Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 3


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




Ciu-ong Mo-kai makin penasaran. Dia, tokoh terbesar dari selatan yang dianggap raja oleh puluhan ribu pengemis, sekarang ditertawakan seenaknya oleh seorang gadis muda dan monyetnya.

"Apa-apaan kau tertawa?" bentaknya.

Sambil menahan geli hatinya, Bi Eng menjawab,

"Taisu yang baik, apakah aku mau kau hajar........ mengemis dan minum arak?"

Ciu-ong Mo-kai membelalakkan matanya lagi dan sudah siap-siap hendak memaki marah kepada bocah yang dianggapnya kurang ajar sekali itu. Akan tetapi melihat senyum yang wajar, sinar mata yang penuh kejujuran memandang kepadanya, tahulah ia bahwa gadis itu tidak berpura-pura, melainkan bicara sejujurnya. Sebaliknya dari marah, ia lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya lagi dari guci arak.

Tiba-tiba ia menoleh dan mulutnya menyemburkan arak dari mulutnya. Ular belang yang tadi naik ke pohon, dan pada saat itu merayap turun lagi terkena semburan arak itu dan jatuh dengan kepala hilang karena kepala itu telah hancur terkena semburan arak!

Tentu saja Bi Eng menjadi heran dan kaget sampai mengeluarkan seruan kecil. Ciu-ong Mo-kai berpaling kepadanya. "Ha ha ha, Bi Eng anak baik, apa katamu sekarang?"

Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya yang cantik. "Taisu, aku tidak suka belajar membunuh ular. Apa sih artinya membunuh ular, apalagi kalau menggunakan arak? Melihat ularnya aku jijik, minum araknyapun tidak suka."

Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kata-kata ini menunjukkan bahwa Bi Eng memang sama sekali tidak tahu akan ilmu silat. Bagi yang mengerti akan ilmu silat, tentu saja demonstrasi membunuh ular dengan semburan arak itu sudah cukup membuktikan bahwa pengemis tua ini memang lihai sekali.

"Ha ha, bocah bodoh. Kau kira kebisaanku hanya minum arak dan membunuh ular belaka? Lihat ini?" Ia melangkah maju dan sekali kakinya terayun, batu hitam di belakangnya yang sebesar gentong dan beratnya tidak kurang dari lima ratus kati telah ditendangnya sampai terlempar sejauh lima tombak lebih! "Apa kau tidak ingin memiliki kepandaian seperti ini?"

Bi Eng membelalakkan matanya. "Untuk apa? Batu baik-baik ditempatnya kok ditendang pergi! Aku tidak mau melakukan hal itu, tiada gunanya, malah merusak taman yang indah."

Untuk sejenak Ciu-ong Mo-kai tercengang. Tak disangkanya gadis yang lincah gembira ini demikian polosnya. Kembali ia mendemonstrasikan tenaganya. Dengan telapak tangan kiri, ditamparnya batu putih sampai hancur berkeping-keping.

"Ahaiii..... kau kuat sekali, taisu. Akan tetapi aku tidak mau menjadi tukang pukul batu."

Ciu-ong Mo-kai sampai hampir menangis saking jengkelnya. Mukanya menjadi merah dan diminumnya araknya sampai ia tersedak-sedak. "Bocah gemblung, bocah goblok! Kau berbakat baik tapi buta. Seribu orang ngimpi-ngimpi ingin menjadi muridku, semua kutolak. Akan tetapi kau malah mentertawakan aku, setan!"

"Aku tidak mentertawakan kau, taisu. Jangan kau marah, ya? Cuma saja, untuk apa aku menjadi muridmu kalau hanya diberi pelajaran membunuh ular, menendang batu hitam dan memukul hancur batu putih?" Pertanyaan ini keluar dari hati yang polos dan begitu jujur sehingga saking bingungnya Ciu-ong Mo-kai menjatuhkan diri di atas tanah, bengong tak tahu harus berkata apa.

"Laginya, taisu," kata pula Bi Eng sambil ikut-ikutan duduk di atas tanah depan pengemis itu. "Menurut kata Sin-ko, orang belajar ilmu silat hanya mendatangkan malapetaka, menimbulkan kerusuhan dan membuat orang jadi suka berkelahi saja. Tidak baik menurut kata Sin-ko dan Sin-ko memang benar."

Ciu-ong Mo-kai melongo. "Mengapa benar?"

Gadis itu menggoyang pundak. "Sin-ko selalu memang benar."

"Siapa itu Sin-ko?" tanya pula kakek itu penuh curiga. Jangan-jangan ada orang luar yang mempengaruhi anak ini, pikirnya. Kalau benar begitu, harus kuhajar!

"Sin-ko adalah kakakku, masa taisu sudah lupa lagi?

Ciu-ong Mo-kai makin terheran. "Kau maksudkan Cia Han Sin?" Melihat gadis itu mengangguk, ia bengong. Bagaimana putera Cia Sun, cucu pahlawan besar Cia Hui Gan, keturunan orang-orang gagah yang menggegerkan dunia kang-ouw, seorang pemuda pula, bisa bicara seperti itu? Apakah sudah lupa akan ayah bundanya yang terbunuh orang? Teringat akan ini, tiba-tiba ia mendapatkan jalan untuk menggerakkan hati gadis ini agar suka menjadi muridnya.

"Eh, Bi Eng. Tahukah kau kenapa ayah bundamu mati?"

Bi Eng memandang dengan matanya yang tajam dan diam-diam Ciu-ong Mo-kai kagum dan terkejut juga melihat sepasang mata yang luar biasa tajam dan liarnya ini.

"Kata uwak Lui, ayah dan ibu mati dibunuh orang," jawabnya dan dalam suaranya terkandung kemarahan yang ditahan-tahan. "Hanya belum diketahui siapa-siapa penjahat "penjahat celaka itu."

Mendengar suara ini, Ciu-ong Mo-kai melompat berdiri dan menari girang. Ternyata gadis ini mengandung dendam yang hebat akan kematian ayah bundanya! "Nah,..... nah.... anak baik. Apakah kau tidak ingin mencari pembunuh-pembunuh ayah bundamu dan membalas dendam?"

"Siapa mereka?" Tiba-tiba Bi Eng juga meloncat bangun dan lagi-lagi Ciu-ong Mo-kai terkejut melihat betapa gerakan gadis itu amat cepat dan ringan, terlalu cepat bagi seorang gadis yang tak pernah belajar silat. Tadipun ketika melihat gadis ini menari-nari dengan monyet kecil, ia sudah terheran karena mengenal dasar-dasar ilmu silat keluarga Cia. Tadi dialah yang menyambit dengan ular sambil memberi peringatan karena hendak menguji dan betul saja, gadis itu cukup lincah untuk mengelak.

"Siapa mereka bisa dicari. Akan tetapi tahukah bahwa siapapun juga mereka itu, mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan kau hanya akan mengantar nyawa kalau kau tidak memiliki kepandaian silat tinggi! Ayoh, sekarang jawab. Mau tidak kau menjadi muridku? Aku akan memberi pelajaran ilmu silat sehingga kelak kalau kau bisa mendapatkan musuh-musuh besar itu kau dapat membalas dendam atas kematian ayah bundamu!"

Bi Eng menundukkan mukanya. Benar juga ucapan kakek ini. Kalau orang sudah bisa membunuh ular begitu gampang, menendang dan memukul batu, tentu ia memiliki tenaga besar. Kalau dia bisa memiliki tenaga seperti itu, kelak kepala orang-orang yang membunuh ayah bundanya akan dapat ia hancurkan.

"Aku mau, taisu, akan tetapi.........!"

"Tapi apa lagi?" Ciu-ong Mo-kai tak sabar.

Bi Eng menoleh ke belakang. "Siauw-ong, ke sinilah kau!" serunya dan monyet kecil itu yang sejak tadi mengintai dari balik batu besar, mendengar panggilan Bi Eng barulah berani keluar dan berindap-indap menuju ke tempat itu.

"Taisu, aku mau jadi muridmu belajar silat asal Siauw-ong juga kau terima menjadi muridmu."

Pengemis tua itu melengak, akan tetapi melihat monyet itu atas isyarat Bi Eng lalu menjatuhkan diri berlutut dan manggut-manggut di depannya, ia tersenyum. "Baiklah, dia boleh belajar mengawanimu, akan tetapi aku tidak mau menjadi gurunya."

Bi Eng berseri wajahnya. "Asal dia boleh sama-sama belajar, cukuplah, Dan lagi........"

"Masih ada lagi?" Ciu-ong Mo-kai membentak jengkel. "Ayoh katakan, syarat gila apalagi yang hendak kau ajukan? Benar-benar runyam, bukan gurunya yang mengajukan syarat, malah muridnya. Murid macam apa kau ini?"

"Taisu, kalau aku belajar ilmu silat, Sin-ko juga harus belajar. Apa lagi dia laki-laki, dia harus menjadi muridmu pula."

Ciu-ong Mo-kai ragu-ragu. Memang sudah sepatutnya kalau ia memberi pelajaran pula kepada puteranya Cia Sun itu, akan tetapi sebetulnya dahulu ia mengharapkan Cia Han Sin akan menjadi ahliwaris ilmu silat keluarga Cia. Ia lebih suka kepada Bi Eng, merasa lebih berjodoh menjadi guru anak ini. Semenjak Bi Eng masih bayi perasaan ini sudah berada dihatinya.

"Hemm, terserah padanya. Boleh saja kalau dia suka. Sebetulnya kau lebih berjodoh menjadi muridku," jawabnya lalu menegak araknya.

"Taisuhu, kau hendak mengajar ilmu silat kepada Bi Eng untuk apa?" tiba-tiba terdengar suara dan muncullah Han Sin sambil membawa sebuah kitab tebal.

"Sin-ko kau di sini juga? Lihat, taisuhu hendak mengajar kita. Dia kuat sekali, Sin-ko. Ular dibunuhnya dengan semburan arak, batu-batu besar ditendang jauh dan dipukul hancur," kata Bi Eng dengan wajah girang sambil menghampiri kakaknya dan menggandeng tangan kanan kakaknya dengan penuh kasih sayang.

Ciu-ong Mo-kai menurunkan guci araknya mendengar teguran tadi dan ia menengok. Dilihatnya bahwa Han Sin telah menjadi seorang pemuda tanggung yang bertubuh tinggi sedang, malah agak kurus, wajahnya tampan sekali dan mulutnya tersenyum tenang. Akan tetapi ketika pandang mata pengemis tua ini bertemu dengan pandang mata Han Sin, Ciu-ong Mo-kai terkejut sekali. Tadi ia sudah kagum melihat sinar mata Bi Eng yang amat tajam, akan tetapi sekarang bertemu pandang dengan pemuda ini, ia merasa seakan-akan matanya pedas dan terpaksa ia mengejap-ngejapkan mata karena tidak tahan lagi.

"Ayaaa........! serunya perlahan. Mata seperti itu hanya dimiliki orang yang sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu lweekang! Ia teringat akan ini dan kembali ia menggunakan kekuatan matanya menatap wajah dan sinar mata pemuda itu. Ia melihat pemuda itu memandangnya tenang saja, akan tetapi mata itu! Mata itu mencorong dan mengandung daya kekuatan yang luar biasa sekali, membuat Ciu-ong Mo-kai sampai menitikkan dua airmata ketika ia bertahan untuk tidak berkejap! Akhirnya ia tundukkan mukanya dengan penuh keheranan dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, pengemis itu menenggak lagi araknya.

"Sin-ko, taisu hendak mengajar ilmu silat kepada kita agar kita memiliki kepandaian untuk kelak mencari pembunuh-pembunuh ayah-ibu dan membalas dendam!" terdengar lagi ucapan Bi Eng penuh gairah dan mata yang bening itu memandang wajah kakaknya dengan seri gembira.

Han Sin menarik napas panjang dan mengelus-elus pundak adiknya. "Eng-moi, hanya jurang kesengsaraanlah yang dituju oleh langkah kaki yang terikat oleh dendam dan benci. Pembunuh-pembunuh orang tua kita memang telah melakukan perbuatan yang jahat dan buruk. Akan tetapi bukan kita hakimnya. Biarlah hidup mereka kelak menjadi hakim bagi mereka sendiri."

Ciu-ong Mo-kai melongo mendengar ucapan yang bagi Bi Eng sudah tidak asing lagi itu. Memang biasa Han Sin bicara penuh kesabaran, penuh filsafat-filsafat dari kitab-kitabnya. Ketika Ciu-ong Mo-kai melirik ke arah kitab di tangan pemuda itu, tahulah ia bahwa saking banyak membaca kitab tanpa ada yang memberi petunjuk, agaknya pemuda ini telah menjadi kutu buku dan jalan pikirannya terkurung seluas lembaran-lembaran bukunya saja.

"Omongan apa itu?" bentaknya. "Pembunuh adalah orang jahat dan kiranya bukan orang tua-tua kalian saja terbunuh, penjahat-penjahat harus dibasmi dan kalau tidak memiliki kepandaian, bagaimana bisa membasminya? Harimau tanpa gigi dan kuku, mana bisa menjaga kulitnya? Manusia tanpa kepandaian, apa bedanya dengan monyet? Han Sin, kau selalu tinggal di sini, tidak tahu keadaan di dunia ramai. Ketahuilah bahwa di sana, siapa lemah dia terhina."

Han Sin memandang kepada pengemis tua itu dengan tenang dan tersenyum. "Taisu, maaf kalau aku terpaksa membantah pandangan taisu. Menurut pendapatku yang bodoh, membasmi kejahatan tak dapat dilakukan dengan kekerasan, melainkan dengan kebenaran dan cinta kasih. Harimau menjaga kulit dengan gigi dan kuku, akan tetapi manusia menjaga namanya dengan pribudi baik, bukan dengan pukulan dan tendangan. Orang terhina atau tidak bukan karena kepandaiannya, melainkan karena sikapnya, karena wataknya."

Untuk sejenak mata pengemis itu terbelalak, kemudian ia tertawa bergelak. Suara ketawanya yang penuh tenaga khikang itu sampai bergema di seluruh puncak. Siauw-ong sampai lari terbirit-birit ketakutan sambil menutupi telinganya. Akan tetapi melihat betapa Han Sin dan Bi Eng tidak lari, iapun merayap-rayap kembali lagi sambil memandang ke arah pengemis itu dengan takut-takut.

"Ha ha ha ha! Kalau tidak melihat sendiri, aku takkan percaya bahwa ucapan ini keluar dari mulut putera keluarga Cia, cucu pahlawan rakyat Cia Hui Gan yang gagah perkasa, putera Cia Sun pendekar budiman yang terkenal di seluruh dunia! Lebih pantas keluar dari mulut seorang hwesio yang alim. Ha ha ha!"

"Taisu, omongan Sin-ko adalah betul sekali. Kenapa kau mentertawainya?" Bi Eng membela kakaknya. Ia amat cinta kepada kakaknya ini, maka tidak senang ia melihat kakaknya ditertawai orang.

"Cia Han Sin, lihat baik-baik. Adikmu ini lebih wajar, lebih gagah menuruni sifat keluargamu. Melihat kakaknya diserang oleh tertawaan, ia sudah marah dan hendak membela. Andaikata kau diserang orang jahat dengan pukulan, bagaimana adikmu akan membelamu kalau dia tidak mempunyai kepandaian silat?"

"Adikku pemarah, harap taisu maafkan," kata Han Sin merendah.

"Sayang..... kau anak baik terlalu tenggelam di antara kitab-kitabmu. Orang sabar dan mengalah adalah baik sekali. Akan tetapi kalau berlebihan, ada bahayanya menjadi pengecut dan menjadi orang yang tidak tahu akan harga diri dan kehormatan. Han Sin, kalau semua orang baik seperti kau sikapnya, mana bisa muncul patriot-patriot, mana bisa muncul orang-orang gagah, dan mana bisa negara dan bangsa menjadi kuat? Mengelus dada menerima nasib mengandalkan kesabaran dan mengalah bukanlah laku yang budiman! Melihat orang jahat tanpa berusaha membasminya, sama saja dengan membantu orang jahat itu! Rakyat kita sengsara, apa lagi pada waktu ini sedang ditindas oleh pemerintah penjajah. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang membela mereka, siapa lagi? Para dewata takkan mampu mengangkut mereka dari lembah kesengsaraan."

Han Sin mengerutkan kening. Inilah kata-kata baru yang belum pernah ia jumpai dalam kitab-kitabnya. Akan tetapi ia tidak membantah, hanya mendengarkan terus dan sepasang matanya yang luar biasa itu menatap wajah Ciu-ong Mo-kai yang tidak kuat lama-lama menentang pandang matanya.

"Memang tidak seharusnya orang yang berkepandaian itu berlaku sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi, mengalah dan sabarpun ada batasnya dan harus lihat-lihat kepada siapa kita berhadapan. Kalau kau melihat rakyat dirampoki para penjahat yang mengandalkan ketajaman golok dan kekerasan tangan, apa yang hendak kau perbuat? Apakah kau akan mendatangi perampok-perampok itu dan menggunakan kata-kata indah berfilsafat yang kau petik dari kitab-kitabmu? Ah, kau akan ditertawai, malah mungkin akan dibacok mati. Menghadapi kejahatan seperti itu, jalan satu-satunya hanyalah membasmi mereka dan untuk dapat melakukan ini, kau harus memiliki kepandaian silat untuk melawan mereka, kau masih dapat membujuk mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Akan tetapi, tanpa mengalahkan dulu mereka, mana mereka sudi menurut nasehatmu?"

Han Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa. Memang selama belasan tahun ini ia mengeram diri dalam kamar bersama kitab-kitabnya, maka alam pikirannya seluruhnya dipengaruhi oleh filsafat-filsafat kuno. Akan tetapi setelah mendengar ucapan Ciu-ong Mo-kai sebentar saja ia sudah dapat menangkap isinya dan dapat membenarkannya.

"Baiklah, moi-moi. Kau boleh belajar ilmu silat dari taisu," katanya sambil memegang lengan adiknya.

"Siauw-ong juga," adiknya berkata manis.

"Siauw-ong? Han Sin tersenyum. "Tanpa belajar ia sudah pandai bersilat."

"Dan kau juga, koko," kata Bi Eng manja sambil menarik tangan kakaknya.

"Aku........?"

"Ya, kalau kau tidak mau, akupun tidak mau."

Han Sin kewalahan. Ia sudah menyetujui adiknya belajar silat. Kalau dia menolak, berarti dia menarik kembali persetujuannya.

"Baiklah, baiklah, Aku akan mencatat semua pelajaran itu."

Pada saat itu, Siauw-ong sibuk mencokel-cokel tanah di belakang batu hitam yang besar. Dia tadi melihat seekor jengkerik di belakang batu. Ketika hendak ditangkap, jengkerik itu masuk ke dalam lubang dan dicokel-cokelnya tanah untuk menangkap jengkerik. Batu besar itu berada di tanah yang miring dan tidak disangka sama sekali ketika bawahnya dicokel-cokel, tiba-tiba batu itu menggelinding turun dan akan menimpa monyet itu.

Siauw-ong memekik keras dan cepat meloncat lari. Celakanya, ia lari ke bagian bawah sehingga terus dikejar batu besar yang menggelinding cepat sekali.

Han Sin berada terdekat dari tempat itu. Pemuda ini, di luar sangkaan sama sekali dan amat mengejutkan hati Ciu-ong, melompat ke depan dan tangan kanannya mendorong batu besar yang sedang menggelinding cepat mengejar Siauw-ong.

"Han Sin, jangan!" Ciu-ong Mo-kai berseru keras mencegah karena ia maklum bahwa batu besar yang menggelinding itu mengandung tenaga ratusan kati dan Han Sin pemuda lemah itu tentu akan patah tulang lengannya kalau berani mendorong untuk mencoba menolong monyet itu. Sambil berseru mencegah iapun berkelebat ke arah batu itu.

Bukan main herannya hati Ciu-ong Mo-kai ketika melihat betapa batu besar itu menggelimpang, terlempar oleh dorongan kedua tangan Han Sin dan karenanya menyelamatkan Siauw-ong. Makin heran dan terkejut lagi hati pengemis tua itu ketika ia memukul batu itu, batu menjadi hancur dan ternyata bahwa di bagian dalam batu besar itu sudah remuk sebelum ia memukulnya! Hebat sekali! Benarkah Han Sin tidak hanya mendorong batu itu terpental, malah dengan dorongannya itu biarpun batu masih utuh akan tetapi di sebelah dalamnya sudah remuk? Tak mungkin! Untuk memukul hancur batu itu, dia Ciu-ong Mo-kai masih sanggup lakukan, akan tetapi mendorong batu begitu saja dan membikin remuk bagian dalam batu itu, hemmm, kiranya hanya dapat dilakukan oleh orang yang tenaga lweekangnya sudah hampir sempurna!

Selagi Ciu-ong Mo-kai tertegun menatap batu yang sudah hancur itu, tiba-tiba Bi Eng menjerit dan menangis. Ia cepat menengok dan melihat Han Sin sudah menggeletak pingsan, wajahnya pucat sekali! Bi Eng menubruk kakaknya, mengangkat kepala Han Sin ke atas pangkuan dan sambil menangis panik memanggil-manggil, "Sin-ko....! Sin-ko...., kau kenapakah, Sinko? Bangunlah.......!"

"Bi Eng, tenanglah. Dia tidak apa-apa, coba kau lepaskan dan biarkan dia berbaring hendak ku periksa!" kata Ciu-ong Mo-kai dengan suara keren. Bi Eng menurut, melepaskan kepala Han Sin dari atas pangkuannya dan ia berlutut di pinggir memandang dengan cemas.

Siauw-ong juga datang mendekat dan mengeluarkan bunyi lirih seperti orang menangis ketika melihat Han Sin tak bergerak, telentang pucat seperti mayat.

Ciu-ong Mo-kai menghampiri Han Sin dan melakukan pemeriksaan, menekan urat nadi dan meraba dada. Alangkah kagetnya ketika dari tubuh pemuda itu memancar hawa yang membuat ia tergetar dan terpaksa ia mengerahkan tenaga lweekangnya untuk menahan datangnya hawa yang merupakan tenaga dahsyat yang berbahaya itu. Ia lalu menekan pusar pemuda itu dan makin besar keheranannya. Ternyata pemuda ini memiliki kekuatan besar dalam tubuhnya. Hawa dalam tubuhnya panas dan kuat sekali. Jalan darahnya bersih dan tulang-tulangnya sempurna. Hebat! Dari mana pemuda ini bisa mendapatkan kekuatan seperti ini?

"Tenaga tian-tan di pusarnya telah terlatih kuat, malah ia sudah dapat memusatkan hawa dan jalan darahnya," pikirnya terheran sambil meraba-raba. "Pantas saja tadi dorongannya dapat membikin remuk bagian dalam batu itu. Agaknya dia ini tanpa disengaja telah melatih diri dengan semacam lweekang yang mujizat dan ia menjadi seorang ahli lweekeh tanpa ia sadari sendiri. Karena dasarnya tidak terlatih dan ia tidak tahu cara mempergunakannya, maka tadi tenaga lweekang yang ia gunakan di luar kesadarannya dalam usahanya menolong monyet, membalik dan melukai dirinya sendiri."

Sampai lama Ciu-ong Mo-kai termenung. Benar-benar telah terjadi sesuatu yang hebat. Putera keluarga Cia tanpa disadarinya sendiri telah memiliki modal ilmu kepandaian yang mujizat, dan anak ini sama sekali tidak suka akan ilmu silat. Aneh sekali. Dengan penuh ketelitian pengemis sakti itu lalu mengurut dada Han Sin, membuka jalan darah di sana sini untuk menormalkan kembali gunjangan hebat yang timbul dari tenaga dahsyat yang dikeluarkan oleh Han Sin tanpa disadarinya itu. Kemudian ia menghancurkan sebuah pil merah dengan arak dan menuangkan arak itu ke dalam mulut Han Sin.

Akhirnya pemuda itu siuman dan bangun sambil terbatuk-batuk. Begitu ingat lalu mencari monyetnya. Melihat Siauw-ong duduk di situ dengan muka sedih akan tetapi dalam keadaan selamat, Han Sin berkata perlahan.

"Berbahaya sekali batu itu, Siauw-ong. Lain kali jangan nakal kau. Untung kau tidak tertimpa batu."

Saiuw-ong nampak girang, melompat dan duduk di pangkuan pemuda itu. Bi Eng juga girang. Dengan air mata berlinang ia memegang tangan kakaknya.

"Sin-ko, kau tadi pingsan dan baiknya ada taisu yang menolongmu sampai kau bisa sembuh kembali."

Han Sin memandang kepada Ciu-ong dengan bertanya. Memang ia tidak ingat akan apa-apa yang terjadi dengan dirinya dan tidak tahu pula sebabnya ia sampai pingsan.

"Han Sin, sekali lagi terbukti bahwa pandanganku tentang ilmu silat lebih cocok. Kau tadi melihat Siauw-ong terancam bahaya, lalu cepat berusaha menolong dan mendorong batu........."

"Bagaimana Siauw-ong bisa selamat?" Han Sin memotong, kini terheran setelah teringat semua akan peristiwa tadi.

"Kau mendorong batu malah roboh pingsan dan batu itu dipukul hancur oleh taisu," kata Bi Eng.

"Nah, terbuktilah, Han Sin. Andaikata kau memiliki ilmu silat, tentu kau dapat menolong Siauw-ong atau siapa saja yang terancam bahaya, bukan? Juga, andaikata kau telah mempelajari ilmu silat, tentu kau takkan pingsan. Eh, apakah kau belum pernah belajar silat?" tanya Ciu-ong Mo-kai sambil menatap tajam dengan pandang mata mengukur dan menyelidik.

Han Sin menggeleng kepala. "Kesukaanku satu-satunya hanya belajar memahami kitab-kitab." Kemudian ia bertanya, "Mengapa taisu bertanya begitu?"

"Karena kau memiliki keberanian dan kegagahan, tidak mengenal tenaga sendiri dengan nekat mendorong batu untuk menolong Siauw-ong," jawab Ciu-ong menyimpang dan memancing.

"Aku ngeri dan kasihan melihat Siauw-ong akan tertimpa batu, maka tanpa ingat kelemahan sendiri aku berusaha menolongnya," jawab Han Sin dan ucapan ini demikian sungguh-sungguh sehingga kini yakinlah Ciu-ong Mo-kai bahwa pemuda ini memang betul-betul tidak mengerti bahwa dia mempunyai tenaga lweekang dan hawa sakti (Sin-kang) di dalam tubuhnya yang mujizat.

Tiba-tiba Siauw-ong mengeluarkan seruan seperti ketakutan dan Ciu-ong Mo-kai yang sudah memiliki pendengaran tajam sekali menangkap suara beberapa orang mendaki puncak itu. Siauw-ong dapat mencium bau mereka dan Ciu-ong dapat menangkap tindakan kaki mereka. Han Sin dan Bi Eng tidak mendengar apa-apa maka mereka heran melihat Siauw-ong cecowetan seperti ketakutan.

"Ada orang datang, " kata Ciu-ong dan mereka semua berdiri. Siauw-ong segera meloncat ke pundak Han Sin sambil menyembunyikan mukanya di belakang kepala pemuda itu.

Betul saja, tak lama kemudian muncullah tiga orang laki-laki dari balik batu-batu putih. Mereka ini adalah tiga orang yang bertubuh tinggi besar, bermuka gagah dan kepala mereka terbungkus kain panjang yang dilibat-libatkan. Di Punggung mereka tampak gagang pedang dengan ronce-ronce merah.

Begitu tiba di situ, tiga orang itu memandang ke arah Cia Han Sin dan Cia Bi Eng dengan pandang mata tajam menyelidiki, lalu melirik tak acuh kepada pengemis tua, kemudian sekilas mereka memandang ke arah gedung besar keluarga Cia.

Han Sin sebagai tuan rumah, segera melangkah maju dan menuju kepada tiga orang laki-laki asing itu. "Sam-wi datang ke sini hendak mencari siapakah?" Suaranya tenang dan penuh hormat.

Tiga orang itu saling pandang, lalu bicara pendek dalam bahasa yang tidak mengerti oleh Bi Eng maupun Ciu-ong Mo-kai. Akan tetapi, alangkah kagetnya Ciu-ong Mo-kai ketika Han Sin menjawab orang-orang itu dengan bahasa asing yang sama! Ternyata bahwa orang-orang itu adalah bangsa Hui yang bicara dalam bahasa Hui.

Han Sin ketika "bertapa" di dalam kamarnya selama belasan tahun ini, tidak saja mempelajari filsafat dari kitab-kitab kuno, juga ia telah mempelajari bahasa-bahasa asing yang macam-macam, diantaranya bahasa Hui. Tentu saja Bi Eng tidak merasa heran karena ia sudah tahu dan percaya penuh akan kepintaran kakaknya yang dianggapnya bisa segala itu! Maka ia memandang dengan kagum dan bangga.

Tiga orang Hui nampak tercengang akan tetapi seorang di antara mereka yang berkumis pendek lalu berkata dalam bahasa Han yang kaku dan lambat, "Hemm, kiranya kau mengerti juga bahasa kami? Kalau begitu, tak usah kami memperkenalkan diri lagi. Kami memang bangsa Hui dan kedatangan kami ini hendak mencari anak-anak keturunan Cia Sun."

Mendengar ini, Bi Eng melangkah maju dan berkata gembira, "Akulah anak Cia Sun, dia ini yang pintar adalah kakakku, namanya Cia Han Sin dan aku bernama Cia Bi Eng. Kakek ini adalah guru kami, namanya...... namanya..... biasanya disebut taisu!" Bi Eng memang belum tahu nama gurunya.

Wajah tiga orang berubah, kelihatan beringas. Yang berkumis pendek kini menoleh dan menghadapi Ciu-ong Mo-kai dengan sikap mengancam. Karena diperkenalkan sebagai guru dua orang anak itu, kini ia tidak memandang tak acuh lagi.

Kawan-kawan, tangkap dua anak kambing itu, biar aku mengusir anjing gembala ini!" katanya. Karena ia bicara dalam bahasa Hui, Ciu-ong Mo-kai tidak mengerti artinya, akan tetapi ia sudah siap siaga maka ketika si kumis itu menerjangnya dengan pedang dihunus, ia dapat mengelak dengan mudah. Dari sambaran pedang ia mendapat kenyataan bahwa orang Hui ini lihai juga, maka pengemis sakti itu khawatir sekali akan keselamatan dua orang muridnya.

Ia menggerakkan guci araknya menangkis pedang sambil menyemburkan arak ke arah muka si kumis. Terdengar suara keras dan pedang itu terlepas jauh. Akan tetapi si kumis dapat mengelak dari serangan semburan arak dan tiba-tiba tangan kirinya melayang, memukul ke arah dada dengan telapak tangan dimiringkan. Pukulannya keras sekali dan angin pukulannya menunjukkan kekuatan lweekang yang hebat.

Ciu-ong Mo-kai mengangkat tangan menangkis. Dua lengan yang kuat bertemu dan si Kumis terlempar ke belakang, terhuyung-huyung dan mengeluh kesakitan.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan ketika Ciu-ong Mo-kai memutar tubuh untuk menolong dua orang muridnya, ia melihat dua orang Hui yang hendak menangkap Han Sin dan Bi Eng, juga terlempar ke belakang, jatuh dan bangun lagi sambil memegangi tangan kanan mereka yang sudah patah-patah tulangnya.

Si Kumis berseru dalam bahasa Hui mengajak kawan-kawannya lari dan tanpa menoleh lagi ketiganya lari sifat kuping, meloncat-loncat di atas batu putih. Ciu-ong Mo-kai hendak mengejar, akan tetapi Han Sin menahan, "Suhu, biarkanlah mereka pergi. Kelak mereka akan menyesal sendiri atas perbuatan-perbuatan mereka yang tidak selayaknya."

Ciu-ong Mo-kai tertegun. Baru kali ini ia diperintah orang dan orang itu adalah..... muridnya sendiri! Akan tetapi karena terlalu heran melihat dua orang tadi yang dari gerakan-gerakannya ia dapat menduga tidak kalah pandai dari pada si kumis, ternyata terpukul mundur sampai patah-patah tulangnya, ia segera menoleh dan menghampiri Han Sin.

"Yang dua orang tadi itu..... bagaimana mereka tidak jadi menangkap kalian?" tanyanya.

Han Sin kelihatan bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Bi Eng yang tertawa geli sambil berkata, "Suhu, dua orang itu adalah badut-badut yang lucu. Mereka tadinya hendak menangkap aku dan Sin-ko. Akan tetapi Sin-ko membentak mereka supaya jangan kurang ajar. Eh, dibentak begitu saja mereka lalu lari terbirit-birit. Entah ia takut akan bentakan Sin-ko ataukah takut melihat Siauw-ong dipundak Sin-ko meringis hendak menggigit mereka."

"Han Sin, kau apakan mereka tadi?" tanya Ciu-ong kepada Han Sin, kini memandang tajam dan kembali timbul kecurigaannya kalau-kalau pemuda ini diam-diam menyimpan kepandaian yang dirahasiakan.

"Sesungguhnya tepat seperti yang diceritakan oleh Eng-moi, suhu. Teecu tidak berbuat apa-apa. Ketika melihat mereka menangkap moi-moi, teecu membentak mereka dan melarang mereka berbuat kurang ajar. Mereka malah seperti mencengkeram atau memukul ke arah lengan teecu yang melarang mereka. Entah mengapa, mereka lalu mundur dan lari." Ketika bicara demikian, Han Sin melihat ke arah lengan kanannya yang tadi terpukul dan matanya terbelalak. Kiranya bajunya di bagian lengan sudah robek-robek dan hancur. "Eh, mereka malah merusak bajuku........"

Ciu-ong Mo-kai melihat lengan pemuda yang berkulit halus dan putih itu sama sekali tidak terluka dan ia menarik napas panjang, penuh kekaguman. Benar-benar pemuda ini memiliki kesaktian hebat yang tidak diketahuinya sendiri. Ia sekarang mengerti. Tadi diwaktu menahan dan mendorong batu, pemuda yang belum mempunyai dasar ini terkena hawa pukulannya sendiri maka ia roboh pingsan. Sekarang, karena ia tidak menggunakan tenaga dan ada dua orang menyerangnya atau setidaknya hendak mencengkeram dengan tenaga lweekang, maka otomatis dua orang Hui itu menjadi korban tenaga mujizat dari lengan pemuda ini sehingga sekali bertemu saja tangan mereka sampai patah-patah tulangnya! Dan pemuda ini sama sekali tidak mengerti!

Diam-diam Ciu-ong Mo-kai menjadi girang sekali. Dia adalah seorang pendekar gagah yang sejak dahulu amat kagum dan menjunjung tinggi kepahlawanan Cia Hui Gan dan Cia Sun. Sekarang keluarga Cia mempunyai keturunan yang demikian hebat, benar-benar merupakan anugerah besar.

Akan tetapi ia sangsi melihat sikap Han Sin, ia tidak berani membuka rahasia pemuda itu karena melihat betapa Han Sin benar-benar tidak suka akan ilmu silat. Pemuda itu benar-benar telah menjadi seorang yang penuh welas asih, halus dan tidak suka kekerasan.

Demikianlah dengan amat tekun dan menggunakan sistem kilat, Ciu-ong Mo-kai menurunkan ilmu kepandaiannya kepada Bi Eng, Han Sin dan Siauw-ong. Akan tetapi yang betul-betul ia pimpin hanyalah Bi Eng yang langsung berlatih dan belajar dibawah pimpinannya. Siauw-ong, monyet kecil itu hanya ikut-ikut saja kalau Bi Eng berlatih silat.

Dan bagaimana dengan Han Sin? Lebih aneh dan lucu dari Siauw-ong. Pemuda ini kalau Bi Eng menerima pelajaran dan berlatih, dia sendiri tidak ikut berlatih melainkan duduk di bawah pohon membawa sebuah buku kosong dan alat tulis. Ia mencatat semua pelajaran teori, dan mencoret-coret menggambar Bi Eng bersilat dalam pelbagai gerakan.

Lukisannya amat tepat, malah pada suatu waktu ketika Ciu-ong Mo-kai melihat lukisan itu, ia menggelengkan kepalanya karena gerakan-gerakan orang bersilat dalam lukisan itu demikian sempurna sehingga dia sendiri kiranya tidak akan mungkin melakukan gerakan lebih baik lagi dari pada gerakan gambar orang bersilat itu. Diam-diam ia ngeri juga melihat Han Sin dan harus mengakui bahwa pemuda ini benar-benar seorang anak ajaib yang berwatak aneh dan berkepandaian aneh pula.

Ciu-ong Mo-kai adalah seorang tokoh kang-ouw yang semenjak mudanya tidak pernah menikah, juga tidak pernah menerima murid yang ia warisi semua kepandaiannya yang luar biasa. Memang benar banyak murid-muridnya, yaitu tokoh-tokoh pengemis kang-ouw yang kini menjadi jago-jago di daerah selatan bahkan tersebar luas di beberapa daerah. Akan tetapi ilmu silatnya yang tunggal, yaitu ilmu silat Liap-hong-sin-hoat (Ilmu Kesaktian Mengejar Angin) tak pernah ia turunkan kepada siapapun juga.

Malah di antara tokoh-tokoh pengemis yang menjadi pangcu (ketua) perkumpulan-perkumpulan pengemis dan pernah menerima petunjuk-petunjuknya dan mengaku menjadi muridnya, hanya beberapa orang saja yang pernah melihat Ciu-ong Mo-kai mainkan Liap-hong-sin-hoat ini, baik bertangan kosong, menggunakan tongkat dan senjata lain. Memang ilmu silat Liap-hong-sin-hoat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja, karena pada hakekatnya ilmu silat bersenjata adalah cabang dari pada ilmu silat tangan kosong.

Akan tetapi kali ini, dengan sepenuh hati dan rela Ciu-ong Mo-kai menurunkan Liap-hong-sin-hoat kepada Bi Eng! Nona muda inipun amat cerdik dan memang bakatnya baik sekali sehingga dengan cepat ia dapat mewarisi ilmu silat tunggal yang ampuh itu. Sayangnya Bi Eng kurang memiliki dasar atau jelasnya ia melatih ilmu silat setelah berusia lima belas tahun. Masih untung baginya bahwa ia suka bermain-main "tari monyet" dengan Siauw-ong sehingga ia mempunyai kelincahan dan kelemasan tubuh yang cukup.

Mula-mula Ciu-ong Mo-kai kecewa melihat Han Sin tidak pernah mau ikut berlatih praktek tetapi hanya mencatat dan menggambar saja. Dengan menghafal semua gerakan dan tipu-tipu ilmu silat, mana bisa mempergunakan dalam praktek tetapi tanpa latihan? Demikian pikir pengemis sakti itu dengan gelisah. Biarpun tanpa disadari memiliki tenaga kesaktian dalam tubuh, namun tanpa ilmu silat bagaimana akan dapat melawan musuh yang tangguh?

Dengan amat penasaran, beberapa bulan kemudian guru ini mengintai ke dalam kamar Han Sin. Terlalu banyak pemuda itu menyembunyikan diri di dalam kamar, apa sih rahasianya?

Waktu itu sudah lewat tengah malam namun kamar Han Sin masih ada cahaya lampu redup-redup, Ciu-ong Mo-kai mengintai dari atas genteng dan ia melihat pemandangan yang aneh. Ternyata Han Sin berada di atas pembaringannya bertelanjang bulat sama sekali dan pemuda itu berada dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berjungkir balik dengan kepala di atas pembaringan dan kakinya di atas. Tubuhnya yang terbalik ini lurus sekali seperti sebatang tongkat kayu saja, kedua lengan bersedakap dan tubuhnya tidak ada penahannya sama sekali!

Selama hidupnya belum pernah Ciu-ong Mo-kai melihat kejadian seperti ini. Gilakah pemuda itu? Tak mungkin gila. Sehari-hari tabiatnya tidak membayangkan kemiringan otak. Laginya, tanpa latihan yang lama tak mungkin orang bisa "berdiri" di atas kepala seperti itu. Ketika ia mengawasi dengan teliti, makin berdebar hatinya. Pemuda itu tidak bernapas! Atau lebih tepat menahan napas. Ia menghitung perlahan sampai tiga ratus kali, baru kelihatan pemuda itu mengeluarkan napas, panjang dan lama sampai tiga ratus hitungan pula, menahan di dada dalam waktu yang sama. Pendeknya, tiap kali menyedot, tiap kali menahan napas, dan tiap kali mengeluarkan pernapasan itu masing-masing selama tiga ratus kali hitungan.

Inilah latihan samadhi dan pernapasan yang amat aneh! Bagi Ciu-ong Mo-kai, seorang tokoh kang-ouw yang sudah kawakan, berlatih napas seperti itu sih bukan hal aneh. Akan tetapi ketika ia perhatikan betul-betul dan mendapatkan kenyataan bahwa pemuda itu menilik dari pernapasan yang tetap dan halus adalah dalam keadaan tidur. Bukan main!

Dalam keadaan tidak sadar atau tidur dapat mengatur pernapasan seperti itu, berjungkir balik lagi. Sudah tak dapat dibilang latihan lagi, melainkan hal yang sudah mendarah daging sudah menjadi kebiasaan bagi jasmaninya. Inilah tingkat yang tak sembarang orang mampu mencapainya.

Tingkat teratas bagi ahli-ahli siulian (samadhi) sehingga tidak ada bedanya antara sadar dan tidak, antara berlatih dan tidak. Pendeknya, bagi orang yang sudah mencapai tingkat itu, setiap detik baik ia tidur maupun sadar, makan maupun bicara, ia tak pernah lepas dari pada keadaan samadhi. Napasnya secara otomatis teratur terus, panca inderanya selalu terkumpul pada setiap keluangan kalau ia tidak sedang berpikir lain!

Dalam menghadapi pemandangan yang membuat Ciu-ong Mo-kai melongo saking kagumnya itu, teringatlah ia akan penuturan mendiang gurunya dahulu bahwa di puncak Himalaya banyak terdapat pertapa-pertapa yang sanggup bertapa tanpa bergerak tanpa makan sampai setahun lebih. Itulah puncak kesempurnaan samadhi, kata gurunya. Akan tetapi, demikian gurunya menerangkan, samadhi seperti itu dilakukan tanpa kehendak sesuatu, karenanya tidak mendatangkan kekuatan jasmani, hanya membersihkan rohani. Kalau dilakukan dengan keliru, memang akibatnya bermacam-macam. Bisa menimbulkan hal-hal yang aneh.

Agaknya Han Sin telah mempelajari cara samadhi dari kitab-kitab kuno, dari ilmu-ilmu batin jaman dahulu, akan tetapi agaknya pemuda itu yang berlatih semenjak kecil tanpa petunjuk, telah "tersesat" dan akibatnya malah mendatangkan tenaga dalam yang mujizat! Inilah kurnia yang luar biasa dan baiknya pemuda itu memang pada dasarnya berwatak baik. Andaikata ia berwatak jahat, tentulah penyelewengan atau kesesatan latihan ini akan mendatangkan malapetaka atau ilmu hitam padanya!

Ciu-ong Mo-kai mengambil sepotong pecahan genteng dan disambitkannya ke bawah, mengarah bagian tubuh yang tidak berbahaya dari pemuda itu, yakni di bagian betis kaki. Akan tetapi, tepat seperti ia sudah menduga sebelumnya, pecahan genteng itu terpental dan jatuh sebelum mengenai betis Han Sin dan pemuda itu segera terjaga dari "tidurnya!"!

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Cocok dengan dugaan Ciu-ong Mo-kai yang menjadi makin kagum bahwa di dalam tubuh Han Sin telah timbul dan dipelihara sin-kang (hawa sakti) tanpa di sengaja atau dimengerti oleh pemuda itu sendiri. Ia maklum bahwa untuk mengajar seorang pemuda seperti ini, ilmu silatnya masih terlalu rendah. Kalau Han Sin melatih diri dengan ilmu silatnya yang gerakan-gerakannya berdasarkan lweekang yang masih belum tinggi kalau dibandingkan dengan tingkatnya, maka ilmu silat itu takkan ada gunanya malah dapat merusak kekuatan luar biasa yang tersembunyi di dalam tubuh Han Sin itu.

Setelah membuktikan sendiri bahwa dugaan-dugaannya memang tepat, semenjak itu Ciu-ong Mo-kai tidak mau meributkan tentang sikap Han Sin yang tidak ikut berlatih, hanya mencatat dan melukis semua pelajaran silat yang ia turunkan kepada Bi Eng. Malah dengan tekun pengemis sakti ini lalu menggembleng Bi Eng, menurunkan bagian-bagian terpenting dari ilmu silatnya dan mengajar gadis itu dengan tipu-tipu dan gerakan-gerakan yang praktis tanpa membuang waktu dengan segala macam gerakan variasi yang hanya disebut ilmu silat kembang.

SETELAH mengajar tanpa mengenal lelah selama dua tahun, habislah sudah semua dasar ilmu silat tinggi dan ilmu silat Liap-hong-sin-hoat ia turunkan kepada Bi Eng. Han Sin tetap belum pernah kelihatan belajar ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh Ciu-ong Mo-kai, akan tetapi seringkali Ciu-ong Mo-kai menjadi bengong kalau melihat betapa Bi Eng yang sedang berlatih silat ditonton oleh Han Sin, sering kali mendapat teguran-teguran dari kakaknya itu!

Pernah ia mendengar Han Sin memberi nasehat kepada Bi Eng ketika gadis itu bersama kakaknya dan Siauw-ong berada di taman belakang. Pengemis tua ini diam-diam mengintai dan alangkah herannya ketika ia melihat Bi Eng mainkan Liap-hong Sin-hoat dengan cepat dan baiknya ditonton oleh Han Sin yang mencela sana-sini.

"Gerakanmu dalam jurus ke tiga belas ada kesalahan, moi-moi. Juga dalam jurus ke lima tadi kurang sempurna," kata Han Sin setelah Bi Eng selesai berlatih.

Bi Eng menghampiri kakaknya, "Apa kesalahannya dan yang manakah kurang sempurna, Sin-ko? Harap kau memberi petunjuk."

Diam-diam Ciu-ong Mo-kai menjadi geli hatinya, ia sendiri tadi melihat dengan penuh perhatian akan tetapi tidak melihat kesalahan-kesalahan. Apakah pemuda ini yang belum pernah melatih diri berani mencela adiknya yang selalu giat berlatih?

"Coba kau ulangi gerakan ke lima tadi, bukankah itu gerakan tipu Pek-in-kan-goat (Awan Putih Mengejar Bulan)?"

"Betul, koko. Kaulihat baik-baik dan katakan nanti mana yang kurang sempurna." Gadis itu lalu membuat gerakan Pek-in-kan-goat, amat cepat, sigap dan kuat.

Ciu-ong Mo-kai memandang penuh perhatian dari tempat sembunyinya, akan tetapi ia tidak dapat menemukan kesalahan dalam gerakan itu, maka ia ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan Han Sin.

"Menurut catatan dan gambaranku tentang gerakan Pek-in-kan-goat ini ketika aku melihat suhu memberi contoh, pada saat kedua tangan melakukan pukulan bertubi-tubi empat kali ke depan, tiap kali melangkah, kaki yang depan berdiri di ujung jari-jari kaki. Akan tetapi kakimu tadi kulihat masih rata dengan tanah, kurang berjungkit. Coba kau lakukan lagi."

Bi Eng kelihatan menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Han Sin dan kini ia bersilat lagi, memperbaiki kedudukan kaki yang dianggap keliru oleh Han Sin tadi. Anehnya, biarpun Han Sin tak pernah ikut berlatih silat, gadis itu tetap saja menganggap kakaknya jauh lebih pandai dan setiap pendapat kakaknya itu betul belaka! Secara membuta karena kepercayaannya sudah mendalam, ia menurut semua nasehat Han Sin.

Yang terheran-heran adalah Ciu-ong Mo-kai karena sekarang ia baru tahu dan harus mengakui bahwa memang murid perempuannya itu melakukan kesalahan, biarpun kesalahan yang amat kecil. Andaikata dia sendiri sendiri melihat hal itu, dia tidak akan menganggapnya satu kesalahan gerak tipu ini, hanya kalau diingat lagi, memang jauh lebih sempurna kalau kaki berdiri berjungkit sebagaimana mestinya dalam gerakan ini sehingga dalam melakukan serangan berikutnya yang disertai tendangan, kedudukan akan menjadi lebih baik karena dapat menendang lebih cepat!

"Bagus, sekarang baru sempurna, cocok sekali dengan ajaran suhu." Han Sin memuji setelah adiknya mengulangi latihannya. "Sekarang coba kau ulangi jurus ketiga belas, jurus Po-in-gan-jit (Sapu awan melihat matahari)."

Dengan patuh Bi Eng melakukan gerak tipu ini dan mata Ciu-ong Mo-kai dibuka selebar-lebarnya untuk menemukan kesalahan dalam gerakan muridnya ini. Akan tetapi dalam gerakan inipun ia tidak melihat kesalahan apa-apa, malah ia berani pastikan bahwa gerakan muridnya kali ini sudah amat baik dan sempurna. Mau bilang apa lagi pemuda ajaib itu, pikirnya girang dan bangga.

Han Sin mengerutkan keningnya setelah adiknya selesai melakukan gerakan Po-in-gan-jit, lalu katanya perlahan. "Kau harus lebih memperhatikan kalau suhu memberi contoh padamu. Menurut catatan-catatanku ketika suhu melakukan gerakan ini, jalan napas dibagi tiga bagian. Menyedot napas ketika meloncat, menahan napas ketika tangan diputar menangkap tangan lawan lalu membuang napas ketika memukul ke arah pusar musuh. Akan tetapi jalan pernapasanmu tadi tidak sesuai. Coba kaulakukan lagi dengan baik dan ingat jalan pernapasanmu."

Bi Eng lagi-lagi menurut dan mentaati nasehat kakaknya. Adapun Ciu-ong Mo-kai di tempat sembunyinya menjadi pucat. Kagetnya bukan alang kepalang. Tidak dinyana, tidak disangka bahwa biarpun pemuda itu hanya mencoret-coret dan menggambar semua pelajaran, ternyata demikian teliti sampai-sampai jalan pernapasan ketika bersilat dia catat! Dan diam-diam ia harus mengakui kebodohan sendiri.

Pernapasan dalam ilmu silat amat penting, bagaimana ia lalai untuk memperhatikan cara Bi Eng berlatih? Ah, kalau dilihat begini naga-naganya, ia harus akui bahwa Han Sin merupakan pelatih yang jauh lebih cermat dan baik dari pada dia sendiri. Dalam teori, kiranya dia sendiri takkan sehafal Han Sin.

"Bagus.....!" Tak terasa lagi ia meloncat keluar dari tempat sembunyinya. Kemuncullannya menggirangkan Bi Eng akan tetapi membuat Han Sin berdiri dengan malu dan kepala tunduk. Di depan suhunya, belum pernah Han Sin berani memberi petunjuk kepada adiknya, hanya di waktu tidak ada gurunya saja Han Sin berani memberi petunjuk demi kemajuan ilmu silat Bi Eng.

"Suhu, maafkan kelancangan teecu tadi, berani mencela gerakan-gerakan Eng-moi," kata Han Sin sambil menjura.

Lagi-lagi Ciu-ong Mo-kai tertegun. Bagi orang lain, melakukan kesalahan yang tidak terlihat orang tentu akan diam-diam saja. Akan tetapi Han Sin tanpa ditanya belum-belum sudah mengaku dan minta maaf. Sungguh sifat jujur dan merendah yang jarang terdapat.

"Tidak apa, Han Sin. Petunjuk-petunjukmu memang amat berfaedah bagi adikmu. Bi Eng, selanjutnya kau harus selalu patuh dan taat akan petunjuk dan nasehat kakakmu. Dua tahun sudah aku tinggal di sini, bersembunyi dari dunia ramai dan semua ilmu yang kupunyai sudah kuwariskan kepadamu. Kau hanya tinggal melatih diri saja. Karena itu, aku hendak turun gunung. Banyak tugas menantiku di dunia ramai. Kelak kalau kalian turun gunung, hati-hatilah berhadapan dengan orang-orang yang kusebut ini. Mereka inilah yang dahulu berada di puncak ini pada saat orang tua kalian terbunuh. Pertama-tama adalah Balita, puteri bangsa Hui yang tinggi sekali kepandaiannya. Apalagi sekarang setelah ia mendapat julukan Jin-cam-khoa (Algojo Manusia). Ia kejam dan lihai sekali."

"Puteri Hui? Jangan-jangan ada hubungannya dengan orang-orang Hui yang dua tahun yang lalu menyerang ke sini, suhu," kata Bi Eng.

"Mungkin..... mungkin.... sayang sekali dahulu kita tidak bisa mendapat keterangan dari mereka. Jin-cam-khoa Balita ini dahulu tergila-gila kepada ayah kalian yang tidak mau memperdulikannya sehingga ia menaruh kebencian kepada mendiang ibumu. Orang-orang yang termasuk golongan kedua yang harus kalian hadapi dengan hati-hati adalah Thian-san Sam-sian, tiga hwesio Thian-san yang bernama Gi Thai Hwesio, Gi Ho Hwesio dan Gi Hun Hwesio. Ayahmu pernah bentrok dengan mereka ini karena kong-kongmu membunuh seorang murid mereka yang jahat. Mereka ini juga lihai sekali, apa lagi kalau maju berbareng merupakan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) yang sukar dilawan. Juga mereka menaruh dendam kepada ayahmu dan selain dendam ini, mereka ingin sekali mendapatkan surat wasiat Lie Cu Seng yang dikabarkan orang berada di tangan ayahmu."

"Surat wasiat Lie Cu Seng? Surat wasiat apakah itu, suhu?" kembali Bi Eng bertanya sedangkan Han Sin hanya menunduk kepala mendengarkan penuh perhatian.

"Nanti kuceritakan tentang itu. Sekarang orang ke tiga. Dia adalah Ang-jiu Toanio di I-kiang yang memusuhi ayahmu karena ayahmu dahulu membunuh suaminya, tuan tanah Phang Kim Tek yang kejam. Ang-jiu Toanio ini adalah seorang ahli Ang-see-chiu (Tangan pasir merah), tangannya mengandung hawa beracun dan lihai sekali."

"Hemmm, nyonya tuan tanah di I-kiang...." kata Bi Eng mengingat-ingat.

"Ke empat adalah Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng......"

"Kok ada orang berjuluk raja Swipoa? Apa dia seorang pedagang?" tanya Bi Eng heran.

"Memang seorang pedagang, akan tetapi lihainya tidak kalah oleh orang-orang lain. Dia sih tidak mempunyai permusuhan dengan ayahmu, akan tetapi dia juga mengincar surat wasihat. Hati-hati terhadap manusia yang penuh akal bulus dan tipu muslihat licik ini."

Apakah hanya empat orang-orang itu yang berada di sini ketika pembunuhan ayah ibu terjadi?" tanya pula Bi Eng.

"Ya, yang terang-terangan memperlihatkan diri hanya mereka. Akan tetapi ketika secara diam-diam aku berada di puncak, aku melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh. Pertama seorang gundul bangsa Mongol yang membawa-bawa harimau besar, berkeliaran di sekitar hutan di pegunungan Min-san ini."

"Orang bawa macan?"

"Aku tidak mengenal siapa dia, akan tetapi gerak-geriknya cukup mencurigakan dan dari gerak-geriknya dapat diketahui bahwa diapun bukan orang sembarangan dan lihai sekali. Adapun orang terakhir, yang hanya kulihat bayangannya, adalah seorang raja iblis yang amat ganas dan yang memiliki kepandaian sukar ditaksir berapa tingginya. Dia ini sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, tingkatnya lebih tinggi dari pada yang lain-lain tadi. Terhadap orang ini, baiknya kalian jangan mencari-cari perkara karena selain sakti, dia juga berhati kejam melebihi iblis."

"Siapa dia, suhu?" Bi Eng bertanya biarpun merasa ngeri akan tetapi tidak takut. Belum pernah gadis ini merasa takut terhadap apapun juga.

"Dia itu bernama Hoa Hoa Cinjin, ilmu pedangnya pernah menjagoi dunia dan pernah ia mengeluarkan tantangan mengadu pedang dengan siapa saja di dunia ini. Menurut kabar, belum pernah ada orang dapat mengalahkan ilmu pedangnya itu. Nah, terhadap orang-orang yang kusebutkan tadi, kalian harus berlaku hati-hati, murid-muridku."

"Suhu, begitu banyak orangkah yang dahulu memusuhi ayah? Siapa di antara mereka yang telah membunuh ayah dan ibu!" tanya Bi Eng, tangannya terkepal dan ia sudah lupa lagi akan nasehat suhunya supaya berhati-hati menghadapi orang-orang itu.

"Itulah yang masih merupakan rahasia sampai sekarang. Dahulu di depan peti mati ayah bundamu, aku sudah berusaha menanti datangnya pembunuh, berusaha menyelidiki siapa-siapakah pembunuhnya. Akan tetapi sia-sia belaka. Kematian ayah bundamu memang dapat disebut suatu keanehan dan kalian berdualah yang bertugas dan berkewajiban untuk menyelidiki dan mencari pembunuhnya." Kemudian pengemis sakti itu menuturkan dengan jelas semua peristiwa yang ia ketahui tentang Cia Sun, juga tentang surat wasiat Lie Cu Seng yang sampai sekarang tidak pernah ditemukan.

"Nah, cukup kiranya, murid-muridku. Selanjutnya terserah kepada kalian sendiri untuk menentukan langkah. Kalian sudah tahu siapa ayah kalian, seorang pendekar perkasa yang patut dijunjung tinggi namanya dengan perbuatan-perbuatanmu yang melanjutkan sepak terjangnya. Kelak apabila kalian berkesempatan turun gunung terjun di dunia ramai, di mana saja kalian berada, kalau kalian menyebut namaku sebagai guru, agaknya kalian tidak akan banyak mengalami keruwetan dan banyak pula orang membantumu."

Ciu-ong Mo-kai lalu mendatangi uwak Lui yang sudah sangat tua dan tidak dapat keluar dari kamar untuk berpamit. Uwak Lui sudah amat tua, sudah tujuh puluh lebih usianya dan sakit-sakitan saja. Kemudian kakek pengemis itu turun gunung, diantar oleh dua orang murid berikut Siauw-ong sampai di daerah berbatu yang mengelilingi gedung di puncak itu.

Dua bulan setelah Ciu-ong Mo-kai pergi meninggalkan puncak Min-san, uwak Lui meninggal dunia karena sakit tua. Dapat dibayangkan betapa sedih hati dua orang anak yatim piatu itu ditinggal mati oleh uwak Lui yang mereka anggap sebagai nenek dan pengganti orang tua sendiri. Bi Eng menangis sampai jatuh pingsan, berbeda dengan Han Sin yang menanggung kesedihan itu dengan tenang-tenang saja dan tidak kelihatan dari luar bahwa dia merasa amat berduka. Tanpa banyak cakap pemuda ini, dibantu dua orang pelayan, mengurus jenazah uwak Lui dan mengubur dengan upacara sederhana. Jenazah uwak Lui dikubur tak jauh dari makam Cia Sun dan isterinya.

Ucapan terakhir yang dipesankan oleh uwak Lui dengan suara pelo dan tidak jelas, amat mengharukan dan berkesan dalam-dalam di hati Han Sin dan Bi Eng. Pesan itu masih saja bergema di dalam telinga mereka :

"....Anak-anakku... ingatlah..... jangan kalian berpisah satu dari yang lain.... selama-lamanya..... Han Sin.... jaga baik-baik adikmu.... kalian.... ah, kalian.... cari gadis bertahi lalat di.... mata kaki kiri.... awas terhadap gadis yang.... di dekat telinganya ada tanda merah.... kalian bukan.... bukan..... ahhh....." Sampai di situ habis napas uwak Lui dan kedua orang muda itu menghadapi rahasia atau teka-teki yang sama sekali tidak mereka mengerti maksudnya.

Setelah penguburan selesai dan dua orang kakak beradik itu meninggalkan kuburan di mana mereka berkabung, Siauw-ong masih juga belum mau meninggalkan kuburan. Malam itu malah Siauw-ong tidak pulang. Agaknya monyet kecil ini amat berduka atas kematian uwak Lui.

Pada keesokan harinya, ketika Han Sin dan Bi Eng keluar dari ruangan dalam hendak mencari Siauw-ong, mereka melihat monyet kecil ini datang berloncat-loncatan sambil membawa sebuah gulungan kertas kuning. Binatang ini cecowetan sambil mengacung-acungkan gulungan kertas itu.

"Siauw-ong, benda apakah yang kaubawa itu?" tanya Han Sin sambil berjongkok dan menerima gulungan kertas dari tangan Siauw-ong. Bi Eng memandang dengan heran dan tertarik. Kakak beradik ini lalu duduk di bangku dan Han Sin membuka gulungan kertas kuning itu.

Kertas itu amat tebal dan kuat, kiranya bukan terbuat dari pada kertas biasa, mungkin dari kulit kayu atau kulit binatang yang amat kuat dan sudah tua sekali. Ketika dibuka gulungannya, di situ terdapat sebuah peta dengan tanda-tanda dan huruf-huruf di sana-sini. Dengan tertarik sekali Han Sin dan Bi Eng memeriksa. Alangkah terkejut hati mereka ketika membaca huruf-huruf kecil di ujung kiri peta itu yang berbunyi :

PENINGGALAN LIE UNTUK CIA

"Koko, tak salah lagi. Inilah surat wasiat Lie Cu Seng yang pernah disebut-sebut suhu," kata Bi Eng, berdebar girang dan perasaannya menegang.

Namun Han Sin tetap tenang. Sambil mengamati penuh ketelitian, ia menjawab, "Agaknya dugaanmu betul, Eng-moi. Inilah surat wasiat yang diperebutkan orang. Akan tetapi kita tidak ikut memperebutkan karena memang surat ini menjadi hak kita. Baca saja, bukankah di situ disebutkan bahwa surat wasiat pahlawan Lie Cu Seng ini memang diperuntukkan keluarga Cia? Agaknya betul dugaan suhu dulu bahwa pahalawan Lie sebelum gugur meninggalkan surat ini untuk kong-kong Cia Hui Gan yang kemudian menurunkannya kepada ayah kita." Ia memandang lagi dengan teliti lalu berkata perlahan, "Hemmm, di pegunungan Lu-liang-san lembah sungai Huang-ho......"

Bi Eng memegang pundak kakaknya. "Koko, kau hendak apakan surat wasiat ini?"

Han Sin menggulung surat itu, memasukkannya ke dalam saku bajunya, lalu menoleh dan memegang kedua lengan adiknya. "Adikku yang baik, setelah di sini tidak ada siapa-siapa lagi yang menjadi tanggungan kita, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung, memasuki dunia ramai."

Untuk sejenak gadis itu tidak dapat menjawab. Hanya sepasang matanya terbelalak memandang kakaknya, sinar bahagia dan seri gembira memancar dari muka yang manis itu. "Turun gunung....?" Ucapan ini merupakan pelepasan rindu yang sudah bertahun-tahun dipendamnya yaitu rindu akan dunia ramai yang banyak ia dengar akan tetapi belum pernah dilihatnya itu. "Ahh.......! Sin-ko, turun gunung ke dunia ramai.....?" Tak terasa lagi dua butir airmata yang bening mengalir di kedua pipi merah itu.

Han Sin tersenyum. Melihat adiknya bergembira seperti ini, sudah cukup bahagia rasa hatinya. Ia mengusap pipi adiknya lalu membelai rambut yang terurai ke jidat yang halus itu. "Tentu saja turun gunung menemui manusia-manusia lain dunia ramai. Kita kan bukan dilahirkan untuk menjadi pertapa-pertapa di puncak ini sampai kita menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek?"

Mendengar ini, Bi Eng tertawa dan saking girangnya gadis ini meloncat, merangkul leher kakaknya, lalu melepaskannya lagi dan menari-nari kegirangan, tari monyet yang sering ia tarikan dulu. Melihat ini, sambil mengeluarkan bunyi cecowetan girang, Siauw-ong juga mulai menari-nari di dekat nonanya!

Cari Blog Ini