Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 20


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 20




Demikianlah, setelah banyak memberi tanda dengan kata-kata dan tangan kepada monyetnya akhirnya Siauw-ong mengerti dan mau ditinggalkan, apalagi ketika dengan halus Tilana memondongnya dan membiarkan monyet itu duduk di pundaknya. Monyet adalah seekor binatang yang mudah mengenal baik buruknya maksud orang dan mudah mengenal isi hati dari gerakan orang itu. Ia merasa bahwa wanita ini tidak bermaksud buruk kepadanya, maka karena takut kepada Han Sin, iapun tidak membantah perintah ini.

Tilana berdiri dengan Siauw-ong di pundaknya, memandang ke arah gerobak kecil yang ditunggangi Han Sin bergerak ke utara, sampai gerobak itu lenyap di sebuah tikungan. Dengan isak tertahan ia lalu melompat ke atas kudanya dan memberi tanda kepada orang-orangnya untuk melanjutkan perjalanan.

Makin ke utara, makin terasa suasana perang. Mulai ramailah jalan, berbondong-bondong orang menuju ke selatan. Setiap kali bertanya, Han Sin mendapat jawaban bahwa pertempuran-pertempuran mulai pecah di perbatasan. Bala tentara Mongol sudah mulai menyerang dari beberapa tempat dan selalu mendapat perlawanan yang gigih dari barisan Mancu yang dibantu oleh orang-orang Han. Penduduk yang tidak mau ikut terseret dalam pertempuran, melarikan diri ke selatan, mengungsi.

Memang tak dapat disangkal pula, semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiap kali terjadi pertempuran dalam perebutan kekuasaan, tiap kali terjadi perang, yang paling hebat menderita adalah rakyat. Bagi rakyat di daerah perbatasan ini, selalu menjadi korban. Kalau orang-orang Mongol yang mendesak tentara Mancu keluar dari sebuah kampung, maka seisi kampung itu habis dirampoki oleh orang orang Mongol, diambil barang-barangnya, diculiki wanita-wanitanya dan dibunuhi orang-orang lelakinya.

Kalau orang-orang Mancu yang menang, nasib malang tidak banyak bedanya. Diperas, diambili bahan makan untuk ransum tentara, diganggu wanitanya dan kalau membantah dicap membantu musuh! Inilah sebabnya maka para penduduk itu merasa lebih aman mengungsi, meninggalkan rumah dan kampung halaman, lebih aman mengungsi seanak isterinya, entah ke mana dan entah bagaimana jadinya dan apa yang akan dimakannya. Pokoknya lebih dahulu meninggalkan tempat pertempuran itu, meninggalkannya jauh-jauh neraka dunia itu.

Pasukan-pasukan Mancu mulai tampak, kadang-kadang berkelompok menunggang kuda, kadang-kadang berbaris tak teratur. Han Sin mulai menarik perhatian dan dicurigai. Ketika ia tiba di luar kota Ta-tung, sepasukan tentara Mancu menyetopnya dan ia dengan gerobaknya segera dikurung.

"Siapa kau? Dari mana dan mau ke mana? membawa apa dalam gerobak ini?" Pertanyaan bertubi-tubi menghujani Han Sin yang mendongkol juga melihat sikap mereka. Mereka ini adalah tentara Mancu, berarti tentara penjajah tanah airnya, berarti musuh-musuhnya!

"Mungkin dia mata-mata Mongol!" terdengar seorang tentara berkata.

Akan tetapi, pada masa itu, para tentara Mancu tidak berani sembarangan mengganggu orang Han. Hal ini adalah atas perintah yang keras dari para pembesar Mancu di bawah pimpinan Pangeran Yong Tee. Mereka, orang-orang Mancu ini, dalam menghadapi pemberontakan Mongol amat membutuhkan bantuan orang-orang Han, terutama sekali orang-orang gagah di dunia kang-ouw, maka pada para anak buah dipesan supaya berhati-hati dan jangan sembarangan bersikap kasar terhadap orang-orang Han dari selatan.

"Aku orang she Cia, datang dari Lu-liang-san hendak ke kota Ta-tung. Aku membawa barang antaran, kalian ini menghadang mau apakah? Apa mau merampok?" jawab Han Sin dengan suara bernada marah. Tidak biasanya Han Sin bersikap sekasar ini, akan tetapi bertemu dengan tentara Mancu yang dianggap musuhnya, timbul kebenciannya.

Seorang tentara yang menjadi pemimpin pasukan itu, maju dan berkata dengan suara halus, "Sama sekali tidak, saudara Cia. Orang-orang selatan adalah sahabat sahabat kami. Akan tetapi, kami bertugas di sini dan dalam keadaan perang menghadapi pemberontakan penjahat-penjahat Mongol, kami harus berlaku hati-hati dan memeriksa setiap orang yang memasuki Ta-tung yang menjadi tempat pertahanan."

Kemarahan hati Han Sin tidak menjadi reda dengan sikap halus ini.

"Kalian berperang dengan orang Mongol bukan urusanku. Aku sudah menjawab pertanyaan, sudah mengaku she-ku, sudah memberi tahu bahwa aku mengantar barang ke Ta-tung. Kalian percaya atau tidak, juga bukan urusanku. Harap kalian minggir dan membiarkan aku masuk kota."

Jawaban ini membikin marah semua tentara di situ. "Kasar sekali dia! Tangkap saja!" teriak seorang yang berangasan. Akan tetapi kepala pasukan itu masih berkata halus,

"Saudara Cia, kami bersikap lunak kepadamu, kenapa kau bersikap begitu kasar? Kewajiban kamilah untuk memeriksa isi gerobak ini. Harap kau suka membuka dua peti itu."

"Tak mungkin!" Han Sin makin marah. "Setelah menjajah tanah airku, apakah kalian masih hendak menindas dan menghalangi pergerakan bebas seseorang? Peti-peti itu hanya titipan, bukan milikku. Aku sendiri yang bertugas mengantar tidak berani membuka, apalagi orang lain, tentu tak kuperbolehkan."

"Kau melawan?" Si berangasan tadi melangkah maju dan memukul kepala Han Sin. Pemuda ini mengangkat tangan, dua lengan bertemu "dukk!" dan si berangasan menjerit kesakitan, roboh terguling dengan tulang lengan patah-patah! Ia mengaduh-aduh dengan muka pucat.

"Seekor semut sekalipun akan melawan kalau diinjak, apalagi manusia yang tak bersalah tentu akan melawan kalau diserang," kata Han Sin, sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan sinar yang amat tajam menusuk dan seakan-akan berkilat-kilat, membuat semua orang yang mengepungnya menjadi gentar juga. Kepala pasukan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pandai, maka cepat ia menjura sambil bertanya,

"Maafkan kelancangan anak buahku. Sicu (tuan yang gagah) apakah mempunyai kenalan orang gagah yang membantu pasukan kami di Ta-tung?"

Han Sin berpikir. Menurutkan perasaannya ia tidak sudi berbaik dengan mereka ini, malah ingin ia menumpas mereka. Akan tetapi pikirannya yang sehat memaksanya bersikap lain. Ia sedang bertugas tidak hanya harus melindungi dua buah peti titipan Lie Ko Sianseng. Ia sudah berjanji melindunginya, kalau sampai terjadi keributan dan peti-peti itu hilang, bukankah berarti ia melanggar janji? Pula, ia sedang mencari Hoa-ji, malah belum berkumpul kembali dengan Bi Eng. Alangkah tidak baiknya kalau ia mencari musuh di sini.

"Aku kenal baik dengan nona Thio Li Hoa. Kalian percaya atau tidak, terserah!"

Kepala pasukan itu menjadi terkejut dan saling pandang juga anak buahnya. Nama Thio Li Hoa siapakah yang tidak mengenalnya? Puteri Thio-taijin yang amat lihai, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa! Pada saat itu datang lagi serombongan orang. Mereka ini berpakaian seperti pengemis-pengemis dan sebagian pula berpakaian sebagai tosu (pemeluk Agama To).

"Haii....... bukankah itu Cia-taihiap dari Min-san.......??" Tiba-tiba seorang tosu tua berseru girang. Tosu ini tua dan gagah sikapnya, rambutnya digelung satu dan sekali ia menggerakkan kaki tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan turun di depan Han Sin. Gerakkannya ringan dan cepat seperti burung terbang saja. Han Sin segera mengenalnya. Cepat-cepat ia menjura. "Eh, kiranya Hee Tojin berada di sini pula.........!"

Ternyata bahwa para tosu itu adalah anggauta-anggauta Cin-ling-pai dan pemimpin mereka adalah Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng yang semenjak tewasnya para pimpinan Cin-ling-pai yaitu Giok Thian Cin Cu, It Cin Cu, dan Ji Cin Cu, telah dianggap sebagai ketua Cin-ling-pai. Tentu saja ia mengenal Han Sin yang menjadi tuan penolongnya.

Di lain pihak, Han Sin menjadi heran sekali. Bagaimana orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya berjiwa patriotik sekarang tahu-tahu berada di situ dan agaknya bersatu dengan barisan Mancu? Bukankah dahulu orang-orang gagah ini memusuhi Mancu? Lebih besar keheranan hatinya ketika ia mengenal bahwa di antara para pengemis itu terdapat pula Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong, murid luar Ciu-ong Mo-kai yang dahulu juga seorang patriot! Kenapa dia dan kawan-kawannya itupun berada di Ta-tung, padahal dulu amat membenci penjajah Mancu? Benar-benar amat mengherankan semua perubahan ini dan andaikata ia belum mendengar keterangan Li Hoa, tentu ia akan merasa tidak senang sekali kepada mereka.

Ketika para pengemis dan tosu kang-ouw ini mendengar dari pemimpin regu tentara Mancu tentang dua buah peti yang dibawa Han Sin, mereka mendekati gerobak Han Sin. Hee Tojin mengerutkan keningnya dan bertanya,

"Cia-taihiap, kita adalah orang-orang sendiri. Harap kau maafkan kalau prajurit prajurit kasar ini tadi mengganggumu. Akan tetapi, pinto rasa kaupun takkan berkeberatan memberi tahu secara berterus terang, siapakah yang mempunyai peti peti ini dan hendak dikirimkan kepada siapa?"

Han Sin maklum bahwa dia mendekati daerah berbahaya, daerah pertempuran dan sudah semestinya kalau para pejuang yang menjaga di situ harus berlaku waspada. Dia sendiri andaikata menjadi seorang pejuang yang berjaga, tentu akan berlaku waspada dan tidak mudah mempercayai orang. Sambil tersenyum ia menjawab,

"Di jalan aku bertemu dengan Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa. Nah, dialah yang mempunyai peti-peti ini dan dia minta aku menyerahkan dua peti ini kepada seorang penerima yang akan menyambutku membawa surat kuasanya di Ta-tung.

Terdengar seruan-seruan curiga di antara para pengemis, bahkan Hee Tojin juga memandang tajam. "Milik Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng? Cia-taihiap, kenapa kau suka membawakan barangnya? Itulah berbahaya sekali! Tak tahukah kau bahwa Lie Ko Sianseng itu adalah seorang kaki tangan Mongol, orang yang dipercaya oleh Pangeran Galdan?"

Tak senang hati Han Sin mendengar ini. Andaikata mereka ini, para tosu dan pengemis kang-ouw ini berjuang membela tanah air melawan penjajah asing, dia tentu akan turun tangan membantu tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi mereka ini biarpun memerangi orang Mongol, nyatanya menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mancu!

"Dia itu kaki tangan orang Mongol atau kaki tangan orang Mancu, aku tidak perduli. Bukan urusanku." Jawaban ini membuat para tosu dan pengemis kang-ouw itu merah mukanya. Sudah tentu saja mereka merasa disindir.

"Ah, agaknya kau tidak tahu, taihiap. Apakah kau belum bertemu dengan Ciu-ong Mo-kai?" kata Hee Tojin.

"Siapapun juga takkan dapat merobah pendirianku tadi," jawab Han Sin. "Pendeknya, aku akan membawa barang-barang ini ke Ta-tung, lalu mencari adikku dan pergi meninggalkan Ta-tung. Perang antara Mancu dan Mongol bukan urusanku dan aku tidak mau ikut-ikut. Harap kalian suka minggir dan jangan mengganggu aku."

Hee Tojin sudah mengenal kelihaian pemuda ini, malah pemuda ini adalah pewaris dari pada ilmu-ilmu Giok Thian Cin Cu, jadi menurut tingkat masih terhitung paman gurunya sendiri! Juga orang-orang seperti Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong dan beberapa orang lagi di antara tosu dan pengemis kang-ouw itu sudah mengenal Han Sin.

Akan tetapi, ada beberapa orang kang-ouw yang belum mengenalnya dan mereka inilah yang menjadi penasaran sekali. Menghadapi seorang pemuda begini sombong, mengapa saudara-saudara mereka itu begitu bersabar hati dan mengalah?

"Cia-taihiap, harap kau maklumi keadaan kami. Karena barang-barang ini milik Lie Ko Sianseng, terpaksa kami harus memeriksanya, bahkan sebetulnya harus kami sita!" kata pula Hee Tojin secara terpaksa.

Bangkit kemarahan Han Sin. "Tidak boleh! Siapapun juga tidak boleh mengganggu barang ini selama aku masih hidup!"

Hee Tojin mengerutkan keningnya. "Cia-taihiap, kau agaknya sudah terkena bujukan Swi-poa-ong! Kenapa kau sampai melindungi barang-barangnya seperti ini?"

Han Sin melompat dan tahu-tahu ia telah berada di atas atap gerobaknya. Dengan tenang dan gagah pemuda ini bertolak pinggang, memandang ke sekelilingnya, kepada mereka yang mengurungnya, lalu berkata tenang,

"Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya. Aku sudah berjanji akan mengantar barang-barang ini sampai ke Ta-tung, dan akan melindunginya mempertaruhkan nyawa! Kalian boleh menggunakan alasan apapun juga, akan tetapi akupun tetap pada janjiku. Sebelum aku mati, jangan harap dapat mengganggu barang-barang ini. Siapa hendak mencoba-coba, boleh maju!"

UCAPAN ini terdengar sombong, memang Han Sin sudah marah sekali dan ia merasa menjadi kewajibannya untuk melindungi barang-barang itu sebagai pelaksanaan dari pada janjinya. Memang ia sudah nekat, hal ini bukan hanya karena pendiriannya sebagai seorang laki-laki yang satu kali berjanji harus dipegang sampai mati.

Akan tetapi juga ada dua faktor penting yang mempertebal kenekatannya, yaitu pertama karena ia merasa marah melihat orang-orang yang dulu dianggapnya patriot-patriot sejati itu sekarang mau mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah, dan kedua kalinya karena semenjak terjadi peristiwa dengan Tilana, ia memang merasa amat bingung dan berduka sehingga tidak perduli lagi apakah ia akan mati ataukah hidup!

Tentu saja orang-orang yang mengelilinginya marah mendengar ini. Hee Tojin, Sin-yang Kai-pangcu, dan lain-lain tokoh yang sudah mengenal pemuda ini dan menghormatinya bukan saja sebagai pendekar, akan tetapi juga sebagai putera Cia Sun taihiap, masih merasa ragu-ragu dan tidak berani turun tangan. Akan tetapi, tokoh-tokoh kang-ouw yang belum mengenal Han Sin tak dapat menahan marahnya lagi.

"Pemuda sombong, kau mengandalkan apa sih?" bentak seorang pengemis bertubuh tinggi besar. Pengemis ini adalah seorang tokoh dari selatan, ketua dari perkumpulan pengemis Po-yang Kai-pang, namanya Can Kwan. Dia adalah seorang ahli gwakang dengan tenaga raksasa yang amat hebat, senjatanya sebuah toya baja yang berat. Setelah membentak ia lalu melangkah maju dan toyanya ia gerakkan menyambar ke arah kedua kaki Han Sin yang berdiri di atas gerobaknya.

Pemuda ini tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengelak, bahkan ia lalu menggerakkan kaki kirinya menendang ke arah ujung toya yang sudah menyambar dahsyat itu. Hee Tojin yang sudah mengenal tenaga raksasa dari Can Kwan dan tahu akan kehebatan hantaman toya, merasa khawatir juga. Mana bisa kaki pemuda itu menahan datangnya toya dengan tendangan? Tentu akan hancur kakinya dan diam-diam Hee Tojin merasa tidak enak hatinya. Juga para tokoh lain memandang dengan hati tegang, membayangkan betapa kaki itu akan hancur dan tubuh pemuda itu akan terlempar jatuh ke bawah.

"Dukkk!" Ujung toya bertemu dengan ujung kaki Han Sin dan kesudahannya membuat semua orang berseru kaget. Bukan kaki itu yang hancur, melainkan Can Kwan yang berteriak ngeri. Toya itu terpental menghantam pundaknya sendiri, membuat tulang pundaknya remuk dan tak dapat dicegah lagi ia roboh terguling-guling sambil mengaduh-aduh lalu pingsan!

Gegerlah suasana di situ semua orang menjadi kaget dan marah. Beberapa orang pengemis kawan-kawan Can Kwan mengayun tubuh melompat ke atas atap gerobak, dengan senjata masing-masing menyerang Han Sin dengan maksud merobohkannya dari atas atap.

Akan tetapi, belum juga kaki mereka menyentuh atap gerobak, empat orang yang melompat berbareng itu memekik dan roboh kembali seperti dibanting oleh tenaga raksasa. Mereka hanya merasa ada tenaga yang menolak mereka. Tenaga ini demikian hebat dan tak dapat dilawan sampai-sampai mereka tak dapat menguasai diri ketika jatuh dan terbanting di tanah mengeluarkan suara berdebuk. Empat orang itu meringis-ringis kesakitan, ada yang tulang kakinya patah, ada yang perutnya mulas karena bantingan itu dan ada yang matanya berkunang-kunang dan kepala pusing!

Makin gemparlah orang-orang yang mengurung Han Sin. Tadi mereka tidak melihat pemuda itu menyerang lawan, hanya menggerakkan kedua tangan saja, akan tetapi tanpa menyentuh keempat orang lawannya, ia sudah berhasil merobohkan mereka. Benar-benar hal yang hampir tak dapat dipercaya oleh mereka, kecuali Hee Tojin dan Sin-yang Kai-pangcu yang keduanya sudah maklum bahwa pemuda itu mewarisi ilmu silat Lo-hai-hui-kiam dari Giok Thian Cin Cu dan ilmu silat Liap-hong Sin-hoat dari Ciu-ong Mo-kai!

Para pengurung menjadi ragu-ragu dan jerih. Mereka saling menanti, akan tetapi tak seorangpun berani mencoba-coba menyerang Han Sin yang masih berdiri di atap gerobaknya dengan sikap tenang dan angker.

"Sin-ko....!" Tiba-tiba terdengar seruan girang.

"Eng-moi.....!" Han Sin juga berseru girang ketika melihat Bi Eng datang berlari-lari bersama Li Hoa. Di belakang dua orang gadis ini kelihatan tiga orang lagi, yaitu seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan berambut kusut awut awutan membawa sebuah guci arak, seorang gadis yang cantik dan wajahnya mirip Li Hoa bersama seorang pemuda yang gagah dan tampan.

Han Sin tidak mengenal gadis itu, akan tetapi ia segera mengenal pemudanya yang bukan lain adalah Phang Yan Bu, putera dari Ang-jiu Toanio. Adapun pengemis aneh itu bukan lain adalah Ciu-ong Mo-kai! Gadis yang berada di sisi Phang Yan Bu itu bukan lain adalah Thio Li Goat, adik Li Hoa.

Kita sudah mengenal Li Goat ini sebagai puteri Thio-ciangkun, seorang gadis yang bersama cicinya, Li Hoa, berjiwa patriotik seperti ibunya. Ketika orang-orang gagah yang tadinya berselisih faham dan berlawanan, mereka yang pro dan yang anti pemerintah Ceng, kini bersatu dalam menghadapi pemberontakan Bhok-kongcu alias Pangeran Galdan, dua orang enci adik yang gagah perkasa ini tidak mau ketinggalan. Merekapun berangkat ke utara dan membantu pembasmian pemberontak Mongol yang ingin menjajah kembali Tiongkok. Dalam perjuangan inilah Li Goat bertemu dan berkenalan dengan Phang Yan Bu, dan keduanya saling tertarik, akhirnya mereka menjadi sahabat baik.

Ketika Li Hoa muncul bersama Bi Eng di Ta-tung, Yan Bu dan Li Goat girang. sekali bertemu dengan gadis dari Gunung Min-san ini. Phang Yan Bu masih bersikap ramah-tamah dan baik sekali terhadap Bi Eng, sungguhpun sekarang pemuda ini menjadi ragu-ragu dalam menentukan pilihan hatinya.

Terhadap Bi Eng diam-diam ia masih menaruh hati kagum dan tertarik. Bi Eng adalah seorang gadis yang lincah gembira, bersemangat dan panas seperti cahaya matahari, cantik manis dan jujur. Di lain pihak, Li Goat adalah seorang gadis cantik jelita yang pendiam, bersungguh-sungguh, sopan dan pengetahuannya luas. Bagaikan bunga, Bi Eng adalah setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, bergoyang-goyang gembira kalau terbawa angin. Sebaliknya Li Goat bagaikan bunga seruni yang tenang, tak mudah tergoyangkan angin, akan tetapi memiliki daya penarik tersendiri.

Diam-diam Phang Yan Bu suka menbanding-bandingkan dua orang gadis kawan baiknya ini di dalam hatinya, dan kadang-kadang ia mengeluh dan memaki diri. sendiri. "Kau pemuda gila, mata keranjang, yang itu suka yang ini cinta. Bodoh, memalukan!"

Akan tetapi, pandang mata Li Goat yang kadang-kadang mengandung sinar kasih sayang kepadanya, membuat Phang Yan Bu lebih condong kepada Li Goat. Ia dapat menduga bahwa Li Goat "ada hati" kepadanya, sebaliknya, Bi Eng bersikap terbuka dan riang kepadanya, seperti juga kepada orang lain.

Bi Eng juga girang sekali ketika di Ta-tung ia bertemu dengan teman-teman lama ini. Apalagi ketika ia bertemu pula dengan Ciu-ong Mo-kai, gurunya.

"Bi Eng, kau datang ke sini mau apa?" tanya Ciu-ong Mo-kai setelah hilang keheranannya melihat murid yang tak tersangka-sangka ini.

Setelah memberi hormat, Bi Eng berkata manja, "Teecu (murid) bertemu dengan enci Li Hoa dan yang menolong Siauw-ong yang terluka. Karena Sin-ko hendak pergi mencarikan obat, teecu diajak enci Li Hoa ke sini, bertemu dengan suhu dan teman-teman sambil menanti datangnya Sin-ko."

Ciu-ong Mo-kai cemberut. "Tempat ini menjadi tempat perang. Apa-apaan kau anak kecil datang ke sini? Tempat berbahaya, tahu?"

Bi Eng mengerling manja. "Suhu sendiri datang ke sini, kenapa teecu tidak? Apa yang diperbuat oleh gurunya, tentu selalu diturut dan dicontoh muridnya!"

Ciu-ong Mo-kai semenjak dulu tak pernah dapat marah kepada muridnya ini. Malah sering kali Bi Eng yang "ngambul" dan marah kepada suhunya. Sekarang mendengar jawaban muridnya ini, Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak lalu menenggak arak wangi dari gucinya. "Aku tidak bisa berbantah dengan kau. Tunggu saja sampai Han Sin datang, aku akan perintahkan dia membawamu pergi dari sini, ke tempat aman!"

Demikianlah Bi Eng merasa senang berada di Ta-tung bersama orang-orang yang dikenalnya. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh persilatan dan merasa amat heran mengapa orang-orang yang dulu bermusuhan sekarang bisa bekerja sama membantu pemerintah Ceng. Gadis ini biarpun masih hijau namun berkat bimbingan Han Sin, memiliki kecerdikan pula. Maka setelah ia mendengar penuturan Li Hoa dan yang lain-lain, ia mengerti bahwa semua ini tentulah hasil dari pada kebijaksanaan Pangeran Yong Tee!

Pangeran itu amat bijaksana dan dengan kebijaksanaannya itulah ia dapat menarik para enghiong sehingga orang-orang yang tadinya berjiwa patriot, orang-orang yang tadinya tidak rela melihat tanah air dijajah bangsa lain, kini malah membantu pemerintah penjajah itu untuk menghadapi ancaman Bangsa Mongol di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu!

Memang tepat dugaan Bi Eng ini. Pangeran Yong Tee-lah yang mengatur semua ini sehingga tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ciu-ong Mo-kai, tosu-tosu Cin-ling-pai dan banyak kai-pang (perkumpulan pengemis kang-ouw) yang tadinya memusuhi pemerintah Mancu, sekarang berbondong menuju ke utara untuk menghalau ancaman Bangsa Mongol yang bermaksud menyerbu ke selatan dan menjajah kembali daratan Tiongkok.

Tentu saja dalih-dalih yang ditonjolkan oleh Pangeran Yong Tee untuk menggugah sikap perlawanan para enghiong ini adalah untuk membela tanah air dan bangsa dari pada penindasan orang-orang Mongol yang terkenal kejam. Malah dikeluarkannya dalih bahwa Bangsa Mancu adalah Bangsa Tiongkok juga, dan karena itulah maka orang-orang Mancu bersiap sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi tanah air Tiongkok dari pada penindasan siapapun juga. Orang-orang gagah itu digali ingatannya akan penderitaan rakyat selama dijajah oleh orang Mongol.

Dengan propaganda-propaganda yang dilakukan amat pandai inilah Pangeran Yong Tee berhasil menarik bantuan banyak orang kang-ouw. Tentu saja di pihak Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan di Mongol, juga tiada hentinya menyebar propaganda untuk merobohkan penjajah Ceng, untuk mengusir orang-orang Mancu dari Tiongkok dan dengan jalan ini Bhok-kongcu juga berhasil pula menarik bantuan orang-orang gagah Bangsa Han sendiri.

Dengan demikian, maka dua orang tokoh pandai ini, Pangeran Yong Tee dari Mancu, Pangeran Galdan dari Mongol, selain menggunakan bala tentara sendiri masing-masing, juga telah memecah belah orang-orang Han untuk saling bertempur dan berperang sendiri, sepihak membantu Mancu, lain pihak membantu Mongol!

Bangsa yang melupakan persatuan, tentu akan lemah sekali, demikian pula keadaan Bangsa Han di Tiongkok di jaman dahulu. Selalu cakar-cakaran, selalu bunuh-membunuh dan bertempur di antara mereka sendiri. Perang saudara susul-menyusul, rakyatnya sampai bingung dan sengsara dipermainkan nafsu-nafsu berkuasa para pemimpin.

Dalam keadaan rakyat saling cakar di bawah pimpinan pembesar-pembesar yang memperebutkan kekuasaan ini, keadaan negara menjadi lemah dalam arti menghadapi ancaman dari luar. Kalau tidak demikian halnya, kalau rakyat bersatu padu, kekuasaan apakah di dunia ini yang dapat mengalahkan Tiongkok yang begitu banyak rakyatnya?

Akan tetapi, karena tidak adanya persatuan sepanjang masa inilah, maka pernah Bangsa Mongol menjajah Tiongkok sejak penyerangan pertama sampai berakhirnya Kerajaan Mongol selama dua ratus tahun! Dan itu pulalah yang menjadikan sebab mengapa Bangsa Mancu sampai dapat menjajah Tiongkok selama tiga ratus tahun!

Sepanjang keterangan yang diperoleh Bi Eng, pertempuran sudah terjadi di sekitar daerah Ta-tung di bagian utara. Berkali-kali pihak Mongol hendak menerobos ke selatan melalui beberapa tempat dan selalu mereka itu dapat dipukul mundur oleh pihak Mancu. Ta-tung dijadikan pusat pertahanan Mancu dan di sinilah berkumpul "sukarelawan-sukarelawan" bangsa Han seperti Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain. Malah kabarnya Pangeran Yong Tee sendiri seringkali dari kota raja datang ke Ta-tung untuk memeriksa keadaan dan memimpin sendiri siasat peperangan.

Bi Eng bertempat tinggal bersama Li Goat dan Li Hoa dan dalam pergaulannya dengan mereka selama beberapa hari ini, tahulah Bi Eng bahwa ada "apa-apanya" di antara Li Goat dan Phang Yan Bu. Diam-diam ia merasa girang dan bersyukur karena iapun mengerti bahwa dulu Phang Yan Bu menaruh perhatian kepada dirinya.

Akan tetapi dia sendiri sampai sekarang tak dapat membalas cinta kasih setiap orang pria. Hanya kepada Pangeran Yong Tee ia mempunyai perasaan yang mesra, akan tetapi inipun mungkin hanya karena tertarik oleh sikap pangeran itu yang amat baik dan sopan kepadanya dan dia sendiri tidak berani menentukan apakah ia mencinta pangeran itu ataukah tidak.

Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat ketika datang seorang tentara Mancu dengan terengah-engah orang ini berkata kepada Li Hoa,

"Thio-lihiap, ada seorang muda mengamuk di luar kota dan menurut pengakuannya dia sudah mengenal Thio-lihiap."

Bi Eng dan Li Hoa bertukar pandang Li Hoa segera bertanya, "Bagaimana orangnya?"

"Dia masih muda, tampan dan naik gerobak, menjadi pengawal barangnya Lie Ko Sianseng....."

"Sin-ko....." kata Bi Eng yang segera meloncat dan berlari keluar untuk menjemput kakaknya. Yang lain-lain sambil tertawa juga berlari mengejarnya.

Demikianlah, mereka menyaksikan betapa Han Sin berdiri tegak di atas gerobak, dikurung oleh banyak tentara dan orang-orang gagah. Malah melihat keadaannya, tentu sudah ada yang berkenalan dengan kelihaian dengan pemuda itu.

Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Bi Eng memanggil kakaknya dan Han Sin girang bukan main melihat kedatangan Bi Eng, Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan seorang gadis yang tak dikenalnya. Tentu mereka akan dapat melepaskan, dia dari pengurungan yang tak enak ini.

"Sin-ko, mana Siauw-ong?" Bi Eng yang tak sabar lagi sudah meloncat naik ke atas atap gerobak dan memegang lengan kakaknya.

Berdebar jantung Han Sin mendengar pertanyaan ini dan kembali terbayang di depan matanya pengalaman yang baru saja ia alami bersama Tilana! Bagaimana ia bisa menceritakan semua itu kepada Bi Eng? Mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa malu dan jengah.

Alangkah lemahnya, biarpun di dalam hati yakin bahwa wanita satu-satunya yang ia cinta hanya Bi Eng, namun begitu bertemu dengan Tilana yang cantik jelita, yang begitu mencintainya, kembali pertahanan batinnya runtuh! Ia merasa telah mengkhianati, telah mencurangi, telah berlaku tidak setia kepada Bi Eng.

"Sin-ko, mana dia? Mana Siauw-ong? Apa yang telah terjadi dengan dia? Apakah dia tak dapat sembuh?" Dalam hujan pertanyaan ini terkandung isak tertahan dan kegelisahan.

"Jangan khawatir Eng-moi. Siauw ong sudah sembuh."

"Tapi mana dia?"

Han Sin yang merasa hangat hatinya karena dapat merasai pegangan tangan Bi Eng yang malah memeluk dan mengguncang-guncangnya dalam kegelisahannya akan Siauw-ong, menghiburnya dan berkata lirih, "Ssttt, nanti kuceritakan, semua. Lihat, kita menjadi tontonan orang disini. Lebih baik lekas menghadap suhu."

Baru Bi Eng teringat bahwa mereka bukan hanya berdua saja di situ. Banyak sekali mata orang memandang ke arah mereka, sebagian besar tidak sabar melihat adegan kakak dan adik ini. Sambil menggandeng tangan Bi Eng, Han Sin meloncat turun dari atap gerobak, langsung menghadap Ciu-ong Mo-kai dan memberi hormat.

Untuk beberapa detik sinar mata Ciu-ong Mo-kai bersinar kagum dan penuh keriangan melihat pemuda itu yang sudah banyak ia dengar semenjak mereka berpisah. Diam-diam kakek ini seringkali merasa geli hatinya betapa dulu ia sering kali putus harapan melihat Han Sin sebagai kutu buku yang membenci ilmu silat!

Baru setelah ia mendapatkan kesempatan melihat pemuda itu melatih lweekang secara aneh luar biasa di dalam kamarnya, kakek ini mendapat kenyataan bahwa tanpa disadari, pemuda itu telah melatih diri menjadi seorang ahli silat yang luar biasa. Dugaannya ternyata benar karena iapun sudah mendengar akan sepak terjang Han Sin yang amat ajaib, merobohkan orang-orang terkemuka dan semua itu dilakukan tanpa disadari.

Kemudian ia mendengar pula betapa pemuda ini sudah memasuki gua dan menjadi ahli waris dari kitab peninggalan Lie Cu Seng, maka sudah sewajarnya kalau kakek ini merasa kagum dan juga bangga. Bukankah dia sendiri orangnya yang pertama-tama melatih pemuda ini?

Betapapun juga, karena semua kehebatan itu hanya didengarnya saja dari orang lain dan tak pernah ia sendiri menyaksikannya, maka ia masih merasa ragu ragu. Han Sin masih kelihatan sederhana seperti dulu, halus dan merendah, hanya sepasang mata yang dulu sinarnya berkilat seperti mata harimau di dalam gelap, sekarang menjadi makin kuat dan berpengaruh, akan tetapi penuh ketenangan.

"Han Sin, betulkah bahwa kau mengawal barang-barang Lie Ko Sianseng dan apa sebabnya kau ribut-ribut dengan mereka ini?" tanya Ciu-ong Mo-kai, terheran juga mengapa pemuda ini mau membantu Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa.

"Betul suhu. Lie Ko Sianseng telah berhasil membantu teecu mencarikan obat untuk Siauw-ong sampai sembuh dan teecu sudah berjanji untuk membalas budinya dengan mengantar dua peti ini ke Ta tung. Biarpun tadi teecu mendengar bahwa dia adalah mata-mata Mongol, akan tetapi janji teecu tak mungkin dapat teecu langgar sendiri. Barang-barang ini harus teecu lindungi sampai ada orang yang berhak menerimanya," jawab Han Sin, suaranya tegas karena pemuda ini sedikit banyak merasa tidak senang bahwa orang tua yang ia hormati itupun di sini membantu pemerintahan Ceng.

"Siapakah dia yang berhak menerima?" tanya Ciu-ong Mo-kai.

"Teecu belum tahu. Menurut Lie Ko Sianseng, di Ta-tung akan ada orang yang menerimanya."

Orang-orang di situ makin ribut. Terdengar suara-suara memprotes, "Dia tentu mata-mata Mongol! Dia kaki tangan Lie Ko Sianseng! Tangkap.....!"

Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak, lalu menghadapi para tentara Ceng dan para pengemis kang-ouw, "Kalian lihat siapa dia? Dia ini adalah muridku, orang sendiri!"

Akan tetapi orang-orang di situ masih ribut, akhirnya Bi Eng tak sabar lagi dan membentak, "Siapa berani mengganggu kakakku? Dengar, dia adalah gite (adik angkat) dari Pangeran Yong Tee. Hayo, siapa berani mengganggunya?"

Suara ribut-ribut itu serentak berhenti dan semua orang memandang dengan heran dan terkejut.

"Eng-moi......" Han Sin menegur adiknya. Tak senang ia diperkenalkan sebagai adik angkat Yong Tee, Pangeran Mancu penjajah itu.

Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan lima orang perwira Mancu datang dengan cepat di atas kuda mereka. Melihat pakaian mereka,lima orang tersebut adalah perwira-perwira dari pasukan pengawal pribadi kaisar. Mereka langsung menghampiri Han Sin setelah turun dari kuda, dengan sikap hormat seorang di antara mereka berkata,

"Pangeran muda mengirim salam Cia-taihiap dan minta maaf bahwa penyambutan atas pengiriman dua peti dari Lie Ko Sianseng agak terlambat."

Semua orang terkejut dan heran mendengar ini. Bagaimana pula ini? Lie Ko Sianseng terkenal sebagai mata-mata atau kaki tangan Bhok-kongcu, kenapa sekarang mengirimkan dua peti yang agaknya akan diterima oleh utusan pangeran muda atau Pangeran Yong Tee sendiri? Tidak hanya mereka yang mengerti akan keadaan peperangan menjadi heran, bahkan Han Sin menjadi ragu-ragu.

"Bagaimana aku bisa yakin bahwa dua buah peti ini harus kuserahkan kepada kalian?" tanya Han Sin dan ia sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa apapun yang akan terjadi, kalau tidak ada tanda surat kuasa dari Lie Ko Sianseng sendiri, dia takkan mau memberikan dua peti yang sudah diserahkan ke dalam perlindungannya itu.

Perwira tadi tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah lipatan kain. "Lie Ko Sianseng tidak keliru mengutus taihiap, karena memang taihiap amat hati-hati. Inilah surat kuasa dari Lie Ko Sianseng."

Han Sin menerima kain bertulis itu yang berbunyi bahwa Lie Ko Sianseng memberi kuasa kepada pembawa surat untuk mengambil dua peti batu. Han Sin mengerutkan kening. Batu? Benarkah dua peti itu berisi batu? Kenapa dianggap benda berharga dan kenapa sampai dijadikan rebutan?

"Kuharap kalian tidak keberatan kalau aku cocokkan dulu isi surat dengan isi peti," katanya kemudian mengambil keputusan.

Perwira itu tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Silakan..... silakan memang pangeran muda juga memerintahkan kami untuk memeriksa lebih dulu apakah isi peti-peti itu tidak palsu."

Han Sin lalu memasuki gerobaknya, dengan sekali renggut saja papan penutup peti terbuka dan alangkah mendongkol dan herannya ketika ia melihat bahwa betul saja, dua peti itu terisi batu-batu besar yang tidak berharga. Diam-diam ia memaki Lie Ko Sianseng yang dianggap telah mempermainkannya. Sebaliknya, lima orang perwira itu nampak puas, mereka membantu Han Sin menutup kembali peti-peti itu dan setelah menghaturkan terima kasih kepada Han Sin, mereka lalu memerintahkan sepasukan tentara mengawal gerobak berisi dua peti itu ke kota raja!

Malam itu Han Sin dijamu oleh Phang Yan Bu dan melihat pemuda ini marah-marah kepada Lie Ko Sianseng, Ciu-ong Mo-kai tertawa, "Kau tidak tahu! Lie Ko Sianseng benar-benar lihai sekali. Pedagang tetap pedagang, dalam perang maupun damai. Di sana ia mencatut, di sini ia mencatut. Ha, ha, ha!"

Han Sin tidak mengerti. "Apakah artinya ini semua, suhu? Dan setelah sekarang tidak ada orang luar, teecu mohon penjelasan mengapa suhu dan orang-orang gagah yang lain datang ke tempat ini membantu pemerintah penjajah?"

Yang berkumpul di situ hanyalah Ciu-ong Mo-kai, Hee Tojin, dua orang tosu Cin-ling-pai, dua orang tokoh pengemis kang-ouw, Thio Li Hoa, Thio Li Goat, Phang Yan Bu, dan Bi Eng bersama Han Sin sendiri. Setelah meneguk araknya, Ciu-ong Mo-kai menjawab perlahan,

"Aku maklum apa yang kau pikirkan, Han Sin. Tentu kau merasa heran dan penasaran kenapa kita membantu Pemerintah Mancu. Akan tetapi, jangan kaukira bahwa kita membantu untuk berkhianat kepada bangsa, menghambakan diri kepada penjajah. Sama sekali tidak, Han Sin. Ketahuilah bahwa jauh lebih celaka dan berbahaya apabila orang-orang Mongol itu sampai mengalahkan Pemerintah Mancu dan menjajah kembali di tanah air kita. Kita tidak punya pilihan lagi. Kalau dalam waktu Mongol dan Mancu berperang kita melanjutkan usaha menggulingkan Pemerintah Mancu, itu sama saja artinya dengan kita membantu Mongol dan amatlah berbahaya kalau sampai bala tentara Mongol dapat menyerbu ke pedalaman. Jauh lebih baik kalau kita membantu Pemerintah Mancu lebih dulu mengusir orang-orang Mongol yang amat kejam. Kelak mudah untuk mencari jalan merampas kembali negara dari penjajah Mancu yang harus diakui tidak sehebat orang Mongol menindas rakyat, bahkan ada usaha-usaha yang baik dari pemerintah baru ini."

Panjang lebar Ciu-ong Mo-kai memberi penjelasan kepada Han Sin, akan tetapi orang muda ini mendengarkan dengan penasaran. Ia masih muda dan belum mengerti betul akan siasat-siasat dan politik.

Sebagai seorang gagah ia tidak bisa berpura-pura, maka kinipun ia tidak setuju dengan tindakan orang-orang gagah itu.

"Bagaimanapun juga, penjajah tetap musuh, bagaimana aku dapat membantunya, mengeluarkan keringat dan darah untuk membantunya?" bantahnya penasaran.

Semenjak dulu, Ciu-ong Mo-kai sering kali dibikin jengkel oleh sikap Han Sin yang dianggapnya kutu buku yang merasa pintar sendiri. Sekarang mendengar bantahan Han Sin, kakek ini menenggak araknya sampai terdengar bunyi menggelogok pada kerongkongannya kemudian ia menurunkan gucinya dan berkata,

"Murid yang tidak mendengar kata kata gurunya itu melanggar peraturan namanya!" Dalam ucapan ini Ciu-ong Mo kai menyinggung Han Sin menggunakan ujar-ujar kuno.

Han Sin adalah seorang ahli sastera, seorang yang amat memperhatikan segala macam filsafat kuno, maka segera ia menjawab dengan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, "Dalam membela kebenaran, tak perlu mengalah kepada guru!"

Tentu saja Ciu-ong Mo-kai yang tidak begitu hafal akan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, marah mendengar ini, merasa dihina dan tidak dihormati sebagai guru. Tangan kirinya menepuk meja dan.... amblaslah keempat kaki meja itu sampai satu dim lebih ke dalam lantai! Bukan main hebatnya tenaga lweekang kakek ini.

"Bagus.....! Kalau sudah tidak mau mengaku guru kepadaku, sudahlah! Perlu apa harus ditonjol-tonjolkan menyolok mataku? Siapa tidak tahu bahwa Cia Han Sin, yang dulu pernah belajar dari Ciu ong Mo-kai, sekarang sudah memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada si pengemis tua bangka? Ha, ha, ha!"

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Suhu.....!" Bi Eng berseru. "Harap suhu maafkan Sin-ko......"

"Ha, ha, ha...... Bi Eng, kau baru patut menjadi muridku......" kata kakek itu tertawa-tawa dan minum lagi araknya. Semua orang, yaitu Phang Yan Bu, Li Hoa, Li Goat, para tosu dan semua yang hadir, tidak ada yang berani mencampuri urusan ini, tidak ada yang bergerak.

"Sin-ko, kenapa kau bersikap begini terhadap suhu? Sin-ko, harap kau suka minta maaf dari suhu."

Han Sin bangkit berdiri dari kursinya, tersenyum pahit. "Eng-moi, aku memang seorang murid yang murtad, seorang yang tak mengenal aturan. Akan tetapi, tetap saja aku belum sampai hati untuk mengekor kepada penjahat laknat. Suhu Ciu-ong Mo-kai, pendirian teecu bukan sebagai seorang murid kali ini, melainkan sebagai seorang yang mencinta tanah air yang terjajah. Maafkan sikap teecu kalau suhu anggap tidak betul. Nona Thio Li Hoa, harap kau suka mengawani Eng-moi, kau tahu bahwa aku mempunyai tugas yang sudah kujanjikan. Kau di sinilah dulu bersama nona Thio Li Hoa, setelah dia dapat kutemukan, aku akan menjemputmu dan bersama pergi dari tempat ini!"

Dalam suara pemuda ini terkandung penyesalan besar. Memang ia amat kecewa dan menyesal. Dianggapnya bahwa orang-orang gagah yang sudah membantu Pemerintahan Mancu itu tidak mempunyai pendirian. Kalau saja mereka itu bangkit untuk melawan penjajah, baik penjajah Mongol maupun Mancu, tentu ia akan siap sedia membantu, rela mengorbankan jiwa raganya.

Bi Eng juga berduka sekali melihat keadaan kakaknya ini. Ia tidak berani mencegah karena maklum bahwa kakaknya, berbeda dari pada biasanya, sedang marah sekali. Ia tahu pula bahwa kakaknya itu tentu akan pergi mencari Hoa ji seperti yang dipesankan oleh Pangeran Yong Tee. Mencari seorang di daerah musuh, di utara, bukanlah merupakan tugas ringan, bahkan amat berbahaya. Kalau ia ikut, belum tentu ia dapat membantu, jangan-jangan malah merintangi gerakan Han Sin.

"Baiklah, Sin-ko. Kau hati-hatilah, akan tetapi, mana Siauw-ong?"

"Dia..... dia..... aku bertemu dengan Tilana di jalan dan Siauw-ong dibawanya. Kelak kita pergi mengambilnya. Setelah berkata demikian, Han Sin yang tidak menghendaki adiknya itu mendesak terus dan memaksanya menceritakan pertemuannya dengan Tilana, sudah berkelebat dan hanya nampak bayangan putih menyambar, tahu-tahu ia sudah lenyap dari tempat itu! Hening sejenak, kemudian Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak.

"Hebat....., hebat......, sama benar dengan ayahnya! Keras hati, bersemangat, tidak mudah tunduk. Ayahnyapun dahulu menjauhkan diri dari orang lain, suka bekerja sendiri, betapapun juga..... seratus persen patriot sejati....." Kakek ini lalu menenggak araknya.

Bi Eng ikut dengan Li Hoa dan gadis ini tidak pernah meninggalkan Ta-tung, sungguhpun ia juga tidak mau membantu pertempuran-pertempuran yang terjadi di daerah itu. Malah ada kalanya kalau Li Hoa dan Li Goat serta yang lain-lain pergi dan ikut bertempur, Bi Eng tinggal seorang diri di Ta-tung, melihat-lihat dan menanti kembalinya Han Sin. Tanpa Han Sin di sampingnya, tidak mau ia ikut bertempur.

Di dalam perjalanannya meninggalkan Ta-tung, menyeberangi perbatasan dan memasuki wilayah Mongol, beberapa kali Han Sin menyaksikan pertempuran antara pasukan Mongol dan pasukan Mancu. Akan tetapi, ia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri, malah menghindarkan diri agar jangan bertemu dengan orang orang yang membantu Mongol seperti Coa-tung Sin-kai, Tung-hai Siang-mo, apalagi dengan Bhok-kongcu atau Pak-thian-tok Bhok Hong.

Tugasnya hanya mencari dan menemukan Hoa-ji si gadis berkedok, kalau ia melayani segala bentrokan dengan musuh-musuh lama, tentu akan menyulitkan pekerjaannya dan memakan banyak waktu. Tak enak meninggalkan Bi Eng terlalu lama di Ta-tung.

Biarpun demikian, beberapa kali ia sengaja menawan seorang Mongol dan memaksanya memberi keterangan di mana adanya Hoa-ji atau Hoa Hoa Cinjin, karena ia menduga bahwa Hoa-ji tentu tidak akan jauh dari ayahnya. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa Hoa-ji, seperti yang lain-lain, berkumpul di kaki Gunung Yin-san sebelah utara. Tempat ini sukar didatangi apalagi oleh orang yang belum mengenal daerah gurun pasir ini. Akan tetapi, Han Sin tidak menjadi gentar dan dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke utara.

Pada suatu hari, dalam sebuah hutan, ia mendengar lagi pertempuran di dalam hutan. Tadinya ia hendak menyimpang, tidak mau mencampuri pertempuran itu, akan tetapi tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar seruan-seruan yang sudah dikenalnya. Tak salah lagi, itulah suara Li Hoa!

Pada pasukan Mancu atau Mongol ia tak usah ambil perduli, akan tetapi terhadap Li Hoa, tak mungkin ia meninggalkannya begitu saja. Gadis itu pernah menolongnya, bahkan berlaku amat baik kepadanya, pernah malah melindunginya dan berani mempertaruhkan nyawa untuk keselamatannya. Gadis itu baik dengan perbuatan, pandang mata, maupun ucapan, terang mempunyai cinta kasih kepadanya. Sekarang ia mendengar gadis ini bertempur di dalam hutan, mungkin sekali bertemu lawan yang tangguh, mungkin sekali terancam bahaya. Bagaimana ia bisa berpeluk tangan saja?

Han Sin cepat berlari memasuki hutan. Betul saja dugaannya, di antara tentara Mancu yang bertempur melawan tentara Mongol, tampak Li Hoa dengan pedangnya mengamuk hebat. Gadis yang gagah perkasa ini dikeroyok oleh lima enam orang Mongol, namun gadis itu sama sekali tidak terdesak. Sudah beberapa orang musuh dirobohkannya, akan tetapi selalu datang penggantinya dan tetap saja ia dikeroyok sedikitnya lima orang lawan. Pihak Mancu mulai mendesak, apalagi di situ selain Li Hoa, terdapat pula beberapa orang tosu yang membantu.

DARI tempat sembunyinya, Han Sin menonton dan ketika melihat betapa Li Hoa sama sekali tidak terancam bahaya bahkan mendesak, tidak mau muncul membantu. Ia tidak mau membantu pihak Mancu, hanya kalau ia melihat Li Hoa terancam bahaya, ia akan keluar menolongnya, baru sekarang ia menyaksikan pertempuran antara dua bangsa itu dan diam-diam ia merasa kagum menyaksikan sepak terjang orang-orang Mongol.

Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian bertempur yang lumayan, dan yang paling mengagumkan adalah kenekatan mereka. Sudah banyak orang Mongol menggeletak tak bernyawa lagi, akan tetapi sisa pasukan itu mengamuk terus tanpa mengenal rasa takut. Agaknya mereka memang pantang mundur dan pantang lari!

Pada saat pasukan Mongol sudah terancam sekali kedudukannya, terutama sekali karena amukan para tosu dan Li Hoa, tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari jauh. Makin lama suara itu makin keras dan kagetlah Han Sin ketika mendengarkan bahwa suara itu adalah suara nyaring dari banyak kerincingan yang berbunyi terus-menerus. Teringat ia akan seorang tokoh besar yang pakaiannya dipasangi benda-benda kecil ini. Pak-thian-tok Bhok Hong, si Racun Utara atau Raja Muda Bhok Hong-ong, ayah dari Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan pemimpin para pemberontak Mongol!

Agaknya bukan hanya Han Sin yang merasa kaget. Juga Li Hoa, para tosu dan para anggauta pasukan Mancu terkejut dan nampak gelisah. Di lain pihak, orang-orang Mongol bersorak girang mendengar suara ini. Semangat mereka terbangun dan dalam keadaan nekat mereka menyerang orang-orang Mancu yang sedang ketakutan. Pasukan Mancu cerai-berai, banyak korban yang jatuh.

Suara nyaring dari seratus delapan puluh buah kerincingan itu berhenti secara tiba-tiba dan sebagai gantinya terdengar suara tertawa bergelak. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar, bermuka tampan gagah dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi, dia masih kelihatan muda dan gagah, pakaian perangnya indah dihias kerincingan pada pakaian dan topinya. Di pinggangnya tergantung sebatang golok besar.

Suara ketawa ini pengaruhnya hebat sekali, sampai-sampai banyak tentara Mancu menggigil dan senjata mereka terlepas dari tangan. Bahkan para tosu menjadi pucat, kemudian bersama sisa pasukan Mancu, mereka mundur-mundur dan tidak berani menyerang. Sedangkan pasukan Mongol juga berhenti berperang, lalu menjatuhkan diri berlutut, menghormat Pak-thian-tok Bhok Hong.

Dengan sikap tak sabar Pak-thian-tok menggunakan tangannya memberi isyarat supaya orang-orang Mongol itu bangun berdiri, lalu terdengar suaranya yang nyaring, "Hayo pukul terus, hancurkan anjing-anjing Mancu ini. Kenapa berhenti?"

Orang-orang Mongol itu tertawa, lalu mengeluarkan sorak sorai gembira dan bagaikan orang-orang kemasukan setan mereka menyerbu pasukan Mancu yang sudah kehabisan semangat dan nyali itu. Melihat ini Li Hoa menggigit bibir. Ia cukup maklum akan kelihaian Pak-thian-tok Bhok Hong. Akan tetapi, dalam peperangan, seorang gagah pantang untuk merasa gentar. Melihat keadaan para tentara Mancu yang ketakutan sehingga kini terdesak hebat oleh orang-orang Mongol, Li Hoa menjadi gemas sekali.

"Hayo, lawan sampai titik darah penghabisan!" teriaknya. Suaranya melengking nyaring mengatasi sorakan musuh sehingga terdengar oleh para tosu dan para tentara Mancu. Suara nona ini merupakan minyak yang membuat api semangat mereka berkobar lagi. Benar-benar kini orang-orang Mancu itu menjadi nekat dan begitu mereka melakukan perlawanan mati-matian, kembali orang-orang Mongol terdesak hebat.

Apalagi Li Hoa, gadis ini dengan pedangnya merupakan seekor naga yang mengamuk. Ke mana saja pedangnya berkelebat, tentu ada seorang musuh yang terguling. Han Sin makin kagum saja melihat sepak terjang Li Hoa ini.

Diam-diam ia teringat akan Bi Eng. Kalau Bi Eng berada di situ, tak dapat diragukan lagi tentu Bi Eng juga akan mengamuk seperti Li Hoa, mungkin lebih hebat lagi. Teringat akan Bi Eng, Han Sin mengerutkan keningnya. Kenapa Li Hoa meninggalkan Bi Eng dan tahu-tahu berada di tempat ini?

Selagi Han Sin termenung, ia mendengar jerit kemarahan Li Hoa. Cepat ia mengangkat muka memandang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong sudah menerjang Li Hoa!

"Perempuan ganas, kau tentu anak pembesar penjilat she Thio itu? Berani bertingkah di depanku?"

Li Hoa melihat majunya Bhok Hong, cepat menusuk dengan pedangnya. Akan tetapi, tahu-tahu ujung pedangnya itu tergetar dan ternyata telah disentil ujung jari Pak-thian-tok. Li Hoa mempertahankan diri, namun tak sanggup. Getaran pedangnya hebat, membuat tangannya menggigil dan di lain saat pedang itu sudah terlepas ke bawah menancap di atas tanah! Inilah yang membuat Li Hoa menjerit marah. Dengan nekat gadis ini lalu menyerang lagi menggunakan pukulan tangan kanan!

"Ha ha ha, perempuan liar!" Bhok Hong mengangkat tangannya menangkap pergelangan lengan Li Hoa semudah orang mempermainkan anak-anak saja. Akan tetapi, selagi ia hendak memaksa Li Hoa bertekuk lutut, tiba-tiba ia merasa pundaknya lemas dan tahu-tahu cekalannya terlepas. Li Hoa sendiri merasa ditarik orang ke belakang, maka cepat-cepat ia menggunakan kesempatan itu untuk melompat tiga tindak sambil memandang. Ternyata...... Han Sin sudah berada di situ, menghadapi Bhok Hong!

"Seorang dari tingkatan atas menghina gadis muda, benar-benar tak tahu malu sekali!" kata Han Sin, suaranya tenang dan sabar, namun tajam seperti ujung pedang menusuk jantung. Merah muka Bhok Hong mendengar sindiran ini.

la segera mengenal Han Sin. Biarpun selama hidupnya baru satu kali ia betemu dengan Han Sin, yaitu ketika mereka berada di dalam gua rahasia di Lu-liang-san, namun karena dalam pertempuran itu terjadilah hal-hal aneh sampai dia terluka hampir mati oleh pukulan dari Thai-lek-kwi Kui Lok yang dibantu oleh Han Sin, maka bagaimana ia dapat melupakan wajah pemuda ini? Kenangan ini membuat wajah Pak-thian-tok Bhok Hong makin lama makin merah, malu dan marah bercampur-aduk menjadi satu.

"Hemmm, bagus sekali. Kiranya kau yang muncul ini? Cia Han Sin, selama hidupku aku mengandung penasaran dan dendam yang besar sekali terhadapmu. Sekarang, sengaja kucaripun belum tentu mudah terdapat, tahu-tahu kau telah muncul. Bagus sekali! Apakah kau sudah mewarisi semua ilmu dari dalam gua? Peninggalan si celaka Lie Cu Seng? Ha ha, hendak kulihat sampai di mana sih lihainya ilmu itu." Sambil bicara Bhok Hong menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Makin lama tangan itu menjadi makin merah, kemudian berubah semu hijau, lalu agak kebiruan dan akhirnya kedua tangan itu menjadi hitam sekali, sehitam arang!

Inilah penerapan tenaga beracun yang disebut Hek-tok-sin-kang, hebatnya bukan kepalang dan karena inilah maka ia dijuluki Racun Utara. Namun jarang sekali Bhok Hong mengeluarkan ilmu ini karena dengan kepandaiannya yang amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu mukjijat dan dahsyat inipun sudah jarang ia menemui tandingan. Sekarang belum juga bergebrak ia sudah mengerahkan tenaga ini, hal itu hanya berarti bahwa ia dapat menduga bahwa pemuda di depannya ini tak boleh dipandang ringan. Lebih hebat lagi, sambil tertawa mengejek Bhok Hong masih menggunakan tangan kanan mencabut goloknya yang amat besar dan berat.

Melihat itu, Han Sin tenang-tenang saja. Akan tetapi, Li Hoa dengan wajah pucat lalu melompat ke depan, memegang lengan Han Sin sambil berbisik,

"Jangan melawan..... kau pergilah.... larilah....!"

Namun Han Sin menggeleng kepalanya sambil tersenyum. "Jangan khawatir, Li Hoa. Aku dapat melayaninya."

Li Hoa sudah maklum akan kelihaian Han Sin, akan tetapi melihat keadaan Pak-thian-tok, ia merasa gentar bukan main. Mana bisa pemuda ini melawan tokoh besar yang khabarnya tak pernah terkalahkan orang itu? Ia lalu melangkah maju menghadapi Pak-thian-tok Bhok Hong yang keadaannya amat menyeramkan itu.

"Pak-thian-tok Bhok Hong! Apakah kau tidak malu? Kau disebut seorang tokoh besar di kalangan persilatan, seorang yang berkedudukan tinggi, lebih tinggi dari Ciu-ong Mo-kai. Masa sekarang kauhendak menghadapi seorang murid Ciu-ong Mo-kai dengan menggunakan semua ilmumu yang jahat, ditambah senjata tajam pula? Ke mana kau menaruh mukamu kalau hal yang tidak patut ini diketahui semua orang kang-ouw? Ketahuilah, Cia Han Sin sama sekali tidak mau mencampuri urusan perang antara Mongol dan Mancu. Dia bukan musuhmu dan memang betul dengan mudah kau dapat membunuhnya, akan tetapi kali ini akan rusak binasa nama besarmu, kau akan dipandang sebagai seorang rendah tak tahu malu!"

Mendelik mata Bhok Hong mendengar ini. Sudah menggigil tangannya, ingin sekali dengan pukulannya ia menghancurkan tubuh wanita yang berani mengeluarkan kata-kata seperti itu kepadanya. Namun, ucapan itu menyadarkannya, membuka matanya bahwa memang tidak patutlah kalau ia melawan pemuda ini seperti seorang melawan musuh yang setingkat. Untuk menyembunyikan rasa malu dan penasarannya, ia tertawa bergelak sambil menyimpan kembali golok besarnya.

"Ha ha ha ha....., puteri orang she Thio yang sudah mampus ternyata sekarang tergila-gila kepada bocah ini. Ha ha ha, kaukira aku tidak mengerti mengapa kau membelanya mati-matian! Kau cinta kepadanya! Tapi benar pula ucapanmu tak perlu aku melawan bocah ini, mengotorkan tangan mencemarkan nama saja. Heh, bocah she Cia. Melihat muka gadis yang membelamu mati-matian ini, biar aku pukul kau sampai tiga kali, kalau kau bisa menahan tiga kali seranganku, biarlah kuampunkan nyawamu!"

Baru saja ia berhenti bicara, secepat kilat dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Pukulan ini dahsyat sekali. Angin pukulannya saja yang menyambar hebat membuat Li Hoa yang berdiri di samping sampai terpelanting dan hanya dengan menggulingkan diri beberapa kali di atas tanah gadis itu bisa menyelamatkan diri!

Tentu saja lebih hebat daya serangnya kepada Han Sin sendiri yang memang dijadikan sasaran. Hawa pukulannya mendatangkan angin dahsyat, juga didahului bau amis yang memuakkan. Tahulah Han Sin bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Namun ia seorang laki-laki. Ucapan Bhok Hong tadi sudah mengandung tantangan dan sikap memandang rendah.

Biarpun dia belum memberi jawaban karena tak sempat lagi, namun di dalam hatinya ia menerima tantangan ini dan kalau ia mengelak, ia akan merasa malu sendiri. Sambil menahan napas agar jangan terpengaruh bau amis itu, ia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan mengangkat lengan kirinya menangkis pukulan ini. Tenaga sinkang yang amat dahsyat, yang mengandung hawa racun Pek-hiat Sin-coa, mengalir di lengan kirinya.

"Dukk!!" Dua lengan yang jauh bedanya, yang satu kehitaman, besar dan kuat kekar, bertemu dengan lengan yang berkulit putih halus. Akibatnya hebat. Pak-thian-tok Bhok Hong mengeluarkan suara menggereng seperti harimau ketika tubuhnya terhuyung-huyung mundur. Juga Han Sin tergempur kuda-kudanya, merasa betapa hawa yang panas sekali menyerangnya. Namun berkat sinkang di tubuhnya yang kuat, biarpun ia juga terhuyung mundur namun hawa beracun itu tidak dapat menembus pertahanannya.

Bhok Hong kaget dan heran bukan main. Pukulannya tadi biarpun baru dikeluarkan setengahnya, kiranya sudah cukup kuat untuk merobohkan seorang tokoh persilatan setingkat dengan Hoa Hoa Cinjin atau setidak-tidaknya setingkat dengan Ciu-ong Mo-kai. Kenapa bocah ini hanya terhuyung saja, bahkan ia sendiri merasa adanya tenaga tolakan dahsyat yang membuat iapun terhuyung mundur?

Cari Blog Ini