Kasih Diantara Remaja 23
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 23
"Pengemis kelaparan, kauhendak pergi ke mana?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah datang dekat sambil menyerang lagi dengan pukulan dahsyat ke arah punggung kakek pengemis itu. Juga dua orang kakek Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Timur) sudah menyerang dari kanan kiri sehingga Ciu-ong Mo-kai kini dikeroyok tiga!
"Ha ha ha, pentolan-pentolan kang-ouw main keroyok. Tak tahu malu!" Kakek itu tertawa mengejek, mainkan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat sambil mempergunakan guci araknya sebagai senjata. Dengan gagah sekali kakek ini sambil menggendong tubuh Han Sin di pundak kiri, melakukan perlawanan mati-matian. Kadang-kadang ia menenggak arak dan menggunakan semburan-semburan araknya sebagai senjata rahasia yang ampuh.
Setiap kali mendapat kesempatan, Ciu-ong Mo-kai lari lagi untuk menjauhkan diri dari pada kepungan tentara Mongol. Dengan cara begini, terutama sekali karena Hoa Hoa Cinjin tidak berani melanggar perintah Pangeran Galdan, yaitu tidak mau membunuh Ciu-ong Mo-kai, pengemis ini dengan menderita beberapa luka di tubuhnya dapat melarikan diri sampai turun Gunung Yin-san!
Namun tiga orang kosen itu tetap membayanginya terus dan tiap kali ia tentu tersusul untuk mengalami keroyokan dan tak dapat dicegah lagi ia tentu terkena pukulan-pukulan yang amat berbahaya dari tiga orang itu.
Amat payah keadaan Ciu-ong Mo kai. Apa lagi pukulan terakhir dari Hoa Hoa Cinjin yang tepat mengenai siku lengan kanannya, membuat guci arak di tangannya terlempar dan tangan itu sendiri menjadi lumpuh karena sambungan tulang pada siku terlepas. Ciu-ong Mo-kai memindahkan tubuh Han Sin ke atas pundak kanan dan ia masih terus melawan dengan tangan kiri sambil tertawa-tawa mengejek! Dan hebatnya, selama itu kakek ini masih terus berhasil melindungi tubuh Han Sin sehingga belum sekali juga tubuh pemuda pingsan ini terkena serangan tiga orang pengeroyoknya.
"He he, Hoa Hoa Cinjin pengecut curangl" Ia masih sempat mengejek. "Kalau satu lawan satu mana kau mampu mengalahkan aku?"
Hati Hoa Hoa Cinjin panas sekali. Kalau menurut nafsunya, ingin ia mengandalkan serangan maut untuk membunuh kakek pengemis itu. Namun ia takut akan Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan yang amat berpengaruh dan berkuasa. Sekali pangeran itu bilang "tangkap hidup-hidup", ia harus dapat melaksanakannya.
Memang tentu saja amat sukar untuk menundukkan kakek pengemis ini tanpa melakukan serangan-serangan maut. Beberapa kali sudah ia melakukan penyerangan hebat, akan tetapi begitu melihat bahwa serangannya ini akan merenggut nyawa Ciu-ong Mo-kai, ia menarik kembali serangannya dan tentu saja hal ini membuat pertempuran menjadi amat lama.
Demikian pula halnya dengan Tung-hai Siang-mo. Mereka lebih lebih tidak berani melanggar perintah Pangeran Galdan. Memang harus diakui kehebatan Ciu-ong Mo-kai yang benar-benar amat "ulet". Pukulan-pukulan hebat yang biarpun mengenai tubuh orang lain sebetulnya sudah cukup untuk merobohkan orang itu. Namun kakek ini tetap melawan dan bahkan pada saat ia menyemburkan arak yang terakhir, yang masih tersimpan di mulut, dan melihat tiga orang lawannya mengelak, kakek ini masih dapat meloncat jauh dan lari lagi sambil tertawa-tawa.
"Hayo kejar aku! Hayo, kejar dan keroyok. Ha ha ha."
Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran bukan main. Kalau orang-orang kang-ouw melihat dia bersama Tung-hai Siang-mo tak dapat menangkap seorang pengemis bangkotan yang sudah terluka di beberapa tempat, malah sambungan siku kanannya sudah terlepas, alangkah akan malunya!
"Siang-mo, kita maju bareng dan tangkap dia!" katanya marah. Dua orang kawannya itu menyanggupi dan cepat-cepat mereka mengejar kakek itu yang kini larinya biarpun masih cepat, namun sudah terhuyung-huyung, napasnya empas-empis dan mukanya penuh keringat menahan nyeri yang hebat.
Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kali ini ia takkan dapat tertolong lagi. Dia tidak perduli lagi. Dia tidak perdulikan keselamatan sendiri. Aku sudah tua, pikirnya, tidak penasaran mati dalam pengeroyokan Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, akan tetapi sayang kalau Han Sin sampai tewas. Dia adalah harapan kita untuk memimpin orang-orang gagah kelak......
Pada saat itu, secara tiba-tiba saja muncullah dari sebuah tikungan seorang laki-laki gendut menuntun dua ekor kuda yang besar lagi kuat. Ciu-ong Mo-kai melihat bahwa orang itu yang menyeringai aneh bukan lain adalah..... Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng si tukang catut! Biarpun kakek pengemis ragu-ragu akan diri Raja Swipoa itu, namun ia cepat menghampiri dan berkata,
"Lekas...... kau selamatkan dia ini....... aku tak kuat lagi......."
Lie Ko Sianseng cepat menerima tubuh Han Sin, akan tetapi ia tidak lupa untuk memandang cerdik dan bertanya, "Berapa upahnya?"
Mau tak mau Ciu-ong Mo-kai melotot kepadanya. "Tukang catut sialan! Nyawaku upahnya!"
Lie Ko Sianseng biarpun bicara namun ia tidak membuang waktu. Ia sudah meloncat ke atas kuda sambil mengempit tubuh Han Sin. "Pengemis bangkotan, nyawamu dan doamu supaya aku selamat. Pakai kuda ini!"
Ciu-ong Mo-kai yang sudah lelah sekali meloncat ke atas punggung kuda kedua dan sekali tepuk saja dua ekor kuda itu sudah meloncat dan berlari cepat. Akan tetapi, melihat dua orang buronan mereka kabur, Hoa Hoa Cinjin tentu saja tidak mau membiarkan. Terpaksa sekarang ia melanggar pantangan Pangeran Galdan dan secepat kilat ketika tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke arah Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng.
"Lie Ko Sianseng, kaupun menjadi pengkhianat?" Ji Kong Sek, orang pertama dari Tung-hai Siang-mo berseru terheran-heran. Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng sudah lama membantu Mongol, malah dipercaya oleh Pangeran Galdan. Kenapa sekarang menolong Ciu-ong Mo-kai?
Melihat sinar hijau menyambar, Ciu ong Mo-kai yang kudanya berada di belakang, cepat mengebutkan tangan kiri ke arah Lie Ko Sianseng. Ia berhasil menyampok runtuh sinar hijau ini, akan tetapi sinar hijau yang tertuju ke arah dirinya tak sempat ia elakkan lagi. Bawah pundak kirinya tertancap beberapa buah Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang terus memasuki daging dan jalan darah.
Rasa nyeri yang hebat menyerang diri Ciu-ong Mo-kai. Kakek ini menggigit bibirnya dan berkata kepada Lie Ko Sianseng. Menahan rasa nyeri,
"Lekas balapkan kuda, bawa dia kepada Yok-ong Phoa Kok Tee....... di........"
"Aku tahu. Di Tai-hang-san, bukan?" jawab Lie Ko Sianseng yang segala tahu itu.
"Betul..... biar aku menahan mereka, tosu-tosu bangsat itu......"
"Ciu-ong....... mari kau ikut lari. Kau sudah terluka hebat, kau takkan menang, kau akan mati......"
"Ha ha ha, apakah artinya mati? Membantu Mancu atau Mongol hanya main-main belaka, akan tetapi kali ini... menyelamatkan dia... hemm, sama dengan menyelamatkan bangsa, dia harapanku.... dan untuk menyelamatkan bangsa, untuk membela tanah air.... aku ingin mati seribu kali...."
Tiba-tiba Ciu-ong Mo-kai menampar tubuh belakang kuda yang ditunggangi oleh Lie Ko Sianseng. Kuda itu terkejut, kesakitan dan membalap secepat keempat kakinya mampu lari! Adapun Ciu-ong Mo-kai sendiri lalu memutar kuda, menanti datangnya tiga orang pengeroyoknya. Dengan senyum mengejek ia menanti sampai mereka dekat, lalu berkata,
"Kalian mau tangkap aku? Tangkaplah. Akan tetapi jangan mengejar Lie Ko Sianseng, kalau kalian mengejar, terpaksa aku melawan kalian sampai mati di tangan kalian. Hasilnya, kalian takkan dapat menangkap Han Sin, juga kalian takkan dapat menangkapku hidup-hidup sehingga kalian akan dihukum oleh Pangeran Galdan. Ha ha ha!"
Hoa Hoa Cinjin dan dua orang kawannya saling pandang. Mereka tahu bahwa biarpun sudah terluka hebat, kakek pengemis ini masih tak boleh dipandang ringan dan kalau benar-benar hendak menghalang mereka bertiga mengejar Han Sin, tentu akan terjadi pertempuran lagi. Pula, kuda yang ditunggangi Lie Ko Sianseng luar biasa cepat larinya, tak mungkin mereka yang sudah lelah itu dapat menyusulnya.
"Pangeran akan menyiksamu!" Hanya demikian Hoa Hoa Cinjin dapat berkata untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Mereka bertiga lalu kembali ke Yin-san membawa "tawanan" yang menunggang kuda sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang bernyanyi-nyanyi sajak To-tik-keng untuk menyindir tiga orang "pengawal" itu.
Ketika mereka berempat itu tiba di kaki Gunung Yin-san, terkejutlah mereka melihat betapa di lereng tempat markas besar Pangeran Galdan itu ternyata telah terjadi perang hebat. Nampak asap bergulung-gulung naik dan sorak-sorai gemuruh menandakan bahwa ada pihak yang menang. Pihak mana yang kalah mudah diduga karena markas besar itu telah menjadi lautan api! Bukit itu penuh dengan pasukan dan kini nampaklah nyata betapa pasukan Mongol cerai-berai dan lari turun gunung dari segala jurusan, dikejar-kejar oleh pasukan-pasukan yang bukan lain adalah pasukan Mancu!
Ciu-ong Mo-kai yang melihat ini tiba-tiba tertawa bergelak lalu meloncat dari kudanya dan sekuat tenaga ia menghantam dada Hoa Hoa Cinjin! Kakek ini tadi sedang terheran-heran dan terkejut melihat peristiwa hebat di atas gunung, maka kini dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia diserang secara tiba tiba oleh Ciu-ong Mo-kai.
Cepat ia mengelak dan menangkis, akan tetapi terlambat dan tentu ia akan terkena pukulan maut itu apabila dua orang saudara Tung-hai Siang-mo tidak bertindak cepat. Dua orang saudara ini melihat Ciu-ong Mokai meloncat turun, sudah dapat menduga bahwa kakek ini akan melawan, maka mereka lalu menyerang dari kanan kiri menggunakan senjata rahasia Toat-beng-cui (semacam bor pencabut nyawa).
Senjata-senjata ini datang lebih cepat dari pada pukulan Ciu-ong Mo-kai pada Hoa Hoa Cinjin, maka sebelum pukulan itu mengenai tubuh Hoa Hoa Cinjin, kakek pengemis yang sakti ini telah lebih dulu "termakan" senjata rahasia dan terhuyung-huyung, Hoa Hoa Cinjin marah sekali, tangannya bergerak menghantam dada dan...... robohlah Ciu-ong Mo-kai dengan isi dada remuk. Nyawanya melayang pada saat ia roboh.
Hoa Hoa Cinjin bertiga lalu berlari lari cepat mendaki bukit. Benar saja kekhawatiran mereka. Ternyata markas besar tentara Mongol itu telah diserbu secara tiba-tiba oleh barisan Mancu. Hal ini benar-benar amat mengherankan. Bagaimana bala tentara Mancu sampai bisa muncul secara tiba-tiba di situ tanpa dapat diketahui lebih dahulu?
Sebetulnya hal ini adalah jasa dari "dua peti batu" yang dulu dibawa oleh Han Sin. Batu-batu itu setelah diatur oleh Pangeran Yong Tee, merupakan sebuah peta yang menggambarkan kedudukan tentara Mongol di Yin-san, bahkan semua tempat-tempat di mana ditaruh barisan pendam dan tempat-tempat penjagaan para penyelidik Mongol, terdapat dalam peta itu! Karena inilah maka menurutkan petunjuk peta, Pangeran Yong Tee berhasil menyelundupkan bala tentaranya yang besar dan kuat sampai ke kaki Gunung Yin-san dan melakukan penyerbuan serentak.
Hoa Hoa Cinjin dan kawan-kawannya ikut pula mengamuk, akan tetapi akhirnya mereka harus melindungi Pangeran Galdan dan bersama tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi, di antaranya Pak-thian-tok Bhok Hong, mereka terpaksa lari turun gunung mengambil jalan belakang. Di antara rombongan yang berhasil melarikan diri ini terdapat Hoa-ji, si gadis berkedok, anak angkat Hoa Hoa Cinjin.
Bala tentara Mancu yang memperoleh kemenangan besar lalu mengadakan pembersihan dan pengejaran sehingga boleh dibilang bala tentara Mongol yang tadinya amat kuat, kini sudah cerai-berai merupakan kelompok-kelompok pasukan yang tidak ada artinya, terlepas dari pada induk pasukan, tidak memliki pimpinan lagi.
Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng membalapkan kudanya tak pernah berhenti. Akhirnya, menjelang senja, kudanya terjungkal roboh dan..... mati. Baiknya kakek gendut ini cukup sigap untuk melompat turun sebelum ia ikut terguling, sambil mengempit tubuh Han Sin. Ia menarik napas lega ketika mendapatkan dirinya sudah berada dekat dengan Bukit Tai-hang-san yang dituju. Sudah cemas hatinya kalau melihat keadaan Han Sin. Pemuda ini sepucat mayat, napasnya lemah hampir berhenti, tubuhnya sudah dingin!
Lie Ko Sianseng yang maklum bahwa ia tidak boleh, lambat-lambatan, memaksa tubuhnya yang gendut dan sudah lelah itu untuk berlari cepat mendaki Bukit Tai hang-san. Dia tahu di mana tempat tinggal Yok-ong Phoa Kok Tee si Raja Obat. Tidak ada tempat kediaman tokoh kang-ouw yang tidak diketahui oleh Raja Swipoa ini.
Kebetulan sekali si Raja Obat, Yok-ong Phoa Kok Tee, berada di atas bukit itu, tidak sedang pergi berkelana. Tokoh kang-ouw yang kenamaan ini memang semenjak terjadi perang antara Mongol dan Mancu, tidak meninggalkan tempat kediamannya. Dia sendiri tidak mau mencampuri perang antara dua bangsa asing itu, akan tetapi ia tidak keberatan, malah menganjurkan ketika muridnya, Phang Yan Bu menghadap dan minta ijin untuk ikut menggempur Mongol yang merupakan bahaya besar yang mengancam keselamatan rakyat.
Ketika Yok-ong Phoa Kok Tee melihat bahwa orang yang terluka parah yang dibawa Lie Ko Sianseng adalah Cia Han Sin, cepat-cepat ia memeriksanya. Setelah meraba nadi, memeriksa dada dan membuka pelupuk mata yang terpejam itu, kakek ini mengerutkan keningnya, lalu menggeleng-geleng kepala.
"Hebat.... memang keji Pak-thian-tok, bekas tangannya mengerikan...."
Lie Ko Sianseng nampak gelisah. "Yok-ong kau tolonglah dia.....ini pesanan terakhir Ciu-ong Mo-kai dan aku sendiri, aku amat suka orang muda ini. Berapa ongkos pengobatannya sampai sembuh, aku bersedia menguras semua milikku untuk memberikannya kepadamu."
Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum. "Orang seperti kau ini, Swi-poa-ong, di sorga atau neraka sekalipun tentu akan berusaha membujuk penjaga-penjaga di sana untuk menuruti kehendakmu dengan cara menyogok!"
Merah muka Swi-poa-ong. "Sesukamulah kau mengatakan, akan tetapi dia ini bukan sanak bukan kadang kita semua. Meskipun begitu, Ciu-ong Mo-kai sudah rela mengorbankan nyawa untuknya. Akupun sudah menyaksikan kepandaiannya dan kegagahannya, dia inilah harapan kita kaum tua. Terserah kepadamu kausuka mengobati atau tidak, aku hendak kembali mencari si Raja Arak....... eh, setidaknya mencari jenasahnya untuk diurus....."
Yok-ong Phoa Kok Tee tidak menjawab, hanya memandang bayangan yang gendut itu sambil menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Banyak manusia aneh di dunia ini, manusia aneh yang sukar diduga wataknya, yang kadang-kadang kelihatan jahat tapi kadang-kadang membayangkan watak manusia sejati, seperti Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng itu. Teringatlah ia akan muridnya yang terkasih, Phang Yan Bu dan kembali kakek ini menarik napas panjang sambil menggerutu,
"Semua orang mengaku patriot.... semua orang ingin bertindak sebagai patriot...." Ia maklum bahwa memang pada dasar hati setiap orang yang berbangsa dan bertanah air, sudah ada watak patriotik ini, watak cinta nusa bangsa, berbakti kepada tanah air.
Seperti juga pada dasar hati setiap orang memang sudah ada watak cinta orang tua, berbakti kepada orang tua. Akan tetapi, tebal tipisnya cinta dan bakti ini, baik kepada tanah air maupun kepada orang tua, tergantung kepada tebal tipisnya orang itu mencintai diri sendiri. Makin tebal cintanya kepada diri sendiri, makin tipislah cintanya kepada yang lain. Namun demikian, setiap sikap, setiap tindakan yang menyatakan jiwa patriotik memang amat mengagumkan, amat mengharukan.
Yok-ong Phoa Kok Tee memandang tubuh Han Sin yang terlentang di atas tanah di hadapannya. Pemuda yang hebat, pikirnya. Keturunan seorang pahlawan besar. Masih begini muda sudah mewarisi ilmu yang amat tinggi. Hal ini sudah ia ketahui karena pernah ia bertemu dan menyaksikan kelihaian Han Sin beberapa waktu yang lalu.
"Dia masih begini muda..., dan aku sudah amat tua.... apa salahnya kalau aku tolong dia, biarpun harus menukar nyawa?"
Dengan keputusan bulat kakek raja obat itu lalu mengangkat tubuh Han Sin, mendudukkan tubuh yang masih pingsan itu di bawah sebatang pohon, dan menyandarkannya di pohon itu. Kemudian Yok-ong yang tadi ketika bertemu dengan Lie Ko Sianseng sedang membawa sebuah pikulan keranjang obat, mengeluarkan beberapa bungkus obat dari keranjangnya.
Tubuh Han Sin yang luka-luka lalu diobati, ada yang sengaja ia buka kulitnya dengan pisau untuk mengeluarkan darahnya. Han Sin sama sekali tidak merasa apa-apa, masih tetap pingsan. Akan tetapi, setelah banyak darah yang terkena racun dikeluarkan, wajahnya mulai bersinar kembali.
"Hebat......" terdengar Yok-ong bicara seorang diri penuh kekaguman, "Hek-tok dan Cheng-tok (Racun Hitam dan Hijau) yang amat berbahaya tertahan saja di bawah kulit tidak dapat menjalar, benar benar luar biasa! Darah orang muda ini mengandung sesuatu yang dahsyat."
Ia memeriksa lagi dengan amat teliti. "Hemmm, semua tenaganya berkumpul di dada dan perut, melindungi semua isinya...... tenaga sinkang yang gaib berputaran terus...... amat kuatnya sehingga melumpuhkan semua syaraf....." Kakek itu bicara terus, kadang-kadang terdengar, kadang-kadang tidak, keningnya berkerut. Kemudian ia merasa puas dengan pemeriksaannya dan mundur sambil berkata,
"Cia Han Sin, tidak ada lain jalan. Hanya It-yang-ci (Totokan Satu Jari) yang akan dapat membuka lubang hawa yang tertutup sehingga hawa sinkang dapat pulih dan menyembuhkan hawa beracun yang membekukan semua syarafmu."
la menarik napas panjang lalu duduk bersila tak jauh dari Han Sin. Kakek ini maklum bahwa ilmu totok It-yang-ci yang dimilikinya adalah ilmu yang luar biasa dan sekali dipergunakan untuk menolong nyawa Han Sin, mungkin sekali hal itu berarti akan mengorbankan nyawa sendiri, atau setidaknya merusak sumber sinkang di dalam tubuhnya sendiri. Hanya dengan pengerahan tenaga dalam yang luar biasa menggunakan It-yang-ci ia akan dapat menyembuhkan pemuda ini. Dan sekali sumber sinkang di tubuhnya rusak oleh pengerahan tenaga yang berlebihan ini, kepandaiannya akan lenyap pula.
Yok-ong menenteramkan batinnya, mengumpulkan semangat dalam samadhi. Setelah merasa diri kuat betul-betul, ia membuka mata dan tiba-tiba meloncat berdiri. Sepasang matanya memancarkan cahaya berapi, topinya yang lebar terlepas di atas tanah. Dengan gerakan lambat ia melonggarkan, semua ikatan pakaiannya, malah membuka baju sehingga ia bertelanjang sebatas perut.
Kemudian kakek ini mengeluarkan suara aneh dan tubuhnya bergerak cepat sekali menotok dengan jari telunjuk kanannya ke arah leher Han Sin. Totokan ini disusul oleh telunjuk kiri yang menotok ke arah ulu hati. Kemudian disusul totokan-totokan yang amat cepat, bertubi-tubi dan dilakukan dengan kecepatan yang membuat tubuh kakek itu seakan-akan tampak menjadi empat lima orang! Makin lama makin cepat totokan totokan itu dilakukan dan mulailah terdengar napas terengah-engah dari kakek itu.
Seperti juga pada permulaannya yang tiba-tiba, kakek itu tiba-tiba menghentikan totokan-totokannya. Ia nampak pucat, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, napasnya terengah-engah seperti hendak putus. Ia masih berdiri dalam sikap bersilat, matanya masih tajam menatap tubuh Han Sin. Babak pertama dari usaha penyembuhan dengan It-yang-ci sudah ia lakukan.
Lalu perlahan-lahan kakek ini duduk bersila lagi, meramkan mata dan bersamadhi, mengumpulkan tenaga dan mengatur napas. Ada setengah jam ia duduk diam, kemudian ia meloncat bangun lagi dan untuk kedua kalinya ia "menyerang" Han Sin bertubi-tubi dengan totokan It-yang-ci. Masih cepat seperti tadi penyerangannya, hanya bedanya, kalau tadi ia menggunakan tenaga Im-kang sehingga totokannya itu biarpun cepat kelihatannya tidak memakai tenaga.
Padahal sebenarnya pengerahan tenaga dalam kali ini jauh lebih berat dari pada tadi! Sebentar saja napasnya sudah terdengar seperti kerbau disembelih dan ketika tiba-tiba bayangan tubuhnya yang berkelebatan itu berhenti, mukanya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan dari muka dan dadanya keluar keringat besar-besar. la berdiri meramkan mata, mengatur napas.
Ada perubahan pada diri Han Sin. Pemuda ini mengeluarkan rintihan perlahan, tubuhnya bergerak-gerak sedikit, pelupuk matanya terbuka. Biarpun Yok-ong sendiri meramkan mata, namun ia dapat menangkap gerakan pemuda itu, maka dengan suara lirih seperti orang berbisik, lemah sekali, ia berkata,
"Jangan bergerak......"
Han Sin mengerling ke arah kakek itu dan otaknya yang cerdas segera dapat menangkap apa yang sedang terjadi. Sinar matanya penuh keharuan dan terima kasih. Di dalam kitab Thian-po-cin-keng ia merasa pernah membaca tentang penyembuhan secara ini, dan ia maklum pula bahwa usaha ini akan mendatangkan bencana kepada Yok-ong!
Hanya sebentar saja ia dapat menggunakan pikirannya karena tiba-tiba kepalanya pening sekali dan ia tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Hal ini adalah karena yang sudah terbuka hanya jalan-jalan hawa di tubuh, sedangkan urat-urat syaraf yang menuju ke kepala masih tertutup oleh hawa beracun yang tadinya menyerang dari banyak luka di tubuhnya.
Sampai satu jam kali ini Yok-ong duduk diam, bersila sambil memulihkan tenaganya. Kemudian ia berdiri, tidak meloncat seperti tadi, melainkan perlahan sekali. Namun tubuhnya mengejang, dan setiap gerakannya mengeluarkan bunyi berkerotokan di tulang-tulangnya, matanya bersinar tajam menakutkan bahkan rambut kepalanya ada sebagian yang berdiri.
Dengan langkah perlahan sekali ia menghampiri Han Sin, kemudian dengan gerakan amat lambat dan perlahan kelihatannya namun sesungguhnya mengandung tenaga yang berlipat kali lebih dahsyat dari pada babak pertama dan ke dua tadi, kakek raja obat itu menotok dengan jari-jari telunjuk kanan kiri bergantian ke arah leher, pelipis, dan ubun-ubun kepala Han Sin!
Setelah menotok dua puluh tujuh kali, keadaan kakek ini makin lama makin lemah, akhirnya selesai juga ia melakukan pengobatannya, tubuhnya limbung terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi mulutnya tersenyum lalu terdengar suaranya,
"Sembuh.... sembuh.... sembuh...." Ia roboh terguling dan muntahkan darah sambil duduk bersila.
Han Sin merasa betapa hawa murni di tubuhnya sudah berjalan normal kembali, malah dengan hawa sinkangnya ia dapat mengusir semua sisa racun yang menguasai kulit dan urat-urat tubuhnya. la membuka mata dan melihat keadaan Phoa Kok Tee, ia mengeluarkan seruan kasihan dan cepat ia meloncat menghampiri. Yok-ong masih duduk bersila, pangkuan dan bibirnya penuh darah yang tadi ia muntahkan, napasnya senin kemis dan mukanya pucat, tubuhnya menggigil.
Han Sin menitikkan dua butir air mata. Orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dia, bukan sanak, bukan kadang, bukan pula sahabatnya telah rela mengorbankan diri untuk menolongnya. Bukan main besarnya budi ini.
Pemuda itu lalu duduk bersila pula di belakang Phoa Kok Tee menempelkan telapak tangannya kepada punggung kakek itu untuk mengisi tubuh orang dengan hawa sinkangnya yang disalurkan melalui kedua telapak tangan. Berkat pelajaran Thian-po-cin-keng di dalam tubuh pemuda ini memang terkandung hawa sinkang yang luar biasa.
Yok-ong merasa betapa dari punggungnya muncul semacam hawa hangat yang membangkitkan kembali sumber tenaga lweekangnya yang sudah habis, maka ia dapat menggunakan kembali tenaga yang sudah amat lemah di dalam tubuhnya itu untuk meratakan jalannya napas.
Ia menarik napas panjang dan tahu bahwa pemuda itu yang kini membalasnya, menolongnya terhindar dari pada kematian. Namun, iapun maklum bahwa sejak saat itu ia sudah kehilangan kepandaiannya, menjadi orang biasa yang hanya akan dapat mengobati orang dengan daun-daun dan akar-akar obat. Tak dapat lagi menggunakan ilmu It-yang-ci, tak dapat lagi mengerahkan tenaga dalam.
Yok-ong membuka matanya, menoleh dan tersenyum. "Cukuplah, aku tidak akan mati....., dan kau sudah sembuh........"
Han Sin cepat bangun, lalu melangkah ke depan kakek itu, cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Locianpwe telah menolong nyawaku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri. Budi sebesar ini sampai matipun aku Cia Han Sin takkan melupakan dan bagaimana aku dapat membalasnya?"
Phoa Kok Tee tersenyum pahit. "Siapa bilang bahwa aku mengobatimu karena ingin dibalas?"
"Tentu tidak, karena in-jin (tuan penolong) memang seorang yang berwatak mulia. Akan tetapi, locianpwe telah kehilangan kepandaian, malah hampir kehilangan nyawa, bagaimana aku dapat berhati lega lagi kalau tidak berusaha membalas budi. Katakanlah, locianpwe, budi apakah yang dapat kulakukan kepadamu untuk membalasmu? Kalau locianpwe tidak mau memberi petunjuk, biarlah selama hidupku aku mengabdi kepada locianpwe untuk membalas budi, akan kurawat dan kulayani locianpwe......"
"Hush, bocah gila! Siapa sudi dengan pelayananmu? Pula, bukan aku yang menolongmu, melainkan Lie Ko Sianseng. Dialah yang membawamu dalam keadaan pingsan ke tempat ini. Si Raja Swipoa itulah yang menolong nyawamu, karena kalau tidak dia menolongmu, pasti kau takkan bernyawa lagi sekarang sudahlah, lekas kaupergi dari sini, jangan mengganggu aku lagi!"
Akan tetapi Han Sin tidak mau bangun dari situ, tetap berlutut di depan Yok-ong. "Biarlah locianpwe akan membunuhku, aku takkan pergi meninggalkan locianpwe kecuali kalau locianpwe memberi perintah sesuatu untuk dapat kulaksanakan sebagai pembalasan budi."
YOK-ONG menarik napas panjang. "Hemmm, berkepandaian atau tidak apa sih artinya bagiku. Mati atau hidup apa pula bedanya bagi seorang yang sudah setua aku? Akan tetapi, karena kau memaksa, baiklah. Kau pergilah menghadap Pek Sin Niang-niang yang kini bertapa di Gobi-san. Beliau adalah guruku dalam hal pengobatan. Kalau kau berhasil memintakan petunjuk kepadanya untuk penyembuhanku karena penggunaan It-yang-ci tadi, berarti kau sudah membalasku dan menyembuhkan aku kembali. Akan tetapi jangan kaukira akan mudah menjumpai Pek Sin Niang-niang. Beliau sudah menjadi manusia setengah dewa dan Pegunungan Gobi adalah tempat yang amat luas. Tidak mudah mencarinya......."
"Aku akan mencarinya sampai dapat!" Setelah berkata demikian, baru Han Sin mau bangun.
Yok-ong Phoa Kok Tee lagi-lagi tersenyum, lalu kakek inipun bangkit berdiri dengan perlahan dan lemah. Diambilnya topi dan pakaiannya, dipakainya semua itu dengan gerakan lemah, gerakan seorang petani tua biasa, kemudian Dipikulnya keranjang-keranjang obatnya dan dengan langkah gontai ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan Han Sin yang berdiri memandang dengan hati penuh keharuan.
"Manusia budiman........ dia inikah yang oleh Nabi Khong Cu disebut kuncu? Betul Yok-ong Phoa Kok Tee inilah orang yang patut disebut seorang kuncu, bukankah Nabi Khong Cu pernah bersabda bahwa:
"Seorang Budiman berhati penuh cinta kasih terhadap sesama manusia, tidak mau mencari keuntungan diri sendiri dengan jalan merusak cinta kasihnya itu, sebaliknya malah rela mengorbankan diri sendiri demi cinta kasihnya terhadap sesama manusia."
Demikian Han Sin berkata di dalam hatinya penuh kagum. Kakek itu menderita karena dia, kehilangan kepandaiannya, malah mungkin pengerahan lweekang yang dahsyat dalam menggunakan Ilmu It-yang-ci tadi berakibat lebih hebat lagi, yaitu melukainya. Mungkin sekali kalau tidak mendapat obat yang cocok, kakek itu akan menderita sakit dan tewas!
Kagetlah hati Han Sin ketika jalan pikirannya sampai di sini. Dia telah menolongku, bagaimana aku dapat berpeluk tangan saja melihat dia menderita? Harus kucarikan obatnya, pada Pek Sin Niang-niang, sekarang juga. Urusan lain boleh ditunda!
Keputusan dalam hati dan pikiran Han Sin ini membuat pemuda itu cepat meninggalkan tempat itu, langsung menuju ke Pegunungan Go-bi-san di utara untuk mencari Pek Sin Niang-niang. Dalam perjalanan ini, di sepanjang perjalanan ia mendengar tentang kekalahan yang diderita oleh pihak Mongol.
Diam-diam ada juga kelegaan dalam hati Han Sin karena bukankah kemenangan pihak Mancu berarti selamatnya orang-orang yang dekat dengannya seperti Bi Eng, Li Hoa, Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain? Juga kalau ditimbang-timbang, andaikata kedua pihak, Mongol dan Mancu, berperang bukan karena berebutan tanah airnya, tentu ia seratus persen akan berdiri di pihak Mancu!
Baru membandingkan pribadi Bhok-kongcu sebagai wakil Mongol dan pribadi Yong Tee sebagai wakil Mancu saja, tidak sukar bagi Han Sin untuk memilih. Sayangnya kedua pihak itu perang karena memperebutkan Tiongkok, inilah yang menjengkelkan hati Han Sin dan membuat pemuda itu tidak mau mencampurinya.
Pegunungan Go-bi-san memang merupakan daerah yang amat luas, penuh dengan gunung dan padang pasir. Han Sin yang masih lemah tubuhnya karena baru saja sembuh dari pada luka-luka hebat, melakukan perjalanan yang amat sukar. Namun semua ini ia tempuh dengan senang, malah ia melakukan dengan tergesa-gesa karena ingin lekas-lekas bisa bertemu dengan pertapa wanita itu untuk mintakan obat bagi Yok-ong Phoa Kok Tee.
Kalau ia teringat akan Lie Ko Sianseng, iapun tersenyum. Ternyata banyak juga manusia baik di dunia ini. Benar-benar tak pernah disangkanya. Lie Ko Sianseng yang tadinya ia sangka licin, cerdik dan penuh tipu muslihat busuk, ternyata malah menolongnya seperti yang diceritakan oleh Yok-ong. Bagaimanakah Lie Ko Sianseng dapat menolongnya? Seingatnya, ia tertawan oleh Pak-thian-tok Bhok Hong, bagaimana tahu-tahu ia bisa dibawa oleh Lie Ko Sianseng kepada Yok-ong untuk diobati?
Pada suatu senja, ia memasuki sebuah kampung atau bekas tempat perkemahan bangsa Mongol yang sudah kosong. Agaknya tentara Mancu sudah sampai di tempat ini dan mengusir penduduknya, buktinya ada bekas-bekas pertempuran di kampung ini, dan bekas-bekas kebakaran. Lumayan juga tempat ini untuk bermalam, pikir Han Sin, dari pada tidur di tempat terbuka. Ia menghampiri sebuah bangunan sederhana yang masih utuh, dengan maksud bermalam di tempat itu. Sudah jelas bahwa tempat ini tidak ada manusianya lagi.
Akan tetapi, ketika ia membuka daun pintu rumah itu, ia mendengar suara orang mengerang kesakitan. Cepat ia melompat masuk dan di antara meja kursi yang malang-melintang, ia melihat tubuh seorang laki-laki dan sekali pandang saja maklumlah Han Sin bahwa orang ini sudah tak ada harapan disembuhkan lagi. Cepat ia berlutut di dekat orang itu dan....
"Lie Ko Sianseng......! Ah, bagaimana kau sampai menjadi begini........?"
Lie Ko Sianseng membuka matanya. Mulut yang tadinya berkerinyut menahan sakit itu tiba-tiba tersenyum lebar ketika ia melihat Han Sin.
"Kau..... kau sudah sembuh.......? Bagus...... tidak sia-sia..... Ciu-ong mengorbankan nyawa untukmu......." Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan amat susah payah, kakek gendut itu pingsan.
Hati Han Sin berdebar tidak karuan. Apa artinya Ciu-ong Mo-kai berkorban nyawa untuknya? "Lie Ko Sianseng......" la mencoba menyadarkan kakek gendut itu namun sia-sia belaka.
Kurang lebih satu jam kemudian, keadaan Lie Ko Sianseng payah sekali, akan tetapi ia siuman kembali, bibirnya bergerak-gerak. Han Sin mendekatkan telinganya ke bibir kakek itu.
"........ adikmu dibawa........ dia......."
Terkejut sekali Han Sin. "Dibawa siapa?"
"Bhok-kongcu...."
"Siapa membunuh Ciu-ong Mo-kai....?"
"..... Bhok-kongcu...."
"Siapa melukaimu sampai begini?"
".... Bhok-kongcu...." Tak kuat lagi Lie Ko Sianseng menahan, tubuhnya mengejang dan di lain saat nyawanya sudah melayang keluar dari tubuhnya.
Han Sin mengertak giginya sampai berbunyi. Dapat ia membayangkan sekarang. Tentu ketika ia tertawan oleh Bhok Hong, ia dibawa ke tempat Bhok-kongcu. Kemudian, entah cara bagaimana, muncul Ciu-ong Mo-kai, mungkin bersama Lie Ko Sianseng, menolongnya. Ciu-ong terbinasa dalam usaha ini oleh Bhok-kongcu dan Lie Ko Sianseng berhasil mengantarnya ke tempat Yok-ong. Sekarang Lie Ko Sianseng bertemu dengan Bhok-kongcu dan dilukai sampai tewas pula. Dan Bi Eng.... Bi Eng juga dibawa Bhok-kongcu.
"Awas kau, Bhok Kian Teng! Sekali ini kalau aku bertemu denganmu, sebelum membalas dendam orang-orang ini, aku tidak mau sudah!"
Dengan hati penuh keharuan dan dendam Han Sin mengubur jenasah Lie Ko Sianseng. Seorang patriot, pikirnya. Seperti juga Ciu-ong Mo-kai. Biarpun dalam kehidupan sehari-hari merupakan seorang pedagang yang kadang kala kelihatan licik dan curang dalam mengejar untung, namun tiba saatnya tidak segan untuk mengorbankan nyawa untuk menolong bangsa sendiri dari tangan kaum penjajah.
Mungkin pendirian Lie Ko Sianseng mengenai peperangan antara Mancu dan Mongol sama dengan pendirian Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain, hanya bedanya kalau Ciu-ong Mo-kai sengaja membantu Mancu agar Mongol cepat hancur, sedangkan Lie Ko Sianseng bekerja untuk kedua belah pihak, mempermainkan mereka dan mengadu mereka ke arah kehancuran bersama, kehancuran dua bangsa penjajah, musuh-musuhnya!
Setelah selesai mengubur jenasah itu, ia memberi penghormatan terakhir. "Lie Ko Sianseng, harap kau mengaso tenang, akulah yang akan membalaskan kejahatan Bhok Kian Teng," katanya seperti sumpah.
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke Go-bi-san. Kalau Han Sin teringat akan Ciu-ong Mo-kai, makin besar kemarahannya kepada Bhok-kongcu, dan juga besar penyesalannya kalau ia mengingat betapa dalam pertemuan terakhir dengan bekas gurunya, ia berselisih dengan kakek pengemis sakti itu.
Han Sin melakukan perjalanan cepat karena ia selain ingin segera bertemu dengan Pek Sin Niang-niang untuk mintakan obat Yok-ong Phoa Kok Tee, juga ia ingin mengejar Bhok Kian Teng. Lie Ko Sianseng baru saja dilukai orang itu, tentu Bhok Kian Teng belum lari jauh. Biarpun tubuhnya masih agak lemah dan belum pulih kembali seluruh tenaganya, namun untuk menghadapi Bhok Kian Teng saja ia masih sanggup.
Tiga hari kemudian, sampailah ia dilereng Gunung Go-bi-san, sebuah di antara puncak yang terbesar, penuh dengan batu-batu yang aneh bentuknya. Dari bawah tadi ia sudah melihat bayangan orang berlari-lari ke atas, kadang-kadang kelihatan hanya seorang, kadang-kadang ada dua dan tiga orang.
Ia mempercepat larinya dan akhirnya pada siang hari itu dapatlah ia menyusul. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika ia melihat Bhok Kian Teng dan seorang gadis yang bukan lain orang adalah Bi Eng sendiri! Bhok Kian Teng nampak kurus dan pucat, pakaiannya sudah kotor dan di tangannya pemuda ini membawa sepasang siang-kek (sepasang tombak pendek) yang agak aneh bentuknya, satu panjang dan satu pendek. Bi Eng juga nampak pucat dan kusut rambut dan pakaiannya, seperti orang sedang dalam susah.
Yang membuat Han Sin terheran heran adalah sikap gadis ini terhadap Bhok Kian Teng. Sama sekali tidak kelihatan seperti seorang tawanan, melainkan seperti seorang sahabat pemuda itu. Mereka bercakap-cakap sambil berjalan, akhirnya kelihatan mereka duduk mengaso di bawah batu karang yang mendoyong untuk berlindung dari terik panas matahari siang. Dan mereka duduk bersanding sambil bercakap-cakap, nampaknya dalam suasana bersahabat!
Timbul cemburu yang hebat dalam hati Han Sin, membuat ia menjadi makin membenci Bhok Kian Teng. Ia mempercepat larinya dan begitu tiba di tempat itu, ia segera membentak,
"Bhok Kian Teng manusia keji, bersiaplah kau menerima binasa!"
Pangeran Mongol itu nampak kaget bukan main, wajahnya yang pucat menjadi makin pias, dan cepat ia meloncat bangun. Ia maklum bahwa tidak ada gunanya bicara lagi dengan Han Sin, tidak ada gunanya mencoba untuk menggunakan akal membujuknya supaya berdamai. Pemuda Mongol ini memberi tanda dengan bersuit keras dan tahu-tahu dari balik batu tinggi itu muncul seorang manusia yang membuat Han Sin menjadi kaget dan heran bukan main.
Orang itu tinggi sekali, hampir dua kali orang biasa, kurus kelihatannya seperti tengkorak saking tingginya. Tanpa banyak cakap si tinggi ini menyerang Han Sin dengan dua tangannya yang berlengan panjang sekali. Han Sin cepat mengelak, akan tetapi kedua lengan itu seperti dapat mulur panjang, terus mengejarnya dengan pukulan yang amat keras. Han Sin cepat menangkis dengan lengannya.
"Plakk!" Terkejutlah Han Sin ketika mendapat kenyataan bahwa kesehatannya belum pulih benar sehingga pertemuan lengan ini membuat ia hampir terpelanting, biarpun ia melihat orang tinggi itupun kaget dan gempur kuda-kuda kakinya. Han Sin bukan gentar karena si tinggi itu bertenaga besar, akan tetapi gelisah karena merasa bahwa tenaganya sendiri baru pulih setengah bagian saja. Andaikata ia tidak selemah ini, tentu sekali tangkis ia sanggup membikin si tinggi terlempar.
Sementara itu, Bhok Kian Teng tidak tinggal diam. Sambil tersenyum mengejek ia lalu menggerakkan sepasang senjatanya yang aneh, melakukan serangan kilat yang bertubi-tubi, Han Sin kembali mengelak sambil berusaha merobohkan pangeran Mongol itu. Namun si tinggi tidak memberi kesempatan, ia maju dengan serangan serangan susulan yang terpaksa menuntut seluruh perhatian Han Sin. Kakek tinggi itu benar-benar lihai dan dia sendiri belum pulih kekuatannya, maka sebentar saja Han Sin terdesak oleh Bhok-kongcu dan pembantunya yang aneh.
Selagi Han Sin kerepotan, tiba-tiba ia berseru kaget dan wajahnya pucat. Apa sebabnya? Ia melihat Bi Eng mencabut pedang, meloncat ke dalam pertempuran dan........ menyerang dia dengan tusukan tusukan hebat menggunakan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng yang telah dilatihnya di Min-san, yaitu tiga jurus yang amat berbahaya. Hampir saja ujung pedang Bi Eng menembus dadanya biarpun Han Sin sudah mengelak, tetap saja bajunya di bagian dada tertusuk bolong oleh pedang itu saking hebatnya jurus Heng-pai Kwan Im yang dimainkan oleh Bi Eng.
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eng-moi...... kenapa kau serang aku.......??"
"Siapa Eng-moimu.........?" jawab gadis itu sambil menyerang lebih hebat lagi.
Han Sin mengelak, hampir tidak percaya kepada mata dan telinganya sendiri. Apa boleh jadi ada gadis yang menyerupai Bi Eng, baik wajah maupun suaranya? Akan tetapi...... tak mungkin, gadis ini mainkan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng dan hanya tiga jurus yang dimainkannya! Siapa lagi kalau bukan Bi Eng?
"Eng-moi...... ingatlah..... aku Han Sin....." serunya sambil melompat mundur.
"....... tutup mulutmu! Tak perlu banyak bicara......!" gadis itu membentak lagi dan mengirim serangan ke tiga. Tak salah lagi, inilah gerakan Ciu-po-thian-keng yang pernah ia ajarkan kepada gadis itu di Min-san! Aduh, Bi Eng...... Bi Eng, apakah yang telah terjadi? Bagaimana kau bisa menjadi begini?
"Nona Tilana, jangan ladeni dia, mari kita serang dan bikin mampus anak penjahat Cia Sun ini!" terdengar Bhok Kian Teng berkata kepada gadis itu.
Han Sin menjadi bingung. Bagaimana Bhok Kian Teng menyebut Bi Eng dengan nama Tilana? Apakah pendengarannya sudah rusak, ataukah otaknya yang sudah menjadi gila karena luka-luka hebat yang dideritanya? Karena tubuhnya memang masih lemah, ditambah keadaan yang amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya ini, apa pula para pengeroyoknya memang orang yang berkepandaian tinggi, maka Han Sin tak dapat mengelak lagi ketika ujung pedang nona itu menusuk ke arah perutnya! Han Sin sudah menerima nasib, ingin mati di tangan nona yang ia yakin tentu Bi Eng ini. Akan tetapi, heran sekali ujung pedang itu tidak terus menusuk perut, melainkan diselewengkan ke bawah dan hanya melukai kulit pahanya!
"Bi Eng...... kau......" Han Sin berseru girang kini tidak ragu-ragu lagi bahwa gadis ini tentulah Bi Eng. Bagaimana tusukan yang sudah tepat akan mengambil nyawanya itu sengaja diselewengkan ke bawah?
Akan tetapi pada saat itu, sebuah tombak dari Bhok Kian Teng menyambar ke arah lehernya. Baiknya Han Sin masih dapat mendengar sambaran ini dan cepat ia menggerakkan tubuhnya dimiringkan dan terhindarlah ia dari bahaya maut. Pada saat itu, karena perhatiannya masih penuh dengan Bi Eng yang hanya bergerak mengancam dengan serangan baru di depannya, Han Sin tidak dapat menghindar serangan si jangkung yang mencengkeram pundaknya!
Han Sin mengerahkan sinkang, tapi ia mengeluh. Biasanya, kalau saja keadaannya tidak seperti itu dan tenaganya sudah pulih semua, dengan pengerahan sinkang ini pasti orang takkan kuat mencengkeramnya terus. Akan tetapi kali ini, si jangkung makin memperkuat cengkeramannya sehingga lima jari tangan si jangkung itu seakan-akan tertanam ke dalam pundaknya dan tak mungkin bagi Han Sin untuk melepaskan diri lagi.
Tiba-tiba terdengar suara halus menyebut, "Siancai..... siancai....." dan disusul suara bercuitan yang nyaring dibarengi sinar kuning emas berkelebatan bagaikan ular panjang menyambar. Sinar kuning emas ini ternyata adalah sehelai tambang sutera panjang kecil yang melayang dari atas, ujungnya menyentuh tangan si jangkung yang mencengkeram pundak Han Sin.
Si jangkung mengeluarkan keluhan kesakitan, pegangannya terlepas karena begitu tangannya tersentuh ujung tali sutera itu, ia merasa seluruh tubuh seperti tersambar kilat. Tali sutera itu tidak berhenti, terus melayang dan melibat kaki Han Sin. Sebelum Bhok Kian Teng dan dua orang kawannya sempat menyerang lagi, tahu-tahu tubuh Han Sin sudah melayang ke atas, ditarik tambang sutera yang dipegang oleh seorang wanita yang berpakaian sebagai seorang pendeta dan berdiri di atas puncak bukit batu kecil.
"Kurang ajar!" Bhok Kian Teng berseru marah ketika melihat calon korbannya tertolong oleh seorang wanita setengah tua berpakaian pendeta dan kelihatannya amat lemah. Melihat Han Sin sudah berlutut di depan wanita itu di atas batu, pangeran ini lalu menggerakkan tangannya. Jarum-jarum hitam menyambar ke arah Han Sin dan wanita pendeta itu. Akan tetapi, ia berdiri bengong ketika melihat betapa hanya dengan mengibaskan lengan bajunya yang lebar, wanita itu telah membuat semua jarum runtuh di tengah jalan, jauh sebelum sampai di tempatnya.
Si jangkung juga marah, menggerakkan kedua tangan yang sudah mengangkat sebuah batu besar, dilontarkan ke arah pendeta wanita itu. Sekali lagi wanita itu mengebutkan lengan baju dan batu itu hancur di tengah jalan. Ketika Bhok Kian Teng dan kawan-kawannya memandang lagi, ternyata wanita itu bersama Han Sin telah lenyap dari atas batu. Dengan amat penasaran mereka meloncat-loncat ke atas, akan tetapi tidak kelihatan bayangan wanita itu lagi, juga Han Sin tidak nampak.
Dengan marah dan penasaran, mereka lalu pergi dari situ. Bhok Kian Teng tidak berani lama-lama tinggal di tempat itu karena ia maklum bahwa dirinya sedang dikejar-kejar oleh orang-orang Mancu. Ia ingin mencari kawannya yang lari cerai-berai, untuk menyusun kekuatan baru.
Siapakah pertapa wanita yang amat sakti dan yang sudah menolong Han Sin tadi? Mari kita ikuti Han Sin untuk mengenal wanita itu. Ketika Han Sin merasa dirinya dilibat tali sutera dan ditarik ke atas, ia maklum bahwa ada orang pandai menolongnya. Ia menurut saja karena dia sendiri sedang bingung dan gelisah melihat keadaan gadis itu setelah berada di atas batu, pertapa wanita itu mengajaknya pergi.
Han Sin menurut saja dan ia mengerahkan ginkangnya untuk mengimbangi kecepatan larinya pertapa wanita itu. Ia merasa sukar untuk dapat menandingi pertapa itu. Kalau saja tenaganya sudah pulih semua, kiranya ia takkan kalah dalam berlari cepat, sungguhpun harus ia akui bahwa selama ini baru sekarang ia menyaksikan kepandaian yang begini tinggi.
Pertapa wanita itu beberapa kali melirik kepadanya dan sinar mata yang melembut dan halus itu bersinar gembira. Nyata pertapa itu kagum sekali menyaksikan cara Han Sin berlari cepat. Di lain pihak, apabila ada kesempatan, Han Sin mengerling ke arah pertapa itu. Ia mendapatkan kenyataan bahwa pertapa itu belum tua benar, atau setidaknya belum kelihatan tua benar. Wajahnya berkulit putih orang gadis remaja. Sukar untuk menaksir usianya. Diam-diam ia tercengang dan kaget kalau ia teringat. lnikah Pek Sin Niang-niang?
Pertapa wanita itu mengajaknya mendaki sebuah puncak dan berhenti di depan sebuah pondok kecil. Keadaan di tempat itu indah sekali, bersih dan hening, tepat benar untuk tempat bertapa. Tanpa ragu-ragu Han Sin menjatuhkan diri di depan pertapa itu dan berkata,
"Teecu sekali lagi menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan cianpwe."
Pertapa itu tersenyum ramah. "Orang muda, kau siapakah? Bagaimana kau bisa sampai di tempat seperti ini?"
"Teecu bernama Cia Han Sin dari Pegunungan Min-san. Teecu sengaja datang ke Go-bi-san untuk mencari dan menghadap Pek Sin Niang-niang. Teecu mohon petunjuk cianpwe di mana kiranya teecu dapat bertemu dengan Pek Sin Niang-niang."
"Orang muda she Cia, ada keperluan apakah kau hendak mencari Pek Sin Niang-niang?"
Han Sin mempunyai dugaan bahwa wanita ini tentu mempunyai hubungan baik dengan Pek Sin Niang-niang, atau mungkin bahkan dia sendirilah pertapa itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menuturkan maksudnya mencari pertapa itu sesuai dengan pesanan Yok-ong Phoa Kok Tee.
"Siancai......, siancai........" Pertapa wanita itu memuji. "Kok Tee dapat bersikap demikian di hari tuanya, benar-benar menyenangkan sekali! Orang muda, Phoa Kok Tee itu menyuruhmu datang mencari Pek Sin Niang-niang di sini, sebetulnya sama sekali bukan karena hendak mintakan obat akan guna dirinya sendiri, melainkan bermaksud mintakan obat untukmu! Orang seperti kami ini, mana masih hendak terikat oleh budi dan dendam? Kok Tee sudah kehilangan ilmunya karena mempergunakan It-yang-ci, di dunia ini siapa bisa memulihkannya? Diapun sama sekali tidak menghendaki pembalasanmu karena dia tidak pernah mau menanam perasaan sudah menolongmu. Orang muda, hanya manusia yang masih mau menghambakan diri kepada pengaruh budi dan dendam, dialah yang selalu akan menjadi barang permainan Karma. Bagi kami, tidak ada lagi istilah menolong, yang ada hanyalah kewajiban yang harus dipenuhi, seperti kewajiban pinni (aku) sekarang ini memenuhi pesan Phoa Kok Tee menyembuhkanmu."
Han Sin menjadi girang sekali, juga amat terheran. Sekali lagi ia memberi hormat sambil berlutut. "Mohon ampun bahwa teecu masih ragu-ragu tadinya bahwa teecu benar berhadapan dengan Pek Sin Niang-niang."
"Memang pinni sendiri yang mempunyai sebutan Pek Sin Niang-niang. Phoa Kok Tee adalah murid keponakanku. Cia-sicu, sebelum aku melanjutkan usaha Kok Tee menyembuhkanmu, perlu aku tahu lebih dulu apa yang menyebabkan kau terluka demikian hebat sampai-sampai Kok Tee harus mempergunakan It-yang-ci ilmu keturunan kami itu untuk menyembuhkanmu."
Dengan jujur dan jelas Han Sin menuturkan tentang tugasnya yang sudah ia janjikan kepada Pangeran Yong Tee untuk mencari dan melindungi Hoa-ji, kemudian menuturkan betapa ia bertemu dan bentrok dengan Pak-thian-tok Bhok Hong sampai ia terjebak dan dilukai secara curang dan betapa dalam keadaan pingsan ia tertolong oleh Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng dibawa ke tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee.
Pek Sin Niang-niang mendengarkan sambil mengangguk-angguk, juga kelihatan agak heran mendengar bahwa pemuda ini sudah berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. "Ciu-ong Mo-kai sudah lama pinni dengar sebagai seorang yang bersemangat gagah perkasa. Tentang Lie Ko Sianseng, tidak banyak pinni mendengar. Pak-thian-tok Bhok Hong adalah seorang pandai yang amat berbahaya, heran kau semuda ini sudah berurusan dengan dia, Cia-sicu. Tapi, sudahlah, urusan dunia memang amat menyulitkan hidup dan meruwetkan hati dan pikiran. Harap sicu kerahkan sinkang untuk melawan tekananku untuk mencoba dan melihat keadaanmu."
Setelah berkata demikian, dengan gerakan perlahan dan halus, pertapa wanita itu menggunakan jari telunjuk kanannya menekan pundak Han Sin. Pemuda ini tanpa ragu-ragu mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya untuk melawan tekanan yang halus itu. Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaga, namun yang keluar hanyalah setengah bagian saja. Betapapun juga, ia mendengar pertapa itu mengeluarkan seruan perlahan, seruan terheran.
"Siancai......, siancai......." Pantas saja kau berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. Tak tahunya kau telah mewarisi ilmu yang hebat sekali, orang muda.........!"
Diam-diam Han Sin kagum sekali. Hanya dengan menekan pundaknya saja pertapa ini dapat mengetahui keadaannya, benar-benar harus diakui bahwa pertapa ini sakti dan pandai, setidaknya ahli dalam ilmu pengobatan kalau bukan sakti dalam ilmu silatnya yang memang sudah dibuktikan ketika menolongnya tadi.
"Ilmu It-yang-ci yang dikorbankan oleh Phoa Kok Tee sudah menyelamatkanmu, orang muda, sungguhpun demikian, namun sebagian tenaga sinkangmu tenggelam dan Phoa Kok Tee tidak sanggup untuk menyembuhkan ini. Itulah sebabnya ia menyuruh kau pergi menemui pinni."
"Mohon belas kasihan Niang-niang, mohon Niang-niang sudi menolong," kata Han Sin.
Pertapa itu tersenyum. "Kau telah berada di sini, sudah menjadi kewajibanku untuk coba memulihkan keadaanmu. Memang sayang kalau kepandaian yang telah kaumiliki itu tenggelam setengah bagian. Akan tetapi, untuk menyembuhkan sama sekali, kau harus tinggal di sini sedikitnya satu bulan, melakukan samadhi menurut petunjuk-petunjukku........"
Kagetlah Han Sin. "Mana bisa begitu lama......?" Ia lalu menuturkan keadaannya, betapa ia harus memenuhi janjinya kepada Pangeran Yong Tee untuk cepat menemukan Hoa-ji yang ia yakin adalah adik kandungnya sendiri, betapa ia harus dapat membebaskan Bi Eng dari cengkeraman Bhok Kian Teng, betapa ia amat cemas melihat sikap Bi Eng yang aneh.
Kesemuanya itu ia ceritakan kepada Pek Sin Niang-niang, tanpa tedeng aling-aling lagi, malah soal Tilana pun ia ceritakan. Entah bagaimana, terhadap pertapa wanita yang berwajah lembut ini Han Sin menaruh kepercayaan ikhlas dan tidak ragu-ragu atau malu-malu lagi untuk membuka semua rahasia hatinya.
"Karena semua itulah, Niang-niang, saya mengharap belas kasihanmu agar supaya saya dapat segera pulih kembali untuk pergi mengejar Bhok Kian Teng, menolong Bi Eng dan mencari Hoa-ji akhirnya Han Sin menutup penuturannya dengan suara memohon.
Pertapa wanita itu mendengarkan semua penuturan Han Sin dengan penuh perhatian, kadang-kadang mengangguk-angguk, kadang-kadang menggeleng-geleng, tersenyum atau menarik napas panjang. Kemudian mendengar permohonan Han Sin, ia nampak diam termenung, seakan-akan ia sedang mengenangkan hal-hal yang sudah lama berlalu.
"Orang muda, kau terombang-ambing dalam lautan asmara, menjadi permainan cinta kasih yang ruwet membelit-belitmu."
Kemudian tanpa memandang Han Sin dan dengan suara perlahan seperti sedang bicara kepada diri sendiri, pertapa wanita itu berkata, "Memang, cinta adalah hal yang amat pelik, amat ruwet dan penuh rahasia. Semenjak jaman dahulu, cinta menjadi bahan tulisan para sasterawan, bahkan menjadi sebab-sebab permusuhan, pertengkaran, ya...... malah pernah cinta menimbulkan perang besar! Bagi orang orang muda, cinta kasih bisa membikin orang sebahagia-bahagianya, bisa membikin orang sesengsara-sengsaranya, bisa menciptakan sorga dan bisa menciptakan neraka. Karenanya, cinta kadang-kadang dipuji puji ada kalanya dimaki-maki. Padahal, Yang Maha Kuasa menurunkan cinta kasih di hati manusia bukan sekali-kali untuk dijadikan alat atau sebab perusak. Cinta kasih antara dua jenis muda menimbulkan daya tarik satu kepada yang lain, mempersatukan mereka dan dari sinilah timbulnya kembang biak sesuatu makhluk. Cinta kasih antara sesama manusia pada umumnya mempertebal prikemanusiaan, menimbulkan setia kawan, welas asih, dan membangkitkan pribadi-pribadi suci. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang.... setelah bersemayam di dalam hati manusia, cinta kasih yang suci murni telah dikotori oleh pengaruh nafsu......"
Han Sin mendengarkan sambil menundukkan kepala. Dia sendiri masih hijau dalam hal ini, dia diombang-ambingkan cinta tanpa ia sendiri merasa. Dia jatuh bangun dengan cinta, suka menderita karenanya.
"Cia Han Sin, pinni tidak tega membiarkan kau bergelisah tentang orang-orang yang kaucari. Memang ada jalan untuk memulihkan tenagamu. Kau terimalah sian-tan (obat dewa) ini dan setelah kau telan, kau harus bersamadhi mengumpulkan semua tenaga sampai pulih kembali. Dengan bakat dan kemampuanmu, kurasa dalam waktu satu, dua hari kau akan sembuh kembali. Setelah sembuh kau boleh terus keluar dan tinggalkan tempat ini, jangan mencoba mencari pinni, karena pinni sekarang juga akan turun gunung."
Han Sin menerima sebutir obat pil berwarna putih mengkilap seakan-akan terbuat dari pada perak, dan sebelum ia sempat menghaturkan terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, pertapa wanita itu sudah berjalan pergi dari situ, tidak menoleh lagi!
Ketika menuruni Pegunungan Go-bi-san, Han Sin telah sembuh sama sekali, telah pulih kembali semua tenaganya. Ia amat berterima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, akan tetapi kepada siapa ia harus mengucapkannya? Ia tak dapat berbuat lain kecuali berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala sambil mengucap terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang di depan pondok pertapa itu, kemudian dengan cepat ia turun gunung dan mulailah ia dengan penyelidikannya untuk mencari Bhok Kian Teng.
Setelah muncul peristiwa Bi Eng yang begitu aneh, Han Sin ingin mendahulukan urusan ini. Tadinya ia amat bernafsu hendak mencari Hoa-ji yang ia yakin adalah adik kandungnya, akan tetapi setelah melihat Bi Eng bersama Bhok Kian Teng dan bersikap demikian anehnya kepadanya, ia mengambil keputusan untuk mencari Bi Eng lebih dulu. Mengapa Bi Eng bersikap seperti itu? Dan kenapa pula Bhok Kian Teng menyebutnya Tilana. Apa yang telah terjadi? Apakah Bi Eng, sudah menjadi gila, ataukah dia, yang sudah miring otaknya? Han Sin benar-benar merasa gelisah sungguhpun ada pula sesuatu yang aneh, sesuatu yang terasa di hatinya, yang membuat bulu tengkuknya kadang-kadang meremang. Bisa jadikah Bi Eng sudah mengetahui bahwa dia puteri Balita, maka lalu bersikap seperti itu? Ah, tak mungkin.......
Pergerakan Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng untuk memberontak terhadap pemerintah Mancu boleh dibilang gagal. Bala tentaranya dihancurkan dan sudah cerai-berai. Akan tetapi selama Pangeran Mongol ini belum tertangkap atau tewas, tentu akan muncul pemberontakan lain. Memang Pangeran Galdan takkan mau menyerah begitu saja. Bhok Kian Teng diam-diam membina lagi kekuatan, malah dengan amat lihainya ia mulai mencari-cari pembantu, menyamar sebagai orang Han dan dengan beraninya pergi ke pelbagai tempat untuk secara rahasia menghubungi kawan-kawan baru, kawan-kawan lama dan membangun lagi kekuatan yang sudah rusak.