Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 4


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




"Sin-ko, jangan kau sebut-sebut lagi tentang kakek-kakek dan nenek-nenek. Tak tahan aku mengenangkan bagaimana kau berubah menjadi seorang kakek-kakek, hi hi hi!"

Han Sin tersenyum. "Apa kau suruh aku menjadi ular yang tiap kali berganti kulit?" Kemudian ia teringat akan sesuatu dan tersenyum. Wanita di manapun juga memang pantang memikirkan usia tua. "Akan tetapi aku percaya, kau selamanya akan seperti sekarang, cantik jelita manis mungil, tak pernah bisa jadi tua."

Bi Eng kembali merangkul pundak kakaknya dengan gaya manja. "Sin-ko, jangan memuji-muji. Adikmu ini bocah gunung mana bisa disebut cantik? Nanti akan kautemui banyak gadis cantik jelita seperti puteri-puteri dalam gambar itu di kota-kota besar dan kau akan melihat betapa buruknya rupa adikmu."

Memang Bi Eng amat sayang kepada kakaknya. Tidak saja sayang, juga ia amat taat kepada kakaknya yang dalam anggapannya adalah satu-satunya orang yang paling mulia, paling pandai dan paling... segala di dunia ini. Bahkan, setelah ia belajar ilmu silat tinggi dari Ciu-ong Mo-kai dan tahu bahwa kakaknya jauh lebih pandai masih saja memenuhi hatinya.

Mereka segera berkemas dengan gembira. Han Sin lalu panggil dua orang pelayan yang setia itu dan berkata, "Kedua paman yang baik, kami akan membawa Siauw-ong turun gunung. Kami hendak merantau, hendak mengenal dunia. Entah kapan kami kembali, malah kembali atau tidak masih belum dapat ditentukan sekarang. Oleh karena itu, dari pada barang-barang di sini rusak tidak karuan, kalau paman-paman membutuhkan, boleh paman ambil dan pakai. Kami tidak membutuhkan lagi."

Dia orang pelayan itu mengucurkan air mata. Mereka amat sayang kepada Han Sin dan Bi Eng yang mereka kenal semenjak masih bayi.

"Kongcu..... Siocia....., hendak ke manakah? Dunia ini sedang kacau, di mana-mana terdapat banyak penjahat. Bagaimana kalau jiwi (kalian berdua) sampai diganggu orang jahat?" kata seorang di antara mereka dengan penuh kekhawatiran.

Bi Eng menjawab, "Justru karena banyak terjadi kejahatan itulah aku dan koko hendak turun gunung, hendak membasmi orang-orang jahat dan menolong orang-orang yang perlu ditolong!"

Mendengar ini, Han Sin tersenyum saja. Di dalam hatinya ia tidak setuju akan kata-kata "basmi" ini, akan tetapi karena terlampau sayang kepada Bi Eng ia tidak mau mengecewakan hati adiknya yang sedang bergembira itu.

"Kami akan menjaga diri baik-baik, paman."

Setelah bersembahyang di depan kuburan ayah bundanya dan kuburan uwak Lui, dua orang kakak beradik itu lalu turun gunung. Mereka berjalan perlahan saja, dan hati-hati. Bi Eng yang sudah memiliki ginkang yang tinggi berkat latihan Ciu-ong Mo-kai, tidak mau mempergunakan ilmu lari cepat karena takut kakaknya tertinggal. Malah ia selalu menggandeng tangan kakaknya ketika melalui daerah berbatu yang amat sukar dilewati, menjaga kalau-kalau kakaknya itu jatuh! Adapun Siauw-ong selalu "membonceng" di pundak Han Sin.

Melihat tingkah monyet ini, Bi Eng marah. "Siauw-ong! Kau pemalas. Ayoh turun, masa kau membikin lelah Sin-ko, enak-enakan duduk di pundak. Apa kau sudah tak punya kaki untuk jalan sendiri?"

Siauw-ong yang agaknya mengerti, lalu melompat turun. "Biarlah," kata Han Sin sabar. "Dia agaknya takut karena baru pertama kali ini turun gunung."

Mendengar kata-kata ini, Bi Eng berdebar hatinya. Tentu saja Siauw-ong takut, bahkan dia sendiri yang tak pernah kenal takut, kini menjadi berdebar penuh ketegangan hati. Seperti apa macamnya dunia ramai? Seperti apa macamnya kota-kota besar dan penduduknya? Karena ini, ia tidak menegur lagi ketika mereka tiba di kaki gunung. Monyet kecil itu kembali melompat ke atas punggung Han Sin.

Dusun-dusun dan penduduknya yang dilalui ketika mereka menuruni puncak, tidak menarik perhatian Bi Eng, karena memang sudah sering kali ia melihat dusun-dusun itu. Penduduk dusun-dusun sebagian besar mengenal Han Sin dan Bi Eng yang mereka sebut Cia-kongcu (tuan muda Cia) dan Cia-Siocia (nona Cia) Mereka semua menyambut dua orang kakak beradik ini dengan ramah, mengingat bahwa dua orang muda ini adalah keturunan Cia-enghiong yang sudah banyak dan kerap kali menolong penduduk dusun sekitar Min-san.

Han Sin dan Bi Eng melanjutkan perjalanan menuju ke timur, karena menurut pengetahuan Han Sin dari kitab-kitabnya, Lu-liang-san terletak di sebelah timur.

"Kita harus menyelidiki tentang isi surat wasiat," katanya kepada adiknya. "Karena ayah menerima surat wasiat ini, tentu menjadi kewajiban kita untuk menyelidiki, apakah gerangan yang tersimpan dalam tempat rahasia itu sampai-sampai orang sakti memperebutkan surat ini. Aku mendapat perasaan bahwa agaknya karena surat ini maka ayah ibu terbunuh orang."

Ketika mereka sudah jauh dari kaki bukit Min-san, di sebuah jalan gunung yang sunyi dan kasar, dari depan mereka melihat seorang perempuan tua yang duduk di dalam kereta dorong dan kereta ini didorong oleh seorang pemuda sebaya Han Sin yang wajahnya tampan dan pakaiannya sederhana.

Melihat sikap dan pakaian wanita dan pemuda itu berbeda dengan penduduk dusun, segera Han Sin dan Bi Eng tertarik.

"Kenapa perempuan itu tidak berjalan sendiri? Apa dia sakit?" kata Bi Eng.

"Ssstt, membicarakan orang jangan keras-keras," cegah Han Sin.

Wanita ini memang kelihatan seperti orang sakit. Kepalanya dilibat sehelai saputangan putih dan kelihatan lemah. Sebaliknya, pemuda yang tampan itu kelihatan gagah dan sehat, bersemangat dan biarpun peluhnya sudah membasahi muka dan leher, mulutnya tersenyum dan mukanya terang.

"Yan Bu, berhenti dulu!" terdengar perempuan itu berkata dan ternyata suaranya berbeda dengan keadaannya yang kelihatan lemah. Suaranya nyaring dan tajam.

Pemuda yang dipanggil Yan Bu itu berhenti dan menyusuti peluhnya. Adapun wanita tua itu tanpa turun dari kereta, menatap ke arah Han Sin dan Bi Eng dengan tajam sekali, pandangannya penuh selidik. Yang ia pandang terutama adalah gerakan kaki kedua orang muda itu.

"Aneh, wajahnya sama benar. Akan tetapi orang-orang lemah itu pasti sekali bukan mereka. Yan Bu, mari jalan lagi."

Pemuda itu menurut, hanya melepas kerling sekilas ke arah Han Sin dan matanya penuh kekaguman ketika ia melirik ke arah Bi Eng, akan tetapi ia segera tundukkan muka dan mendorong kereta itu, tanpa menoleh lagi. Wanita di dalam kereta dorong mash terus melirik ke arah kakak beradik itu terutama sekali kepada Han Sin yang menggendong Siauw-ong di punggungnya.

Yang lucu adalah Siauw-ong. Agaknya monyet ini girang melihat orang di dalam kereta dorong, maka ia mengangkat tangan kanan lambai-lambaikan seperti orang memberi salam!

Han Sin dan Bi Eng masih terus memandang sampai menoleh. Terutama sekali kereta dorong itu menarik perhatian mereka karena belum pernah mereka menyaksikannya. Setelah berpisah jauh, perempuan tua dan pemuda pendorong kereta itu menjadi bahan pembicaraan, terutama sekali Bi Eng yang masih heran.

"Melihat cara pemuda itu mendorong kereta, tentu ia kuat sekali, koko. Kenapa wanita itu didorong dalam kereta? Apa dia lumpuh? Dan orang sakit-sakitan seperti dia itu, mau apa datang ke tempat ini?"

"Entahlah, moi-moi. Akan tetapi menurut cerita suhu, memang banyak terjadi hal-hal aneh di dunia ini dan banyak pula manusia-manusia yang aneh wataknya. Biarlah kita anggap mereka itu orang-orang aneh pertama yang kita jumpai."

Ucapan Han Sin ini biarpun hanya merupakan hiburan bagi adiknya yang ingin mengetahui segala, ternyata memang tepat. Tentu saja mereka tidak pernah menduga bahwa memang orang di dalam kereta itu bukan manusia sembarangan. Dia itu bukan lain adalah Ang-jiu Toanio! Dan pemuda yang mendorong kereta itu adalah puteranya, putera sulungnya yang bernama Phang Yan Bu.

Pernah diceritakan betapa Ang-jiu Toanio kehilangan anak perempuannya, yaitu anak bungsunya yang dirampas oleh Kalisang. Orang mongol aneh yang membawa-bawa harimau Ang-jiu Toanio mengejar terus namun tidak berhasil mendapatkan kembali puterinya itu. Dengan hati hancur dan mengandung penasaran ia terpaksa pulang ke I-kiang dan memperdalam ilmu silatnya karena merasa bahwa kepandaiannya masih kurang tinggi sehingga menghadapi orang Mongol yang merampas anaknya ia tidak berdaya. Ia hidup bersama puteranya, yaitu Phang Yan Bu dan semenjak itu nyonya ini sering kali terserang penyakit jantung yang membuat kadang-kadang amat lemah.

Yan Bu adalah seorang anak yang amat berbakti. Iapun memiliki bakat baik sekali dalam ilmu silat. Dalam usia lima belas tahun saja ia sudah mewarisi kepandaian ibunya, kemudian oleh ibunya ia dikirim kepada Yok-ong Phoa Kok Tee yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Yok-ong (Si Raja Obat) ini adalah seorang tua yang mengasingkan diri di pegunungan, tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Pekerjaannya hanya mencari daun-daun dan akar-akar obat, kemudian ia merantau dari gunung ke gunung, dari kota ke kota dan selalu mengulurkan tangan mengobati orang-orang yang terserang penyakit.

Ketika Yan Bu berusia lima belas tahun, pada suatu hari Yok-ong Phoa Kok Tee singgah di I-kiang mengunjungi murid keponakannya. Ang-jiu Toanio adalah murid sutenya (adik seperguruannya), yaitu Koai-sin-jiu (Si Tangan Sakti Aneh) Bhok Kim yang tewas dalam pertempuran melawan Hoa Hoa Cinjin. Begitu bertemu dengan murid keponakannya yang sudah berpisah belasan tahun ini, Phoa Kok Tee terkejut.

"Kau menderita luka di jantungmu karena banyak berduka!" katanya kaget.

Ang-jiu Toanio menjatuhkan diri berlutut dan menangis. "Susiok, selama belasan tahun ini teecu telah menerima banyak penghinaan dan sakit hati." Sambatnya, kemudian ia menuturkan tentang kematian suaminya oleh Cia Sun dan kehilangan puterinya yang dirampas oleh orang Mongol bernama Kalisang.

"Suami dibunuh orang tanpa bisa membalas karena pembunuhnya sudah keburu meninggal dunia, anak dirampas orang untuk dijadikan mangsa harimau. Ah, teecu sendiri begini lemah berpenyakit, bagaimana sakit hati dapat dibalas?"

Mendengar penuturan itu, Yok-ong Phoa Kok Tee menarik napas panjang. "Dari dulu sudah kukhawatirkan ketika aku melihat cara hidup suamimu yang hartawan dan berlebihan. Sebagai seorang tuan tanah, suamimu terlalu memeras rakyat kecil dan aku tidak bisa terlalu salahkan pendekar muda Cia Sun itu kalau sampai bentrok dengan suamimu. Memang kalah atau mati hidup dalam pertempuran seperti itu, sukar untuk berbicara tentang sakit hati. Kau yang mempunyai anak bayi, mengapa membawa-bawa anakmu yang kecil itu untuk mencari musuh? Kejadian tentang anakmu benar-benar amat menyesalkan hati dan orang Mongol itu patut dibasmi. Biar kucatat namanya dan kalau sampai bertemu dengan dia, aku akan berusaha melenyapkan manusia keji itu. Sekarang biarkan aku memeriksa penyakitmu."

Sebagai seorang yang sudah mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat), dengan menekan urat nadi saja, tahulah Yok-ong Phoa Kok Tee bahwa tidak ada obat lagi bagi nyonya ini kecuali banyak beristirahat lahir batin. Akan tetapi ia memberi juga obat penguat jantung sambil berkata,

"Kau tidak boleh banyak berduka, tidak boleh mengandung pikiran benci dan mendendam. Tidak baik untuk penyakitmu."

Mendengar ini, Yan Bu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis dan minta-minta kepada Yok-ong supaya mengobati ibunya. "Susiok-couw, tolonglah ibuku yang tercinta. Obatilah ibu sampai sembuh."

Melihat kesungguhan hati anak itu, Phoa Kok Tee tertarik dan kagum. "Anak ini baik sekali, kau beruntung mempunyai anak seperti dia ini."

Karena tertarik dan suka melihat bocah berbakti itu, Phoa Kok Tee berkenan mewariskan ilmu goloknya yang tinggi tingkatnya kepada Yan Bu. Selama dua tahun ia memberi pelajaran ilmu silat kepada Yan Bu yang dengan amat cepat menguasai semua itu dan mendapatkan kemajuan pesat.

"Yan Bu, jagalah baik-baik ibumu. Terus terang saja, ibumu itu mempunyai watak yang kurang baik, terlalu ganas dan keras hati. Ini adalah kesalahan suteku sendiri yang tidak dapat menuntunnya dengan baik, malah menurunkan watak yang keras dan mau menang sendiri. Kau seorang anak baik yang dapat membedakan mana keliru mana benar, jangan kau mengecewakan sebagai muridku," pesan Raja Obat itu kepada muridnya sebelum ia pergi meninggalkan I-kiang.

Semenjak itu, Yan Bu menjadi seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi ia selalu bersikap sederhana. Malah iapun sudah mempelajari beberapa macam ilmu pengobatan dari gurunya. Makin dewasa, makin terbukalah matanya dan harus ia akui bahwa ibunya memang berwatak keras luar biasa dan ternyata ibunya tidak mau menurut nasehat Yok-ong. Diam-diam ibunya masih menaruh hati dendam kepada keluaraga Cia dan kepada Hoa Hoa Cinjin yang sudah membunuh guru ibunya, Koai-sin-jiu Bhok Kim.

Ketika ia berusia dua puluh tahun, ibunya berkata, "Yan Bu, mari kau ikut aku pergi ke Min-san!"

Yan Bu sudah tahu bahwa Min-san adalah tempat tinggal keluarga Cia. Ia mengerutkan kening dan bertanya, "Ibu, perlu apakah kita pergi ke sana? Bukankah musuh besar kita, Cia Sun, sudah tewas?"

"Masih ada anak-anaknya!" bentak ibunya.

Yan Bu adalah seorang anak yang amat berbakti dan tidak berani membantah kehendak ibunya yang amat dikasihani dan disayangnya. "Ibu masih belum sehat benar, melakukan perjalanan begitu jauh apakah tidak melelahkan?"

Ibunya maklum bahwa anaknya ini agak lemah hatinya, maka ia berkata ketus, "Yan Bu, apa kau sudah lupa bahwa ayahmu mati dibunuh orang? Selain mencari sisa keluarga Cia untuk menagih hutang, juga aku hendak mencarikan warisan untukmu. Ibu tidak lama lagi hidup di dunia dan aku ingin melihat kau kelak menjadi seorang yang makmur hidupmu. Di sana terdapat sebuah surat wasiat peninggalan Lie Cu Seng. Kalau bisa kita dapatkan......."

Yan Bu tidak berani membantah lagi dan berangkatlah ibu dan anak ini menuju ke Min-san. Karena mengkhawatirkan keselamatan ibunya, Yan Bu membuat sebuah kereta dorong dan membujuk ibunya suka duduk di kereta itu yang selalu didorongnya tanpa mengenal bosan dan lelah. Jarang memang mencari seorang pemuda yang begitu berbakti seperti Yan Bu.

Demikianlah, sudah diceritakan betapa anak dan ibunya ini di jalan bertemu dengan Cia Han Sin dan Cia Bi Eng. Ang-jiu Toanio tercengang melihat persamaan wajah antara pemuda yang membawa monyet itu dengan Cia Sun. Akan tetapi setelah melihat cara berjalan pemuda itu menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda dusun yang tidak mengerti ilmu silat, kecurigaannya lenyap dan ia melanjutkan perjalanannya dengan puteranya, mendaki puncak Min-san.

Dapat mendorong kereta ibunya mendaki puncak Min-san ini saja sudah membuktikan bahwa ilmu kepandaian Yan Bu memang sudah mencapai tingkat tinggi. Ginkangnya amat mengagumkan sehingga dalam melalui batu dan jurang, ia dapat melompatinya sambil masih mendorong kereta! Dan hebatnya, semua ini ia lakukan dengan senyum dan wajah berseri, sedikitpun tidak pernah mengeluh.

Ang-jiu Toanio agaknya tidak perdulikan kelelahan puteranya, malah melengut dalam kereta. Ketika membuka mata dan melihat bahwa mereka sudah tiba di daerah berbatu di sekeliling puncak dan atap rumah gedung keluarga Cia sudah tampak, wanita ini membuka lebar-lebar matanya dan berseru, "Cepatlah, Yan Bu, cepat! Aku sudah ingin sekali bertemu dengan adikmu!"

Tentu saja Yan Bu terheran-heran mendengar ucapan ibunya ini. Pernah ibunya bercerita kepadanya bahwa adik perempuannya yang masih bayi dirampas oleh Kalisang dan hendak dijadikan makanan harimau.

"Ibu, apa Kalisang penjahat itu berada di rumah itu?" tanyanya penuh gairah. Ingin ia membalas dendam kepada orang Mongol jahat yang sudah merampas adiknya itu.

Ang-jiu Toanio agaknya sadar bahwa ia tadi telah bicara tanpa dipikir lagi. "Cepatlah dan jangan banyak bertanya."

Tak lama kemudian mereka tiba di depan rumah gedung itu. Dua orang pelayan laki-laki tua yang sedang sibuk mengangkut-angkuti barang dari gedung itu, menyambut kedatangan mereka. Dua orang pelayan ini adalah pelayan keluarga Cia dan mereka memenuhi pesan Han Sin, mengangkuti barang-barang yang berada di gedung. Barang-barang itu tidak banyak karena sebagian besar sudah dijuali untuk biaya hidup keluarga itu selama uwak Lui memelihara kedua orang anak keluarga Cia. Karena tidak betah lagi tinggal di puncak tanpa kawan, dua orang pelayan itu hendak membawa semua sisa barang turun gunung dan hidup di dusun.

Melihat datangnya seorang wanita tua bersama seorang pemuda, dua orang pelayan itu segera menyambut dengan heran. Akan tetapi belum juga mereka membuka mulut, Ang-jiu Toanio sudah melompat ke depan mereka dan membentak,

"Di mana adanya anak-anak dari keluarga Cia?"

Dua orang pelayan itu tentu saja tidak senang melihat sikap tidak tahu aturan dari tamu ini, akan tetapi mereka sudah cukup lama ikut keluarga Cia dan sudah banyak melihat orang-orang kang-ouw yang aneh. Seorang di antara mereka yang tak dapat mengendalikan kemendongkolan hatinya menjawab.

"Mereka sudah tiga hari ini turun gunung. Toanio mencari mereka mau apakah?"

Tangan kiri Ang-jiu Toanio bergerak dan pelayan itu sudah dicengkeram bajunya di bagian dada. "Banyak cerewet! Hayo katakan mereka pergi ke mana?"

Pelayan itu makin penasaran. "Toanio mengapa begini tidak tahu aturan? Kongcu dan Siocia sudah pergi, mana aku tahu ke mana?"

"Keparat, kau berani bicara begini terhadap aku?" Tangan kanan Ang-jiu Toanio menampar.

"Ibu....!" Yan Bu mencegah namun terlambat. Terdengar suara "plak!" disusul jerit mengerikan dan pelayan itu terlempar dan roboh tak bernyawa lagi. Di kepala bagian pelipisnya nampak tanda tapak lima jari tangan merah.

Dua orang pelayan itu sudah berpuluh tahun ikut Cia Sun, setidaknya mereka telah kenal akan kegagahan dan menerima pula warisan sifat gagah dari majikan mereka. Pelayan yang seorang lagi melihat kawannya dibunuh, segera maju dan menudingkan telunjuknya.

"Menggunakan kepandaian untuk menindas pelayan-pelayan lemah, sungguh tak tahu malu!"

Melihat sikap pelayan ke dua ini, Ang-jiu Toanio makin marah dan ia sudah bergerak maju. Akan tetapi Yan Bu memegang lengan ibunya.

"IBU, sabarlah, ibu ingat, kemarahan tidak baik bagi kesehatanmu."

Baru saja Yan Bu berkata demikian, Ang-jiu Toanio sudah terhuyung-huyung sambil menekan dada kirinya. Memang tadi dalam kemarahannya ia lupa akan pantangannya, maka tiba-tiba ia merasa dada kirinya sakit sekali. Cepat-cepat Yan Bu memondong ibunya dan mendudukkannya ke dalam kereta. Pemuda yang berbakti ini lalu mengurut-urut punggung ibunya sehingga keadaan Ang-jiu Toanio berangsur baik.

"Kau tanyai dia, ke mana perginya anak-anak keluarga Cia," kata nyonya itu sambil terengah-engah.

Yan Bu menghampiri pelayan ke dua yang memandang kejadian itu dengan heran. "Toapek, harap kau sudi memaafkan ibuku yang sedang marah. Kami perlu sekali mencari anak-anak keluarga Cia. Harap kau sudi memberi keterangan ke manakah gerangan perginya kongcu dan Siocia keluarga Cia."

Pelayan itu tadinya sudah nekat dan bersedia dibunuh oleh nyonya galak itu menyusul kawannya, sekarang menghadapi pemuda yang demikian berbakti dan sopan, ia menarik napas panjang. "Kawanku ini memang berkata benar. Kami mana tahu ke mana perginya kongcu dan Siocia? Mereka hanya bilang hendak turun gunung tidak kembali lagi, mereka baru tiga hari pergi bersama Siauw-ong."

Yan Bu membelalakkan matanya. "Kau maksudkan Siauw-ong itu seekor monyet kecil?"

"Betul, betul..... bagaimana kongcu bisa tahu?"

Akan tetapi Yan Bu sudah lari kepada ibunya. "Ah, ibu. Ternyata merekalah anak-anak keluarga Cia!" serunya.

"Mereka siapa?"

"Dua orang yang kemaren dulu kita jumpai di jalan, yang membawa monyet."

Mulut Ang-jiu Toanio celangap. "Apa.....? Mereka.....??"

Ia teringat betapa wajah pemuda yang menggendong monyet itu sama benar dengan Cia Sun. Akan tetapi gadis itu.... dan cara mereka berjalan.....

"Yan Bu, ayoh kejar mereka!" katanya kemudian dan di lain saat, pemuda itu sudah mendorong kereta dan cepat berlari menghilang dari puncak, diikuti pandang mata terheran-heran oleh pelayan yang kemudian dengan sedih terpaksa merawat mayat kawannya yang terbunuh secara mengerikan. Sambil mencangkul tanah membuat kuburan, mulutnya tiada hentinya bicara seorang diri, "Keji....! Sungguh kejam orang-orang kang-ouw yang pandai silat. Semoga kongcu dan Siocia diselamatkan dari pada kekejaman mereka...."

Doa dari pelayan ini memang perlu sekali bagi Han Sin dan Bi Eng, karena memang dua orang muda ini turun gunung untuk menghadapi bahaya yang selalu mengancam keselamatan mereka. Mereka ini boleh diumpamakan dua ekor burung muda yang baru saja meninggalkan sarang, baru belajar terbang dan tidak tahu dari mana kemungkinan datangnya bahaya, belum mengenal apa-apa dan belum tahu bahwa dibalik segala keindahan yang mereka lihat bersembunyi bahaya-bahaya maut yang selalu mengintai.

Beberapa hari kemudian setelah menuruni puncak Min-san, dua orang kakak beradik ini terhalang perjalanan mereka oleh sebatang sungai yang jernih airnya. Inilah sungai Cia-leng yang mengalir ke selatan untuk kemudian menggabungkan airnya dengan sungai Yang-ce-kiang yang besar.

Karena tidak pandai berenang dan di situ amat sunyi tidak tampak sebuahpun perahu, terpaksa Han Sin dan Bi Eng lalu membuat alat penyeberang dengan batang-batang bambu yang mereka jajar-jajar dan ikat dengan akar-akar pohon. Dengan hati-hati mereka lalu menggunakan getek atau rakit istimewa ini untuk menyeberangi sungai yang tenang airnya dan jernih itu. Siauw-ong amat gembira melihat banyak ikan-ikan berenang di dekat perahu. Beberapa kali ia menyambar dengan tangannya, mengira ikan-ikan itu dekat, akan tetapi sebetulnya jauh di bawah sehingga selalu ia hanya menangkap air saja. Akhirnya Siauw-ong menjadi marah dan terjun ke air!

"Siauw-ong, hati-hati.....!" kata Bi Eng cemas.

"Jangan khawatir, dia pandai berenang. Lihat!"

Kata Han Sin. Betul saja. Monyet kecil itu ternyata pandai menyelam, malah ketika ia muncul kembali, di kedua tangannya sudah mencengkeram empat ekor ikan yang menggelepar-gelepar.

Bi Eng bersorak girang. "Bagus, Siauw-ong. Kau hebat sekali!" Cepat ia menerima ikan itu dan terus menggunakan sebatang pisau kecil yang dibawahnya untuk membelek perut ikan dan membersihkannya. Setelah mereka tiba di seberang, Bi Eng lalu memanggang empat ekor ikan itu tanpa bumbu apa-apa. Akan tetapi baunya amat sedap dan menimbulkan selera. Siauw-ong sudah tidak sabar dan beberapa kali hendak menyambar ikan di pemanggangan kalau saja tidak dibentak oleh Bi Eng. Setelah ikan-ikan itu matang, mereka bertiga makan ikan panggang dengan enaknya.

Perjalanan mereka tidak mudah, akan tetapi hati mereka selalu gembira. Tentang makanan, mereka tidak kuatir. Kalau ada orang menjual makanan, mereka cukup membawa bekal sekantung emas peninggalan uwak Lui, hasil dari penjualan sebagian barang perhiasan. Seandainya kehabisan bekal, Bi Eng masih menyimpan hiasan rambut dari batu kemala dan dua buah gelang emas bertabur intan peninggalan ibunya. Kalau tidak ada dusun, mereka sudah puas makan buah-buahan atau Bi Eng menangkap binatang-binatang kecil seperti kijang atau kelinci dengan menggunakan batu-batu yang ia sambitkan. Kepandaiannya dalam menyambit dengan batu cukup tinggi berkat kekuatan lweekangnya.

Empat pekan kemudian Han Sin dan Bi Eng tiba di kaki sebuah bukit yang kelihatannya menyeramkan. Kaki bukit itu, berbeda dengan gunung-gunung lainnya, amat sunyi tidak ada dusunnya. Di puncaknya kelihatan hutan-hutan besar yang menyeramkan, akan tetapi di antara pohon-pohon kelihatan atap rumah-rumah besar, bahkan tampak pula pagar tembok seperti benteng.

"Koko. Lihat. Ada orang-orang lain yang mempunyai rumah di puncak gunung seperti kita. Mari kita lihat ke sana!"

"Rumah di puncak gunung saja apa sih anehnya, moi-moi. Perjalanan kita masih jauh. Akan tetapi untuk menuju ke timur, terpaksa kita harus melalui bukit ini. Baiknya kita mencari jalan lain supaya tidak melalui rumah-rumah di atas itu."

Bukit yang menghalang perjalanan mereka itu adalah bukit Cin-ling-san. Dan orang-orang yang tinggal di puncak Cin-ling-san bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka itu adalah tosu-tosu dari Cin-ling-pai, sebuah partai yang cukup besar, mempunyai banyak anggauta dan kuat kedudukannya. Memang, sebelum kerajaan Beng roboh, ketidak puasan rakyat dan orang-orang gagah menimbulkan banyak pemberontakan dan di sana sini tumbuh perkumpulan-perkumpulan rahasia yang dibentuk oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Yang terkenal di antaranya adalah Cin-ling-pai, Pek-lian-pai, Sin-tung Kai-pang dan masih banyak perkumpulan-perkumpulan lain.

Cin-ling-pai adalah perkumpulan rahasia yang terdiri dari tosu-tosu pemeluk aliran Im-yang-kauw. Cin-ling-pai ini diketuai oleh seorang tosu tua yang terkenal sebagai seorang ciang-bun-jin yang cakap mengatur perkumpulan sehingga semua anak buahnya amat berdisiplin dan taat, bernama Giok Thian Cin Cu, seorang kakek ahli kebatinan yang sudah berusia enam puluh tahun lebih namun masih nampak muda dan sehat.

Giok Thian Cin Cu tidak pelit dalam kepandaian silatnya. Dia menurunkan ilmu silatnya kepada para anggauta Cin-ling-pai sehingga para tosu Cin-ling-pai terkenal amat lihai. Tentu saja kedudukan para tosu itu disesuaikan dengan tingkat kepandaian mereka yang juga merupakan tingkat kedudukan mereka sebagai murid Giok Thian Cin Cu. Ada murid kepala, murid dalam dan murid luar. Murid dalam adalah mereka yang secara langsung dilatih oleh Giok Thian Cin Cu sendiri sedangkan murid luar adalah para tosu yang dilatih oleh murid-murid kepala. Betapapun juga tidak ada seorang tosu anggauta Cin-ling-pai yang tidak berkepandaian tinggi!

Karena kedudukan yang amat kuat inilah maka setelah kerajaan bangsa Boan (Mancu) berdiri, yaitu kerajaan Ceng, kerajaan baru inipun tidak berani mengganggu Cin-ling-pai. Partai-partai atau perkumpulan-perkumpulan rahasia gurem (yang kecil-kecil) sudah dibasmi oleh bala tentara Mancu, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu Cin-ling-pai, malah dengan secara pandai sekali pembesar-pembesar Ceng mendekati dan membaiki Cin-ling-pai untuk sedapat mungkin menarik mereka ini menjadi pembantu atau setidaknya pendukung pemerintah baru.

Giok Thian Cin Cu cukup maklum kerajaan baru ini amat kuat dan tidak mungkin dilawan, maka ia memberi perintah kepada anak muridnya agar jangan membuat ribut dan memancing permusuhan dengan pemerintah. Akan tetapi bagaimanapun juga, tosu tua ini berpesan dengan keras agar anak muridnya, jangan sekali-kali membantu pemerintah baru dan biarlah perkumpulan hidup menyendiri, jangan sampai diperalat oleh pemerintah penjajah.

Sikap Giok Thian Cin Cu ini sama benar dengan sikap banyak partai besar yang tidak diganggu oleh pemerintah Ceng. Oleh karena ini, pemerintah Mancu lalu mencari akal, menggunakan siasat adu domba di antara partai besar ini agar kedudukan mereka menjadi lemah. Pelbagai cara dan tipu muslihat licin dijalankan untuk membakar api permusuhan di antara mereka agar siasat adu domba ini berhasil baik.

Pada waktu Han Sin dan Bi Eng tiba di kaki gunung Cin-ling-san, keadaan di antara partai-partai besar sudah mulai genting dan panas. Malah partai Cin-ling-pai sudah menaruh curiga terhadap partai-partai lain yang disangkanya berkhianat dan membantu pemerintah Ceng. Penjagaan markas mereka diperkuat dan mereka semua sudah siap siaga menghadapi pertempuran dengan siapapun juga yang dianggap mengganggu dan merupakan ancaman bagi pendirian Cin-ling-pai.

Tentu saja gerak-gerik Han Sin dan Bi Eng di kaki gunung sudah diketahui oleh tosu-tosu Cin-ling-pai dan menarik perhatian mereka. Kehati-hatian Han Sin yang mencari jalan lain untuk melewati gunung itu malah mendatangkan curiga kepada para tosu penjaga.

Kalau saja Han Sin menurut kehendak Bi Eng dan langsung naik ke gunung itu lalu menyatakan maksudnya hendak melewati gunung, kiranya para tosu malah tidak menaruh curiga dan tidak akan mengganggu. Akan tetapi ketika melihat betapa dua orang muda bersama seekor monyet kecil itu mencari jalan yang sunyi dan menjauhi bangunan rumah-rumah Cin-ling-pai, mereka menjadi bercuriga sekali dan mengira bahwa dua orang muda itu memata-matai dan menyelidiki keadaan Cin-ling-pai.

Betapa heran dan kagetnya hati Han Sin dan Bi Eng ketika mereka sedang mendaki bukit itu melalui jalan hutan yang kecil, tiba-tiba dari depan mendatangi tosu-tosu dalam barisan yang teratur rapi. Sikap para tosu itu keren sekali dan mereka menghadang perjalanan Han Sin dan Bi Eng. Di depan sendiri berdiri tiga orang tosu yang rambutnya digelung menjadi lima dan paling belakang berdiri belasan orang tosu, berjajar seperti pasukan. Mereka ini mempunyai gelung kecil-kecil dan banyak, ada yang tujuh ada yang delapan sehingga mereka kelihatan lucu.

Bi Eng tertawa, tak tertahankan lagi geli hatinya melihat kepala tosu-tosu itu demikian aneh gelungnya. "Heran, kenapa gelung rambut mereka begitu banyak?" katanya di antara tawa.

"Bi Eng, jangan bicara sembarangan." Han Sin mencegah adiknya, akan tetapi karena Bi Eng bicara dengan keras, semua tosu mendengarnya dan mendelik kepadanya. Bi Eng dan Han Sin tentu saja tidak tahu bahwa gelung-gelung itu merupakan tanda kedudukan para tosu Cin-ling-pai. Banyaknya gelung menunjukkan tinggi rendahnya kedudukan. Tosu bergelung tujuh adalah murid-murid tingkat ke tujuh, yang bergelung lima adalah murid-murid tingkat ke lima dan begitu seterusnya. Makin sedikit gelungnya makin tinggi tingkatnya dan tiga orang tosu paling depan adalah murid-murid tingkat empat, termasuk murid-murid "luar" yang paling tinggi tingkatnya. Hanya tosu gelung tiga, dua, dan satu adalah murid-murid "dalam" atau murid langsung dari Giok Thian Cin Cu.

"Eh, orang-orang muda, siapa kalian dan mengapa lancang mengambil jalan ini tanpa minta perkenan dari kami lebih dulu?" tanya seorang di antara tiga tosu gelung empat itu, yang mukanya burik (bopeng).

Pertanyaan ini diajukan dengan sikap memandang rendah dan tanpa sopan santu. Han Sin menerimanya dengan tenang-tenang saja akan tetapi tidak demikian dengan Bi Eng. Dengan mata bersinar marah gadis ini menjawab,

"Kalian ini berpakaian seperti pendeta tapi bersikap seperti perampok, mau apakah menghadang perjalanan kami? Orang lewat di gunung ini harus minta perkenan darimu, apakah kalian ini termasuk setan-setan penjaga gunung?"

"Eng-moi....!" Han Sin menegur adiknya yang surut kembali ketika ditegur oleh kakaknya. Bi Eng bersungut-sungut dan membela diri.

"Biarlah Sin-ko. Sikap mereka kurang ajar dan keterlaluan, dikiranya aku takut kepada mereka? Cih!"

Sementara itu, Siauw-ong yang melihat sikap Bi Eng memusuhi para tosu itu, tentu saja membela nonanya. Ia dari pundak Han Sin lalu membuat panas hati para tosu itu dengan ejekan-ejekan, menyengir-nyengir mencebi-cebi dan kedua tangannya dikepal dan diacung-acungkan seperti orang menantang berkelahi!

"Eng-moi, biar orang berlaku kasar kepada kita, jangan membalas dengan kekerasan. Biar orang menyerang kita, kita jangan menggunakan kekerasan," Han Sin menegur adiknya yang tunduk terhadap peringatan kakaknya ini, biarpun hatinya mendongkol bukan main terhadap tosu-tosu itu.

Adapun para tosu itu yang biasanya amat ditakuti dan disegani orang, ketika melihat sikap Bi Eng dan monyet kecil, menjadi marah. Bala tentara kaisar asing masih menaruh hormat dan segan kepada mereka, masa bocah perempuan ini berani bersikap galak? Datang-datang mereka dimaki perampok dan setan penjaga gunung, tentu saja para tosu menjadi marah dan memandang dengan mata mendelik.

"Suheng, biar siauwte menangkap bocah-bocah gunung ini, tentu mereka ini mata-mata partai lain yang sengaja hendak menyelidik dan mencari perkara!" berkata dua orang tosu gelung lima yang melompat maju. Ketika tosu-tosu gelung empat mengangguk, dua orang tosu gelung lima yang bertubuh gemuk-gemuk ini melangkah lebar menghampiri Han Sin dan Bi Eng, lalu menudingkan telunjuk mereka yang besar. Seorang di antara mereka membentak, "Kalau orang baik-baik, lekas berlutut minta maaf atas kelancangan kalian, terangkan nama dan tujuan!"

Bi Eng hampir tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Siauw-ong yang melihat sinar mata nonanya, maklum bahwa ia berhadapan dengan musuh-musuh, maka sambil mengeluarkan suara pekik dahsyat monyet kecil ini melompat maju. Cepat bukan main gerakannya sehingga di lain saat ia telah menangkap lengan yang diacungkan itu dan menggigit telunjuk yang menuding.

"Auuu.... aduuuuhh...! Tosu gemuk yang digigit telunjuknya itu marah sekali dan tangan kirinya dikepal terus menghantam kepala monyet kecil itu. Akan tetapi Siauw-ong bukanlah sembarang monyet. Jelek-jelek iapun "murid" Ciu-ong Mo-kai maka begitu kepalan menyambar, ia telah berpindah ke pundak tosu yang kedua. Sebelum tosu ini tahu apa yang terjadi, rambutnya sudah dijambak-jambak dan gelungnya yang lima buah banyaknya itu terlepas dan awut-awutan! Lebih celaka lagi, kuku-kuku tangan Siauw-ong mencakar dan berdarahlah telinganya.

"Binatang jahat!" seru mereka berdua dan dengan pukulan-pukulan berat mereka menyerang monyet itu. Siauw-ong berlompatan ke sana ke mari sambil menyeringai dan mengejek. Ketika monyet itu meloncat turun ke atas tanah, payah juga kedua orang tosu itu mengejar dalam usaha mereka memukul dan menangkap, karena mereka harus membungkuk-bungkuk dan tubuh yang gemuk itu betul-betul membuat gerakan mereka kurang leluasa.

Siauw-ong memiliki gerakan yang amat cepat dan lincah. Monyet ini menari-nari dan mulai menggunakan pukulan-pukulan ilmu silat yang aneh karena ilmu silat yang ia tiru-tiru dari Bi Eng itu bercampur dengan gerakan asli monyet itu. Namun harus diakui kehebatannya karena berkali-kali ia telah dapat menampar, menendang, mencakar bahkan menggigit pakaian dua orang tosu itu sampai robek-robek.

Bi Eng tak dapat menahan kegembiraan hatinya. Gadis itu tertawa-tawa terkekeh sambil bertepuk-tepuk tangan. "Bagus, Siauw-ong, bagus! Cakar mukanya, pukul perutnya yang gendut-gendut itu. Hi hi hi!"

"Siauw-ong, mundur!" Bentakan Han Sin ini ternyata berpengaruh sekali karena sambil cecowetan takut Siauw-ong lalu meloncat ke atas pundak Han Sin.

Bi Eng kecewa. "Koko, mengapa tidak biarkan Siauw-ong menghajar mereka? Agaknya orang-orang macam inilah yang dikatakan orang-orang jahat oleh suhu."

"Diamlah, adikku, biar aku yang menghadapi mereka," kata Han Sin yang melangkah maju dan menjura kepada dua orang tosu yang masih mencak-mencak saking marahnya. Tubuh mereka sakit-sakit, kulit lecet-lecet karena cakaran Siauw-ong dan pakaian mereka robek-robek sedangkan rambut awut-awutan. Han Sin menjura dan berkata,

"Harap cuwi taisu memaafkan monyetku ini dan maklum bahwa monyet tentu saja tidak sesopan manusia."

Kata-kata ini keluar dari hati jujur tanpa terkandung sesuatu, namun para tosu itu mengira Han Sin mengejek mereka dan memaki mereka menyatakan bahwa mereka sebagai manusia-manusia juga tidak sopan seperti monyet.

"Eh, bocah-bocah kurang ajar. Kalian berani main gila terhadap tosu-tosu Cin-ling-pai? Ayoh lekas berlutut minta ampun, baru kami masih pikir-pikir untuk meringankan hukumanmu," kata tosu yang mukanya bopeng.

Biarpun Han Sin seorang pemuda aneh yang amat sabar dan rendah hati namun ia keturunan orang gagah dan dalam pelajaran-pelajaran di kitabnya terdapat pantangan untuk orang berlaku merendah dan menjilat. Bagaimana ia bisa berlutut minta ampun tanpa kesalahan? Hal serendah dan sehina ini tentu saja tak mungkin ia mau melakukan. Hanya orang bersalah yang wajib minta ampun terhadap siapapun juga. Selagi ia ragu-ragu, Bi Eng mendamprat tosu itu.

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Pendeta bopeng! Terhadap manusia macam kau, mana bisa kakakku berlutut minta ampun? Kami tidak bersalah apa-apa, kalian yang sengaja menghadang perjalanan kami. Ayoh, minggir dan biarkan kami meneruskan perjalanan kalau kalian memang tidak mempunyai niat busuk."

"Bocah bermulut lancang! Kalau tidak mau minta ampun, terpaksa pinto menggunakan kekerasan menangkap kalian!" Si tosu bopeng lalu mengulur tangan hendak mencengkeram pundak Bi Eng. Akan tetapi sambil mengeluarkan suara tertawa mengejek, Bi Eng mengelak dan begitu kaki kirinya yang kecil bergerak, ujung sepatunya yang keras telah mencium tulang kering tosu itu, mengeluarkan bunyi "tak!" yang keras.

Tosu Bopeng itu megap-megap menahan sakit sambil berjingkrak dengan sebelah kaki. Tulang keringnya retak terkena tendangan tadi, sakitnya bukan alang kepalang, sampai menusuk ke jantung.

Kawannya, tosu bergelung lima yang kedua, marah sekali. "Berani kau merobohkan tosu Cin-ling-pai?" katanya sambil menubruk maju dengan sikap beringas.

Han Sin kuatir sekali melihat ini, takut kalau adiknya mengalami celaka. Mana adiknya bisa menang menghadapi tosu yang begini galak dan beringas? "Harap taisu jangan celakai adikku....!" katanya memohon sambil mengangkat tangan untuk menahan serangan tosu itu.

Tosu kedua yang botak kepalanya dan empat gelungnya amat kecil-kecil karena rambutnya hanya sedikit ini, maka ia robah cengkeramannya ke arah Bi Eng dan memukul lengan pemuda itu untuk merobohkannya.

"Plakk....!" Aneh sekali. Tosu yang bergelung empat ini, begitu tangannya bertemu dengan lengan Han Sin yang diangkat untuk mencegahnya menyerang Bi Eng, tiba-tiba menjerit, tubuhnya terpental dan ia roboh dengan tulang lengannya patah! Ia menyeringai kesakitan dan memandang kepada Han Sin dengan heran dan terkejut sekali. Bi Eng tidak tahu bahwa tosu itu roboh oleh tangkisan kakaknya. Ia terkejut sekali melihat Han Sin maju, takut kalau kakaknya terluka. Maka ia lalu menerjang maju dan berkata keras,

"Tosu-tosu bau! Jangan ganggu kakakku yang tidak bisa ilmu silat. Kalau mau berkelahi, lawanlah aku!" Siauw-ong yang melihat sikap nonanya ini lalu melompat turun dan berdiri di dekat Bi Eng sambil angkat dada, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk dadanya dengan sikap menantang sekali.

Semua tosu mengira bahwa robohnya tosu gelung empat tadi karena serangan gelap dari Bi Eng, malah si tosu sendiri mulai ragu-ragu apakah betul ia roboh dan patah lengannya oleh pemuda lemah itu. Apa lagi ketika semua tosu melihat betapa dalam usahanya mencegah Bi Eng, Han Sin maju tergesa-gesa sampai kakinya tersandung batu yang membuat ia jatuh terjungkal!

Bi Eng menjerit, menghampiri kakaknya. "Koko, kau jatuh? Sakitkah?"

Dengan muka merah Han Sin merayap bangun sambil menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa, moi-moi. Janganlah kau mencari perkara dengan para taisu ini....."

Sementara itu, para tosu Cin-ling-pai sudah memuncak marahnya. Dua orang tosu gelung lima sudah dihina seekor monyet, dua orang tosu gelung empat sudah dikalahkan oleh seorang gadis cilik, kemana mereka harus menaruh muka kalau tidak bisa membalas kekalahan ini?

Tosu tingkat rendahan tidak berani lancang maju, hanya memperlihatkan sikap waspada dan mengurung, sedangkan tosu gelung lima yang masih ada tiga orang bersama seorang tosu gelung empat, maju bersama, sikapnya mengancam. Di pihak Bi Eng, nona inipun berdiri dengan sikap gagah, memasang kuda-kuda dan di sebelahnya, Siauw-ong juga memasang kuda-kuda sambil meringis-ringis memperlihatkan giginya yang runcing! Han Sin menarik napas panjang pendek, tidak berdaya mencegah pertempuran yang akan terjadi ini. Ia amat kuatir, apa lagi ketika melihat empat orang tosu itu tiba-tiba mencabut pedang dari punggung mereka.

"Cih, tak tahu malu!" Bi Eng memaki dengan suara menyindir. "Empat orang tosu tua bangka hendak mengeroyok, malah menggunakan senjata tajam. Gagah amat!" Memang sengaja ia menyindir karena diam-diam ia bingung juga melihat empat orang lawan hendak mengeroyoknya dengan pedang di tangan, biarpun di dalam hatinya sama sekali ia tidak takut.

Mendengar ini, empat orang tosu itu saling pandang dengan muka merah. Mereka jadi tidak berani maju, karena memang amat memalukan kalau empat orang tosu Cin-ling-pai yang sudah terkenal gagah perkasa harus maju mengeroyok seorang gadis cilik yang bertangan kosong.

"Suheng, biar siauwte menghajarnya!" kata tosu gelung lima sambil melangkah maju. Akan tetapi baru saja ia maju, Siauw-ong sudah menyerangnya dengan cakaran dan gigitan, bukan sembarangan melainkan dengan gerakan teratur, gerakan yang dipengaruhi gerakan-gerakan ilmu silat!

"Binatang ini harus dimampuskan dulu!" seru tosu gelung lima itu dan pedangnya kini berkelebatan menyambar, menghujankan serangan kepada tubuh monyet yang kecil itu.

Akan tetapi Siauw-ong gesit luar biasa. Setelah tosu Cin-ling-pai ini memegang pedang, memang ia hebat sekali. Kepandaian khas dari para tosu Cin-ling-pai memang dalam penggunaan pedang yang menjadi senjata khusus ketua mereka Giok Thian Cin Cu. Maka menghadapi sambaran pedang yang berputar-putar dan berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar itu, Siauw-ong menjadi kecil hatinya, tidak dapat menyerang kembali.

Akan tetapi, bagi tosu itupun merupakan hal yang luar biasa sukarnya untuk mengenai tubuh si monyet. Bukan main lincahnya, meloncat ke sana ke mari dan selalu bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan hanya mengenai angin belaka! Ini masih belum seberapa kalau si monyet tidak mengeluarkan suara seperti orang mentertawakan dan mengejek. Tosu gelung lima itu menjadi makin marah, seperti bernyala api sinar matanya, berbusa mulutnya dalam nafsu besarnya untuk mencacah-cacah tubuh monyet nakal ini.

Si tosu sudah senen-kemis napasnya karena selalu ia membacok dan menusuk angin. Juga Siauw-ong nampak lelah biarpun gerakan-gerakannya tidak menjadi lambat. Hal ini amat mencemaskan hati Bi Eng. Biarpun ia harus mengakui bahwa ilmu pedang tosu itu lihai, namun setelah melihat tosu itu menyerang Siauw-ong, dalam hati kecilnya ia sanggup menghadapi tosu ini dengan kosong saja. Ia dapat mengelak selincah Siauw-ong untuk menghindarkan diri dari hujan senjata dan di samping ini, tidak seperti Siauw-ong, ia melihat kesempatan-kesempatan dan lowongan-lowongan untuk menyerang kembali.

"Siauw-ong, mundurlah!" serunya kepada monyet itu yang cepat melompat ke belakang, langsung naik ke pundak Han Sin sambil meleletkan lidah dan memanjangkan hidungnya kepada tosu tadi. Beberapa orang tosu di belakang menahan ketawa mereka. Betapapun gemas dan mendongkol hati mereka, didalam hati mereka geli juga melihat kenakalan monyet yang ternyata amat lihai itu. Masa suheng mereka yang bertingkat lima tidak mampu mmbacok leher monyet dalam puluhan jurus tadi? Benar-benar aneh sekali. Padahal, suheng mereka itu menghadapi seekor harimau ganas sekalipun, pedangnya tentu akan dapat membunuh harimau itu tidak lebih dari dua puluh jurus.

Tosu itu biarpun napasnya sudah senen-kemis, akan tetapi saking marahnya dipermainkan oleh monyet itu, begitu melihat Bi Eng, maju, ia lalu menyerang dengan tusukan yang ganas.

"Moi-moi, awas!" Han Sin berteriak ngeri.

Namun gerakan Bi Eng tidak kalah gesitnya oleh Siauw-ong. Ia dengan mudah mengelak. Tosu itu kini tidak mau gagal lagi, ia menggerakkan pedang cepat sekali dan mengirim serangan bertubi-tubi. Kini para tosu melihat hal yang aneh dan lucu. Gadis cantik jelita itu mulai berloncat-loncatan, persis seperti gerakan-gerakan monyet cilik tadi, begitu cepat, begitu lucu dan selalu dapat menghindarkan ancaman pedang!

Tidak seperti Siauw-ong tadi yang hanya bisa mengelak tanpa dapat membalas menyerang. Bi Eng sekarang mempergunakan setiap lowongan untuk balas menyerang lawannya sehingga tosu itu makin sibuk dan serangan-serangannya mengendur.

"Sute, lepaskan pedangmu. Mari kubantu kau menangkap gadis liar ini!" seru tosu gelung empat yang menjadi penasaran sekali melihat bahwa sutenya ini tak lama lagi tentu akan dirobohkan gadis cilik itu. Ia teringat bahwa andaikata sutenya dapat merobohkan gadis cilik itu yang bertangan kosong, hal ini tidak akan mengharumkan nama Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Maka lebih baik menangkap gadis ini dan kakaknya untuk diseret kepada suhu-suhu mereka dan menanti keputusan. Asal dapat menangkap mereka berdua dan monyet itu, sudah tertebuslah kekalahan-kekalahan tadi dan nama baik Cin-ling-pai takkan tercemar.

Tosu gelung lima itu girang sekali mendengar suhengnya hendak membantu. Ia lalu menyimpan pedangnya dan melompat ke belakang sambil terengah-engah.

"Biar kuganti kau, sute!" kata seorang kawannya, tosu gelung lima lain lagi yang maju mengawani si tosu gelang empat. Dua orang tosu ini tanpa banyak cakap lalu menyerbu dan berusaha menangkap atau menotok jalan darah Bi Eng.

Bi Eng mengelak cepat dan serangan-serangan ini dan ia menjadi terdesak. Tingkat kepandaian tosu-tosu itu sebetulnya sudah amat tinggi dan Bi Eng baru belajar silat dua tahun saja, mana dia bisa melawan mereka? Hanya karena semenjak kecil ia belajar menari-nari dengan monyet yang gesit maka ia memiliki kegesitan luar biasa, ditambah lagi biarpun hanya belajar dua tahun namun ia belajar langsung dari tangan seorang sakti seperti Ciu-ong Mo-kai, maka tadi ia dapat menghadapi pedang tosu tingkat lima dan empat, gadis ini benar-benar hanya dapat mengelak dan berloncatan ke sana ke mari menggunakan kegesitannya dalam tari monyet, sama sekali tidak mampu membalas serangan lawan.

Tiba-tiba terdengar suara Han Sin yang membuat gadis itu girang sekali.

"Eng-moi, Pek-in-koan-goat (Awan Putih Tutup Bulan) ke kiri!"

Setelah mendengar seruan ini, barulah terbuka mata Bi Eng dan secara membuta ia lalu melakukan gerakan yang disebutkan oleh kakaknya itu. Dua orang tosu itu terkejut sekali karena tiba-tiba gerakan Bi Eng berubah dan tahu-tahu telah menyerang mereka dengan dahsyat. Mereka terpaksa mengelak sambil melompat mundur, baru berani menyerang lagi dari kanan kiri.

"Hui-in-ci-tiam (Awan Terbang Keluarkan Kilat)!" Lagi-lagi Han Sin berseru sambil memandang pertempuran itu dengan penuh perhatian.

"In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari)!"

Seruan-seruan ini adalah gerak tipu yang paling tepat untuk dimainkan dalam keadaan seperti Bi Eng. Han Sin memang tidak pernah melatih diri dengan ilmu silat, akan tetapi ilmu silat Liap-hong Sin-hoat telah ia pelajari teorinya sampai hafal benar, sampai sempurna sehingga ia dapat melihat bagaimana gerak tipu itu harus dimainkan sungguhpun kalau dia sendiri disuruh main, tentu gerakan-gerakan kaki tangannya kaku dan tidak biasa.

Bi Eng percaya penuh kepada kakaknya yang memang ia anggap manusia paling pintar di dunia ini, maka secara membuta ia dengan girang mentaati seruan-seruan itu dan berturut-turut ia mainkan Hui-in-ci-tiam disusul Im-mo-sam-bu yang mempunyai tiga jurus gerakan. Makin girang hatinya ketika dalam jurus kedua dari gerak tipu ini, jari-jari tangannya telah mengenai sasaran dengan tepat, yaitu di iga kiri tosu gelung lima.

Akan tetapi selama hidupnya Bi Eng belum pernah menotok orang. Ketika ia berlatih dengan suhunya, yang menjadi korban percobaan ilmu totokannya adalah Siauw-ong dan karena ia kasihan kepada monyetnya, ia selalu hanya menotok urat ketawa monyet itu untuk tidak menyiksanya. Kini setelah jari-jari tangannya menyentuh kulit tosu itu, ia menjadi jijik dan geli maka otomatis jari tangannya lalu mencari urat ketawa dan di lain saat tosu gelung lima itu berjingkrakan ke belakang sambil memegangi perutnya dan tertawa terpingkal-pingkal.

"Hah hah hah hah heh heh heh heh....!"

Melihat sutenya dipukul lawan, tosu gelung empat kaget dan cepat mendekati sutenya, akan tetapi sutenya itu ternyata tidak luka malah tertawa-tawa seperti orang kemasukan setan. Ia menepuk pundak sutenya dan membentak, "Sute, tidak melanjutkan serangan kok malah ketawa-tawa. Bagaimana sih kau ini?"

"He he he.... pinto (aku)....... hah hah hah hah!" Tosu gelung lima itu terkekeh-kekeh dan bergelak-gelak, tak dapat lagi menahan ketawanya sampai perutnya terasa kaku dan sakit.

Melihat keadaan ini, barulah tosu tingkat empat itu kaget dan maklum bahwa ketawa sutenya ini bukanlah sewajarnya. Ia mencoba untuk memulihkan jalan darah sutenya, akan tetapi tidak berhasil. Ilmu totok yang dipergunakan oleh Bi Eng berbeda dengan ilmu totok Cin-ling-pai, maka tosu yang baru bertingkat empat itu tidak sanggup mengobati sutenya.

Sementara itu, Bi Eng dan Siauw-ong berloncat-loncatan saking girangnya melihat hasil pertempuran itu. Bi Eng girang dan bangga dan Siauw-ong mentertawai tosu yang masih terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh sampai keluar air matanya itu. Han Sin hanya menggeleng-geleng kepalanya dengan kening dikerutkan.

"Eng-moi, kau tidak boleh bertempur lagi," katanya keren.

"Koko, ini merupakan latihan yang baik sekali, bukan?" kata Bi Eng girang.

Han Sin menggeleng kepalanya. "Ayoh kau bebaskan dia yang kau totok tadi!" perintahnya. "Totok ia punya in-tai-hiat dan tepuk urat di tengkuknya."

Bi Eng tersenyum mengangguk. "Aku juga belum lupa cara pembebasannya, koko, akan tetapi baik sekali kau ingatkan agar jangan keliru." Dengan langkah lebar ia lalu menghampiri tosu gelung lima yang masih terpingkal-pingkal itu. Cepat ia menotok jalan darah in-tai-hiat lalu berkata kepada Siauw-ong. "Siauw-ong, kau tepuk tengkuknya tiga kali!"

Ia sendiri tidak sudi harus menepuk-nepuk tengkuk tosu itu. Siauw-ong yang mengikuti nonanya menurut, meloncat dan menepuk tosu itu tiga kali dengan telapak tangannya. Tosu itu gelayaran (terhuyung-huyung) hampir jatuh akan tetapi ketawanya berhenti. Tubuhnya terasa lemas dan ia jatuh duduk dengan napas terengah-engah.

Pada saat itu, dari atas puncak datang serombongan tosu lain dan semua tosu yang berada di situ bernapas lega. Kiranya yang datang ini adalah serombongan tosu yang terdiri dari tosu-tosu tingkat empat, tiga dan dipimpin oleh tiga orang tosu tingkat dua! Kali ini tiga ekor monyet cilik ini pasti akan tertawan, pikir mereka.

Tiga orang tosu tingkat dua itu adalah murid-murid langsung dari Giok Thian Cin Cu. Di Cin-ling-pai hanya terdapat dua orang tingkat satu, dan tiga orang tosu tingkat dua yang sekarang memimpin pasukan ini. Tosu tingkat tiga hanya ada lima orang, jadi tosu-tosu tingkat satu dua tiga yang langsung dipimpin oleh Giok Thian Cin Cu sendiri hanya ada sepuluh orang tosu. Ilmu kepandaian mereka ini tentu saja amat tinggi.

Apalagi Giok Thian Cin Cu sendiri yang selalu bertapa di puncak jarang keluar, bahkan dua orang muridnya, tosu tingkat pertama, juga jarang keluar, merupakan tosu-tosu tua terhormat yang untuk segala macam urusan dalam mewakili suhu mereka. Semua urusan luar diserahkan kepada tiga orang tosu tingkat dua ini yang memang tinggi kepandaiannya, dibantu oleh lima orang tosu tingkat tiga.

"Ada apakah ribut-ribut di sini?" terdengar suara keren dari tosu gelung dua yang mukanya merah. Sambil bertanya demikian, sepasang mata yang tajam itu menyapu ke arah Bi Eng, Han Sin dan Siauw-ong.

"Sam-wi suhu harap suka turun tangan membersihkan muka kita yang dihina orang!" kata tosu tingkat empat tadi. Kemudian ia menceritakan betapa dua orang muda dan monyetnya itu melanggar wilayah mereka kemudian mengeluarkan kata-kata kasar, malah sudah merobohkan beberapa orang tosu.

Tiga orang tosu tingkat dua itu mendengarkan penuturan ini dengan sabar. Akan tetapi mereka mengerutkan kening dan pandang mata mereka terheran ketika mendengar bahwa gadis cilik itu telah merobohkan beberapa orang tosu, di antaranya malah mengalahkan tosu tingkat empat! Hampir mereka tak dapat percaya. Gadis itu paling banyak berusia tujuh belas tahun, dengan kepandaian macam apakah bisa mengalahkan tosu Cin-ling-pai tingkat empat?

Tiga orang tosu tingkat dua itu memiliki kedudukan yang tinggi di Cin-ling-pai, merupakan komandan-komandan semua pasukan Cin-ling-pai, tentu saja mereka tidak memandang mata dan tidak mau ribut mulut dengan orang-orang muda seperti Han Sin dan Bi Eng, apalagi dengan seekor monyet kecil! Tosu muka merah memberi isyarat kepada tiga orang tosu tingkat tiga. "Tawan mereka dan bawa ke puncak, biar nanti kami selidiki murid siapa mereka ini berani mengacau di Cin-ling-pai!"

Tiga orang tosu tingkat tiga itu menjadi merah mukanya. Mereka adalah murid-murid Giok Thian Cin Cu sendiri, biarpun hanya bertingkat tiga, namun mereka ini adalah tosu-tosu muda yang langsung dilatih oleh Giok Thian Cin Cu. Masa sekarang mereka bertiga disuruh menangkap dua orang muda dan seekor monyet? Menghadapi yang tiga ini, seorang di antara merekapun sudah cukup, masa harus maju bertiga? Benar-benar pekerjaan yang merendahkan kedudukan mereka. Akan tetapi karena yang memerintah adalah ji-suheng mereka, tentu saja tiga orang tosu ini tidak berani membangkang dan dengan muka merah mereka maju serempak.

Melihat majunya tiga orang tosu muda yang kelihatan kuat dan galak, Bi Eng tetap tersenyum mengejek dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Akan tetapi Han Sin khawatir sekali, takut kalau-kalau adiknya bertempur lagi, bukan takut adiknya kalah. Ini belum tentu, akan tetapi takut kalau-kalau adiknya akan mencelakai orang. Ia cepat melangkah lebar menghadang datangnya tiga orang tosu itu sambil berkata.

"Sam-wi totiang jangan terlalu mendesak kami. Biarlah kami melanjutkan perjalanan kami!"

Tiga orang tosu ini memang merasa segan kalau harus melawan gadis cilik dan monyet. Setidaknya kalau melawan pemuda ini, tidak terlalu memalukan. Mereka melihat Han Sin maju, lalu berebut untuk mendahului kawan menangkap pemuda ini. Tosu terdepan lalu mengerahkan lweekangnya mendorong Han Sin dari jarak dua meter, maksudnya merobohkan Han Sin tanpa menyentuh tubuhnya memamerkan lweekangnya, setelah pemuda itu roboh baru ditawan. Ia menggunakan pukulan jarak jauh dengan gerak tipu To-tiu-thai-san (Merobohkan gunung Thai-san). Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tenaga lweekangnya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri, membuat ia roboh terguling-guling!

Melihat seorang tosu melakukan gerakan mendorong lalu roboh sendiri terjengkang dan terguling-guling. Bi Eng tertawa dan mengejek. "Apa-apaan ini, tosu badut main komidi!"

Cari Blog Ini