Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 24


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 24




Pada suatu hari Han Sin memasuki kota Potouw. Penyelidikannya yang dilakukan amat teliti, bahkan dengan jalan menangkap dan mengancam beberapa orang Mongol yang ditemuinya di utara, akhirnya ia dapat keterangan bahwa Pangeran Mongol itu kini berada di Potouw. Di kota ini menyamar sebagai saudagar Han yang kaya raya. Han Sin maklum bahwa tidak akan mudah mencari Pangeran Mongol itu, yang selain lihai dan cerdik, juga banyak sekali pembantu-pembantunya. Bagaimana dia bisa mencari seorang Mongol yang menyamar di kota ini? Andaikata benar Bhok-kongcu itu berada di Potouw, kiranya pangeran itu tentu akan melihatnya lebih dulu dan siang-siang sudah akan bersembunyi.

Potouw adalah kota di daerah Mongol yang sudah "dibebaskan" oleh tentara Mancu. Penduduknya terdiri dari campuran Bangsa Mongol dan Mancu, dan suku-suku bangsa lain di utara yang tidak banyak jumlahnya. Ada juga orang-orang Han yang berdagang.

Ketika sore hari itu Han Sin memasuki kota, ia melihat ribut-ribut di pintu gerbang. Setelah dekat dilihatnya seorang tosu tua sedang dikeroyok dan dipukuli oleh tiga orang Mancu yang berpakaian sebagai penjaga-penjaga kota. Jelas kelihatan bahwa tiga orang Mancu itu berada dalam keadaan mabok.

Tosu tua itu tidak mau membalas, hanya menangkis dan bergerak ke sana ke sini menghindarkan diri dari hujan pukulan. Melihat gerakan tosu itu, Han Sin terkejut. Itulah gerakan llmu Silat Cin-ling-kun dan hal ini berarti bahwa tosu itu adalah seorang anggauta Cin-ling-pai. Han Sin cepat melangkah maju ke tempat pertempuran, menggerakkan kedua tangannya dan di lain detik tiga orang Mancu mabok itu sudah terlempar ke kanan kiri dan jatuh berdebugan sampai kepala mereka benjol-benjol! Orang-orang yang menonton perkelahian ini, menjadi terheran-heran melihat seorang pemuda Han berani menentang tiga orang tentara Mancu.

Seperti biasanya, tentara-tentara yang baru saja menang perang amat ditakuti orang. Akan tetapi, tiga orang Mancu itu sendiri sudah lari tunggang-langgang setelah bertemu dengan orang yang lebih kuat. Tadipun andaikata tosu Cin-ling-pai itu berani melawan dan merobohkan mereka, kiranya mereka takkan begitu banyak berlagak. Orang-orang pemabokan semacam ini memang beraninya hanya menghina dan menindas yang lemah atau yang tidak mau melawan. Begitu bertemu dengan yang kuat, mereka akan lari ketakutan.

"Apakah totiang ini seorang anggauta Cin-ling-pai?" tanya Han Sin sambil mendekati tosu tua itu. Tosu itu semenjak tadi sudah memandangnya penuh perhatian.

"Betul, dan siapakah taihiap?"

"Aku Cia Han Sin....." Baru saja bicara sampai di situ, tosu itu sudah cepat-cepat menjura memberi hormat.

"Ah, kiranya bengcu sendiri yang menolongku. Sudah banyak pinto yang tua mendengar nama besar bengcu, sayang ketika bengcu mengunjungi Cin-ling-san, pinto sedang, turun gunung. Bengcu, harap suka ikut dengan pinto untuk menjumpai Hee-susiok."

"Hee Tojin ada di sini? Di mana dia?" tanya Han Sin girang. Kalau ada tosu-tosu Cin-ling-pai di situ, berarti dia mempunyai sahabat-sahabat, dan tentu dia akan dapat bertanya tentang Bhok Kian Teng.

"Hee-susiok berada dalam keadaan luka parah. Mari, bengcu, harap cepat pergi sebelum orang-orang kasar itu datang membawa kawan-kawan mereka."

Berdua pergilah mereka memasuki gang yang berliku-liku, kemudian tosu itu mengajak Han Sin memasuki sebuah rumah kecil. Di atas sebuah pembaringan kayu, duduklah Hee Tojin ketua Cin-ling-pai, duduk dengan tubuh lemah, bersandarkan bantal. Napasnya tinggal satu-satu, agaknya berada dalam keadaan yang payah sekali. Akan tetapi begitu melihat Han Sin memasuki kamarnya bersama tosu itu, Hee Tojin nampak bersemangat.

"Cia-taihiap! Bagus kau datang......." katanya dengan suara perlahan namun membayangkan kegembiraannya.

Han Sin segera menghampiri tosu itu dan duduk di pinggir pembaringan.

"Hee-totiang, kenapa kau menjadi begini? Siapa yang melukaimu?" Melihat sekelebatan saja tahulah Han Sin bahwa tosu tua ini terluka hebat oleh pukulan maut yang mengandung racun. Hawa beracun membayang pada muka yang tua itu.

Tosu tua itu menarik napas berkali kali. "Kejadian aneh, taihiap......, kejadian aneh sekali..... Cia-taihiap, sebelum pinto menuturkan pengalaman pinto lebih dulu pinto bertanya, di mana adanya adikmu, Cia-lihiap?"

Han Sin mengerutkan keningnya. "Justeru karena dialah aku berada di sini, totiang. Aku sedang mencari adikku itu yang tertawan oleh Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng."

"Aahhh...... kalau begitu betul dia....... betul dia...." Tosu itu berkata terkejut.

"Siapa yang kaumaksudkan? Apakah kau bertemu dengan adikku itu, totiang?" Han Sin bertanya cepat.

"Bukan saja bertemu, malah..... malah pinto terluka olehnya! Ketika pinto melihat bayangan Pangeran Galdan di kota ini, pinto mengejarnya, dia lari dan tiba-tiba muncul..... seorang gadis yang menyerang pinto secara tiba-tiba. Pinto mengenal dia sebagai Cia-lihiap, maka pinto tidak menyangka akan penyerangan itu dan..... dan beginilah keadaan pinto....."

Han Sin makin kaget. Cepat ia memeriksa dada Hee Tojin dan menjadi ngeri hatinya. Bagaimana Bi Eng memiliki pukulan beracun yang begitu keji? Itulah pukulan yang mengandung racun, pukulan yang hanya bisa dipelajari oleh orang-orang macam Hoa Hoa Cinjin, Pak-thian-tok Bhok Hong, atau Jin-cam-khoa Balita!

"Totiang, tidak salahkah penglihatanmu? Betulkah dia.... adikku itu yang..... yang memukul dan melukaimu.... ?" Wajah Han Sin menjadi pucat.

"Cia-taihiap, perlu apa pinto memfitnah orang, apalagi kalau orang itu Cia lihiap sendiri? Pinto berani bersumpah, malah Cia-lihiap mengatakan bahwa namanya bukan Cia Bi Eng lagi, melainkan...... eh, dia memakai nama orang Hui, kalau tidak salah, Tilana namanya."

Tak salah lagi, pikir Han Sin bingung. Dia yang menyerangku, atau Bi Eng itulah yang melukai Hee Tojin. "Biarlah kucoba sembuhkan lukamu, totiang." Han Sin lalu menotok jalan darah di pundak tosu itu, mengurut dada dan menggunakan hawa sinkangnya yang amat kuat mendorong keluar hawa beracun dari tubuh tosu itu, malah menggunakan lweekangnya untuk mendorong darah yang hitam keluar dari luka. Setelah muka tosu itu menjadi merah kembali, tanda bahwa ia terbebas dari pada bahaya maut, Han Sin segera bertanya,

"Di manakah adanya...... adikku itu? Dan di mana adanya Pangeran Galdan? Aku akan mengunjunginya dan membongkar rahasia yang aneh ini."

Hee Tojin lebih dulu menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan pengobatan, kemudian tosu ini lalu meloloskan pedangnya, pedang Im-yang-kiam yang dulu ia terima dari Han Sin. "Cia-taihiap, harap kausuka menerima pedang ini. Tiada gunanya lagi bagi pinto, karena sekarang Cin-ling-pai sudah cerai-berai dan pinto tidak menjadi ketua lagi. Dalam menghadapi Pangeran Galdan dan para pembantunya yang amat lihai, pedang ini ada gunanya, taihiap. Pinto sendiri tidak dapat membantu, biarlah kau memberi kepuasan kepada pinto dengan hiburan bahwa biarpun pinto tidak membantu, namun pedang Cin-ling-pai, yaitu pedang Im-yang-kiam peninggalan suhu dan pendiri Cin-ling-pai ini sedikit banyak berjasa dalam membasmi kejahatan dan membela bangsa."

Tadinya Han Sin hendak menolak, namun mendengar ucapan bersemangat ini, ia tidak tega untuk menolak lagi. la mengucapkan terima kasih, menerima pedang dan menggantungkan di pinggang.

"Kalau kau hendak mencari Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu, agaknya biar kau kelilingi seluruh kota, kau takkan berhasil mendapatkannya taihiap. Pangeran Mongol itu cerdik sekali. Kau pergilah ke sebelah barat kota, di situ terdapat sebuah gedung besar bekas rumah seorang pedagang Han yang kaya-raya. Gedung itulah yang dibeli oleh Pangeran Galdan tanpa mengganti nama, yaitu gedung keluarga Kwa, hartawan yang sudah pindah ke selatan itu."

"Bagus! Kalau begitu sekarang juga aku akan ke sana. Selamat tinggal, totiang."

"Harap kau berhati-hati, taihiap. Semoga berhasil," kata Hee Tojin.

Han Sin menempuh malam gelap mencari gedung itu. Gedung keluarga Kwa yang hartawan amat dikenal orang dan sebentar saja ia sudah berdiri di depan gedung besar yang megah itu. Lampu lampu masih bernyala dan dengan hati berdebar tegang, Han Sin menyelinap ke dalam gelap lalu meloncat ke atas genteng rumah itu. Dengan hati-hati sekali ia memeriksa keadaan gedung kemudian mengintai dari atas genteng, memeriksa setiap kamar. Ia melihat, pelayan-pelayan cantik jelita dan teringatlah ia akan pelayan pelayan yang biasa mengikuti Bhok-kong cu. Tak salah lagi, tentu di sinilah bersembunyi orang yang selama ini menjadi gara-gara segala keributan, Bhok Kian Teng atau Bhok-kongcu, kini terkenal dengan nama Pangeran Galdan!

Di lain saat Han Sin sudah berada di atas sebuah kamar yang terang di mana duduk Bhok Kian Teng seorang diri menghadapi meja! Ia melihat Pangeran Mongol itu tengah menulis di atas kertas kuning dengan huruf-huruf hitam. Huruf-huruf besar dan indah. Memang pandai sekali Pangeran Mongol ini menulis indah. Huruf huruf bersajak pula. Saking tertarik, dari atas genteng melalui celah-celah yang dibuatnya, ia membaca tulisan itu.

"Menjadikan Turkistan " Tibet - Sin kiang sekutu. Menghancurkan semua barisan Mancu. Setelah seluruh Tiongkok ditaklukkan Apa sukarnya mengusir sekutu bekas taklukan?"

Membaca tulisan ini, Han Sin menjadi marah sekali. Alangkah besarnya dan kejinya cita-cita keturunan Jenghis Khan ini. Hendak mengajak negara tetangga untuk bersekutu merampas dan menduduki Tiongkok, kemudian memukul sekutu ini yang dianggapnya hanyalah negara-negara bekas taklukan nenek moyangnya, Jenghis Khan! Benar-benar seorang pemuda yang bercita-cita besar tapi amat curang dan keji.

"Bhok Kian Teng, aku datang!" Han Sin berseru perlahan. Ia melihat pangeran itu kaget dan berdiri dari bangkunya di belakang meja, akan tetapi di lain detik Han Sin sudah berdiri di depannya, hanya terhalang meja di mana terbentang tulisannya tadi. Han Sin berdiri dengan keren, bertolak pinggang sambil menatap wajah pangeran itu yang kelihatan pucat dan kehilangan akal.

Akhirnya Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng dapat menguasai ketakutannya, tersenyum lebar dan berkata ramah, "Aha, kiranya orang gagah nomor satu di kolong langit yang datang mengunjungiku. Kebetulan sekali, saudara Cia. Aku sedang kesepian dan membutuhkan sahabat yang cocok untuk diajak mengobrol. Saudara Cia Han Sin, kau muda dan gagah, memiliki kelihaian luar biasa. Kenapa kau menyia-nyiakan masa muda dan kepandaianmu? Akupun masih muda dan biarpun tidak selihai kau dalam ilmu silat, namun aku memiliki kepandaian khusus dalam hal ketatanegaraan dan ilmu perang. Mari kita bersatu, kita bersama merebut dunia......"

"Gila! Siapa sudi mendengar obrolanmu, Bhok Kian Teng, kau apakan Bi Eng? Kau yang sudah membunuh Ciu-ong Mo-kai, membunuh Lie Ko Sianseng, membunuh Thio-ciangkun, membunuh banyak pula orang-orang gagah, patriot-patriot menjadi pengkhianat-pengkhianat. Kau apakan Bi Eng? Di mana dia sekarang? Ayoh, kau lekas mengaku dan bebaskan Bi Eng!" Han Sin marah bukan main, suaranya keras, matanya berapi dan telunjuk kirinya ditudingkan ke muka pangeran itu, sedangkan tangan kanannya bertolak pinggang, sikapnya menantang dan mengancam.

Namun Bhok-kongcu hanya tersenyum ramah. Matanya memandang penuh ejekan. "Aku tidak mengganggu adikmu, tidak melihat nona Bi Eng harap kau, jangan menuduh yang bukan-bukan....."

"Bohong! Setan pengecut. Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung resikonya, harus berani bertanggung jawab. Kau seorang laki-laki pengecut, dan......."

"Diri sendiri pengecut, memaki orang lain, cih, sungguh tak tahu malu......." Tiba-tiba terdengar suara mencela, suara yang nyaring halus tapi ketus, yang membuat tersirap darah Han Sin dan pemuda ini menoleh cepat. Bi Eng sudah berdiri di belakangnya!

"Bi Eng......!"

Gadis ini berdiri dengan gagah dan keren, bertolak pinggang, gagang pedang tersembul di balik pundak, sepasang matanya bernyala menatap wajah Han Sin.

"Bi Eng..... adikku........"

"Siapa adikmu? Cih, benar-benar tak tahu malu. Pura-pura tidak tahu lagi.......! Orang she Cia, biarlah kubalaskan sakit hati ibuku yang sudah terhina oleh ayahmu!" Gadis itu mencabut pedangnya, namun masih ragu-ragu melihat Han Sin berdiri seperti patung, pucat dan lemas.

"Nona Tilana, serang saja musuh kita ini!" kata Bhok Kian Teng sambil menendang meja di depannya yang melayang ke arah Han Sin.

Tanpa menoleh Han Sin yang berdiri menghadapi gadis itu, membelakangi Bhok-kongcu, menggerakkan kepalan tangannya ke belakang dan "brakkk!" meja dari kayu tebal itu hancur berkeping-keping! Demikianlah hebatnya dan dahsyatnya pukulan pemuda itu, membuat Bhok Kian Teng terkejut dan otomatis melangkah mundur saking jerihnya.

"Bi Eng,.... Eng-moi..... kenapa kau sekarang bernama Tilana? Apa yang terjadi? Apa dosaku terhadapmu......? Andaikata betul kau sudah tahu..... bahwa kau...... bukan adik kandungku...... mengapa kau jadi begini? Mengapa kau membenciku.....? Eng-moi........?"

"Tutup mulutmu!" Bi Eng membentak dengan suara nyaring sambil menyerang dengan pedangnya, menusuk tenggorokan Han Sin!

Akan tetapi bentakannya itu terdengar jelas oleh Han Sin bahwa di dalamnya terkandung isak tangis! Pemuda ini bingung dan hancur hatinya. la cepat mengelak. Kerling matanya melihat betapa Bhok Kian Teng sudah lenyap dari situ.

Tadinya ia hendak menangkap Pangeran Mongol itu yang ia kira tentulah menjadi biang keladi semua peristiwa aneh ini. Akan tetapi pangeran yang licik itu sudah melenyapkan diri dan sebagai gantinya, dari balik pintu belakang muncul tiga orang raksasa berkulit putih! la sudah mengenal mereka, sudah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang lihai pembantu Bhok Kian Teng. Andaikata di sini tidak ada Bi Eng yang ikut menyerangnya, tentu ia akan menghadapi dan melayani tiga orang aneh itu mati-matian. Akan tetapi bagaimana dia bisa melawan Bi Eng?

Han Sin mengeluarkan pekik yang amat nyaring, pekik dari perihnya hati dan perasaannya, pekik nyaring yang membuat gadis yang menyerang itu sekaligus menjadi lemas dan hampir roboh karena kedua kakinya terasa lemas. Bahkan tiga orang aneh itupun terhuyung-huyung. Ketika mereka sudah dapat menenangkan hati, ternyata Han Sin sudah lenyap dari tempat itu! Han Sin tidak melihat lagi betapa gadis itu berlari memasuki sebuah kamar, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu.

Berkali-kali Han Sin menyelidiki tempat itu. Akan tetapi alangkah kaget dan menyesalnya ketika mendapat kenyataan bahwa keesokan harinya, gedung itu telah kosong! Tak seorangpun tahu ke mana perginya Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya dan ke mana pula perginya Bi Eng...... ataukah bukan Bi Eng gerangan gadis itu?

Dengan hati kosong dan gelisah sekali Han Sin meninggalkan kota Potouw dan semenjak saat itu, pikiran Han Sin menjadi tidak karuan. Terlampau berat tekanan batin yang dideritanya. Belum lagi beres urusannya dengan Tilana yang amat berat menindih hatinya, sekarang ditambah lagi dengan urusan Bi Eng yang amat aneh. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Tadinya ia tinggal di Ta-tung, bersama Lie Hoa dan yang lain-lain. Kenapa tahu-tahu berada di utara, berkeliaran bersama Bhok-kongcu, mengaku bernama Tilana dan bersikap memusuhinya? Malah seakan-akan sudah tahu bahwa dia puteri Balita, terbukti dari ucapannya hendak membalaskan sakit hati ibunya yang telah dihina oleh ayahnya!

Dengan adanya Bi Eng di samping Bhok-kongcu, kebencian Han Sin terhadap Pangeran Mongol itu makin memuncak. Malah sekarang ia menjadi benci sekali kepada setiap orang Mongol. Kehancuran hatinya membuat ia berpendirian lain sekarang. Setiap kali ia bersua dengan pasukan Mongol yang sudah cerai-berai itu, tanpa ragu-ragu lagi Han Sin lalu mengamuk dan membasminya!

Tanpa disadari, kemarahan dan kebenciannya terhadap Bhok-kongcu membuat ia menjadi seorang pembantu Mancu yang banyak jasanya. Setiap kali melihat orang Mongol, ia lalu menangkapnya dan memaksanya memberi keterangan di mana adanya Pangeran Galdan. Dia terus mencari pangeran ini dengan hati penuh dendam.

Pada suatu hari ia melihat sepasukan besar tentara Mancu menuju ke barat, melalui tapal batas antara Mongolia dan Sin-kiang. Tentu mereka sedang mengejar-ngejar bala tentara Mongol, pikir Han Sin. Oleh karena itu Han Sin lalu mengikuti dari jauh. Ketika menjelang senja barisan itu tiba di selat gunung, tiba-tiba pasukan-pasukan Mongol yang dikejar itu membalik dan melakukan serangan. Terjadilah perang di selat gunung. Barisan Mancu lebih besar jumlahnya, maka sia-sialah bala tentara Mongol itu melakukan perlawanan.

Akan tetapi, setelah terdengar sorak-sorai riuh dari balik gunung, baru tahu orang-orang Mancu bahwa mereka telah terjebak. Orang-orang Mongol itu ternyata telah mengatur siasat telah bersekutu dengan suku-suku bangsa lain di daerah ini, mengerahkan pasukan-pasukan dari Sin-kiang, dari Mongolia Luar, bahkan ada pula pasukan Turkestan, lalu mengepung barisan Mancu dari tiga jurusan! Perang tanding hebat terjadi, namun sekarang pihak Mancu yang mengalami kerugian dan terdesak hebat.

Tadinya Han Sin hanya menonton saja pertandingan itu dari atas puncak. Ia tidak mau perduli. Akan tetapi, ketika ia melihat bayangan Pak-thian-tok Bhok Hong, tak dapat ia menahan kemarahannya. Segera ia berlari turun dari puncak untuk menghadapi musuh besar itu. Dari puncak ke tempat peperangan itu bukan dekat, melalui hutan kecil dan jurang. Ketika tiba di tempat pertempuran, Han Sin kehilangan Bhok Hong. Tidak dilihatnya lagi tokoh besar itu di antara mereka yang masih berperang. Mayat bertumpuk-tumpuk, tanah banjir darah.

Tiba-tiba telinganya menangkap suara aneh seruan orang yang memiliki khikang yang amat tinggi. Itulah tanda bahwa tak jauh dari situ terdapat orang-orang pandai sekali sedang bertempur. Han Sin tidak perduli akan peperangan antara orang Mongol dan orang Mancu. Ketika tiba di situ dan berada di tengah peperangan, siapa saja yang dekat dengannya dan mencoba menyerangnya, baik tentara Mongol maupun tentara Mancu, tentu ia robohkan dengan pukulan atau tendangan. Setelah mendengar seruan-seruan aneh itu, Han Sin lalu berlari pergi meninggalkan gelanggang peperangan, terus berlari cepat menuju ke sebuah hutan di mana tidak terdapat tentara yang sedang berperang. Dari sinilah datangnya seruan-seruan tadi.

Makin dekat dengan tempat itu, makin kagetlah Han Sin, di samping keheranannya. Suara-suara itu benar-benar hebat, membuat jantungnya tergetar dan cepat ia harus mengerahkan lweekangnya untuk menahan getaran-getaran itu. Makin tertarik hatinya. Tentu orang-orang luar biasa yang sedang mengadu ilmu. Setelah dekat, benar saja dugaannya.

Ternyata Pak-thian-tok Bhok Hong sendiri yang sedang berhadapan dengan seorang kakek tua, duduk bersila berhadapan dalam jarak tiga meter, saling bercakap-cakap mempergunakan tenaga khikang yang hebat! Kadang-kadang mereka tertawa, juga dalam suara ketawa ini mengerahkan tenaga untuk menindih lawan.

Dengan amat tertarik, Han Sin menyelinap di balik pohon besar dan mengintai, Bhok Hong duduk bersila dengan tubuh tegak, matanya bersinar-sinar, mukanya tegang dan mulutnya membayangkan kemarahan dan penasaran. Pada saat itu, terdengar kakek tua di depannya berkata, suaranya perlahan, akan tetapi mengandung tenaga yang luar biasa,

"Pak-thian-tok, semenjak muda kita sama-sama berkelana di dunia, sama-sama melihat dan mengalami bermacam hal. Semenjak itu kau selalu mengambil jalan sesat, sudah beberapa kali aku menentangmu, memberi peringatan dan nasihat. Akan tetapi sampai sekarang kau bukannya berubah. Malah makin jauh tersesat. Bhok Hong, apakah kau tidak takut akan kemurkaan Tuhan? Apakah kau tidak mengenal Tuhan?"

Han Sin makin tertarik. Orang-orang tua ini agaknya tidak hanya mengadu ilmu kepandaian silat, agaknya hendak berdebat pula tentang kebatinan dan tentang pengetahuan-pengetahuan yang dalam. Filsafat-filsafat hidup, ini kesukaannya. Maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian sambil diam-diam menduga-duga siapa gerangan kakek di depan Pak-thian-tok Bhok Hong itu. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dari kain putih yang kasar, rambutnya tak terurus, akan tetapi bersih dan penuh uban seperti jenggotnya, panjang terurai ke belakang. Di dekat tempat ia duduk bersila terdapat sebatang tongkat buruk sekali.

Menghadapi celaan kakek itu, Pak-thian-tok Bhok Hong tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring sekali sampai Han Sin merasa betapa pohon yang disentuhnya tergetar!

"Ha ha ha ha! Hui-kiam Koai-sian! Kau bicara tentang Tuhan? Ha ha ha! Khong Cu sendiri orang yang kalian orang-orang Han anggap sebagai nabi atau guru besar kebatinan, dia jarang sekali menyebut-nyebut tentang Tuhan! Kurasa Khong Cu sendiri juga tidak mau tahu tentang Tuhan!"

"Kau keliru, Pak-thian-tok. Justeru karena Nabi Khong Cu amat mengenal Tuhan, amat tebal imannya sehingga beliau menjadi amat setia dan taat kepada Tuhan, maka semua pelajaran yang beliau ajarkan adalah sesuai dengan Ketuhanan........"

"Koai-sian! Kau kira aku ini orang macam apa? Apa kaukira aku belum pernah membaca kitab-kitabnya? Khong Cu hanya mengajarkan tata susila hidup, mengajarkan prikemanusiaan, bukan Ketuhanan. Pernahkah Khong Cu menyebut-nyebut tentang sabda Tuhan, tentang kegaiban Tuhan? Itu tandanya dia tidak mau mengenal Tuhan!"

"Kembali kau keliru, Pak-thian-tok. Ketuhanan merupakan dasar kepercayaan, merupakan iman dan pegangan bagi manusia bahwa di alam semesta ini, ada kekuasaan Tertinggi yang mengatur dan menentukan segala sesuatu, kekuasaan tertinggi Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, yang tak terselami alam pikiran manusia. Ketuhanan ialah iman pada Yang Maha Kuasa. Karena imannya sudah penuh dan ketaatan dan kesetiannya terhadap Tuhan sudah mutlak, maka Nabi Khong Cu mengajarkan tata susila hidup dan prikemanusiaan pada umat manusia."

"Apa kataku tadi? Dia hanya mengajarkan prikemanusiaan dan jangan kau campur-campur tentang prikemanusiaan itu dengan Ketuhanan," bantah Bhok Hong.

"Diumpamakan pohon, Ketuhanan adalah akar dan batangnya, prikemanusiaan adalah cabang-cabang, ranting-ranting dan daun-daunnya. Bagaimana tidak harus dicampurkan? Karena memang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ketuhanan merupakan iman kepercayaannya, adapun prikemanusiaan merupakan jalannya atau cara membuktikan adanya iman itu. Prikemanusiaan dan tata susila hidup bukan lain adalah prikebajikan, yang berarti pula hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Ketuhanan tanpa prikemanusiaan takkan berarti karena tanpa bukti perbuatan yang nyata, sebaliknya prikemanusiaan tanpa Ketuhanan dapat menyeleweng karena tidak berdasar pada sumber atau pokoknya. Karena itu, Nabi Khong Cu mengajarkan tentang mempertebal tata susila hidup dan prikemanusiaan, karena kebiasaan-kebiasaan baik akan mendatangkan watak yang baik, dan semua ini sebetulnya hanyalah jalan untuk mendekatkan orang kepada Tuhannya."

"Ha ha ha, Koai-sian, kau memang tukang omong! Omong kosong belaka! Kau sebut-sebut nama Tuhan itu berarti bahwa manusialah yang menciptakan sebutan Tuhan! Tuhan itu apa sih? Tak dapat kuraba, tak dapat kulihat, tak dapat kedengarkan suaranya. Mana ada Tuhan? Kalau benar ada, Hui-kiam Koai-sian, coba kau keluarkan, biar kulihat dan kuraba dia!"

Hui-kiam Koai-sian tersenyum sabar. Han Sin yang mendengarkan di balik pohon menjadi makin tertarik. Hebat "perang tanding" kebatinan ini, pikirnya.

"Tak salah kata-katamu tadi bahwa sebutan Tuhan, seperti juga sebutan lain yang diucapkan oleh bibir, adalah ciptaan manusia. Demikian pula sebutan untuk Yang Maha Kuasa yang diucapkan oleh manusia-manusia berbangsa lain dengan bahasa mereka yang berbeda. Namun, seperti juga langit dan bumi, disebut apapun juga oleh bahasa apapun di dunia ini, kenyataannya tetap ada langit dan bumi itu. Demikian pula Tuhan, biarpun ada seribu satu macam sebutan di dunia ini sesuai dengan bahasa masing-masing, sebetulnya hanyalah Satu, yaitu Yang Maha Kuasa."

"Sekarang, kalau memang betul Tuhan itu ada, kau keluarkan biar kulihat dia, Koai-sian." Bhok Hong menantang, mengejek.

"Bicara dengan seorang yang berwatak curang memang harus siap menghadapi segala macam tipu muslihat omongan, Pak-thian-tok. Kukatakan tadi bahwa Ketuhanan adalah soal iman, tinggal percaya atau tidak."

"Buktikan! Buktikan kalau memang ada, jangan putar balik omongan!"

"Sabarlah, tentu saja aku bisa buktikan, akan tetapi ada syaratnya."

"Bagaimana, teruskan!" Bhok Hong menantang.

"Pak-thian-tok Bhok Hong, aku tidak berani mengatakan bahwa kau seorang yang tidak mempunyai pikiran. Kau tentu mempunyai pikiran, bukan?"

"Tentu saja! Bahkan pikiranku lebih terang dari pada pikiranmu!"

"Tentu....., tentu.....! Dan kaupun tentu mempunyai nyawa, ataukah..... barangkali kau sudah tidak bernyawa lagi......?"

"Setan! Kalau aku tidak bernyawa tentu aku mampus. Tentu saja aku mempunyai nyawa!"

"Nah, begitulah, Pak-thian-tok. Aku sudah membuktikan kepadamu tentang adanya Tuhan, apakah kau masih tidak mengerti?"

Bhok Hong melengak heran. "Mana dia, Tuhanmu itu? Apa maksudmu?"

Hui-kiam Koai-sian mengelus-elus jenggotnya yang putih. "Kau tadi minta aku mengeluarkan Tuhan. Aku akan dapat mengeluarkan Tuhan untuk kaulihat dan raba. Pak-thian-tok, asal saja kaupun bisa mengeluarkan pikiran dan nyawamu untuk kulihat dan kuraba! Bukankah kau mengaku bahwa aku mempunyai pikiran dan nyawa? Nah, akupun mengaku bahwa aku mempunyai Tuhan. Kau keluarkanlah pikiran dan nyawamu, dan aku akan mengeluarkan Tuhanku. Bagaimana?"

Pak-thian-tok tak dapat menjawab. "Itu..... hal itu..... ah, kau telah menipu dan menjebakku!"

Hui-kiam Koai-sian menggeleng kepala. "Tidak sama sekali. Kau harus mengakui bahwa memang ada hal-hal yang tidak kelihatan, tidak dapat diraba oleh panca indera, namun yang dapat dirasa oleh hati kita. Dan rasa itulah yang mengenal adanya pikiran dan nyawa atau hal-hal lain yang tidak mempunyai wujud yang dapat dilihat atau dirasa oleh panca indera."

Pak-thian-tok Bhok Hong merasa terpukul dan terdesak. Ia mendengarkan saja uraian Hui-kiam Koai-sian yang sedang memberi "kuliah" kepadanya tentang Ketuhanan. Ia maklum bahwa di dalam suaranya, Hui-kiam Koai-sian telah mengerahkan khikang yang takkan mungkin ditembusi oleh penyerangan gelap dari pengaruh suara lain. Diam-diam Pak-thian-tok Bhok Hong mengerahkan tenaga ke dalam sepasang lengannya dan bersiap siaga untuk melakukan penyerangan tiba-tiba.

Hui-kiam Koai-sian agaknya tidak melihat akan tetapi Han Sin yang dapat menduga, karena pemuda ini melihat betapa Pak-thian-tok Bhok Hong memusatkan perhatian, mengatur napas dan kedua lengannya perlahan-lahan berubah hitam, tanda bahwa kakek itu menyalurkan tenaga Hek-tok-sin-kang. Pemuda ini merasa khawatir sekali. Ia sudah mendengar nama Hui-kiam Koai-sian sebagai pencipta ilmu Lo-hai Hui-kiam yang ia pelajari dari Giok Thian Cin Cu, maka secara tidak langsung kakek ini boleh dibilang masih terhitung gurunya sendiri dalam ilmu silat itu. Akan tetapi iapun maklum bahwa dalam perang tanding antara dua orang tokoh besar ini amat tidak baik kalau ia ikut-ikut, kecuali kalau melihat kakek itu dikeroyok. Maka ia hanya memandang dengan hati berdebar sambil mendengarkan uraian Hui-kiam Koai-sian tentang sifat sifat Ketuhanan.

"....... mau tahu kekuasaan Tuhan?" Kakek itu melanjutkan uraiannya dengan mata setengah berkatup. "Lihatlah di sekelilingmu...... pasir, batu, rumput, kembang, awan, matahari..... dan apa saja yang dapat kaulihat. Alangkah hebatnya, alangkah indahnya semua itu. Semua itu sudah terang ada dan semua yang ada tadinya dari tiada, karena itu yang ada tentu ada yang Mengadakan! Dia yang Mengadakan inilah Yang Maha Kuasa. Betapa gaibnya kembang-kembang itu, dengan warna tertentu, bentuk tertentu, lihat burung-burung terbang bersayap, ikan-ikan berenang di dalam air, semua sudah sempurna semenjak tercipta. Itulah Kuasa Tuhan!"

Hui-kiam Koai-sian berhenti sebentar, menarik napas panjang, wajahnya berseri. "Mau tahu akan kemurahan hati Tuhan? Lihat, semua yang tampak di dunia ini diberikan kepada kita! Setiap benda di dunia ini ada gunanya, hanya terserah kepada kemampuan kita untuk menyelidiki apa kegunaan tiap benda itu. Dan semua itu diberikan kepada kita tanpa minta balasan! Tidak, memilih dulu. Bangsa apapun juga, mahluk apapun juga, yang jahat maupun yang baik, semua disamakan, semua mendapat bagian, semua diberi anugerah itu......."

Pada saat itu, secara tiba-tiba Bhok Hong mengirim serangannya dari jauh, dengan memukulkan kedua tangannya yang penuh hawa beracun Hek-tok-sin-kang itu ke depan, sepenuh tenaga. lnilah penyerangan gelap yang amat berbahaya. Biarpun jarak di antara tempat mereka duduk ada tiga meter lebih, namun penyerangan ini tak kalah berbahayanya dari pada pukulan yang menghantam kulit dan daging secara langsung. Tenaga pukulannya mendatangkan angin yang hebat, yang sebelum sampai pada sasarannya sudah membawa angin pukulan yang panas dan bersuara seperti pedang diayun.

Hui-kiam Koai-sian adalah seorang ahli silat tinggi yang banyak pengalamannya. Tentu saja, biarpun perhatiannya tadi ditujukan kepada pembicaraannya, namun angin pukulan itu tidak terlepas dari pendengarannya.

"Manusia curang.....!" keluhnya, maklum akan bahaya maut yang mengancamnya. Ia mengempos semangatnya, menggerakkan tangan kiri setengah lingkaran di depan dada untuk menjaga bagian tubuh ini sedangkan dua jari tangan kanannya ia tusukkan ke depan mengarah dada lawan untuk menangkis atau menggempur serangan Pak-thian-tok Bhok Hong.

Han Sin membelalakkan kedua matanya. Ia mengenal gerakan yang dilakukan oleh kakek itu. Itulah jurus Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus ke tujuh belas dari Ilmu Silat Lo-hai Hui-kiam yang tiga puluh enam jurus banyaknya. Indah dan hebat gerakan itu dan ia maklum pula bahwa memang jurus-jurus itulah yang paling tepat untuk menangkis serangan gelap yang dahsyat dari Bhok Hong itu.

Pemuda ini seakan-akan mendengar suara bertumbuknya dua tenaga dahsyat itu di tengah udara dan maklum pula bahwa Hui-kiam Koai-sian menderita kerugian dalam bentrokan pertama ini. Dia kalah persiapan dan kalah dulu, maka sebagian tenaga penyerangan Bhok Hong dapat mendobrak pertahanan Hui-kiam Koai-sian dan terus menyerang dada kakek itu. Baiknya Hui-kiam Koai-sian sudah menjaga diri sehingga biarpun tenaga pukulan Hek-tok-sin-kang itu mengenai dadanya, namun sudah tertahan oleh tangan kiri yang dilingkarkan di depan dada. Betapapun juga, kakek ini menjadi pucat seketika dan..... muntahlah darah segar dari mulutnya!

Wajah Pak-thian-tok Bhok Hong membayangkan kegembiraan, akan tetapi mulutnya tertutup. Ia hanya mengirim serangan lagi secara bertubi-tubi, semua dilakukan dengan tangan yang mengandung cengkeraman-cengkeraman maut!

Biarpun Hui-kiam Koai-sian sudah terluka dan muntah darah, namun dengan tenang kakek ini masih dapat menangkis semua serangan, malah kini mulai balas menyerang dengan Ilmu Silat Lo-hai Hui-kiam yang amat lihai itu. Han Sin yang menonton pertandingan mati-matian yang dilakukan dengan tenaga dalam sepenuhnya, dilakukan tanpa mengeluarkan suara karena semua tenaga dikerahkan dalam pertandingan ini, diam-diam merasa amat kagum akan Ilmu Silat Lo-hai Hui-kiam yang dimainkan kakek itu.

Ia baru tahu bahwa ilmu silat ini benar-benar hebat, kalau sudah dilatih secara sempurna, ternyata yang tiga puluh enam jurus itu sudah cukup kuat untuk menghadapi serangan sedahsyat serangan Pak-thian-tok Bhok Hong, malah dapat membalas dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya.

Makin lama serang menyerang antara dua orang kakek yang duduk bersila sejauh jarak tiga meter itu, makin hebat. Akan tetapi anehnya, gerakan mereka makin lambat. Jangan dikira bahwa mereka kehabisan tenaga atau kelelahan, tidak sama sekali, pukulan-pukulan yang dilakukan makin lambat ini sebetulnya malah makin berbahaya karena itulah tanda bahwa pukulan itu mengandung tenaga dalam yang sepenuhnya. Seakan-akan tergetar udara sekeliling dua orang kakek itu. Tanpa diketahui dan tanpa dilihat pula, tempat duduk mereka tergeser makin dekat tanpa mereka menggerakkan kedua kaki yang bersila!

Sementara itu, sorakan-sorakan orang yang berperang di dekat gunung masih terdengar sayup sampai dari tempat itu. Han Sin tak dapat membedakan lagi suara-suara itu dan tidak tahu bagaimana kesudahan perang antara barisan Mongol dan barisan Mancu. Perhatiannya amat tertarik oleh perang tanding antara dua orang tokoh di dunia persilatan yang pada masa itu kiranya sudah boleh dianggap dua orang yang paling tinggi kedudukannya, tentu saja di bawah Pek Sin Niang-niang yang memiliki kesaktian luar biasa.

Tiba-tiba Han Sin dikejutkan oleh suara lengking yang luar biasa, serak seperti suara burung gagak, seperti suara ketawa, akan tetapi lebih patut disebut ketawa iblis dari pada ketawa manusia.

"Hoa Hoa Cinjin......" Han Sin segera mengenal suara ini dan jantungnya berdebar. Teringat ia akan Hoa-ji dan ia mengharapkan tokoh jahat ini akan muncul bersama anak angkatnya, Hoa-ji.

Tepat seperti dugaannya. Dari jauh mendatangi dua bayangan yang cepat larinya dan tak lama kemudian muncullah Hoa Hoa Cinjin, tosu jahat yang bermata luar biasa itu, bersama nona berkedok, Hoa-ji! Tosu ini begitu melihat keadaan Pak-thian-tok Bhok Hong yang sedang bertempur mati-matian melawan Hui-kiam Koai-sian, maklum bahwa dia sendiri tidak mungkin dapat campur tangan dalam pertandingan antara dua orang tokoh besar yang kepandaiannya masih beberapa tingkat lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.

Akan tetapi, dasar orang jahat, tiba-tiba dan sayangnya Han Sin terlalu memperhatikan Hoa-ji yang membuat jantungnya berdebar kalau teringat bahwa di bawah kedok itu bersembunyi wajah adik kandungnya sehingga pemuda ini tidak melihat gerakan Hoa Hoa Cinjin, tosu itu mengayun tangannya dan sinar hijau menyambar ke arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian!

Pada saat itu, jarak antara Hui-kiam Koai-sian dan Pak-thian-tok hanya tinggal dua meter lagi. Pertandingan antara mereka sedang terjadi dengan hebatnya. Dua pasang lengan itu bergerak-gerak, saling serang dan saling desak, angin pukulan mereka membuat rambut dan pakaian mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin puyuh.

Pada saat sinar hijau dari beberapa batang Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) itu menyambar ke arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian, kakek ini kaget sekali akan tetapi ia tak sempat mengelak karena sedang menghadapi desakan Bhok Hong. Anehnya jarum-jarum itu sebelum mengenai leher, sudah runtuh semua ke bawah, seakan-akan tertolak semacam hawa yang ajaib. Hanya ada dua batang yang terbangnya agak ke bawah, tepat menancap di pundak Hui-kiam Koai-sian yang mengeluarkan rintihan perlahan. Gerakan kakek ini menjadi lambat karenanya, dan kini ia berada dalam keadaan berbahaya, terdesak hebat oleh Bhok Hong, bahkan terkurung oleh rangkaian penyerangan racun utara itu.

"Manusia curang.....!" Han Sin tak dapat menahan kemarahannya ketika menyaksikan hal ini dan cepat ia melompat ke depan sebelum Hoa Hoa Cinjin sempat menggunakan jarum-jarumnya lagi.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hoa Hoa Cinjin ketika melihat pemuda yang sakti dan aneh itu muncul. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Sin, maka begitu melihat pemuda ini muncul, cepat ia mencabut pedangnya dan berteriak kepada Hoa-ji,

"Hoa-ji, ayoh kita gempur bocah siluman ini!"

Tanpa menjawab nona berkedok itupun mencabut pedangnya. Dua sinar gemilang berkeredepan ketika ayah dan anak angkat itu maju menyerang Han Sin. Pemuda inipun tidak tinggal diam, cepat meloloskan Im-yang-kiam yang dibelitkan di pinggangnya. Pertandingan seru terjadi di dekat dua orang kakek yang masih mengadu ilmu secara mati-matian itu,

"Nona Hoa-ji, harap jangan ikut menyerangku. Aku.... aku membawa pesan Pangeran Yong Tee untukmu....." kata Han Sin sambil menangkis pedang Hoa Hoa Cinjin dan mengelak dari tusukan Hoa-ji. Nona itu nampak ragu-ragu, akan tetapi karena tidak dapat melihat wajahnya, sukarlah untuk menduga apa reaksi kata-kata yang diucapkan Han Sin ini.

Setelah ragu-ragu sebentar, nona itu menoleh ke arah Hoa Hoa Cinjin dan..... menyerang Han Sin lagi lebih sengit. Pemuda itu amat cerdik, dapat menduga bahwa andaikata benar ada hubungan antara nona berkedok ini dengan Pangeran Mancu, tentu gadis ini takut kepada ayah angkatnya, maka setelah ragu-ragu sejenak mendengar disebutnya nama Pangeran Mancu itu, setelah memandang kepada ayah angkatnya lalu menyerang kembali.

Hoa Hoa Cinjin menyerang lagi, bahkan kini tangan kirinya ikut pula menyerang dengan ilmu pukulannya yang ampuh, yaitu Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) sedangkan tangan kanannya menyerang dengan pedangnya yang cepat dan dahsyat gerakannya. Namun Han Sin selalu dapat menghindarkan diri, malah sekali memutar pedang ia selalu dapat menangkis pedang dua orang pengeroyoknya, membuat tangan Hoa-ji tergetar dan seperti lumpuh sedangkan Hoa Hoa Cinjin juga tergetar telapak tangannya.

"Hoa Hoa Cinjin, kau dulu bersusah payah hendak membunuhku. Kalau aku menghendaki, apa susahnya membalas semua itu? Akan tetapi aku tidak akan membalas..... traaangggg!" Pedang di tangan Hoa Hoa Cinjin terpukul hampir terlepas dari genggaman, sedangkan pedang Hoa-ji yang menyambar leher Han Sin, dielakkan dengan menundukkan kepala secara mudah saja.

"Yang kukehendaki hanya pengakuanmu. Apakah nona Hoa-ji ini anak yang dulu kaurampas dari tangan Kalisang si pemelihara macan?"

Hoa Hoa Cinjin nampak kaget dan marah. "Setan! Mau apa kau tanya-tanya urusan orang lain? Hoa-ji adalah anak angkatku, kalau benar aku menyelamatkannya dari tangan pemelihara macan, habis kau mau apa?"

Hampir saja Han Sin bersorak girang mendengar ini. Tak salah lagi, Hoa-ji adalah adik kandungnya! Akan tetapi ia bergidik juga kalau teringat akan pertemuannya dengan gadis berkedok ini dahulu. Gadis ini sedikit banyak sudah mewarisi sifat kejam dan liar dari ayah angkatnya.

"Hoa Hoa Cinjin, apakah kau dulu membunuh ayah bundaku di Min-san? Kau yang menghendaki kitab wasiat, tentu kau menyerang mendiang ayahku pula!"

Keder juga hati Hoa Hoa Cinjin. Pemuda ini begini lihai, kalau saja tidak begini lihai tentu ia akan menyombong dan mengaku saja membunuh Cia Sun dan isterinya, sungguhpun ia sama sekali tidak melakukan hal itu dan sungguhpun ia tahu akan hal kematian mereka, akan tetapi untuk menyangkal sama sekalipun ia merasa malu.

"Benar dulu aku datang ke Min-san. Aku tidak membunuh mereka, tapi aku tahu bagaimana mereka tewas!" katanya kembali sambil menyerang lagi. Pada saat itu pedang di tangan Hoa-ji juga sudah datang menusuk ke arah punggung Han Sin.

Pemuda ini kaget dan girang mendengar pengakuan Hoa Hoa Cinjin, maka cepat bagaikan kilat ia menggunakan pedang Im-yang-kiam untuk "menempel" pedang Hoa Hoa Cinjin sehingga pedang tosu itu tak dapat ditariknya kembali. Tangan kiri tosu itu yang memukul dengan Cheng-tok-ciang, diterima oleh sambaran tangan Han Sin, dibarengi dengan tendangan ke arah kedua lutut tosu itu yang serentak menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia jatuh berlutut. Pada saat itu, pedang Hoa-ji sudah tiba, tepat menusuk punggung Han Sin. Alangkah kagetnya gadis itu ketika pedangnya menusuk punggung yang seperti karet uletnya dan seperti baja kerasnya. Pedangnya meleset, telapak tangannya lecet dan sakit! Cepat ia meloncat mundur dengan muka pucat.

"Hoa Hoa Cinjin, aku tidak akan membunuhmu. Tapi kau harus mengaku bagaimana matinya ayah bundaku."

"Kenapa kau memaksaku? Mau apa kau?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah tak berdaya itu.

"Orang tua, ketahuilah. Hal itu amat penting bagiku. Juga ketahuilah bahwa Hoa-ji ini, anak angkatmu yang dulu kaurampas dari tangan Kalisang, dia ini bukan lain adalah anak ayah bundaku juga, adik kandungku yang hilang semenjak kecil, ditukar oleh Ang-jiu Toanio....."

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Terdengar jerit tertahan dan Hoa ji yang berdiri di belakangnya hampir roboh terguling, pedang di tangannya terlepas. Gadis berkedok itu menekan dadanya, kemudian lari pergi dari tempat itu.

"Hoa-ji, tunggu! Aku kakakmu sendiri, kakak kandungmu......" Han Sin meninggalkan Hoa Hoa Cinjin yang masih berlutut dengan mata terbelalak heran. Pemuda itu lalu mengejar Hoa-ji yang berlari sambil menangis.

Hoa Hoa Cinjin teringat akan Bhok Hong. Kalau kakek Mongol itu tidak senang menghadapi Hui-kiam Koai-sian, tentu dapat membantunya tadi menghadapi Cia Han Sin. Ia cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa pertandingan antara dua orang kakek itu sudah mencapai puncak yang paling berbahaya, tegang dan menentukan.

Dua orang kakek itu kini sudah duduk berhadapan dalam jarak dekat sekali, malah dua pasang tangan itu sudah saling menempel, dua pasang telapak tangan saling tempel dan saling dorong. Seluruh tenaga dalam dikerahkan, wajah mereka kerut-merut, penuh peluh, dari kepala mereka nampak uap mengepul, mata mereka saling pandang tanpa berkedip, dan napas mereka sudah terengah-engah!

Hoa Hoa Cinjin adalah seorang ahli silat tinggi, ia tahu akan arti pertandingan ini. Pertandingan mati-matian dan seorang di antara mereka pasti akan tewas. Siapa menang dia mungkin hidup. Keadaan mereka berimbang, keduanya berada dalam bahaya. Hui-kiam Koai-sian sudah amat tua, namun nampaknya lebih tenang, kalau aku tidak bantu Pak-thian-tok, bagaimana Racun Utara itu dapat menang?

Dengan keputusan ini, Hoa Hoa Cinjin yang kedua kakinya lumpuh karena tendangan Han Sin tadi, tiba-tiba menggerakkan kedua pahanya dan tubuhnya melayang ke arah Hui-Kiam Koai-sian dari belakang. Tangan kanannya berkelebat menghantam punggung Hui-kiam Koai-sian dengan pukulan Cheng-tok-ciang.

"Bukkk!" Terdengar teriakan ngeri dan tubuh Hoa Hoa Cinjin terlempar ke belakang, dari mulutnya keluar darah segar dan tosu jahat ini terbanting dengan mata mendelik, pingsan!

Perubahan hebat terjadi karena kecurangan Hoa Hoa Cinjin ini. Biarpun dengan sinkangnya yang luar biasa Hui-kiam Koai-sian dapat merobohkan penyerang gelapnya, namun karena sebagian tenaganya molos keluar, pertahanannya kurang kuat. Saat baik itu dipergunakan oleh Pak-thian-tok Bhok Hong untuk menarik tangan kanannya yang tertempel pada tangan kiri lawan dan secepat kilat jari jari tangannya mencengkeram leher Hui-kiam Koai-sian. Seketika itu juga jari-jari tangannya amblas ke dalam leher lawan!

Akan tetapi dia sendiri yang menjerit karena pada saat itu juga yaitu dalam saat maut hendak merenggut nyawanya, kakek gagah itu sudah berhasil menggunakan jari-jari tangan kirinya dengan gerak tipu Hui-kiam-thian-sia (Pedang Terbang Turun dari Langit) menusuk ke arah jidat Bhok Hong. Jari tangan itu menancap ke dalam jidat, merusak otak dan pada saat yang hampir bersamaan nyawa kedua orang tua yang kosen ini melayang meninggalkan tubuh mereka.

Keduanya mati dalam keadaan masih duduk bersila, berhadapan dan dalam sikap yang mengerikan. Tangan kanan Bhok Hong masih mencengkeram leher Koai-sian sebaliknya jari tangan kiri Koai-sian menancap ke jidat Bhok Hong! Hoa Hoa Cinjin masih rebah dengan mata mendelik, telentang pingsan di dekat tempat itu. Suasana menjadi sunyi-senyap.....!

Han Sin terus mengejar Hoa-ji yang berlari cepat memasuki hutan, melompati jurang dan mendaki gunung-gunung batu yang licin berbahaya. Akan tetapi Han Sin terus mengejarnya sambil memanggil,

"Hoa-ji, kau adik kandungku.... tunggulah......!"

Akhirnya ia kehilangan Hoa-ji dan matahari sudah tenggelam, malam segera tiba dan keadaan amat gelap. Terpaksa Han Sin menunda pengejarannya karena udara tiba-tiba menjadi amat gelapnya dan melakukan perjalanan di daerah yang penuh jurang ini amat berbahaya. Semalam suntuk ia tidur, mengaso di bawah batu besar. Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali begitu terang tanah ia sudah melanjutkan pekerjaannya, mencari-cari.

Akhirnya, alangkah girang hatinya ketika ia melihat tubuh Hoa-ji berbaring miring di bawah pohon, tidur bertilamkan sehelai saputangan lebar. Agaknya gadis itupun terhalang larinya oleh udara yang gelap malam tadi, kemudian tertidur di situ. Han Sin cepat meloncat menghampiri dan pada saat ia menjatuhkan diri berlutut di dekat gadis itu, Hoa-ji terjaga dan membalikkan tubuhnya terlentang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat pengejarnya sudah berada di situ, berlutut di dekatnya.

"Pergi kau......! Pergi......!" teriaknya.

"Tidak, Hoa-ji. Sudah lama kau kucari, kau..... kaulah Cia Bi Eng, kaulah adik kandungku yang sebenarnya. Kau anak ayah bunda kita, adikku. Buktinya ada, yaitu ada tanda tahi lalat di mata kaki kirimu. Coba kaulihat kau bukalah kedokmu itu aku kakak kandungmu sendiri!"

Han Sin menggerakkan tangan kirinya hendak merenggut kedok di depan muka Hoa-ji, akan tetapi tiba-tiba tangannya gemetar karena ia teringat akan pengalamannya dengan Tilana! Juga hanya karena membuka kedok ia terlibat dalam urusan yang memusingkan dengan Tilana.

Adapun Hoa-ji ketika mendengar ucapan Han Sin ini, mengeluarkan suara keluhan perlahan, lalu bangun duduk dan suaranya terdengar gemetar,

"..... apa kau bilang......? Tanda di kaki kiri......?"

Dengan kedua tangan menggigil gadis berkedok itu lalu membuka sepatu kaki kirinya, terus membuka kaos kakinya. Han Sin tentu saja malu untuk memandang, lalu membuang muka tidak mau memandang ke arah kaki gadis itu. Pada waktu itu, kaki gadis yang selalu tertutup rapat oleh kaos kaki dan sepatu, merupakan bagian tubuh yang amat dirahasiakan, merupakan bagian yang tak boleh dipandang sembarang orang apa lagi laki-laki.

Tak lama kemudian Han Sin merasa dirinya dipeluk orang dan ia mendengar gadis itu menjerit perlahan, "Kau benar.....! Kau benar....., aku adik kandungmu..... ah, kakakku..... saudaraku tidak mimpikah aku....?"

Ketika Han Sin menengok, ia melihat seorang gadis cantik, tidak tertutup lagi mukanya, menangis di pundaknya. Han Sin cepat memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya sedikit untuk dapat memandang muka itu lebih nyata lagi. Mereka berpandangan, dua pasang mata bertemu, saling selidik, mata kakak beradik kandung yang semenjak masih bayi dipisahkan orang. Keduanya seakan-akan tertarik oleh sesuatu yang gaib, seakan akan merasa bahwa mereka sudah kenal baik muka masing-masing, seperti orang yang dulu sudah kenal baik baru bertemu kembali.

"Kau...... kau Bi Eng adik kandungku....! Ayah...., ibu..... akhirnya anakmu berdua dapat saling bertemu dan berkumpul kembali....." Tak tertahankan pula air mata menetes turun dari sepasang mata Han Sin ketika ia memeluk adik kandungnya.

"...... kakakku Han Sin......, Sin ko, alangkah lamanya aku menanti-nanti saat seperti ini....... alangkah besarnya rinduku terhadap ayah ibu..... tidak kira..... ayah ibuku adalah ayah bundamu juga yang sudah lama meninggal dunia..... ibu......!" Dan gadis itu menangis menjerit-jerit sampai akhirnya pingsan dalam pelukan kakaknya.

Hancur hati gadis itu ketika mendapat kenyataan bahwa ayah bundanya sudah meninggal. Semenjak kecil ia maklum bahwa dia hanyalah anak angkat Hoa Hoa Cinjin, bahwa dia mempunyai ayah bunda kandung. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin tak pernah mau mengaku, hanya menyatakan bahwa ayah angkatnya itu menemukannya di dalam hutan, tidak tahu anak siapa. Alangkah besarnya rindu hatinya kepada ayah bundanya, sering kali ia bermimpi bertemu dengan ayah bundanya. Sekarang, ia bertemu dengan kakak kandungnya dan ternyata bahwa ayah bundanya sudah meninggal dunia.

Han Sin segera dapat mengendalikan perasaannya yang tadi terpengaruh oleh keharuan. Ia teringat akan Hui-kiam Koai-sian yang sedang mengadu nyawa dengan Pak-thian-tok Bhok Hong, teringat pula akan Hoa Hoa Cinjin yang terluka. Tiba-tiba ia menarik lengan adiknya. "Ayoh kita cepat menemui ayah angkatmu itu dan minta penjelasan tentang kematian ayah bunda kita."

Hoa-ji yang sebetulnya bernama Cia Bi Eng yang "tulen" ini, tidak membantah, berlari di samping kakaknya menuju ke dalam hutan di mana terjadi pertempuran antara dua orang tokoh besar itu. Ketika mereka tiba di tempat itu, Hoa-ji mengeluarkan jerit tertahan melihat ayah angkatnya menggeletak dengan wajah pucat dan merintih-rintih, terluka hebat. Betapapun juga, Hoa Hoa Cinjin adalah ayah angkatnya yang sudah menaruh kasih sayang kepadanya semenjak ia kecil, yang mendidiknya.

"Ayah....." Ia menubruk, maju dan berlutut, Hoa Hoa Cinjin tersenyum pahit.

"Hoa-ji....., habislah..... aku kali ini......" bisik Hoa Hoa Cinjin. Kemudian ia memandang wajah gadis itu penuh kekaguman. "Kau..... sudah membuka kedokmu...... sudah terbuka rahasiamu....?"

Sambil terisak Hoa-ji mengangguk. Sementara itu, Han Sin yang sekelebatan memeriksa keadaan dua orang kakek sakti, menarik napas panjang dan merasa kagum sekali. Dua orang kakek itu tewas dalam keadaan duduk bersila dan saling serang! Kemudian iapun menghampiri Hoa Hoa Cinjin yang sudah payah pula keadaannya.

"Ayah, dia ini adalah kakak kandungku....." Ia mendengar Hoa-ji menangis sambil memeluk ayahnya. "Aku adalah anak dari Min-san........"

"Sudah kuduga..... sudah kusangka demikian.... Ang-jiu Toanio memang kejam, menukar-nukar anak!" Hoa Hoa Cinjin terpaksa menghentikan kata-katanya karena menderita nyeri bukan main.

"Ayah, katakanlah sekarang, siapa yang membunuh ayah bundaku? Apakah yang menyebabkan kematian mereka?" Hoa-ji bertanya, mendesak.

Hoa Hoa Cinjin menggeleng kepala. "Tidak ada.... tidak ada yang membunuh...... isteri Cia Sun..... cemburu kepada Balita...... marah-marah, bunuh diri.... dan Cia Sun yang mencintai isterinya..... menjadi kalap dan bunuh diri pula.... aduhhh, selamat tinggal......" Hoa Hoa Cinjin menghembuskan napas terakhir dalam pelukan anak angkatnya.

"Sin-ko, apa yang menyebabkan kematiannya?" tanya gadis itu kepada Han Sin sambil memandang penuh kedukaan karena gadis ini mengira bahwa ayah angkatnya tewas akibat pertempuran melawan Han Sin tadi.

Han Sin dapat menangkap isi hati adiknya. "Ayah angkatmu terkena pukulan yang hebat sekali. Tadi ketika aku meninggalkannya, aku hanya merobohkannya dengan menendang kedua lututnya. Agaknya ia terkena luka hebat oleh seorang di antara dua kakek sakti itu."

Suara perang di lereng gunung sudah tak terdengar lagi. Agaknya sudah selesai. Memang demikian halnya, pasukan-pasukan Mongol sudah dihancurkan dan sedang dikejar-kejar ke barat oleh pasukan Mancu. Keadaan sunyi sekali.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan dari balik gunung-gunung batu yang besar berlompatan beberapa orang. Yang terdepan adalah orang jangkung pembantu Bhok Kian Teng yang lihai itu, yang dulu mengeroyok Han Sin bersama Bhok Kian Teng dan Bi Eng. Kini manusia aneh yang tinggi seperti pohon bambu itu muncul lagi, bersama beberapa orang pembantu Bhok Kian Teng.

Bahkan Bhok Kian Teng sendiri tampak muncul di belakang orang-orang itu. Beberapa orang di antara mereka yang terdepan menunggang kuda, agaknya mereka ini tadi bersembunyi karena kalah perang dan sekarang siap hendak mengawal Bhok Kian Teng pergi dari situ. Melihat mereka datang, Han Sin diam-diam terkejut dan khawatir.

"Kalau mereka melihat ayah angkatmu dan Pak-thian-tok tewas, tentu mengira aku yang melakukannya dan kau disangka mengkhianati mereka. Adikku, kau tunggulah di sini, biar aku merampas seekor kuda dan kita kabur dari sini. Perjalanan ke selatan amat jauh, lebih baik kalau kita mempunyai seekor kuda yang besar dan kuat."

Hoa-ji hanya mengangguk saja, lalu bersembunyi. Han Sin dengan langkah lebar menghampiri rombongan orang yang sudah melihatnya itu. Si jangkung itu begitu melihat musuh lamanya yang dulu terlepas dari tangannya ketika ditolong Pek Sin Niang-niang, mengeluarkan suara aneh lalu langsung menyerang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang.

Han Sin tidak mau memberi hati lagi. Sekarang setelah tenaganya pulih semua, mana ia takut menghadapi si jangkung ini? Serangan itu ia sambut dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga. "Plak!" Tangan si jangkung tidak terpental oleh tangkisan Han Sin, malahan menempel seperti mengandung perekat yang kuat. Han Sin terkejut juga, mereka berdua berkutetan mengadu tenaga, akhirnya si jangkung terpelanting dan bergulingan sampai empat lima meter ketika Han Sin mengerahkan tenaga melemparkannya!

Orang-orang kepercayaan Bhok Kian Teng maju mengeroyok. Akan tetapi Han Sin meloncat tinggi, sekali jambret sudah berhasil melemparkan seorang penunggang kuda dan tubuhnya sendiri turun di punggung kuda itu.

"Pangeran Galdan, terima kasih atas pemberian kuda ini!" kata Han Sin yang cepat membedal kudanya dari situ. Di dekat tempat persembunyian Hoa-ji ia berseru. "Kau loncatlah di belakangku!"

Hoa-ji memang sudah bersiap-siap. Begitu kuda itu lewat ia meloncat dan tepat sekali ia duduk di belakang tubuh Han Sin. Ia memeluk pinggang kakaknya dan kuda besar itu dibalapkan oleh Han Sin cepat sekali. Dari belakang, si jangkung mencoba untuk mengejar, akan tetapi betapapun panjang kakinya, sukar juga mengejar kuda yang dapat berlari demikian cepatnya. Apa lagi ia memang agak jerih menghadapi pemuda yang demikian lihainya itu.

"Sin-ko kita mau pergi ke manakah? Apakah hendak kembali ke Min-san?" tanya Hoa-ji setelah mereka berdua selamat melarikan diri dari kejaran Bhok Kian Teng dan kaki tangannya.

Han Sin menjalankan kudanya perlahan, mereka sudah tiba di perbatasan. "Adikku, terus terang saja, sebelum aku dapat membuka rahasiamu dan mendapatkan bukti bahwa kau adalah adik kandungku sendiri, aku memang sudah berjanji pada orang untuk membawa Hoa-ji ke selatan, untuk menyelamatkan atau merampas dirinya dari lingkungan Pangeran Galdan. Apakah kau dapat menerka siapa orang yang kuberi janji itu?"

Cari Blog Ini