Kasih Diantara Remaja 5
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Tosu kedua kaget sekali dan iapun cepat melakukan pukulan jarak jauh yang lebih hebat. Ia menggunakan gerakan Pek-lui-pai-san (Geledek menolak gunung) juga sebuah gerak tipu dari ilmu silat Im-yang-kun warisan gurunya. Ia tidak mendorong melainkan memukul ke arah dada Han Sin. Seperti tadi, pemuda ini melakukan gerakan mengangkat lengan untuk menangkis karena takut dipukul dan akibatnya hebat. Tosu itu terlempar jauh dan untuk beberapa menit tak dapat bernapas karena hawa pukulannya sendiri yang membalik membuat napasnya sesak.
Tosu ke tiga menjadi bengong dan ragu-ragu, tidak berani dekat dan semua tosu memandang dengan mata terbelalak. Apa lagi tiga orang tosu kelas dua yang memimpin pasukan itu. Mereka hampir tak dapat percaya akan kejadian itu.
PADA saat itu terdengar suara aneh menyeramkan, suara melengking tinggi seperti burung rajawali, makin lama makin keras sampai membikin sakit telinga. Bi Eng yang sudah belajar ilmu silat tinggi, cepat menahan napas dan mengerahkan lweekang. Akan tetapi tetap saja ia merasa kepalanya pening dan harus cepat-cepat menutupi kedua telinga dengan telunjuknya. Siauw-ong termangu-mangu saja, agaknya alat pendengarannya berbeda dengan manusia sehingga ia tidak terpengaruh suara yang penuh mengandung tenaga lweekang dan khikang ini. Di antara para tosu, mereka yang masih rendah kepandaiannya, yaitu gelung enam dan tujuh, banyak yang jatuh bergelimpangan! Han Sin terheran-heran melihat ini karena dia sendiri tidak merasakan sesuatu, hanya mendengar suara yang aneh dan melengking tinggi rendah tidak karuan.
Tiga orang tosu kelas dua dari Cin-ling-san berubah air mukanya dan mereka segera menjura ke arah datangnya suara dan si muka merah berseru, "Kami para tosu Cin-ling-pai telah menanti kedatangan Cinjin!"
Suara lengking itu lenyap, disusul suara ketawa terbahak-bahak, "Ha ha ha ha ha! Para tosu Cin-ling-pai tahu diri. Aku datang!"
Angin bertiup dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka penuh berewok hitam, matanya besar-besar dan menakutkan. Pakaiannya seperti seorang pembesar saja biarpun tidak ada tanda pangkatnya, sepasang lengannya yang besar dan penuh urat-urat itu bertolak pinggang, kakinya dipentang dan sikapnya jumawa sekali. Ia menoleh ke kanan kiri memandang dengan mulut tersenyum mengejek dan memandang rendah, kemudian ketika melihat Bi Eng, senyumnya melebar dan matanya berseri. Ia menatap terus wajah Bi Eng sambil tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya lalu mengangguk-angguk.
"Cantik....... cantik manis...... sungguh menggiurkan......!" katanya.
Bi Eng mendongkol bukan main. Gadis ini membuang muka dan cemberut. Akan tetapi Han Sin berkedip kepadanya, memberi tanda supaya adiknya itu jangan mencari perkara. Biarpun bukan ahli silat, pemuda ini sekali pandang saja maklum bahwa yang baru datang ini adalah seorang jagoan kelas berat yang lihai sekali. Buktinya para tosu Cin-ling-pai kelihatan takut-takut.
Tosu muka merah lalu melangkah maju setindak sambil menjura. "Kami telah mendapat kehormatan besar dari kunjungan Cinjin. Tidak tahu ada perintah apakah dari Cinjin yang perlu kami sampaikan kepada twa-suheng?" Ucapan ini terdengar amat menghormat, akan tetapi mengandung sindiran bahwa tamu terhormat itu cukup bicara dengan mereka saja dan semua pesan akan disampaikan kepada twa-suheng, yaitu murid-murid tingkat pertama. Jadi sama saja dengan mengatakan bahwa kedudukan twa-suheng Cin-ling-pai masih lebih tinggi dari pada tamu ini.
Kakek tinggi besar itu mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. Dia ini bukan lain adalah Ban Kim Cinjin, seorang kakek berilmu tinggi yang menjadi kaki tangan kerajaan Ceng. Dia masih terhitung sute (adik seperguruan) Hoa Hoa Cinjin, maka kepandaiannya luar biasa sekali. Di dunia kang-ouw tidak ada orang yang belum mengenal namanya, nama yang ditakuti karena kakek ini terkenal jahat dan cabul. Tentu saja ia dapat menangkap sindiran dalam kata-kata si tosu muka merah, maka ia berkata, suaranya keras nyaring.
"Tosu-tosu Cin-ling-pai terkenal sombong, tidak kukira sesombong ini! Kalau suhu kalian si Giok Thian Cin Cu terlalu angkuh menemuiku, masih tidak apa karena dia seorang ciang-bun-jin. Akan tetapi hanya tosu-tosu bau tingkat dua yang menemui aku, sungguh-sungguh tidak pandang mata. Aku mewakili kerajaan untuk berunding dengan Cin-ling-pai, karena mengingat persahabatan kami hendak minta bantuan Cin-ling-pai mencari surat wasiat peninggalan pemberontak Lie Cu Seng. Masa hanya disambut oleh tosu-tosu pemakan nasi yang tiada gunanya?"
Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan para tosu Cin-ling-pai mendengar maki-makian ini. Siapapun adanya kakek ini, betapa lihaipun Ban Kim Cinjin, tidak semestinya menghina Cin-ling-pai sampai demikian hebatnya. Tiga orang tosu tingkat dua dari Cin-ling-pai adalah tiga orang gagah yang dijuluki Cin-ling Sam-eng (Tiga Orang Gagah dari Cin-ling-san). Mereka juga murid-murid terpilih dan tersayang dari Giok Thian Cin Cu, sudah mewarisi ilmu-ilmu silat Im-yang-kun dan Cin-ling-kun.
Yang tertua dan bermuka merah bernama Hap Tojin, seorang ahli ilmu pedang Cin-ling Kiam-hoat yang jarang bandingannya, yang kedua, tosu bermuka hijau adalah Hee Tojin yang terkenal sebagai seorang ahli lweekang yang amat kuat di samping ilmu silatnya yang juga lihai sekali, dan orang ketiga yang bermuka hitam adalah Tee Tojin yang keistimewaannya adalah ilmu ginkang yang luar biasa. Digabung menjadi satu, tiga orang ini sudah merupakan wakil Cin-ling-pai yang tidak mengecewakan dan karenanya dipercaya oleh Giok Thian Cin Cu untuk membereskan segala macam urusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan mereka.
Sambil menahan kemarahan, Hap Tojin si muka merah lalu melangkah maju dan menjura lagi. "Harap Cinjin jangan mengeluarkan ucapan seperti itu. Kami sesaudara yang berada di sini sudah mendapat perintah dari suhu untuk membereskan semua urusan. Jangankan hanya seorang diri seperti Cinjin, biarpun andaikata Kaisar Ceng mengirim utusan sebarisan, kiranya cukup dirundingkan dengan kami semua yang berada di sini. Kalau Cinjin ada urusan untuk disampaikan, harap katakan saja dan kami dapat memutuskan."
Merah muka Ban Kim Cinjin, matanya bersinar-sinar marah. "Sombong! Kalau aku tetap hendak naik ke puncak berunding sendiri dengan Giok Thian Cin Cu, kalian mau apa?"
"Tidak bisa, Cinjin. Kalau kami diamkan saja, kami akan mendapat teguran keras dari suheng. Kecuali kalau Cinjin bisa melewati pasukan Cin-ling-pai, baru kiranya dapat sampai di puncak," kata Hap Tojin. Begitu mendengar ucapan ini, para tosu bergerak merupakan bentuk-bentuk tin (barisan) yang teratur rapi. Semua tosu menghunus pedang dan terbentuklah barisan sebanyak tujuh lapis. Inilah barisan Cin-ling-tin yang amat kokoh kuat, terdiri dari tosu-tosu gelung tujuh di depan, lalu di belakangnya tosu-tosu gelung enam dan makin ke belakang makin kuat kedudukannya karena anggauta-anggauta barisannya lebih lihai dari pada yang di depan.
Ban Kim Cinjin mengangkat kepala dan tertawa bergelak. "Ha ha ha! Cin-ling-pai berkali-kali unjuk gigi. Baiklah, kali ini hendak kucoba betapa kuat barisannya!"
Tubuh kakek ini berkelebat ke depan dan kembali terdengar bunyi melengking rajawali yang dahsyat, dibarengi serbuannya ke depan, menyergap barisan terdepan. Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tosu gelung tujuh yang memegang pedang. Begitu kakek itu mengeluarkan bunyi lengking, barisan ini sudah kacau karena mereka menjadi lumpuh semangat dan tergetar jantungnya. Akan tetapi dengan gagah para tosu Cin-ling-pai maju juga dan menyerbu Ban Kim Cinjin. Kakek ini tidak memegang senjata, akan tetapi begitu ia menggerakkan kedua tangannya, ternyata kedua tangan ini lebih ampuh dari pada senjata tajam.
Beberapa gebrakan saja kakek ini menerjang seperti seekor burung rajawali menyambar korban, robohlah berturut-turut lima orang anggauta pasukan tosu itu dengan kepala remuk atau dada pecah! Darah berhamburan dan jerit terdengar mengerikan. Tosu-tosu lain dalam barisan itu tidak kenal takut dan pantang mundur, mereka terus menyerbu menggantikan kawan-kawan yang tewas. Akan tetapi mereka ini seperti nyamuk-nyamuk melawan nyala api, begitu maju mereka bertemu dengan pukulan-pukulan tangan sakti yang membuat mereka rebah tak bernyawa lagi. Sebentar saja, dari tiga belas orang tosu gelung tujuh ini, hanya tinggal tiga orang lagi yang belum tewas.
Bi Eng memandang kagum dan heran melihat kehebatan ilmu silat kakek itu. Siauw-ong bersembunyi di belakang nonanya, ngeri melihat begitu banyak darah muncrat keluar. Sedangkan Han Sin berdiri dengan muka pucat. Tak tahan ia melihat pembunuhan besar-besaran seperti ini. Tanpa dapat dicegah oleh Bi Eng lagi, pemuda ini lalu lari ke depan menuju ke medan pertempuran.
"Koko..... jangan....!" Bi Eng juga mengejar ke depan untuk menahan atau melindungi kakaknya. Ia cukup mengerti bahwa kakaknya itu biarpun amat pintar, namun adalah seorang pemuda lemah yang tidak pernah melatih diri dalam ilmu silat. Mendatangi tempat yang demikian berbahaya, benar-benar seperti mengantar nyawa.
Han Sin tidak perdulikan cegahan adiknya. Hatinya tidak kuat menahan melihat pembunuhan besar-besaran itu, apa lagi kalau ia lihat betapa kakek ganas itu maju terus hendak melabrak barisan-barisan berikutnya dan para tosu Cin-ling-pai agaknya juga tidak mau mengalah. Ia angkat kedua tangannya sambil berteriak-teriak keras.
"Cuwi totiang, hentikan pertempuran! Lo-enghiong yang gagah, harap hentikan pembunuhan-pembunuhan ini!" Ia terus berlari menghampiri Ban Kim Cinjin, dan terus mengangkat kedua tangan untuk memegang tangan kakek itu dalam usahanya mencegah kakek itu melancarkan pembunuhan dengan kedua tangan mautnya.
Melihat pemuda ini datang sambil mengangkat tangan, berlari-lari kaku, Ban Kim Cinjin menjadi marah dan mengira pemuda itu hendak membela para tosu Cin-ling-pai. "Bocah lancang, pergilah!" serunya sambil menggaplok pundak Han Sin dengan perlahan untuk merobohkan pemuda itu.
"Plak!" Tubuh Han Sin terlempar, akan tetapi kakek itu sendiri terjengkang ke belakang. Mukanya pucat dan napasnya terengah-engah. Ia merasakan tenaganya tadi seperti bertemu dengan baja yang keras.
"Jangan pukul kakakku! Bangsat, berani kau pukul kakakku!" Bi Eng dengan marah menyambar sebatang pedang dari tosu Cin-ling-pai yang terjatuh ke atas tanah, kemudian ia menyerang Ban Kim Cinjin dengan sebuah tusukan.
"Moi-moi, jangan.....!" Han Sin mencegah adiknya sambil merayap bangun. Ia tidak terluka dan tidak merasa sakit sama sekali.
Namun terlambat. Pedang di tangan Bi Eng sudah menusuk dan kakek itu menggerakkan tangan menangkis. Bi Eng menjerit, pedangnya terpukul patah oleh tangan kakek sakti itu dan gadis itu terhuyung lalu roboh.
Ban Kim Cinjin merasa lega mendapatkan bahwa tangannya masih tidak kehilangan keampuhannya. Ia tadinya sangsi apakah tenaganya tiba-tiba lenyap maka ketika mendorong pemuda lemah itu dia sampai terjengkang. Kini ia marah dan menggunakan separuh tenaganya untuk memukul Han Sin yang sudah datang lagi. Han Sin sedang sibuk hendak menolong Bi Eng, maka ia tidak bisa menjaga datangnya pukulan yang tepat mengenai dadanya.
"Blekk....!" Kembali Han Sin terpelanting dan terguling-guling sampai tiga tombak lebih, akan tetapi ia dapat bangun lagi karena tidak merasa sakit.
Hebatnya, kakek itu mengeluarkan seruan kesakitan dan terguling roboh, dari mulutnya muntahkan darah segar! Saking herannya, sampai ia lupa akan sakitnya dan dengan beringas ia meloncat bangun, kemudian menubruk Han Sin, mengerahkan seluruh tenaganya menghantam kepala Han Sin.
Pemuda itu mendengar angin pukulan dahsyat mengancam kepalanya, segera mengangkat tangan kiri untuk menangkis.
"Dukkk....!" Kini Han Sin hanya jatuh lagi terduduk, akan tetapi kakek itu seperti daun kering tertiup angin, mencelat sampai empat meter dan jatuh di atas tanah dengan mata mendelik dan nyawa putus!
Bukan main kagetnya Han Sin. Ia berlari menghampiri kakek itu dan melihat kakek itu sudah mati, tiba-tiba pemuda itu menangis!
"Apa yang kulakukan.... ah, Thian Yang Maha Kuasa.... apa yang telah kulakukan.....??"
Bagaimana seorang tokoh besar kang-ouw seperti Ban Kim Cinjin yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya itu bisa tewas ketika memukul dan tertangkis oleh Han Sin? Sedangkan yang lain-lain, para tosu gelung tiga yang kepandaiannya jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan Ban Kim Cinjin, ketika memukul Han Sin mereka hanya terpental dan roboh saja akan tetapi tidak sampai mati? Hal ini memang ada sebabnya.
Dengan latihan samadhi yang istimewa, yang dipetiknya dari kitab-kitab kuno dan dilatihnya tanpa petunjuk seorang ahli-ahli, secara keliru Han Sin telah melatih siulian semenjak ia kecil sampai belasan tahun lamanya. Latihan ini ia lakukan tanpa mengenal bosan dan lelah, bahkan dilakukan siang malam tak kenal waktu. Kekeliruannya ini tentu akan mencelakakan, dapat membuat orang menjadi gila atau kemasukan pengaruh iblis lalu mempelajari ilmu hitam kalau saja Han Sin tidak memiliki dasar watak yang memang bersih dan baik.
Sebaliknya dari pada mencelakakan, kekeliruan ini malah mendatangkan hawa sinkang yang mujizat di dalam tubuh pemuda ini. Sinkang ini demikian kuat sehingga sukar untuk diukur lagi kehebatannya, tanpa disadari oleh si pemilik.
Karena Han Sin tidak tahu mempergunakan hawa sinkang ini, maka hawa sinkang itu bekerja dan bergerak menurut jalan pikirannya. Kalau ia mengangkat tangan dan pikirannya ditujukan hendak menangkis pukulan atau mencegah serangan orang, secara otomatis, hawa sinkang itu menjalar ke seluruh tangannya yang menangkis dan di situ bersembunyi hawa pukulan yang mujizat.
Akan tetapi karena tidak dipergunakan untuk menyerang, hawa sinkang itu hanya bersifat menahan belaka. Maka tergantung dari kekuatan lawan yang ditangkis. Kalau lawan itu mempunyai tenaga pukulan tiga ratus kati, maka ketika tertangkis tenaga pukulan seberat itu akan membalik dan memukul penyerangnya sendiri.
Tosu-tosu tingkat tiga dari Cin-ling-pai ketika memukul Han Sin tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya, paling banyak tenaga dorongnya hanya tiga ratus kati, itupun dilakukan dengan pukulan jarak jauh karena mereka memang tidak berniat membunuh Han Sin. Maka akibatnya pun tidak sangat hebat bagi mereka, hanya terjengkang dan terlempar oleh hawa pukulannya sendiri yang membalik ketika membentur hawa sinkang yang keluar dari lengan Han Sin.
Sebaliknya, Ban Kim Cinjin yang sudah marah sekali, menggunakan pukulan sepenuh tenaganya, sedikitnya ada seribu kati lebih. Maka begitu terbentur lengan Han Sin dan pukulan itu membalik, mana kakek itu kuat menerimanya? Isi dadanya remuk dan nyawanya melayang!
Han Sin sampai saat matinya Ban Kim Cinjin, masih belum sadar akan kekuatannya sendiri. Masih belum mengerti bahwa di dalam tubuhnya bersembunyi kekuatan mujizat. Ia hanya tahu bahwa kakek itu mati setelah memukul dan ditangkisnya, maka ia menjadi kaget bukan main. Hatinya yang sudah merasa ngeri melihat banyak terjadi pembunuhan, yang mendatangkan rasa kasihan di dalam hatinya yang mulia dan welas asih, tentu saja menjadi hancur ketika melihat ada orang sampai mati karena beradu lengan dengannya. Ia merasa menjadi pembunuh dan karena perasaan inilah ia menangis sedih.
Para tosu Cin-ling-pai ketika melihat Ban Kim Cinjin tewas, menjadi terkejut sekali. Bagaimana pun juga, Ban Kim Cinjin adalah seorang utusan kerajaan Ceng. Kalau yang membunuh kakek ini tosu-tosu Cin-ling-pai, hal itu masih tidak hebat karena para tosu Cin-ling-pai yang gagah tentu saja akan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka. Akan tetapi sekarang yang membunuh kakek itu adalah dua orang muda yang tidak terkenal, maka karena matinya di Cin-ling-san, tentu saja para tosu Cin-ling-pai yang akan didakwa membunuh Ban Kim Cinjin.
Inilah hebat! Bukan saja Ban Kim Cinjin utusan kaisar Ceng, malah ia itu sute dari Hoa Hoa Cinjin! Dalam pikiran para tosu, mereka mengira bahwa Ban Kim Cinjin mati oleh Han Sin dan dibantu secara menggelap oleh Bi Eng, sama sekali mereka belum bisa menerima kalau ada dugaan pemuda itu dapat membunuh Ban Kim Cinjin hanya dengan jalan menangkis pukulannya.
"Tangkap pembunuh-pembunuh ini!" seru Cin-ling Sam-eng, tiga orang tosu Cin-ling-pai kelas dua itu. Mereka sendiri menubruk maju untuk menangkap Han Sin dan Bi Eng.
Han Sin melompat maju, mengangkat dadanya dengan sikap gagah, dan suaranya luar biasa sekali, nyaring dan berpengaruh sehingga sekian banyaknya tosu yang menerjang maju tiba-tiba berhenti dan terpaksa mendengarkan. Bahkan Bi Eng sendiri sampai bengong memandang kakaknya yang tiba-tiba mempunyai suara demikian hebat pengaruhnya.
"Nanti dulu! Cuwi totiang adalah orang-orang beribadat, orang-orang yang menjalani kesucian dan mengutamakan tata susila dan kebajikan. Apakah patut menghina seorang perempuan?"
Hap Tojin ketawa dingin untuk melenyapkan rasa jengahnya mendengar teguran ini. "Hemm, kalian sudah membunuh seorang utusan kaisar di sini, kalau tidak mau tangkap, bukankah kesalahannya akan ditimpakan kepada kami?"
"Cinjin ini tewas karena menyerangku, kalau mau bilang tentang pembunuhan, adalah aku yang membunuh. Adik perempuanku ini apa sangkut pautnya dengan kematiannya? Akulah yang bertanggung jawab dan kalau mau tangkap, boleh tangkap aku, jangan ganggu adikku."
Semua tosu ragu-ragu mendengar ini. Cin-ling Sam-eng juga merasai kebenaran ucapan pemuda ini biarpun mereka masih tidak percaya kalau kematian Ban Kim Cinjin adalah karena perbuatan pemuda yang kelihatan lemah ini. "Kalau kau yang bertanggung jawab semua, biarlah kami lepaskan adikmu. Kamipun bukan orang-orang yang suka mengganggu perempuan. Nah, ayoh ikut kami ke puncak."
Bi Eng menjadi pucat dan meloncat maju. "Tidak boleh! Tidak boleh kakakku ditangkap!" serunya marah dan gadis ini kembali menyambar sebatang pedang di atas tanah, siap untuk melakukan pertempuran besar-besaran melindungi kakaknya. Juga Siauw-ong kembali meringis-ringis menantang perang.
"Eng-moi, mundur! Kali ini kau harus menurut kata-kataku dan jangan menurutkan kekerasan hati. Kau pergilah dulu dengan Siauw-ong, lanjutkan perjalananmu dan tunggu aku di pantai sungai Wei-ho. Aku akan menyusulmu setelah urusan ini selesai. Aku percaya ketua Cin-ling-pai akan dapat mempertimbangkan urusan ini dengan adil."
Pandang mata Han Sin berpengaruh dan luar biasa sekali, dari sepasang matanya mencorong keluar sinar yang biarpun Bi Eng adiknya sendiri merasa bergidik dan takut. Ia maklum bahwa kakaknya bersungguh-sungguh dalam hal ini dan akan menjadi marah kalau dia tidak mau menurut. Dengan muka pucat dan isak tertahan ia menggandeng tangan Siauw-ong, lalu membalikkan tubuh pergi dari situ sambil berkata, "Sin-ko, aku menanti-nantimu di pinggir sungai Wei-ho!"
Sebentar saja Bi Eng dan Siauw-ong lenyap dari situ. Han Sin menjadi lega hatinya. Dengan perginya Bi Eng yang ia tahu amat keras hatinya dan berani, ia merasa dadanya ringan dan urusan yang ia hadapi itu terasa lebih mudah dibereskan. Ia tersenyum kepada Cin-ling Sam-eng.
"Cuwi totiang, mau tangkap aku sebagai pembunuh, tangkaplah!"
Cin-ling Sam-eng maju bersama, takut kalau pemuda ini yang amat aneh dan mencurigakan diam-diam mempunyai kepandaian tinggi dan turun tangan lagi. Sebelum Han Sin bergerak, mereka sudah menubruknya dan dilain saat tubuh Han Sin sudah mereka belenggu dengan sebuah rantai besi yang besar. Rantai itu diikatkan kedua tangannya yang ditekuk ke belakang, terus dilibatkan ke leher dan dada, membuat Han Sin tak dapat berdaya sedikitpun. Pemuda ini sama sekali tidak melakukan perlawanan, tersenyum saja. Baju pada lengan kiri dan celananya sedikit robek ketika ia tadi terjatuh menerima serangan-serangan Ban Kim Cinjin.
Para tosu mengiringkan Cin-ling Sam-eng yang membawa Han Sin ke atas dan beramai-ramai mereka membawa kawan-kawan yang terluka dan tewas tidak lupa membawa pula jenazah Ban Kim Cinjin ke atas. Tempat yang tadi menjadi medan pertempuran itu kini sunyi kembali. Hanya darah yang membasahi rumput di sana-sini menjadi bukti bahwa di situ tadi telah dilayangkan beberapa nyawa manusia.
Hati Han Sin sudah tenang kembali, tidak seperti tadi ketika pada mula-mula ia melihat Ban Kim Cinjin tewas karena tangkisan tangannya. Diam-diam ia memutar otak dan merasa heran sendiri. Bagaimana seorang yang demikian menyeramkan dan lihai seperti Ban Kim Cinjin, yang demikian mudah membunuh beberapa orang tosu Cin-ling-pai, bisa tewas hanya karena ia tangkis pukulannya. Bagaimana hal ini mungkin terjadi? Dia tidak pernah belajar silat, hanya hafal teori ilmu pukulan Liap-hong Sin-hoat. Selain itu tidak belajar apa-apa lagi kecuali membaca isi kitab-kitab kuno dan melatih siulan untuk membersihkan pikiran dan menjernihkan hati.
Biarpun latihan-latihannya membuat pemuda ini mempunyai watak yang penuh welas asih dan sabar, namun tidak menghilangkan jiwa patriotnya yang diturunkan oleh leluhurnya. Apalagi kitab-kitab kuno, para pujangga dan bijaksanawan semenjak jaman dahulu selalu mengutamakan cinta negara dan bangsa. Oleh karena itu, di dalam hati kecil Han Sin juga terpendam rasa tidak suka kepada bangsa Mancu yang telah menjajah negara dan tanah airnya. Kalau ia teringat akan hal ini, teringat pula bahwa Ban Kim Cinjin adalah utusan kaisar Ceng karena itu berarti kaki tangan pemerintah penjajah, kecemasan bahwa ia telah menjadi sebab kematian orang itupun berkurang.
Pemuda ini yakin sepenuh hatinya bahwa dia tidak akan menghadapi malapetaka di puncak bukit itu, di depan para ketua Cin-ling-pai. Orang tak bersalah takkan kalah, demikian pelajaran di dalam kitab-kitabnya. Ah, Han Sin masih terlalu hijau, belum terbuka matanya bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang yang menyeleweng dari pada kebenaran, orang yang tidak mengenal atau sengaja tidak mau mengenal keadilan, yang tidak perduli akan kebajikan, hanya menurunkan nafsu hati berdasarkan keuntungan untuk diri sendiri!
Dengan dada lapang dan pikiran ringan pemuda ini menurut saja digiring ke puncak dalam keadaan terbelenggu seperti seorang penjahat besar. Dia toh tidak salah, pikirnya. Dia dan adiknya melewati gunung itu dan dihadang serta diganggu oleh para tosu, kemudian diapun bermaksud baik ketika mencegah Ban Kim Cinjin agar kakek itu tidak melakukan pembunuhan besar-besaran. Betul kakek itu telah binasa karena tangkisannya, namun ia tidak sengaja bermaksud hendak membunuh orang. Demikian sambil berjalan Han Sin berpikir dan hatinya tenteram.
Pada masa itu, ketua Cin-ling-pai yaitu Giok Thian Cin Cu, merupakan seorang di antara tokoh-tokoh terbesar di dunia persilatan. Kakek ini jarang memperlihatkan diri, apalagi kepada dunia ramai, bahkan para anggauta Cin-ling-pai sendiri jarang ada yang melihatnya karena kakek ini selalu menyembunyikan diri di dalam kamar pertapaannya. Selain bertapa dan memperdalam keahliannya dalam ilmu silatnya yang terkenal, yaitu Im-yang-kun dan Cin-ling-kun yang menjadi ilmu silat wasiat dari para tosu Cin-ling-pai, kakek inipun dengan diam-diam sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat baru yang amat hebat.
Tiga tahun yang lalu di dalam perantauannya Giok Thian Cin Cu bertemu dengan paman gurunya yang paling muda dan yang masih hidup di antara gurunya dan paman-paman gurunya, yaitu seorang pendeta aneh yang sudah disebut setengah dewa berjuluk Hui-kiam Koai-sian (Dewa Aneh Berpedang Terbang)! Hui-kiam Koai-sian ini dari nama julukannya saja sudah dapat diketahui bahwa dia adalah seorang manusia aneh ahli pedang. Lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu dia masih menjagoi kalangan kang-ouw, akan tetapi tiba-tiba ia melenyapkan diri dan semenjak itu namanya tak pernah disebut orang. Oleh karena hal itu telah puluhan tahun, maka lambat laun namanya lenyap dan jarang ada orang kang-ouw mengenal namanya, kecuali tokoh yang tua-tua.
Dapat dibayangkan betapa girang hati Giok Thian Cin Cu ketika pada suatu hari, dalam perantauannya, di daerah Telaga Barat yang amat sunyi, ia bertemu dengan Susioknya ini. Hui-kiam Koai-sian yang melihat sinar mata murid keponakannya itu mengeluarkan cahaya dan wajahnya mengandung kebijaksanaan, menjadi girang karena maklum bahwa murid keponakan ini telah memperoleh kemajuan pesat, baik di bidang ilmu silat maupun di bidang kerohanian.
Apalagi ketika mendengar bahwa murid keponakan ini telah menjadi ketua Cin-ling-pai yang ia dengar tidak sudi tunduk kepada pemerintah Mancu, ia makin bangga. Dalam kegirangannya, ia berkenan menurunkan ilmu pedangnya, yaitu Lo-hai-hui-kiam (Pedang Terbang Pengacau Lautan). Tentu saja dalam waktu pertemuan yang amat singkat, Hui-kiam Koai-sian hanya menurunkan teori-teorinya saja dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan sebelum dilatih sampai sempurna.
Sepulangnya ke puncak Cin-ling-san, Giok Thian Cin Cu lalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya dan diam-diam secara rahasia ia melatih ilmu pedang baru itu. Melatih sampai tiga tahun belum sempurna betul, padahal dilakukan oleh seorang ahli silat selihai Giok Thian Cin Cu, betul-betul dapat dibayangkan. Agar perhatiannya untuk mempelajari ilmu baru ini tidak terganggu, Giok Thian Cin Cu lalu menyerahkan semua urusan kepada kedua orang muridnya yang menjadi murid kepala, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan urusan di luar Cin-ling-pai, diserahkan kepada Cin-ling Sam-eng, murid-muridnya yang bertingkat dua.
Adapun dua orang murid kepala itu, It Cin Cu dan Ji Cin Cu, adalah dua orang tosu berusia empat puluh tahunan yang pendiam. Kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi. It Cin Cu lebih banyak mewarisi ilmu pedang suhunya sedangkan Ji Cin Cu lebih banyak mewarisi ilmu lweekang. Biarpun ada perbedaan ini, namun pada umumnya ilmu silat mereka setingkat dan di masa itu kiranya hanya sedikit orang yang akan mampu mengatasi mereka.
It Cin Cu tinggi kurus bertahi lalat di pipi kanannya, sedangkan Ji Cin Cu orangnya gemuk pendek seperti arca Buddha maka ia mendapat julukan Siauw-bin-hud (Arca Buddha Tertawa) karena memang air mukanya ramah sekali dan selau tersenyum. Sebaliknya It Cin Cu bermuka muram dan angker maka ia mendapat julukan Thio-te-kong (Malaikat Bumi).
Biasanya, Cin-ling Sam-eng selalu dapat membereskan semua urusan luar tanpa mengganggu kedua orang suhengnya ini. Maka berkerutlah jidat It Cin Cu ketika tiga orang sute ini menghadap mereka dan minta mereka memutuskan sebuah urusan luar. Apa lagi ketika mendengar bahwa tiga orang sutenya ini minta keputusan akan diri seorang pemuda mata-mata yang mengacau Cin-ling-san.
"Sute, urusan mata-mata saja kenapa kalian bertiga tidak bisa membereskan sendiri?" tegurnya dengan keren.
"Suheng, urusan ini bukan hanya mengenai diri pemuda yang mencurigakan itu, akan tetapi menyangkut pula diri Ban Kim Cinjin yang datang sebagai utusan kerajaan Ceng," kata Hap Tojin yang kelihatan takut menghadapi suheng yang memang amat keren dan galak itu.
Siauw-bin-hud Ji Cin Cu tersenyum lebar, lebih lebar dari biasanya karena memang ia selalu tersenyum. Ia menggerakkan tangan kanannya tak sabar. "Urusan dengan kerajaan bangsa Mancu itupun tidak penting, masa kalian tidak bisa membereskan setelah kalian tahu pendirian kita yang tidak mau tahu menahu tentang urusan negara dengan pemerintah Mancu?"
"Bukan demikian soalnya, ji-suheng." Kata pula Hap Tojin. Terhadap Ji Cin Cu yang ramah dan jarang marah, ia lebih berani. "Soalnya ialah pemuda itu dengan adik perempuannya telah membunuh mati Ban Kim Cinjin di daerah kita."
Dua orang murid kepala Cin-ling-san melengak dan memandang heran. Adanya mata-mata di daerah Cin-ling-san bukan hal aneh karena pada masa itu memang banyak sekali persaingan dan permusuhan dengan partai-partai lain yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Juga datangnya utusan dari pemerintah Ceng bukan hal yang mengherankan.
Akan tetapi Ban Kim Cinjin terbunuh oleh orang-orang muda? Ini amat menarik. Biarpun kepandaian Ban Kim Cinjin tidak bisa disamakan dengan kelihaian suhengnya, Hoa Hoa Cinjin, namu kakek itu adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi. Sekarang terbunuh orang lain di daerah mereka, dan kalau sampai Hoa Hoa Cinjin tidak mau terima dan meluruk ke situ, hal ini akan menjadi cukup penting dan berbahaya!
"Dua orang muda kakak beradik membunuh Ban Kim Cinjin katamu?" tanya It Cin Cu memandang tajam.
"Soalnya tidak jelas," Hap Tojin menerangkan dengan muka merah karena memang ia masih ragu-ragu. "Ban Kim Cinjin memaksa hendak naik menemui suhu. Tentu saja kami melarang dan terjadi pertempuran. Beberapa orang sute rendahan kami telah roboh oleh kakek itu. Tiba-tiba pemuda itu maju mencegah dan ia dipukul oleh Ban Kim Cinjin. Kesudahannya, malah Ban Kim Cinjin yang tewas secara aneh, tanpa dipukul oleh pemuda itu. Siauwte sendiri dan saudara-saudara semua tidak tahu siapakah yang membunuhnya, apakah pemuda yang kelihatan lemah dan telah kami tawan, apakah adiknya yang sudah pergi ataukah ada orang lain yang bersembunyi dan membantu mereka dengan diam-diam."
Dengan jelas Hap Tojin lalu menceritakan semua kejadian itu dan kedua orang suhengnya mulai tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat dan betapa pemuda itu menanggung jawab semua kesalahan dan menyuruh adik perempuannya pergi. Ini benar-benar aneh dan menarik.
"Bawa dia ke sini!" kata It Cin Cu tidak sabar lagi.
Hap Tojin keluar dan tak lama kemudian ia kembali ke dalam ruangan itu sambil mengiringkan Han Sin yang masih dibelenggu. Dua orang murid kepala Cin-ling-pai itu memandang ke depan dan melihat seorang pemuda taruna yang tampan dan halus gerak-geriknya, sedikitpun langkahnya tidak membayangkan keahlian silat, pakaiannya robek dan tubuh bagian atas terbelenggu. Namun pemuda itu wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu, malah tersenyum tenang dan mengangkat dada. Ketenangan yang wajar tidak dibuat-buat sehingga dua pasang mata murid kepala Cin-ling-pai yang amat tajam itu diam-diam memandang kagum.
Han Sin melangkah maju ke depan dua orang tosu itu dan menjura dengan hormat tapi kaku karena tubuhnya diikat. It Cin Cu menunjuk ke sebuah bangku dan Han Sin lalu menduduki bangku itu. Sebagai seorang pendeta, It Cin Cu tetap memakai sopan-santun, biarpun ia hanya menunjuk karena tentu saja ia tidak memandang kepada seorang pemuda seperti ini.
"Congsu, siapakah nama, murid siapa dan apa perlunya congsu berdua adik datang menimbulkan keributan di Cin-ling-san?" tanyanya singkat dan bernada keras.
Han Sin kecewa. Di dalam kitab-kitabnya yang mengandung pelajaran kebatinan, orang diajar bersopan-santun, lemah lembut dan ramah terhadap sesama manusia. Apalagi yang sudah menjadi pendeta, tentu lebih-lebih bersikap halus, tidak sekasar tosu tinggi kurus yang bertahi lalat di pipi kanannya itu. Namun Han Sin tetap bersikap tenang dan sabar, ingat akan pelajaran di dalam kitab-kitabnya bahwa "yang baik harus ditiru dan yang keliru dinasehati".
"Totiang, aku yang bodoh she Cia bernama Han Sin datang dari Min-san di sebelah barat. Guruku adalah seorang siucai miskin bernama Thio-sianseng. Adapun aku dan adikku sebetulnya sama sekali tidak bermaksud menimbulkan keributan di Cin-ling-san. Kami hanya lewat saja akan tetapi dicegat dan diserang oleh para tosu di Cin-ling-san."
Han Sin memang tidak mau menyebut nama Ciu-ong Mo-kai sebagai gurunya, karena selain ia merasa tidak patut menyebut murid kakek sakti itu, juga bukankah Ciu-ong Mo-kai berpesan bahwa kalau menghadapi kesukaran ia harus menyebut namanya untuk mencari keselamatan? Dia tidak merasa menghadapi kesukaran karena yakin bahwa dia tidak bersalah. Perlu apa mesti menggunakan nama besar Ciu-ong Mo-kai untuk menakut-nakuti orang dan untuk mencari selamat? Ia anggap hal ini tidak patut dan malah merendahkan nama besar pengemis sakti itu.
Tentu saja para tosu tidak pernah mendengar nama Thio-sianseng. Dan makin rendah pandangan mereka terhadap pemuda tampan ini. Akan tetapi tidak demikian dengan dua orang murid kepala Cin-ling-san. Sikap Han Sin yang penuh kehalusan dan sopan-santun itu membuat mereka diam-diam makin curiga. Bocah seperti ini sudah pasti bukan bocah sembarangan yang berandalan dan lancang.
"Kenapa kau membunuh Ban Kim Cinjin?" tanya It Cin Cu pula.
Han Sin menggerakkan pundaknya. "Aku sendiripun tidak tahu bagaimana aku bisa membunuhnya," jawab pemuda ini dengan jujur. "Agaknya dia mempunyai penyakit jantung yang berat. Begitu dia menyerangku, eh, tahu-tahu dia terjungkal dan mati. Di dalam hatiku, jangankan membunuh manusia, membunuh seekor ayampun kalau bisa jangan sampai kulakukan itu."
It Cin Cu dan Ji Cin Cu saling pandang. "Sute," kata It Cin Cu kepada Ji Cin Cu. "Coba kau periksa tubuh Ban Kim Cinjin!"
Siauw-bin-hud Ji Cin Cu melengeh dan biarpun tubuhnya gemuk pendek, begitu tubuh itu digerakkan tahu-tahu ia telah berada di luar pintu. Han Sin sampai terbelalak memandang keanehan ini. Apakah tosu gendut itu bisa terbang? Tak lama Ji Cin Cu masuk lagi, juga cepat seperti tadi. Memang si gendut ini hendak memperlihatkan kepandaiannya kepada Han Sin untuk melihat reaksi pemuda itu. Melihat pemuda itu dengan muka wajar terheran-heran, diam-diam ia makin tidak mengerti.
"Suheng, isi dadanya remuk terkena hawa pukulan lweekang yang hebat. Tenaga pukulan yang merusak isi dada itu kiranya tidak lebih rendah dari pada tenaga kita berdua disatukan. Hebat sekali! Bocah ini tentulah bukan pembunuhnya," kata Ji Cin Cu.
Kembali It Cin Cu mengerutkan kening. "Bocah she Cia, apakah selain adikmu, masih ada orang lain yang datang bersamamu di bukit ini?"
Han Sin mengangguk. "Memang ada!"
Semua orang kaget. It Cin Cu dan Ji Cin Cu mengepal tangan, siap mendengar siapakah yang datang bersama anak muda ini, tentulah seorang sakti, yang sudah terkenal. Dengan muka sejujurnya Han Sin meneruskan jawabannya.
"Selain aku dan adikku masih ada Siauw-ong."
Di antara semua tosu yang hadir, kiranya yang lebih banyak pengalamannya di dunia luar dan mengenal semua orang-orang gagah, hanyalah Cin-ling Sam-eng.
"Hap-sute, kenalkah kau seorang locianpwe berjuluk Siauw-ong?" tanya It Cin Cu kepada Hap Tojin, orang tertua dari Cin-ling Sam-eng.
Hap Tojin menggeleng kepala. "Ada Kim-i Tok-ong (Raja Racun Baju Sulam) ada Ban-jiu Touw-ong (Raja Copet Tangan Selaksa) ada Hui-thian Mo-ong (Raja Setan Terbang) dan banyak tai-ong tai-ong (sebutan kepala perampok) yang siauwte kenal, akan tetapi Siauw-ong (Raja Muda) tidaklah pernah dipergunakan orang kang-ouw sebagai nama julukan. Siauwte tidak mengenal nama ini," jawab Hap Tojin.
It Cin Cu menoleh kepada Han Sin.
"Siauw-ong yang kau sebut itu adalah cianpwe dari golongan dan partai manakah?"
Han Sin maklum bahwa jawabannya tadi telah mendatangkan salah paham, diam-diam ia menjadi geli. Akan tetapi kesopanan melarang dia mentertawakan mereka itu. Dengan muka masih tenang dan sikap tidak berubah ia menerangkan, "Siauw-ong dari golongan monyet atau munyuk, bukan golongan lutung hitam, tidak berpartai. Dia adalah monyet kecil yang kami pelihara semenjak kecil."
Mendengar keterangan ini, terdengar suara ketawa kecil di antara para tosu yang dibikin kecele. Mereka tadi sudah tegang hendak mendengar siapa adanya "locianpwe" itu, tidak tahunya seekor kera! It Cin Cu memutar matanya penuh teguran dan suara ketawa itu berhenti seketika. Akan tetapi suara ketawa yang paling keras datang dari mulut Ji Cin Cu, dan It Cin Cu tidak mau menegur sutenya ini di depan orang banyak. Ia berlaku tenang serius.
"Selain kera itu, siapa lagi yang ikut datang?"
"Tidak ada lagi, totiang," jawab Han Sin.
It Cin Cu mengerutkan kening. Inilah aneh, pikirnya. Apakah ada orang luar biasa yang tidak dikenal pemuda ini yang diam-diam membantunya dan membunuh Ban Kim Cinjin? Hal itu bukan urusan Cin-ling-pai, akan tetapi karena pembunuhan dilakukan di Cin-ling-san dan Ban Kim Cinjin adalah utusan kerajaan Ceng, itulah amat berbahaya. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan kanan menepuk pundak Han Sin. Sebelum tangannya menyentuh pundak, Han Sin merasa datangnya angin pukulan yang hebat.
Pemuda ini terikat kedua tangannya, tak dapat ia menangkis. Akan tetapi begitu tangan itu menyentuh pundaknya, It Cin Cu berseru perlahan dan menarik kembali tangannya. Ia merasai pundak yang empuk seperti kapas akan tetapi yang dibawahnya mengandung tenaga menyedot luar biasa kuatnya sehingga tenaga pukulannya amblas! Inilah lweekang yang amat tinggi tingkatnya. Ia membelalakkan matanya dan membentak.
"Anak muda, jangan kau main-main! Siapa gurumu?"
Han Sin memang tidak tahu akan peristiwa yang terjadi tadi. Tanpa ia sadari, sinkang di tubuhnya secara otomatis mengalir ke pundak membangkitkan tenaga penolakan yang luar biasa. Inilah karena kematangan latihan samadhinya, yang membuat ia seperti dalam keadaan samadhi di setiap detik. Bahkan ketika ia tidur, pernapasannya masih tetap saja lambat dan halus seperti dalam keadaan siulian. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi ketika tosu tadi menepuk pundaknya.
"Sudah kuterangkan tadi, totiang, guruku Thio-sianseng yang mengajarku membaca, menulis, dan menggambar," jawabnya, suaranya tetap dan pandang matanya memancarkan kejujuran. Ketika menentang pandang mata pemuda itu, lagi-lagi It Cin Cu dan Ji Cin Cu terkejut karena melihat sinar mata yang membuat mereka tidak tahan lama-lama memandang.
"Kau telah membunuh utusan kerajaan di daerah kami. Terpaksa kami harus menyerahkan kau kepada pemerintah Ceng untuk mencuci bersih tangan kami. Masukkan dia di Can-tee-gak (Ruangan Dalam Neraka)!" perintahnya kepada para sutenya.
Cin-ling Sam-eng lalu menggusur tubuh Han Sin, dibawa ke sebelah belakang bangunan, lalu menurunkan pemuda itu dengan sehelai tambang ke dalam sebuah jurang. Yang disebut Can-tee-gak itu adalah sebuah jurang yang amat terjal dan sekali orang dimasukkan ke situ, jangan harap akan dapat keluar lagi tanpa pertolongan. Jangankan dalam keadaan terikat badannya, biarpun bebas kaki tangannya, teramat sukarlah untuk dapat keluar dari situ. Tempat ini memang disediakan untuk menghukum para anak murid yang melanggar peraturan. Memang Cin-ling-pai amat keras dan berdisiplin, maka para anak muridnya juga tidak ada yang pernah menyeleweng.
KETIKA diturunkan di dalam jurang itu, Han Sin masih tenang saja. Ia mendapatkan dirinya di dalam ruangan yang merupakan dasar jurang. Baiknya tanah di situ kering dan lebarnya ada empat lima meter. Di belakang dan depan dinding batu yang amat tinggi, di kiri kanan jurang yang lebih dalam lagi. Sukar bagi seorang manusia untuk melarikan diri dari tempat ini, kecuali kalau dia bisa terbang. Han Sin menarik napas panjang, duduk menyandarkan punggung di dinding batu. Dia memang tidak mempunyai pikiran untuk lari. Mengapa lari? Tentu aku ditahan hanya untuk sementara waktu selagi para tosu ini mengadakan perundingan untuk memutuskan urusan ini, pikirnya. Hawa di situ enak, angin gunung menghembus melalui kanan kiri dinding batu, segar dan sejuk membuat dia mengantuk. Tak lama kemudian pemuda ini tertidur sambil bersandar batu.
Tepat dugaan Han Sin. Di puncak Cin-ling-san, dua orang tosu murid kepala bersama sutenya mengadakan perundingan mengenai peristiwa yang cukup penting bagi Cin-ling-pai itu.
"Gadis itu ilmu silatnya lihai juga, dan aneh gerakan-gerakannya. Akan tetapi tenaganya belum seberapa dan ilmu silatnya itupun belum matang benar," demikian Hap Tojin menerangkan kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. "Monyet kecil itupun hanya gesit saja, apa sih anehnya pada diri seekor monyet kecil? Pemuda itu biarpun sikapnya amat aneh, namun terang dia tidak mengerti ilmu silat. Ini dapat dilihat dari gerak-geriknya, malah ia terguling roboh ketika berlari dan kakinya tersandung batu. Masa seorang ahli silat bisa roboh begini? Akan tetapi, suheng, sekali tangkis dia bisa menewaskan Ban Kim Cinjin! Bukankah hal ini aneh di atas aneh!"
"Ajaib sekali!" seru Ji Cin Cu yang tersenyum-senyum terus.
It Cin Cu mengerutkan kening. "Tidak bisa lain, tentu ada orang pandai yang diam-diam menggunakan kesempatan itu membunuh Ban Kim Cinjin. Tak mungkin kalau hanya untuk menolong pemuda itu ia harus membunuh Ban Kim Cinjin, tentu dia sengaja membunuh di daerah ini agar kita bentrok dengan pemerintah Ceng. Inilah hebat."
"Kenapa susah-susah, twa-suheng?" kata Ji Cin Cu. "Pemuda itu sudah kita tangkap, tinggal serahkan saja dia kepada pemerintah Ceng sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin. Bukankah itu beres dan tangan kita tercuci bersih?"
Ucapan ini agaknya memuaskan Cin-ling Sam-eng, mereka mengangguk-angguk membenarkan. Akan tetapi It Cin Cu menggeleng kepala perlahan. "Gampang diomongkan, susah dilaksanakan."
"Kenapa begitu, suheng?" tanya Hap Tojin.
"Apa sih susahnya membawa pemuda she Cia itu ke kota raja?"
"Apa kalian kira pemerintah Ceng begitu bodoh seperti anak kecil? Mereka mempunyai banyak orang-orang lihai. Kalau kita menyerahkan pemuda itu kepada mereka sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin dan mereka mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tolol tidak mengerti ilmu silat, apakah mereka mau percaya bahwa pemuda itu membunuh Ban Kim Cinjin? Jangan-jangan malah kita makin dicurigai!"
Semua tosu melengak mendengar ini dan baru terbuka mata mereka bahwa memang hal ini amat sukar dilaksanakan. Siapapun orangnya, mereka sendiri juga, tak mungkin bisa percaya seorang pemuda yang kesandung batu saja roboh bisa membunuh seorang tokoh besar seperti Ban Kim Cinjin. Ji Cin Cu mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata,
"Heh heh, kau betul, twa-suheng. Kau betul, heh heh heh. Habis, apakah kita harus melaporkan hal ini kepada suhu dan minta keputusan suhu?"
It Cin Cu menarik napas panjang. "Suhu sedang sibuk meyakinkan ilmu pedang yang baru. Sudah dua bulan suhu tidak keluar kamar, dan beliau melarang kita mengganggu. Apa kau tidak ingat? Masa untuk urusan kecil ini kita harus mengganggunya?
"Tidak, itu aku tidak berani."
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Habis, bagaimana kita harus menyelesaikan urusan ini?" Hap Tojin kuatir.
"Tidak ada lain jalan. Kau kubur dengan diam-diam jenazah Ban Kim Cinjin dan pura-pura tidak tahu bahwa kakek itu pernah menginjakkan kaki di bukit Cin-ling-san. Toh tidak ada orang lain tahu akan pembunuhan itu."
Semua orang menganggap keputusan ini baik sekali. "Dan bagaimana dengan orang she Cia itu?" tanya Ji Cin Cu.
"Biar untuk sementara kita tahan dulu di sini, perlahan-lahan kita mencari keputusan yang baik," jawab suhengnya.
Segera para tosu Cin-ling-pai bekerja. Jenazah Ban Kim Cinjin dimasukkan ke dalam peti mati yang tebal dan kuat. Karena mereka semua adalah orang-orang beribadat, maka tentu saja tidak melanggar peraturan. Jenazah itu sebelum dikebumikan, mereka sembahyangi lebih dulu. It Cin Cu bersembahyang sambil berkata keras,
"Ban Kim Cinjin, kau tahu sendiri bahwa kematianmu bukan disebabkan oleh Cin-ling-pai, oleh karena itu untuk menyingkirkan salah mengerti antara kami dengan kawan-kawanmu, terpaksa kami mengubur kau dengan diam-diam. Harap rohmu mendapat tempat yang baik." Hio yang mengebul asap putih ditancap dan semua tosu ikut bersembahyang lalu membaca doa.
Pada saat itu secara tiba-tiba muncul empat orang. Mereka ini adalah tiga orang pengemis tua dan seorang gadis yang cantik jelita. Tadinya para tosu kaget mengira bahwa yang datang adalah Bi Eng yang membawa teman-teman untuk menolong Han Sin, akan tetapi setelah mereka datang dekat, ternyata gadis itu bukan Bi Eng.
Dia seorang gadis yang berpakaian indah dan mewah, mukanya bulat telur, berkulit putih halus, rambutnya yang hitam panjang itu di gelung ke atas secara istimewa dan indah seperti gelung para puteri keraton. Cantik manis bukan kepalang gadis ini, hanya sepasang matanya memancarkan sinar galak dan bibir yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Seorang gadis muda yang angkuh, ini mudah sekali dilihat.
Tiga orang pengemis itu usianya lima puluhan tahun lebih. Pakaian mereka tambal-tambalan, anehnya biarpun tambal-tambalan dan butut, mereka itu pakaiannya sama, seragam! Tidak hanya potongan dan warnanya, bahkan tambal-tambalannya pun sama, sekain sewarna. Di tangan mereka terlihat tongkat yang aneh pula karena bentuknya seperti ular kering, terbuat dari logam hitam yang kelihatannya berat. Lucunya, tiga orang pengemis tua itu, kaki kirinya bersepatu butut akan tetapi kaki kanan telanjang!
Tadinya para tosu tidak memandang mata kepada empat orang yang baru muncul ini, akan tetapi ketika It Cin Cu, Ji Cin Cu dan Cin-ling Sam-eng melihat tongkat mereka yang berbentuk ular, mereka ini menjadi terkejut dan menduga-duga.
Cin-ling Sam-eng memang bertugas di luar, maka tanpa minta perkenan dari kedua orang suhengnya, mereka bertiga segera berdiri dan menyambut empat orang tamu itu. Hap Tojin menjura dan berkata.
"Sam-wi Lo-enghiong ada keperluan apakah menaiki puncak? Mohon maaf kami para tosu Cin-ling-pai tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya karena kami sedang berkabung." Ia menuding ke arah peti mati.
Tiga orang kakek pengemis itu memandang ke arah peti dan seorang di antara mereka yang matanya buta sebelah kiri, melangkah setindak dan bertanya, "Siapakah yang mati itu, harap saja bukan Giok Thian Cin Cu si orang tua."
Tak senang hati para tosu Cin-ling-pai mendengar pengemis mata satu ini menyebut julukan ketua mereka begitu saja, agaknya memandang rendah saja. Hap Tojin yang sudah banyak mengenal orang kang-ouw, memandang penuh perhatian kepada si mata satu, lalu menjura dan menjawab. "Bukan ketua kami yang kembali ke alam asal. Lo-enghiong ini apakah bukan Tok-gan Sin-kai, yang terkenal di antara para orang gagah dari Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan pengemis tongkat ular) dari utara?"
Pengemis mata satu itu tertawa, "Awas sekali mata tosu-tosu Cin-ling-pai. Kalian bertiga ini tentulah Cin-ling Sam-eng."
"Kami bertiga yang bodoh, murid-murid Cin-ling-pai yang rendah tingkatnya mana berani menggunakan julukan Sam-eng? Tok-gan Sin-kai, seingat kami, antara Cin-ling-pai dan Coa-tung Kai-pang tidak pernah ada urusan apa-apa, sekarang kau datang ke sini ada keperluan apakah?"
"Kami datang mencari Ban Kim Cinjin!"
Pernyataan ini membuat wajah para tosu menjadi pucat. Dan dalam pikiran It Cin Cu dan Ji Cin Cu timbul dugaan yang membuat muka mereka merah. Apakah tidak boleh jadi kalau pengemis mata satu ini yang diam-diam membunuh Ban Kim Cinjin kemudian pura-pura datang untuk menelanjangi mereka?
"Di mana Ban Kim Cinjin? Dia naik ke sini, bertempur dengan kalian lalu lenyap," desak pula Tok-gan Sin-kai dengan suara garang. "Ketahuilah, kami bertiga mengantar nona Thio ini yang mewakili ayahnya, Thio-ciangkun, bersama Ban Kim Cinjin menjadi utusan kaisar. Ban Kim Cinjin berjalan lebih dulu karena tidak ingin mengagetkan kalian tosu-tosu Cin-ling-pai dengan kunjungan banyak orang. Di mana dia?"
Kecurigaan It Cin Cu dan Ji Cin Cu lenyap, dan kini mereka malah kaget sekali. Celaka, pikir mereka sebelum mayat Ban Kim Cinjin dikubur, datang utusan-utusan kaisar ini. Kalau sampai rahasia terbuka, tak dapat tiada pasti akan timbul keributan.
Cin-ling Sam-eng juga mempunyai pikiran seperti itu. Hap Tojin lalu berkata sambil tersenyum. "Coa-tung Kai-pang telah bersekutu dengan pemerintah baru, itu bukan urusan kami orang-orang Cin-ling-pai. Kenapa kami harus mencelakakan utusan kaisar?"
Tiba-tiba gadis yang pendiam dan kelihatan galak itu menggerakkan kakinya. Ringan bagaikan burung walet tubuhnya melayang ke dekat peti mati dan sebelum ada orang menduga apa yang hendak dilakukannya dan sebelum mereka sempat mencegah, gadis itu telah mengayunkan tangan kirinya ke arah peti mati.
"Brakk!" Tutup peti mati itu pecah terbuka dan kelihatanlah mayat Ban Kim Cinjin membujur kaku di dalam peti mati. Nona itu mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur dekat tiga orang pengemis tadi, wajahnya yang cantik berobah bengis. Sungguh mengherankan orang kalau melihat kejadian itu. Tangan nona manis itu berkulit halus dan putih, agaknya tak pernah bekerja kasar, bagaimana sekali gempur saja tutup peti mati yang demikian tebalnya sampai pecah? Benar-benar ia menunjukkan bahwa lweekang nona itu sudah tinggi tingkatnya dan kepandaiannya pun hebat.
Semua orang tosu menahan napas saking tegang hatinya. Dipukulnya peti mati itu bukan merupakan hinaan bagi mereka karena di dalam peti mati adalah mayat Ban Kim Cinjin. Akan tetapi, terbukanya peti mati itu sekali gus membuka rahasia mereka yang hendak menyembunyikan tentang kematian Ban Kim Cinjin.
Tiga orang pengemis itu bersinar-sinar matanya karena marah. "Hemm, tidak kusangka tosu-tosu Cin-ling-pai pandai membohong dan curang!" seru pengemis mata satu. Matanya yang sebelah kanan berkilat menyapu ke arah Cin-ling Sam-eng, penuh ancaman.
Hap Tojin mengeluarkan suara ketawa nyaring untuk menindas hatinya yang tadi terguncang. "Tok-gan Sin-kai, jangan sembarangan saja kau membuka mulut memaki orang! Sejak kapan kami orang-orang Cin-ling-pai membohong?"
"Tosu tua bau!" Tok-gan Sin-kai marah sekalidan melangkah maju. "Tadi mulutmu sendiri yang menyangkal membunuh Ban Kim Cinjin. Di dalam peti mati itu mayat siapa lagi kalau bukan mayat Cinjin? Apa mulutmu yang bau masih hendak bilang mayat itu tidak mati?" Sambil berkata demikian, Tok-gan Sin-kai menggerakkan tongkat ularnya yang dengan gerakan berputaran menghantam kepala Hap Tojin.
"Sratt!" Sebatang pedang telah berada di tangan Hap Tojin dan sekali pedangnya berkelebat, tongkat ular sudah ditangkisnya. "Traanggg!" Bunga api berpijar dan ternyata kini bahwa tongkat itu terbuat dari logam yang amat kuat. Hap Tojin terkejut sekali di dalam hatinya ketika merasa telapak tangannya panas dan sakit-sakit akibat benturan senjata itu.
"Pengemis tua, jangan kau memaki sembarangan!" Hap Tojin juga sudah marah karena pengemis itu mulai mendamprat. "Memang di dalam peti mati itu mayat Ban Kim Cinjin, siapa yang pernah menyangkal itu? Akan tetapi matinya bukan karena kami orang-orang Cin-ling-pai. Kalau kami bermusuh kepadanya dan membunuhnya, masa kami sudi bersusah payah mengurus penguburannya dan menyembayanginya?"
Ucapan ini masuk akal dan agak menyabarkan hati Tok-gan Sin-kai. Ia lalu melangkah maju menghampiri mayat di dalam peti itu. Biarpun Ban Kim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang memiliki kedudukan tinggi juga di antara para pembantu pemerintah Ceng, namun karena bukan seorang tokoh partainya, pengemis mata satu ini juga tidak banyak menaruh hormat. Dengan sembarangan saja ia memeriksa tubuh Ban Kim Cinjin, membuka bajunya dan melihat di bagian dada itu biru-biru menghitam, tanda bahwa matinya terkena pukulan hebat.
"Cin-ling Sam-eng, apa kau mau bilang bahwa orang ini mati sendiri tanpa sebab?" ia mengejek sambil mundur lagi dua langkah.
"Tok-gan Sin-kai, dia mati dipukul orang. Cuma saja, siapa orangnya, itu kami masih sedang menyelidiki."
"Hemm, omongan bayi! Dia adalah utusan pemerintah dan datang ke sini untuk memenuhi tugas. Tahu-tahu dia mati di sini, di antara para tosu Cin-ling-pai dan kau mau bilang bahwa kau tidak tahu siapa yang memukulnya sampai mati?" Dua orang pengemis yang lain mengeluarkan suara ejekan, dan gadis manis itu, yang tadi disebut Thio-Siocia (nona Thio) puteri Thio-ciangkun, berkata dengan nyaring dan keren.
"Tosu-tosu Cin-ling-pai kalau sudah membunuh, berlakulah sebagai orang gagah! Sudah berani membunuh mengapa takut mengaku dan menjelaskan sebab-sebabnya? Kami melihat sendiri tadi Cinjin bertempur dikeroyok beberapa orang tosu."
"Cin-ling-pai tidak mempunyai anggauta pengecut tukang bohong. Kami selalu menjaga diri dengan pedang, tak pernah menggunakan pukulan curang. Andaikata Ban Kim Cinjin mati ditangan kami, tentulah matinya tertusuk pedang, Kami tahu Ban Kim Cinjin dibunuh orang akan tetapi belum tahu siapa pembunuhnya. Kalau kalian pecaya kepada kami, boleh kalian membawa pergi mayat Ban Kim Cinjin dan pergi dari sini dengan baik-baik. Kalau tidak percaya, terserah hendak berbuat apa. Aku Hap Tojin mewakili Cin-ling-pai sudah habis bicara!" Ia lalu berdiri dengan pedang melintang di dada akan tetapi menjura dengan hormat, ini tandanya ia menghormati para tamu akan tetapi tidak mau mengalah atau tunduk begitu saja.
"Bagus! Memang sudah lama aku mendengar nama besar Cin-ling Sam-eng yang tersohor gagah dan angkuh. Hendak kulihat sampai di mana kehebatannya!" Sambil berkata demikian, Tok-gan Sin-kai lompat menyerang Hap Tojin.
"Pengemis buta jangan main gila di Cin-ling-san!" seru Hap Tojin sambil memutar pedangnya menangkis. Di saat itu, berkelebat dua bayangan yang cepat mengurung pengemis mata satu itu, ternyata Hee Tojin dan Tee Tojin sudah maju membantu saudaranya itu.
"Tahan dulu, harap jangan menurutkan nafsu marah. Urusan ini baik dirundingkan secara damai!" Yang bicara adalah It Cin Cu yang bersama Ji Cin Cu semenjak tadi hanya duduk diam mendengarkan saja.
Mendengar seruan suheng mereka, Cin-ling Sam-eng melompat mundur menahan senjata dan berdiri memandang kepada Tok-gan Sin-kai dengan mata melotot. Adapun Tok-gan Sin-kai ketika mendengar suara yang berpengaruh inipun tidak berani sembarangan turun tangan, lalu berdiri menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang sudah melangkah maju dengan tenang.
It Cin Cu menjura kepada pengemis mata satu itu, lalu berkata, suaranya tenang. "Tok-gan Sin-kai lo-sicu harap maafkan sute-sute kami yang berdarah panas. Biasanya, urusan mengenai Cin-ling-pai memang sudah kami serahkan kepada ketiga orang sute kami ini, akan tetapi mengingat bahwa urusan kali ini bukan kecil dan amat pentingnya, terpaksa pinto berdua ikut-ikut."