Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 22


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 22




Karena keadaannya seperti orang linglung inilah maka ketika serangan Tilana datang, ketika pedang di tangan gadis itu menusuk dadanya, ia terlambat mengelak, sehingga biarpun ia sudah berusaha mengelak, tetap saja pundaknya tertikam pedang. Darah muncrat keluar membasahi pakaiannya dan pada saat itu terdengar jerit Bi Eng,

"Jangan bunuh dia.......!"

Pada saat itu Tilana sudah mengirim tusukan kedua, akan tetapi pedangnya terpental kembali karena sudah ditangkis oleh Bi Eng yang berdiri menghadapinya dengan wajah keren. "Cici Tilana! Setelah kau membawaku ke sini, setelah kau membuka rahasia ini, apakah kau hanya ingin menyuruh aku melihat kau membunuh orang yang kausebut ibu kandungku? Tidak boleh!"

Tilana sadar dan memandang Bi Eng dengan mata terbelalak. Ia mengeluh dan berkata, "Selamat tinggal!" Kemudian segera ia lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja bayangan Tilana lenyap di antara pondok-pondok yang berdiri di kampung itu.

"Kau..... kau anakku...... tak salah lagi......"

Mendengar bisikan ini, Bi Eng menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia membalikkan tubuhnya. Balita sudah berdiri di dekatnya, memegang kedua lengannya dan mata itu memandang kepadanya penuh selidik. Akhirnya, bagaikan besi dengan besi semberani, keduanya saling tubruk, saling peluk dan keduanya menangis. Siauw-ong berdiri bingung dan menyeringai.

"Kau anakku! Ha ha, hi hi, kau anakku!"

Bi Eng kasihan melihat orang tua ini dan tanpa berkata apa-apa ia lalu membalut luka di pundak Balita. Kemudian ia menekan perasaan dan berkata,

"Kalau betul apa yang dikatakan Tilana bahwa aku adalah anakmu, harap kausuka ceritakan sejelasnya mengapa semenjak kecil aku berada di Min-san."

"Aduuhh...... anakku.... anakku...., nasib buruk menimpaku, semua gara-gara Cia Sun......." Balita lalu menarik tangan Bi Eng, memasuki rumah dan sambil memangku anaknya dengan penuh kasih sayang dan membelai-belai rambut Bi Eng, ia bercerita,

"Dulu di waktu aku masih muda sekali, aku telah dikawinkan oleh orang tuaku dengan seorang pemuda Hui. Aku tidak suka kepadanya, akan tetapi orang tuaku memaksaku, akhirnya kawinlah aku dengan dia. Lalu aku bertemu dengan Cia Sun......" Balita berhenti lalu termenung, matanya yang masih indah itu memancarkan sinar ganjil. "....... dia menjatuhkan hatiku,..... aku...... aku cinta padanya dan..... diapun membalas cintaku.... aku tergila-gila kepadanya sampai akhirnya aku bunuh suamiku sendiri....." Kembali Balita termenung.

Bi Eng terkejut, kemudian teringat akan keadaan Tilana dengan Han Sin, kakaknya...... eh, bukan, bukan apa-apa malah! "Apakah........ apakah kau menggunakan obat bubuk putih berbau wangi dicampur dalam minumannya?" Pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulutnya tanpa disadarinya terbawa oleh renungannya tentang Tilana dan Han Sin.

Akan tetapi akibatnya membuat Balita kaget sekali. Wanita itu memegang pundaknya, memandang tajam dan bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"

Bi Eng menarik napas panjang. "Tilana pun menggunakan obat itu terhadap.... Han Sin......"

Balita tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. "Sejarah terulang.... heh heh heh, sejarah terulang pembalasan....... pembalasan......! Biarlah arwah Cia Sun melihat betapa dua orang anaknya sekarang melakukan perbuatan hina, hi hi hi, kakak dan adik menjadi suami isteri........."

Bi Eng melengak, merasa bulu tengkuknya berdiri. "...... apa.....? Apakah Tilana itu adik..... adiknya......?"

Mata Balita berkilat-kilat. "Siapa lagi kalau bukan adiknya? Tilana puteri Cia Sun, dan kau anakku....."

Jantung Bi Eng berdebar tidak karuan. Ya Tuhan, apakah yang telah ia lakukan. la telah membantu Tilana, telah mendorong-dorong Han Sin, ia telah berusaha mati-matian menjodohkan mereka. Mereka, kakak beradik saudara kandung!

"Bagaimana bisa begitu? Ceritakan... ceritakan....!" ia mendesak Balita.

"Aku bunuh suami sendiri karena cintaku kepada Cia Sun. Tapi..., dasar laki-laki tak berbudi. Dia meninggalkan aku, aku mengejarnya, akan tetapi dia menolakku...., ketika kau terlahir aku lagi-lagi mencarinya dan mohon supaya dia menerimaku, baik sebagai pelayan atau penjaga....., akan tetapi dia menolakku....."

"Kejam.......!" Tak terasa seruan ini keluar dari mulut Bi Eng.

Balita senang mendengar ini dan memeluk anaknya. "Laki-laki memang jahat, tidak setia......"

Tiba-tiba Bi Eng tersentak kaget. "Kalau begitu..... aku ini anakmu bersama...... dia?"

"Bukan, anakku. Kau telah satu bulan dalam kandunganku ketika aku tergila-gila dalam pertemuanku dengan Cia Sun. Kau anak suamiku yang kubunuh dengan terpaksa karena cinta kasihku kepada Cia Sun. Dapat kaubayangkan betapa marah dan sakit hatiku ketika aku diusir oleh Cia Sun, disaksikan oleh isterinya. Waktu itu isteri Cia Sun sudah mempunyai seorang anak laki-laki......."

"Sin-ko......."

"Ya, yang bernama Cia Han Sin itulah. Anak siluman, entah bagaimana sekarang dia bisa begitu lihai, jauh melebihi ayahnya dulu. Dendamku tak dapat kutahankan lagi. Melihat bayi perempuan, dan mengingat aku takkan dapat membunuh Cia Sun karena aku begitu mencintanya sampai tidak tega membunuhnya, maka aku lalu menggunakan lain jalan. Aku menukarkan kau dengan anaknya yang kemudian menjadi Tilana itulah. Dan kau hidup sebagai adik Cia Han Sin........."

"Dan kau membunuh Cia Sun dan isterinya?"

"Tidak........, tidak....." Balita menarik napas panjang, tiba-tiba menangis terisak-isak. "Kasihan Cia Sun......! Aku melihat dia menggeletak mandi darah....... Aku melepaskan kerudungku dan kuselimutkan padanya....... entah siapa yang membunuhnya........"

Bi Eng tergerak hatinya. "Selimut kuning berkembang, halus sekali dan di ujungnya ada sulaman burung merpati?" tanyanya.

"Betul......, betul......, itulah kerudungku......"

Kini tak ragu-ragu lagi hati Bi Eng. Memang betul dia anak Balita. Selimut itu memang berada di Min-san, di waktu kecilnya sering ia pakai kalau tidur.

"Ibu........., kau memang ibuku..... alangkah banyaknya penderitaan hidupmu....." Bi Eng memeluk dan keduanya saling peluk sambil menangis.

Setelah mereda tangisnya, Balita melanjutkan ceritanya. "Karena masih mendendam, setelah Tilana menjadi dewasa, aku menyuruh membunuh Cia Han Sin putera Cia Sun. Tentu saja aku tidak mendendam kepada engkau, anak kandungku. Akupun benci kepada Tilana karena dia itu keturunan Cia Sun, akan tetapi oleh karena semenjak bayi berada di sisiku, aku tidak tega membunuhnya dengan tangan sendiri. Maksudku, aku hendak menanam permusuhan antara dia dan Cia Han Sin, biarlah kakak beradik sekandung itu saling bunuh!"

"...... tapi akhirnya mereka malah..... berjodoh...." Bi Eng berkata perlahan seperti dalam mimpi. "..... dan aku aku mendorong mereka......."

"Bagus sekali! Kau betul-betul puteriku. Ha, biarlah mereka menderita, anak Cia Sun itu. Menderita lahir batin!" Tiba-tiba Balita menangis lagi dan entah bagaimana, Bi Eng merasa sedih sekali dan ikut menangis.

Kita tinggalkan dulu Bi Eng yang baru saja bertemu kembali dengan ibu kandungnya dan mari kita mengikuti perjalanan Cia Han Sin yang menuju ke utara untuk mencari Hoa-ji, anak angkat Hoa Hoa Cinjin. Kini ia mencari Hoa-ji bukan semata-mata untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong Tee kekasih gadis itu, melainkan terutama sekali karena timbul dugaan keras di dalam hatinya bahwa Hoa-ji itulah adik kandungnya! Kiranya takkan keliru lagi kalau menurut penuturan yang didengarnya dari Ang-jiu Toanio, kemudian munculnya Tilana dan penuturan Kalisang. Dengan kecerdikan otaknya Han Sin dapat merangkai semua peristiwa dahulu dalam bayangannya.

Ang-jiu Toanio bersakit hati kepada ayahnya, seperti juga Balita. Kedua orang wanita itu karena agaknya tidak berdaya menghadapi ayahnya, lalu mengambil jalan keji untuk membalas dendam, yaitu dengan jalan menukarkan anak.

Agaknya Ang-jiu Toanio yang lebih dulu menukarkan anaknya dengan adik kandungnya, kemudian muncul Balita yang kemudian menukarkan anaknya dengan anak Ang-jiu Toanio, tentu saja yang dikiranya anak Cia Sun. Dengan demikian, anak kandungnya berada di tangan Balita dan anak Balita ditinggal di Min-san!

Tegasnya, Bi Eng adalah anak Balita, Tilana anak Ang-jiu Toanio dan adik kandungnya sendiri, dari tangan Ang-jiu Toanio dirampas Kalisang kemudian dari tangan Kalisang dirampas Hoa Hoa Cinjin dan menjadi seorang gadis berkedok, Hoa-ji!

Dalam penyelidikannya, ia mendengar bahwa Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan bermarkas besar di Pegunungan Yin-san. Han Sin berlaku sangat hati-hati. Ia maklum bahwa dengan memasuki daerah Mongol ini, ia seperti telah memasuki gua harimau dan naga.

Maka ia melakukan penyelidikan secara bersembunyi. Tidak mau ia bentrok dengan orang-orang Mongol, karena kalau sampai diketahui ia berada di daerah ini, tentu Bhok-kongcu takkan tinggal diam dan ia akan ditangkap atau dibunuh. Dengan adanya banyak orang-orang pandai, kalau sampai dikeroyok, mana dia dapat menang? Pula, kalau sampai ketahuan maksud kunjungannya ini, tentu akan makin sukar baginya untuk mencari Hoa-ji.

Pada suatu pagi Han Sin berjalan di daerah pegunungan di kaki Gunung Yin-san. Sudah semenjak beberapa hari ia mulai bertemu dengan orang-orang Mongol dan tentara-tentara Mongol. Selalu pemuda ini menghindarkan pertemuan dan memilih jalan sunyi untuk mendaki Gunung Yin-san.

Selagi ia berjalan dan diam-diam mengagumi pemandangan alam yang masih bebas dan asli itu, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di belakangnya. Cepat ia menengok, namun tidak kelihatan sesuatu. Ia merasa ragu-ragu dan berjalan terus. Tiba-tiba terdengar pula suara langkah orang di belakangnya. Cepat Han Sin memutar tubuh dan seperti juga tadi, tidak kelihatan orangnya. Salahkah pendengarannya? Tiba-tiba terdengar langkah kaki di sebelah kiri, ketika ia menengok ke kiri, langkah itu berpindah ke kanan.

"Celaka, apakah ada setan di pagi hari?" gerutunya dengan mendongkol, akan tetapi juga terheran-heran.

Ia tidak perduli dan berjalan terus. Ketika ia tiba di sebuah tebing jurang, tiba-tiba dari kanan muncul begitu saja, seakan-akan melayang dari dalam jurang, dua orang laki-laki yang luar biasa sekali. Mereka ini merupakan dua orang laki laki kembar, kembar segala-galanya sampai rambut-rambut dan jenggotnya.

Tubuh mereka besar dan nampak kuat sekali, dengan kepala yang besar pula. Rambut tak terpelihara, riap-riapan, hidung seperti paruh burung kakatua, mulut besar dengan gigi besar-besar seperti bertaring, pakaian mereka juga aneh, seperti jubah luar yang amat panjang, diikat tali pinggang yang panjang pula. Kaki mereka memakai sepatu yang tinggi, sepatu dari kulit. Amat menarik, kulit tubuh mereka berwarna putih sekali, putih dengan totol-totol merah.

Lebih mengherankan lagi, tangan mereka hanya berjari satu, atau tegasnya, empat buah jari tangan telah lenyap, buntung tinggal ibu jarinya saja pada masing-masing tangan. Tapi ibu jari ini berkuku runcing. Benar-benar makhluk yang amat mengerikan, melihatnya saja cukup membuat orang lari ketakutan!

Han Sin terkejut juga, akan. tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya. la maklum bahwa ia berhadapan dengan dua orang yang tak boleh dipandang ringan. Gerakan mereka kelihatan ringan sekali, gerak kaki mereka biarpun bertubuh besar, amat cepat dan tidak mengeluarkan suara. Ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang yang seperti raksasa berkulit putih dengan mata agak kebiruan ini amat lihai. Dugaannya memang terbukti karena sambil mengeluarkan suara aneh, dua orang itu bergerak dan tahu-tahu Han Sin sudah dikurung dari kanan kiri!

Han Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali mempelajari bahasa asing, akan tetapi ketika dua orang itu bersuara, ia sama sekali tidak mengerti bahasa apakah yang mereka gunakan. Melihat bentuk pakaian mereka, ia menduga bahwa tentu mereka ini ada hubungannya dengan orang-orang Hui, maka ia segera memberi hormat dan bertanya dalam bahasa Hui,

"Tuan berdua ini siapakah dan ada keperluan apa menghadang perjalananku?"

Dua orang raksasa itu saling pandang, lalu tertawa bergelak. "Kau bisa bicara Hui? Bagus....., bagus......!" kata seorang di antara mereka dalam bahasa..... Han! Biarpun suara mereka kaku dan janggal, namun cukup dapat dimengerti.

"Maaf, kiranya ji-wi (tuan berdua) dapat berbahasa Han. Tidak tahu siapakah ji-wi yang terhormat dan ada keperluan apa gerangan menahan perjalananku?" Han Sin mengulang dengan sikap hormat.

"Kau orang Han berkeliaran di sini, tentu mata-mata bangsa Mancu. Ayoh lekas mengaku siapa kau dan apa keperluanmu di tempat ini!" mereka membentak dengan sikap keren dan mengancam.

Han Sin mengerutkan kening. Ia maklum bahwa setelah ia dilihat orang, tentu akan timbul pelbagai kesukaran. Apa lagi dua orang ini kelihatan aneh dan lihai, mungkin tokoh-tokoh besar pembantu Bhok-kongcu. Melihat mereka mengerti bahasa Hui dan pakaian merekapun seperti orang Hui, Han Sin lalu memancing untuk membaiki mereka,

"Aku bernama Han Sin, she Cia. Apakah ji-wi sudah mengenal seorang puteri Hui bernama Balita dan anak perempuannya bernama Tilana? Aku kenal baik mereka itu."

Dua orang itu kembali saling pandang. "Cia Han Sin? Apa hubungannya dengan Cia Sun dari Min-san?"

Celaka, pikir Han Sin. Lagi-lagi ada orang mengenal mendiang ayahnya dan melihat sikap mereka, ia sangsi apakah mereka ini sahabat-sahabat ayahnya. Akan tetapi, bukan watak Han Sin untuk menyangkal ayahnya sendiri. Apapun akan terjadi atas dirinya, tak mungkin ia menyangkal ayahnya. Tidak mengakui ayah sendiri hanya untuk menyelamatkan diri adalah perbuatan pengecut dan rendah.

"Cia Sun adalah mendiang ayahku...."

Baru saja Han Sin berkata sampai di sini, seorang raksasa yang berdiri di sebelah kirinya menyerang dengan hebat, memukul menggunakan tangan kanan yang berjari satu itu. Pukulan ini hebat sekali, mendatangkan angin bersiutan dan datangnya cepat bukan main, hampir saja mengenai kepala Han Sin. Baiknya pemuda ini sudah memiliki gerakan yang otomatis sehingga begitu pukulan menyambar, otomatis ia sudah menarik diri dan mengelak sambil mengibaskan tangan kiri menangkis.

"Plakk!" Han Sin terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa tangan kirinya terasa panas dan sakit ketika bertemu dengan tangan lawan. Cepat ia melompat mundur karena raksasa di kanannya sambil tertawa-tawa juga sudah menyerangnya dengan sama hebat dan cepatnya.

"Eh, kalian mengapa menyerangku? Apa salahku?" tanyanya, penasaran. Raksasa itu terkejut dan heran juga melihat pemuda itu dapat menghindarkan pukulan-pukulannya.

"Kau bukan orang sembarangan," kata seorang di antara mereka. "Baiklah kauketahui agar jangan mati penasaran. Jin-cam-khoa Balita adalah adik seperguruan kami. Nah, bocah she Cia, siaplah untuk binasa!" Kembali mereka menyerang dengan pukulan-pukulan aneh yang datangnya cepat dan kuat sekali.

Namun kali ini Han Sin sudah bersiap sedia. Dengan langkah-langkah Liap hong-sin-hoat ajaran Ciu-ong Mo-kai, tubuhnya bergerak ke sana ke mari menghindarkan diri dari ancaman pukulan dua orang pengeroyoknya. Tidak demikian saja, malah kini telunjuk tangannya dipergunakan untuk mainkan ilmu silat Lo-hai Hui-kiam yang amat sakti.

Bukan main herannya dua orang raksasa itu ketika berkali-kali serangan mereka hanya mengenai angin kosong belaka. Dan lebih-lebih kaget hati mereka ketika dua buah jari telunjuk pemuda itu menyerang mereka dengan totokan yang luar biasa hebatnya sehingga angin serangannya saja sudah terasa amat berbahaya seperti ujung dua batang pedang runcing!

Mereka berusaha mempertahankan diri, namun terhadap Lo-hai Hui-kiam, mereka benar-benar mati kutu. Baru belasan jurus saja mereka telah terkena tusukan hawa totokan jari tangan Han Sin, cepat mengenai pundak membuat mereka mengeluarkan gerengan kesakitan lalu melarikan diri tunggang langgang!

"Bhok Hong-ong......, tolong kami......!" Mereka berseru ketakutan dan dalam anggapan mereka, Han Sin bukanlah manusia biasa, tentu sebangsa siluman. Kalau tidak, mana bisa seorang muda memiliki kepandaian demikian hebat dan anehnya?

Tadinya Han Sin hanya tersenyum saja membiarkan mereka pergi. Akan tetapi demi mendengar teriakan mereka minta tolong kepada Bhok Hong-ong, hatinya tergerak. Bhok Hong adalah Pak-thian-tok ayah Bhok-kongcu. Kalau ayahnya berada di situ, tentu Bhok-kongcu juga berada di situ, dan bukan tak mungkin kalau Hoa Hoa Cinjin berada di situ pula bersama anak angkatnya, Hoa-ji yang ia cari-cari? Maka ia lalu cepat meloncat dan mengikuti larinya dua orang raksasa kembar itu dari jauh. Mereka berdua itu ternyata dapat berlari cepat sekali, namun tidak sukar bagi Han Sin untuk mengikuti mereka.

Setelah berlari-larian setengah hari lamanya, dua orang raksasa itu memasuki sebuah pondok kecil di tengah lapangan yang kering. Nampaknya tempat itu sunyi saja. Pondok itu sendiri tidak besar, terbuat dari papan dan gentengnyapun atap. Heran hati Han Sin. Rumah siapakah ini? Masa Bhok Hong tinggal di dalam rumah seperti itu? Namun ia terus mengikuti dan menyelinap di belakang rumah secara cepat dan tidak mengeluarkan suara.

Tiba-tiba ia melihat betapa tanah di sekeliling pondok itu dalam jarak dua tiga ratus meter, bergerak-gerak dan tiba-tiba tersembul kepala-kepala orang dari dalam tanah. Makin lama makin banyak dan dalam sekejap mata saja pondok itu, atau lebih tepat dirinya, telah terkurung oleh ratusan orang tentara Mongol yang bersenjata lengkap! Bukan main hebatnya baris pendam ini.

Baru sekarang Han Sin sadar bahwa dia memang dipancing oleh dua orang raksasa lihai itu dan diam-diam ia kagum sekali melihat rapinya barisan pendam dari bala tentara Mongol. Ketika ia menuju ke pondok itu, tidak terlihat sesuatu, tidak terdengar sesuatu. Tidak tahunya ratusan orang serdadu bersembunyi di dalam lubang-lubang di tanah yang tertutup batu-batu, demikian indah dan hebat tempat persembunyian itu.

Di samping kekagumannya, Han Sin menjadi panas hatinya. Apa orang mengira dia takut? Sekarang tahulah dia bahwa Bhok-kongcu memang lihai sekali. Kiranya perjalanannya ini sudah diketahui orang orang Mongol dan siang-siang ia telah diikuti orang.

Tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara di dalam pondok ketika barisan itu sudah siap mengurung rapat tanpa membuka suara, dengan sikap yang angker seperti patung batu, agaknya menanti perintah atasan. Ia mengenal suara itu seperti suara dua orang kakek raksasa tadi yang berkata dengan nada gelisah, "Akan tetapi, Ong-ya, bagaimana bisa menangkap dia hidup-hidup? Dia lihai sekali dan kami ingin membunuhnya untuk membalas sakit hati sumoi (adik seperguruan) kami Balita....."

Terdengar suara yang dalam dan besar, suara yang gagah dan juga segera dikenal Han Sin sebagai suara Pak-thian-tok Bhok Hong! Suara Bhok Hong menjawab si raksasa tadi, mengejek nadanya,

"Bocah macam itu saja mengapa diributkan? Tentara pendam sudah mengepungnya, dia bisa terbang ke mana lagi? Dia sudah menjadi antek Pangeran Yong Tee, ini kesempatan baik. Tangkap dia hidup-hidup, jadikan umpan untuk menangkap Yong Tee sendiri. Bukankah ini kesempatan baik sekali? Tentang menangkap dia, serahkan saja kepadaku kalau kalian tidak sanggup. Ha, ha, ha, anak patriot itu sudah menjadi anjing Mancu, apa sih hebatnya?"

Han Sin boleh dianggap lihai sekali ilmu silatnya, malah mungkin pada masa itu jarang ada tokoh persilatan yang dapat menandinginya. Akan tetapi ia masih bisa dibilang hijau dalam pengalaman kalau dibandingkan orang-orang seperti Pak-thian-tok Bhok Hong, masih hijau dan kalah jauh menghadapi tipu-tipu muslihat di dunia kang-ouw yang sebetulnya jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada tajamnya pedang runcingnya tombak.

Mendengar ucapan yang keluar dengan nada mengejek dari mulut Pak-thian-tok Bhok Hong, pemuda ini menjadi naik darah. Dia dimaki sebagai antek Pangeran Mancu, malah sebagai anjing Mancu, bagaimana dia tidak akan menjadi naik darah? Apalagi ketika ia mendengar dua orang kakek raksasa yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) Balita kemarahan Han Sin tak dapat dipertahankan lagi. Ia menjadi nekat.

Memang, kalau dia mau, biarpun dikepung rapat oleh para tentara Mongol, agaknya mempergunakan kepandaiannya ia masih akan dapat lolos, asal saja tokoh-tokoh di dalam pondok itu tidak keluar menghalanginya. Akan tetapi, melarikan diri adalah soal kedua baginya pada saat itu. Soal terpenting adalah menghadapi orang-orang yang menghinanya sedemikian rupa.

"Pak-thian-tok iblis sombong, jangan sembarangan membuka mulut!" bentaknya dan tubuh pemuda ini meloncat ke atas lalu menerobos memasuki pondok dengan menggerakkan kedua tangan digerakkan melakukan pukulan dengan jurus Cio-po thian-keng dari Ilmu Silat Thian-po Cin keng.

"BRAKKKKK!" Papan dari pondok itu pecah berantakan ketika tubuh pemuda ini melayang ke dalam. Ia melihat di antara asap-asap hitam yang memenuhi kamar itu, muka sepasang raksasa dan muka seorang tua tertawa bergelak. Ia tidak mengenal orang tua bertopi seperti seorang yang berpangkat itu, yang dicarinya adalah muka Pak-thian-tok Bhok Hong yang tidak nampak.

Saking marahnya, Han Sin berlaku ceroboh, tidak mengira bahwa ia sengaja dipancing. Tubuhnya melayang ke dalam pondok, napasnya menjadi sesak, bau yang amat keras menyengat hidungnya!

Seketika Han Sin menjadi pening kepalanya. Cepat-cepat ia menahan napas, lalu mengerahkan lweekangnya untuk menghembuskan keluar hawa beracun yang telah disedotnya. Ia berhasil, akan tetapi pada saat itu ia merasa ada dua serangan menyambar dari kanan kiri. la maklum bahwa raksasa kembar itu telah menyerangnya dari kanan kiri.

Cepat digerakkannya kedua tangan melindungi tubuh dengan gerak tipu Khai-peng-twi-san (Pentang Sayap Mendorong Bukit) dari Ilmu Silat Thian-po Cin-keng! Hebat tangkisan ini, terdengar dua orang raksasa itu mengeluh perlahan dan roboh bergulingan. Ternyata tangkisan ini sekaligus membuka jalan darah mereka sehingga obat pemunah racun asap hitam yang mereka telah pakai pemberian Pak-thian-tok menjadi hilang khasiatnya.

Mereka telah terpukul oleh pukulan sendiri yang membalik, ditambah terluka oleh hawa sinkang yang keluar dari tangkisan Han Sin, kini menjadi lebih parah oleh karena mereka telah menyedot asap hitam oleh hidung mereka yang sudah tak terlindung pula. Dua orang itu bergulingan dan dalam keadaan sekarat!

Akan tetapi, karena mereka berdua bukan orang sembarangan, pukulan-pukulan mereka yang dilakukan secara tiba-tiba dan hebat sekali kepada Han Sin yang repot menghadapi asap hitam, sedikit banyak mendapatkan hasilnya pula. Pemuda itu memang betul dapat menangkis pukulan-pukulan itu, namun pergerakan yang membutuhkan pergerakan sinkang ini "membocorkan" penutupan napasnya sehingga tanpa ia sadari, sedikit asap hitam beracun telah memasuki dadanya. Hal ini diketahui setelah ia merasa napasnya sesak sekali dan kepalanya pening, hendak muntah-muntah rasanya.

Terkejutlah hati Han Sin, maklum bahwa tubuhnya kemasukan racun. Ia mencurahkan seluruh perhatian. Sedikit gerakan saja yang dibuat oleh orang berpakaian seperti pembesar tadi telah menarik perhatiannya. Benar saja, "pembesar" itu yang ternyata adalah seorang Han yang menjilat, mengekor kepada orang-orang Mongol dan sudah puas karena diberi janji akan diberi kedudukan sehingga belum apa-apa dia sudah berpakaian sebagai pembesar, menyerangnya dengan sebatang pedang. Dari gerakan orang ini, Han Sin dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli pedang dari Kun-lun-pai.

Namun, Han Sin sedang marah sekali, apalagi ia sedang menderita bahaya besar dari racun, maka ia tidak sudi membuang banyak waktu. Pada saat itu, siapa yang menyerangnya dia itulah musuhnya. Tanpa menoleh, tangannya bergerak ke belakang diikuti tubuhnya yang diputar dan di lain saat, lima jari tangan Han Sin sudah berhasil mencengkeram pedang yang tajam itu!

Benar-benar pemuda ini sudah mendapatkan ilmu yang sakti, sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Siapa akan mengira bahwa dalam waktu singkat, setelah berturut-turut ia mewarisi ilmu silat yang tinggi, ia akan seberani dan sekuat itu. Orang itu tentu saja akan membelalakkan kedua matanya saking herannya, lalu berusaha membetot pedang agar tangan pemuda itu terbabat putus. Akan tetapi jangan harap akan terjadi demikian, malah ketika ia cabut, pedang itu sama sekali tidak bergeming seakan-akan sudah terpegang oleh sebuah tanggem yang kuat dan besar.

Han Sin mengerahkan tenaga pada tangannya, disentakkannya sedikit dan "krekk!" pedang itu patah menjadi dua potong! Ujungnya berada di tangan Han Sin sedangkan pangkal dan gagangnya berada di tangan "pembesar" itu. Murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu kaget dan penasaran, terus membentak dan menyerang lagi.

Han Sin sudah mulai gelap matanya karena pengaruh racun, namun ia masih dapat melihat berkelebatnya pedang buntung ke arah perutnya. Cepat ia miringkan tubuh, mengebutkan tangan kiri yang tepat mengenai pergelangan tangan lawan sehingga pedang buntung terlepas, lalu kakinya menendang ke depan. Orang itu menjerit ngeri, tubuhnya terpelanting keluar pondok melalui lubang yang tadi dibuat oleh Han Sin.

Di luar pondok terdengar ia memekik kesakitan ketika tubuhnya terbanting ke atas batu-batu yang keras. Kulitnya lecet-lecet, babak belur, dagingnya biru-biru, pakaiannya koyak-koyak, tidak patut lagi ia menjadi pembesar, lebih menyerupai seorang pengemis gila!

"Bocah, jangan menjual lagak di sini!" terdengar bentakan keras.

Han Sin yang sudah pening itu cepat membuang diri ke kiri ketika dari kanan menyambar angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Ia maklum bahwa Pak-thian tok Bhok Hong sudah keluar dari tempat sembunyinya dan mengirim serangan dengan tangan yang mengandung Hek-tok sin-kang.

Han Sin tidak takut akan Hek tok-sin-kang karena darahnya sudah mengandung racun pek-tok dari darah ular Pek-hiat-sin-coa. Akan tetapi, tenaga pukulan kakek berbaju perang itu amat hebat, juga ilmu silatnya luar biasa ganas dan kuatnya, selain ini kepalanya sendiri sudah amat pening, pandang matanya berkunang-kunang dan ia sudah terlalu lama menahan napas.

Di dalam keadaan pening dan seperti mabok itu, Han Sin masih ingat bahwa satu kali saja ia menarik napas, tentu paru-parunya akan penuh racun dan ia akan celaka. Dia harus lari dari tempat ini, kalau ingin selamat. Akan tetapi Pak-thian-tok Bhok Hong sudah menyerangnya, mengurungnya rapat-rapat dengan hawa pukulan-pukulan yang amat dahsyat. Sampai berdesing-desing angin pukulan menyambar ke arahnya dari segala jurusan! Akan tetapi, di dalam kepusingannya, panca indera Han Sin malah dapat bekerja baik sehingga kemanapun juga lawan menyerangnya, selalu ia dapat menangkisnya dengan tepat.

Beberapa jurus lewat dengan cepatnya dan selalu terdengar suara tangan beradu, suaranya keras menggetarkan pondok. Bhok Hong untuk kesekian kalinya terheran-heran. Bocah ini terlalu hebat, terlalu lihai dan harus disingkirkan dari muka bumi. Kalau tidak, nama besarnya tentu akan rusak. Sambil mengerahkan semangat dan tenaga, Bhok Hong mendesak terus dan pada suatu saat yang amat baik, ia memukulkan tangan kanannya ke arah ulu hati Han Sin. Pukulan yang keras, cepat, dan mengandung tenaga maut sukar untuk dihindarkan lagi!

Namun Cia Han Sin murid tak langsung dari Tat Mo Couwsu sendiri setelah pemuda ini mempelajari Thian-po-cin keng. Di samping ini, ia sudah pula mempelajari ilmu silat aneh dan sakti seperti Lo-hai Hui-kiam maka tentu saja serangan maut ini tidak membuatnya kehilangan akal. Malah menghadapi serangan maut ini Han Sin melihat jalan terbuka baginya untuk membebaskan diri dari kepungan serangan Bhok Hong.

Ia menanti pukulan sudah datang dekat sehingga hawa pukulan sudah menghantam ulu hatinya, cepat ia menggerakkan tangan menerima kepalan tangan lawan dengan telapak tangan, menggunakan hawa "menyedot" sehingga tenaga pukulan itu amblas ke dalam tangannya, akan tetapi tenaga dorongnya yang mengandung tenaga gwakang (kasar) itu diterimanya. Berkat dorongan tenaga kasar yang amat kuat ini tubuhnya terlempar ke belakang dan memang sudah ia perhitungkan, tepat sekali tubuhnya itu melayang melalui lubang di papan dinding pondok tadi.

Ia mendengar Bhok Hong berseru kaget dan heran, kemudian disusul suara ketawa bergelak dari kakek itu. Han Sin terkejut dan menduga adanya jebakan lain, namun sudah terlambat baginya. Kepalanya terlampau pening dan begitu mendapatkan hawa segar, ia membuka penahanan napasnya. Hal ini membuat matanya menjadi berkunang dan ia tidak dapat menjaga diri lagi ketika tiba-tiba dari sekelilingnya banyak orang melemparkan jala ke arah tubuhnya.

Tanpa dapat mengelak lagi pemuda ini roboh terbungkus jala yang ternyata terbuat dari pada bahan yang amat kuat, yaitu otot-otot binatang yang sudah dimasak dengan minyak sehingga ulet dan tak mungkin dapat putus! Ketika Han Sin mencoba memberontak, ia merasa leher belakangnya sakit, gatal-gatal dan pedih sekali, ia terkejut, maklum bahwa Bhok Hong sudah keluar dan melukainya. Matanya gelap dan sebelum pingsan, Han Sin masih sempat mendengar suara ketawa Bhok Hong......!

"Memang hebat dia......" kata Ciu ong Mo-kai yang sedang duduk bercakap-cakap dengan para tokoh kang-ouw yang membantu bala tentara Mancu. Mereka ini sedang membicarakan Lie Ko Sianseng yang mengirim dua peti batu dan diterima oleh utusan Pangeran Yong Tee seperti telah dituturkan di bagian depan. Memang tadinya Ciu-ong Mo-kai dan tokoh-tokoh lain merasa terheran-heran mengapa Pangeran Yong Tee agaknya mementingkan barang-barang yang ternyata hanyalah batu-batu kasar belaka. Juga mereka terheran kalau memikirkan bagaimana Han Sin mau membawakan dua peti itu dan malah membela dengan gagahnya.

Baru sekarang, beberapa hari kemudian mereka mendengar berita dari kota raja bahwa batu-batu kasar itu sebenarnya merupakan sebuah peta! Kalau batu-batu itu dijajar-jajar dan disusun menurut rahasia yang ditentukan, akan tergambarlah sebuah peta daerah utara, peta yang menunjukkan rahasia pertahanan bala tentara Mongol!

"Memang lihai si tukang catut. Entah berapa dia mendapatkan hadiah dari Pangeran Yong Tee untuk usahanya itu," kata pula Ciu-ong Mo-kai setelah menenggak araknya.

"Kabarnya mengumpulkan keterangan-keterangan untuk membuat peta seperti itu bukannya pekerjaan mudah," sambung seorang tosu. "Di bagian utara, bala tentara Mongol sedang membangun sebuah benteng, dan Li Ko Sianseng memasukkan beberapa orang mata-mata sebagai pekerja-pekerja di benteng ini. Mereka inilah yang membuat guratan-guratan pada batu-batu yang kemudian mengumpulkan lalu mengirim batu-batu bergurat itu kepada Lie Ko Sianseng........"

"Memang tukang catut banyak akalnya........ ha ha ha, betapapun juga, dia orang gagah," kata pula Ciu-ong Mo-kai dengan kagum.

Pada saat itu, datang Phang Yan Bu pemuda putera Ang-jiu Toanio. Pemuda itu memberi isyarat kepada Ciu-ong Mo kai, minta bicara berdua. Ciu-ong Mo kai lalu bangkit berdiri, meninggalkan kawan-kawannya dan pergi keluar bersama Yan Bu.

"Ada apakah, Phang-hiante? Kau kelihatan gelisah."

Dengan kening berkerut Phang Yan Bu berkata, "Lo-enghiong, saya amat menggelisahkan kepergian muridmu, nona Cia Bi Eng......"

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok memandang tajam. Sebagai seorang tua yang sudah berpengalaman banyak, tentu saja ia sudah mendengar tentang perasaan pemuda ini yang dulu mencinta Bi Eng, akan tetapi sekarang melihat pula betapa Yan Bu agaknya dekat dengan Li Goat puteri mendiang Thio-ciangkun.

"Ada apa dengan Bi Eng?" tanyanya pendek.

"Malam kemarin ketika nona Cia bercakap-cakap dengan saya dan teman-teman lain, tiba-tiba muncul seorang gadis asing yang tidak kami kenal. Akan tetapi, agaknya nona Cia mengenalnya dengan baik gadis berbangsa Hui itu. Kemudian, entah apa yang mereka bicarakan, nona Cia lalu ikut pergi bersama gadis Hui yang ia sebut namanya Tilana, katanya tidak lama perginya, tidak tahunya....... sampai sekarang belum juga pulang."

Biarpun di luarnya tidak kentara, malah lalu menenggak araknya, akan tetapi di dalam hatinya Ciu-ong Mo-kai tertarik dan kaget juga. Disebutnya nama seorang gadis Hui sekaligus mengingatkan kepadanya akan Balita puteri Hui itu, musuh besar keluarga Cia.

"Lalu bagaimana?" desaknya karena dari wajahnya, pemuda itu kelihatan masih mempunyai penuturan yang menarik.

"Itulah yang menggelisahkan hati saya, lo-enghiong. Tadi gadis Hui itu muncul pula, hanya sebentar. Kebetulan sekali aku yang melihatnya dan ia berkata kepadaku bahwa nona Cia Bi Eng takkan kembali lagi ke sini, karena sudah berkumpul dengan ibunya. Di samping pemberitahuan ini ia bertanya di mana adanya Han Sin.

Ketika kuberi tahu bahwa saudara Cia Han Sin pergi ke utara, ia berkelebat dan pergi. Gerakannya cepat sekali, dan aku merasa curiga, ingin menahannya. Akan tetapi bagaimana aku dapat melakukan hal itu terhadap seorang gadis? Karena tidak berdaya maka kuberitahukan lo-enghiong."

Ciu-ong Mo-kai makin terkejut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan Bi Eng terjatuh ke dalam tangan Balita!

"Kau tunggu saja di Ta-tung, Phang hiante. Kalau sewaktu-waktu Han Sin muncul, beritahu bahwa aku hendak mencari Bi Eng, mungkin ke utara. Kudengar dua orang suheng dari Balita juga membantu Bhok Kian Teng. Bukan tak mungkin kalau Balita dan orang-orang Hui juga membantu pasukan Mongol."

Setelah meninggalkan pesan ini, Ciuong Mo-kai lalu berangkat ke utara untuk mencari Bi Eng dan sekalian menyusul Han Sin. Kakek ini maklum bahwa kepandaian Han Sin jauh lebih tinggi dari padanya maka lebih baik lagi memberi tahu pemuda itu tentang hilangnya Bi Eng sehingga mereka berdua dapat mencari gadis itu.

Seperti juga Han Sin, kakek raja arak ini melakukan perjalanan cepat dan hati-hati sekali agar jangan sampai ketahuan orang-orang Mongol. Namun, dia memandang orang-orang Mongol terlalu rendah kalau mengira bahwa perjalanannya tidak dilihat orang. Semenjak dia meninggalkan Ta-tung dan menginjak daerah Mongol, perjalanan kakek sakti ini sudah diketahui oleh para mata-mata Mongol yang amat cerdik.

Pada suatu hari, ketika tiba di daerah yang berhutan selagi Ciu-ong Mo kai berjalan di tempat sunyi ini, tiba tiba terdengar suara kaki kuda dan dari belakangnya muncul seorang pemuda menunggang kuda. Cepat bagaikan kilat kakek ini meloncat dan tubuhnya sudah lenyap bersembunyi di dalam semak-semak. Penunggang kuda itu nampaknya tidak tergesa-gesa, kudanya berjalan perlahan saja malah setelah memasuki hutan, pemuda yang berdandan seperti orang terpelajar dari selatan itu bernyanyi!

"Melihat pengemis mabok
malas berkeliaran
sungguh membuat orang
jadi penasaran!
Mengejar cita-cita
itulah tugas seorang perkasa!
Warisan nenek moyang
takkan terbuang sia-sia.
Bumi kuinjak, langit kuraih
demi terlaksana cita-cita!"

Nyanyian itu dinyanyikan dengan suara yang nyaring gagah penuh semangat dan Ciu-ong Mo-kai tersenyum mengejek ketika mengenal bahwa penunggang kuda itu bukan lain adalah Bhok-kongcu, Bhok Kian Teng atau Pangeran Galdan pemimpin pemberontak Mongol! Tak perlu kakek itu bersembunyi lagi karena dalam nyanyiannya tadi, Bhok-kongcu sudah menyindirnya, berarti sudah melihat dan mengetahui tempat persembunyiannya.


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Bagus memang nyanyian cucu Jenghis Khan! Memang bersemangat dan bagus, tapi bagus untuk siapa? Untukmu dan untuk bangsamu! Ha ha ha, kau memang seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan sastera), Bhok-kongcu..... eh, Pangeran Galdan!" kata Ciu-ong Mo-kai sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Pemuda itu memang Bhok-kongcu yang sudah kita kenal. Dia adalah Bhok Kian Teng putera Pangeran Bhok Hong ong, seorang pemuda tampan yang penuh rahasia, pandai ilmu silat, pintar dalam hal kesusasteraan, pesolek, pemuda cabul yang pandai main suling, main thioki (catur), dan pandai pula dalam hal racun. Kini, biarpun pakaiannya masih seperti seorang pemuda Han terpelajar, dia sebetulnya adalah Pangeran Galdan, pemimpin pemberontak Mongol yang amat ditakuti orang.

Dengan senyum menghias bibirnya, pangeran itu menganggukkan kepalanya tanda menghormat, tanpa turun dari kudanya.

"Eh, kiranya si raja arak yang sakti berada di sini. Ciu-ong Mo-kai, kau jauh jauh dari selatan sampai tersesat di sini, apa yang kaucari? Apakah kau sudah begitu rendah untuk melakukan pekerjaan mata-mata dari pemerintah penjajah Mancu? Mana sifat patriotmu dahulu?" Pangeran itu tertawa mengejek dan tiba-tiba saja wajah yang tampan tadi berubah menyeramkan.

"Tidak ada pekerjaan yang buruk, apapun juga pekerjaan itu. Yang buruk hanya tujuannya, yang jahat adalah pamrihnya, heh heh....." jawab Ciu-ong Mo-kai sambil menenggak araknya tanpa perdulikan pangeran yang ditakuti puluhan ribu orang ini.

Pangeran Galdan mengerutkan alisnya yang hitam panjang. "Ciu-ong Mo-kai, tak perlu kau berpura-pura dan membohongi aku. Siapa tidak tahu bahwa kau tadinya berada di Ta-tung membantu bala tentara Mancu? Apa kau hendak menyangkal bahwa kau telah menjadi kaki tangan Mancu?"

Kakek itu kembali tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di hutan itu. "Siapa hendak menyangkal? Tidak ada yang perlu disangkal karena tidak ada yang perlu disembunyikan. Memang aku berada di Ta-tung, memang aku membantu tentara Mancu! Apa salahnya? Siapa membantu siapa apa bedanya? Di mana ada arak wangi, di situlah ada Ciu-ong! Tapi, ketahuilah, Pangeran Mongol, kali ini aku datang ke sini bukan karena perang yang sedang berlangsung antara bangsamu dan bangsa Mancu. Aku tersesat ke sini karena hendak mencari muridku. Hemmm, kebetulan sekali bertemu denganmu, kau tentu tahu di mana adanya Bi Eng yang sudah tertawan oleh Balita si perempuan Hui. Ayoh kau kembalikan muridku!"

Bhok-kongcu tersenyum kecil. "Setan arak, kau selalu memandang rendah dan menyangka buruk kepadaku. Kalau saja aku tidak memandang kepandaianmu dan tidak sayang kepada orang selihai engkau mana aku sudi bertemu dan bercakap-cakap denganmu? Perkara muridmu Bi Eng itu, mudah kita urus belakangan, kalau memang betul dia berada di wilayah ini, aku yang tanggung bahwa dia takkan ada yang mengganggu. Akan tetapi, yang terpenting sekarang, bagaimana kalau kau membantu aku? Kau seorang patriot, apa kau suka melihat bangsa dan tanah airmu dijajah oleh orang Mancu? Bantulah aku, mari kita membasmi penjajah itu dan mengusir orang-orang Mancu dari tanah airmu. Bagaimana?"

Di dalam hatinya Ciu-ong Mo-kai mendongkol sekali. Hemm, orang Mongol ini betul-betul gila, mengira aku seorang bocah. Membantumu mengusir orang Mancu sama artinya dengan membantumu menjajah tanah airku! Akan tetapi, apa bedanya? Biarlah orang-orang Mongol dan orang-orang Mancu berkelahi sendiri, berperang sendiri sampai habis. Membantu yang manapun sama saja, yang penting ia harus berusaha menyelamatkan Bi Eng. Ia tertawa bergelak.

"Pangeran yang cerdik! Sudah kukatakan tadi, di mana ada arak wangi di situ ada Ciu-ong (Raja Arak). Pangeran Yong Tee dari Mancu tahu akan kesukaanku itu, apakah kau juga dapat menyediakan arak wangi yang paling baik?"

Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu tertawa senang. "Kalau kau ikut bersamaku, kau boleh minum sampai pecah perutmu."

"Dan kau akan bersikap penuh hormat seperti Pangeran Yong Tee? Dan tidak akan mengganggu wanita seperti Pangeran Yong Tee?"

Bhok-kongcu mengerutkan kening. "Pengemis kelaparan kaukira aku boleh kau banding-bandingkan dengan segala macam pangeran cilik seperti si Yong Tee itu? Huh, Kau tidak mau membantuku juga tidak apa!" Setelah berkata demikian, Bhok-kongcu menarik kendali kudanya, memutar tubuh kuda itu dan membalapkan kuda itu meninggalkan Ciu-ong Mo-kai.

"He he, nanti dulu, pangeran! Belum selesai kita bercakap-cakap!" seru Ciuong Mo-kai sambil mengejar.

Bhok-kongcu mempercepat larinya kuda, menarik kendali dan mengempit perut kuda. Kuda itu adalah kuda utara yang kuat sekali, larinya kencang seperti angin. Memang pangeran ini hendak mencoba atau menguji kepandaian Ciu-ong Mo-kai yang hendak ditarik menjadi pembantunya itu.

Sebaliknya, Ciu-ong Mokai yang melihat kesempatan baik baginya untuk menyelamatkan Bi Eng, tentu saja merasa menyesal mengapa Bhok Kian Teng hendak pergi meninggalkannya. Kesempatan baik ini tak boleh disia-siakan, pikirnya, maka ia lalu mengerahkan tenaga ginkangnya dan cepat mengejar.

Baru saja Bhok-kongcu keluar dari hutan itu, tiba-tiba tubuh kudanya tersentak berhenti. Ketika ia menengok, ia melihat Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa sudah berada di belakangnya dan sudah mencekal ekor kuda yang tebal dan panjang itu. Ternyata kakek aneh itu sudah berhasil menyusul larinya kuda! Terpaksa kuda itu berhenti dan tak dapat lari lagi.

"Heh heh heh, Bhok-kongcu..... eh, Pangeran Galdan. Kalau lohu (aku) menghendaki, bukan buntut kuda yang kucekal, melainkan nyawa orang yang menunggangi kudanya. Kau lihat, aku tidak mempunyai maksud buruk, heh heh heh.......!"

Bhok-kongcu tersenyum mengejek. "Kau salah duga, Ciu-ong Mo-kai. Bukan kau yang memperlihatkan maksud baik, melainkan aku yang sengaja tidak mau mencelakaimu, karena memang aku mempunyai maksud bersahabat dengan engkau. Lihat!" Bhok-kongcu mengeluarkan sebuah bendera kuning dan melambaikan bendera itu. Tiba-tiba, seperti iblis-iblis di siang hari, bermunculan tentara Mongol dari segenap penjuru dan dalam beberapa puluh detik saja tempat itu sudah dikurung oleh ratusan orang tentara Mongol yang sudah siap dengan anak panah di gendewa masing-masing!

Diam-diam Ciu-ong Mo-kai melengak dan kagum. Kiranya kemunculan Bhok-kongcu ini bukan secara kebetulan, melainkan sengaja diatur dan lebih dulu sudah ada ratusan orang tentara Mongol yang melindungi kongcu itu sehingga andaikata terjadi hal yang tidak beres, tentu dia sudah dihujani anak panah!

"Ha ha ha ha! Pangeran Galdan benar-benar hebat sekali. Asal ada arak wangi, pengemis bangkotan macam aku ini tentu saja suka membantu memukul orang-orang Mancu!"

Girang hati Bhok-kongcu. Ia memang sudah mendengar dan menyaksikan sendiri akan kelihaian pengemis aneh ini yang kepandaiannya kiranya tidak kalah, atau hanya sedikit selisihnya, dengan Hoa Hoa Cinjin. Tentu saja kalau dia bisa mendapat bantuan tenaga seperti Ciu-ong Mo-kai, keadaannya akan menjadi lebih kuat, selain itu, juga ia melemahkan keadaan pasukan Mancu yang kehilangan Ciu-ong Mo-kai.

"Bagus, Ciu-ong Mo-kai. Kalau benar-benar kau suka bekerja sama, jangan khawatir, arak wangi telah tersedia untukmu. Akan tetapi kau harus bersumpah." Pangeran ini cerdik dan sudah mengenal watak orang-orang kang-ouw dari selatan. Orang-orang kang-ouw ini menjunjung tinggi kegagahan, selalu memegang janji, apa lagi sumpah takkan dilanggarnya biarpun harus mengorbankan nyawa!

"Aku, Ciu-ong Mo-kai, bersumpah bahwa aku selalu akan memusuhi penjajah tanah airku!"

"Dan sekarang kau memusuhi orang-orang Mancu!" sambung Bhok-kongcu yang masih belum puas.

"Aku bersumpah memusuhi orang orang Mancu sekarang!" Ciu-ong Mo-kai bersumpah tanpa ragu-ragu. Memang, di dasar hatinya ia memusuhi semua bangsa yang menjajah Tiongkok, mengapa tidak? Baik Mancu maupun Mongol, adalah musuhnya.

Girang dan puas hati Bhok-kongcu. Segera ia mengajak Ciu-ong Mo-kai menuju ke Pegunungan Yin-san, markas besarnya. Juga ia berjanji untuk membebaskan Bi Eng apabila benar-benar ternyata bahwa gadis itu ditawan oleh Balita.

"Jangan khawatir, dua orang suheng dari Balita bekerja sama dengan kami. Biarkan mereka menghadapi Balita untuk minta Bi Eng, tentu akan diserahkan dengan baik," kata pangeran ini.

Rombongan ini tak lama kemudian sudah tiba di Yin-san dan di dalam sebuah istana darurat yang indah dan mewah, Ciu-ong Mo-kai dijamu dengan sebuah pesta. Benar saja, Bhok-kongcu mempunyai simpanan arak yang baik. Dengan gembira Ciu-ong Mo-kai makan minum dan sama sekali ia tidak berkeberatan untuk duduk bersama-sama dengan Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo, Huang-ho Sam-ong, dan beberapa orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal dan yang ternyata menjadi kaki tangan Bhok-kongcu!

Selagi Bhok-kongcu dan orang-orangnya berpesta gembira, tiba-tiba datang laporan bahwa ada sepasukan tentara utusan Pak-thian-tok mengantar seorang tawanan untuk minta keputusan Pangeran Galdan!

Kedengarannya memang aneh bagaimana Bhok Hong sebagai ayah Pangeran Galdan, tidak berani memutuskan sendiri atas diri seorang tawanan, melainkan minta keputusan puteranya. Memang demikianlah. Entah bagaimana, Bhok Hong ternyata amat bangga akan puteranya.

Malah mengabarkan di antara bangsanya bahwa puteranya itu, Pangeran Galdan, adalah pemimpin besar Bangsa Mongol, penjelmaan Raja Besar Jenghis Khan dan karenanya adalah kekasih dewata yang harus ditaati, oleh siapapun juga, bahkan oleh dia sendiri! Tentu saja di balik keanehan sikapnya yang seakan-akan taat dan tunduk kepada putera sendiri ini, ada maksud tersembunyi di dalam hati Bhok Hong sebagai seorang bapak yang ingin melihat anaknya menjadi raja besar seperti Jenghis Khan.

Dia sendiri sudah tua, pula tidak ada minat tentang pemerintahan, biarlah puteranya yang menjadi Jenghis Khan kedua! Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan yang sedang bergembira karena berhasil menarik tenaga baru yang amat kuat, mengerutkan kening. Kalau bukan tawanan yang amat penting, tak nanti ayahnya sampai mengirimnya pada saat seperti itu.

"Bawa dia masuk akan kutanyai!" katanya dengan sikap agung kepada tentara pelapor.

"Ampun, pangeran. Tawanan itu terluka dan pingsan tak dapat ditanyai lagi......."

"Jangan cerewet, bawa dia masuk kataku! Biar kulihat siapa dia!" bentak Pangeran Galdan marah. Tentara itu cepat memberi hormat dan mundur. Tak lama kemudian masuklah empat orang tentara yang tinggi besar, menyeret tubuh seorang laki-laki yang berada di dalam jala, menggeletak dengan muka pucat seperti mayat. Sukar diduga siapa yang lebih kaget di antara Ciu-ong Mo-kai dan Bhok-kongcu ketika melihat siapa adanya tawanan yang pingsan seperti mati itu.

"Han Sin........!" Ciu-ong Mo-kai tak dapat menyembunyikan kagetnya, malah kakek yang sudah kenyang makan asam garam dunia ini seperti sengaja memamerkan kagetnya.

Pangeran Galdan menoleh ke arah kakek itu sambil tersenyum, matanya menatap tajam. "Ehem, kau tentu mengenalnya, Ciu-ong Mo-kai......." katanya penuh sindir.

"Tentu saja!" jawab Ciu-ong Mo-kai dengan suara wajar. "Untuk apa aku harus berpura-pura tidak mengenalnya kalau dia itu adalah kakak dari muridku, atau hampir boleh dibilang dia itupun muridku karena pernah belajar teori silat dariku?"

Tiba-tiba Bhok-kongcu tertawa terbahak dengan muka geli, "Dia itu belajar teori silat dari padamu? Ha ha ha, menggelikan sekali! Ciu-ong Mo-kai, apakah kau pura-pura tidak tahu bahwa dia itu sepuluh kali lebih lihai darimu? Ha ha, hanya ayahku yang sakti saja dapat mengalahkannya dan menawannya!"

"Tentu saja aku tahu, Pangeran Galdan. Memang sekarang dia telah menjadi amat lihai, dan agaknya ayahmu yang terhormat itupun belum dapat mengalahkannya dalam pertandingan terbuka dan jujur." Setelah berkata demikian, Ciu-ong Mo-kai menenggak araknya. Orang-orang yang berada di situ diam-diam merasa heran sekali atas keberanian dan kelancangan mulut si pengemis bangkotan ini yang sama sekali tidak menghormat kepada "Pangeran Keturunan Dewata"!

Adapun Bhok-kongcu sudah tidak memperdulikan Ciu-ong Mo-kai lagi. Dia mendengar laporan dari pengawal yang membawa Han Sin tentang ditangkapnya Cia Han Sin oleh Pak-thian-tok Bhok Hong. Kemudian dengan amat marah Bhok-kongcu mendengar laporan pula betapa di mana-mana pasukannya dipukul hancur atau dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Mancu yang amat kuat.

"Keparat!" bentak Pangeran Galdan sambil membanting kakinya. "Sampai titik darah terakhir dalam tubuhku, aku harus melawan dan menghancurkan Mancu!" Ia lalu memandang ke arah tubuh Han Sin yang masih menggeletak terbungkus jala.

"Keluarkan dia dari jala, belenggu kaki tangannya tapi jangan bunuh dia. Aku harus memaksanya untuk membantuku kalau dia masih belum bosan hidup. Hanya ada dua jalan baginya." Pangeran itu menoleh kepada Ciu-ong Mo-kai seakan-akan kakek itu dijadikan wakil Han Sin untuk mempertimbangkan keputusannya, "Membantuku melawan Mancu atau kupenggal kepalanya!"

Ciu-ong Mo-kai pura-pura tidak melihat atau mendengar ini. Ia terus saja menenggak araknya dan menyambar makanan yang paling enak di atas meja. Agaknya keadaan Han Sin yang tertawan dan berada dalam keadaan mengenaskan, entah hidup atau mati itu sama sekali tidak diperdulikannya.

Empat orang pengawal yang kuat kuat itu sudah membuka jala dan menarik tubuh Han Sin yang sudah tak berdaya dan lemas itu keluar dari jala. Mereka mengeluarkan tali otot kerbau yang kuat untuk mengikat kaki tangan pemuda Min-san itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar gerengan keras sekali dan tahu-tahu hujan arak menyembur ke arah muka keempat orang pengawal. Hujan arak yang tersembur dari mulut Ciu-ong Mo-kai sama lihainya dengan hujan jarum. Empat orang itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil mengaduh-aduh karena mata mereka sudah seperti buta dan muka mereka sakit seperti ditusuk ratusan jarum!

"Aduh..... aduh..... Aduh...........!"

Sebelum semua orang hilang kaget mereka, tubuh Ciu-ong Mo-kai berkelebat dan tahu-tahu ia sudah menyambar tubuh Han Sin dan dipanggulnya tubuh pemuda yang pingsan itu.

"PENGKHIANAT busuk!" Hoa Hoa Cinjin membentak marah sekali. Semenjak tadi, melihat Ciu-ong Mo-kai diterima sebagai pembantu oleh Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin sudah merasa tak senang dan curiga. Dia sudah mengenal baik-baik pengemis tua ini, yang berjiwa patriotik sampai ke rambut-rambutnya. Paling gigih, pengemis ini melawan penjajah, malah secara rahasia memimpin seluruh perkumpulan pengemis di selatan untuk bangkit melawan penjajah. Bagaimana orang seperti dia itu bisa membantu orang-orang Mancu yang sekarang menjajah tanah airnya dan bagaimana mungkin lagi dapat menghambakan diri kepada Bhok-kongcu, seorang Pangeran Mongol?

Kalau dia datang membantu, tentu di belakangnya terselip maksud-maksud lain yang tidak baik. Akan tetapi tentu saja la tidak berani membantah kehendak Bhok-kongcu karena iapun maklum bahwa makin banyak orang pandai seperti Ciu-ong Mo-kai dapat membantu mereka, betul-betul membantu dengan setia, akan makin baiklah. Maka Hoa Hoa Cinjin yang duduk tak jauh dari Bhok-kongcu, selama pesta berjalan, hanya diam saja dan hanya mengawani makan minum. Namun diam diam matanya yang tajam seperti mata burung rajawali itu selalu menaruh perhatian dan mengawasi setiap gerak-gerik Ciu-ong Mo-kai.

Maka begitu ia melihat Ciu-ong Mo kai menyemburkan arak menyerang empat orang Mongol yang hendak membelenggu Han Sin, kemudian kakek pengemis itu menyambar tubuh Han Sin, Hoa Hoa Cinjin mengeluarkan teriakan marah lalu menyerang dengan hebat.

Ciu-ong Mo-kai bukan seorang yang ceroboh. la memang berlaku nekat ketika menolong Han Sin, maklum bahwa perbuatannya kali ini bukan main-main dan nyawalah taruhannya. Maka sebelum melakukan perbuatan itu, ia telah lebih dulu menghitung-hitung dan tahu bahwa ia akan berhadapan dengan orang-orang kosen dan lihai, terutama Hoa Hoa Cinjin. Hal ini membuat dia berlaku waspada dan tak pernah mengalihkan perhatiannya dari sai-kong ini.

Serangan dari Hoa Hoa Cinjin amat dahsyat datangnya, merupakan sebuah pukulan tangan kanan ke arah lambung Ciu-ong Mo-kai dibarengi dengan cengkeraman ke arah tubuh Han Sin yang dipanggul kakek pengemis itu. Sambaran angin serangan ini sudah membuat pakaian Ciu-ong Mo-kai di bagian lambung dan baju Han Sin di bagian pundak robek!

Ciu-ong Mo-kai kaget juga, akan tetapi tidak gugup. la maklum bahwa cengkeraman ke arah tubuh Han Sin itulah yang lebih berbahaya karena pemuda itu sedang pingsan tak dapat menjaga diri. Cepat ia mengangkat tangan menangkis cengkeraman, sedangkan pukulan ke arah lambungnya ia hindarkan dengan sebuah gerakan mengegos yang lincah dari langkah kaki Ilmu Silat Liap hong-sin-hoat.

Ilmu silat ciptaan Ciu-ong Mo-kai ini, sesuai dengan namanya, yaitu Liap-hong-sin-hoat (Ilmu Sakti Mengejar Angin), memang mengandalkan kecepatan dan gerakan-gerakan kaki teratur yang amat cepat perubahannya. Dengan ilmu silat ini, tanpa balas menyerang Ciu-ong Mo-kai akan dapat menghadapi serangan serangan orang dengan enak saja, tubuhnya menjadi licin bagaikan belut dan trengginas, cepat bagaikan burung walet.

Akan tetapi sekarang ia menghadapi serangan Hoa Hoa Cinjin, seorang tokoh besar ilmu silat yang tingkat kepandaiannya tidak kalah tinggi olehnya. Memang ia berhasil menangkis cengkeraman ke arah Han Sin, akan tetapi pukulan ke arah lambungnya itu biarpun sudah dapat ia elakan, namun sebuah terdangan kaki yang boleh dibilang berbarengan saatnya dengan pukulan itu sendiri, tak dapat dihindarkannya lagi. Tendangan itu mengenai perut Ciu-ong Mo-kai.

Tubuh kakek pengemis ini terpental, namun hebat sekali, dia masih dapat meminjam tenaga tendangan ini untuk terus meloncat lari dari tempat itu sambil memanggul tubuh Han Sin dan membawa lari pula luka ringan di bagian dalam perutnya akibat tendangan tadi!

"Tangkap dia! Kejar!" Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan memerintah dengan suara marah sekali.

"Tangkap hidup-hidup!"

Masih untung bagi Ciu-ong Mo-kai bahwa pangeran itu saking marahnya dan saking bernafsu hendak melampiaskan amarahnya kepada Ciu-ong Mo-kai dan Han Sin, mengeluarkan perintah supaya menangkap mereka hidup-hidup. Andaikata tidak demikian, mana kakek ini mampu keluar dari kepungan dengan tubuh masih bernyawa? Serangan senjata-senjata rahasia dan anak panah tentu akan merenggut nyawanya dan nyawa Han Sin yang masih pingsan.

Betapapun juga, bukanlah hal mudah bagi Ciu-ong Mo-kai untuk dapat melarikan diri. Biarpun ia sudah berlari secepatnya, tetap saja tiga orang dapat menyusulnya, yaitu Hoa Hoa Cinjin dan kedua saudara Tung-hai Siang-mo. Seperti telah dikenal dalam cerita yang lalu, dua orang saudara Tung-hai Siang-mo ini amat lihai, dengan maju bersama tingkat kepandaian mereka hampir menandingi tingkat Hoa Hoa Cinjin. Maka dengan majunya dua orang ini, sekarang Ciu-ong Mo-kai dikejar tiga orang yang amat lihai!

Cari Blog Ini