Kasih Diantara Remaja 21
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
la penasaran sekali, digerak-gerakkan kedua lengannya, digosoknya pula kedua telapak tangannya dan dengan seruan keras ia sudah menyerang lagi. Serangannya amat aneh gerakannya, dua kali tangan kirinya memukul dan mencengkeram namun ditarik kembali secara tiba-tiba dan tangan kanannya yang betul-betul memukul secara tak terduga, yang dituju adalah pundak kiri Han Sin.
Pemuda ini bingung juga menghadapi serangan lawannya. Tadi di waktu Bhok Hong menyerang dengan pukulan-pukulan ancaman, kalau dia mau dengan mudah saja ia akan mendahului dengan serangan dengan jurus-jurus ilmu silat Lo-hai Hui-kiam atau Thian-po-cin-keng. Akan tetapi tadi dalam hati ia berjanji untuk menghadapi tiga kali serangan kakek itu, kalau sekarang sebelum tiga kali diserang ia membalas, bukankah itu berarti melanggar janji sendiri di dalam hati?
Keraguan ini membuat ia menderita rugi. Kalau tadi ia balas menyerang, setidaknya daya serangan lawan akan berkurang. Akan tetapi karena melihat pemuda itu hanya menjaga diri dan nampak bingung menghadapi gerakannya yang aneh,
Bhok Hong dapat mengacau pertahanannya dan pukulan ke arah pundak kiri itu datang tiba-tiba tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi.
Terpaksa Han Sin mengerahkan seluruh sinkangnya, disalurkan ke pundak kiri untuk menerima pukulan. la maklum akan bahayanya hal ini, akan tetapi apa boleh buat. Dengan pencurahan segenap panca indera dan hawa semangat di dalam tubuh sampai pundaknya terasa panas sekali, ia siap menerima pukulan itu.
"Plakkk!" Telapak tangan yang hitam itu menampar pundak dengan tenaga yang bukan main besarnya, tenaga dalam yang tidak kelihatan namun sebetulnya menyerang di bagian dalam tubuh. Kalau bukan Han Sin yang menerima pukulan ini, tentu akan roboh binasa dengan jantung hangus dan isi dada berantakan.
Dalam pukulan ini Bhok Hong menggunakan tiga perempat bagian dari tenaganya, karena kakek ini yakin bahwa pukulannya pasti akan berhasil merobohkan Han Sin. Pula, ilmu pukulan Hek-tok-sin-kang ini memang tidak boleh sembarangan dipergunakan. Setiap kali menggunakan, kalau pukulan ini membalik, dia sendiri akan terluka. Tadi dalam pukulan pertama ia sudah merasa betapa pukulannya membalik. Baiknya hanya setengah bagian saja sehingga ia masih cukup tenaga untuk menolak atau "menyimpan" hawa pukulannya yang membalik.
Bukan main hebatnya pukulan ini. Li Hoa menjerit ketika melihat betapa tubuh Han Sin tergoyang-goyang dan wajah pemuda itu menjadi pucat sekali, kedua kakinya lemas seakan-akan hendak roboh setiap saat. Gadis itu yang sepenuhnya memperhatikan Han Sin, tidak melihat betapa Bhok Hong juga menjadi pucat mukanya dan bahkan kedua pundak kakek itu menggigil seperti orang terserang penyakit demam malaria!
Han Sin meramkan matanya, mengatur napas. Ia merasa jantungnya terguncang dan hawa panas memenuhi dadanya. Ini baik sekali karena itu berarti bahwa pukulan Bhok Hong yang tadi membawa hawa dingin sekali, ternyata tidak sampai menguasai jantung dan isi dadanya, dapat ditolak dengan hawa sinkangnya. Dia telah berhasil menerima pukulan kedua dengan pundaknya!
Diam-diam pemuda ini girang dan juga ada rasa bangga di dalam hatinya. Pukulan kedua tadi bukan main dahsyat dan lihainya, namun berkat latihan-latihannya, ia berhasil menerimanya tanpa terluka hebat di dalam dada. Memang kalau dilihat dari luar, hebat sekali bekas pukulan itu. Bajunya di bagian pundak terlihat ada tanda lima jari tangan hitam, seakan-akan baju itu tadi dicap oleh lima jari tangan dengan tinta bak.
"Han Sin...... awas....!" tiba-tiba Li Hoa menjerit ketakutan ketika melihat betapa Bhok Hong mempergunakan kesempatan selagi Han Sin berdiri diam sambil meramkan mata, untuk menyerang ketiga kalinya. Penyerangan yang dibarengi gerengan dahsyat karena kakek itu sudah berada di puncak kemarahannya dan penasarannya!
Han Sin belum sempat membuka matanya, namun sebagai seorang ahli silat tinggi pemuda ini sudah dapat mendengar angin pukulan yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan kepala dan mengangkat tangan kiri ke atas untuk menangkis. Pukulan itu melewati kepalanya, akan tetapi tiba-tiba lengan tangan kirinya sudah dicengkeram oleh tangan kanan Bhok Hong!
Han Sin memandang dengan mata berkilat. Kakek itu tertawa liar dan kembali terdengar Li Hoa menjerit karena Bhok Hong sudah mengangkat tangan kirinya untuk mencengkeram kepala Han Sin. Dengan tangan kiri sudah dicekal, kiranya takkan mungkin lagi pemuda itu menyelamatkan dirinya.
Andaikata ia dapat menangkis pukulan atau cengkeraman dengan tangan kanannya, akan tetapi lengan kiri yang dicengkeram oleh tangan yang mengandung Hek-tok-sin-kang itu, mana bisa diselamatkan? Racun hitam dari segala macam binatang beracun akan menjalar dari tangan hitam itu dan akan memenuhi tubuhnya, membuat ia mati dalam waktu singkat!
Han Sin bukan tidak maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Namun ia masih tenang dan tidak terseret oleh kegemasan yang mempengaruhi hatinya. Melihat tangan kiri itu mencengkeram ke arah kepalanya, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan di lain saat sebelum Bhok Hong sadar, pergelangan tangan kiri Bhok Hong sudah dicekal oleh tangan kanan Han Sin! Keadaan mereka sekarang sama, saling dicekal pergelangan tangan kiri oleh lawan.
Li Hoa juga seorang ahli silat yang tahu akan seluk beluk tenaga lweekang (tenaga dalam). la maklum bahwa kini dua orang itu tentu mengadu tenaga lweekang dan hal ini bahayanya seratus kali lebih besar daripada mengadu pedang atau golok. Kalah menang hanya ditentukan oleh kematian! Tak terasa lagi air mata bercucuran dari kedua mata gadis itu ketika melihat wajah Han Sin yang tampan itu berkeringat, pucat dan kelihatannya menderita nyeri yang hebat.
"Han Sin....., Han Sin ".." bisiknya lemah, tak berdaya untuk menolong.
Memang Han Sin merasa betapa lengannya sakit bukan main. Racun yang luar biasa didorong oleh tenaga dalam yang dahsyat untuk memasuki tubuhnya dari lengan itu. Namun ia merasa lega bahwa tenaga sinkangnya sendiri dapat menolak serangan itu, maka iapun lalu mengerahkan tenaga ke tangan kanannya yang mencekal lengan kiri lawannya.
Kakek itu meringis kesakitan, mulutnya menyeringai, lalu menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah, matanya melotot memandang Han Sin dengan penuh penasaran, kemarahan, dan keheranan. Selama hidupnya, baru kali ini dia bertemu dengan lawan begini muda namun berkepandaian luar biasa tingginya!
Akan tetapi, keheranannya bertambah-tambah dengan hebat ketika ia melihat pemuda itu menggerakkan bibir dan bicara kepadanya dengan suara tenang dan jelas, "Pak-thian-tok, kau berjanji akan melepaskan aku setelah aku dapat menahan tiga kali seranganmu. Aku sudah menahan tiga kali, kau tetap tidak mau melepaskan. Apakah kau menghendaki aku membikin serangan balasan?"
Bukan main kaget, heran dan takutnya hati Bhok Hong. Menghadapi atau menerima penyerangannya berturut-turut secara aneh selama tiga jurus ini saja sudah hebat. Sekarang dalam mengadu lweekang, ternyata pemuda ini tidak berada di bawah tingkatnya. Hebatnya, malah kini dapat bicara! Padahal dalam mengadu tenaga lweekang, bicara merupakan pantangan terbesar. Dengan bicara, orang memecahkan perhatian dan mengeluarkan hawa, bagaimana bocah ini dapat bicara seenaknya tanpa mengurangi tenaga perlawanannya?
Sebelum habis Han Sin bicara, kakek itu mengangguk dan meloncat mundur melepaskan cekalannya, akan tetapi lebih dulu sebelum Han Sin menutup mulut, ia mengerahkan seluruh tenaga mencengkeram pergelangan tangan pemuda itu dengan maksud meremukkan tulangnya!
Akan tetapi, akibatnya, ia sendiri mengeluh perlahan dan ketika melihat, ternyata tangan kirinya sudah lumpuh karena tulang lengan kirinya itu patah oleh cekalan Han Sin. Pemuda ini maklum tadi akan kecurangan lawan, maka dengan gemas ia sambil mempertahankan tangan kirinya, menggunakan kesempatan untuk menggencet tangan kiri lawan sampai patah tulang lengan kiri itu!
Bhok Hong, menjadi pucat, memandang ke kanan kiri lalu berkata keras,
"Hayo, mundur! Tak perlu berperang lagi di sini!" Sekali berkelebat, kakek ini pergi tanpa pamit lagi diikuti oleh orang-orang Mongol yang lari tunggang langgang!
Setelah Bhok Hong pergi, barulah Han Sin menjatuhkan diri terduduk di atas rumput, bersila dan mengatur napas. Li Hoa cepat menghampirinya. Gadis ini tidak berani mengganggu, karena maklum bahwa jika orang memulihkan tenaga menghisap hawa murni untuk mengusir hawa beracun dari tubuh, sama sekali tak boleh diganggu.
Hatinya merasa terharu dan kasihan sekali melihat betapa pergelangan lengan kiri pemuda itu nampak hitam dan kulitnya seperti bekas dibakar api. Juga pundaknya sekarang kelihatan setelah tanda hitam pada baju itu hancur menjadi abu ketika dipakai bergerak. Kulit di pundak inipun seperti dibakar! Bukan main ngerinya kalau dibayangkan kepandaian kakek Racun Utara itu.
Li Hoa segera memberi tahu kepada semua orang Mancu supaya mengubur semua jenasah dan membawa pulang kawan-kawan yang terluka. Ia sendiri menjaga Han Sin yang masih duduk bersila.
Dua jam kemudian, baru Han Sin membuka matanya. la merintih perlahan lalu berkata, "Lihai..... hebat sekali Pak-thian-tok....." Pemuda ini memang merasa kagum sekali. Mana ia tahu bahwa pada saat itu, jauh dari situ, Pak-thian-tok Bhok Hong pun sedang merasa menderita lebih hebat daripadanya, muntah-muntah darah dan cepat-cepat mengobati luka di dalam dadanya?
"Han Sin..... kau telah menolong.... nyawaku dan kau terluka hebat. Biar kubalut luka di lengan dan pundakmu..... " kata Li Hoa terharu.
Meski gadis cantik ini berlutut di dekatnya. Han Sin menarik napas panjang. Teringat ia akan pertemuannya yang pertama dengan gadis ini dahulu di jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san, ketika ia ditawan oleh para tosu Cin-ling-pai kemudian ia ditolong oleh gadis ini. Ia merasa terharu sekali. Gadis ini mencintanya sepenuh hati, hal ini ia tahu benar.
Kinipun ia melihat tanda-tanda air mata yang belum kering di kedua pipi Li Hoa, juga teringat ia betapa tadi Li Hoa beberapa kali menjerit ketika melihat ia terancam bahaya, teringat betapa Li Hoa dengan berani mati mencoba untuk melindungi dan memaki Pak-thian-tok secara berani. Boleh dibilang gadis ini yang menyelamatkannya. Pak-thian-tok terlalu lihai, bertangan kosong saja sudah demikian lihai, bagaimana kalau tadi tidak disindir Li Hoa dan menyerangnya dengan golok, bukan hanya tiga kali melainkan seterusnya sampai ia binasa?
"Li Hoa, bukan aku yang menolongmu, kaulah yang berkali-kali menolongku, kau baik sekali kepadaku. Li Hoa, kenapa kau begini baik? Kenapa banyak orang baik kepadaku?"
Li Hoa menunduk, menyembunyikan sinar mata dan kemerahan pipinya. "Orang hidup memang harus saling berbaik terhadap sesamanya, Han Sin. Mari kubalut lukamu."
"Jangan dulu, biar kukeluarkan racunnya." Han Sin memeriksa pergelangan lengannya. Ternyata racun hitam hanya berkumpul di bawah kulit yang terluka, tak dapat menjalar terus, tertahan oleh darahnya yang sudah mengandung racun Pek-hiat-sin-coa. "Li Hoa, apakah kau mempunyai tusuk konde perak?"
Li Hoa mengangguk, lalu melolos tusuk konde perak dan diberikannya benda runcing itu kepada Han Sin. Han Sin menusuk kulit yang hitam di lengannya itu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Keluar darah hitam dari luka itu dan sebentar saja lenyap warna hitam. Han Sin menanti sampai darah hitam habis dan terganti darah merah, baru ia menghentikan dorongan tenaganya. Luka di pundaknya tidak sehebat luka di lengannya, maka tak perlu mengeluarkan racun.
Setelah selesai mengeluarkan darah hitam dan mengembalikan tusuk konde perak, barulah Li Hoa membalut lengan itu. Lukanya cukup berat, membuat lengan itu terasa sakit sekali dan tiap kali digerakkan, urat-uratnya tertarik dan keluarlah darah dari luka di dekat urat besar di pergelangan. Oleh karena itu, terpaksa lengan itu digantung dan saputangan besar itu oleh Li Hoa diikatkan pada leher Han Sin.
Menyaksikan sikap gadis yang begitu baik, gerak-geriknya yang penuh kasih sayang dan merasa betapa jari-jari tangan itu dengan amat mesranya memasangkan balut. Begitu halusnya menyentuhnya, melihat kulit pipi yang kemerahan dan sinar mata yang jelas mencurahkan isi hati yang penuh kasih terhadapnya, Han Sin menarik napas panjang.
Teringatlah ia akan sikap Tilana kepadanya, juga ia merasa betapa semua itu sama benar dengan yang ia rasakan terhadap Bi Eng. Cinta! Alangkah ganjilnya kalau cinta kasih hanya menyerang sebelah pihak saja. Orang bisa menjadi seperti gila karena cinta. Sikapnya sendiri terhadap Bi Eng tentu dianggap gila oleh Bi Eng. Kemudian tentang sikap Tilana, dan Li Hoa ini.
Bagaimana ia dapat membalas cinta mereka kalau hatinya sudah melekat pada Bi Eng? Teringat pula ia akan Pangeran Yong Tee, yang sampai menangis karena cinta kasih pula, karena Hoa-ji si gadis berkedok. Lebih aneh pula. Bagaimana cinta bisa menembus kedok yang menutupi muka selalu?
"Li Hoa, kau baik sekali kepadaku. Kenapa.....?"
Li Hoa sudah selesai mengikatkan ujung pembalut ke belakang leher Han Sin, dan pada saat Han Sin bertanya, gadis ini yang agaknya lupa diri karena gelora perasaannya, dengan mesra menyentuh rambut yang terurai di kening pemuda itu. Kaget ia mendengar pertanyaan ini dan untuk menutupi rasa malunya, ia menyelinap ke belakang Han Sin yang duduk di atas tanah.
"Ikatan rambutmu terlepas, biar kubereskan, bolehkah?" tanyanya lirih.
Han Sin mengangguk dan merasa betapa dari belakang, kedua tangan gadis itu dengan cekatan dan mesra melepas tali pengikat rambutnya, mengumpulkan rambut itu dan merapikannya ke atas lalu membungkus dan mengikatnya pula dengan beres. Terharu hati Han Sin. Alangkah baiknya Li Hoa. Alangkah mesranya andaikata yang melakukan hal itu adalah tangan..... Bi Eng!
"Li Hoa, kau belum menjawab pertanyaanku tadi."
Li Hoa sudah selesai mengikat rambut dan kini gadis itu berhadapan dengan Han Sin. Matanya tajam menentang pandang mata Han Sin dan kedua pipinya kemerahan, cantik bukan main pipi dan mata itu!
"Kau sudah tahu akan isi hatiku sejak pertemuan kita dahulu, kenapa masih bertanya lagi?" akhirnya gadis itu menjawab setelah menundukkan mukanya.
Tergetar hati Han Sin. Gadis seperti ini cantik jelita, gagah perkasa, apalagi mencintanya, sudah sepatutnya dibela dengan nyawa. Gadis seperti ini jarang dapat ditemui keduanya di dunia. Terkenang ia kepada Tilana dan rasa jengah dan malu menyelubungi hatinya.
Orang macam apakah dia ini? Menurutkan nafsu hatinya, seakan-akan ia mencinta Tilana yang harus diakui paling cantik di antara semua gadis yang pernah ia kenal. Menurutkan bisikan sanubarinya seakan-akan ia harus membalas cinta kasih Li Hoa yang begini murni. Akan tetapi entah bagaimana, semua bisikan dan nafsu hati dan sanubarinya itu terkalahkan oleh perasaan yang sudah melekat di seluruh hati dan pikirannya bahwa hanya Bi Eng-lah sebetulnya yang ia inginkan agar selalu berada di sisinya selama hidup!
Tapi hati ini mau saja bertindak sendiri. Di luar kesadarannya, tangan kanannya bergerak dan menangkap tangan Li Hoa. Gadis itu kaget, menatap wajah Han Sin, lalu menunduk kembali dengan muka makin merah, akan tetapi kedua tangannya menyambut uluran tangan Han Sin. Tes.... tes..... dua butir air mata yang hangat menetes turun di atas tangan Han Sin.
Sampai lama mereka tidak bergerak, juga tidak bicara, hanya tangan mereka yang saling berpegangan itu menjadi pengganti suara hati. Han Sin merasa amat tidak tega untuk mengaku terus terang bahwa dia tak dapat menyambut cinta kasih gadis ini, selain tidak tega, juga tidak berani, takut melihat akibat seperti yang telah terjadi pada diri Tilana. Akan tetapi, kalau ia diamkan saja iapun merasa berdosa, seakan-akan ia menipu kasih sayang murni dari gadis itu.
"Li Hoa, kenapa kau berada di sini? Bukankah tadinya kau berada di Ta-tung? Dan bagaimana kau meninggalkan Bi Eng......?" Pertanyaan ini menjadi penolongnya, memecahkan suasana mesra yang membahayakan pertahanan hatinya itu.
Li Hoa dengan malu-malu melepaskan kedua tangannya. Sinar matanya berseri dan cemerlang ketika ia menatap wajah Han Sin. "Aku mendengar dari Bi Eng bahwa kau hendak mencari Hoa-ji untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong Tee......"
Han Sin mengerutkan kening. Alangkah mudahnya wanita menyebar berita. Memang ia tidak memesan kepada Bi Eng supaya jangan bercerita tentang hal itu kepada orang lain, akan tetapi tidaklah Bi Eng dapat mengerti bahwa hal itu adalah rahasia hati Pangeran Yong Tee?
"Jadi dia sudah menceritakannya kepadamu?" katanya perlahan.
LI HOA dapat menangkap penyesalan dalam kata-kata singkat ini, maka khawatir kalau pemuda ini marah kepada Bi Eng, ia cepat berkata, "Hal hubungan antara Pangeran Yong Tee dan Hoa-ji memang rahasia bagi banyak orang, akan tetapi bukan rahasia lagi bagiku dan bagi mendiang ayahku. Mereka memang sudah mengadakan perhubungan semenjak Hoa Hoa Cinjin masih berada di kota raja."
"Ayahmu sudah meninggal dunia?"
Li Hoa mengangguk. "Bhok-kongcu jahanam besar itulah yang membunuh ayah!" katanya dengan wajah bengis. "Justeru karena inilah maka aku dan Li Goat mati-matian membantu bala tentara Mancu untuk membinasakan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu itu bersama antek-anteknya!"
Han Sin mengangguk-angguk. Ia dapat menduga mengapa Thio-ciangkun, ayah Li Hoa, dibunuh oleh Bhok Kian Teng. Ia sudah maklum bahwa Thio-ciangkun adalah seorang yang amat setia kepada Pangeran Yong Tee, karena itu maka dimusuhi Bhok-kongcu dan dibunuh. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dibunuhnya Thio-ciangkun sebetulnya adalah karena gara-gara.... Bi Eng!
Seperti pernah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Bi Eng pernah tertawan oleh Bhok-kongcu dan berada dalam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Baiknya Li Hoa yang tahu akan hal ini mendesak ayahnya supaya minta pertolongan Yong Tee supaya minta gadis tawanan itu dari tangan Bhok-kongcu. Inilah sebab terutama yang membuat Bhok-kongcu menaruh hati dendam kepada Thio-ciangkun dan sebelum Pangeran Mongol ini melarikan diri ke utara dan memimpin pemberontakan, lebih dulu ia bunuh ayah Li Hoa untuk melampiaskan kemarahan dan dendamnya.
"Akan tetapi, kenapa kau berada di sini?" tanya pula Han Sin.
"Setelah aku mendengar dari adikmu bahwa kau pergi mencari Hoa-ji di daerah ini, aku merasa amat khawatir. Aku cukup maklum akan kelihaianmu, akan tetapi kau tidak mengerti bahwa di sini banyak sekali berkumpul orang-orang lihai, terutama Pak-thian-tok tadi. Aku" aku sengaja menyusulmu untuk memperingatkan kau akan tokoh ini....., tidak tahunya aku sendiri bertemu dengan dia!"
Terharu sekali hati Han Sin. Ingin ia menghibur Li Hoa, ingin ia berterus terang bahwa ia tak dapat membalas budi dan cinta kasih sebesar itu, akan tetapi ia tidak kuasa membuka mulut. Tidak tega ia melukai hati Li Hoa. Akhirnya berkata juga dia,
"Li Hoa, terima kasih atas segala kebaikan hatimu. Kuharap sekarang kau kemball ke Ta-tung, harap kausuka menjaga Bi Eng. Jangan kau mengkhawatirkan aku, aku dapat menjaga diriku sendiri. Kembalilah kau......."
Setelah tadi menyaksikan betapa Han Sin dapat melawan Bhok Hong, memang tahulah Li Hoa bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang luar biasa sekali dan bantuannya sama sekali tidak akan ada artinya. Juga ia dapat menangkap bahwa permintaan ini tak dapat ia bantah lagi, maka ia mengangguk dan berkata,
"Baik-baiklah kau menjaga diri....."
"Selamat jalan, Li Hoa."
"Sampai berjumpa kembali di Ta-tung..., koko (kanda)......." kata gadis itu malu-malu dan cepat ia meloncat lalu melarikan diri pergi dari situ! Han Sin menarik napas panjang, lalu menggerutu,
"Cinta..... cinta..... kau suka sekali mempermainkan hati muda sesukamu...." Sampai lama ia merenung seorang diri, namun tetap saja tak dapat ia memecahkan persoalan sulit daripada cinta kasih yang mempermainkannya, yang menimbulkan liku-liku asmara yang membingungkan di sekelilingnya. Tilana...... Thio Li Hoa..... Bi Eng......!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan muncullah belasan orang anggauta tentara Mancu yang berlari-lari ketakutan. Ada di antara mereka yang pakaiannya cobak-cabik dan berdarah di sana-sini.
"Celaka kalau muncul si jangkung pemelihara harimau......!" terdengar seorang di antara mereka berkata.
"Jangan-jangan orang Mongol akan mengajukan Kalisang siluman itu dan harimaunya.....!" kata yang lain.
"Aduh... aduh!" seorang yang.pakaiannya koyak-koyak tiba-tiba terguling dan ketika dilihat oleh kawan-kawannya ia telah tewas!
"Sudah lima orang kawan tewas. Celaka...., lari......!"
Akan tetapi kembali dua orang terguling dan tewas, biarpun luka-luka mereka itu tidak hebat. Makin ketakutanlah sisa rombongan tentara Mancu ini dan mereka cepat melarikan diri. Namun tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Han Sin sudah berada di depan mereka.
Pemuda ini amat tertarik hatinya ketika mendengar percakapan mereka tentang seorang jangkung berbangsa Mongol yang bernama Kalisang dan memelihara harimau. Teringat ia akan cerita mendiang Ang-jiu Toanio ketika hendak meninggal dunia, yaitu tentang adik kandungnya yang diculik oleh Ang-jiu Toanio, dan kemudian adik kandungnya itu dirampas oleh seorang Mongol gundul yang memelihara harimau!
Orang-orang Mancu yang sedang ketakutan itu makin kaget ketika tiba-tiba entah dari mana datangnya, muncul seorang pemuda tampan di depan mereka. Han Sin tak mau membuang banyak waktu.
"Lekas bilang, apakah siluman jangkung pemelihara harimau itu seorang Mongol yang berkepala gundul?"
"Betul..... " kata seorang di antara mereka. Han Sin berkelebat dan lenyap lagi. Orang-orang Mancu menjadi pucat, saling pandang, kemudian...... lari tunggang-langgang.
"Celaka....., di siang hari bertemu dengan siluman-siluman berkeliaran......" keluh mereka ketakutan.
Han Sin berlari cepat menuju ke arah dari mana orang-orang itu datang. la tiba di sebuah hutan berbatu-batu. la mencari-cari dengan matanya, akan tetapi tempat itu sunyi dan gelap. Tak terdengar seekorpun binatang hutan kecuali burung-burung di udara dan di pohon-pohon. Agaknya binatang-binatang hutan bersembunyi, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengar geraman yang luar biasa kerasnya. Geram harimau! Akan tetapi, bukan main hebatnya, serasa bergoyang bumi dibuatnya. Han Sin kagum sekali. Tentu seekor harimau yang amat besar, biarpun ia sering kali melihat harimau dan mendengar aumnya, namun belum pernah mendengar geraman harimau sedahsyat itu.
Selagi ia hendak lari ke arah suara harimau yang agak jauh dari situ, tiba-tiba ia mendengar teriakan orang ketakutan dari arah berlainan, yaitu dari arah gunung-gunungan yang banyak gua-guanya. Ada orang terancam bahaya, pikirnya, dan jiwa satrianya membuat ia membelokkan kaki menuju ke arah suara ini lebih dulu untuk menolong orang yang berteriak-teriak ketakutan itu.
Ternyata suara itu datangnya dari sebuah gua besar dan ketika ia memasuki gua itu, ia melihat seorang laki-laki Bangsa Mancu menjerit-jerit ketakutan dalam sebuah kerangkeng beruji besi yang amat kokoh kuat. Laki-laki ini ketakutan setengah mati, agaknya setelah mendengar auman harimau yang masih bergema itu.
Akan tetapi munculnya seorang pemuda tampan yang tangan kirinya dibalut dan digantung membuat ia terdiam heran biarpun tubuhnya masih menggigil dan wajahnya pucat.
"Kenapa kau di sini? Siapa yang menawanmu?" tanya Han Sin.
"Tolonglah hamba..... orang gagah, tolonglah......" orang itu meratap dalam Bahasa Mancu yang dimengerti baik oleh Han Sin. Memang pemuda ini dahulu di Min-san sudah mempelajari bahasa-bahasa asing di sekitar Tiongkok. "Hamba.... ditawan oleh..... Kalisang.... dan itu dia dan.... harimaunya sudah terdengar suaranya...... tolonglah......."
Girang hati Han Sin. Kiranya orang ini seorang yang akan dijadikan korban, hendak dijadikan santapan harimau peliharaan Kalisang! Kesempatan bagus untuk mencari keterangan perihal adik kandungnya! Cepat ia menggunakan tangan kanannya merenggut putus beberapa buah ruji besi di belakang orang itu yang memandang dengan mata terbelalak heran.
"Lekas keluarlah dan bersembunyilah. Kau harus lari dari jurusan lain supaya jangan jumpa di jalan dengan harimau itu." Orang itu saking girangnya, lupa mengatakan terima kasih. Terus saja ia meloncat keluar dan berlari sipat kuping menuju ke arah yang berlawanan dengan arah di mana terdengar auman harimau itu. Han Sin lalu memasuki kerangkeng itu dari belakang, duduk bersandar pada bagian yang sudah ia rusak rujinya, menanti tenang.
Suara auman harimau makin lama makin dekat dan tiba-tiba muncullah seekor harimau besar sekali di depan gua, bersama seorang laki-laki yang aneh. Orang ini bertubuh tinggi kurus, kepalanya gundul pelontos mengkilap seakan-akan kepala yang benjal-benjol itu digosok dan disemir selalu! Kerut keningnya membayangkan watak yang pemarah dan lucunya, di kedua telinganya bergantungan dua buah anting-anting! Adapun harimau itu benar-benar seekor harimau yang besar sekali dan nampaknya amat kuat dan buas, akan tetapi jinak di dekat orang gundul tinggi kurus itu.
Inilah Kalisang, orang Mongol pemelihara macan yang pernah kita temui satu kali dalam jilid yang lalu. Seperti telah dituturkan dalam cerita itu, Kalisang telah merampas bayi dalam gendongan Ang-jiu Toanio di dalam hutan dan pada saat ia hendak memberikan bayi itu kepada harimaunya, muncul Hoa Hoa Cinjin yang mengalahkannya dan merampas bayi itu.
Kini Kalisang memandang dengan muka muram ke dalam kerangkeng. Ia amat heran karena tadi yang ditangkapnya untuk dijadikan mangsa harimaunya adalah seorang Mancu, musuh bangsanya. Kenapa sekarang tahu-tahu telah berobah menjadi seorang pemuda Bangsa Han tampan? Tak senang ia melihat mata pemuda itu yang mencorong tajam, malah harimaunya yang tadinya menggeram melihat calon mangsanya, kini agak mendekam dan mengeluarkan gerengan takut ketika matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu yang tidak kalah tajam dan berpengaruh!
"Ke manga pelginya olang Mancu itu? Kau ini setang dali manga belangi masuk ke sini?" tanyanya dengan suaranya bindeng.
Geli juga hati Han Sin mendengar orang bindeng ini bicara. Kalau Bi Eng berada di sini, tentu ia akan terpingkal-pingkal, pikirnya.
"Apa kau yang bernama Kalisang?" tanyanya tak acuh.
"Betul, aku Kalisang dan kau akang mengjadi makangang macangku! Ha ha, dagingmu lebih empuk tengtu dali pada daging olang Mancu.....!"
Kalisang melangkah maju, mengeluarkan sebatang kunci dan membuka pintu depan kerangkeng yang dikuncinya itu. Dengan muka menyeringai ia lalu menarik pintu kerangkeng terbuka. Akan tetapi, ia merasa heran melihat harimaunya tidak lekas menubruk maju. Biasanya, begitu kerangkeng dibuka, harimaunya itu terus saja menubruk maju dan menyerang calon mangsanya di dalam kerangkeng. Sekarang ini si macan hanya menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan matanya mencorong ke arah Han Sin.
"Anakku.....hayo maju, makang dia..... hayoh.....!" Kalisang mendesak harimaunya.
Han Sin tidak takut sama sekali menghadapi harimau itu, akan tetapi ia merasa kurang leluasa kalau harus melawan harimau di dalam kerangkeng yang sempit. Maka ia mendahului keluar dari kerangkeng menghadapi Kalisang dan harimaunya dengan tangan kiri tergantung.
"Kalisang, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kedatanganku ini hanya hendak bertanya, ke mana perginya anak perempuan yang belasan tahun yang lalu kaurampas dari tangan Ang-jiu Toanio?" Sambil bertanya demikian, pandang mata Han Sin menyambar-nyambar dari Kalisang kepada harimau itu dan meremang bulu tengkuknya kalau ia membayangkan betapa adik kandungnya itu sudah dijadikan mangsa harimau ini!
"Kau....kau bilang apa....?" Kalisang bertanya, wajahnya agak berubah. "Kau siapa....?"
"Tak perlu kau mengenal aku siapa, hanya patut kauketahui bahwa anak perempuan yang masih bayi, yang kaurampas dari tangan Ang-jiu Toanio dulu itu, dia adalah adik kandungku. Di mana dia??" Kini di dalam suara Han Sin terkandung ancaman hebat.
Kalisang menepuk pantat harimaunya dan binatang itu kini mulai menyerang, menubruk dengan kuat sekali ke arah Han Sin. "Heh heh, kau mau mampus masih benglagak.......!"
Akan tetapi alangkah kagetnya hati Kalisang ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan sebelah tangan, menggeser kaki ke samping lalu tangan itu bergerak cepat, menampar mulut macan.
"Prakk!" Harimau terbanting dan mulut harimau itu hancur, giginya pada copot dan bibirnya berdarah sampai ke hidungnya! Harimau itu kesakitan dan marah sekali. Kembali ia meloncat dengan tubrukannya, kini kedua kakinya juga ikut mencakar.
Kembali Han Sin bergerak cepat, dua kali tangan kanannya bergerak dan "Plak! Plak!" Harimau itu sekali lagi terbanting dan bergulingan sambil menggereng-gereng kesakitan. Ternyata semua tulang kaki depannya telah remuk oleh tamparan Han Sin tadi! Setelah tulang kaki depannya patah-patah dan mulutnya berikut gigi-giginya rusak, harimau besar ini tak berdaya lagi.
Kalisang membelalakkan matanya. la marah bukan main, sambil mengeluarkan seruan panjang dan aneh ia melangkah maju dan tangan kanannya bergerak ke depan. Lengan ini terus mulur panjang dan biarpun jarak antara dia dan Han Sin ada satu setengah meter lebih jauhnya, tangannya masih dapat mencengkeram ke arah pundak kanan pemuda itu! Han Sin merasa heran karena belum pernah ia melihat ilmu seperti ini, akan tetapi ia sengaja bergerak lambat dan memberi kesempatan kepada tangan lawan untuk mencengkeram pundaknya.
Kalisang berseru kaget ketika tangannya mencengkeram pundak yang menjadi lunak seperti kapas saja sehingga semua tenaganya amblas dan lenyap ke pundak lawan, dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba tangan Han Sin sudah menotok jalan darah di dekat sikunya yang sekali gus membuat tangannya itu lumpuh! Belum sempat ia bergerak, tubuh Han Sin berkelebat dan Kalisang roboh terguling, tak dapat bergerak lagi!
Kakek ini disamping kesakitan dan kekagetan, juga merasa heran setengah mati. Bagaimana ada orang masih amat muda lagi, dapat membikin dia tak berdaya hanya dalam segebrakan saja? Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal aneh seperti ini!
"Hayo kaukatakan, Kalisang. Di mana bocah perempuan yang kaurampas dari tangan Ang-jiu Toanio dulu itu?" Han Sin membentak.
Kalisang berusaha bangun, akan tetapi tidak berhasil. Ia malah tidak kuasa lagi menggerakkan kaki tangannya. Akhirnya ia mengeluh,
"Aduuhhh...... kau hebat sekali..... angak itu..... sudah dingampas...... Hoa Hoa Cingjing....."
Han Sin melompat maju, mencengkeram lengan Kalisang demikian eratnya sampai kakek itu meringis. Ia merasa betapa tulang-tulang lengannya seperti hancur luluh dicengkeram tangan pemuda aneh ini.
"Jangan bohong! Anak itu tentu sudah kauberikan kepada macanmu menjadi mangsanya!"
"..... ooohh, enggak..... enggak..... aduhh lepaskan lengangku......., betung betung..... dulu dingampas Hoa Hoa Cingjing..... mana aku bengani melawang dia....?"
"Dirampas Hoa Hoa Cinjin....? Kau maksudkan...... Hoa-ji itu......"
"Aku tidak tahu siapa nangmanya.... kau boleh tanyakan saja sama dia......?"
Han Sin bangun berdiri. Sekali menyambar, ia sudah mengangkat kerangkeng itu dengan sebelah tangan, lalu membanting kerangkeng itu di atas tubuh harimau yang masih berkelojotan di atas tanah. Kerangkeng pecah berantakan dan kepala harimau pecah.
"Kali ini baru kerangkeng dan macanmu yang kuhancurkan. Awas, kalau ternyata kelak kau membohongiku tentang bocah itu, aku akan mencarimu dan menghancurkan kepalamu juga, jangan harap kau akan dapat terlepas dari tanganku!"
"Tidak..... tidak bohong....!" keluh Kalisang yang tidak berdaya sama sekali melihat binatang peliharaan dan kerangkengnya hancur. Han Sin lalu meninggalkan tempat itu dan terus menuju ke utara.
Di sepanjang jalan ia tak dapat menahan jantungnya yang berdebaran tidak karuan. Kalau betul cerita Kalisang bahwa adik kandungnya itu dirampas oleh Hoa Hoa Cinjin, apakah tak boleh jadi kalau adik kandungnya itu adalah Hoa-ji si gadis berkedok? Dan ia sedang mencari Hoa-ji yang menjadi kekasih Pangeran Yong Tee. Betul-betulkah dia adik kandungku....?
Han Sin ragu-ragu, akan tetapi sekarang semangatnya mencari Hoa-ji menjadi berlipat kali lebih besar lagi. Ia akan mencari Hoa-ji, bukan saja hanya untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong Tee, akan tetapi sekarang, terutama sekali, untuk membuktikan apakah Hoa-ji betul-betul adik kandungnya yang selama ini ia cari-cari. Betapapun juga, legalah hatinya mendengar dari Kalisang bahwa adik kandungnya tidak dimakan harimau seperti yang tadinya ia khawatirkan.
Aku harus menyerbu ke utara, kalau perlu kudatangi markas besar tentara Mongol. Harus kujumpai Hoa-ji. Siapa tahu dia betul-betul adik kandungnya! Hati Han Sin berdebar keras. Dia merasa sudah hampir dapat membuka rahasia ini. Rahasia Bi Eng, rahasia Tilana, dan rahasia adik kandungnya! Mungkin rahasia kematian orang tuanya. Dengan penuh semangat, biarpun tangan kirinya masih harus digantung, pemuda ini melakukan perjalanan cepat menuju ke utara.
"Ibu, ada sebuah hal yang kuharap ibu suka berkata terus terang kepadaku." Demikian Tilana berkata kepada ibunya, begitu ia memasuki rumah dan menghadap ibunya itu. Ibunya adalah Balita, seorang Puteri Hui yang tersohor, seorang pemimpin Suku Hui yang mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, apalagi akhir-akhir ini. Sepak terjangnya aneh dan ganas sekali, sungguhpun ia pada hakekatnya membenci kejahatan dan membasminya, namun dengan cara yang ganas dan kejam tak kenal ampun. Oleh karena itulah maka Balita mendapat julukan Jin-cam-khoa (Algojo Manusia).
Di waktu mudanya, Balita terkenal seorang wanita cantik jelita jarang bandingnya. Akan tetapi, seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu, setelah wanita ini menjadi rusak hatinya karena tergila-gila kepada Cia Sun dan oleh pendekar itu cinta kasihnya ditolak, Balita menjadi buas dan seperti berubah ingatannya. Ia menjadi kejam, ganas sekali, dan tidak lagi memperdulikan kecantikan dirinya.
Sekarang ia telah menjadi seorang wanita tua yang biarpun masih ada tanda-tanda bekas kecantikannya, namun ia kelihatan seperti orang liar. Rambutnya riap-riapan panjang, pakaiannya sederhana dan tidak karuan. Akan tetapi hebatnya, karena ia tekun memperdalam ilmunya, ia menjadi makin lihai dan tak seorangpun Bangsa Hui yang tidak tunduk dan takut kepadanya.
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedatangan puterinya yang sudah membuka kerudungnya itu, membuat Balita mengerutkan kening dan memandang tajam. Cantik sekali wajah anaknya ini, cantik jelita. Mendengar ucapan Tilana tadi, Balita makin tajam pandang matanya.
"Ada hal apa yang aku sembunyikan darimu?" balas tanyanya.
"Ibu, pernah aku mendengar ibu berkata bahwa anak ibu hanya aku seorang diri, akan tetapi..... benarkah itu, ibu? Apakah selain aku, tidak ada lain orang anak perempuan lagi? Apakah tidak ada adikku?"
Seketika pucat wajah Balita mendengar pertanyaan ini. Ia bergerak maju dan lengan tangan anaknya sudah dipegangnya erat-erat, seperti seekor burung rajawali menangkap kelinci.
"Apa katamu? Dari mana kau mendengar hal itu? Dan.... eh, kenapa kau sudah membuka kerudungmu? Tilana, kau telah melanggar sumpahmu! Hayo katakan, siapa yang membuka kerudungmu?" Tiba-tiba saja, mungkin karena dibangkitkan kekagetannya mendengar pertanyaan Tilana tadi, Balita menjadi marah tidak karuan.
Tilana terpukul hatinya oleh pertanyaan yang memang sudah disangka-sangkanya ini. la menundukkan mukanya. Tidak biasa gadis ini berbohong kepada ibunya.
"Ada orang yang sudah membukanya, ibu.... akupun hendak menceritakan hal ini kepadamu. Ada.... seorang pria yang sudah membukakannya....."
"Setan! Dan kau sudah bunuh dia, sudah cincang hancur tubuhnya?"
Tilana menggeleng kepalanya.
Tiba-tiba Balita mencengkeram pundaknya, dan pikiran yang sudah kacau-balau dari wanita setengah tua ini tiba-tiba teringat akan hal lain. "Eh, katakan lekas apakah kau sudah dapat memenggal leher Cia Han Sin putera Cia Sun? Kenapa tidak kaubawa ke sini kepalanya?!?"
Tilana sudah biasa menghadapi keadaan ibunya seperti itu. Pikiran ibunya berpindah-pindah tidak karuan. Karena soal membalas dendam kepada Han Sin ada hubungannya dengan kerudung yang direnggut dari mukanya, maka Tilana lalu menjawab,
"Tidak, ibu. Dia terlalu lihai bagiku, kepandaiannya tinggi sekali..... dan aku telah gagal membunuhnya. Sedikitnya aku harus berlatih sepuluh tahun lagi kalau harus menghadapi ilmu silatnya."
Balita menarik napas panjang dan menjatuhkan dirinya di atas bangku, nampak kecewa sekali. Sampai lama ia diam tak bergerak, lalu terdengar ia berkata perlahan, "Cia Sun.... Cia Sun...., sampai kapan aku dapat membalasmu?" Dan wanita ini menangis terisak-isak.
Tilana memeluk ibunya. "Ibu, harap kau jangan berduka, ibu..... dan soal sakit hati itu kurasa takkan mungkin dapat dilakukan pembalasan lagi...."
Mendadak Balita meloncat lagi berdiri dan memandang bengis kepada anaknya. "Percuma saja selama ini kudidik kau! Tidak becus membikin mampus anak Cia Sun. Eh, bagaimana tentang laki-laki yang merenggut kerudungmu tadi? Kau bilang tidak membunuhnya? Kenapa kau tidak bunuh diri atau menyerahkan diri menjadi isterinya?"
Wajah Tilana menjadi merah sekali dan dua titik air mata menetes turun di atas pipinya. "Ibu.... aku.... aku sudah menjadi isterinya....."
Balita membelalakkan mata. "Menjadi isterinya tanpa setahuku? Setan! Siapa itu yang menjadi menantuku? Kalau dia tidak berharga, akan kucincang hancur tubuhnya. Hayo bilang, siapa dia yang menjadi pilihanmu itu!"
Makin merah muka Tilana, sampai ke lehernya merah sekali. Kemudian dengan perlahan ia menjawab, "Cia.... Cia Han Sin......"
Balita melengak seperti disambar petir. Ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, maka ia mendekatkan kepala dan bertanya mendesak, "Siapa kau bilang? Yang keras!"
"Dia Cia Han Sin, ibu......"
Balita mengeluarkan jerit melengking menyayat hati, tangannya diangkat ke atas, siap hendak dijatuhkan kepada tubuh Tilana yang sudah meramkan mata. Akan tetapi gadis yang tidak takut mati ini tidak merasa datangnya pukulan itu, malah tiba-tiba terdengar suara berkakakan.
Ketika ia membuka mata, ibunya tertawa bergelak-gelak, tubuhnya terguncang-guncang dan kepalanya berdongak. "Ha ha ha! Hi hi hi, kau menjadi isterinya? Ha ha, hi hi..... Cia Sun..... Cia Sun, apakah sekarang kau tidak akan bangun dari dalam kuburmu? Ha ha ha!" Dan Balita lalu lari keluar dari pondoknya, berlari-lari di sepanjang padang pasir sambil tertawa bergelak-gelak dan kadang-kadang menangis!
Untuk sesaat Tilana melengak. Ia kaget, bingung dan heran. Sikap ibunya merupakan teka-teki baginya. Ia cukup mengenal ibunya dan biarpun ibunya bersikap aneh, akan tetapi semua yang diucapkan masih mudah ditangkapnya. Namun kali ini benar-benar ia tidak mengerti. Kenapa ibunya bersikap seperti itu ketika mendengar bahwa ia sudah menjadi isteri Cia Han Sin? Karena penasaran, apalagi karena pertanyaan pertama belum dijawab, Tilana lalu berkelebat dan lari mengejar ibunya.
Orang-orang Hui yang melihat ibu dan anak ini berkejar-kejaran, hanya tersenyum dan mengangkat pundak. Memang mereka itu mempunyai dua orang pemimpin ibu dan anak ini, yang luar biasa anehnya. Betapapun juga, mereka berdua adalah pemimpin-pemimpin yang amat baik, amat mereka takuti, amat lihai!
Tilana melihat ibunya sudah duduk di dekat batu besar dan berlindung dalam bayangan batu itu, masih tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis.
"Cia Sun..... Cia Sun.... apakah sekarang mayatmu tidak membalik di dalam kubur? Ha ha, hi hi hi..... puas hatiku....., puas....."
Tilana berlutut di dekat ibunya. Dirangkulnya ibunya penuh kasih sayang. "Ibu, tenanglah, ibu."
Balita memandang kepadanya, lalu tertawa lagi bergelak-gelak sambil menuding kepada Tilana,
"Kau..... ha ha.... kau kawin dengan dia....!"
"Ibu, kau kenapa begini, ibu? Harap kau terangkan dan sekalian jawab pertanyaanku apakah selain aku, kau masih mempunyai seorang anak perempuan lagi."
Tiba-tiba Balita menghentikan sikapnya yang luar biasa itu, kini ia merenung dan ketika pandang matanya bertemu dengan mata Tilana, gadis ini terkejut bukan main. Dalam pandang mata ini lenyaplah semua kasih sayang ibunya, terganti kebencian yang mengerikan hatinya.
"Hmmm, kau mau mengerti, bocah? Memang sebaiknya kau tahu agar aku dapat menyaksikan kehancuran hatimu. Dengar! Memang aku mempunyai seorang anak perempuan lain, anak kandungku. Dan kau bukan anakku. Dengar, Tilana, dengar baik-baik. Kau bukan anakku, akan tetapi kau anak Cia Sun! Ha ha ha! Kau anak Cia Sun, mengerti? Kau adik Cia Han Sin dan kau telah menjadi isteri kakak kandungmu sendiri! Ha ha ha ha.... gadis yang sekarang bersama Cia Han Sin, yang dianggap adiknya selama ini... dia itulah anakku yang sejati.... dia anak kandungku.....! Ha ha, hi hi hi.....!"
Kalau ada geledek menyambar kepalanya di siang hari terang itu, Tilana takkan sekaget ketika mendengar ini. Pukulan hebat ini tidak kuat ia menerimanya dan seketika ia roboh terguling pingsan!
Balita tertawa-tawa memandang tubuh Tilana yang pingsan itu. Kemudian berjalan pergi sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis sedih. Matahari bergerak perlahan, bayangan batu karang itu makin menggeser sampai akhirnya tubuh Tilana tertimpa cahaya matahari. Namun tubuh itu belum juga bergerak.
Sesosok bayangan putih bergerak perlahan memasuki kota Ta-tung. Bayangan seorang wanita muda yang cantik jelita. Tilana! Wajah gadis ini pucat bagaikan mayat hidup, sinar matanya aneh sekali, sayu dan terbenam dalam kedukaan hebat, rambutnya yang panjang dan tertutup kerudung agak kusut, demikianpun pakaiannya yang berwarna putih. Sinar bulan yang menerangi mukanya yang cantik menimpa sepasang pipi yang basah, basah air mata.
Siapa orangnya yang takkan merasa hancur hatinya, takkan merasa perih dan sakit kalbunya, seolah-olah tertusuk ratusan jarum berbisa? Dia telah menjadi isteri...... kakak kandungnya sendiri! Dia telah mencintai kakak kandungnya. Cia Han Sin, orang yang dicintainya, orang yang telah menjadi suaminya biarpun secara tak sadar ternyata adalah kakaknya sendiri!
Dan Bi Eng, nona yang dianggapnya amat baik hati, yang membantu menjadi isteri Han Sin, yang ia anggap sebagai adik ipar yang ia sayang, ternyata malah bukan adik kandung Han Sin, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda itu. Benar-benar Bi Eng adalah puteri Balita yang selama ini ia anggap sebagai ibunya.
Dunia serasa hancur bagi Tilana kalau ia teringat akan semua ini. Untuk ke sekian kalinya, dua butir air mata berlinang lalu menetes ke atas kedua pipinya perlahan-lahan mengalir ke bawah. Tak diusapnya, tak diperdulikan.
Dan Han Sin mencinta Bi Eng! Bi Eng sudah begitu baik terhadapku. Dan sekarang keadaan berbalik. Bi Eng puteri Balita, dicinta Han Sin. Dia sendiri adik kandung Han Sin sekarang tiba gilirannya untuk membalas budi Bi Eng dengan Han Sin! Kemudian, ah.... untuk apa lagi hidup di dunia? Dia telah melakukan sesuatu yg amat hina. Menjadi isteri kakak kandung sendiri. Dia harus mati!
Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Li Goat dan Yan Bu di ruangan dalam, ketika seorang pelayan memberi tahu bahwa ada seorang wanita Hui mencari Bi Eng.
"Tilana....." berkata Bi Eng girang dan berdebar hatinya. Cepat ia berlari keluar dan..... benar saja. Tilana berdiri di depan rumah seperti sebuah patung dari marmer.
"Cici Tilana....!" Bi Eng menubruk dan memeluknya. Girang bukan main hatinya dapat melihat gadis ini dan tidak melihat gadis ini membunuh diri karena perbuatan Han Sin.
Makin terharu hati Tilana melihat sikap Bi Eng. Benar-benar seorang gadis yang berhati tulus dan jujur. Tak terasa lagi air matanya bercucuran ketika ia membalas pelukan Bi Eng. Bi Eng sendiri mengira bahwa Tilana masih merasa berduka karena penolakan Han Sin, maka cepat ia menghiburnya,
"Cici Tilana, harap kau jangan berduka. Aku senang sekali kau datang, biarlah kau tinggal dulu dengan aku di sini. Sin-ko sedang ke utara, tak lama lagi tentu ia datang kembali dan......,
"Bi Eng, kau mulia sekali....., tapi aku mempunyai sebuah urusan yang amat penting, yang akan kubicarakan denganmu. Bi Eng, maukah kau ikut dengan aku ke luar kota, ke tempat yang sunyi di mana kita bisa bicara secara enak tak terganggu?"
"Tentu saja, cici Tilana. Biar aku pamit dulu ke dalam....."
"Tak usahlah, urusannya penting sekali, adikku......"
Kebetulan sekali pada saat itu Li Goat dan Yan Bu keluar. "Li Goat dan saudara Yan Bu, aku akan pergi sebentar bersama cici ini......." Bi Eng tak melanjutkan kata-katanya karena Tilana sudah menggandeng dan menariknya pergi dari situ.
Li Goat dan Yan Bu saling pandang dan heran. "Siapakah wanita cantik yang aneh itu?"
"Entahlah......." Yan Bu mengangkat pundak lalu termenung, penuh kekhawatiran, akhirnya ia menghibur hati sendiri dan berkata, "Tentu seorang kenalan yang baik, orang-orang seperti dia itu memang amat terkenal di dunia kang-ouw dan banyak hubungannya. Tadi kulihat sikap mereka amat mesra, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Sementara itu, Bi Eng dan Tilana berlari-lari cepat di malam hari itu menuju ke luar kota, kalau ada yang melihat mereka, yang melihat ini takkan heran karena di kota ini adalah pusat tempat orang-orang kang-ouw yang aneh dan lihai, hanya mungkin mereka akan kagum sekali melihat dua orang gadis yang amat cantik jelita ini.
DI TEMPAT yang sunyi, tempat terbuka sehingga takkan ada orang dapat mengintai dan mendengarkan percakapan mereka, Tilana berhenti dan gadis ini duduk di atas rumput. Bi Eng juga duduk di depannya sambil tersenyum dan berkata,
"Cici Tilana, kau amat aneh. Bercakap-cakap saja mengajak di tempat yang begini sunyi. Kalau kita tadi pergi ke rumah makan sambil makan-makan kita mengobrol, kan lebih enak?"
Tilana menatap wajah Bi Eng yang cemerlang dan berseri ditimpa sinar bulan purnama itu, lalu menarik napas. Kasihan, pikirnya. Gadis ini begini jujur, terbuka hati baik budi. Baru sekarang ia melihat betapa mata dan bibir Bi Eng ini sama benar bentuknya dengan mata dan bibir...... ibunya, Balita.
Makin terharu hati Tilana. Gadis ini senasib dengan dirinya, semenjak kecil tak mengenal ibu sendiri, dipermainkan oleh nasib yang ditimbulkan oleh orang-orang tua yang tak bertanggung jawab. Tak terasa lagi Tilana merangkul Bi Eng dan menangis.
"Aduh, adikku, Bi Eng......, kasihan sekali kau......"
Bi Eng makin terheran, tak enak hatinya, ia melepaskan rangkulan Tilana dengan halus, menentang pandangnya lalu bertanya sungguh-sungguh, "Cici Tilana harap jangan berlaku penuh rahasia, kau membikin gelisah. Sebetulnya, ada apakah yang terjadi? Kenapa kau malah menaruh kasihan kepadaku?"
"Adikku Bi Eng, tak tahukah engkau bahwa..... bahwa kanda Han Sin sebetulnya hanya mencinta kau seorang? Kaulah yang dicintanya, bukan wanita lain......."
Merah muka Bi Eng. "Aahhh, kau ini aneh-aneh saja cici Tilana. Kalau tidak mencinta aku habis bagaimana? Akukan adiknya!" la mencoba bergembira.
Akan tetapi Tilana memegang tangannya dan berkata sungguh-sungguh, "Aku tidak main-main, Bi Eng. Ketahuilah sesungguhnya kau bukanlah adik kandung kanda Han Sin, kau malah bukan apa-apanya, bukan sanak, bukan kadang......"
"Apa...... apa artinya ini....." Jangan kau main gila!" Bi Eng menjadi pucat, hatinya berdebar.
"Aku bicara sesungguhnya, dan aku berterus terang karena aku suka kepadamu. Kanda Han Sin sendiri yang berkata kepadaku tentang dirimu ketika akhir-akhir ini aku bertemu dengan dia. Malah Siauw-ong pun di tinggalkan di tempatku. Bi Eng, kau bukanlah adik kandungnya, apakah selama ini kau tidak merasanya? Apakah sikapnya terhadapmu sewajarnya?"
Makin pucatlah wajah Bi Eng, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia bukan adik kandung Han Sin? Pemuda itu bukan kakaknya? Mana mungkin? Sejak ia dapat mengingat ia selalu berada di sisi kakaknya itu.
"Tak mungkin! Kau bohong!" katanya dengan bibir menggigil. "Sejak aku dapat mengingat, dia selalu berada di sisiku, menjadi kakakku......"
Tilana mengangguk. "Aku mengerti, demikianpun aku, adikku. Orang yang kukira ibuku, yang semenjak kecil kusangka, ibu kandung sendiri, ternyata orang lain dan bukan apa-apaku. Semenjak kecil kau berada di sisi kanda Han Sin, akan tetapi tahukah kau apa yang terjadi ketika kau masih bayi? Kau bukan adik kandungnya, Bi Eng dan hal ini aku yakin benar karena aku tahu anak siapa kau ini, malah ibumupun masih hidup......."
Bi Eng mengeluarkan jerit tertahan dan ia memegang tangan Tilana erat-erat seakan-akan hendak menghancurkan tangan itu dalam cengkeramannya. Baiknya Tilana adalah seorang gadis berilmu, kalau tidak, bisa remuk tulang tangannya dicengkeram seperti itu oleh Bi Eng.
"Tilana! Awas kau kalau bohong....!"
Tilana menentang pandang mata itu dan menggeleng kepala.
"Kalau begitu, siapa ibuku yang betul? Ayoh bilang, siapa dia? Aku anak siapa?"
"Ibumu adalah orang yang selama ini kuanggap ibuku. lbumu adalah Balita, Puteri Hui......."
"Tak mungkin.....! Tak mungkin.....! Aku anak Jim-cam-khoa si iblis betina........?"
"Memang banyak sekali hal yang kelihatan tak mungkin telah terjadi di masa kita masih kecil, adikku. Kau memang anak tunggal Balita dan hal ini sudah diakui secara terang-terangan oleh Balita. Lihat matamu, bibirmu, serupa benar dengan Balita. Dan kanda Han Sin juga sudah tahu akan hal ini....."
"Tidak bisa!! Tidak bisa jadi! Aku harus mendengar sendiri dari wanita Hui itu! Harus mendapat keterangan yang jelas! Tak mungkin......" Bi Eng lalu menangis terisak-isak.
Tiba-tiba ia teringat akan keterangan Han Sin tentang tahi lalat merah di dekat telinga Tilana, tentang kenyataan bahwa Tilana ini puteri Ang-jiu Toanio. Tanpa disadarinya, tangannya menyingkap rambut di dekat telinga Tilana dan benar saja, ia melihat tanda merah...... Bi Eng menjerit lirih dan merangkul Tilana lalu menangis terisak-isak lagi di pundak Tilana. Hati Bi Eng tidak karuan rasanya. Terharu, sedih, bingung dan anehnya.... ada juga rasa girang! Ibunya masih hidup. Dan..... dia bukan adik kandung Han Sin!
"Bi Eng, adikku yang baik. Memang kau harus mendengar sendiri dari ibumu, dari Balita. Mari kubawa kau ke sana, biar kupertemukan ibu dan anak yang sudah berpisah semenjak kau masih bayi......"
Seperti dalam mimpi, Bi Eng digandeng bangun dan diajak berlari-lari oleh Tilana. la bingung dan gelisah. Kalau Han Sin sudah mengetahui akan hal itu, kenapa diam saja tidak memberi tahu kepadanya? Pantas saja sikap Han Sin aneh sekali. Dan menurut Tilana, Han Sin hanya mencinta dirinya seorang! Bi Eng menjadi panas mukanya dan berdebar jantungnya.
Dan Tilana...... ah, kalau ia ingat betapa ia sudah mendorong-dorong Han Sin supaya mengawini Tilana...... peristiwa di Min-san itu....... pedih, sakit rasa hatinya. Han Sin...... Han Sin......, kenapa kau diam saja? Kalau dia betul anak Balita dan Tilana ini anak Ang-jiu Toanio, di mana adik kandung Han Sin? Apa yang telah terjadi sesungguhnya?
Di tengah perjalanan Tilana diam saja. Wajahnya yang cantik amat pucat seperti mayat dan wajah itu layu dan murung, diliputi kedukaan maha besar. Bi Eng mencoba untuk memancing keterangan, akan tetapi Tilana hanya menggeleng kepala, menarik napas panjang dan...... menangis.
Tentu saja Bi Eng tidak tahu apa yang terkandung dalam hati Tilana. Gadis ini merasa dunia sudah kiamat, matahari sudah tak bersinar lagi baginya. Ia hanya ingin hidup untuk bertemu dengan Han Sin, untuk bertanya kepada pemuda yang sebetulnya adalah kakaknya sendiri ini, kenapa Han Sin tidak berterus terang saja dahulu, sehingga terjadi peristiwa memalukan itu.
Kalau Han Sin dulu berterus terang bahwa dia adalah adik kandungnya, lebih baik dia mati dari pada melakukan perbuatan yang memalukan. Kenapa Han Sin tidak mau mengaku terus terang? Malah akhir-akhir ini di padang pasir, mengapa pemuda itu malah bersikap mesra kepadanya? Apakah Han Sin orang serendah itu, yang tega hati mempermainkan adik sendiri? Demikian hinakah tabiat pemuda yang menjadi kakak kandungnya itu?
Dengan masing-masing tenggelam ke dalam lautan pikiran sendiri, dua orang gadis itu melakukan perjalanan cepat dan akhirnya tibalah mereka di tempat tinggal Balita, di perkampungan orang-orang Hui.
Begitu tiba di tempat itu, dari sebuah pohon meloncat seekor monyet, yang langsung meloncat ke pundak Bi Eng.
"Siauw-ong....!" Bi Eng berseru girang, akan tetapi hanya untuk dua detik saja karena pikirannya segera dipengaruhi oleh urusan dirinya. Ia terus mengikuti Tilana yang membawanya ke sebuah pondok besar.
Tilana bersuit keras dan segera dari dalam pondok muncul seorang wanita setengah tua. Wanita itu berdiri di depan pintu, memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak. Sebaliknya Bi Eng juga terpaku di atas tanah, menatap wajah Balita, wanita Hui itu, dengan muka pucat, mata terbelalak lebar, kedua kaki lemas dan gemetar dan bibir menggigil. Entah bagaimana, bertemu dengan wanita ini mendatangkan getaran aneh dalam tubuhnya, seakan-akan ia sering bertemu dengan wanita aneh ini, entah di mana....."
Bi Eng, dia inilah ibumu, ibu kandungmu. Dia inilah orangnya yang menukar-nukar kita, ketika kita masih bayi, dia yang membikin celaka hidupku, yang sengaja menjebloskan aku ke dalam jurang penghinaan. Balita, di balik semua kebaikan budimu terhadap aku semenjak aku kecil, ternyata kau menyembunyikan maksud yang amat jahat terhadap aku. Sekarang terimalah pembalasanku!" Secepat kilat Tilana yang sudah mencabut pedangnya itu menyerang Balita.
Balita yang semenjak tadi berdiri mematung seperti kena sihir, hanya berbisik berkali-kali, "Ini.. anakku...? Anakku...? Ahh... anak kandungku..."