Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 26


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 26




"Hemm, kau mau mencinta Han Sin? Mampuslah!" seru Tilana sambil mengayun pedang, penuh kebencian!

"Trangg!" Pedang di tangan Tilana bertemu dengan pedang lain yang pada saat itu menangkis. Tilana kaget dan memandang.

"Kau.....??" tegurnya ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya dengan muka beringas dan penuh benci adalah..... Bi Eng! Bi Englah yang menangkis pedang Tilana tadi, tepat pada saat Li Hoa terancam bahaya maut.

"Ya, aku!" jawab Bi Eng dan diam diam Tilana terheran mengapa sikap Bi Eng sekarang demikian berubah, tidak ramah dan manis seperti dulu terhadapnya, melainkan kasar dan agaknya penuh kemarahan dan kebencian. "Jangan khawatir, enci Li Hoa, aku membantumu mengenyahkan siluman ini!" Setelah berkata demikian, Bi Eng menggerakkan pedangnya menyerang Tilana!

"Eh....., eh...., apa kau gila......?" Tilana berseru marah sambil menangkis. Akan tetapi Bi Eng menyerang terus dan Li Hoa juga sudah menyerangnya dengan gemas. Menghadapi keroyokan dua orang gadis ini, Tilana tentu saja terdesak. la mengeluarkan seruan nyaring dan liar, lalu menyerang dua orang lawannya dengan dua batang anak panahnya. Ketika dua orang gadis itu dengan kaget mengelak, Tilana lalu melarikan diri sambil memekik nyaring, setengah tertawa, setengah menangis. Ginkangnya hebat, dua orang gadis lawannya tak dapat menyusul larinya yang amat cepat. Semenjak kecil Tilana sudah biasa berlari-larian di gunung-gunung, hutan-hutan dan padang pasir, tentu saja Bi Eng dan Li Hoa tidak mampu melawannya dalam hal berlari cepat.

"Adik Bi Eng, terima kasih atas pertolongamu," kata Li Hoa dengan girang. "Kau benar-benar membuat kami merasa gelisah sekali. Selama ini kaupergi ke mana sajakah?" Li Hoa menghampiri untuk memeluk kawan baik ini.

Akan tetapi aneh sekali. Dengan sikap keren dan pemarah, Bi Eng mengundurkan diri dan tidak mau menerima pelukan Li Hoa. "Tak perlu berterima kasih," jawabnya singkat, "perempuan tadi memang jahat." Setelah berkata demikian, Bi Eng membalikkan tubuhnya dan...... pergi meninggalkan Li Hoa!

Tentu saja Li Hoa menjadi bengong terheran menyaksikan sifat yang tidak sewajarnya ini. Dahulu Bi Eng terkenal sebagai gadis lincah gembira yang amat peramah. Kenapa sekarang menjadi begini dan kelihatan seperti orang berduka?

"Bi Eng, tunggu....." katanya mengejar. Namun Bi Eng mempercepat jalannya dan kedua orang gadis itu kini berkejaran.

Belum jauh mereka berlari-lari, dari balik batu besar muncul seorang pemuda. Melihat orang ini, wajah Li Hoa berubah. Cepat ia mencabut pedangnya dan mempercepat larinya.

Sementara itu, ketika pemuda itu melihat Bi Eng, ia tertawa lebar.

"Ha ha ha, kalau jodoh, kemanapun juga akan bertemu. Kekasihku, benar-benar kita berjodoh, maka dapat bertemu pula di sini. Ha ha!"

Akan tetapi Bi Eng tidak menjawab, hanya merengut dan membuang muka. Pada saat itu Li Hoa sudah tiba di depan pemuda tadi. Li Hoa menudingkan pedangnya membentak,

"Pemberontak keparat! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Kau membunuh ayahku, sekarang aku akan membunuhmu!" Biarpun pundaknya masih terasa sakit karena luka akibat pedang Tilana tadi, namun saking marahnya melihat musuh besar ini, ia lalu maju menyerang dengan hebat.

Pemuda itu bukan lain adalah Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu. Tadi ia terlampau girang melihat munculnya Bi Eng, yang betul-betul tak pernah ia sangka berada di tempat itu, maka ia kurang memperhatikan Li Hoa. Sekarang, melihat bahwa gadis yang seorang lagi adalah Li Hoa, gadis yang dulu pernah membuat ia tergila-gila kegirangannya memuncak.

"Aha, kaukah ini, nona Thio Li Hoa?" katanya sambil mengelak dengan mudah. "Kebetulan sekali, aku sedang kesepian tiada kawan, kaupun muncul di sini. Bagus, bagus....! Kau makin manis.... saja.... ha ha ha.......!"

Li Hoa yang tiga kali berturut turut tidak berhasil dengan serangannya, mendengar ini menjadi gemas sekali. Ia mengertak gigi, memegang gagang pedangnya erat-erat, lalu maju menubruk dengan sebuah tusukan kilat.

"MAKIN liar dan ganas, makin menyenangkan...." Bhok-kongcu yang terkenal mata keranjang itu menggoda terus, kali ini ia mengelak sambil menggerakkan tangan, sekali pegang saja ia berhasil menangkap pergelangan tangan Li Hoa yang memegang pedang, diputarnya cepat-cepat membuat Li Hoa memekik kesakitan dan pedangnya terlepas. Di lain saat, sebelum Li Hoa mampu bergerak, gadis itu sudah dipeluk oleh Bhok-kongcu!

"Lepaskan aku! Keparat keji, lepaskan...!" Li Hoa meronta dan berteriak, namun makin ia meronta, pelukan Bhok-kongcu makin erat pula sampai ia tak mampu berkutik lagi.

"Tak tahu malu! Lepaskan dia!" Bi Eng tiba-tiba membentak dan pedangnya membabat ke arah leher Bhok-kongcu.

"Hayaaa, kaupun menyerangku? Celaka, diserang oleh tunangan sendiri!" Bhok-kongcu hendak berkelakar, namun serangan ini adalah gerakan Cin-po-thian-keng yang lihai dari Ilmu Silat Thian-po-cin-keng! Bhok-kongcu kaget sekali ketika tahu-tahu mata pedang hampir membabat lehernya. Cepat ia meloncat ke belakang dan karena gerakan ini, pelukannya pada tubuh Li Hoa mengendur. Hal ini tidak disia-siakan oleh Li Hoa yang cepat menggerakkan kedua tangannya.

"Dukkk!" Kepalan kanan Li Hoa berhasil "memasuki" perut Bhok-kongcu dengan tepat.

"Aduuhhh....!" Pemuda itu terlempar ke belakang, wajahnya pucat dan biarpun tidak membahayakan jiwanya, ternyata ia telah menderita luka dalam. la tersenyum pahit, nafsu cintanya terhadap Li Hoa berubah seketika, berubah menjadi kemarahan dan kebencian.

"Kau berani memukulku?"

"Aku malah akan membunuhmu!" Li Hoa berteriak lagi setelah mengambil pedangnya, lalu menubruk dengan serangannya yang dilakukan secara nekat.

"Baik, cobalah sebelum kau kukirim menyusul ayahmu!" Bhok-kongcu mengelak dan cepat mencabut senjatanya, yaitu sebuah kipas lebar. Beberapa belas jurus mereka bertempur dan Bi Eng berdiri ragu-ragu, tidak membantu, hanya pedangnya masih terpegang di tangan kanan.

Pada jurus ke lima belas, Bhok-kongcu sengaja memperlambat tangkisannya, akan tetapi ketika ujung pedang di tangan Li Hoa sudah dekat, ia cepat menggunakan sepasang gagang kipasnya menjepit pedang itu. Selagi Li Hoa berusaha melepaskan pedangnya, tangan kiri Bhok-kongcu datang menyambar.

"Plakk!" Tangan kiri yang putih halus, akan tetapi mengandung penuh tenaga Hek-tok-ciang itu telah menghantam dada Li Hoa. Gadis itu menjerit ngeri dan roboh terguling, tak dapat bergerak lagi!

"Manusia keji, di mana-mana membunuh orang!" Bi Eng berseru marah.

"Kaupun banyak rewel sekarang, lekas-lekas menjadi isteriku lebih baik, harus diberi hajaran!" Bhok-kongcu balas membentak dan sebelum Bi Eng sempat menyerang, pemuda itu sudah menerjangnya, tangan kiri memukul ke arah pedang dan tangan kanan menyambar pinggang Bi Eng. Terus saja ia memanggul tubuh Bi Eng yang menjerit-jerit, memaki-maki dan meronta-ronta, dibawa lari cepat meninggalkan tempat itu, meninggalkan tubuh Li Hoa yang tidak bergerak dan pakaian di dadanya sudah hancur memperlihatkan kulit dada yang hangus kehitaman.

"Saudara Cia Han Sin!"

Han Sin terkejut mendengar panggilan ini dan cepat menengok. Ternyata Phang Yan Bu yang memanggilnya. Yan Bu berlari datang bersama seorang gadis cantik dan gagah. Ternyata bahwa gadis itu adalah Thio Li Goat, adik Li Hoa.

"Ah, Phang-loheng, kau hendak ke manakah?"

Akan tetapi sampai lama Yan Bu tak menjawab, hanya memandang pemuda itu yang menjadi pucat dan kurus sekali dengan perasaan kasihan. la tidak banyak tahu tentang pemuda aneh dan sakti ini, hanya dapat menduga bahwa banyak hal-hal yang amat sengsara terjadi menimpa keluarga Cia dan karenanya membuat ia menaruh hati kasihan.

"Kami sedang mencari jejak adikmu. Nona Cia Bi Eng...."

".... di mana dia........?" Han Sin memotong dengan tergesa-gesa, penuh gairah.

"Sabar dulu, saudara. Beginilah ceritanya," Yan Bu lalu menuturkan secara singkat kemunculan Tilana yang mengaku adik kandungnya itu, lalu betapa Li Hoa mengejarnya. Agaknya hanya Tilana yang tahu di mana adanya Bi Eng, maka kini Yan Bu dan Li Goat lalu pergi mencari.

"Aneh sikap Tilana itu, saudara Cia Han Sin. Dia mencarimu, dan dulupun dia yang membawa pergi Bi Eng. Dia kelihatan jahat, kami amat mengkhawatirkan keselamatan Bi Eng dan.... enci Li Hoa. Kebetulan sekali kami mendapat keterangan bahwa jejaknya berada di daerah ini."

"Kalau begitu mari kita bersama mengejarnya," kata Han Sin tidak sabar lagi. Ia tidak mau banyak bercerita, hanya ingin lekas-lekas dapat mencari dan menemui Bi Eng. Karena Bi Englah, ia menjadi pucat dan kurus kering, lupa makan, lupa tidur.

Sayang sekali mereka sedikit terlambat, kalau tidak kiranya Li Hoa takkan mengalami nasib sedemikian mengerikan. Hanya satu dua jam setelah Li Hoa roboh dan ditinggal pergi Bhok-kongcu yang menculik Bi Eng di tempat itu muncul Han Sin, Yan Bu dan Li Goat!

"Hoa-ci....!!" Li Goat cepat menubruk cicinya dan menangis.

Li Hoa membuka matanya, memandang tiga orang itu. Melihat Han Sin, ia berbisik, "Han Sin... bagus sekali kau datang.... ke sinilah kau...."

Han Sin berlutut mendekati Li Hoa. Ngeri ia melihat dada yang sudah tak tertutup lagi karena pakaiannya sudah hancur, akan tetapi dada itu sudah hangus kehitaman!

"Kau terpukul Hek-tok-ciang...." katanya sedih. Teringat ia betapa baik gadis ini terhadapnya, betapa dulu ia tertolong oleh Li Hoa, bahkan dibela dengan taruhan nyawa, betapa dulu ketika terluka iapun dirawat oleh gadis itu. Dengan terharu ia lalu mengangkat kepala gadis itu dan dipangkunya, lalu mengambil baju luarnya untuk diselimutkan di atas dada. Kemudian beberapa jalan darah ia totok dan urut, bukan untuk mengobati, hanya untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat.

"Terima kasih...." Li Hoa bernapas lega, "Sekarang enakan.... tidak sepanas tadi...." Gadis itu memandang kepada Han Sin dengan muka berseri! "Kau.... kau baik sekali. Han Sin.... tidak percuma.... aku mencintamu.... eh, kenapa kau kurus dan pucat? Han Sin, jaga baik-baik dirimu..... aku ikut berduka kalau melihat kau susah... dahulu itu, ketika kau disiksa Thian-san Sam-sian.... aduh, sakit sekali hatiku....."

Melihat gadis yang sudah menghadapi maut itu masih memperlihatkan kasih sayang kepadanya, Han Sin menjadi amat terharu. Tak terasa lagi, dua butir air matanya jatuh menimpa pipi Li Hoa.

"Kau..... kau menangis....? Untukku....? Ahhh, aku puas.... matipun ikhlas.... Phang Yan Bu, kau harap bersikap baik terhadap adikku.... sebaik Han Sin ini...." Tiba-tiba suaranya terhenti dan napasnyapun terhenti. Han Sin cepat sekali menggerakkan tangan menghidupkan peredaran darah dan mengerahkan sinkang untuk membantu jalan darah dan menghidupkan urat syaraf gadis itu, lalu berbisik di telinganya.

"Di mana Bi Eng......."

".... Bi Eng..... dia diculik Bhok.... ke sana....." Matanya mengerling ke arah perginya Bhok-kongcu lalu mata itu meram dan..... napasnyapun terhenti sama sekali. Gadis itu meninggal dalam pelukan Han Sin.

"Kalian urus jenazahnya. Aku harus mengejar Bhok-kongcu si bedebah. Bhok Kian Teng yang membunuh Li Hoa, dengan pukulan Hek-tok-ciang. Tentu dia belum jauh!"

Yan Bu dan Li Goat mengangguk tanda setuju. Memang, siapa lagi yang dapat menghadapi Bhok Kian Teng yang lihai itu selain Han Sin? Setelah memberikan jenazah Li Hoa kepada sepasang orang muda itu untuk membawanya pergi, Han Sin cepat berlari seperti terbang ke arah yang ditunjuk oleh Li Hoa tadi. Ia berlari-lari bagaikan terbang cepatnya. Segera ia sampai di daerah yang berbatu-batu dan tahulah ia bahwa ia telah tiba dekat sungai besar.

Tiba-tiba telinganya menangkap jerit wanita, "Lepaskan aku.....!"

Dengan jantung berdebar Han Sin berlari makin cepat lagi ke arah suara itu. Setelah melompati beberapa buah batu besar, akhirnya ia melihat Bhok Kian Teng berjalan perlahan-lahan sambil memondong tubuh Bi Eng yang meronta-ronta dan memaki-maki.

"Diamlah, manis... diamlah, sayang.... bukanlah kau calon isteriku yang syah? Ibumu sendiri sudah menyerahkan kau kepadaku. Tunggu saja, kau akan menjadi permaisuri..... ha ha ha!" Bhok Kian Teng membelai rambut gadis yang dipondongnya itu, yang terurai menutupi lengannya.

Hampir meledak isi dada Han Sin menyaksikan penglihatan ini. Sekali melayang ia telah tiba di depan Bhok-kongcu sambil membentak, "Iblis bermuka manusia! Lepaskan dia!"

Pucat muka Bhok-kongcu ketika tiba-tiba ia melihat musuh yang paling ia takuti ini berdiri di depannya.

"Kau....? Kau......??" Dan ia lalu lari sambil memondong tubuh Bi Eng. Anehnya, sekarang gadis itu tidak meronta lagi, malah tidak mengeluarkan suara.

"Kau hendak membunuhku....? Ha ha ha, tak mungkin, Cia Han Sin Aku calon raja. Aku pangeran besar, keturunan Jenghis Khan! Ha ha ha! Dan nona Tilana ini adalah calon permaisuriku......!"

Bukan main cemasnya hati Han Sin. Agaknya Bhok-kongcu sudah menjadi gila. Hendak menyerang, ia takut kalau-kalau Bi Eng celaka di tangan pemuda Mongol itu. Maka ia cepat mengejar dengan maksud merampas tubuh Bi Eng yang dipondong Bhok-kongcu. Akan tetapi Bhok-kongcu mengerti akan maksud ini, maka ia cepat menggunakan tubuh Bi Eng untuk menyerang Han Sin!

Han Sin cepat mengelak dan pucatlah wajahnya ketika melihat gadis itu sudah lemas, tidak bergerak lagi. Saking kagetnya ia sampai berdiri tidak mengejar ketika Bhok-kongcu berlari terus. Baru setelah hilang kagetnya, ia mengejar lagi.

"Orang gila, akan kuhancurkan kepalamu kalau kau berani mengganggu dia!" geramnya marah sekali.

Bhok-kongcu sudah berlari sampai di pinggir sungai yang amat curam. Ia angkat tubuh Bi Eng dan mengancam. "Majulah setindak lagi dan.... akan kulemparkan dia ke bawah!"

Han Sin memandang dengan mata terbelalak, menjadi seperti patung, berdiri dalam jarak lima meter dari Bhok-kongcu, tidak berani bergerak.

" jangan.... jangan lakukan itu..... dia tidak berdosa......" suaranya memohon dengan gemetar.

"Ha ha ha ha! Dia isteriku, dia calon permaisuriku.... kau perduli apa.....? Aku boleh melakukan apa yang kusuka. Lihat....!" Tak usah diminta lagi, Han Sin memang sudah melihat hal yang amat mengerikan hatinya. Melihat betapa baju di lambung kiri Bi Eng telah hancur..... dan kulit lambung yang tampak berwarna hitam! Tak salah lagi, pemuda gila itu sudah melukai lambung Bi Eng dengan pukulan Hek-tok-ciang, tentu pada saat Han Sin muncul tadi karena sebelumnya Bi Eng masih memaki-maki!

Muka Han Sin menjadi beringas, sebentar pucat, sebentar merah. Sepasang matanya seperti mengeluarkan api, dan dari kepalanya mengepul uap! Melihat keadaan pemuda itu, Bhok-kongcu sampai merasa ngeri dan ketakutan.

"Awas kau..... kuhancurkan kepalamu...... kukeluarkan isi perutmu..... kuseret kau ke neraka jahanam...." dengan langkah satu-satu Han Sin menghampiri Bhok-kongcu.

"Jangan dekat, kulemparkan dia nanti ke bawah!" Bhok-kongcu mengancam lagi. Akan tetapi Han Sin tidak perduli lagi, karena ia maklum bahwa biarpun dia tidak menangkap Pangeran Mongol itu, tetap saja nyawa Bi Eng sukar ditolong lagi. Kemarahannya meluap-luap, belum pernah selama hidupnya Han Sin semarah itu.

Bhok Kian Teng membelalakkan matanya. Ia melihat pemuda itu selangkah demi selangkah, lambat-lambat menghampirinya dan..... setiap melangkah, kakinya meninggalkan bekas yang dalam dan nyata di atas batu! Sekali saja Han Sin menggerakkan tangan, tanpa menyentuh tubuh Bhok-kongcu, pemuda gila ini tentu akan remuk isi perutnya. Hawa sinkang sudah berkumpul seluruhnya di dalam tangan kaki Han Sin.

Tiba-tiba Bhok-kongcu berteriak parau, "Inginkan dia? Nih, terimalah, ha ha ha ha!" Tubuh Bi Eng ia lontarkan dengan kuat sekali ke arah Han Sin dan dia sendiri saking takut dan paniknya sudah melompat ke belakang, ke... tempat kosong. Tubuhnya melayang ke bawah dan terdengar pekiknya yang menggema di lembah itu, pekik kematian karena tubuhnya disambut oleh batu-batu keras yang runcing dan mengerikan di antara air sungai.

Han Sin cepat menyambar tubuh Bi Eng. la tidak perduli lagi kepada Bhok-kongcu. Cepat ia memeriksa detak jantung dan pernapasan. Sepuluh jari tangannya menggigil saking tegangnya hati.

"Aduhh....., syukur kau masih hidup, Bi Eng.... tapi..... tapi....."

la maklum bahwa ia takkan mungkin dapat mengobati Bi Eng. Pikirannya sekilat melayang kepada Phoa Kek Tee si raja obat. Akan tetapi pikiran itu buyar kembali ketika ia mengingat bahwa sekarang raja obat itu sudah kehilangan kepandaiannya karena..... dia.

"Ahhh..... Bi Eng..... kalau kau mati.... akupun ikut serta....." tiba-tiba ia teringat akan Pek Sin Niang-niang. Ya, betul dia? Satu-satunya orang di dunia ini yang dapat dimintai tolong, hanya pertapa wanita itulah.

Han Sin memondong tubuh Bi Eng. lalu berlari secepat terbang. Siang malam tiada henti-hentinya ia berlari terus menuju ke Go-bi-san, tempat pertapaan Pek Sin Niang-niang.

"Niang-niang, tolonglah teecu.... tolonglah kalau Niang-niang tidak ingin melihat kami berdua mati....." Han Sin dengan Bi Eng dalam pondongannya, berlutut sambil memohon-mohon dan menangis di depan pertapa wanita Pek Sin Niang-niang yang bersikap tenang saja.

"Cia-sicu, tak layak seorang gagah mengucurkan air mata. Nona ini siapakah?"

"Oh, Niang-niang..... dia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini..... dia ini ya saudaraku, ya kekasihku, ya satu-satunya orang yang kukasihi dan untuknya aku mau hidup... Niang-niang, tolonglah kami....."

"Tenanglah, dan ceritakan mengapa dia sampai terluka seperti itu."

Dengan singkat Han Sin lalu menceritakan segala-galanya tentang Bi Eng yang dulu semenjak kecil ia anggap adik kandungnya, dan tentang segala perasaannya terhadap Bi Eng serta kejadian-kejadian yang amat merisaukan hatinya akhir-akhir ini. Setelah selesai, Pek Sin Niang-niang lalu memeriksa luka Bi Eng sambil berkata tersenyum, "Memang kau agaknya ditakdirkan untuk mengalami permainan asmara yang berbelit-belit, Cia-sicu. Nona ini berat lukanya, baiknya kau sudah menghentikan jalan darahnya, kalau tidak, begitu racun menyerang jantung, dia takkan tertolong lagi. Sekarang dia harus banyak beristirahat sambil berobat di sini. Akan tetapi, percayalah, kalau Thian menghendaki, dia akan sembuh."

Bukan main girangnya Han Sin. Ia berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di depan pertapa wanita itu seperti seekor ayam makan padi!

Pek Sin Niang-niang adalah bibi guru dari Raja Obat Phoa Kok Tee. Ilmunya tentang pengobatan amat dalam, apa lagi memang pertapa ini mengutamakan ilmu pengobatan anti racun. Dengan amat teliti ia merawat dan mengobati Bi Eng yang menjadi sadar dari pingsannya pada tiga hari kemudian. Gadis ini amat lemah dan dadanya terasa sakit sekali. Ketika ia sadar dan melihat Han Sin duduk di dekat pembaringannya, ia merengut dan hendak marah-marah. Akan tetapi Han Sin menyabarkannya dan mencegah gadis itu bangun.

"Eng-moi, kau tenang dan mengasolah. Kau terluka hebat oleh Bhok-kongcu, syukur Pek Sin Niang-niang berkenan menolongmu di sini dan memberi obat. Kau harus banyak mengaso....." Suara pemuda ini lemah-lembut, penuh kasih sayang. Naik sedu-sedan dari dada Bi Eng.

Selama ini memang di dalam dadanya penuh dengan cinta dan rindu kepada pemuda ini, akan tetapi semua perasaan itu ia tekan dan coba matikan sendiri. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membenci pemuda ini, dengan menjejalkan pikiran bahwa pemuda ini sudah berlaku tidak patut terhadap Tilana atau yang sebetulnya bernama Kiok Hwa puteri Ang-jiu Toanio. Malah ia meyakinkan dalam hatinya bahwa dia bukan Bi Eng, melainkan Tilana puteri Balita.

Akan tetapi semua usahanya ini selalu gagal, kalah oleh rasa rindu kepada Han Sin, bekas kakak kandungnya. Malah sudah pernah ia memaksa hatinya untuk menerima perintah ibunya, yaitu yang mengikat dia kepada Bhok-kongcu sebagai tunangan. Namun, makin dekat Bhok-kongcu makin bencilah ia kepada Pangeran Mongol itu.

"Kau pergilah..... kau pergilah....." akhirnya ia berkata sambil menangis.

Han Sin yang maklum bahwa perasaan gadis itu amat tertekan entah oleh apa, mengalah dan keluar dari kamar itu. Betapapun juga, hatinya lega melihat gadis itu sudah siuman.

Pek Sin Niang-niang muncul ke dalam kamar membawa semangkok bubur hangat. Bi Eng yang melihat wanita pertapa ini, memandang kagum. Ia segera dapat menduga bahwa pertapa inilah yang menolongnya, maka ia lalu mencoba untuk turun dari pembaringan.

"Jangan banyak bergerak, nona. Berbaringlah saja dan kau makanlah bubur ini." Pertapa itu lalu menyuapkan bubur ke mulut Bi Eng. Akan tetapi gadis itu tidak mau menerimanya.

"Apakah..... apakah kau Pek Sin Niang-niang......?"

Ketika pertapa itu mengangguk Bi Eng berlinang air mata. "Niang-niang telah menolong nyawa teecu, seharusnya teecu berlutut menghaturkan terima kasih. Bagaimana teecu berani melelahkan Niang-niang untuk merawat teecu seperti ini.

Pek Sin Niang-niang tersenyum ramah. "Aku tidak mengenal apa itu tolong-menolong, anak baik. Manusia hidup harus memenuhi kewajibannya masing-masing dengan sempurna, baru tak percuma hidup di dunia. Kewajibanku saat ini ialah merawat dan mengobatimu, sedangkan kewajibanmu ialah taat pada pinni agar cepat sembuh."

"Tapi..... tapi...... harap Niang-niang menyuruh seorang pembantu saja untuk merawat teecu....." Bi Eng benar-benar merasa malu dan sangat tak enak kalau membiarkan pertapa tua ini turun tangan sendiri merawatnya, seperti menyuapkan makan dan lain-lain.

Pek Sin Niang-niang tertawa girang. Boleh juga bocah ini, pikirnya.

"Boleh, akan kusuruh pembantuku. Akan tetapi kau harus berjanji bahwa kau akan taat dan tidak membantah. Begitu barulah kau seorang anak yang baik."

"Teecu sudah menerima budi, bagaimana berani membantah," Bi Eng menyanggupi.

"Nah, pertama, kau tidak boleh bergerak dan tidak boleh turun dari pembaringan, apapun juga yang terjadi. Ke dua, kau harus menurut segala permintaan pembantuku."

"Baiklah, Niang-niang."

"Dan sekali-kali kau tidak boleh marah-marah. Racun masih ada bekasnya di dalam tubuhmu. Pemuda itu bukan main. Kau dipondongnya ke sini setelah melalui perjalanan empat hari empat malam tiada berhenti-henti." Setelah berkata demikian, Pek Sin Niang-niang meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintu.

Bi Eng menanti datangnya pembantu pertapa itu yang disangkanya tentu seorang wanita pula. Ketika pintu kamar terbuka, ia melirik dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa yang memasuki kamar adalah.... Han Sin yang membawa mangkok bubur tadi. "Niang-niang minta kepadaku untuk menyuapkan bubur ini kepadamu...." kata Han Sin, "Bi Eng, kau makanlah bubur ini agar segera sembuh."

Bi Eng hendak marah, akan tetapi teringat akan pesan Pek Sin Niang-niang, ia menahan diri, hanya mengomel lirih, "Namaku Tilana, bukan Bi Eng......"

"Kau tetap Bi Eng bagiku, adik Bi Eng yang baik...."

Bi Eng terharu. "Aku bukan adik kandungmu....."

"Aku tahu. Kau makanlah....." Dan Han Sin lalu menyuapkan bubur ke mulut nona itu yang tak dapat membantah lagi. Setelah bubur itu habis, Bi Eng kelihatan menderita.

"Aduh...... aduh..... sakit sekali perutku"

Han Sin sudah diberi tahu oleh Pek Sin Niang-niang tadi, maka ia tidak khawatir, biarpun ia memperlihatkan muka khawatir. "Ada apakah? Bagaimana rasanya?"

"Perutku sakit, kepalaku pening..... aahhh...." Dan tak tertahan lagi, Bi Eng muntah-muntah. Karena Han Sin duduk di dekat pembaringan, tak dapat dicegah lagi pakaian Han Sin tersembur oleh isi perut yang dimuntahkan Bi Eng. Di antara bubur yang keluar lagi itu, nampak banyak darah hitam!

"Celaka.... aku.... aku mengotorkan pakaianmu....."

Akan tetapi Han Sin hanya tersenyum, bahkan dengan saputangannya ia lalu membersihkan bibir Bi Eng dan pinggir bantal yang terkena kotoran pula. "Tidak apa Bi Eng. Memang di dalam bubur diberi obat untuk mengeluarkan darah beracun yang masih berada di dalam perutmu. Sekarang darah itu sudah keluar semua, kaulihat. Ini berarti kau akan sembuh, adikku sayang...."

"Aku.... aku bukan adikmu.....!"

Biarpun lemah sekali tubuhnya, Bi Eng masih bisa membentak, merengut dan matanya membelalak marah.

"Memang bukan, lebih dari pada adik malah..." jawab Han Sin tersenyum. "Sekarang kau tidurlah, Bi Eng, tidurlah..." Dengan lemah-lembut dan penuh kasih sayang, Han Sin membetulkan letak kepala gadis itu pada bantal, lalu menarik selimut sampai ke leher Bi Eng. Gadis itu menarik terus selimut menutupi mukanya dan di dalam selimut terdengar ia mengisak perlahan.

Di kedua mata Han Sin juga tampak dua butir air mata ketika pemuda ini perlahan-lahan meninggalkan kamar untuk berganti pakaian. Demikianlah, dengan amat teliti dan sabar Han Sin merawat Bi Eng di bawah pengawasan Pek Sin Niang-niang, dan sebulan kemudian sembuhlah Bi Eng.

Seperti juga dulu ketika Han Sin berobat di situ, setelah Bi Eng sembuh, pertapa wanita itu tidak kelihatan lagi bayangannya. Kemarin harinya ia sudah memesan Han Sin dan Bi Eng supaya hari itu meninggalkan Go-bi-san, dan pada hari keberangkatan mereka, ia sengaja pergi, tidak bersedia menerima ucapan terima kasih! Han Sin dan Bi Eng hanya berlutut dan dengan suara terharu menghaturkan terima kasih kepada pertapa sakti itu. Lalu mereka turun dari Go-bi-san.

Mereka melakukan perjalanan tanpa banyak bercakap. Memang Bi Eng menjadi pendiam semenjak berobat di Go-bi-san. Tak pernah mau bicara dengan Han Sin, malah selalu menghindarkan pertemuan pandang mata. Anehnya, tiap kali tanpa disengaja pandang mata mereka bertemu, gadis itu tak dapat menahan bercucurnya air matanya! Setelah menuruni puncak Go-bi-san, Han Sin berhenti dan memegang lengan tangan Bi Eng. la tak tahan lagi didiamkan begitu saja.

"Bi Eng..... kita harus bicara dari hati ke hati....."

Gadis itu berdiri di depannya, menundukkan muka. "Bicara apa lagi! Kau sudah mempermainkan aku. Sudah lama tahu aku bukan adik kandungmu, kau diam saja. Kau putera Cia Sun, aku anak Balita. lbuku dan ayahmu musuh besar. Dan kau... kau... kau suami Kiok Hwa...."

"Kiok Hwa siapakah?"

"Yang dulu bernama Tilana, dia anak Ang-jiu Toanio. Kaupun sudah tahu akan hal itu. Kau tahu segalanya, tapi menutup mulut....."

"Tidak Bi Eng. Tidak demikian. Memang aku tahu bahwa kau bukan adik kandungku. Aku tidak memberi tahu karena..... karena...... aku tidak ingin berpisah darimu pula, aku ingin membongkar segala rahasia mengenai dirimu, mengenai hal-hal yang terjadi sebelum orang tuaku meninggal dunia. Terutama sekali....... aku tidak ingin kehilangan kau dari sampingku karena..... karena aku cinta padamu, Bi Eng. Aku akan mati kalau kau tinggalkan. Aku cinta padamu."

Bi Eng mengangkat mukanya dan kedua matanya sudah penuh air mata. "Kau bohong...." bibirnya gemetar, "Kau laki-laki mata keranjang, kau bohong! Kau adalah suami Kiok Hwa......"

Han Sin menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. "Bi Eng, kau sendiri menjadi saksi betapa aku hampir saja membunuh Tilana.... atau Kiok Hwa itu karena perbuatannya yang tak tahu malu. Entah bagaimana, agaknya dia menggunakan racun dalam minuman yang membuat aku seperti mabok, lebih lagi, seperti gila.... aku tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu aku bangun di sisinya. Kau tahu akan hal ini... aku tidak cinta padanya. Kaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang kucinta, Bi Eng. Aku sudah menyatakan terus terang kepada Tilana itu......"

"Tapi..... tapi........ kau anak musuh besar ibuku......."

Han Sin merangkul pundak Bi Eng. "Bi Eng, urusan dahulu tak perlu kita campuri. Aku tahu, aku merasa di dalam hatiku, bahwa kau mencintaiku pula, bukan..... bukan seperti kakak kandung....... aku dapat melihat itu di dalam sinar matamu, dahulu sebelum kau tahu akan hal ini. Karena perasaanmu itulah maka kau dulu berusaha menjodohkan aku dengan Tilana. Karena kau takut jatuh cinta kepada kakak kandung sendiri! Bukankah begitu?"

Makin deras air mata membasahi pipi Bi Eng. Mereka berpandangan, cinta dan rindu bergelora memenuhi dada dan akhirnya dua orang muda yang sudah berkumpul semenjak masih kecil itu mengeluarkan jerit tertahan ketika mereka saling rangkul, saling peluk sambil bertangisan.

"Sin-ko.... Sin-ko..... bagaimana aku bisa membencimu? Kaulah satu-satunya orang di dunia ini bagiku.... kalau saja dulu kau memberi tahu..... takkan berlarut-larut begini....."

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Eng-moi, kau pujaan hatiku. Kau kurang sabar menanti, Eng-moi. Kau tak tahu betapa tersiksa hatiku itu, menahan-nahan cinta, berpura-pura seperti kakak sendiri. Alangkah sukarnya. Betapa hancur hatiku ketika kau memaksaku dengan Tilana....."

Disebutnya nama ini mengingatkan Bi Eng akan sesuatu. Cepat ia merenggutkan dirinya atas dada Han Sin. "Tidak bisa..... ! Aku anak ibuku! Bagaimana bisa aku mengkhianati ibu sendiri? Ah, Sin-ko, bagaimana ini..........??"

Han Sin maklum. "Marilah, Bi Eng. Mari kita pergi menemui ibumu. Memang kita harus mengaku terus terang. Biarlah ibumu melihat bahwa permusuhan lama itu kita akhiri dengan..... perjodohan. Marilah......"

Terhiburlah hati Bi Eng. Dengan bergandengan tangan mereka lalu pergi ke arah tempat tinggal Balita. Andaikata harus membuat pengakuan seorang diri, agaknya Bi Eng takkan berani. Akan tetapi, berdua dengan Han Sin, ia akan berani menempuh apapun juga.

Ketika mereka tiba di kaki bukit di mana tinggal Balita, tiba-tiba muncul seorang gadis yang membuat kedua merpati ini berdiri seperti patung dan menjadi pucat. Di depan mereka berdiri...... Tilana atau Kiok Hwa, gadis berkerudung itu. Tilana berdiri dengan muka lebih pucat lagi, ketika dengan tubuh kurus dan mata layu. Tanpa disengaja Bi Eng lalu menggandeng lengan Han Sin, seakan-akan ia takut kalau-kalau Han Sin hendak pergi bersama Tilana.

"Bi Eng, dia bukan kakak kandungmu. Dia itu musuhmu, anak musuh besar ibumu!" Tilana berkata dengan suara lantang.

"Tidak, cici Tilana. Dia memang bukan kakak kandungku, akan tetapi dia bukan musuhku."

Bibir Tilana gemetar. "Keparat....., kau..... kau juga mencintainya......?"

Bi Eng mengangguk berani. "Karena cintaku kepadanya maka dulu aku membantumu dengan sengaja. Kalau dulu aku tahu bahwa dia bukan kakakku sendiri, jangankan membantumu, mungkin pedangku sudah menembusi dadamu!"

Tilana mendekap mukanya dan menjerit lirih. Pernyataan Bi Eng ini merupakan ujung pedang yang sudah menancap dadanya. la sayang kepada Bi Eng, karena merasa berhutang budi. Ketika ia membuka lagi tangan yang menutupi muka, ia menjadi makin pucat. Dengan bingung ia memandangi dua orang di depannya itu.

"Han Sin......, apakah kau masih tetap dengan cintamu? Masih tetap mencinta dia seperti pengakuanmu dulu?"

Han Sin mengangguk pasti.

".... ahhh..., kalau begitu...., kalian saling mencinta.... dan aku... aku......bagaimana.....?"

Han Sin tak dapat menjawab, hanya berdiri lemas, hatinya terharu bukan main. Bi Eng melihat hal ini dan dia yang menjawab, "Salahmu sendiri, cici Tilana. Kau menggunakan akal busuk dan rendah. Cinta tak dapat dipaksa melalui segala obat racun, melalui segala alat kecantikan. Cinta demikian hanyalah cinta palsu....."

"Tapi kau dulu membantuku....."

"Ya, tapi bukan dengan maksud rendah seperti maksudmu. Aku membantumu karena kusangka dia kakak kandungku sendiri, aku malah takut kalau-kalau jatuh cinta kepadanya....." Cekalannya kepada lengan Han Sin dipererat.

"Keparat.....!" Tilana mencabut pedangnya, sikapnya mengancam. Matanya beringas. "Han Sin, kalau aku bunuh Bi Eng, bagaimana?"

"Aku akan melindunginya, kalau perlu aku akan lebih dulu membunuhmu."

"Kalau aku membunuhnya secara diam-diam, di luar dugaanmu?"

"Kalau begitu, aku akan membunuh diri sendiri...."

Tilana menjerit ngeri, meloncat ke depan dan mengangkat pedangnya. Han Sin melindungi Bi Eng, akan tetapi ia segera berteriak kaget sekali ketika melihat darah menyembur, disusul robohnya tubuh Tilana yang ternyata telah menggorok leher sendiri dengan pedangnya!

"Tilana......!"

"Cici Tilana......!"

Han Sin dan Bi Eng sudah lupa akan kebencian mereka. Keduanya berlutut dekat tubuh Tilana, Bi Eng menangis dan Han Sin kelihatan terharu sekali. Tilana masih dapat tersenyum dan hanya matanya yang memandang mereka dengan sinar mata menyatakan harapan, "Semoga kalian berbahagia." Beberapa menit kemudian, nampak Han Sin dan Bi Eng mengubur jenazah Tilana dengan khidmat.

"Anak durhaka! Anak tidak berbakti! Kau mau ikut dengan jahanam ini? Dia sudah melakukan perbuatan zina dengan adik kandungnya sendiri. Ha ha ha, dia anak Cia Sun sudah berzina dengan adik kandungnya sendiri...."

"Tidak, ibu. Dugaanmu meleset. Cici Tilana itu bukanlah adik kandung melainkan anak Ang-jiu Toanio. Sebelum ibu menukarkan aku dengan anak keluarga Cia, ibu sudah didahului Ang-jiu Toanio. Adik kandung Sin-ko jatuh di tangan Hoa Hoa Cinjin, menjadi nona Hoa-ji gadis berkedok."

"Apa......??" Balita membentak dan menatap wajah Han Sin dengan penuh keheranan.

"Betul demikian," kata Han Sin. "Kami, aku dan adik Bi Eng, saling mencinta dan tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dapat memisahkan kami. Akan tetapi, sudah sepatutnya kami menghadap locianpwe untuk mohon ijin agar kami dapat menghapus permusuhan orang-orang tua dahulu dengan sebuah pernikahan."

"Apa.....? Anakku..... darahku....menikah dengan anak nyonya Cia......?" Matanya melotot, rambutnya riap-riapan di antara matanya.

Han Sin mendapat pikiran bagus. "Bukan hanya anak nyonya Cia, locianpwe, melainkan anak darah keturunan Cia Sun sendiri. Alangkah baiknya, puteri dari Jim-cam-khoa Balita menikah dengan putera dari taihiap Cia Sun."

Balita menggerakkan kepalanya dan rambut yang riap-riapan ke depan itu kini ke belakang pundak semua. Matanya bersinar, mulutnya bergerak-gerak, kemudian ia berseru, "Bagus sekali! Seluruh dunia kang-ouw akan mendengar, akan melihat. Lihat akhirnya putera Cia Sun mengawini puteri Balita. Hi hi hi, Cia Sun, tengoklah. Kau dulu menolakku, sekarang puteramu memaksa mengawini anakku. Hi hi hi, kau masih bilang tidak mencinta aku? Lihat puteramu yang lebih tampan dari pada engkau, sekarang mencinta anakku yang tidak secantik aku. Bukankah ini pembalasan namanya? Ha ha!"

Pada saat itu Siauw-ong meloncat turun dari pohon dan hinggap di pundak Han Sin. Hal ini membuyarkan pikiran Balita yang cepat berubah dan berteriak,

"Monyet keparat!" Memang perempuan ini aneh. Selama Bi Eng pergi, monyet itu ditinggalkan di situ dan Balita selalu bersikap baik. Sekarang mendadak ia membenci. "Monyet bedebah! Eh, Cia Han Sin anak Cia Sun, kau bilang betul-betul mencinta Bi Eng? Mau berkorban apa saja?"

"Betul, aku bersumpah bahwa aku mencinta Bi Eng, bersiap mengorbankan apa saja demi cintaku."

"Tapi tidak akan sah kalau tidak mendapat perkenanku, bukan? Hi hi hi. Bi Eng ini adalah Tilana, puteriku yang kukandung sembilan bulan lamanya, hi hi!"

"Betul kata-kata cianpwe, memang kami datang menghadap untuk mohon perkenan."

"Aku tidak memberi ijin."

"Ibu.....!" Bi Eng memeluk kaki ibunya dan menangis. "Aku lebih baik mati......"

"Harap cianpwe ingat bahwa perjodohan ini akan menghapus segala permusuhan, akan menebus segala kesalahan ayah dahulu."

"Betul....., betul. Tapi aku masih tidak percaya. Kau betul mencintanya?"

"Aku bersumpah!"

"Lebih mencinta anakku dari pada mencinta monyet ini?"

"Sudah tentu saja......"

"Nah, kalau begitu penggal kepala monyet ini! Ayoh penggal, sebagai bukti cintamu!"

Bukan main kagetnya Han Sin dan Bi Eng. Mereka memandang kepada Siauw-ong yang melongo-longo tidak tahu apa-apa. Bi Eng menjerit dan memeluk Siauw-ong. "Ibu, kau kejam sekali! Tarik kembali permintaanmu."

Balita tertawa. "Tidak bisa. Sekali kata-kata dikeluarkan, tak dapat ditarik kembali. Eh, Cia Han Sin, kau pilih satu antara dua, kau boleh mendapat persetujuanku setelah kau memenggal batang leher monyetmu sebagai tanda cintamu terhadap Bi Eng. Kalau kau lebih sayang monyetmu dari pada Bi Eng, nah, kau pergilah bawa monyetmu dan tinggalkan anakku di sini."

Han Sin menjadi pucat dan bingung. Beberapa kali ia memandang kepada Bi Eng yang lalu berdiri dengan tubuh menggigil, matanya tajam menatap wajah ibunya. "Ibu, kalau kau memaksa aku selamanya takkan mengakuimu sebagai ibu! Kau kejam sekali!"

"Bi Eng, jangan kau berkata demikian!" Han Sin mencela. Betapapun juga, ia tidak mau melihat Bi Eng menjadi seorang anak yang mendurhakai ibunya.

"Cianpwe, apakah syaratmu itu sudah pasti. Apakah kau hendak menggunakan kekejamanku terhadap monyetku sebagai bukti cintaku kepada anakmu?"

"Ayoh penggal, tak usah banyak cakap. Penggal lehernya dan kau akan kuambil menantu!"

Han Sin. mencabut pedangnya, menghadapi Siauw-ong yang berdiri bingung. "Siauw-ong, seorang laki-laki harus berani mengambil keputusan. Aku harus memilih dan keputusanku tidak bisa aku mengorbankan kebahagiaan kami berdua untuk hidupmu. Kau hanya seekor monyet dan siapa tahu kematianmu hanya akan membebaskan aku dari pada hukuman karma. Siauw-ong, kau ampunkanlah aku. Aku Cia Han Sin bersedia menerima hukuman, bersedia kelak menerima pembalasanmu, demi cinta kasihku terhadap nonamu."

Secepat kilat, sebelum Siauw-ong dapat menyangkanya, pedangnya berkelebat dan Im-yang-kiam sudah membabat putus leher Siauw-ong yang tewas tanpa dapat mengeluh lagi. Han Sin cepat menyambar kepala monyetnya yang melayang, mencium muka itu, kemudian dengan hati-hati ia menaruh kepala itu di atas saputangannya. Bi Eng menjerit dan menangis terisak-isak, menutupi mukanya.

"Inilah, gak-bo (ibu mertua), inilah emas kawin yang kau minta," kata Han Sin menyerahkan kepala Siauw-ong di atas saputangan itu, sambil memasukkan pedangnya. Bi Eng menangis dan merangkul pundak Han Sin.

"Sin-ko, mari kita pergi saja..... tak tahan aku berada di sini lebih lama...... marilah, Sin-ko....." Mereka berdua tak dapat menahan bercucurnya air mata.

Tiba-tiba Balita menangis.

"Kau betul-betul membunuh Siauw-ong? Celaka! Kalau Tilana pergi, dia kawanku satu-satunya sekarang kau bunuh pula. Kalian orang-orang celaka, ayoh pergi dari sini. Minggat! Dan jangan muncul lagi di hadapanku!" Setelah berkata demikian Balita lalu memondong tubuh dan kepala Siauw-ong yang sudah terpisah itu, dibawa masuk ke dalam pondoknya! Han Sin dan Bi Eng lalu pergi meninggalkan tempat itu. Mereka tidak tahu betapa dari belakang pintu, Balita memandang mereka sambil bercucuran air mata. Memandang ke arah bayangan dua orang muda yang berjalan sambil saling memeluk pinggang, sampai bayangan itu lenyap di balik gunung batu.

Demikianlah, sebagai suami isteri yang penuh kasih sayang, Han Sin dan Bi Eng hidup berdua di Min-san. Hubungan mereka dengan dunia ramai hanya ketika mereka menghadiri pernikahan Pangeran Yong Tee dan Hoa-ji, kemudian pernikahan antara Yan Bu dan Li Goat. Han Sin menolak keras ketika Pangeran Yong Tee berusaha mengangkatnya menjadi seorang pembesar di kota raja. Betapapun juga, di lubuk hatinya Han Sin masih tetap memandang pemerintah Mancu sebagai musuhnya, sebagai musuh bangsanya yang kembali terjajah. Betapapun baik bangsa Mancu menjalankan pemerintahan, namun mereka tetap bangsa penjajah dan Han Sin diam-diam menanti saat baik, saat di mana para patriot bangsa akan bangkit dan dengan semangat menggelora akan mengusir penjajah itu dari tanah air.

TAMAT

andu, http://indozone.net/literatures/literature/279
8 Maret 2008 jam 3:39pm


Cari Blog Ini