Kasih Diantara Remaja 6
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Tok-gan Sin-kai balas menjura. Kalau dua orang ini adalah suheng-suheng (kakak-kakak seperguruan) Cin-ling Sam-eng, maka mereka ini bukanlah orang sembarangan. "Ucapan totiang lebih menarik hati, memang bukan maksud kami datang ke Cin-ling-san untuk berkelahi. Tidak tahu siapakah totiang dan ada petunjuk apakah?"
"Sam-wi losicu dan nona jauh-jauh datang dan kami tidak dapat menyambut secara sewajarnya, harap banyak maaf. Seperti cu-wi (tuan sekalian) melihatnya, kami sedang menjalankan upacara sembahyang dan memang pada kematian Ban Kim Cinjin ini terselip hal-hal yang amat aneh. Bukan bohong ketika para sute tadi mengatakan bahwa kami sendiri merasa berhadapan dengan teka-teki sulit dan masih meraba-raba dan menduga-duga siapa sebenarnya pembunuh Ban Kim Cinjin." Kemudian dengan suara tenang dan sabar It Cin Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi di Cin-ling-san. Sebagai penutup ceritanya ia berkata,
"Untuk penyelidikan, kami sengaja menahan bocah she Cia itu dan mengurungnya di Can-tee-gak."
Mendengar ini, nona cantik yang tadi diperkenalkan sebagai Thio-Siocia puteri dari Thio-ciangkun (perwira Thio) melompat dan sekali tangannya menyambar, ia telah menangkap seorang tosu terdekat. Tosu itu mencoba untuk menangkis, akan tetapi sekali totok tubuhnya lumpuh dan leher bajunya sudah dicengkeram oleh nona yang gagah ini!
"Ayoh, antar aku ke Can-tee-gak!"
It Cin Cu tersenyum kecil dan Ji Cin Cu tertawa lebar. "Hayaa, sute, kau benar-benar sial!" katanya kepada tosu yang ditangkap oleh nona Thio yang sebenarnya bernama Thio Li Hoa. Nona ini adalah murid terkasih dari ketua Coa-tung Kai-pang (perkumpulan pengemis tongkat ular) dan selain mewarisi ilmu silat ketua Coa-tung Kai-pang, iapun sudah mewarisi kepandaian tunggal ayahnya, Thio-ciangkun. Maka biarpun tiga orang pengemis tongkat ular adalah terhitung suheng-suhengnya, namun dalam ilmu silat, kiranya dia tidak akan kalah oleh mereka.
It Cin Cu memandang kepada Thio Li Hoa dengan mata tajam. "Nona Thio, kau sungguh tidak memandang kami. Setelah kami berterus terang, mengapa menggunakan kekerasan? Tanpa mengeluarkan kepandaianmu, kami tentu bersedia mengantarmu membuktikan kebenaran ceritaku tadi."
Mendengar ini, Li Hoa menjadi merah mukanya, akan tetapi dasar ia keras hati, ia hanya mendengus dan melepaskan cekalannya. Tosu itu ketika dilepaskan, lalu roboh terkulai dengan lemas. Ji Cin Cu mendekati dan sekali menepuk, tosu itu sudah sembuh kembali. Melihat ini, diam-diam Li Hoa memuji. Tak disangkanya, tosu gemuk pendek yang selalu tertawa itu demikian lihainya.
"Nona Thio, ketahuilah. Can-tee-gak berada di sebelah belakang puncak ini. Kau jalan dari sini ke belakang sampai dua li, membelok ke kiri setengah li dan tibalah kau di jurang Can-tee-gak. Dengan kepandaianmu, kau tentu akan dapat menuruni jurang itu dan memeriksa bocah she Cia yang menjadi tangkapan kami itu. Nah, tanpa diantarpun tentu nona tidak takut pergi seorang diri, bukan?" Ucapan Ji Cin Cu yang disertai suara ketawa ini memang dia sengaja. Tadi tosu itu diam-diam merasa mendongkol melihat kekasaran nona ini yang menghina seorang sutenya, maka ia sekarang sengaja memanaskan hati untuk membalas biar nona itu pergi sendiri mencari Cia Han Sin di tempat tahanannya. Ia tahu bahwa tidak mudah menuruni Can-tee-gak, maka sengaja ia berkata bahwa tentu nona itu tidak takut.
Memang Li Hoa berwatak keras. Mana dia kenal takut? Apalagi setelah orang berkata demikian tentu saja ia malu kalau tidak berani pergi sendiri. Ia tersenyum mengejek, tubuhnya berkelebat dan terdengar suaranya. "Kau lihat saja apakah aku tidak dapat menyeretnya ke sini!"
"Sumoi, biar aku menemanimu," kata seorang pengemis sambil menggerakkan kaki hendak mengejar. Namun bayangan gadis itu yang sudah tidak kelihatan lagi menjawab dari jauh. "Tidak usah, suheng, jangan bikin aku ditertawai orang!" Pengemis itu menggeleng kepala, menarik napas panjang lalu memandang kepada Ji Cin Cu dengan mata melotot.
"Ha ha ha ha!" Ji Cin Cu yang dipelototi tertawa bergelak. "Nona itu jauh lebih berani dari suheng-suhengnya. Kagum, kagum.....!"
It Cin Cu lalu mempersilakan tamu-tamunya mengambil tempat duduk dan dia lalu melanjutkan upacara sembahyang yang tadi tertunda. Peti mati ditutup lagi dan upacara dilanjutkan dengan penuh khidmat sehingga tiga orang pengemis tua itu merasa tidak enak untuk mengganggu. Namun diam-diam mereka tidak bisa duduk diam dan hati mereka kebat-kebit kalau mengingat sumoi mereka yang pergi seorang diri hendak mengambil tawanan yang akan mereka paksa untuk mengaku siapa adanya pembunuh Ban Kim Cinjin.
Setelah upacara sembahyang selesai, It Cin Cu lalu minta kepada Tok-gan Sin-kai untuk menceritakan apakah sebetulnya tugas mereka dan usul apa gerangan yang diajukan oleh pemerintah Ceng kepada Cin-ling-pai. Dengan suara tinggi dan memperlihatkan sikap bangga sebagai utusan pemerintah Ceng, Tok-gan Sin-kaiyang kini setelah Ban Kim Cinjin tewas boleh dibilang menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin rombongan, lalu berkata,
"Karena ternyata bahwa pemerintah baru telah diperkenankan oleh Thian (Tuhan) memimpin rakyat, sudah sepatutnya kalau para orang gagah membantu pemerintah baru ini mengenyahkan segala kekacauan dan membantu penertiban di kalangan rakyat. Ada beberapa gelintir manusia tak tahu diri coba memberontak dan membangkang, aahh, tak lama lagi tentu mereka ini akan digilas hancur. Cin-ling-pai selama ini tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan pemerintah baru, hal ini amat menggirangkan hati Thio-ciangkun yang bertugas menertibkan para perkumpulan orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, totiang, sikap diam tidak bermusuhan saja masih belum sempurna. Untuk mempererat hubungan dan kerja sama demi kepentingan rakyat jelata, sudah sepatutnya kalau Cin-ling-pai menggunakan kekuasaan dan nama besarnya untuk membantu usaha pemerintah. Dan adalah harapan besar dari Thio-ciangkun agar Cin-ling-pai suka mencari surat wasiat Lie Cu Seng yang lenyap di tangan mendiang Cia Sun si pemberontak di Min-san."
Tok-gan Sin-kai berhenti bicara dan matanya yang tinggal satu itu memandang wajah It Cin Cu dan Ji Cin Cu bergantian dengan sinar mata penuh selidik dan tajam. Namun wajah It Cin Cu yang keren itu tidak memperlihatkan bayangan isi hatinya, tetap keren dan tenang, sedangkan wajah Siauw-bin-hud Ji Cin Cu tetap tersenyum-senyum seperti orang kegirangan, tidak ada perubahan apa-apa. Padahal dibalik "kedok" muka ini, di dalam dada dua orang tosu Cin-ling-pai ini timbul gelombang hebat mendengar ucapan Tok-gan Sin-kai.
Mereka tahu bahwa dengan cara licin memutar, pemerintah Ceng telah minta bukti dari Cin-ling-pai bahwa perkumpulan ini tidak menentang pemerintah Ceng dan suka melakukan perintahnya. Kalau memang pemerintah baru ini menghendaki surat wasiat itu, mengapa harus minta bantuan Cin-ling-pai dan tidak mengerahkan kaki tangannya sendiri yang banyak dan lihai-lihai? Akan tetapi It Cin Cu yang berwatak jujur, tidak sanggup menjawab dan diam saja. Sebaliknya, Ji Cin Cu yang selalu tertawa itu ternyata memiliki otak yang lebih cerdik. Sambil tertawa-tawa ia mengutarakan isi hatinya ini dengan cara memutar pula.
"Lo-sicu, kami dari Cin-ling-pai memang tidak mempunyai maksud bermusuh dengan siapapun juga, apa lagi dengan pemerintah yang berkuasa. Juga orang-orang bodoh seperti kami, yang setiap hari hanya menyucikan diri dan sedapat mungkin menjauhi urusan dunia, mana ada kesanggupan dan kemampuan untuk mencari surat wasiat yang demikian pentingnya? Kalau lo-sicu sudah tahu bahwa surat wasiat itu berada di tangan Cia-enghiong di Min-san, bukankah kau orang tua tinggal datang ke sana dan mengambilnya saja?"
Nama besar Cia Sun sebagai keturunan pahlawan dan juga sebagai seorang pendekar besar, biarpun kepandaiannya belum begitu hebat, sudah terkenal di seluruh dunia dan mendapat penghormatan besar dari pada para ciang-bun-jin (ketua) partai dan orang-orang gagah. Maka Ji Cin Cu juga menyebutnya Cia-enghiong (pendekar Cia), tidak seperti Tok-gan Sin-kai yang menyebut si pemberontak tadi.
Tok-gan Sin-kai tersenyum pahit dan menjawab, "Tidak semudah itu, Ji Cin Cu totiang! Memang kami sudah menyelidik ke Min-san, akan tetapi puncak itu kosong dan kabarnya dua orang anak keturunan Cia Sun sudah turun gunung. Tentu surat wasiat itu mereka bawa pergi."
Tiba-tiba hati It Cin Cu dan Ji Cin Cu berdebar, akan tetapi dua orang tosu yang sudah tinggi kepandaiannya ini dapat menekan perasaan mereka dan wajah mereka tidak berubah sama sekali. Akan tetapi dari pandang mereka masing-masing tahu apa yang terkandung di hati mereka.
Bocah yang aneh itu she Cia dan datang bersama seorang adik perempuannya, apakah tidak mungkin mereka itu anak-anak dari pendekar Cia Sun? Kalau benar demikian halnya, mereka sebagai orang-orang gagah yang amat mengagumi Cia Hui Gan dan Cia Sun, tentu saja tidak akan membiarkan pemuda itu terjatuh ke dalam tangan kaki tangan pemerintah Ceng! Karena pikiran ini, mereka lalu bersikap tenang dan diam, namun berjanji dalam hati untuk melindungi pemuda itu kalau benar dia keturunan Cia Hui Gan dan Cia Sun.
Dengan amat nyaman Han Sin yang di"hukum" di Can-tee-gak (Ruangan Dalam Neraka) bukannya mengeluh dan berkuatir, malah tidur nyenyak sekali. Tempat itu yang diapit batu karang tinggi merupakan terowongan untuk angin gunung maka tubuhnya serasa dikipasi dan sejuk sekali. Setelah kenyang tidur, tiba-tiba ia bangun ketika telinganya mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara cecowetan.
"Siauw-ong, kau di mana?" tegurnya. Tak salah lagi, itulah suara monyetnya. Akan tetapi ia tidak melihat monyet itu dan suara monyetnya terdengar dari atas. Tahulah ia bahwa tentu Siauw-ong berada di atas jurang. Tiba-tiba ia menjadi gelisah. Kalau Siauw-ong muncul, tentu muncul pula Bi Eng. Bukankah monyet itu tadi pergi mengikuti adiknya? Dan kalau Bi Eng kembali, tentu adiknya yang berwatak keras dan berani itu akan bentrok dengan para tosu Cin-ling-pai.
"Siauw-ong! Eng-moi! Kalian pergilah dari sini, biar nanti aku menyusul!" serunya ke atas. Akan tetapi tidak terdengar jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Malah suara Siauw-ong tidak terdengar lagi. Ia menarik napas lega. Mudah-mudahan mereka mau menuruti permintaanku dan melarikan diri, pikirnya.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa ketika ia tadi tertidur, seorang gadis yang cantik telah menuruni jurang itu melalui seutas tambang. Dengan gerakan lincah melebihi seekor kera gadis itu, Thio Li Hoa, telah menuruni Can-tee-gak untuk melihat sendiri kebenaran cerita tosu-tosu Cin-ling-pai tentang seorang pemuda she Cia yang sudah membunuh Ban Kim Cinjin. Gadis ini memang cerdik sekali, melebihi para suhengnya, maka begitu mendengar seorang pemuda bershe Cia, timbul kecurigaannya.
Tidak semata-mata ia hendak menyelidiki kebenaran cerita para tosu itu, melainkan ia menaruh dugaan bahwa mungkin sekali pemuda dan adik perempuannya itu adalah keturunan Cia Sun yang sudah turun gunung. Cia Sun seorang pendekar besar, tidak aneh apabila mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi. Kalau ia dapat menemui pemuda itu dan mendahului orang lain merampas surat wasiat Lie Cu Seng, bukankah ini baik sekali? Seluruh orang pandai di dunia kang-ouw mengilar untuk mendapatkan surat wasiat itu, apa lagi dia! Terpincuk oleh harta terpendam? Cih, siapa memikirkan harta terpendam?
Sesungguhnya, bukan harta terpendam, melainkan kitab rahasia yang hebat, kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa dan tiada keduanya di dunia ini. Itulah kitab pelajaran peninggalan Tat Mo Couwsu yang paling dirahasiakan, yang kabarnya terjatuh ke dalam tangan Lie Cu Seng namun belum ada seorangpun manusia sempat mempelajari isinya.
Kitab yang tiada bandingannya di dunia lebih berharga dari pada harta dunia yang paling mahal, yang dibuat rindu oleh semua tokoh kang-ouw! Inilah yang membuat gadis cerdik ini tergesa-gesa mencari Cia Han Sin karena ia menduga bahwa pemuda ini tentulah putera Cia Sun dan membawa surat wasiat.
Ketika Li Hoa berhasil menuruni dasar jurang Can-tee-gak, ia melihat seorang pemuda sedang tidur pulas dengan duduk bersandar pada batu karang. Hatinya terkesiap dan jantungnya berdebar ketika ia melihat Han Sin. Tak disangkanya ia akan menjumpai seorang pemuda setampan ini dan segagah ini. Dalam tidur, biarpun dalam keadaan terbelenggu dan berada di dasar jurang dalam, bibirnya masih tersenyum dan pada wajah yang amat tampan itu seujung rambutpun tidak kelihatan tanda gelisah atau ketakutan.
Melihat wajah pemuda ini, diam-diam Li Hoa merasa denyut jantungnya menjadi cepat sekali dan kedua pipinya menjadi panas. Aneh, mengapa aku menjadi begini? Demikian pikir gadis itu dengan heran. Ketika itu, Han Sin menggerakkan sebelah kakinya dan cepat ringan bagaikan seekor burung walet, gadis itu sudah melompat dan menyelinap bersembunyi ke balik sebuah batu disebelah kanan pemuda itu. Ia mengintai dari tempat sembunyinya dan diapun mendengar suara cecowetan seekor monyet dari atas jurang.
Ketika pemuda itu memanggil-manggil nama monyet itu dan nama adik perempuannya, hati Li Hoa girang bukan main. Ketika ayahnya menyuruh orang menyelidik ke Min-san, diapun mendengarkan laporan penyelidik-penyelidik itu bahwa Min-san sudah ditinggal pergi oleh putera dan puteri Cia Sun yang turun gunung membawa seekor monyet. Tak salah lagi, inilah putera Cia Sun dan tentu dia inilah yang membawa pergi surat wasiat itu! Aku harus cepat turun tangan, jangan sampai didahului oleh para tosu Cin-ling-pai, pikirnya, Maka keluarlah ia dari tempat persembunyiannya.
Akan tetapi pada saat itu, Han Sin berseru girang dan dari atas meluncur turun bayangan hitam kecil yang merosot dengan amat cepatnya. Li Hoa kaget sekali. Dia sendiri tidak akan dapat meluncur turun melalui tambang secepat itu. Kalau lawan yang datang ini, tentu hebat kepandaiannya. Akan tetapi setelah dekat, ternyata yang meluncur itu adalah seekor monyet yang kecil yang kini sudah tergantung-gantung di atas kepala Han Sin.
"Siauw-ong, kau turun juga? Mana nonamu?" tegur Han Sin yang masih belum melihat bahwa kini Li Hoa sudah berdiri di belakang batu.
Siauw-ong lebih awas. Monyet ini mengeluarkan bunyi nyaring dan cepat meloncat turun, lalu membalikkan tubuh menghadapi Li Hoa dengan mulut meringis memperlihatkan taring-taringnya. Baru sekarang Han Sin menengok dan ia kaget bukan main. Matanya melongo memandang wajah gadis yang cantik bukan main ini. Bagaimana di tempat ini ada seorang gadis sedemikian cantik manisnya? Tentu seorang dewi dari kahyangan, pikirnya. Kalau manusia biasa, mana bisa seorang gadis selemah itu menuruni tempat ini?
"Siauw-ong, mundur kau! Jangan kurang ajar!" bentaknya keras melihat sikap Siauw-ong hendak menyerang nona itu. Siauw-ong tidak berani membantah perintah tuannya, lalu melompat mundur dan duduk di atas pundak Han Sin, mengeluarkan bunyi sedih melihat tubuh pemuda itu dibalut rantai-rantai besi yang amat besar dan kuat.
Li Hoa melangkah maju dan Han Sin segera mencium bau harum yang keluar dari pakaian gadis itu yang indah dan mewah. Melihat dandanan dan sanggul yang indah luar biasa itu, Han Sin tidak sangsi lagi bahwa ini tentulah seorang dewi. Ia seringkali membaca dongeng-dongeng tentang dewi dan dewa, maka cepat ia berlutut, dan mengangguk-anggukan kepalanya sambil berkata.
"Hamba Cia Han Sin yang penuh dosa mohon ampun bahwa hamba tidak dapat menyambut kedatangan dewi yang bijaksana!"
Ia mengira akan mendengar jawaban yang merdu dan berpengaruh seperti layaknya suara seorang dewi, akan tetapi alangkah herannya ketika ia sebaliknya mendengar suara ketawa kecil cekikikan karena geli hati. Celaka, pikirnya, teringat akan dongeng-dongeng dalam buku-bukunya, kalau dewi tidak pernah tertawa seperti ini, kecuali siluman! Dia siluman.....!
Ia memberanikan hati dan mengangkat muka, akan tetapi tidak melihat gadis itu tertawa lagi, melainkan melihat wajah yang keren, cantik sekali, dan agung. Memang watak Li Hoa tidak periang dan gadis ini keras hati serta angkuh. Tapi melihat sikap Han Sin tadi, ia tidak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawa. Baiknya ia cepat dapat menguasai hatinya lagi sehingga ketika pemuda itu mengangkat muka, ia sudah dapat menggigit bibirnya dan memandang tajam dengan muka merah.
"Tak usah main gila, aku bukan dewi segala macam!" bentaknya ketus.
"... kau bukan.... bukan....." kata Han Sin gagap karena masih bingung oleh jalan pikirannya sendiri tadi.
"Bukan apa?" bentak Li Hoa lebih ketus lagi.
Han Sin tak dapat menjawab. Tak mungkin ia melanjutkan kata-katanya yang kurang kata-kata "siluman betina" tadi. Ia hanya menjawab, "Aku tidak menyangka di tempat ini dapat bertemu dengan nona, maka aku menjadi kaget dan bingung. Harap nona suka memaafkan sikapku tadi," katanya dan mukanya menjadi merah saking jengah mengingat sikapnya tadi.
Gadis itu mendengus kecil lalu duduk di atas sebuah batu di depan Han Sin. Mata yang jeli itu memandang penuh selidik, dan ia berhasil menyembunyikan kekagumannya melihat potongan tubuh dan wajah pemuda itu.
"Aku turun ke sini untuk memeriksamu. Siapa namamu?"
Sampai lama Han Sin tidak dapat menjawab. Ia terheran-heran. Yang menangkapnya adalah tosu-tosu Cin-ling-pai dan tadi ia hanya melihat banyak sekali tosu-tosu tua muda, tidak seorangpun ada wanitanya. Bagaimana sekarang tahu-tahu muncul seorang gadis secantik bidadari datang untuk memeriksa perkaranya? Saking tercengang dan heran, ia sampai tidak mendengar pertanyaan tadi.
"Hei! Siapa namamu?" Li Hoa mengulang.
Han Sin sampai menjumbul (tersentak), tapi dengan senyum tenang ia menatap wajah penanyanya. "Ah, sampai kaget aku. Kenapa sih nona yang belum mengenal aku sudah membentak-bentak seperti orang marah? Apakah ada sesuatu yang menjengkelkan hatimu, nona?" Han Sin memang berhati mulia dan halus. Melihat orang marah-marah itu ia salah duga dan mengira nona ini sedang mengandung kejengkelan, maka ia berusaha menghibur malah.
"Jangan banyak cerewet. Jawab, siapa namamu?" Li Hoa membentak, makin keras karena marah dan mengira Han Sin mempermainkannya.
Han Sin menarik napas panjang. "Kasihan, semuda ini sudah banyak mengalami kejengkelan hati. Bisa lekas tua....."
"Plak! Plak!" Dua tamparan tangan Li Hoa jatuh di pipi kanan kirinya. Di pipi yang putih itu tampak membekas merah lima jari tangan Li Hoa. Tentu pedas dan sakit rasanya, akan tetapi Han Sin hanya tersenyum saja. Dia seorang pemuda yang berani, tenang dan kuat menderita.
"Terima kasih, nona," katanya dengan senyum dikulum.
Tak kuat Li Hoa menghadapi senyum itu, apalagi pancaran sinar mata yang tajam luar biasa dari pemuda aneh ini, jantungnya berdenyut dan pipinya menjadi merah, lebih merah dari pipi Han Sin yang sudah mulai menghilang tapak jarinya.
"Habis kau.... kau kurang ajar sih...." katanya perlahan seperti pernyataan menyesal bahwa ia sudah memukul orang yang begini halus.
Han Sin mengangkat alisnya. "Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar. Baiklah, kujawab pertanyaanmu tadi. Namaku Cia Han Sin, dan kau siapa, nona?"
"Kau putera Cia Sun?" tanya lagi Li Hoa tanpa menjawab pertanyaan orang.
"Eh, bagaimana kau bisa tahu? Apa kau kenal orang tuaku? Sayang ayah sudah meninggal, kalau belum aku dapat menanyakan namamu kepadanya."
Li Hoa tidak memperdulikan ucapan orang, hatinya terlampau girang mendapat kenyataan bahwa dugaannya tadi benar. Nafsunya untuk mendapatkan surat wasiat tak dapat ditahannya lagi. "Orang she Cia, kau tentu membawa surat wasiat Lie Cu Seng, betul tidak?" Suaranya sampai menggetar saking tegang hatinya.
Han Sin bukannya tidak tahu bahwa orang-orang kang-ouw menghendaki surat wasiat itu dan iapun mengerti bahwa dia harus merahasiakannya. Akan tetapi melihat seorang gadis cantik dan muda seperti gadis ini juga ikut memperebutkannya, ia menjadi penasaran. Ia tertawa masam dan menjawab, "Eh nona! Kenapa kau tahu segala? Tahu ayahku, tahu tentang surat wasiat segala. Benar-benar kau hebat, siapa sih kau?"
"Namaku Li Hoa, she Thio. Cia Han Sin, tahukah kau bahwa jiwamu terancam karena kau membawa-bawa surat wasiat itu? Semua orang jahat di dunia menghendakinya. Kaupun dikurung di sini karena kau menyimpan surat itu. Kau berikanlah kepadaku dan aku akan bantu kau melarikan diri dari tempat ini." Tiba-tiba sikap Li Hoa menjadi manis sekali, ramah dan kerling matanya memikat.
Kini Han Sin tertawa sungguh-sungguh. Ha ha ha, begini baru manis kau, Li Hoa. Orang secantik engkau memang seharusnya ramah tamah, baru patut. Akan tetapi kau tadi bilang bahwa orang-orang jahat di dunia menghendaki surat itu, kurasa kau keliru. Bukan hanya orang-orang jahat, malah orang-orang baik dan cantik seperti engkau sekalipun menghendakinya!"
WAJAH Li Hoa menjadi merah akan tetapi ia tersenyum. Dia dipuji-puji orang, tentu saja hatinya senang, biarpun dia seorang gadis yang keras hati. "Aku tidak menghendaki harta benda, aku hanya ingin menolongmu supaya kau terhindar dari gangguan orang jahat."
"Eh, kenapa kau begini baik hati? Kita baru saja bertemu," kata Han Sin sambil tertawa, pandang matanya tidak percaya dan curiga.
"Sudahlah, kau dibaiki orang tidak mengerti. Kelak kuceritakan semua. Sekarang lebih baik kuambil dulu surat itu darimu." Setelah berkata demikian, tangan Li Hoa digerakkan dan menggeledahi pakaian di tubuh Han Sin. Sepuluh buah jari tangan yang runcing halus dan kecil-kecil itu seperti sepuluh ekor ular menggelitik tubuh Han Sin. Pemuda ini tidak tahan lagi dan tertawa terkekeh-kekeh. "Ha ha hi hi, ah gelinya. Aduhh.... aduh geli, jangan kau kitik-kitik aku, nona.....!"
Li Hoa makin jengah dan segera menghentikan geledahnya. Ternyata dia tidak mendapatkan surat itu biarpun kedua tangannya sudah menggeledah ke sana-sini hingga menyentuh tubuh pemuda itu. Memikirkan perbuatannya tadi, diam-diam ia merasa lucu dan malu, juga jantungnya berdebar makin keras. Selama hidupnya belum pernah jari-jari tangannya menyentuh kulit tubuh seorang pemuda seperti ini.
"Kau tidak mau memberikan, sih. Awas, akan kukitik-kitik lagi kau sampai tidak kuat dan mati kaku kalau kau tidak memberitahu kepadaku di mana kau simpan surat wasiat itu."
Han Sin menahan tawanya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Nona.....eh, Li Hoa, kau anak baik, kalau adikku melihatmu tentu dia senang. Sayang kita berkenalan dalam keadaan seperti ini. Dengarlah, surat yang kau maksudkan itu tidak mungkin kuberikan kepada lain orang, karena memang menjadi hak milikku sebagai warisan ayah. Selain itu, kuberitahukan juga kepadamu, tak mungkin kau bisa mengambilnya."
"Masa? Coba kau beritahukan di mana. Aku pasti dapat mengambilnya. Kau kira aku begitu bodoh dan lemah?" tantang Li Hoa, hatinya girang sekali. Kiranya pemuda ini seorang yang tolol, pikirnya. Tampan dan kelihatan cerdik pandai, akan tetapi sesungguhnya tolol dan lemah. Maka ia memperlihatkan sikap seramah itu, sungguh berlawanan dengan tabiatnya yang biasanya keras dan kaku. Menghadapi seorang pemuda tolol harus menggunakan siasat halus, pikirnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Han Sin sama sekali tidak tolol, melainkan seorang yang amat jujur dan terlalu percaya kepada orang karena bagi dia yang selalu hidup dalam kitab-kitab sucinya, manusia di dunia ini kesemuanya baik-baik belaka, malah ia belum begitu percaya ada orang bisa berhati jahat!
Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak. "Tidak.... tidak.... kau takkan berani mengambilnya, Ha ha ha!"
"Aku tidak berani? Asal tidak di neraka, aku akan menempuh api menyeberang laut, aku akan berani mengambilnya," jawab Li Hoa agak mendongkol. Dia gadis paling berani di dunia ini menurut pendapatnya, masa pemuda ini bilang dia takkan berani?
"Aku tidak bisa memberitahukan, aku.... aku... ah, memalukan!"
Gadis itu melengak. Apakah pemuda ini sudah miring otaknya. Ia mendongkol dan merasa dipermainkan, akan tetapi ia masih ragu-ragu dan memaksa diri berlaku manis. "Han Sin yang baik, kau beritahukanlah, aku pasti akan berani mengambilnya. Ini demi kebaikanmu sendiri, tahu? Kalau harta benda itu terjatuh ke dalam tanganku, aku Thio Li Hoa bersumpah akan menyerahkan semua harta itu ke tanganmu. Aku sudah cukup kaya, aku tidak butuh lagi harta dunia."
Han Sin memandangnya. "Li Hoa, aku tahu kau anak baik. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi sudah kukatakan, surat itu warisan ayah, tak boleh diberikan kepada orang lain. Selain itu, juga.... juga takkan dapat kau mengambilnya, karena kusimpan.... kusimpan...."
"Di mana....??" Li Hoa berteriak tak sabar lagi.
"Di dalam... di dalam celana.... kuikatkan dibalik celanaku. Nah, kau memaksa aku mengaku sih, bukannya aku tak tahu malu. Apa kau berani mengambilnya? Kurasa tidak mungkin kau gadis baik-baik dan sopan."
Tadinya mata gadis itu membelalak lebar, kemudian ia menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, di lain saat Li Hoa sudah tertawa bergelak, akan tetapi hanya sebentar saja. Sementara itu, melihat gadis itu tidak mengganggu Han Sin, monyet Siauw-ong sejak tadi memandang gerak-gerik mereka dan ikut tertawa dan melonjak-lonjak girang tiap kali melihat dua orang itu tertawa. Sekarangpun ia tertawa sambil berloncat-loncatan.
"Han Sin, kau benar. Aku tidak berani mengambilnya. Akan tetapi akupun tidak percaya kepadamu, kau tentu bohong."
"Selama hidupku, aku Cia Han Sin tidak pernah bohong dan tidak akan mau membohong!" bentak Han Sin marah.
"Kalau betul tidak bohong, tunjukkan buktinya. Seorang laki-laki harus berani membuktikan kebenaran omongannya!"
"Mana bisa? Kedua tanganku dirantai."
"Tunggulah, akan kubebaskan kau!" kata Li Hoa dan "srett!" pedangnya telah ia cabut. Melihat pedang ini, Siauw-ong mengeluarkan pekik kaget dan tiba-tiba ia menyerbu, meloncat tinggi dengan tangan kiri berusaha merampas pedang dan tangan kanan mencengkeram ke arah leher Li Hoa.
Kaget sekali gadis ini menyaksikan gerakan yang begitu cepat dan lincah, juga tidak secara ngawur, melainkan gerakan seorang ahli silat! Biarpun ia sudah mengelak ke kiri, namun ujung lengan bajunya kena disambar dan robek! Boleh jadi gadis ini seorang ahli silat tinggi, murid kesayangan ketua Coa-tung Kai-pang, akan tetapi monyet inipun bukan monyet sembarangan. Dia seorang "murid" tak langsung dari Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang ilmunya tidak kalah oleh Coa-tung Sin-kai ketua dari Coa-tung Kai-pang!
"Siauw-ong, jangan kurang ajar. Mundur kau! Nona itu bukan hendak membunuhku, melainkan hendak menolongku. Mundur!" Benar saja, Siauw-ong mentaati perintah ini dan dia melompat mundur, akan tetapi sepasang matanya yang kecil masih memandang tajam penuh curiga ke arah Li Hoa.
Gadis ini kagum sekali. "Eh, Han Sin. Monyetmu ini ternyata lebih setia dari pada manusia biasa. Kepandaiannya pun lumayan. Coba kau berdiri membelakangiku, biar kuputuskan rantai ini."
Dengan tenang dan penuh kepercayaan, pemuda itu berdiri lalu membelakangi Li Hoa. Gadis itu makin terharu. Benar-benar seorang pemuda yang hebat, penuh keberanian, jujur dan amat baik hati, terlalu baik hati. Kalau dia mau, bukankah sekali tabas saja ia akan dapat menewaskan pemuda itu. Pedangnya diangkat, sinar berkelebat disambung bunyi nyaring dan ternyata rantai itu telah putus oleh sabetan pedang di tangan Li Hoa!
Siauw-ong memekik dan meloncat-loncat kegirangan sedangkan Han Sin lalu meloloskan rantai yang sudah putus itu dari tubuhnya. Ia menarik napas dan memandang kagum kepada Li Hoa.
"Li Hoa, melihat adikku yang bisa belajar silat aku heran. Sekarang ternyata kaupun seorang gadis muda sudah memiliki kepandaian silat dan begini kuat, benar-benar aku menjadi makin heran. Untuk apa sih gadis-gadis cantik jelita belajar silat dan menjadi kuat dan kasar seperti laki-laki. Bukankah lebih baik kalau gadis cantik halus lembut dan lemah gemulai?"
"Jangan ngaco! Lekas kau ambil surat itu kalau memang kau tidak membohongiku!" kata Li Hoa tidak sabar lagi.
"Akan tetapi hanya untuk bukti bahwa aku tidak bohong, sama sekali bukan hendak kuberikan kepadamu atau kepada siapapun juga," kata Han Sin sambil membalikkan tubuh membelakangi Li Hoa lalu merogoh ke dalam celananya. Dalam sebuah saku yang dipasang pada balik celananya, di situlah selama ini ia menyimpan peta kuno itu. Ketika ia membalikkan tubuh lagi menghadapi Li Hoa, ia sudah memegang peta itu dengan wajah berseri.
"Aku Cia Han Sin tak pernah membohong. Inilah wasiat itu!"
Tiba-tiba tangan kiri Li Hoa menyambar dan peta itu sudah direbutnya. Terdengar suara kertas robek dan ternyata peta itu sudah robek menjadi dua potong, sepotong di tangan Li Hoa dan yang sebelah lagi di tangan Han Sin. "Eh, kau... kenapa kau merampasnya?" teriak Han Sin marah.
Li Hoa tersenyum, pedangnya bergerak menodong di depan dada Han Sin.
"Tolol, memangnya kau kira nonamu suka bercanda denganmu? Berikan yang sebelah lagi, kalau tidak ujung pedangku akan menembusi dadamu!"
Melihat ini, Siauw-ong marah dan menyerang akan tetapi Han Sin mencegahnya. "Jangan Siauw-ong! Nona ini hanya main-main!" Siauw-ong mundur lagi. Binatang ini memang paling taat dan takut kepada Han Sin.
"Li Hoa, jangan kau begini. Apa kau tidak malu?"
"Tutup mulut, berikan potongan yang di tanganmu itu!"
Han Sin tertawa getir. Ia kecewa. Baru sekarang terbuka matanya bahwa gadis ini memang benar-benar menghendaki surat wasiat, bahwa sikap yang ramah tadipun hanyalah pura-pura sebagai siasat merampas surat wasiat. Kembali ia dikecewakan orang. Ia tertawa-tawa keras. "Ha ha ha, Li Hoa, tidak ada gunanya potongan peta ditanganmu itu. Itu hanya corat-coret tidak ada artinya. Penjelasannya berada di tanganku ini. Dan kau takkan bisa mendapatkannya, biarpun kau akan menusuk mampus dadaku."
Setelah berkata demikian, dengan hati gemas Han Sin meremas peta di tangannya itu. Ia tidak sengaja hendak merusak peta itu karena tidak tahu bahwa ia akan dapat melakukannya. Akan tetapi begitu ia mengerahkan tenaga karena marah dan kecewanya, mengalirlah tenaga ke dalam jari-jari tangan yang memegang peta, terdengar suara aneh dan...... tahu-tahu potongan peta di tangannya itu menjadi hancur berkeping-keping tak mungkin bisa dibaca atau disambung lagi. Ia menyebar kepingan kertas itu ke atas dan sambil tertawa ia melihat kepingan itu diterbangkan oleh angin, sebagian jatuh di atas rambut kepala Li Hoa dan menambah kecantikannya.
" Ha ha ha, kau lihat tidak, Li Hoa? Potongan di tanganmu itu tidak ada artinya sama sekali!"
Li Hoa buru-buru melihat potongan peta itu dan benar saja, di situ hanya terdapat gambar sebagian gunung dan lembah, tidak ada huruf-hurufnya sama sekali. Bagaimana orang dapat mengenal gambar sebelah gunung tanpa tanda-tanda yang jelas. Diapun kaget melihat pemuda itu sekali remas dapat menghancurkan kertas yang tipis dan lunak. Tanpa memiliki lweekang yang tinggi, mana bisa melakukan hal itu? Meremas hancur sepotong batu yang keras masih lebih mudah dilakukan dari pada meremas hancur sepotong kertas yang lunak dan ulet.
Akhirnya ia menyimpan potongan itu ke dalam saku bajunya lalu berkata, "Han Sin, kau benar-benar tolol. Kau tidak mau memberikan peta itu kepadaku, sebaliknya malah merusaknya. Setelah rusak di tanganmu, bagaimana kau akan dapat memenuhi kehendak ayahmu supaya kau mencari rahasia peta itu?"
Han Sin memang jujur. Biarpun gadis cantik ini sudah menipunya, dia tidak merasa sakit hati, tidak menaruh dendam. "Bukan aku yang tolol, Li Hoa, mungkin kau sendiri. Apa aku mau merusaknya sebelum semua isi peta itu pindah ke dalam ingatanku? Bagiku sama saja, ada peta atau tidak."
Li Hoa memandang tidak percaya. Han Sin menjadi penasaran. Dia sejak kecil hanya hidup berdua dengan adiknya dan tiga orang pelayan. Belum pernah mempunyai teman lain dan sekarang bertemu dengan Li Hoa, dia merasa senang. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja pemuda ini masih mempunyai sifat ingin dipuji kepandaiannya. Maka cepat ia berjongkok di atas tanah. "Kau lihat, bukankah bagian yang ada padamu itu seperti ini?"
Jari telunjuknya mencorat-coret di atas tanah dan mata Li Hoa membelalak kaget. Memang, persis sekali gambar itu dengan gambar pada peta yang ia rampas! Diam-diam ia menjadi girang sekali. Kalau begitu, asal dia bisa menawan pemuda ini, perlahan-lahan ia dapat membujuknya untuk menggambar kembali peta yang tadi sudah diremasnya sampai hancur. Memang Li Hoa menghendaki peta kertas, akan tetapi kalau peta kertas sudah rusak, peta di dalam otak pemuda inipun boleh juga. Ia tersenyum manis sekali ketika berkata,
"Han Sin, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tadi hanyalah ingin mencoba kepandaianmu saja. Untuk apa bagiku peta ini? Kau lihatlah baik-baik!" Ia lalu mengeluarkan peta sepotong tadi dan dirobek-robeknya sampai hancur. Tidak dapat ia meremasnya seperti yang dilakukan Han Sin tadi. Pemuda itu menjadi girang sekali.
"Ah, kiranya aku tadi salah sangka. Memang aku tahu kau baik sekali, Li Hoa."
"Sekarang kau ikutlah aku keluar dari neraka ini. Biar aku yang membujuk para tosu supaya kau dibebaskan."
Han Sin mengangguk-angguk. "Memang akupun tidak percaya para tosu itu akan mengurungku selama hidup di tempat ini." Ia memandang ke atas, lalu menggeleng-geleng kepala. "Tempat begini tinggi, bagaimana aku bisa keluar dari sini?"
"Bukankah sudah kupasangi tambang? Monyetmu tadipun bisa turun melalui tambang."
"Monyetku tentu bisa, akan tetapi aku bukan monyet."
"Eeh, kau jadinya mau menyamakan aku dengan monyet?" Li Hoa cemberut dan hendak menampar pipi pemuda itu, akan tetapi ia teringat bahwa tadipun ia sudah menampar dua kali, maka sebagai gantinya, jari tangannya mencubit pundak orang.
"Aduh, cubitanmu sama sakitnya dengan tamparanmu." Han Sin tertawa dan memandang wajah gadis yang kemerahan itu. "Aku tidak hendak memakimu, hanya terus terang saja, kau dan Siauw-ong tentu bisa memanjat naik, akan tetapi aku... ah, aku tidak bisa."
Entah mengapa, setelah bercakap-cakap dengan pemuda itu beberapa lamanya di dasar Can-tee-gak, timbul perasaan mesra dalam hati Li Hoa. Tanpa ia sadari, rupanya ia telah jatuh cinta kepada pemuda ini, biarpun suara hatinya sendiri itu ia bantah keras-keras terdorong oleh wataknya yang keras. Ia berusaha bersikap kasar dan memperlihatkan kekejaman terhadap Han Sin, namun beberapa kali ia jatuh.
"Tak usah banyak cakap, ayoh ku bantu!" Dengan cepat Li Hoa lalu menyambar lengan orang dan tak lama kemudian dengan bantuan gadis itu, Han Sin memanjat tambang itu ke atas. Li Hoa berada di bawahnya dan gadis inilah yang menahan tubuhnya sampai akhirnya mereka berdua tiba di atas jurang. Siauw-ong yang mengikuti dari belakang juga melompat dengan girangnya, lalu ia meloncat ke atas pundak Han Sin, telunjuknya menuding-nuding ke bawah gunung, agaknya hendak mengajak pemuda itu pergi selekasnya.
"Nonamu di mana, Siauw-ong?" tanya Han Sin yang tak pernah melupakan Bi Eng. Siauw-ong mengeluarkan suara cecowetan sambil menunjuk ke bawah puncak.
Pada saat itu, tiga orang pengemis tua nampak berlari mendatangi dengan wajah gelisah. Mereka itu setelah menanti beberapa lamanya belum melihat kembalinya Li Hoa, menjadi gelisah dan menyatakan perasaannya kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. Ji Cin Cu tertawa dan berkata, "Jangan-jangan Thio-siocia celaka pula di tangan bocah aneh itu. Lebih baik sam-wi losicu menengoknya di Can-tee-gak."
Maka pergilah tiga orang tokoh Coa-tung Kai-pang itu ke jurang Can-tee-gak dan kebetulan sekali pada saat mereka tiba di situ, Li Hoa dan Han Sin serta Siauw-ong juga sudah sampai di tepi jurang dengan selamat. Tentu saja Tok-gan Sin-kai dan kawan-kawannya menjadi lega dan girang. Sebelum mereka sampai bicara, Li Hoa sudah mengedipkan matanya lalu berkata,
"Sam-wi suheng, saudara ini memang tidak mengerti ilmu silat dan tidak mungkin dia yang membunuh Ban Kim Cinjin. Akan tetapi karena dia tersangkut dalam pembunuhan itu, biar, kita melindungi dia turun gunung dan kita pancing orang yang melakukan pembunuhan."
Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk. Tentu saja mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dalam urusan dengan pemuda ini sumoi mereka telah menyimpan rahasia, yaitu rahasia surat wasihat Lie Cu Seng. Mereka menganggap kata-kata sumoi mereka itu memang cocok dengan keadaan, maka mereka lalu menyetujuinya bulat-bulat. Hanya Han Sin yang melongo dan tidak tahu mengapa tiba-tiba nona itu bicara tentang kematian Ban Kim Cinjin dan sama sekali tidak menyinggung soal peta. Pula dia tidak kenal siapa adanya tiga orang pengemis itu.
"Nona Li Hoa, setelah kau menolongku keluar dari jurang, biarlah aku tidak mengganggu kau lebih lama. Aku hendak menyusul adikku. Aku tidak kenal dengan tiga orang lo-enghiong ini. Adapun tentang Ban Kim Cinjin, dia seorang jahat yang banyak membunuhi tosu Cin-ling-pai. Kematiannya entah sebab apa, mungkin..... aku yang membunuhnya, tapi itupun amat aneh..... ah, biarlah aku pergi."
"Cia-twako, kalau kau pergi seorang diri, apa kau kira para tosu di sini akan membiarkan kau pergi begitu saja? Kau harus ikut dengan kami."
Pada saat itu, terdengar suara orang dan muncullah It Cin Cu, Ji Cin Cu dan ketiga Cin-ling Sam-eng. Melihat pemuda she Cia sudah naik dan bercakap-cakap dengan empat orang tamunya, mereka segera menghampiri.
"Nona Thio, bukankah keterangan kami tadi benar? Mengapa bocah ini kau bawa naik?" tegur It Cin Cu. Diam-diam para tosu tadi seperginya tiga orang pengemis yang menyusul Li Hoa, berunding dan mereka mengambil keputusan untuk melindungi Cia Han Sin. Setelah mempunyai dugaan bahwa pemuda itu keturunan Cia Sun, mereka tidak bisa memeluk tangan begitu saja, menyerahkan pemuda keturunan pahlawan yang mereka kagumi itu terjatuh ke dalam kaki tangan pemerintah Ceng.
"Kami hendak membawanya sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin," kata Tok-gan Sin-kai dengan suara geram.
Ji Cin Cu tertawa. "Ha ha, nanti dulu, sobat. Pembunuhan atas diri Ban Kim Cinjin terjadi di tempat kami. Kalau kami tidak bisa membereskan sendiri perkara ini, apa akan dikatakan oleh orang-orang kang-ouw? Apakah kami orang-orang Cin-ling-pai sudah tidak becus mengurus persoalan ini? Tidak, bocah ini tidak boleh kalian bawa turun gunung."
Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serentak tiga orang pengemis tua itu mengangkat tongkat ular mereka melintang ke depan dada, dan Tok-gan Sin-kai berseru keras, "Tosu-tosu Cin-ling-pai, apakah kalian berani memberontak?"
"Omongan busuk! Siapa memberontak? Adalah kalian ini pengemis-pengemis kelaparan hendak mengacau Cin-ling-pai!" bentak Hap Tojin yang bermuka merah. Memang tosu tertua dari Cin-ling Sam-eng ini sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Ikut campurnya dua orang suhengnya sudah menimbulkan rasa tidak puas di hatinya karena biasanya semua urusan Cin-ling-pai cukup dibereskan oleh dia bertiga yang sudah terkenal dengan julukan Cin-ling Sam-eng. Sekarang ditambah oleh sikap para tamunya itu membuat darahnya menjadi panas.
Li Hoa menjadi khawatir sekali. Ia makin curiga dan menduga bahwa para tosu ini tentulah sudah tahu bahwa Han Sin adalah putera Cia Sun dan karenanya hendak menahan pemuda itu dengan maksud menyelidiki rahasia surat wasiat Lie Cu Seng. Maka ia mengejek dan berkata untuk memanaskan hati suheng-suhengnya. "Kami utusan pemerintah dan kalian menghalangi maksud kami membawa tawanan, bukankah itu sama halnya dengan memberontak?"
It Cin Cu cepat berpikir. Bahayanya bentrok dengan pemerintah Ceng memang besar, akan tetapi bahaya itu hanyalah bahaya lahir yang dapat mereka lawan dan dapat mereka usahakan penolakannya. Kalau sampai mereka mendiamkan saja putera Cia Sun ditangkap kaki tangan pemerintah penjajah, dalam hal ini terdengar oleh para orang gagah, bahayanya lebih hebat lagi, yaitu nama Cin-ling-pai akan diseret ke dalam lumpur. Tentu suhunya takkan mendiamkan saja hal ini. Maka It Cin Cu lalu berkata singkat.
"Terhadap anjing-anjing penjilat kaki tangan pemerintah Ceng kami tak pernah ada urusan, juga tidak mau kami disuruh merangkak di depan mereka. Pendeknya, bocah she Cia ini adalah tawanan kami dan tak seorangpun boleh merampasnya!"
Sejak tadi Han Sin hanya mendengarkan dengan mulut melongo. Setelah sekarang ia tahu akan duduknya perkara, mukanya menjadi pucat dan memandang kepada Li Hoa dengan mata terbelalak.
"Kau..... kau kaki tangan pemerintah Ceng.... Ah.... celaka, aku tertipu! Siapa sudi kau tolong? Lebih baik kembali ke jurang!" Han Sin lalu melarikan diri dan karena jalan turun ke bawah dihadang oleh para pengemis, ia lalu turun dari lain jurusan menuju ke belakang gunung.
Li Hoa tak dapat menjawab atas seruan ini, akan tetapi Tok-gan Sin-kai menudingkan tongkatnya, menggerakkannya sedikit dan berseru,
"Bocah she Cia, berhenti kau!" dan dari ujung tongkatnya itu menyambar sinar kuning ke arah Cia Han Sin. Pemuda itu berteriak kesakitan dan roboh terguling ke dalam sebuah jurang di sebelah kirinya. Ternyata pundaknya telah terkena paku Coa-ting (Paku Tulang Ular) yang merupakan senjata rahasia ampuh dan berbisa dari kaum Coa-tung Kai-pang. Bersama dia, Siauw-ong juga turut terguling masuk jurang.
"Pengemis busuk!" Hap Tojin berseru marah dan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Tok-gan Sin-kai yang cepat ditangkis oleh tongkat pengemis mata satu ini. Di lain saat terjadilah pertempuran hebat di atas puncak itu. Tok-gan Sin-kai dan seorang sutenya yang berhidung merah menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan seorang pengemis lagi bersama Li Hoa menghadapi keroyokan Cin-ling Sam-eng. Tak seorangpun di antara mereka dapat mengurus keadaan Han Sin lagi karena pihak lawan merupakan lawan-lawan berat dan seorang saja di antara kedua belah pihak itu meninggalkan gelanggang, berarti pihaknya akan terancam kekalahan.
Ke mana perginya Bi Eng? Kenapa Siauw-ong kembali sendiri ke Cin-ling-san mencari Han Sin? Seperti telah diketahui, Bi Eng terpaksa dengan hati berat meninggalkan kakaknya di puncak Cin-ling-san, pergi bersama Siauw-ong setelah Han Sin memerintahkannya pergi lebih dulu dan menanti di tepi sungai Wei-ho. Tidak karuan rasa hati gadis ini ketika ia menuruni bukit Cin-ling-san
Tak terasa lagi Bi Eng mengucurkan air mata. Ingin sekali ia melompat dan lari mendaki gunung itu kembali untuk melihat kakaknya dan kalau perlu membelanya mati-matian. Namun suara perintah kakaknya masih bergema di telinganya dan ia tidak berani membantah lagi. Pandang mata kakaknya demikian pasti, tak boleh dibantah lagi.
Betapapun juga, ketika ia tiba di kaki gunung hatinya tidak kuat dan tiba-tiba ia berhenti berjalan, lalu menyandarkan diri di pohon dan menangis. "Sin-ko..... bagaimana dengan keadaanmu.....?" bisiknya sambil terisak-isak.
Siauw-ong mendekati nonanya dan ikut menangis cecowetan, sambil menarik-narik lengan gadis itu diajak kembali ke atas gunung. Telunjuk tangan monyet itu menuding-nuding ke atas, kadang-kadang ia mencak-mencak dengan kaki dibanting-banting ke atas tanah menyatakan kemarahannya dan tantangannya kepada para tosu di atas.
"Tidak bisa, Siauw-ong. Kalau aku kembali tentu koko akan marah. Dia begitu baik, tidak boleh marah kepadaku....." kata Bi Eng. Kemudian ia mendapat pikiran baik. Kalau dia sendiri yang kembali, tentu kakaknya akan marah. Akan tetapi kalau Siauw-ong yang kembali, biarpun marah, kakaknya itu takkan marah kepadanya. Dan kakaknya perlu kawan, perlu pembantu.
"Siauw-ong, kau kembalilah kesana. Kau cari Sin-ko sampai dapat dan kau ajak dia turun gunung. Aku akan pergi lebih dulu." Mendengar ini, Siauw-ong nampak girang, melompat-lompat dan di lain saat ia telah berloncatan ke atas gunung kembali ke puncak. Bi Eng melihat sampai bayangan monyet itu lenyap, kemudian ia sendiripun melanjutkan perjalanannya, menuju ke sungai Wei-ho di sebelah utara pegunungan Cin-ling-san.
Seorang diri ia melakukan perjalanan itu, cepat-cepat agar lekas sampai di tempat itu di mana ia akan menanti kedatangan kakaknya dan Siauw-ong. Ia, seperti biasa sejak kecil, percaya penuh akan kepandaian kakaknya dan merasa pasti bahwa ia akan ketemu lagi dengan Han Sin.
"Kakakku hebat," pikirnya, "Tidak bisa ilmu silat akan tetapi sekarang menghadapi bahaya dengan demikian tabah dan tenang. Dia gagah luar biasa." Hatinya bangga bukan main dan dipercepatnya perjalanan menuju ke sungai Wei-ho. Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada seorang pemuda yang diam-diam mengikuti perjalanannya, seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali, yang dapat berjalan cepat dan tidak pernah ketinggalan biarpun gadis ini menggunakan ilmu lari cepat.
Berhari-hari Bi Eng melakukan perjalanan, hanya beristirahat untuk bermalam dan makan. Jalan yang dilaluinya adalah jalan liar yang melalui banyak hutan dan bukit kecil. Ia merasa kesepian sekali dan saat inilah, dalam beberapa hari ini, merupakan saat-saat yang paling menyedihkan baginya. Merupakan pengalaman tidak menyenangkan hati yang pertama kalinya. Namun ia seorang gadis yang tabah dan sama sekali tidak mengenal takut biarpun harus bermalam di dalam hutan liar tak berkawan.
Akhirnya sampai juga ia ke sungai Wei-ho. Sungai Wei-ho ini adalah anak sungai besar Huang-ho atau sungai kuning. Biarpun hanya anak sungai, namun cukup besar dan lebar, pula dalam dan airnya mengalir deras. Saking lelahnya, ketika tiba di pinggir sungai ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan bersandar pohon. Dia lelah dan lapar, tengah hari itu amat panas sehingga ia malas untuk pergi mencari makanan. Sejuk juga duduk di bawah pohon di pinggir sungai itu. Tak lama kemudian Bi Eng jatuh pulas.
Pemuda yang semenjak dari kaki gunung Cin-ling-san membayanginya, sekarang muncul dan duduk di atas sebuah batu di depan Bi Eng, paling jauh lima meter. Pemuda itu duduk dan memandang gadis itu dengan mata penuh kekaguman dan cinta kasih. Makin dipandang, gadis yang tidur itu makin jelita menarik. Memang, di dunia ini orang-orang muda mengenal apa yang disebut "cinta kasih pada pertemuan pertama".
Sudah jamak kalau seorang pemuda tertarik melihat seorang pemudi cantik jelita atau sebaliknya seorang pemudi tertarik melihat seorang pemuda gagah dan tampan. Akan tetapi tertarik tidaklah sama dengan cinta kasih. Dalam cinta kasih terkumpul semua perasaan yang bermacam sifatnya. Menyayang, tertarik, terharu, kasihan, malu, menghormati dan lain-lain tergantung dari sifat masing-masing. Biasanya seorang pria tertarik oleh wanita karena cantik moleknya, karena tutur bahasanya, atau karena gerak-geriknya. Akan tetapi dalam cinta kasih, ada sesuatu yang mengatasi semua ini, sesuatu yang mendorong orang untuk mencinta, sesuatu yang sudah mencakup semua perasaan di atas, sedemikian rupa pengaruh perasan sesuatu ini sehingga kadang-kadang membutakan orang karena dalam pandang matanya, si "dia" itu selalu tampak baiknya saja sehingga banyak orang tertipu dan terjerumus.
Pemuda tampan itu adalah Phang Yan Bu, putera Ang-jiu Toanio! Juga pemuda ini begitu melihat Bi Eng, terjadilah sesuatu yang ganjil di dalam dadanya. Yan Bu semenjak kecil seorang pemuda pendiam, sama sekali tidak pernah perduli akan gadis-gadis cantik. Bukan karena ia tidak pernah melihat gadis cantik. Yan Bu sudah lama melakukan perantauan dengan ibunya dan di dunia kang-ouw sudah banyak ia melihat gadis-gadis yang cantik jelita, bahkan banyak sudah gadis-gadis cantik jatuh hati kepadanya.
Akan tetapi dia sendiri belum pernah merasakan perasaan seperti yang sekarang ia rasakan begitu ia melihat Bi Eng di kaki gunung itu. Pertemuan ini memang sudah untuk kedua kalinya. Dahulu di kaki gunung Min-san dia sudah melihat Bi Eng, namun sebagai seorang pemuda sopan, ia hanya melirik saja dan tidak begitu memperhatikan. Sekarang, begitu melihat kontan hatinya terikat.
Seperti kita ketahui, Phang Yan Bu bersama ibunya yang duduk dalam kereta dorong, setelah mencari keluarga Cia di puncak Min-san, mendengar dari pelayan bahwa Cia-kongcu dan Cia-siocia bersama seekor kera sudah turun gunung. Ang-jiu Toanio marah-marah, membunuh seorang di antara dua pelayan itu, lalu mengajak puteranya mengejar ke bawah gunung. Akan tetapi mereka kehilangan jejak dua orang muda itu dan karena marah-marah penyakit Ang-jiu Toanio kambuh lagi. Nenek ini muntah-muntah darah dan menyumpah-nyumpah. Yan Bu amat berbakti kepada ibunya, cepat ia menghentikan kereta dorong dan mengurut-urut punggung ibunya.
"Ibu, harap kau suka bersabar dan tenang...." katanya kasihan.
"Sabar..... sabar...., belasan tahun aku bersabar dan kau masih hendak memberi kuliah supaya aku bersabar lagi?" bentak ibunya melotot. Yan Bu terkejut karena belum pernah ibunya ini, biarpun amat galak, marah-marah kepadanya seperti ini.
Ia sudah pernah mendengar dari ibunya bahwa ayahnya, Phang Kim Tek, telah tewas di tangan seorang musuh, yaitu Cia Sun di Min-san, sedangkan guru ibunya, Koai-sin-jiu Bhok Kim telah tewas di tangan Hoa Hoa Cinjin. Ibumya selalu mendendam kepada dua orang ini.
Membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin bukanlah hal mudah, bahkan biarpun dia sudah mendapat gemblengan dari susiok-couwnya, Phoa Kok Tee si Raja Obat, tetap saja ibunya melarang dia mencari Hoa Hoa Cinjin karena takut puteranya belum kuat menandingi kakek yang sakti itu. Adapun Cia Sun pembunuh ayahnya, telah meninggal dunia.
"Ibu, ayah telah meninggal dunia, akan tetapi musuh besarnya, Cia Sun, juga sudah meninggal dunia. Mengapa ibu masih selalu jengkel? Paling perlu anak pergi mencari Hoa Hoa Cinjin untuk membalaskan kematian su-kong (kakek guru). Tentang anak-anak Cia Sun, kurasa mereka itu tidak tahu menahu tentang permusuhan antara ayah dan Cia Sun....."
"Tutup mulut!" Ibunya membentak makin marah dan "Uwaaahh!" Sekali lagi Ang-jiu Toanio menyemburkan darah hidup. Yan Bu cepat-cepat menolong ibunya dan anak yang berbakti ini menarik napas panjang.
"Ibu sih dulu terlalu terburu nafsu mempelajari Ang-see-chiu, inilah akibatnya." Memang, untuk mempelajari ilmu pukulan Ang-see-chiu yang amat beracun ini, sebelumnya orang harus memiliki dasar lweekang yang kuat. Ang-jiu Toanio memang semenjak mudanya berwatak keras dan galak, tidak kenal takut maka tanpa memperdulikan bahaya itu siang-siang sudah mempelajari ilmu pukulan dahsyat itu. Memang akhirnya ilmu ini dapat mengangkat namanya tinggi-tinggi, namun kesehatannya menjadi korban pula, dalam usia tua ia menjadi sakit-sakitan saja.
"Tidak begitu hebat kalau tidak ditambah oleh kelakuanmu!" damprat ibunya. "Yan Bu, pendeknya kau mau menurut permintaan ibumu atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau pergilah, biarkan aku sendiri mencari musuh besar, tak perlu kau bantu!"
"Ibu, bagaimana ibu berkata demikian? Aku adalah anakmu, anak tunggal, tentu saja akan menurut segala permintaan ibu."
"Nah, kalau begitu, pergilah kau kejar dua bocah she Cia itu. Kejar sampai dapat. Bunuh bocah she Cia yang laki-laki dan tawan yang perempuan bawa kepadaku. Selain itu, yang lebih penting lagi rampas sebuah surat wasiat Lie Cu Seng yang ada pada mereka. Kau tahu, surat wasiat itulah yang kelak akan membantu kita dapat membalas dendam suhuku kepada Hoa Hoa Cinjin."
Yan Bu mengangguk-angguk, biarpun di dalam hatinya ia tidak dapat menyetujui kehendak ibunya. Anak-anak Cia Sun tidak salah apa-apa, mengapa harus dibunuh? Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah, dia hanya bertanya karena memang heran mendengar ucapan terakhir. "Bagaimana surat wasiat itu bisa membantu kita, ibu?"
"Kau kira aku tergila-gila akan harta dunia yang tersimpan dalam rahasia surat wasiat itu? Bodoh. Semua orang gagah di dunia kang-ouw mengejar-ngejar surat wasiat itu, berlomba untuk mendapatkannya. Apakah orang-orang gagah menghendaki harta? Sudah lebih dari cukup aku hidup kaya raya dahulu. Yan Bu, dengarlah. Surat wasiat itu menunjukkan di mana adanya harta simpanan Lie Cu Seng dan di antara harta benda itu, terdapat sebuah kitab rahasia ilmu silat ciptaan Tat Mo Couwsu. Siapa mendapatkan dan mempelajari isi kitab, pasti akan menjadi jago silat nomor satu di dunia ini. Nah, setelah mendapatkan pelajaran dari kitab itu, apa sih sukarnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin? Karena itu, lekas kau lakukan tugas ini. Bunuh bocah laki-laki she Cia, rampas surat wasiat dan tawan bocah perempuannya, bawa padaku. Mengerti?"
"Akan kulakukan semua perintahmu, ibu."
"Berangkatlah sekarang, aku menantimu di I-kiang, aku harus beristirahat. Akan tetapi obat satu-satunya untuk menyambung usiaku adalah bocah perempuan she Cia dan surat wasiat. Ingatlah ini!"
Demikianlah, dengan hati berat Phang Yan Bu berangkat mengejar Han Sin dan Bi Eng. Jejak dua orang muda dan monyetnya itu tidak sukar ia cari. Memang dua orang muda yang membawa-bawa monyet itu adalah rombongan yang mudah diingat, maka setelah mendapat keterangan dari orang di jalan ke mana arah perjalanan musuh-musuhnya, ia lalu mengejar dan sampai di kaki gunung Cin-ling-san.
Kebetulan sekali pada waktu itu ia melihat Bi Eng berlari seorang diri turun gunung, maka diam-diam ia mengikuti gadis ini yang sekali gus telah membetot semangatnya, membuat ia ragu-ragu bagaimana harus bertindak terhadap gadis ini. Menangkapnya seperti yang diperintahkan ibunya? Ah, bagaimana dia bisa berbuat demikian? Laginya yang laki-laki tidak berada di situ. Aku harus bersabar menanti sampai keduanya berkumpul, pikirnya.
Hari telah menjadi senja ketika Bi Eng mengulet dan membuka matanya. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, baru terheran hatinya ketika melihat bahwa yang menutupi tubuhnya adalah sehelai jubah luar yang lebar dan tebal. Pemandangan pertama ini sudah mengherankannya, akan tetapi penglihatan ke dua amat mengejutkannya. Di depannya, hanya dalam jarak dua meter, menggeletak seekor bangkai harimau besar yang masih mengucurkan darah dari lehernya yang terluka lebar bekas bacokan. Seketika gadis ini melompat bangun dan..... ia berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang berdiri memandangnya dengan kagum.