Kasih Diantara Remaja 19
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Bi Eng berdiri lagi, cemberut. "Kau ini apa-apaan lagi, koko? Masa tiada hujan tiada angin mengurus soal....... tahi lalat! Menurut seingatku, tak pernah ada tahi lalat pada kakiku. Laginya, siapa sih yang suka mengingat-ingat tentang tahi lalat?"
Han Sin terdiam, terpukau dan merenung. Bingung memikirkan. Tak salah lagi, Tilana yang sekarang menjadi puteri Balita, dia itulah anak Ang-jiu Toanio yang dulu meninggalkan dan menukarkan anaknya itu dengan anak ibunya, adik kandungnya. Kemudian adik kandungnya yang dicuri dan ditukar oleh Ang-jiu Toanio itu terampas oleh seorang Mongol pemelihara harimau. Entah bagaimana nasibnya.
Dan Ang-jiu Toanio sendiri bilang bahwa anaknya itu telah ditukar lagi oleh lain orang, dan mempunyai tanda merah pada dekat telinganya. Tentulah Balita yang menukarnya, mengira bahwa anak Ang-jiu Toanio itu anak mendiang ibunya. Tentu dengan maksud yang sama dengan Ang-jiu Toanio, maksud keji karena dendam!
Dengan demikian Bi Eng ini tentu anak Balita, anak musuh besar ayahnya, yang sampai sekarang masih mendendam, buktinya mengirim Tilana untuk membunuhnya. Celakanya, ia terlibat dalam urusan asmara yang serba membingungkan dan memalukan dengan Tilana itu! Hebat.......!
Dengan hati tidak karuan, wajah selalu murung dan hanya menjawab ocehan-ocehan Bi Eng dengan singkat saja. Han Sin bersama adiknya itu melanjutkan perjalanannya, menuju ke timur, ke Lu-liang-san, karena hendak mencari Siauw-ong yang mereka rasa pasti berada di daerah pegunungan itu.
Perjalanan menuju ke Lu-liang-san dilakukan cepat oleh Han Sin dan Bi Eng. Di sepanjang perjalanan, dua orang muda ini mendengar hal-hal yang amat aneh. Sepanjang jalan mereka mendengar bahwa orang-orang gagah di dunia kang-ouw, sebagian besar telah bergabung dengan bala tentara Mancu untuk membantu kerajaan ini menggempur para pemberontak di utara, membantu melawan orang-orang Mongol! Alangkah janggalnya ini. Membantu penjajah? Benar-benar mengherankan sekali dan berita ini mendatangkan kemarahan dan kemendongkolan di hati mereka, terutama di hati Han Sin!
"Tak tahu malu menyebut diri patriot! Membela penjajah!" gerutu Han Sin. Bi Eng diam saja, biarpun ia merasa juga betapa janggalnya hal ini.
Ketika mereka tiba di lereng Gunung Lu-liang-san, tiba-tiba dari sebuah hutan terdengar pekik seekor monyet. Han Sin dan Bi Eng keduanya terkejut dan girang.
"Suara Siauw-ong........" Bi Eng segera mengenal suara itu. la sudah hendak memanggil, akan tetapi Han Sin cepat mencegahnya dengan isyarat tangan.
"Ssttt, jangan memanggilnya. Apa kau tidak mendengar tadi? Suaranya adalah suara keluhan dan kemarahan. Tentu dia terancam bahaya. Hayo kita cepat pergi mencarinya, suaranya dari hutan itu........"
Cepat keduanya berlari-lari memasuki hutan kecil dan tibalah mereka di daerah yang berbatu. Gunung-gunungan batu berderet di tempat itu dan pemandangan indah di pegunungan ini, pemandangan indah dan aneh. Sekarang suara Siauw-ong terdengar jelas dan monyet itu merintih-rintih. Han Sin dan Bi Eng menghampiri tempat itu sambil berindap-indap. Tiba-tiba mereka mendengar suara seorang wanita,
"Diamlah kau, monyet yang baik. Lukamu memang parah, racun sudah menjalar jauh, aku sudah berusaha sedapatku. Ah, sayang sekali..... kalau dia berada di sini......... ah, di manakah sekarang Han Sin berada?"
"Li Hoa......!" Han Sin dan Bi Eng berseru hampir berbareng dan mereka segera meloncat ke atas batu. Dari tempat ini terlihatlah oleh mereka di mana adanya Siauw-ong. Memang betul monyet itu berada di situ bersama Thio Li Hoa, gadis cantik manis bergelung tinggi, puteri Thio-ciangkun, gadis yang gagah perkasa dan yang jatuh cinta kepada Han Sin!
Li Hoa terkejut dan bukan main kaget dan girangnya ketika ia melihat orang yang dikenang-kenangnya, orang yang selama ini ia rindukan, ternyata telah berada di situ bersama Bi Eng.
"Kau..... kalian....... di sini........?" la bertanya gagap, merah sekali mukanya karena baru saja ia menyebut-nyebut nama Han Sin.
Akan tetapi Han Sin segera meloncat turun dan mengangkat tubuh Siauw ong. "Dia kenapa.......?" tanyanya gelisah. Ternyata monyet kecil itu kedua kakinya dibalut, nampak pucat dan biru kehitaman kakinya. Monyet itu meringis-ringis ketika melihat Bi Eng dan Han Sin, lalu....... dari kedua matanya keluar air mata. Monyet itu bisa menangis!
"Siauw-ong......, Siauw-ong..... kau kenapa?" Bi Eng mengusap-usap kepala monyetnya, penuh kasih sayang, sedangkan Han Sin cepat memeriksa luka di kedua kaki. Luka itu kecil saja, seperti tusukan jarum, akan tetapi membuat kedua kaki hitam agak mengembung. Tanda luka karena racun.
Diam-diam Han Sin terheran. Siauw-ong pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa, kenapa terpengaruh oleh racun? Tentu racun luar biasa sekali, kalau tidak begitu, tentu racun itu akan tertolak oleh racun Pek-hiat-sin-coa.
"Nona Li Hoa, bagaimana kau bisa berada di sini bersama Siauw-ong?" Akhirnya Han Sin bertanya setelah memeriksa luka di kaki monyet itu.
Li Hoa sejak tadi mernandang kepadanya, dan makin lama memandang, makin mendalam cinta kasihnya. Setelah banyak mengalami penderitaan karena berpisah dari ayahnya, perpisahan badan dan pendapat, setelah banyak menemui orang-orang gagah, makin yakin hati gadis ini bahwa pilihan hatinya, yaitu Han Sin pemuda gunung yang luar biasa itu, adalah tepat. Sukar mencari seorang Han Sin ke dua di dunia ini.
Sementara itu, Han Sin dan Bi Eng juga melihat banyak perubahan pada diri Li Hoa. Gadis ini masih cantik manis seperti dulu, akan tetapi lebih sederhana, tidak pesolek seperti dulu. Kalau dulu ia merupakan seorang gadis bangsawan yang angkuh, sekarang ia lebih merupakan seorang gadis kang-ouw, seorang yang gagah dan sederhana.
"Secara kebetulan saja aku mendapatkan dia," Li Hoa bercerita setelah menarik napas panjang. "Kebetulan aku lewat di hutan ini dan aku melihat monyetmu ini bergulingan di tanah terkena lemparan jarum rahasia seorang kakek cebol yang aneh. Aku segera mengenal monyet ini dan aku menegur orang itu. Dia marah marah dan kami bertempur. Akhirnya ia melarikan diri dan aku menolong monyet ini."
"Keparat! Siapakah iblis cebol itu? Di mana dia sekarang? Biar kucekik lehernya!" Bi Eng berseru marah. Li Hoa tersenyum mendengar ini. Masih galak, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Bi Eng sekarang berbeda dengan Bi Eng dahulu. Mana dia bisa melawan kakek cebol itu?
"Aku sendiri tidak mengenalnya dan tidak tahu di mana rumahnya. Akan tetapi dia lihai sekali, apa lagi jarum-jarum beracunnya," katanya.
Kemudian atas pertanyaan Han Sin tentang orang-orang gagah yang ikut membantu Kerajaan Mancu melawan orang-orang Mongol, Li Hoa bercerita. Apa yang didengar oleh Bi Eng dan Han Sin memang betul adanya. Para tokoh kang-ouw sebagian besar membantu pergerakan pemerintah Mancu memerangi orang-orang Mongol yang dipimpin oleh Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu di utara itu.
Bahkan Ciu-ong Mo-kai, guru pertama Han Sin dan Bi Eng, Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio, orang-orang gagah Cin-ling-pai dan orang-orang gagah lain juga sudah bergabung menjadi satu membantu pemerintah Ceng! Mendengar ini Han Sin dan Bi Eng kaget bukan main.
Li Hoa melihat keheranan mereka, lalu berkata, "Tadinya aku sendiripun merasa heran. Mungkin kalian belum tahu bahwa aku sendiri sudah bentrok dengan ayah. Ayah membantu Pangeran Yong Tee atau tegasnya membantu pemerintah Ceng, akan tetapi aku tidak suka melihat penjajah. Akan tetapi, setelah melihat pemerintah Ceng, apa lagi berkat pengaruh Pangeran Yong Tee yang amat baik, dan mengingat betapa kejamnya orang-orang Mongol kalau sampai mereka berhasil menjajah tanah air kita, maka akupun membenarkan tindakan mereka, orang-orang gagah itu. Lebih baik sekarang kita membantu pemerintah untuk mengalahkan bala tentara Mongol yang amat kuat. Kemudian, soal menghalau penjajah dari manapun juga keluar dari tanah air, adalah soal ke dua. Kalau sekarang kita menghadapi dua musuh, orang-orang Mancu dan orang-orang Mongol, kiranya usaha perjuangan para patriot takkan berhasil."
Dengan panjang lebar Li Hoa menjelaskan kepada Han Sin yang mulai dapat mengerti mengapa orang-orang gagah itu sekarang "tampaknya" membantu pemerintah Mancu, padahal hanya membantu pemerintah yang berkuasa sekarang untuk mengusir bahaya yang lebih besar, yaitu orang-orang Mongol. Setelah orang-orang Mongol berhasil dihancurkan, barulah kelak berusaha menggulingkan pemerintah penjajah, tentu akan lebih ringan! Han Sin mulai belajar mengerti tentang perkembangan politik.
"Akan tetapi tidak mudah," kata Li Hoa. "Selain ada pertentangan-pertentangan sendiri di dalam, banyak pula orang-orang pandai yang membantu Bhok-kongcu. Kekuatan mereka sungguh tak dapat dipandang ringan. Maka sekarang bertemu dengan kau, aku banyak mengharapkan bantuanmu agar kita cepat-cepat menghancurkan bahaya yang datang dari utara itu." Ia mengerling kepada Han Sin penuh harapan.
"Tentu saja kita harus membantu mereka. Apa lagi kalau suhu sudah berada di sana pula!" kata Bi Eng tegas. Akan tetapi, Han Sin menghela napas, ia masih ragu-ragu. Tidak ada nafsu untuk membantu pemerintah penjajah. Betapapun juga, ia masih tidak rela kalau harus berjuang untuk membantu penjajah, sungguhpun pada hakekatnya itupun merupakan perjuangan menyelamatkan bangsa dari pada ancaman penjajah baru yang lebih buas dan jahat.
"Bagaimana nanti sajalah, paling perlu sekarang aku harus mencarikan pengobatan untuk Siauw-ong. Kulihat keadaannya parah sekali........"
Tiba-tiba Han Sin menghentikan kata-katanya dan berpaling ke belakang. "Ada orang......" bisiknya. Li Hoa dan Bi Eng yang tidak mendengar sesuatu cepat menengok dan.... benar saja, di atas sebuah batu yang tinggi, entah dari mana dan kapan datangnya, di sana telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gendut, berpakaian sebagai seorang saudagar dan sedang tersenyum menyeringai. Matanya yang tajam bergerak-gerak lihai dan cerdik. Li Hoa segera mengenalnya.
MEMANG benar. Orang ini adalah Lie Ko Sianseng yang berjuluk Swi-poa-ong (si Raja Swipoa), seorang tokoh kang-ouw kenamaan yang berilmu tinggi, cerdik banyak akal. Sesuai dengan julukannya, dia adalah seorang saudagar yang berdagang segala macam barang, segala macam benda hidup atau mati!
"Ha ha ha, nona Thio benar bermata awas. Seorang patriot wanita yang muda dan gagah. Tentu kawan-kawannya inipun orang-orang gagah belaka. Ha ha ha! Alangkah senangnya bertemu dengan orang-orang muda yang pandai. Sayang...... kulihat monyet cerdik itu sudah mau mampus."
Bi Eng tak senang mendengar ucapan ini, akan tetapi Li Hoa yang tahu akan kecerdikan "saudagar" ini, segera berkata dengan suara manis,
"Lie Ko Sianseng, kau yang banyak pengalaman, banyak kenalan dan banyak akal, tentu dapat menolongnya. Katakanlah, siapa kiranya dapat menolong mengobati monyet ini?"
Kembali Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng tertawa terbahak. "Kumendengar tadi bahwa monyet itu terluka oleh jarum berbisa. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si tukang tangkap binatang berotak miring? Kalau dia yang melukai, siapa lagi kalau bukan dia pula yang menyembuhkannya?"
Berseri wajah Han Sin mendengar ini. Cepat ia berdiri dan menjura penuh hormat. "Orang tua yang baik budi, harap kau sudi menolong, tunjukkanlah di mana rumahnya orang pandai itu."
"Ha ha ha ha, ayahnya gagah perkasa dan halus tutur sapanya, anaknyapun begitu. Pantas menjadi putera Cia Sun taihiap!"
Kagetlah Han Sin, akan tetapi segera ia dapat menindas perasaannya. Malah ia bangga sekali. Agaknya semua orang kang-ouw kenal belaka siapa ayahnya! "Jadi lo-enghiong mengenal mendiang ayahku?"
"Aku seorang saudagar. Pergi datang, ke mana saja membawa untung bagi orang lain dan bagi diri sendiri. Bagaimana tidak mengenal orang? Lai Sian si tukang tangkap binatang berotak miringpun aku kenal, apa lagi ayahmu."
Sekali lagi Han Sin menjura. "Kalau begitu, Lie lo-enghiong yang budiman, sudikah kau menunjukkan tempat tinggalnya Lai Sian itu?"
Swi-poa-ong mengangguk-angguk. "Boleh,..... boleh......, siapa tahu lain kali kau akan dapat membantuku sebagai balasan."
Li Hoa yang sudah mengenal baik kakek penuh akal busuk itu hendak mencegah, namun Han Sin sudah mendahuluinya, "Tentu sekali, lo-enghiong yang baik. Tidak ada budi baik yang tak terbalas."
"Hanya satu syaratnya. Kau boleh membawa monyet itu, ikut dengan aku ke tempat tinggal Lai Sian, akan tetapi dua orang nona ini tak boleh turut."
Bi Eng mengerutkan kening. "Orang gendut! Kau anti benar kepada wanita! Apa sih salahnya kalau aku ikut kakakku?"
"Ha ha ha ha! Itulah sebabnya! Apa lagi kalau ada gadis jelita galak seperti kau ini, waaahh, Lai Sian bisa lari terbirit-birit ketakutan. Dia amat takut kepada wanita, maka kalau dua orang nona ini ikut, biar dipaksa sampai mampus sekalipun dia takkan mau keluar, bahkan mungkin lari minggat sebelum kita menemui dia!"
Han Sin dan Bi Eng juga maklum akan adanya orang-orang kang-ouw yang bertabiat aneh luar biasa. Mereka lalu berunding. Han Sin memutar otak lalu bertanya kepada Li Hoa,
"Nona, di mana adanya suhu Ciu-ong Mo-kai Tang Pok?"
Sebelum Li Hoa menjawab, kakek itu sudah mendahuluinya, "Ha ha! Di mana lagi kalau tidak di kota Ta-tung? Semua orang berada di sana, membantu orang Mancu memukul orang Mongol. Di sana banyak arak wangi, di mana lagi si setan arak itu kalau tidak di sana?"
"Betulkah nona?" tanya Han Sin. Li Hoa mengangguk.
"Kalau begitu, bukankah kau juga hendak ke sana?"
Kembali Li Hoa mengangguk.
"Sekiranya kau tidak keberatan, biarlah adikku ini pergi bersamamu ke Ta-tung. Kalau sudah selesai urusanku dengan Siauw-ong, tentu aku menyusul ke sana."
Dua orang gadis itu menyetujui. Memang, maksud kepergian Han Sin dan Bi Eng adalah untuk mencari Hoa-ji, dan tentu saja di tempat pertempuran itulah kemungkinan mendapatkan Hoa-ji. Setelah memesan baik-baik kepada Bi Eng agar supaya jangan pergi meninggalkan Ta-tung sebelum ia menyusul ke sana, Han Sin lalu memondong Siauw-ong dan pergi bersama Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng. Li Hoa sempat berbisik kepadanya,
"Hati-hatilah menghadapi dia itu...."
Adapun Li Hoa lalu mengajak Bi Eng pergi meninggalkan Lu-liang-san, menuju ke Ta-tung, kota di mana berkumpul orang-orang gagah yang membantu pertahanan pemerintah terhadap pemberontakan orang-orang Mongol.
Lie Ko Sianseng mengajak Han Sin keluar masuk hutan-hutan di pegunungan Lu liang-san. Di dalam sebuah hutan besar, Han Sin melihat sebuah pondok yang aneh. Pondok ini dibangun di atas pohon besar, seperti sarang burung. Dan seperti seekor burung setan yang besar, kepala seorang kakek menongol keluar dari jendela rumah itu. Hanya kepalanya saja yang tampak, dengan lehernya yang panjang, mata yang sipit yang memandang penuh curiga ke bawah!
"Haiii, Lai Sian si otak miring! Turunlah kau, di sini ada seorang pemuda ingin bertemu."
Lai Sian, orang yang berada di pondok di atas pohon itu, melirik ke arah Siauw-ong di pondongan Han Sin. Adapun Siauw-ong yang sejak tadi merintih-rintih saja, begitu melihat kakek di atas itu, lalu meringis dan menggereng.
"Hi hi hi, monyet cerdik yang tolol! Ditangkap baik-baik tidak mau, dihadiahi jarum baru tahu rasa. Mau apa dibawa bawa ke sini?"
"Lai Sian, kau turunlah, biar kita bicara baik-baik. Kalau perlu, aku sanggup membeli obat penyembuh kaki monyet ini, biar dengan harga berlipat dari pada harga umum!"
"Makelar busuk! Tukang catut, tukang tipu! Siapa doyan uangmu yang bau keringat dan darah manusia? Rumahku selalu terbuka, mau ada keperluan naiklah. Hi hi hi, tentu saja tidak ada tangga, kalau mau boleh panjat pohon seperti monyet!"
Lie Ko Sianseng berbisik kepada Han Sin, "Kau lihat saja, aku akan paksa dia turun. Akan tetapi kalau sudah diobati monyetmu, jangan kau lupa akan janjimu untuk membalas budi padaku." Setelah berkata demikian, kakek ini tertawa bergelak, mengenjot kedua kakinya dan tubuhnya sudah meloncat ke atas.
"Tukang catut, apa kau sudah ingin mampus?" seru Lai Sian. Tiba-tiba kedua tangan kakek cebol itu nampak diayun dan beberapa buah jarum kecil-kecil menyambar ke arah tubuh Lie Ko Sianseng yang sedang "melayang" naik. Han Sin terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget. Akan tetapi Lie Ko Sianseng hanya tertawa, menggunakan jubah luarnya yang lebar itu dikebutkan. Sekaligus semua jarum tertahan oleh "tameng" ini dan sebelum si kakek cebol sempat menyerang lagi, Lie Ko Sianseng sudah hinggap di atas sebuah cabang dekat pondok.
"Kau masih tidak mau turun?" Lie Ko Sianseng menggunakan tangannya mendorong pondok dan......... dengan suara keras pondok yang seperti sarang burung itu miring lalu terguling roboh ke bawah membawa penghuninya yang tak sempat ke luar!
Pondok itu menerbitkan suara hiruk pikuk ketika terjatuh ke atas tanah dan berbareng dengan jatuhnya terjadi hal hal yang aneh dan menggelikan. Lie Ko Sianseng berkaok-kaok dan mengaduh kesakitan, melompat turun terhuyung-huyung sampai terjengkang saking gugup dan bingung.
Ternyata ketika ia mendorong roboh pondok itu, sarang tawon yang rupanya dipelihara oleh Lai Sian ikut pecah dan ratusan ekor tawon kini beterbangan mengeroyok Lie Ko Sianseng, malah ada beberapa ekor yang sudah berhasil menyengat mukanya! Tidak heran apabila saudagar gendut ini tunggang-langgang dan mengaduh-aduh!
Sementara itu, di bawah terjadi hal yang aneh pula. Begitu rumah itu terjatuh dan pecah berantakan tidak hanya kepala kakek cebol itu yang nampak keluar merangkak, melainkan banyak pula binatang binatang buas yang menerjang keluar. Harimau, srigala, biruang, rusa dan lain lain. Malah seekor harimau besar segera maju dan menerkam Han Sin, sedangkan yang lain-lain saking kaget dan takutnya lari cerai-berai sambil mengeluarkan suara gaduh! Kiranya pondok kecil kakek itu penuh binatang-binatang hutan!
Han Sin terkejut sekali dan cepat mengelak. Lai Sian, kakek aneh itu kini merangkak keluar dan terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat Han Sin sibuk menanggulangi macan sedangkan Lie Ko Sianseng kebingungan dikeroyok tawon-tawon yang marah.
"Hi hi hi, he he he, bagus bagus. Baru kalian tahu rasa sekarang, berani main-main dengan aku!"
Akan tetapi kegirangannya cepat berakhir karena dengan sebuah tendangan kilat, Han Sin berhasil membuat macan itu terlempar jauh, jatuh berdebuk lalu lari tunggang-langgang. Sedangkan Lie Ko Sianseng yang sudah bengkak-bengkak pipinya, berhasil pula mengusir tawon-tawon itu dengan melepaskan jubah dan mempergunakan jubahnya sebagai senjata. Kini Lie Ko Sianseng dengan marah menerjang Lai Sian. "Orang gila, kau benar-benar keterlaluan!"
Segera terjadi pertempuran hebat antara si saudagar dan si cebol. Mereka sama-sama cepat gerakannya, sama-sama ahli silat yang pandai. Han Sin yang melihat mereka bertempur mati-matian merasa khawatir. Betapapun juga, sebetulnya tindakan Lie Ko Sianseng merobohkan rumah orang tadilah yang keterlaluan. Cepat ia melompat maju dan berkata,
"Harap ji-wi berhenti bertempur. Kedatangan kami sebetulnya bukan untuk memusuhi tuan rumah."
Teringatlah Lie Ko Sianseng akan urusan yang lebih besar. la datang membawa Han Sin ke tempat itu bukan semata-mata untuk mengobatkan monyet, apa lagi untuk menentang Lai Sian, ada hal yang lebih penting lagi. Maka ia melompat mundur dan berkata, "Orang gila she Lai benar gagah!"
Lai Sian berdiri melototkan matanya. "Kalian ini datang-datang mengacau. Mau apa sekarang?"
Han Sin segera maju menjura dan berkata hormat, "Harap Lai-enghiong suka memaafkan kami. Sebetulnya kami datang untuk mohon pertolonganmu agar suka menyembuhkan luka di kaki monyetku ini."
Lai Sian membuang ludah. "Huh, monyet sialan! Aku suka mengumpulkan dan memelihara binatang-binatang hutan, karena binatang-binatang itu jauh lebih baik dari pada manusia-manusia. Monyet ini berbeda dengan monyet biasa, gerakan-gerakannya seperti mengandung ilmu silat. Aku berusaha menangkapnya, namun gagal. Terpaksa kulukai dia. Eh, muncul siluman wanita cantik membelanya. Kiranya monyet ini siluman!"
"Harap lo-enghiong suka bermurah hati dan memaafkan monyetku ini. Berilah obat, Lai-enghiong."
Kakek itu tertawa mengejek. "Di dunia ini mana ada obat dapat menyembuhkan, kau mau apa?"
Tiba-tiba Lie Ko Sianseng tertawa bergelak, membuat Han Sin menjadi mendongkol. Orang tidak mau mengobati monyetnya, kenapa tukang catut ini malah tertawa bergelak?
"Ha ha ha, saudara Cia Han Sin, percuma saja kau minta dia mengobati. 0rang pendek cebol macam si gila ini, mana bisa mengobati? Ha ha, Lai Sian. Bilang saja kau tidak becus, kenapa mesti aksi-aksian bilang tidak mau?"
Han Sin menjadi geli hatinya. Tahulah ia sekarang akan kelihaian si Saudagar ini, yang jelas mempergunakan siasat memanaskan hati orang cebol yang aneh itu. Benar saja, Lai Sian melototkan matanya sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk matanya, lalu ia membentak,
"Tukang catut busuk! Siapa percaya omonganmu yang bau? Monyet ini aku yang melukainya, masa aku tidak dapat menyembuhkannya?"
"Ha ha ha, omong sih gampang! Tapi buktinya, dong! Kalau kau sudah benar-benar bisa mengobati sampai sembuh, aku berani bertaruh kepala!"
Kaget sekali hati Han Sin mendengar ini. Apa Lie Ko Sianseng sudah menjadi gila? Masa mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi Lai Sian kelihatan girang sekali.
"Baik, baik.....! Kau lihat saja, aku akan menyembuhkannya dalam sekejap mata. Dan bocah ini menjadi saksi akan janji taruhanmu."
Seperti seekor tikus, kakek cebol itu lalu menyelinap memasuki rumahnya yang sudah berantakan, mencari ke sana ke mari, akhirnya membawa sebuah peti kecil. Dibukanya peti itu, dikeluarkannya beberapa bungkus obat. Kemudian ia membuka balutan kaki Siauw-ong, menggunakan sebatang jarum perak menusuk sana-sini, lalu tampaklah darah hitam keluar dari luka-luka di kedua kaki itu.
Han Sin memegangi Siauw-ong agar monyet yang marah-marah itu tidak banyak bergerak. Kemudian Lai Sian menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan...... Siauw-ong tidak memberontak lagi, kelihatannya enak tidak sakit lagi. Warna hitam di kedua kakinya lenyap seketika! Ketika Han Sin melepaskan pegangannya, monyet itu meloncat loncat, cecowetan akhirnya melompat ke atas pundak Han Sin. Dia telah sembuh sama sekali!
Han Sin menjadi tegang hatinya ketika Lai Sian mengeluarkan sebatang golok dan menghadapi Lie Ko Sianseng. "Heh heh heh, tukang catut, hayo kau berikan kepalamu kepadaku!"
Tiba-tiba Lie Ko Sianseng tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke kiri dan tahu-tahu ia telah menangkap seekor kelinci, dipegangnya pada kedua telinganya. Entah darimana ia menyulapnya, tahu-tahu ia telah memegang sebatang pedang pendek yang agaknya ia cabut dari balik jubahnya yang panjang itu, diayunkannya pedang dan.......... sekali tabas saja putuslah leher kelinci yang masih menetes-netes darahnya itu, lalu diacungkannya ke depan muka Lai Sian.
"Nih taruhanku, ambillah!" la melemparkan kepala kelinci kepada Lai Sian dengan pengerahan tenaga. Baiknya Lai Sian cepat-cepat miringkan kepala sehingga muka kepala kelinci itu tidak "mencium" mukanya. Ketika ia mengangkat kepala, ia melihat Lie Ko Sianseng sudah menarik tangan Han Sin dan berlari-lari pergi dari situ.
"Curang!Tak tahu malu! Kau tadi mempertaruhkan kepala!" Lai Sian lari mengejar.
"Eh, otak miring. Aku tadi mempertaruhkan kepala, tapi siapa bilang bahwa yang kupertaruhkan adalah kepalaku? Aku hanya bilang kepala, dan yang kumaksudkan adalah kepala kelinci itu. Sudah lunas!"
Lai Sian berhenti mengejar, berdiri bengong. Betul juga kata-kata saudagar yang licik itu. "Setan, kenapa kau tadi tidak bilang kepala kelinci?" Ia membentak dengan suara hampir menangis.
"Siapa salah? Kenapa kau tadi tidak tanya kepala apa yang kumaksudkan?" jawab Lie Ko Sianseng sambil tertawa.
Han Sin menjadi geli hatinya. Kalau saja tadi Lie Ko Sianseng berjanji mempertaruhkan kepalanya, tentu dia tidak akan membiarkan Lie Ko Sianseng melanggar janjinya. Akan tetapi sekarang ternyata bahwa saudagar itu tidak menipu, hanya menggunakan siasat, tidak melanggar janji, maka ia yang ditarik diajak lari hanya tertawa-tawa dan ikut berlari pergi. Dari jauh terdengar Lai Sian memaki maki dan malahan menangis!
Siapa yang pernah naik kereta ditarik kuda yang berjalan di atas jalan berbatu-batu di tempat yang amat sunyi, tentu akan mengalami kesenangan yang nikmat. Suara kaki kuda, beradunya besi tapal kaki kuda dengan batu, menimbulkan irama yang amat sedap didengar, apa lagi di tempat sunyi. Hal ini adalah karena jalannya empat buah kaki kuda itu amat tetap, menimbulkan irama tenang.
"Plik.... plak..... plak keteplik-keteplak.... plik..... plak"
Enak sekali irama itu sehingga tidak jarang tukang-tukang gerobak kuda tertidur sambil memegangi kendali, lenggat lenggut dibuai irama suara kaki kuda.
Di atas jalan pegunungan berbatu, tempat yang amat sunyi di kaki Gunung Lu-liang-san, terdengar pula irama ini, memecahkan kesunyian di sekelilingnya. Udara cerah.
Segera terlihat kuda yang menarik sebuah gerobak kecil dan orang akan tertawa kalau melihatnya. Memang pemandangan yang lucu. Kusir gerobak ini bukanlah manusia, melainkan seekor monyet kecil yang duduk di atap gerobak! Monyet itu dengan gaya yang lucu memegangi kendali, nyengar-nyengir sambil mengeluarkan bunyi, "Ckk.... ckk.... ckk...." dari mulut yang diruncingkan. Dia ini bukan lain adalah Siauw-ong, monyet peliharaan Han Sin yang sudah sembuh sama sekali dari pada luka di kakinya.
Han Sin duduk di dalam gerobak, di depan, dan di belakangnya duduklah si gendut Lie Ko Sianseng. Hati Han Sin agak gembira, pertama karena monyetnya sudah ditemukan dan sudah sembuh, kedua kalinya karena setelah jauh dari Bi Eng, ia tidak lagi menderita rasa tak enak berhubung dengan pengalamannya baru-baru ini dengan Tilana. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa ia merasa amat rindu kepada Bi Eng.
Lie Ko Sianseng amat ramah dan baik padanya, dan kakek ini yang duduk di belakangnya tiada hentinya bicara dan mentertawakan Lai Sian.
"Aku amat berterima kasih kepadamu, lo-enghiong. Kalau tidak ada kau yang membawaku kepada kakek cebol itu, entah apa jadinya dengan Siauw-ong."
"Lai Sian itu memang lihai sekali. Semenjak kecil ia suka menangkapi binatang-binatang, bahkan ular-ular berbisa menjadi permainannya. la tahu betul akan racun-racun segala macam ular."
Tahulah kini Han Sin mengapa kakek cebol ini dapat menggunakan racun yang dapat meracuni Siauw-ong, agaknya racun itu hebat sekali, lebih hebat dari pada racun Pek-hiat-sin-coa. Diam-diam ia bergidik. Kepandaian si cebol itu tidak seberapa hebat, akan tetapi pengertiannya tentang penggunaan racun benar-benar berbahaya.
"Kau lebih lihai dari padanya, lo-enghiong. Budimu besar sekali, bahkan boleh dibilang Siauw-ong berhutang nyawa kepadamu."
"Ha ha ha, manusia hidup harus saling tolong-menolong, orang muda. Aku dapat menolongmu, tentu kaupun dapat menolongku, bukan?"
Han Sin tergerak hatinya. Teringat ia akan pesanan Li Hoa, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi kakek ini. Ia sudah tahu akan kecerdikan saudagar ini, yang demikian lihai sehingga dapat mempermainkan Lai Sian dengan tipu muslihatnya.
"Apakah yang dapat kulakukan untukmu, lo-enghiong? Kalau saja aku dapat melakukannya tentu akan kuusahakan membantumu."
Lie Ko Sianseng terbatuk-batuk kecil di belakang Han Sin. "Orang muda pernahkah kau mendengar tentang...... surat wasiat Lie Cu Seng.......?"
Berdebar jantung Han Sin. Eh, kiranya orang ini menuju ke situ! Beberapa tahun yang lalu, banyak orang kang-ouw mendesaknya untuk memperebutkan surat wasiat itu yang berisi pelajaran Ilmu Silat Thian-po-cin-keng! Dan kiranya kakek ini menolong Siauw-ong dengan maksud ini pula. Herannya bagaimana kakek ini tahu akan segala hal yang terjadi di dunia kang-ouw.
Akan tetapi Han Sin pura-pura bersikap tenang saja. "Aku tahu, lo-enghiong, bahkan surat wasiat itu adalah peninggalan ayahku Cia Sun kepadaku. Kenapa kau menanyakannya?"
"Heh heh heh, tidak apa-apa. Aku adalah seorang saudagar, banyak sudah aku menjualbelikan barang-barang aneh dan indah. Orang muda, maukah kau menjual kitab itu kepadaku? Lima ratus tael perak kubeli..... eh, seorang pemuda banyak membutuhkan uang, biar kubayar seribu tael perak! Bagaimana?"
Han Sin menoleh sebentar sambil tersenyum. "Sayang sekali, lo-enghiong. Kitab itu sudah kubakar di dalam guha, karena banyak orang jahat hendak merampasnya dari tanganku."
"Apa......?" Suara yang tadi sabar itu sekarang menjadi kasar, dan tiba-tiba Han Sin merasa betapa jalan darah Tiong cu-hiat di belakang lehernya dan jalan darah Thai-yang-hiat di punggungnya telah disentuh oleh ujung-ujung jari tangan! Dua jalan darah itu adalah jalan-jalan darah terpenting dan penyerangan totokan yang tepat akan dapat mendatangkan maut. 0rang telah "menodongnya" dengan ancaman mati! Akan tetapi ia dapat menekan perasaannya dan bersikap tenang sekali.
"Orang muda, kau tentu tidak begitu bodoh untuk membakar kitab tanpa membaca isinya. Kau tentu sudah membacanya, bukan?"
Han Sin mengangguk. "Tentu saja!" Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan yang mengancam jalan darahnya gemetar.
"Dan isinya tentu pelajaran ilmu silat dan ilmu perang, bukan?" kini suara kakek itu bergemetar pula malah.
Kembali Han Sin mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?" Diam-diam Han Sin tersenyum lagi. Jari-jari tangan itu makin menggigil dan makin menekan tubuhnya.
"Orang muda..... kau tadi bilang hendak membalas budi padaku,....... nah, sekarang kutagih. Aku minta kepadamu supaya kau mengajarkan isi kitab itu seluruhnya kepadaku sebagai pembalasan jasaku terhadap kau dan monyetmu" Kini Han Sin merasa betul betapa jari-jari tangan itu sudah menekan keras maka maklumlah ia bahwa kakek ini sebenarnya bukan meminta, melainkan memaksa dengan ancaman maut! Akan tetapi ia tetap tenang.
"Maaf, lo-enghiong. Permintaan ini tak dapat kupenuhi. Tadi kusanggupi permintaan yang kiranya dapat kulakukan, akan tetapi hal ini tak mungkin dapat kulakukan. Isi kitab merupakan rahasia bagiku, tak boleh diberitahukan kepada siapapun juga."
"Orang muda tak ingat budi! Kau harus menuruti kemauanku, karena nyawamu berada di ujung jariku."
Han Sin tertawa geli. "Ha ha, kau aneh sekali, lo-enghiong. Mana bisa nyawa orang berada di ujung jarimu? Nyawaku berada di tangan Tuhan, dan kalau Tuhan belum menghendakinya, siapapun juga takkan mungkin dapat membunuhku!"
"Bodoh kau! Sekali saja jari-jari tanganku menotok, nyawamu akan melayang!"
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau cobalah! Apa kau merasa lebih berkuasa dari pada Tuhan?" Han Sin mengejek.
Lie Ko Sianseng menjadi gemas. Ia tidak bermaksud membunuh pemuda ini, akan tetapi karena melihat Han Sin berkeras kepala tidak mau memberikan isi kitab kepadanya, cepat ia lalu menotok jalan darah di punggung pemuda itu, bukan untuk membunuh, hanya untuk membikin pemuda itu lemas agar ia dapat memaksanya. Ia mengerahkan tenaga ke arah ujung jari telunjuk dan jari tengah dari tangan kirinya, lalu menusuk, "Takk!" Lie Ko Sianseng meringis! Tubuh itu tidak bergeming, malah jari-jari tangannya terasa sakit-sakit seperti menusuk baja saja!
Tanpa menoleh Han Sin tersenyum. Kalau saja tadi Lie Ko Sianseng menusuk jalan darah kematian, tentu pemuda ini takkan tinggal diam dan memberi hajaran. Akan tetapi, mendapat kenyataan bahwa yang ditotok hanya jalan darah yang tidak berbahaya, pemuda ini yang berhati welas asih, memaafkan perbuatan itu, apa lagi karena dia memang berterima kasih kepada kakek ini.
Di lain pihak, kakek saudagar itu merasa penasaran dan heran sekali. Sekali lagi tangannya menotok, kini di jalan darah belakang pundak untuk membuat pemuda itu kaku tanpa mengancam nyawanya.
"Cusssss........!" Berteriaklah kakek itu saking kagetnya. Jari tangannya menusuk daging yang lunak dan empuk, akan tetapi yang mengandung hawa dingin membuat tulang-tulang jarinya serasa tertusuk ratusan jarum kecil-kecil. la cepat menarik tangannya, meringis kesakitan, akan tetapi memaksa diri tertawa bergelak!
"Ha ha, he he he ""! Tak salah sedikitpun juga dugaanku! Ternyata kau telah menjadi ahli waris ilmu hebat dari Tat Mo Couwsu.....! Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!" Kakek ini memang seorang yang memiliki kecerdikan luar biasa, dan perhitungan masak seperti lazimnya seorang saudagar yang pandai. Karena itulah maka ia dijuluki Swi-poa-ong (si Raja Swipoa).
Seperti diketahui, swipoa adalah alat menghitung yang amat praktis dan cepat serta tepat, maka julukan Raja Swipoa ini dapat membayangkan betapa cerdik dan masak perhitungannya dalam melakukan segala macam hal. Ia memang sejak dulu merindukan kitab peninggalan Lie Cu Seng, maka bertemu dengan Han Sin tentu saja timbul keinginan hatinya untuk memiliki kitab itu atau setidaknya isinya.
Inilah sebabnya maka ia sengaja menolong pengobatan Siauw-ong dengan resiko besar, kemudian menuntut pembalasan budi dari Han Sin. Dasar ia cerdik, ia tidak mau mengancam Han Sin dengan totokan maut. Sekarang melihat bahwa ia tidak berdaya menghadapi pemuda yang ternyata telah memiliki kepandaian luar biasa ini, ia mengganti siasat.
"Kepandaian manusia tidak ada artinya kalau keliru mempergunakannya, lo enghiong. Pula, sampai di mana batas ilmu? Tiada habisnya dan setiap orang manusia memiliki, keistimewaan masing-masing, maka aku tak perlu mengiri terhadap orang lain......." Dengan ucapan ini Han Sin menyindir kakek itu.
"Ha ha ha, kau betul..... kau betul......! Benar-benar hebat dan pantas sekali menjadi putera Cia-taihiap. Tampan halus, lihai dan berbudi baik, suka menolong dan ingat budi........."
Diam-diam Han Sin mendongkol sekali. Ia sekarang dapat merasakan kelihaian kakek ini. Tipu muslihat adalah lebih berbahaya dari pada pukulan yang ampuh, karena ilmu silat dapat dilihat dan dihadapi, dapat dilawan. Sebaliknya tipu muslihat sukar sekali diduga apa macamnya dan dari mana datang penyerangannya.
Benar Li Hoa, pikirnya, aku harus berhati hati menghadapi si gendut ini. Kalau sudah menanam budi, orang macam ini tentu bukan menanam tanpa pamrih, tentu menghendaki balasan, bahkan dengan bunga-bunganya! Lebih baik cepat-cepat membereskan perhitungannya dengan kakek ini, pikirnya.
"Lie Ko Sianseng, aku takkan lupa akan pertolonganmu sampai Siauw-ong menjadi sembuh. Lekaslah kausebutkan, pekerjaan apa yang dapat kulakukan untuk membayar hutang budimu itu. Akan tetapi tentu saja sekali lagi kutekankan bahwa aku hanya akan melakukan pekerjaan yang tidak melanggar kebajikan, dan yang dapat kulakukan."
Merah wajah Lie Ko Sianseng. Akan tetapi dasar dia bermuka tebal, maka sambil menyengir kuda ia berkata, "Tadi aku hanya main-main saja, Cia-taihiap." Kini ia menyebut "taihiap" untuk mengambil hati. "Aku sudah tua, untuk apa mempelajari lain ilmu silat? Selain tiada gunanya, juga belum tentu aku sanggup, tulang-tulangku yang tua sudah terserang penyakit encok, napasku sudah pendek! Aku hanya ingin mencoba kepandaianmu, taihiap, agar aku tidak ragu-ragu untuk menyerahkan tugas ini kepadamu, dan aku percaya kau akan suka menolongku."
"Tugas apa? Pertolongan bagaimana?" Han Sin bertanya, hati-hati.
"Begini Cia-taihiap. Aku telah membeli barang-barang berharga, perhiasan, sutera halus, kayu wangi, dan lain-lain berjumlah dua peti. Nah, barang-barang ini akan kuangkut ke kota Ta-tung....."
"Kota di mana berkumpul orang-orang gagah, ke mana adikku telah pergi?" tanya Han Sin.
"Betul, hendak kujual di sana. Kau sendiri mengerti, dalam keadaan perang seperti sekarang ini, perjalanan amat tidak aman, dan aku..... aku merasa takut untuk membawanya sendiri ke sana......."
"Hemm, Lie lo-enghiong memiliki kepandaian tinggi, takut apa?"
Merah muka Lie Ko Sianseng. "Ahhh, kalau aku berkepandaian tinggi, kiranya aku takkan berani menyusahkanmu. Aku mohon pertolonganmu, karena kau sendiripun hendak pergi menyusul adikmu ke Ta-tung, tolonglah kaukawal dua buah peti itu menggunakan gerobak ini. Maukah kau menolongku?"
Han Sin berpikir sebentar. Ia memang harus pergi ke Ta-tung menyusul Bi Eng. Apa salahnya dititipi dua peti? Laginya, ia dapat melakukan perjalanan dengan gerobak, lebih enak dari pada berjalan kaki. "Baiklah, lo-enghiong. Untuk membalas budimu, aku akan mengawalnya. Padahal dengan adanya kau, kata-kata mengawal itu tidak tepat lagi........"
"Jangan salah duga, taihiap. Aku sendiri sih tidak ikut ke Ta-tung. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan..... eh, urusan perdagangan tentunya........"
Han Sin diam saja, namun di dalam hatinya ia tidak percaya. Orang seperti ini bukanlah pedagang biasa, amat cerdik dan lihai. Entah barang apa yang berada di dalam dua buah peti. Akan tetapi hal itu bukan urusannya, lebih cepat ia mengirimkan barang-barang itu ke Ta-tung lebih baik lagi.
"Dan di mana adanya barang-barang itu? Setelah sampai di Ta-tung, kepada siapa harus kuserahkan?"
"Barang-barang itu berada di luar hutan ini, kusimpan dalam sebuah guha. Setelah kau tiba di Ta-tung, akan ada orangku menerimanya. Dia akan membawa surat kuasa dariku, semua sudah kupersiapkan."
Lie Ko Sianseng membawa pemuda itu ke sebuah guha di tempat yang sunyi. Benar saja. si gendut ini setelah memasuki guha, lalu keluar membawa dua buah peti yang tidak berapa besar, akan tetapi cukup berat. Segera dua buah peti dimasukkan ke dalam gerobak.
"Dari sini kauikuti jalan besar menuju ke timur. Hati-hatilah, Cia-taihiap. Perjalanan ini biarpun tidak berapa jauh, akan tetapi cukup berbahaya. Setelah kau ke timur sampai di kota Tai-goan, kau membelok ke utara. Jalan antara Tai-goan dan Ta-tung inilah yang berbahaya, kadang-kadang muncul perampok-perampok lihai."
"Akan kulindungi barang-barangmu dengan sekuat tenaga. Jangan khawatir, lo-enghiong," jawab Han Sin singkat. Mereka lalu berpisahan, Han Sin bersama Siauw-ong naik gerobak itu menuju ke timur, sedangkan Lie Ko Sianseng memandang sambil tersenyum-senyum puas.
SENANG juga rasanya melakukan perjalanan dengan gerobak bersama Siauw ong. Sayang, pikir Han Sin. Kalau Bi Eng ikut melakukan perjalanan ini, tentu ia akan girang sekali! Teringat akan Bi Eng, berkerut kening Han Sin, karena sekaligus ia teringat akan sikap Bi Eng mengenai urusannya dengan Tilana.
Ia maklum benar bahwa Bi Eng bermaksud baik. Gadis itu ingin sekali melihat kakaknya berbahagia, mendapatkan seorang isteri cantik jelita dan pandai. Memang, siapa dapat menyangkal bahwa Tilana adalah seorang gadis yang amat cantik dan jarang dapat dicari bandingnya? Dia sendiri, terus terang saja, akan menerima Tilana dengan kedua tangan terbuka, akan merasa berbahagia sekali mengambilnya sebagai isteri yang tercinta..... andaikata...... di dunia ini tidak ada Bi Eng!
Bi Eng bersusah payah dan bertekad hendak menjodohkan kakaknya dengan Tilana, karena sebagai adik kandung gadis itu hendak memenuhi tugasnya, membahagiakan kakaknya. Akan tetapi, sebaliknya, Han Sin yang sudah tahu bahwa Bi Eng bukan adik kandungnya, bahkan bukan sanak-kadang, dia yang sudah jatuh cinta sepenuh jiwa raganya kepada Bi Eng, bagaimana dapat memperisteri gadis lain?
Han Sin merenung. Kasihan Tilana......! Kau ampunkan aku, Tilana. Aku sudah berbuat dosa di luar kesadaranku. Kau sendiri yang memancing malapetaka. Aku sudah melakukan hal terkutuk..... dan sebagai seorang jantan, seperti kata-kata Bi Eng, sudah seharusnya aku bertanggung jawab terhadap perbuatanku. Menurut patut, aku harus bertanggung jawab dan suka menjadi suamimu, harus melindungimu selama hidupku. Akan tetapi..... ah,...... Bi Eng, aku cinta padamu......
Pada saat itu, Han Sin dengan gerobaknya dikawani Siauw-ong sudah melewati kota Tai-goan dan sudah membelok ke utara. Daerah ini mulai berubah penuh dengan daerah yang kering dan sunyi. Mulai jaranglah orang berjalan, malah akhirnya, beberapa puluh li lagi, Han Sin sudah tak dapat melihat orang di atas jalanan yang amat sunyi. Hanya kadang-kadang saja ada orang-orang menunggang kuda, sikap mereka gagah seperti orang-orang pejuang, atau orang-orang kang-ouw. Malah ada pula yang bersikap seperti perampok-perampok, akan tetapi kesemuanya tergesa-gesa dan tidak memperdulikan pemuda bersama monyet di dalam gerobak kecil itu.
Diam-diam Han Sin geli sendiri. Lie Ko Sianseng terlalu penakut. Kenapa untuk mengantar dua buah peti itu harus merasa takut sampai minta bantuannya? Buktinya dia sudah melakukan perjalanan jauh dan tak seorangpun mengganggu perjalanannya!
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari depan. Suara itu makin lama makin jelas dan dapatlah ia menduga bahwa dari depan datang iring-iringan kereta. Roda-roda kereta itu mendatangkan suara gemuruh. Setelah melalui tikungan, benar saja dugaannya.
Dari jauh ia melihat empat buah kereta atau gerobak yang besar dan aneh bentuknya. Gerobak ini tertutup dengan kain tebal, tiap gerobak ditarik dua ekor kuda yang tinggi besar. Yang mengusiri gerobak adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tinggi besar, berwajah tampan gagah dengan kepala diikat kain kepala yang lebar. Di depan gerobak-gerobak itu terdapat seorang penunggang kuda.
Ketika Han Sin memandang ke arah penunggang kuda di depan iring-iringan kereta ini, berdenyutlah jantungnya, pucat mukanya. Tak salahkah penglihatannya? Penunggang kuda itu adalah seorang wanita, berpakaian sebagai wanita Bangsa Hui dan biarpun sebagian muka di bagian bawah tertutup kain sutera, akan tetapi mata itu....! Jidat itu......! Dia Tilana, tak bisa salah lagi!
Mereka sudah berhadapan. Mata yang indah bening itu memancarkan cahaya aneh ketika melihat Han Sin, kemudian menjadi berapi-api. Han Sin pura-pura tidak mengenal Tilana, lalu turun dari gerobaknya, menuntun kuda supaya minggir dan memberi jalan kepada iring-iringan gerobak itu.
Akan tetapi gadis berkerudung mukanya itu memberi aba-aba dalam bahasa Hui yang dimengerti Han Sin. Gadis itu menyuruh orang-orangnya berhenti. Kemudian gadis itu sendiri melompat turun dari kuda, sekali melompat ia telah berdiri di depan Han Sin dan merenggut kerudung dari mukanya.
"Laki-laki berhati kejam! Kau masih berpura-pura tidak mengenal aku lagi?" bentak perempuan itu yang bukan lain adalah Tilana! Gadis ini wajahnya agak pucat, mungkin karena pakaiannya yang terbuat dari pada kain berwarna putih seperti orang berkabung itu. Han Sin merasa tertusuk hatinya. "Tilana..... aku.........."
"Tilana sudah mati! Kau tidak lihat pakaianku, aku berkabung untuk kematian Tilana, gadis malang yang menyerahkan jiwa raganya kepala laki-laki yang kejam, yang tidak mengenal kasihan dan tidak mengenal cinta kasihnya. Tilana sudah mati dan sudah sepatutnya ia mati karena membiarkan kerudungnya dibuka orang, membiarkan dirinya dihina orang......." Suaranya menjadi terganggu sedu-sedan yang naik dadanya, akan tetapi ditahannya sehingga tidak sampai menangis.
Orang-orang lelaki bangsa Hui yang gagal? nampaknya itupun sudah pada turun dari gerobak. Mereka ternyata ada dua belas orang banyaknya, sikap mereka keren sekali. Seorang di antara mereka, yang kumisnya yang paling lebat dan tubuhnya paling besar, bertanya dalam bahasa Hui,
"Nyonya Cia, siapakah orang ini, yang berani menyebut nama kecil nyonya?"
Merah muka Tilana mendengar sebutan "nyonya Cia" ini, dan Han Sin seperti ditikam belati hatinya. Ia terharu sekali. Pemuda yang memiliki kecerdikan luar biasa ini segera mengerti atau dapat menduga bahwa Tilana malah sudah mempergunakan sebutan nyonya Cia atau mengaku menjadi isterinya, isteri Cia Han Sin!
"Kau..... kau menggunakan nama...... nyonya Cia....??" tanyanya gagap dan wajahnya menjadi pucat.
Tilana mengangkat dadanya, sikapnya angkuh. "Seorang wanita sejati harus memiliki kesetiaan. Memang aku isteri Cia Han Sin, kenapa tidak menyebut diri nyonya Cia? Tapi, Cia Han Sin, seperti juga Tilana, telah mati! Kau ini laki-laki berhati keji, yang dengan kejam telah menghancurkan hidup seorang gadis, malah sudah berpura-pura tidak mengenalku!"
"Nyonya, kalau dia jahat, biarlah hamba memberi hajaran kepadanya!" seru laki-laki tinggi besar berkumis itu sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.
Han Sin makin perih hatinya. Makin jelas terbayang di depan matanya betapa ia telah berlaku tidak adil kepada Tilana yang betul-betul mencintanya. Ia merasa amat terharu dan kedua kakinya menjadi lemas. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tilana!
"Tilana....., Tilana....... aku mengaku telah berbuat dosa besar. Kau boleh siksa aku, boleh bunuh aku...., memang aku laki-laki kejam.......!"
Orang Hui tinggi besar itu mencabut pedangnya dan hendak membacokkan senjatanya ke leher Han Sin. Akan tetapi Tilana membentak, "Jangan bunuh dia! Boleh cambuki dia laki-laki kejam ini!"
Orang Hui itu menyeringai, menyimpan pedangnya lalu mengayun cambuknya. "Tar! Tar! Tar!" cambuk menari-nari di atas tubuh Han Sin. Pemuda ini hendak menebus dosa. Ia rela disiksa. Kalau dia mau, tentu saja dengan pengerahan tenaga lweekangnya ia dapat menerima cambukan itu tanpa merasa sakit, malah kalau ia mau, sekali renggut saja ia mampu merampas cambuk atau mengelak.
Akan tetapi hatinya terlalu sedih dan pada saat itu ia hendak menebus dosanya, maka tanpa mengerahkan tenaga ia menerima datangnya cambukan. Pakaiannya cabik-cabik, malah kulit tubuhnya pecah berdarah. Cambuk menghantam terus ke punggung, ke muka, sampai mukanya berdarah, bibirnya pecah pada ujungnya. Ia terguling dan dipukul terus.
Pada saat itu, terdengar pekik dan Siauw-ong melompat turun, terus meloncat ke atas pundak si pemukul, menggigit pundak dan merampas cambuk. Orang Hui itu berseru kesakitan, cambuknya terampas dan ia terhuyung ke belakang. Siauw-ong melompat turun dengan cambuk di tangan, berdiri di depan majikannya, sikapnya mengancam, memperlihatkan gigi dan mengayun-ayun cambuk dengan pekik menantang!
"Siauw-ong, jangan! Lepaskan cambuk, pergilah ke gerobak!" Han Sin masih sempat mencegah. Monyet itu menoleh kepada majikannya, ragu-ragu, akan tetapi bertemu pandang dengan Han Sin, monyet itu mengeluarkan keluhan panjang melemparkan cambuk ke atas tanah lalu berlari-lari ke gerobaknya.
Orang Hui itu mengambil cambuknya lagi, lalu mencambuki Han Sin lebih hebat pula, agaknya untuk melampiaskan kemendongkolannya karena penyerangan monyet tadi. Sampai bergulingan Han Sin dicambuki, tubuhnya sakit-sakit namun ia tidak melawan, juga tidak mengeluh. Akhirnya ia jatuh pingsan di atas tanah yang berdebu, tubuhnya kotor terkena darah dan debu.
Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah gerobak besar. Gerobak-gerobak lain berada agak jauh dari tempat itu, dan ia berbaring dengan kepala di atas pangkuan......... Tilana! Gadis itu menangis, membersihkan mukanya, mendekap kepalanya pada dada yang berdebar-debar itu.
"Kau suamiku...... bagaimana aku dapat membunuhmu.......?" Air mata bercucuran dan menjatuhi muka Han Sin, air mata yang hangat dan bening.
Makin terharu hati Han Sin. Tak dapat disangkal lagi, Tilana adalah seorang wanita yang amat cantik jelita, yang berwatak aneh, keras sekali, akan tetapi...... amat mencintainya. Wanita lain mungkin akan membunuhnya. Ia telah menolak cinta kasih wanita ini, malah sudah menghinanya, sudah mengusirnya. Akan tetapi Tilana malah mengaku sebagai isterinya, kini malah agaknya tidak tega melihat dia disiksa.
"Tilana......, kau terlampau baik bagiku...... menerima cintamu....... aku sudah berbuat dosa kepadamu, kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah Tilana........"
Tilana terisak, mempererat pelukannya. "Tidak....., tidak.....! Kau laki-laki perkasa, kau terlalu baik hati. Aku tahu, kau lihai dan kalau kau kehendaki, sepuluh orang aku dibantu seratus orangku masih takkan mampu melukaimu seujung rambut. Akan tetapi kau sengaja mengalah, kau sengaja membiarkan dirimu disiksa......ah, Han Sin......... Han Sin, aku tidak mengerti, bukankah ini berarti bahwa kau..... kau cinta kepadaku? Kenapa kau menolak cinta kasihku? Kenapa kau menolak kehendak Tuhan bahwa kita ini berjodoh......? Kenapa? Kenapa.........?"
Han Sin menggelengkan kepalanya. lalu bangun duduk sambil tersenyum sedih. "Tak mungkin, Tilana........, tak mungkin aku mencintai wanita lain. Memang kau baik sekali, kau cantik jelita, halus budi, dan gagah perkasa, akan tetapi...... sayang sekali..... aku tak dapat mencintaimu "
Tilana menyusuti air matanya, lalu dengan mata merah ia memandang Han Sin dan bertanya, "Kau tidak bisa mencinta wanita lain..... berarti kau telah mencinta seorang wanita?"
Han Sin mengangguk.
"Siapa dia?" pertanyaan ini memperdengarkan kepanasan hati, membayangkan cemburu yang besar. Han Sin menggeleng kepala. Bagaimana ia bisa menyatakan kepada Tilana bahwa ia mencinta Bi Eng?
"Kau bohong. Kalau betul ucapanmu tadi, kau harus mengaku siapa dia yang kaucinta. Barulah aku akan puas, baru aku mau mengalah........"
Han Sin berpikir sebentar. Kalau ia diam saja tidak mengaku, tentu ia akan membuat Tilana makin penasaran dan sengsara hatinya lagi.
"Aku mencinta...... Bi Eng......."
"Plak! Plak!" Dua kali tangan Tilana menampar pipi Han Sin, sampai panas terasa oleh pemuda itu yang hanya tersenyum sedih.
"Kau ini laki-laki macam apa? Bagaimana bisa seorang kakak mencinta adiknya sendiri seperti cinta kasih seorang pria terhadap wanita?"
Sudah kepalang tanggung bagi Han Sin. Ia harus membuat pengakuan, agar Tilana tidak penasaran lagi. "Bi Eng bukanlah adikku yang sesungguhnya....., dia......, dia itu..... dia itu....... dia puteri Balita....."
Tilana tersentak kaget, wajahnya pucat. "Apa...... artinya kata-katamu ini? Anak ibu hanya aku seorang!"
Han Sin tersenyum. "Banyak rahasia terpendam, banyak hal aneh terjadi di waktu kau masih kecil, Tilana. Sebaiknya kau tanyakan hal ini kepada Balita, orang yang selama ini kau anggap ibumu itu. Aku sendiri masih belum tahu banyak "
Tilana dengan muka pucat memandang Han Sin bibirnya bergerak-gerak perlahan, "Bagaimana mungkin.....? Masa dia itu saudaraku sendiri? Kakak atau adikku.........?" Kemudian, memandangi muka Han Sin yang masih lecet-lecet kulitnya dan berdarah, cinta kasihnya timbul dan sambil menangis ia menubruk pemuda itu.
"Han Sin...... suamiku, jangan kau mempermainkan aku...... bilang bahwa semua kata-katamu itu bohong belaka. Aku akan mengampuni kau....., kaulah orangnya yang akan dapat membahagiakan hidupku. Biarkan aku ikut denganmu, biar aku hidup menderita dan kekurangan di sampingmu. Biarkan aku yang menghiburmu, yang melayanimu, mencuci pakaianmu, memasakkan makananmu....... Han Sin, kau kasihanilah aku........"
Han Sin sedih sekali. Andaikata tidak ada Bi Eng, alangkah akan mudah dan senangnya baginya untuk mencinta wanita ini. Ia mengelus-elus rambut yang hitam dan halus itu, membiarkan Tilana menangis terisak-isak di dadanya, membiarkan Tilana melampiaskan kedukaannya. Setelah reda tangis Tilana, Han Sin berkata lemah lembut,
"Tilana, kau seorang gadis yang berhati setia. Akupun demikian, Tilana. Selama hidupku aku hanya dapat mencinta seorang wanita saja. Aku tak dapat mengkhianati cinta kasih di hatiku sendiri, biarpun Bi Eng belum tahu akan perasaanku ini, akan tetapi di dalam hati aku sudah bersumpah takkan mencinta wanita lain. Biarlah kita berpisah sebagai sahabat, Tilana, tentu saja....... kalau kau sudi mengampuniku. Kalau tidak, kau boleh membunuhku kalau hal itu kau kehendaki......."
"Han Sin......." Tilana menahan isaknya. "Aku....... aku takkan kuat hidup berpisah darimu, setelah apa yang terjadi....... setelah aku menjadi isterimu....... bila kita dapat bertemu kembali setelah perpisahan ini........?"
"Kelak kita tentu akan bertemu kembali, Tilana. Bertemu sebagai sahabat, atau sebagai saudara. Sekarang biarkan aku pergi, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Andaikata kita takkan saling bersua di dalam dunia ini, akhirnya kitapun akan berkumpul di alam baka. Semua orang akhirnya akan bersatu juga......."
"Han Sin......., Han Sin.... sekali bertemu aku jatuh cinta padamu, akan tetapi sekali bertemu kau menghancurkan hatiku.........."
Han Sin hanya menarik napas panjang. Semalam suntuk Tilana menangis dan membujuk, bermohon, merendahkan diri agar supaya Han Sin suka membawanya, suka diikutinya. Malah gadis ini sampai menyatakan bahwa ia sudah akan merasa puas kalau diperbolehkan menjadi seorang pelayannya, biar dia melayani Han Sin dan isterinya kelak, siapapun juga isterinya itu, asal saja ia diperbolehkan ikut dan selalu berada di sisinya. Beginilah cinta kasih yang sudah berakar mendalam di hati wanita.
Han Sin merasa amat terharu dan kasihan. Dia belum pernah mengenal cinta kasih wanita seperti ini. Benar pernah ia merasai cinta kasih Li Hoa, akan tetapi tidak seperti sikap Tilana ini. Ia merasa amat kasihan dan berusaha menghibur hati Tilana.
Pada keesokan harinya, dengan hati berat, mata merah bengkak karena banyak menangis, muka sebagian ditutup kerudung agar tidak kelihatan oleh orang-orangnya bahwa ia masih saja menangis, Tilana akhirnya melepaskan Han Sin. Malam tadi dia sendiri yang mengobati luka-luka di tubuh Han Sin, malah ia menjahitkan pakaian Han Sin yang cabik-cabik bekas cambukan. Setelah tidak ada harapan lagi untuk menahan Han Sin, Tilana mengajukan permintaan agar supaya monyet itu, Siauw-ong dititipkan kepadanya.
"Aku akan memeliharanya baik-baik," katanya, "biarlah untuk sementara ini dia menjadi kawanku biar dengan adanya dia di sampingku aku akan merasa berdekatan denganmu. Pula...... dengan adanya dia padaku, aku merasa yakin bahwa kau tidak bohong, bahwa tentu kau akan datang mengunjungi aku di lembah Sungai Kuning di perbatasan Propinsi Shan-si."
Memang tadinya Han Sin berjanji hendak mengunjungi tempat tinggal Tilana yaitu di lembah Sungai Kuning. Sekarang Tilana mengajukan permintaan ini, berat baginya untuk meninggalkan Siauw-ong. Akan tetapi, kalau ia menolaknya, tentu akan membuat Tilana tidak percaya kepadanya dan pula, memang di dalam tugasnya yang berat mencari Hoa-ji, lebih baik kalau ia meninggalkan Siauw-ong di tempat yang aman.