17




Han Sin yang masih kurang pengalaman dan amat mudah tertarik oleh sikap yang baik, sama sekali tak pernah mimpi bahwa orang yang ia jadikan saudara angkat ini adalah seorang pangeran, seorang Putera Kaisar Mancu yang sekarang bertahta! Sama sekali tidak pernah menduga bahwa pangeran ini telah menolong Bi Eng dari tangan Bhok-kongcu dan bahwa pangeran ini telah tahu banyak sekali tentang dia dan sengaja mengangkat saudara untuk menariknya berdiri di pihak pemerintah Mancu!

"Adikku, setelah kita menjadi saudara, tentu kau tidak keberatan untuk mengatakan kepadaku apa keperluanmu datang ke kota raja dari tempat begitu jauh," pangeran itu bertanya ketika mereka melanjutkan perjalanan.

"Aku akan mencari adikku Cia Bi Eng yang kabarnya tertawan oleh Bhok Kian Teng di kota raja," kata Han Sin terus terang dengan wajah muram karena ia menjadi gelisah kembali setelah teringat akan Bi Eng.

"Bhok Kian Teng? Kau mau ke sana? Dia itu orang berbahaya, banyak sekali kawannya yang berilmu tinggi. Apa yang bisa kaulakukan terhadap Bhok Kian Teng?" tanya Yong Tee sambil memandang tajam.

Han Sin mengepal tinju dengan gemas. "Aku tidak takut. Kalau benar Bi Eng ia tawan dan ia tak mau membebaskan adikku, biarpun dia mempunyai banyak kaki tangan, aku tidak takut dan pasti aku akan dapat menangkap dia!"

"Ah, kiranya kau memiliki kepandaian silat tinggi pula, adikku. Bagus, aku makin kagum kepadamu. Akan tetapi, kau harus berhati-hati benar menghadapi mereka."

Melihat sikap Yong Tee yang agak takut-takut itu, Han Sin lalu berkata,

"Loheng, biarlah urusan ini aku sendiri yang membereskan. Katakan saja di mana kau tinggal di kota raja, setelah urusan selesai tentu aku akan pergi mencarimu."

"Jangan kau memandang aku begitu lemah, adikku. Biarpun aku tidak dapat menggunakan kepandaian silat untuk menghadapi mereka, namun aku bukan seorang pengecut. Kau boleh hadapi mereka dan aku akan menantimu di luar."

Karena tenggelam dalam pikiran masing-masing, kedua orang pemuda ini melanjutkan perjalanan memasuki kota tanpa banyak bercakap lagi. Diam-diam Yong Tee menjadi geli seorang diri. Bi Eng sudah aman berada di dalam gedungnya dan selama ini, hubungannya dengan nona memang sudah seperti kakak beradik saja. Sekarang tiba saatnya untuk menguji pemuda she Cia ini yang menurut penyelidik-penyelidiknya adalah seorang pemuda aneh yang kelihatan lemah namun memiliki kepandaian tinggi. Kalau betul demikian, tidak percuma dia mengangkat saudara dengan Han Sin!

BHOK-KONGCU mencak-mencak ketika kembali dari Lu-liang-san ke rumahnya di kota raja mendengar bahwa Bi Eng diminta oleh Pangeran Yong Tee. Ia mendongkol sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan terhadap putera kaisar? Biarpun Yong Tee hanya putera dari selir, namun tetap saja kedudukan pangeran itu jauh lebih tinggi dari padanya. Maka ia hanya dapat menyimpan kemarahannya dan hal ini malah memperhebat nafsunya untuk menggulingkan pemerintah Mancu dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar dari pemerintah baru yang ia idam-idamkan, yaitu pemerintah Mongol, berdirinya kembali kerajaan Goan yang telah gugur.

Oleh karena itu ia segera mengutus orang-orangnya untuk memanggil para tokoh kang-ouw yang dahulu sudah berkumpul di Lu-liang-san, dan makin giat mengumpulkan pembantu-pembantu baru terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi dengan jalan mengobral harta bendanya yang cukup banyak.

Pada hari itu, di gedungnya sudah berkumpul banyak sekali orang kang-ouw. Di antara mereka tentu saja hadir pula Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo, malah hadir pula Coa-tung Sin-kai, ketua dari Coa-tung Kai-pang dari utara. Dengan adanya mereka ini, para tokoh lain tidak berani lagi memperebutkan kedudukan orang terkuat, karena mereka tahu bahwa tingkat kepandaian Hoa Hoa Cinjin adalah amat tinggi dan di antara mereka yang boleh dibandingkan dengan dia hanyalah Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai.

Di situ hadir pula Thio-ciangkun yang memberi laporan kepada Bhok-kongcu bahwa ketika pasukan yang ia kirim pergi ke dusun di mana dikabarkan orang-orang Cin-ling-pai mengadakan kerusuhan ternyata bahwa It Cin Cu dan Ji Cin Cu dan sepasukan pengiringnya telah tewas semua oleh orang-orang Cin-ling-pai. Tentu saja berita ini membuat Bhok-kongcu menjadi makin mendongkol sekali.

"Orang-orang Cin-ling-pai memberontak," katanya kepada semua kaki tangannya yang hadir di situ. "Mulai sekarang kita harus berusaha untuk membasmi mereka, kalau tidak mereka akan merupakan gangguan besar. Setelah siauwte mengadakan perjalanan, ternyata banyak orang-orang selatan masih mempunyai sikap memberontak. Oleh karena itu, siauwte hendak merencanakan gerakan pembersihan dan cu-wi (tuan-tuan sekalian) masing-masing akan mendapat tugas memimpin pasukan untuk membasmi mereka itu. Semua perkumpulan dilarang, kecuali kalau ketua-ketuanya sudah menyatakan hendak membantu pemerintah kita. Yang membantah boleh terus dibunuh dan mulai sekarang, rakyat tidak diperkenankan lagi membawa senjata tajam. Siauwte akan minta kepada kaisar untuk mengeluarkan maklumat ini sehingga apa yang kita kerjakan adalah menurut peraturan yang sah dari junjungan kita."

Karena Bhok-kongcu hanya menjamu mereka dan membagi-bagikan hadiah serta tugas, diam-diam Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai merasa kecewa. Mengapa tidak disebut-sebut tentang pemilihan jago nomor satu yang akan mendapat kedudukan istimewa?

Akhirnya karena tidak sabar, Ji Kong Sek berkata, "Bhok-kongcu, maafkan pertanyaanku ini. Aku hanya menagih janji, bukankah dahulu kongcu sendiri yang berjanji tentang pemilihan tokoh nomor satu untuk dipekerjakan di istana?"

Inilah yang dinanti-nanti oleh sebagian besar tamu di situ. Biarpun tidak mempunyai harapan untuk merebut kedudukan jago nomor satu, sedikitnya mereka itu ingin sekali melihat perebutan kedudukan itu dan menyaksikan pertandingan silat yang menarik.

Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Hal itu menyesal sekali harus dibatalkan, ayah tidak menyetujui."

Hoa Hoa Cinjin melirik tak puas. "Ah, jadi Bhok-ongya hendak bertugas kembali?" Pertanyaan ini sama dengan sangkaan bahwa raja muda yang ditakuti itu hendak merampas sendiri kedudukan koksu, dan memang kalau raja muda itu maju, siapa yang sanggup melawan Pak-thian-tok Bhok Hong? Mendengar ini, semua orang yang hadir bungkam, tidak berani lagi membuka suara dan semua mata memandang ke arah pintu yang menembus ke dalam, mencari-cari dan dengan pandang mata bertanya di mana gerangan Pak-thian-tok yang dikabarkan sakit itu.

Kini Bhok-kongcu tersenyum. "Harap cu-wi jangan salah kira. Ayah sudah tua, sejak lama tidak mau perduli lagi urusan dunia, mana beliau mau bercapek lelah dengan segala macam pekerjaan? Bahkan sudah lama ayah telah pergi lagi merantau, entah ke mana karena itulah yang menjadi kesukaannya. Akan tetapi, karena ayah sudah melarangku untuk mengadakan pemilihan jago nomor satu di sini, terpaksa aku harus mentaati perintahnya. Ayoh cu-wi sekalian minum araknya. Hai, pelayan, lekas ambil arak wangi dan isi semua cawan sampai penuh!"

Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang, "Bhok Kian Teng lekas kaubebaskan adikku, Cia Bi Eng!" Suara ini nyaring sekali menusuk semua telinga orang yang hadir, bahkan mengatasi semua suara gaduh dari puluhan orang itu sehingga serentak mereka menengok.

Keadaan menjadi sunyi sekali sehingga langkah Han Sin yang tenang itu seakanakan terdengar nyata. Memang Han Sin lah orangnya yang tadi berseru dari luar dan kini dengan tenang dan pandang mata tajam, pemuda ini memasuki ruangan ini, langsung menghampiri Bhok-kongcu.

Para tamu yang tak pernah bertemu dengan Han Sin bertanya-tanya heran. Siapakah pemuda ini dan apa maunya datang dengan sikap seperti itu? Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan tokoh-tokoh yang tadinya ikut membantu pembongkaran batu-batu di gua rahasia di Bukit lebih heran lagi kenapa pemuda itu begitu berani mengunjungi tempat ini?

Di samping keheranannya, juga mereka itu diam-diam girang sekali. Bhok-kongcu mencari-cari pemuda ini, bukankah dia telah mendapatkan warisan kitab rahasia? Dicari ke mana-mana tidak jumpa, eh sekarang tahu-tahu muncul atas kehendak sendiri!

Bhok-kongcu juga kaget sekali dan menjadi pucat. Akan tetapi pemuda ini tidak kehilangan akal dan cepat dapat menenteramkan hatinya. la berdiri dan tersenyum. "Eh, kiranya saudara yang gagah Cia Han Sin yang datang berkunjung. Silakan duduk dan minum arak dengan kami."

"Bhok Kian Teng, tak perlu lagi kau berputar lidah. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, lekas kaubebaskan Bi Eng!" kata Han Sin sambil melangkah terus maju dengan sikap mengancam.

Sementara itu, ketika mendengar bahwa pemuda ini yang bernama Cia Han Sin, pemuda yang telah membikin sutenya lumpuh, Coa-tung Sin-kai sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya. Seperti diketahui, Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai dan dengan menggunakan paku-paku rahasianya sendiri, Han Sin telah merobohkan pengemis mata satu itu.

"Keparat kiranya kau anak pemberontak she Cia!" Coa-tung Sin-kai meloncat dan sudah menghadang di depan Han Sin.

"Awas, lo-enghiong, bocah ini lihai sekali, dia telah mewarisi kitab pelajaran Tat Mo Couwsu!" kata Bhok-kongcu sambil duduk lagi. Pemuda bangsawan ini ternyata telah membakar hati ketua pengemis itu dengan kata-kata ini.

"Ha, ha, ha, memang tidak baik saling gempur untuk menguji kepandaian. Biarlah bocah ini menjadi semacam juru penguji!" kata Ji Kong Sek yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kepandaian ketua Coa-tung Kai-pang yang tersohor ini.

Sementara itu, tanpa memperdulikan ucapan-ucapan orang lain. Han Sin memandang kakek di depannya. Kakek ini usianya sudah enam puluhan, tubuhnya jangkung kurus tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kering yang lidahnya menjulur keluar dan amat runcing. Sikapnya lemah lembut dan agung, akan tetapi sepasang mata yang berminyak itu menandakan bahwa kakek ini masih belum terlepas dari pelukan nafsu duniawi.

"Tidak tahu siapa lo-enghiong dan kenapa mencampuri urusan pribadiku dengan Bhok Kian Teng?" tanya Han Sin, sabar. Menuruti keinginan hatinya, tidak mau ia bertengkar dengan segala macam orang tanpa ada sebab-sebabnya.

Ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Han Sin, diam-diam kakek ini kaget bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu pandang dengan orang yang memiliki sinar mata seperti ini. Diam-diam ia kagum dan melihat sikap halus Han Sin, ia merasa tidak enak kalau bersikap terlalu kasar, apa lagi mengingat kedudukannya yang tinggi dan usianya yang jauh lebih tua.

"Orang muda, setelah kau tahu namaku, seharusnya kau cepat-cepat berlutut mohon maaf kepada Bhok-kongcu atas sikapmu yang tidak semestinya ini. Kau berada di kota raja, di dalam rumah Bhok kongcu, masa sikapmu seperti ini? Apa yang kauandalkan? Ketahuilah, aku adalah Coa-tung Sin-kai dan kau bocah cilik sesungguhnya bukan lawanku......"

Han Sin pernah diceritai oleh Li Hoa tentang gurunya maka tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan guru Li Hoa dan Li Goat, juga ketua Coa-tung Kai-pang dan suheng dari Tok-gan Sin-kai. la tersenyum dan menjawab. "Lo-enghiong, kalau kau masih mempunyai sedikit sifat gagah, tentu kau tidak membenarkan Bhok Kian Teng menawan adik perempuanku yang tidak berdosa. Aku datang bukan untuk berlaku kurang ajar, melainkan hendak minta dibebaskan adikku. Salahkah ini?"

"Hemmmmm, kau sombong. Agaknya kau memang berkepandaian dan kau sudah pula menghina suteku. Tak dapat tidak, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, tongkatku akan memaksamu."

"Silakan!" tantang Han Sin tenang-tenang saja.

Coa-tung Sin-kai mulai marah, tapi ia masih ragu-ragu, malu untuk menyerang seorang muda yang tak bersenjata. "Keluarkan senjatamu," katanya.

"Aku bukan tukang pukul, bukan tukang bunuh orang, mengapa harus bersenjata? Untuk menjaga diri, Thian telah melengkapi anggauta tubuhku."

"Pemuda sombong, lihat serangan!" Coa-tung Sin-kai tak sabar lagi, tongkatnya menyambar cepat ke arah jalan darah di pundak kiri Han Sin. Pemuda ini maklum dari sambaran tongkat bahwa lawannya yang memiliki gerakan cepat dan tenaga dalam yang sempurna, maka ia tidak berani main-main, dengan sigap ia miringkan tubuhnya mengelak.

Benar saja, baru saja dielakkan serangan pertama, serangan ke dua, tiga dan selanjutnya susul-menyusul bagaikan hujan, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk balas menyerang. Namun Han Sin tetap tenang, dengan Liap-hong-sin-hoat ia menghadapi semua serangan kakek itu dan selalu dapat menghindarkan setiap desakan.

"He, pernah apa kau dengan Ciu-ong Mo-kai?" teriak Coa-tung Sin-kai dengan heran. Ketua perkumpulan pengemis dari utara ini pernah bertanding melawan Tang Pok yang juga menggunakan Liap-hong-sin-hoat maka ia segera mengenal ilmu silat yang tangguh ini, yang membuat ia bertanding dengan Ciu-ong Mo-kai sampai hampir sehari penuh tanpa dapat merebut kemenangan!

"Ciu-ong Mo-kai Tang Pok adalah suhuku," jawab Han Sin masih tenang. Mendengar jawaban ini Coa-tung Sin-kai lalu mendesak makin hebat. Masa aku tak dapat merobohkan murid Tang Pok, pikirnya penasaran sekali. Akan tetapi ia kecelik karena Liap-hong-sin-hoat yang dimainkan oleh pemuda ini benar-benar aneh dan luar biasa sekali.

Nampaknya pemuda itu hanya bergerak perlahan saja untuk menghadapi serangan-serangannya, namun setiap pukulannya yang akan mampir di tubuh pemuda itu seperti menyeleweng sendiri, seakan-akan kedua tangannya sudah tidak menuruti lagi kehendaknya! Hal ini sebetulnya bukan karena kehebatan Liap-hong-sin-hoat, melainkan kehebatan hawa sinkang di tubuh Han Sin yang sudah demikian kuatnya sehingga sanggup menolak hawa pukulan kakek itu dan membuat semua pukulan meleset.

Han Sin mengerti orang yang sudah menjadi kaki tangan Bhok-kongcu bukanlah orang baik-baik. Akan tetapi karena teringat bahwa lawannya ini adalah guru dari Li Hoa, ia merasa tidak enak juga untuk merobohkan atau melukainya.

Setelah berkali-kali mengelak dan menggunakan hawa pukulan untuk menangkis semua serangan lawan selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Han Sin mengeluarkan suara bentakan keras sekali sambil mengerahkan khikang. Coa-tung Sin-kai kaget dan terhuyung mundur. Han Sin mendesak, tangannya bergerak dan di lain saat, tongkat ular itu sudah berhasil ia rampas. Sekali tekuk tongkat itu mengeluarkan suara "pletakk!" dan patah menjadi tiga potong, lalu dilemparkannya ke atas tanah.

Bukan main kaget, heran, dan malunya Coa-tung Sin-kai. Dia yang menjadi ketua Coa-tung Kai-pang, yang datang-datang hendak ikut pula memperebutkan jago silat nomor satu, dalam pertandingan dua puluh jurus lebih, malah boleh dibilang baru diserang satu jurus saja oleh seorang pemuda hijau, telah kalah mutlak! Dengan muka merah seperti udang direbus ia lalu melangkah mundur, tidak ada muka lagi untuk mencoba menempur Han Sin.

Terdengar suara ketawa mengejek dan dua bayangan orang berkelebat cepat, tahu-tahu Tung-hai Siang-mo sudah berdiri di depan Han Sin. Pemuda ini mengenal sepasang iblis itu dan kemarahannya memuncak. Sebelum mereka bergerak, ia menegur lebih dulu, "Aku datang hanya untuk minta dibebaskannya adikku, aku hanya berurusan dengan orang she Bhok, kenapa segala macam orang tua ikut campur?"

Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba berkata dengan nada mengejek, "Dua orang tua bangka dari utara inipun belum tentu bisa menangkan dia."

Mendengar ini, Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw menjadi panas perutnya, Ji Kong Sek segera mengeluarkan suara ketawanya yang menyeramkan, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menubruk maju dengan kedua tangan dipentang dengan jari-jari terbuka seperti seekor garuda menubruk. Ji Kak Touw juga tidak mau tinggal diam, langsung menyerang bagian bawah tubuh Han Sin sambil menggereng seperti ringkik kuda.

Han Sin mendongkol sekali melihat sikap orang-orang tua ini. Ia menggeser kakinya mundur dan melihat bahwa serangan mereka itu malah lebih berbahaya dari pada serangan Coa-tung Sin-kai tadi, ia lalu menggunakan Ilmu Silat Im-yang-kun untuk menghadapi dua orang iblis yang sifat serangannya berlawanan ini. Hanya Im-yang-kun yang mengandung dua macam sifat dapat menghadapi daya serangan mereka.

Terdengar suara "plak-plak!" keras sekali ketika sepasang lengan tangan Han Sin menangkisi pukulan-pukulan kedua orang lawannya. Tung-hai Siangmo setelah menyerang beberapa jurus dan dapat ditangkis, saling pandang dengan heran.

"Bukankah itu Im-yang-kun dari Cin-ling-pai. Bocah, Giok Thian Cin Cu itu apamu?" bentak Ji Kak Touw.

"Giok Thian Cin Cu itu adalah suhuku pula," jawab Han Sin tenang. Semua orang terkejut mendengar ini. Yang lebih kaget adalah Bhok Kian Teng karena ia tidak mengerti bagaimana bocah gunung itu ternyata adalah murid dari orang-orang pandai.

Pertempuran berjalan terus dan dengan hati gelisah Bhok-kongcu melihat bahwa juga Tung-hai Siang-mo tidak banyak berdaya. Seperti mempermainkan anak-anak kecil, Han Sin berdiri tegak dan hanya kedua tangannya bergerak-gerak ke depan, namun dua orang iblis itu sama sekali tidak mampu mendekatinya.

"Cinjin, bocah ini berbahaya. Harap kau suka maju dan membantu untuk menangkapnya hidup atau mati," kata Bhok-kongcu perlahan.

Namun ucapan yang perlahan ini masih dapat terdengar oleh Han Sin yang selalu memperhatikan agar kongcu itu tidak melarikan diri. Pemuda ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali berkelebat ia telah meninggalkan lawannya dan tahu-tahu ia telah berada di depan Bhok-kongcu.

"Orang she Bhok, aku datang untuk minta adikku, kenapa kau bermaksud membunuhku? Di mana Bi Eng?"

Bhok-kongcu menjawab dengan sebuah serangan kilat, menggunakan kipasnya. Kipas ini tidak saja ia pergunakan untuk menyerang jalan darah maut di leher Han Sin, malah sekaligus dari ujung kipas keluar jarum-jarum beracun yang menyambar ke dada pemuda dari Min-san itu.

"Keji!" Han Sin yang bermata jeli dapat melihat ini. Tangannya mengibas, jarum-jarum runtuh dan kipas itu dapat ia cengkeram. "Krak-krak!" Hancurlah kipas itu dilain saat kedua tangan Bhok-kongcu sudah dapat ia pegang dengan erat. "Lepaskan adikku!" Han Sin membentak lagi.

Akan tetapi tiba-tiba dari arah belakangnya menyambar hawa pukulan dahsyat berturut-turut. la terpaksa melepaskan tangan Bhok-kongcu dan memutar tubuh sambil menangkis.

"Dukk!" Tubuh Hoa Hoa Cinjin terpental, demikian pula Tung-hai Siang-mo yang tadi bersama-sama mengirim serangan dari belakang. Hebat sekali tangkisan Han Sin tadi, sekaligus membuat tiga orang kakek itu terpental.

"Kalian memang orang-orang jahat, perlu dihajar!" Timbul amarah dalam hati Han Sin dan pemuda ini lalu mainkan Ilmu Silat Lo-hai Hui-kiam yang dahsyat. Kedua ujung jari telunjuknya menjadi pengganti pedang namun dua buah jari tangan ini malah lebih berbahaya lagi karena dapat menotok jalan darah dari jarak jauh.

Sebentar saja Hoa Hoa Cinjin dan Tunghai Siang-mo menjadi sangat repot menghadapi hujan totokan ini. Coa-tung Sin-kai juga cepat melompat maju untuk membantu sehingga sesaat kemudian Han Sin sudah dikeroyok oleh empat orang tokoh besar yang amat disegani orang kang-ouw.

Memang amat mengherankan kalau dilihat. Seorang pemuda yang masih amat muda belia, kini dikeroyok oleh empat orang tokoh yang biasanya merupakan jago-jago yang berkedudukan tinggi, bahkan yang dianggap merupakan calon-calon jago silat yang terpilih di kota raja! Dan tetap saja mereka tak dapat berdaya banyak menghadapi Lo-hai Hui-kiam yang bukan dimainkan dengan pedang, melainkan dengan dua buah jari tangan!

Baru tiga puluh jurus saja, dua buah jari tangan yang bergerak-gerak cepat sehingga kelihatannya berubah menjadi puluhan banyaknya, serta yang amat berbahaya biarpun dipergunakan dari jauh, tak dapat ditahan oleh Tung-hai Siang-mo yang sudah roboh terguling karena totokan, sedangkan pada lain saat, Coa-tung Sin-kai juga terhuyung-huyung karena terserempet pundaknya oleh hawa totokan dari jari tangan kanan Han Sin!

Hanya Hoa Hoa Cinjin yang kosen itulah yang masih dapat melawan, biarpun kini hanya mempertahankan diri saja. Dari sini dapat diukur bahwa di antara empat orang tokoh itu, Hoa Hoa Cinjin ternyata lebih kuat.

Bhok-kongcu gelisah sekali, mukanya pucat dan keringatnya mengucur. Ia menyesal sekali mengapa ayahnya tidak berada di situ. Untuk menghadapi pemuda aneh itu kiranya hanya ayahnya yang boleh diandalkan. Diam-diam ia lalu memberi isyarat kepada para pengawalnya yang lari keluar dan tak lama kemudian, di luar istana itu terdengar derap kaki banyak orang. Kiranya pengawal tadi memanggil pasukan dan kini di luar telah menjaga ratusan orang serdadu Ceng untuk menangkap Han Sin!

"Cia Han Sin, kalau kau tidak menyerah, ratusan anak panah akan menghancurkan tubuhmu!" Tiba-tiba Bhok-kongcu berseru ketika pasukannya sudah berbaris masuk dengan anak panah terpasang pada busur setiap orang serdadu. Hoa Hoa Cinjin melompat mundur dan ketika Han Sin menoleh, ia sudah ditodong oleh ratusan orang serdadu yang memegang busur dan anak panah.

Pemuda ini tertawa aneh, mengangkat dada menghadapi para serdadu sambil berkata pada Bhok-kongcu, "Hidup bukan punyaku mati bukan milikku, aku takut apa? Hidup mati tidak penasaran, pokoknya aku berada di dalam kebenaran. Orang she Bhok, aku datang untuk minta kembali adikku. Kau tidak menuruti permintaanku yang pantas, malah hendak membunuhku. Bunuhlah, siapa takut?"

Bhok-kongcu memberi tanda dan para serdadu yang berada paling depan, segera melepas anak panah menyambar secepat kilat, mendatangkan suara mengaung mengerikan, ke arah tubuh Han Sin! Pemuda ini tenang-tenang saja, kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri sambil mengerahkan sinkang untuk mengebut dan menangkis. Runtuhlah semua anak panah itu, kecuali sebatang yang menancap di ujung pundaknya dan keluarlah darah membasahi baju!

Betapapun hebat kepandaian Han Sin menghadapi hujan anak panah itu tetap saja ia terluka biarpun luka itu amat ringan. Ia menjadi marah, diserbunya ke depan dan sekali tangan kakinya bergerak enam orang serdadu roboh! Keadaan menjadi kalut sekali dan Han Sin sudah bersiap mengamuk mati-matian dalam gedung Pangeran Mongol yang menyebut diri Bhok-kongcu itu.

Pada saat itu terdengar bentakan dari luar, bentakan halus berpengaruh,

"Tahan semua senjata!"

Hebat sekali pengaruh bentakan ini. Tidak hanya para serdadu itu serentak minggir dan berdiri tegak memberi hormat, malah Bhok-kongcu sendiri berikut kaki tangannya, Hoa Hoa Cinjin dan yang lain-lain, cepat membungkuk-bungkuk memberi hormat, kepada orang yang membentak tadi. Han Sin menoleh dan kaget serta herannya bukan kepalang.

"Yong-giheng.......!" serunya, memandang dengan mata terbelalak.

Orang itu memang Pangeran Yong Tee. Ia tersenyum kepada Han Sin, lalu tanpa menghiraukan yang lain ia menghadapi Bhok-kongcu dan berkata, "Saudara Cia ini adalah..... saudara angkatku, kalau ada persoalan boleh diselesaikan secara damai, tidak boleh sekali-kali menggunakan kekerasan."

Han Sin melongo ketika melihat betapa Bhok-kongcu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut! "Mohon paduka sudi mengampunkan. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa..... bahwa...... saudara Cia....."

"Bangunlah, cukup semua itu. Cuma saja lain kali, harap tidak melakukan pengeroyokan seperti yang baru terjadi tadi. Benar-benar amat memalukan. Hemmmm, kulihat tidak banyak gunanya orang-orangmu........" Pangeran Yong Tee lalu menggandeng tangan Han Sin dan menariknya pergi dari situ. "Adikku, mari kau ikut aku ke rumahku."

Sejak tadi Han Sin bengong terheran, sekarang ia ragu-ragu. Urusannya dengan Bhok-kongcu belum selesai, ia belum dapat menemukan Bi Eng.

"Tapi...... adikku Bi Eng........" bantahnya bingung.

"Serahkan urusan ini kepadaku, tentu beres. Marilah!" Yong Tee mengajak. Biarpun masih sangsi, Han Sin yang terpengaruh oleh kejadian aneh dan sikap kakak angkatnya yang nampaknya amat berpengaruh itu, tidak membantah dan mengikuti Yong Tee keluar dari gedung Bhok-kongcu.

Akan tetapi, ketika melihat ke mana saudara angkatnya yang aneh itu membawanya masuk yaitu ke sebuah gedung yang amat besar, seperti istana, jauh lebih mewah dan besar dari pada gedung tempat tinggal Bhok-kongcu, Han Sin menjadi pucat dan melepaskan pegangan Yong Tee sambil berkata,

"Gi-heng...... kau membawaku ke mana ini? Ke rumah siapa?"

Yong Tee tersenyum dan memegang lengan Han Sin lagi. "Ke rumah siapa lagi kalau bukan ke rumahku? Ini rumah ibuku.

"Mari masuk ke dalam......." Sementara itu, beberapa orang pelayan yang berada di luar sudah cepat menyambut kedatangan Yong Tee sambil memberi hormat secara khidmat sekali.

"Gi-heng...... kau........ kau siapakah......?" Han Sin bertanya gugup, sama sekali belum menyangka bahwa saudara angkatnya adalah seorang pangeran! Akan tetapi Yong Tee tidak menjawab, melainkan memberi perintah kepada orang-orangnya dengan ucapan, "Lekas beritahu Cia siocia bahwa kakaknya, Cia-kongcu sudah datang!"

Tentu saja perintah yang cepat-cepat dilakukan oleh para pelayan ini membuat Han Sin kaget dan girang luar biasa sampai ia melupakan pertanyaannya tadi. Dengan erat-erat ia genggam tangan Yong Tee, matanya berseri dan hampir ia berteriak-teriak saking girangnya.

"Gi-heng, jadi...... jadi adikku Bi Eng sudah berada di sini??"

Yong Tee mengangguk-angguk dengan senyum manis. "Bukankah tadi aku sudah bilang bahwa urusan adikmu itu kauserahkan saja kepadaku tentu beres?" Digandengnya lengan Han Sin, diajak memasuki rumah gedung besar itu. Sampai terbelalak mata Han Sin memandangi dan mengagumi isi ruangan yang mereka masuki. Semuanya serba indah. Serba megah dan besar.

"Sin-ko........!" Bi Eng berlari-lari dari dalam dan langsung menubruk dan memeluk leher Han Sin sambil menangis.

Han Sin kembali membuka matanya lebar-lebar melihat Bi Eng berpakaian amat indah. Rambut adiknya yang hitam panjang itu digelung semodel dengan gelung Li Hoa. Indah, cantik dan manis adiknya ini.

"Bi Eng......!" Iapun memeluk dan pada saat itu hatinya berdebar tidak karuan. Bi Eng ini bukan adik kandungnya!

"Sin-ko, syukur kau selamat. Ah, betapa selama ini hatiku selalu gelisah dan berduka. Ternyata Thian masih belum melupakan kita, Sin-ko. Thian telah menurunkan seorang penolong, yaitu Pangeran Yong Tee yang bijaksana ini. Mari kita menghaturkan terima kasih kepadanya."

Begitu mendengar ucapan ini, Han Sin menjadi makin pucat dan ia melepaskan pelukan adiknya, membalikkan tubuh memandang Yong Tee sambil berkata,

"Bi Eng! Apa katamu tali? Pangeran....... pangeran siapa..........?"

Bi Eng tersenyum di antara air matanya, air mata kegirangan. la memegang tangan Han Sin dan dibimbingnya kakaknya untuk maju. Lalu Bi Eng menjatuhkan diri berlutut, mengajak Han Sin juga berlutut. Akan tetapi Han Sin tidak mau berlutut, hanya berdiri menatap wajah Yong Tee dengan pandang mata tajam.

"Cia-siocia, tak pernah aku mengijinkan orang berlutut kepadaku......." tegur Yong Tee.

"Akan tetapi kali ini harap diberi kekecualian," jawab Bi Eng. "Hamba berdua kakak beradik harus menghaturkan terima kasih kepada paduka yang mulia. Kalau tidak ada paduka, bagaimana kami kakak beradik dapat saling bertemu.......?"

"Nona Bi Eng, jangan banyak sungkan. Ketahuilah, kita adalah keluarga sendiri. Kakakmu Han Sin ini sekarang sudah menjadi adik angkatku, berarti kaupun adikku sendiri. Bangunlah."

Bi Eng berseru girang dan melompat bangun terus memeluk kakaknya.

"Sin-ko, betulkah itu? Kau menjadi saudara angkat...... Pangeran?"

"Hush, adik Bi Eng, mulai sekarang tidak ada pangeran-pangeranan, kau boleh menyebutku Yong-ko saja," kata pangeran itu sambil tersenyum ramah.

Akan tetapi Han Sin kembali melepaskan pelukan Bi Eng, matanya sejak tadi tidak berkedip menatap wajah Yong Tee. Melihat sikap kakaknya seperti orang marah ini, Bi Eng melangkah mundur dengan heran.

"Gi...... gi-heng...... jadi kau seorang pangeran Mancu? Kenapa kau tidak katakan hal ini sebelumnya? Kau...... kau telah menipuku!" kata Han Sin wajahnya pucat.

Yong Tee menaikkan alis matanya dengan senyum membayang di bibir. "Gite, kenapa kau bilang begitu? Pangeran atau bukan, bukankah aku seorang manusia juga? Bukan kehendakku dilahirkan sebagai seorang Pangeran Mancu, juga bukan kehendakmu dilahirkan sebagai seorang Han. Bagiku tiada perbedaan."

"Kau menipuku! Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan seorang pangeran dari kerajaan yang menjajah tanah airku? Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan....... musuh-musuhku?"

"Bukan musuhmu, adikku. Kami keturunan Aisin-gioro dari Mancu bukan musuh, juga bukan orang lain. Kami dan bangsa Han sebetulnya masih sebangsa, Bangsa Tiongkok yang besar. Kami bermaksud untuk membikin Tiongkok menjadi negara yang besar, megah dan makmur. Kami tidak memusuhi rakyat yang kami cinta. Adikku Cia Han Sin, semua orang menganggap kau sebagai putera pemberontak, sebaliknya aku pribadi amat kagum kepada kakek dan ayahmu yang sudah kudengar riwayatnya. Orang seperti kau inilah yang kami butuhkan untuk kami ajak bekerja sama guna kemakmuran bangsa. Bukan orang-orang berwatak penjilat berhati palsu seperti....... orang she Bhok dan lain-lain itu. Mari, adikku, terimalah uluran tanganku ini."

Akan tetapi Han Sin melangkah mundur, tidak mau menjabat tangan kakak angkatnya. "Tidak! Ucapan seorang penjajah selalu manis, manis di mulut pahit di hati. Dengan ucapan manis menipu rakyat yang dijajahnya, menjanjikan kemakmuran bersama padahal maksudnya untuk kemakmuran rakyat dan golongan sendiri. Tidak!"

"Adik Han Sin, kau menyedihkan hatiku. Aku bermaksud baik akan tetapi kau menerima salah. Sekali lagi kujelaskan, kerajaan ayahku sama sekali tidak memusuhi rakyat, malah hendak membangun negara Tiongkok demi kemakmuran kehidupan rakyat."

"Bohong! Mataku telah buta! Aaahhh, mataku telah buta. Kau.... kau yang selama ini kukira seorang yang patriotik, kiranya malah Pangeran Mancu yang hendak kubasmi!" Ia mengepal tinju dan memandang pangeran itu dengan mata penuh kebencian dan sikap mengancam.

Pangeran Yong Tee tersenyum masam. "Begitukah? Saudaraku yang baik, kalau memang sudah tak dapat kuyakinkan hatimu, dan kau tetap menganggap kakak angkatmu ini sebagai musuh dan penjahat besar, marilah, kau boleh bunuh aku."

"Memang sudah sepatutnya aku membunuh anak penjajah!" Han Sin sudah menggerakkan tangan hendak memukul, akan tetapi melihat wajah pangeran itu dengan senyum tenang memandangnya, sinar mata yang selama ini ia kagumi dan ia cinta sebagai saudara angkat, membuat tangannya menjadi lemas kembali. Pada saat itu, Bi Eng melompat dan memegang tangannya.

"Sin-ko, kau kenapakah? Jangan berlaku yang tidak-tidak. Kau harus tahu bahwa Pangeran... eh, Yong-ko ini berbeda dengan sembarang orang dan sama sekali tidak bisa dianggap musuh. Kalau bukan oleh pertolongannya yang mengambilku dari cengkeraman orang she Bhok itu, apa kaukira kita akan masih dapat bertemu? Sin-ko, jangan kau memusuhi dia ini, apa lagi setelah kau dan dia bersumpah mengangkat saudara. Sin-ko, aku tahu kau bukan membenci orangnya, melainkan membenci karena dia keluarga kaisar yang menjajah. Akan tetapi apakah karena itu kita harus lupa akan budi?"

Han Sin menoleh perlahan kepada adiknya dan Bi Eng terharu melihat betapa wajah kakaknya ini pucat sekali dan dari kedua matanya menitik dua butir air mata. Belum pernah ia melihat kakaknya menitikkan air mata dan kenyataan ini menandakan betapa pada saat itu batin Han Sin tersiksa hebat.

"Bi Eng......," suara Han Sin lemah dan serak, "kau...... kau bergantilah pakaian, pakaianmu sendiri dan lekas kau menyusulku. Kutunggu di luar." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda ini sudah melesat keluar dari ruangan istana itu.

"Adik Han Sin......!" Yong Tee berseru memanggil namun Han Sin tidak perduli, menengokpun tidak.

Dengan isak tertahan Bi Eng lalu lari ke dalam kamarnya, menanggalkan pakaian indah pemberian Yong Tee, mengganti dengan pakaiannya sendiri, malah merobah bentuk gelungnya menjadi biasa kembali. Setelah itu ia lalu berlari keluar. Di ruang depan ia melihat Yong Tee masih berdiri seperti patung. Ia cepat menjura dengan hormat dan berkata perlahan,

"Pangeran.....eh, Yong-ko. Ampunkanlah kakakku Han Sin, dan ampunkan aku. Aku..... aku selamanya takkan melupakan budimu."

Yong Tee hanya mengangguk-angguk dengan senyum pahit. Dengan isak tertahan Bi Eng lalu berlari keluar di mana Han Sin sudah menantinya. Tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu berlari-lari pergi meninggalkan kota raja.

Yong Tee cepat dapat menenangkan hatinya. Ia lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah beberapa orang pengawal istana. "Lekas kalian beritahu kepada para penjaga pintu gerbang supaya pemuda dan pemudi yang baru keluar dari sini, jangan diganggu kalau keluar dari pintu gerbang. Dan bawa dua ekor kuda terbagus dan kuat, bersama dua kantong uang emas ini berikan kepada Han Sin dan Bi Eng itu disertai salamku. Cepat!"

Setelah utusannya pergi, Yong Tee menjatuhkan diri di atas kursi dan duduk seperti patung sampai satu jam lebih lamanya. Berkali-kali ia menarik napas dan sinar matanya menjadi suram-muram.

Han Si dan Bi Eng menjadi heran ketika di pintu gerbang sebelah barat mereka dihadang oleh pengawal-pengawal yang membawa dua ekor kuda. Seorang komandan pengawal berkata dengan hormat,

"Kami diutus oleh Pangeran Yong Tee untuk memberikan dua ekor kuda dan dua kantong emas ini disertai salam beliau untuk kongcu dan siocia."

Bi Eng meramkan matanya untuk menahan keluarnya air mata, saking terharu menyaksikan kebaikan terakhir dari pangeran itu. Namun Han Sin mengeraskan hatinya, dengan dagu mengeras ia menolak pemberian itu sambil berkata kepada si komandan,

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Kembalikan kuda dan uang itu kepada Pangeran Yong Tee, katakan kami sudah cukup menerima kebaikannya dan tidak mau mengganggu lagi." Kemudian pemuda ini menarik tangan Bi Eng dan berlari cepat, keluar dari pintu gerbang kota raja.

Setelah berlari cepat sekali sambil menarik tangan Bi Eng sampai puluhan li jauhnya, akhirnya Han Sin berhenti karena adiknya menangis. la melepaskan tangan Bi Eng, lalu memandang adiknya itu dengan penuh kasih sayang.

"Kau kenapa, Bi Eng?"

Bi Eng makin tersedu-sedu, mengusapi air mata yang membanjir turun di kedua pipinya. "Sin-ko....., aku girang sekali dapat bertemu kembali dan berkumpul kembali dengan kau. Tapi..... tapi sikapmu terhadap Pangeran Yong Tee.... benar mengecewakan hatiku. Dia begitu baik, dia telah menolongku, malah.... malah kudengar tadi kau sudah mengangkat sumpah bersaudara dengan dia....."

Han Sin mengerutkan keningnya. "Adik Bi Eng, kau tidak tahu betapa hatiku sendiri hancur menghadapi kenyataan ini. Aku suka kepada pribadi pangeran itu. Akan tetapi kau lihatlah kenyataan. Orang-orang seperti Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin dan para pengkhianat bangsa yang sudah kita jumpai, semua adalah anak buah pemerintah penjajah. Kau dan aku adalah keturunan patriot, kita harus melanjutkan jejak perjuangan nenek moyang, yang luhur dan jaya. Kita harus menggulung lengan baju bersama para pejuang rakyat lain menyelamatkan tanah air, menghancurkan penjajah dan antek-anteknya. Tentang Pangeran Yong Tee itu andaikata benar-benar dia itu berhati mulia, apakah kebaikan seorang saja akan melumpuhkan semangat perjuangan kita? Apakah kebaikan seorang Yong Tee dapat membersihkan kejahatan penjajah dan kaki tangannya yang menindas bangsa kita? Apakah karena kebaikan seorang Yong Tee, kau dan aku harus masuk pula menjadi sekutunya, menjadi pengkhianat bangsa?"

Bi Eng menjadi pucat ketika ia memandang kakaknya. Tanpa disadari lagi, kepalanya yang cantik itu menggeleng-geleng keras dan bibirnya yang pucat itu berkata, "Tidak! Sekali lagi tidak! Tentu saja aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Tapi....,tapi...., bagaimana aku akan tega memusuhi dia yang begitu baik?" Dan gadis itu menangis lagi.

Han Sin menaruh tangannya di pundak Bi Eng. "Bukan hanya engkau, Eng-moi. Aku sendiripun kiranya takkan sampai hati untuk memusuhi Yong-giheng, seorang yang kuanggap amat baik dan malah sudah menjadi kakak angkatku. Eng-moi, marilah kita kembali dulu ke Min-san. Ketahuilah, selama ini aku sudah mempelajari ilmu silat. Setelah semua pengalaman pahit getir selama kita turun gunung, kita perlu beristirahat di Min-san, di sana kau boleh memperdalam ilmu silatmu, kemudian baru kita akan berusaha menghubungi dan menggabungkan diri dengan para patriot."

Bi Eng mengangkat mukanya memandang kakaknya. "Aku sudah menduga bahwa akhirnya kau akan menjadi seorang ahli silat, Sin-ko. Marilah kalau kau menghendaki kita pulang ke Min-san."

Sambil berjalan cepat di sepanjang perjalanan Han Sin menceritakan pengalaman-pengalamannya. Bi Eng merasa kagum sekali, akan tetapi juga amat berduka ketika mendengar tentang Siauw-ong, monyet peliharaan itu yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya. Ia sampai mencucurkan air mata kalau mengingat Siauw-ong.

"Jangan bersedih, Eng-moi. Kelak aku akan membawamu turun gunung lagi dan kita cari Siauw-ong di Lu-liang-san. Kukira dia berada di dalam hutan di gunung itu."

Terhiburlah hati Bi Eng dan kedua orang muda ini melanjutkan perjalanannya. Sikap Bi Eng terhadap Han Sin masih biasa, manja dan penuh cinta kasih seorang adik. Sebaliknya, biarpun di luarnya Han Sin masih bersikap biasa pula, namun di dalam hatinya timbul bermacam-macam perasaan. Gadis ini bukan adik kandungnya! Seorang gadis anak orang lain, yang sama sekali tidak dikenalnya! Sinar mata dalam pandangnya terhadap Bi Eng berubah, membuat jantungnya kadang-kadang berdetak aneh dan.cinta kasihnya terhadap Bi Eng juga mulai berubah. Biarlah pikirnya, kelak akan kubongkar rahasia gadis ini, akan kucari siapa sebetulnya orang tuanya. Dengan pikiran ini, Han Sin dapat menenteramkan hati dan bersikap biasa. Pemandangan di sepanjang perjalanan nampak terang dan indah setelah kakak beradik ini berkumpul kembali, hati penuh rasa bahagia dan tenteram.

"KELIRU, adik Eng "..! Kembali kau tidak curahkan perhatianmu ke dalam gerakan ini."

Gadis cantik jelita itu berhenti bersilat, menarik napas panjang lalu duduk di atas bangku dalam taman bunga itu. Kembali ia menarik napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan sutera hijau menghapus peluh dari leher dan pipinya yang kemerah-merahan. Bibirnya menjadi merah sekali karena pergerakan-pergerakan tadi, merah membasah, segar seperti buah masak. Sayang mata yang jeli itu kini membayangkan rasa duka.

Si pemuda yang melatih ilmu silat, berdiri bengong. Bagaikan terkena hikmat luar biasa, ia berdiri terpesona menatap wajah si gadis yang tertimpa sinar matahari pagi, wajah yang pada saat itu demikian elok dan jelita seperti wajah bidadari.

Si gadis menengok, bertemu pandang. Cepat si pemuda menundukkan kepalanya.

"Eh, Sin-ko (kakak Sin)! Apa-apaan kau berdiri seperti patung di situ? Kau tentu kecewa, ya? Memang otakku bebal, gerakan Heng-pai Kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring) tadi bagiku amat sukar, Sin-ko."

Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Sin, sudah dapat menenteramkan hatinya. Ia mengangkat muka, memandang kepada Bi Eng tenang-tenang. Keningnya agak berkerut.

"Bi Eng, adikku. Sebetulnya tidak ada barang sukar di dunia ini. Tergantung seluruhnya dari pada besar kecilnya kemauan kita. Gerakan kaki dan tanganmu sudah tepat, pengaturan tenaga dan napas juga sudah cocok sebagaimana mestinya. Akan tetapi, sayang sekali perhatianmu kurang tercurah dalam gerakan itu. Ketahuilah, adikku. Seperti juga dalam mengerjakan sesuatu, di dalam ilmu silatpun harus dipergunakan pencurahan pikiran ditujukan bulat-bulat kepada gerakan yang dilakukan (konsentrasi). Karena hanya dengan konsentrasi ini, kita akan dapat melihat setiap perubahan gerakan lawan dan dapat mengatur perkembangan gerakan kita sendiri."

Bi Eng tertawa. Gadis ini memang riang gembira sifatnya. Biarpun tadi matanya membayangkan kedukaan, namun sekarang begitu giginya yang putih berderet rapi itu terlihat dalam ketawanya, lenyaplah segala awan mendung. Cahaya matahari seakan-akan menjadi lebih gemilang. Dengan lagak manja Bi Eng menyambar tangan Han Sin dan menariknya duduk di sampingnya, di atas bangku.

"Duduklah, Sin-ko, jadi enak kita mengobrol. Kau berdiri marah-marah seperti seorang guru yang galak terhadap muridnya yang tolol!"

Mau tidak mau Han Sin tertawa juga. Kegembiraan Bi Eng selalu menjadi sinar dalam pondok mereka, menjadi cahaya terang dalam kesunyian di puncak Gunung Min-san, menjadi cahaya yang selalu bersinar-sinar di dalam lubuk hatinya!

"Eh, Sin-ko. Kau ini sekarang seperti dewa saja. Bagaimana kau bisa menyelami pikiranku? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku tidak mencurahkan seluruh perhatian dan pikiran ke dalam gerakan tadi padahal menurut kau sendiri, kaki tangan, tenaga dan napas yang kupergunakan sudah tepat!"

"Pandang matamu yang membuka rahasiamu, Eng-moi."

"Pandang mataku? Ada apanya sih yang aneh?" Gadis itu menengok menatap wajah kakaknya. Muka mereka berdekatan, hati Han Sin kembali berdebar-debar aneh. Cepat-cepat ia memalingkan muka.

"Pandang matamu membayangkan sesuatu yang menyatakan bahwa di dalam pikiranmu kau mengkhawatirkan sesuatu, membuat kau gelisah dan tak dapat mencurahkan seluruh perhatian ke dalam pelajaran tadi. Ilmu Silat Thian-po Cin-keng yang terdiri dari tiga bagian kali tiga puluh enam jurus adalah ilmu silat yang gerakan-gerakannya selalu disesuaikan dengan batin. Karena itu tidak mudah dipelajari. Aku hanya ingin menurunkan tiga jurus saja kepadamu. Yang tiga ini, Heng-pai Kwan-im, Jip-hai-siu-to, dan Ci-po-thian-keng, biarpun hanya tiga macam, akan tetapi sekali kau dapat menguasainya dengan sempurna sukarlah kau dikalahkan orang. Akan tetapi...., sudahlah soal itu, aku hanya ingin tahu kenapa kau agaknya mengkhawatirkan dan menyusahkan sesuatu, adikku?"

Sinar kekaguman terpancar keluar dari pandang mata Bi Eng.

"Kau memang hebat, Sin-ko. Alangkah bangga hatiku mempunyai kakak seperti kau! Eh, dewa yang bijaksana, setelah kau ketahui keadaan pikiranku, tentu kau tahu pula akan isi hatiku!"

Han Sin menggeleng kepalanya. "Mana aku bisa tahu apa yang terkandung dalam hatimu?" Biarpun mulutnya berkata demikian, hati pemuda ini mengeluh. "Aduhai Bi Eng, kaupun mana bisa tahu akan isi hatiku? Mana kau tahu bahwa kita ini bukan saudara kandung bukan sanak bukan kadang, dan mana kau tahu bahwa aku.... aku cinta padamu?"

Bi Eng mengerut. Bibirnya diruncingkan matanya mengerling, pura-pura marah. "Kau tentu bisa menerka. Kalau kau tidak mau menerka, aku akan marah, Sin-ko!"

Han Sin tersenyum. Senang melihat kalau "adiknya" ini sudah mengambul dan bermanja seperti itu.

"Baiklah, akan kucoba. Eng-moi, bukankah selama kita berdiam lebih dari tiga bulan di atas gunung ini, hatimu selalu terkenang kepada tempat-tempat jauh di bawah sana? Bukankah hatimu selalu hendak mengajak aku turun gunung seperti dulu lagi? Itukah agaknya yang selalu mengganggumu dalam gerakan ilmu silat."

Aneh! Tiba-tiba Bi Eng menubruk Han Sin, menyandarkan kepala dengan rambut yang hitam halus harum itu di atas dada kakaknya, dan menangis!

Akan tetapi keanehan sikap Bi Eng ini masih tidak seaneh sikap Han Sin bagi Bi Eng. Gadis itu merasa betapa Han Sin mendekapnya, seakan-akan kakaknya itu hendak berusaha memasukkan kepalanya ke dalam dada kakaknya! Erat-erat dan menggigil kedua tangan kakaknya itu memeluknya dan Bi Eng merasa betapa muka kakaknya dengan panas disembunyikan ke dalam rambutnya. Tentu saja hal ini terasa aneh sekali bagi Bi Eng. Gadis ini menggerakkan kepalanya, menoleh ke arah muka Han Sin yang tadi dibenamkan ke dalam rambut yang gemuk itu.

Seperti baru sadar dari mimpi, Han Sin mengeluarkan keluhan aneh, melepaskan pelukannya, melangkah mundur membuang muka tak berani menentang pandang mata Bi Eng. Gadis itu melihat betapa wajah kakaknya pucat sekali dan betapa dua titik air mata membasahi pelupuk mata Han Sin. Timbul kasihan di dalam hati Bi Eng, ia mengira bahwa kakaknya itu menangis dan bersikap seaneh itu karena tadi terharu melihatnya. Ia melangkah maju dan memegang tangan kakaknya yang terasa dingin dan gemetar.

"Sin-ko, maafkan aku.... aku hanya membuat kau susah saja. Tidak, Sin-ko. Aku takkan rewel lagi. Aku takkan mengajak kau turun gunung selama kau belum menghendakinya. Aku akan belajar lebih rajin lagi. Sin-ko, jangan kau marah padaku, ya?"

Sikap manja kekanak-kanakan ini membuyarkan semua ketegangan di hati Han Sin. la kini dapat menatap wajah adiknya lagi, dan mukanya menjadi merah sekali.

"Eng-moi, tentu akan tiba saatnya kita turun gunung. Karena akupun ingin mencari Siauw-ong, monyet kita yang hilang tak karuan di mana adanya itu. Kukira dia tentu masih berada di sekitar Lu-liang-san, di sebuah hutan yang banyak monyetnya. Akan tetapi, selain rindu kepada Siauw-ong, aku tidak ingin mencari siapapun juga...."

Ia berhenti sebentar, kemudian dengan pandang mata penuh selidik dan tajam sekali sampai membuat Bi Eng berdenyut takut, ia bertanya, "Mungkin kau ingin turun karena sudah rindu sekali kepada......kepada teman-temanmu.....?"

"Sin-ko, kau ini aneh benar! Siapa sih temanku di dunia ini selain kau sendiri dan Siauw-ong?"

Masih saja wajah Han Sin memperlihatkan sikap penuh selidik dan aneh. "Apa.....apa kau tidak ingin bertemu dengan.... dengan Yong Tee? Bukankah dia sahabat baikmu?"

Bi Eng membelalakkan matanya. Ia heran sekali melihat sikap Han Sin yang tidak sewajarnya dan tidak seperti biasanya ini, dan dia sebetulnya masih terlalu bodoh untuk dapat menduga apa sebabnya maka Han Sin berhal demikian. Namun perasaan wanitanya yang halus seakan-akan mengerti bahwa Han Sin tak senang kalau dia bersahabat baik dengan pangeran itu, atau bahkan dengan orang-orang lain atau tepatnya dengan laki-laki lain!! Cemburu!! Tentu saja belum sampai pengertian Bi Eng untuk menyangka bahwa Han Sin cemburu seperti layaknya seorang pria mencemburukan wanita pilihannya!

"Sin-ko! Kau ini bagaimana sih? Yong Tee adalah kakak angkatmu, dengan sendirinya diapun menjadi kakak angkatku. Dan sikapku terhadapnya tak lebih tak kurang hanya seperti seorang adik, demikianpun dia memperlakukan aku sebagai seorang adiknya!"

Akan tetapi jawaban ini masih belum mengubah sikap Han Sin yang aneh.

"Bagaimana hubunganmu dengan.... Yan Bu? Bukankah dia amat baik padamu dan kau memuji-mujinya?"

Bi Eng makin merasa heran. Kakaknya hari ini benar-benar aneh!

"Dia memang orang baik, seorang gagah perkasa dan pernah menolongku. Akan tetapi bagiku, hanya habis sampai di situ sajalah. Tentu saja kalau dapat bertemu dengan dia sebagai seorang teman kita yang baik, kita akan menjadi girang. Akan tetapi, aku tidak akan mencari-carinya....dan.... eh, Sin-ko, kau kenapakah? Hari ini sikapmu kok luar biasa. Tadi seperti guru galak, lalu baru saja ketika aku menangis kau seperti.... seperti...."

"Seperti apa.....??

Gadis itu berpikir keras, namun tak dapat memecahkan persoalan itu, hanya menggeleng kepala, "Seperti entahlah, pendeknya aneh sekali! Dan sekarang, kau seperti hakim saja!"

Sikap aneh tadi lenyap dari muka Han Sin. Ia sudah dapat tersenyum lagi.

"Jangan marah, adikku yang baik. Aku tadi hanya main-main saja. Sssttt, dengar. Ada orang datang......!"

Pendengaran Bi Eng sudah amat tajam walaupun tidak setajam Han Sin. Setelah mencurahkan perhatian, barulah ia dapat mendengar langkah kaki orang yang mendaki puncak itu. Mereka terheran karena langkah kaki ini menunjukkan bahwa yang datang bukanlah seorang ahli silat, kalaupun ada kepandaiannya, namun kepandaian orang yang datang ini tidak berarti.

Han Sin dan Bi Eng sudah berlari keluar dari taman, kini berdiri menanti di depan rumah mereka, rumah peninggalan orang tua mereka. Siapakah yang datang di tempat sunyi ini? Langkah kaki yang kelelahan makin terdengar dekat. Batu terakhir yang banyak mengelilingi puncak itu dipanjat orang dan muncullah kepala seorang pemuda tampan berpakaian sederhana.

"Dia....??" Berubah wajah Han Sin ketika ia mengenal orang ini.

Wajah Bi Eng berseri, tapi hanya sebentar saja. Ketika ia mengerling kepada Han Sin, segera ia mengerutkan kening. Kakaknya nampak tak senang, bahkan kelihatan marah-marah. Dengan tindakan cepat Han Sin menghampiri pemuda yang baru datang itu. Bi Eng cepat menyusulnya.

"Mau apa kau datang ke sini? Muslihat busuk apakah yang akan kaulakukan? Pergi!" seru Han Sin marah.

Pemuda itu menarik napas panjang dan memandang dengan muka sedih. Sejak tadi Bi Eng melihat bahwa orang yang datang ini diliputi kedukaan besar. la merasa kasihan, lalu memegang lengan kakaknya dan berkata kepada orang itu,

"Yong-ko (kakak Yong), maafkan kalau kami tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya. Ada keperluan apakah Yong-ko mendatangi tempat kami yang sunyi?"

Kembali orang itu yang bukan lain adalah Yong Tee, pangeran dari Kerajaan Mancu, menarik napas panjang. "Terima kasih atas sikapmu yang baik, siauw-moi. Sayang sekali gi-te (adik angkat) nampaknya masih membenci aku, sehingga agaknya perjalananku yang amat jauh dan susah payah ini akan tersia-sia, harapanku akan musnah dalam hidupku akan hancur...." Dan tiba-tiba pangeran yang biasanya amat cerdik, amat tenang dan dapat menguasai segala hal itu menjatuhkan diri di atas tanah dan...... menangis!

Bukan main terharunya hati Bi Eng. Ingin ia menghiburnya, akan tetapi ia merasa tidak enak dan takut kepada Han Sin. Adapun Han Sin yang menyaksikan sikap pangeran ini, heran sekali. la sudah mengenal baik-baik watak Yong Tee, tahu bahwa kalau tidak ada hal yang amat hebat, tak mungkin pangeran itu akan memperlihatkan sikap seperti ini, demikian lemahnya.

Tergerak hatinya, tetapi, keangkuhannya mengekangnya. Bagaimana ia bisa bersikap manis terhadap seorang pangeran dari kerajaan yang menjajah nusa bangsanya? Untuk menutupi keharuan hatinya melihat bekas saudara angkat yang dahulu amat dipandang tinggi dan dikasihinya, Han Sin membentak,

"Seorang laki-laki boleh mengeluarkan peluh dan darah, pantang mengeluarkan air mata! Kau datang mau apakah? Harap segera terangkan, atau tinggalkan kita!"

Diam-diam rasa cemburu timbul lagi dalam dada Han Sin. Harus ia akui bahwa pangeran ini amat tampan, halus tutur sapanya, baik budinya, dan mempunyai kepandaian yang amat luas. Benar-benar seorang pemuda yang menjadi harapan tiap orang gadis, tentu saja termasuk Bi Eng! Agaknya perasaan cemburu inilah yang mempertebal rasa bencinya terhadap pangeran Bangsa Mancu ini.

Mendengar ucapan Han Sin itu, pangeran Yong Tee memaksa tersenyum masam. "Kau betul sekali, Cia-gite. Kau adalah jauh lebih gagah dari pada aku. Aku lemah sekali....... kali ini terpaksa kuakui betapa lemahnya aku...... Cia-te, aku datang untuk memohon pertolonganmu."

"Kau adalah seorang Pangeran Mancu, bagaimana bisa minta pertolonganku? Aku adalah musuh kerajaanmu, mengerti? Kedudukan kita menempatkan kita berhadapan sebagai musuh, tak mungkin menjajarkan kita sebagai teman atau saudara."

"Saudaraku, ucapanmu lagi-lagi tepat sekali. Akan tetapi kali ini, aku minta pertolonganmu karena urusan pribadi, sama sekali tidak menyangkut urusan politik dan negara....."

Melihat sikap Han Sin masih bersikeras, dan kasihan melihat sikap pangeran itu yang tak segan-segan merendahkan diri dan agaknya amat berduka, Bi Eng lalu berkata,

"Sin-ko selalu bersiap sedia menolong siapapun juga tanpa memilih bulu, asal saja pertolongan yang dibutuhkan tidak menyimpang dari pada kebenaran. Saudara Yong, katakanlah, apa gerangan yang menyusahkanmu?"

Yong Tee memandang kepada gadis itu dengan berterima kasih. Kemudian ia bercerita tentang keadaan di kota raja yang sudah banyak mengalami perubahan semenjak Han Sin dan Bi Eng meninggalkannya. Ringkasan cerita Pangeran Yong Tee adalah sebagai berikut.

Seperti telah diketahui, penyerbuan Bangsa Mancu ke daerah Tiongkok, mendapat bantuan pula dari bangsa-bangsa lain di utara, di antaranya yang paling berjasa adalah Bangsa Mongol. Karena itulah nama besar Raja Muda Bhok Hong atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan sebutan Pak-thian-tok (Racun Dunia Utara), yaitu seorang pangeran Bangsa Mongol, bersama puteranya yang bernama Bhok Kian Teng, lebih terkenal dengan sebutan Bhok-kongcu dan sebetulnya bernama Pangeran Galdan, amat terkenal dan merupakan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Mancu.

Namun ternyata kemudian bahwa jalan politik Bangsa Mancu amat jauh bedanya dangan Bangsa Mongol. Bangsa Mongol yang dulu pernah menjajah Tiongkok, merupakan penjajah yang kejam dan mementingkan bangsanya sendiri. Sebaliknya, bangsa Mancu berusaha menyesuaikan diri, malah melakukan banyak kebaikan untuk rakyat jelata seperti membasmi korupsi, penyuapan, dan juga mereka ini malah menyesuaikan diri mengikuti perkembangan kebudayaan Han.

Hal ini amat mengecewakan Bangsa Mongol, di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu yang dibantu banyak orang pandai, juga mengandalkan nama besar dan kepandaian ayahnya, Pak-thian-tok Bhok Hong! Apa lagi setelah pihak pemerintah Mancu muncul orang-orang seperti Pangeran Yong Tee yang selalu berusaha merintangi perbuatan sewenang-wenang dari orang-orang Mongol, pemberontakan orang Mongol tak dapat dicegah lagi!

Setelah berkali-kali mengalami perselisihan dengan pemerintahan Mancu, akhirnya Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan membawa semua anak buah dan pembantunya, melarikan diri ke utara dan di sana dia menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Kerajaan Mancu, untuk mengusir Bangsa Mancu dari daratan Tiongkok, bukan dengan maksud membebaskan rakyat dari pada penjajahan, malah sebaliknya, hendak melanjutkan penjajahan nenek moyangnya dahulu, yaitu Jenghis Khan yang maha besar!

Cari Blog Ini