Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 7


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




"Apa..... apa.... kenapa....., siapa kau?" serunya kaget sambil melompat ke depan dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.

Untuk sejenak Yan Bu tak dapat menjawab, terlalu terpesona oleh sepasang mata yang amat indah seperti bintang pagi dalam pandangan matanya itu. Akhirnya, dengan gagap ia menjawab juga, "Aku....... aku Phang Yan Bu."

Merah wajah Bi Eng. Dia seorang gadis yang lincah, jujur, dan terbuka hatinya. Akan tetapi dengan sikapnya barusan, seolah-olah sebagai seorang gadis ia lebih dulu menanyakan nama orang, benar-benar memalukan.

"Siapa tanya namamu?" katanya cemberut.

Makin kagum Yan Bu. Gadis ini dalam segala gerak-geriknya terlalu manis menarik, ketika tidur, kaget dan cemberut, selalu makin manis! Ditegur oleh gadis itu, ia makin bingung. "Aku... aku hanya menjawab, bukankah nona tadi menanyakan?" katanya sambil tersenyum.

"Jangan pringas-pringis (menyeringai)! Aku tidak tanya nama, kumaksudkan.... kenapa kau di sini, dan... dan selimut ini,... bangkai harimau itu? Siapa menyelimuti aku?"

"Aku......"

"Kenapa??"

"Nona tidur kelihatan kedinginan, angin amat.... besar....."

"Siapa bunuh harimau ini?"

"Aku....."

"Kenapa?"

"Dia hendak menubruk nona yang sedang tidur, aku menggunakan golokku membunuhnya."

"Hemmmm...."

"Ya......., begitulah........"

Keduanya terdiam, sukar untuk mulai bicara. Entah mengapa, Bi Eng yang biasanya lincah itu, sekarang kehilangan keterampilan lidahnya. Pandang mata pemuda itu terlalu tajam, seakan-akan hendak menjenguk isi hatinya, membuat dia bingung.

"Kalau begitu, terima kasih," akhirnya ia berkata perlahan.

"Mengapa berterima kasih?"

"Untuk.... untuk selimut dan harimau......." Bi Eng menarik napas lega, dia sudah berterima kasih jadi tidak hutang budi lagi dan ini membuat ia lebih bebas rasanya. Ia lalu duduk lagi di atas akar pohon. Juga Yan Bu yang tadinya berdiri, kini duduk lagi di atas batu, entah bagaimana, dia merasa girang bukan main. Belum pernah selama hidupnya, ia merasai kesenangan hati yang hanya bisa dirasa oleh dia sendiri.

Bi Eng tak sengaja menyentuh jubah yang tadi menyelimuti dirinya. Wajahnya menjadi merah dan ia mengambil jubah itu, digulungnya lalu berkata, "Nih jubahmu, kukembalikan!"

Ia melemparkan gulungan jubah itu sambil mengerahkan tenaga ke arah pemiliknya. Ia hendak menguji dan tidak mempunyai maksud buruk karena ia tahu bahwa orang yang telah membunuh seekor harimau tentulah berkepandaian. Benar saja, sambil tersenyum Yan Bu menyambut timpukan itu dan tidak merasa berat ketika menerimanya. Bi Eng menatap wajah yang tampan itu dan keningnya berkerut. Tiba-tiba ia melompat.

"Heee! Kau....?" Ia menuding dengan telunjuknya.

YAN BU kaget dan meloncat bangun pula. Ia merasa nona ini amat aneh dan lucu gerak-geriknya. Dalam gugupnya, ia menjawab sambil menuding ke arah hidungnya sendiri. "Ya, ini aku, ada apa?"

"Kau.... kau pemuda yang mendorong kereta nenek sakit itu!"

Yan Bu tersenyum melebar, lalu membungkuk. "Betul, nona. Terima kasih bahwa sekali bertemu, ternyata nona masih ingat kepadaku."

"Cih, siapa yang mengingat-ingat kau? Siapa kau dan kenapa kau berada di sini?"

"Aku Phang Yan Bu, nona dan......"

"Aku sudah tahu! Sekali aku mendengar namamu Phang Yan Bu, kau kira aku sudah lupa dan harus diulang-ulang?"
Yan Bu membungkuk lagi. "Terima kasih banyak, nona. Sekali mendengar namaku, ternyata kau tidak bisa lupa lagi......"

"Gila! Jangan main-main kau. Aku tidak bermaksud berkenalan denganmu, biar seratus kali kau memperkenalkan nama, aku tidak akan memperkenalkan diri padamu. Aku hanya akan bertanya......"

"Tidak perlu memperkenalkan diri, karena aku sudah tahu siapa nona. Namamu Cia Bi Eng, bukan? Nama yang amat indah....."

Bi Eng tertegun. Untuk sejenak ia menjadi bingung oleh serangan ini, akan tetapi ia bisa menenangkan hatinya. "Kenapa kau mengikuti aku ke sini? Apa maumu? Kau mendorong kereta nenek sakit, kenapa kau pergi meninggalkan nenek mau mampus itu?"

"Dia ibuku, nona....." kata Yan Bu dengan suara berduka.

Bi Eng terharu. Seorang pemuda mendorong-dorong ibunya dalam kereta, benar berbakti. Akan tetapi mengapa ditinggalkan? Dalam keharuannya ia kecewa.

"Lebih-lebih dia ibumu! Tak boleh ditinggalkan."

"Justru ibu yang menyuruh aku datang ke sini, nona Cia."

"Ibumu sakit dan lemah , malah minta ditinggalkan? Benar aneh....."

"Ibuku biar sakit, tapi dia bukan orang biasa, nona. Di dunia kang-ouw, ibuku dijuluki orang Ang-jiu Toanio dan.... "

"Setan......!!" Bi Eng melompat dan mencabut pedangnya. "Kiranya kau anak dia?"

Yan Bu bingung dan menengok ke kanan kiri. "Mana setan....? Siapa yang kau maki tadi?"

"Maki siapa lagi kalau bukan kau! Jadi, kau anak Ang-jiu Toanio ? Bagus, bagus. Sudah dapat dipastikan kau tidak bermaksud baik datang ke sini!"

"Bagaimana nona bisa tahu?" Yan Bu khawatir sekali melihat sikap gadis yang membetot semangatnya ini sekarang memusuhinya.

"Ibumu adalah pembunuh ayah bundaku!"

Yan Bu melengak, memandang bodoh dan sampai lama tidak bisa menjawab. Bi Eng menjadi tidak sabar dan menggerak-gerakan pedangnya di depan dadanya.

"Hei, jangan melongo seperti kerbau! Ang-jiu Toanio itu adalah seorang di antara para pembunuh ayah bundaku di Min-san, kau tahu? Aku harus membalas dendam, dan karena kau anaknya, kedatanganmu tentu bukan bermaksud baik, maka aku akan membunuhmu lebih dulu!"

"Sabarlah, nona. Kurasa keadaannya terbalik. Bukan ibu yang membunuh ayah bundamu, sebaliknya ayahmu yang bernama Cia Sun adalah pembunuh ayahku, Phang Kim Tek di I-kiang. Kenapa nona bolak-balikkan perkara?"

"Heh, siapa tidak tahu bahwa ayahmu, Phang Kim Tek tuan tanah di I-kiang yang kejam dan busuk itu terbunuh oleh mendiang ayahku? Andaikata ayahmu bernyawa dua, sekarang akupun tentu akan membunuh nyawanya yang satu lagi itu karena kekejamannya."

Yan Bu menarik napas panjang. Ia bukan tidak tahu akan keadaan ayah bundanya di waktu dahulu, karena dia cerdik dan sering kali menyelidiki keadaan orang tuanya sendiri. Diam-diam ia menyesal akan kesesatan ayahnya dahulu. "Nona Cia, sesungguhnya, ibu menyuruh aku menuntut balas atas kematian ayahku. Akan tetapi, bagiku sendiri, kematian ayahmu sudah menutup dan menghabiskan semua permusuhan. Aku tidak bermaksud memusuhi anak-anaknya. Cuma saja...... menuruti perintah ibu....., kau harap suka ikut aku menemui ibu dan membawa surat wasiat Lie Cu Seng...."

"Jangan banyak cakap! Siapa percaya omonganmu? Lihat pedang!"

Bi Eng menyerang dengan sebuah tusukan kilat. Melihat datangnya serangan yang hebat ini, Yan Bu cepat melompat ke belakang. "Nona, percayalah, aku tidak.... tidak suka bertempur denganmu....."

"Pengecut, keluarkan senjatamu!" Lagi-lagi Bi Eng menyerang, pedangnya menyambar secepat kilat. Kembali Yan Bu mengelak sampai tiga kali sambil berkata sedih.

"Nona Bi Eng, sungguh-sungguh aku tidak suka bermusuhan dengan engkau....."

"Orang she Phang! Di mana kejantananmu? Aku tidak sudi membunuh seorang pengecut yang tidak melawan. Apa benar-benar kau takut melihat pedang ini?"

Betapapun berat rasa hati Yan Bu harus bertanding senjata dengan nona yang diam-diam telah meruntuhkan hatinya itu, mendengar sindiran ini ia tidak kuat menahan. Dia berjiwa gagah dan tidak takut mati, maka ia segera meloloskan goloknya dan berkata sambil menjura.

"Biarlah, aku yang bodoh minta petunjuk nona Cia yang perkasa."

"Cih, banyak dongeng!" seru Bi Eng sambil memutar pedangnya dan di lain saat, dua orang itu sudah bertempur seru sekali. Bi Eng adalah murid Ciu-ong Mo-kai yang sudah mewarisi ilmu silat Liap-hong Sin-hoat yang amat lihai, tentu saja ilmu silatnya ini adalah ilmu silat tinggi yang sukar dilawan. Namun di lain pihak, Yan Bu adalah murid tunggal dari Yok-ong Phoa Kok Tee. Ilmu silatnya lihai sekali dan tenaga lweekangnya juga sudah sempurna. Bi Eng yang terlambat belajar silat, kurang latihan dan kurang pengalaman, selain ini tentu saja kalah tenaga.

Tadinya Yan Bu terkesiap dan kaget serta kagum melihat gerakan pedang nona itu yang mainkan jurus-jurus Liap-hong Sin-hoat yang tidak dikenal oleh Yan Bu. Belum pernah pemuda ini melihat ilmu pedang sedemikian indah dan hebatnya. Akan tetapi setelah dilawannya selama lima puluh jurus lebih, ia mendapat kenyataan bahwa betapapun lihai ilmu pedang gadis itu, ternyata Bi Eng kurang latihan dan kurang tenaga. Maka kalau dia mau, dengan mudah saja ia dapat merobohkan gadis itu.

Justru Yan Bu tidak mau merobohkan Bi Eng, tidak sampai hati ia mengalahkan gadis itu. Tidak tega ia melihat gadis itu kalah olehnya dan menjadi malu karenanya, apalagi sampai melukainya. Lebih baik dia sendiri yang terluka dan kalah! Memang, cinta bisa memutar balik jalannya keadaan.

Setelah pertempuran itu berlangsung hampir seratus jurus, biarpun Bi Eng masih kurang pengalaman dan kurang latihan, gadis itu dapat maklum bahwa pemuda ini tidak berkelahi secara sungguh-sungguh. Hal ini menambah kemarahan dan penasaran hatinya tanpa mengenal lelah ia mempercepat serangan-serangannya. Keringat sudah membasahi leher dan jidatnya dan napasnya mulai terengah-engah. Yan Bu tidak tega melihat ini dan pada suatu saat, ia sengaja membiarkan pedang gadis itu "memakan" ujung pundaknya. Ia memekik kesakitan, goloknya menangkis dan pedang gadis itu patah!

Sambil mendekap pundak kirinya yang terluka berdarah, Yan Bu melompat mundur dan berkata, "Nona Cia, hebat ilmu pedangmu, aku Phang Yan Bu mengaku kalah!"

Akan tetapi, gadis itu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis! "Kau bunuhlah aku! Tak usah banyak cerita, angkat golokmu dan bunuhlah aku, siapa takut mampus?"

Yan Bu melongo. Ia anggap sikap gadis ini lucu dan aneh. Ia melangkah maju dan berkata halus. "Cia-siocia, kau telah melukai pundakku, kau lebih menang dariku, mengapa kau bersikap begini? Aku sudah kalah olehmu dan aku mengakui kekalahanku ini..."

"Siapa sudi kau permainkan? Kau sengaja mengalah, apa kau kira mataku buta? Hemmm, manusia sombong, kalau kakakku berada di sini dan memberi petunjuk padaku, jangan kira dengan ilmu golok cakar ayammu itu kau akan mampu mengalahkan aku!"

Yan Bu menarik napas panjang, berduka sekali. "Memang, memang aku mengalah, akan tetapi terus terang saja, kau kurang latihan dan kurang tenaga. Agaknya kau belum lama mempelajari ilmu silat. Kalau kau cukup terlatih dan cukup tenaga terus terang saja ilmu pedangmu tadi tak sanggup aku melawannya. Nona, memang aku hendak mencari kakakmu, hendak kurundingkan dengan dia supaya kita, biarpun orang tua kita saling bermusuhan, kita sebagai anak-anaknya jangan melanjutkan permusuhan yang berlarut-larut ini. Aku...... aku tak sanggup bermusuh dengan kau....."

"Kau..... ayahmu dibunuh ayahku..... apa kau tidak akan membunuhku?" tanya Bi Eng terheran-heran.

Yan Bu menggeleng kepala, lalu menyimpan goloknya. "Tidak."

"Kenapa?"

Merah wajah Yan Bu. "Karena..... karena.... tak mungkin aku mengganggumu, jangankan membunuh. Lebih baik aku mati dari pada membunuhmu!"

Inilah pernyataan isi hati yang sejujurnya, pernyataan cinta kasih yang diucapkan dengan lain kata-kata. Tiba-tiba hati Bi Eng berdebar dan mukanya juga menjadi merah. Gadis ini belum tahu menahu tentang cinta namun sikap dan kata-kata pemuda ini membuat ia merasa jengah. Tiba-tiba ia mendapat pikiran baik. Pemuda ini lihai sekali, tinggi kepandaiannya. Kalau pemuda ini mau membantu, tentu kakaknya dapat ditolong keluar dari Cin-ling-pai.

"Betul-betul kau tidak memusuhi aku dan kakak Han Sin?"

"Tuhan menjadi saksi. Aku tidak memusuhi kau dan kakakmu," jawab Yan Bu dengan suara tetap. "Biar ibu akan marah karenanya, aku bertanggung jawab karena sadar bahwa sikapku ini benar."

"Kalau begitu kau.... kau hendak bertemu dengan kakakku?"

"Tentu saja. Di mana dia? Bukankah kakakmu bernama Cia Han Sin dan turun dari Min-san bersamamu dan membawa seekor kera? Di Mana kakakmu itu?"

Bi Eng mengerutkan kening, gelisah sekali nampaknya. "Itulah celakanya. Sin-ko telah ditawan oleh tosu-tosu bau dari Cin-ling-pai di Cin-ling-san."

"Kenapa bisa terjadi hal itu?"

Dengan singkat Bi Eng lalu menceritakan pengalamannya ketika dihadang oleh para tosu Cin-ling-pai sehingga kakaknya ditawan. Mendengar ini, Yan Bu menjadi marah.

"Terlalu sekali tosu-tosu itu! Selama ini aku mendengar nama besar Cin-ling-pai, mengapa sekarang menghina orang-orang muda? Nona Cia, harap jangan kau kuatir. Kau tunggulah di sini, biar aku sekarang juga menyusul ke Cin-ling-pai dan agaknya para tosu itu akan suka memandang muka ibuku untuk membebaskan kakakmu. Kalau sudah dibebaskan, kakakmu akan kuajak menyusul kau ke sini."

Bi Eng memandang dengan matanya yang lebar dan bagus. "Kau.... ayahmu sudah dibunuh ayahku, pundakmu sudah kulukai karena kau mengalah.... dan kau sekarang mau menolong Sin-ko.....?"

Yan Bu tersenyum dan mengangguk. "Dengan persahabatan anak-anaknya, sakit hati orang-orang tua bisa ditebus, bukan?" Setelah berkata demikian, ia menjura lalu membalikkan tubuh, hendak pergi ke Cin-ling-san.

Untuk sejenak Bi Eng tertegun memandang bayangan pemuda itu. Ia melihat betapa pakaian di pundak robek dan penuh darah yang masih mengucur keluar. Tiba-tiba ia melangkah maju dan memanggil,

"Saudara Phang Yan Bu.....!"

Pemuda itu berhenti, memutar tubuh lalu melangkah maju. "Kau memanggil aku, nona Cia?"

"Kau tidak bisa pergi dengan luka dibiarkan begitu saja."

Yan Bu tertawa senang, "Terima kasih atas perhatianmu. Luka ini ringan saja. Tidak apa-apa."

"Kesinilah. Biar kubalut. Aku yang melukaimu, tidak enak hatiku kalau membiarkan saja."

Yan Bu hampir tak percaya akan pendengarannya dan hampir ia bersorak girang. Cepat ia maju dan merobek baju di pundaknya. Sementara itu, Bi Eng sudah mengambil saputangannya lalu dengan cekatan jari-jari tangan yang halus itu membalut luka di pundak. Yan Bu sebagai murid Yok-ong, diam-diam geli dan tahu bahwa luka itu kalau tidak diobati, dibalut begitu saja amat tidak baik, namun ia diam saja. Ketika ia begitu dekat dengan Bi Eng dan mencium bau yang amat harum dari rambut dan saputangan gadis itu, ia meramkan matanya dan malah tidak tahu bahwa pembalutan itu sudah selesai.

"Eh, kenapa kau meram? Sakitkah?" Bi Eng bertanya heran dan dengan nada kasihan.

Yan Bu menggeleng kepala, masih meram. "Aku tidak berani membuka mata....."

"Kenapa....?"

"Kau begini dekat......, begini cantik...... aku takut menjadi gila....."

Karena sudah selesai, Bi Eng melangkah mundur dan tiba-tiba gadis ini tertawa geli. "Kau manusia lucu sekali!"

Yan Bu membuka matanya. "Terima kasih, nona Cia. Perbuatanmu membalut lukaku ini selama hidupku takkan pernah kulupakan, akan menjadi kembang mimpi setiap malam."

"Kau..... kau aneh sekali!" kata Bi Eng, benar-benar terheran dan merasa lucu, namun di dalam hati harus mengakui bahwa pemuda ini menyenangkan hatinya dengan sikapnya yang aneh itu.

Yan Bu menjura lalu berangkat ke Cin-ling-pai. Bi Eng duduk lagi bersandar pohon dan baru sekarang terasa olehnya betapa lapar perutnya. Ia pegi ke pinggir kali, mencari air yang jernih untuk diminumnya. Kemudian ia pergi ke dalam hutan di lembah sungai Wei-ho untuk mencari buah yang dapat dimakannya. Untung baginya baru setengah li ia berjalan, ia mendapatkan sebatang pohon buah-buahan yang penuh mengandung buah sejenis apel yang sudah matang-matang. Segera ia memetik beberapa buah dan memakannya sampai kenyang.

Tiba-tiba ia mendengar suara orang ketawa dan dari balik pohon besar muncul seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegak dan berkepala gundul. Dia itu jelas seorang pendeta hwesio, akan tetapi sikapnya kasar dan kedua lengannya penuh bulu, matanya memandang kurang ajar kepada Bi Eng. Gadis ini kurang pengalaman tentang kekurangajaran pria, maka ia tersenyum dan menegur,

"Twa-hwesio, di tempat sunyi ini bertemu dengan seorang pendeta, sungguh aneh dan menyenangkan."

Hwesio itu tertawa bergelak. "Ha ha ha ha, nona manis. Kau tadi bilang menyenangkan? Ha ha ha!"

Kening Bi Eng mulai berkerut. Ia adalah seorang wanita, perasaannya halus maka ia dapat merasai sesuatu yang tidak beres dalam sikap hwesio ini. "Betul, aku bilang menyenangkan. Apa salahnya itu? Kakakku sering berkata bahwa bertemu dengan orang lain di tempat sunyi adalah amat menyenangkan. Salahkah itu?"

Hwesio itu membuka matanya lebar-lebar dan tertawa makin keras. Ha ha ha ha, kau betul. Memang menyenangkan sekali. Betapa tidak? Kau begini molek, begini manis, begini muda, begini... begini harum. Aduh, kau tadi bilang tempat sunyi? Ha ha ha, setelah ada aku dan engkau, mana bisa sunyi lagi? Mari, mari, manis sayang, mari kita jalan-jalan menikmati pemandangan indah di lembah Wei-ho. Jangan takut, aku Goan Si Hwesio dari Siauw-lim-pai biasanya berlaku halus pada seorang gadis manis seperti kau..... ha ha ha!" Biarpun kata-katanya lambat, namun gerakan tangan hwesio itu cepat sekali dan tahu-tahu pergelangan tangan kiri Bi Eng sudah ditangkapnya.

Bi Eng menggigil ngeri dan jijik ketika merasa betapa tangannya dipegang oleh telapak tangan yang kasar dan dingin. Cepat ia mengibaskan tangannya sambil berseru, "Jahanam, lepaskan tanganku!" Lalu disusul dengan gerakan Po-in-gan-jit (Sapu Awan Melihat Matahari), sebuah jurus yang lihai dari ilmu silat Liap-hong Sin-hoat.

"Dukk!" tak dapat dicegah lagi hwesio bernama Goan Si itu sudah kena dipukul perutnya sampai ia mengeluarkan suara "ngekk!" dan terlempar ke belakang lalu jatuh terduduk. Baiknya Bi Eng belum memiliki tenaga lweekang yang besar, kalau demikian halnya tentu isi perut gendut itu sudah acak-acakan (cerai berai). Ia hanya merasa mulas saja sebentar. Dengan kedua matanya yang lebar hwesio itu memandang Bi Eng. Heran dan kaget karena tidak mengira gadis manis itu ternyata demikian lihai. Kemudian ia menjadi marah dan melompat berdiri.

"Bagus, kiranya kau ini seekor serigala betina? Kalau begini harus dihajar dulu sebelum jinak!" Ia lalu menubruk maju dan Bi Eng cepat mengelak dan membalas dengan jurus-jurus Liap-hong Sin-hoat. Hwesio itu ternyata kosen dan pandai, juga bertubuh kuat. Dengan ilmu silatnya lihai beberapa kali Bi Eng dapat menghantam tubuh lawan, namun agaknya lawannya memiliki tubuh yang kebal, sehingga pukulan-pukulannya hanya membuat hwesio itu jatuh terduduk saja. Makin lama gadis ini makin menjadi lelah. Akan tetapi si hwesio makin buas dan menyeringai, tertawa-tawa dan napasnya berbau sekali membuat Bi Eng menjadi muak.

"Ha ha ha, nona manis lebih baik kau menyerah dan bilang twa-suhu yang tercinta tiga kali baru aku ampunkan kekurangajaranmu tadi!"

"Hwesio bau! Hwesio bau! Hwesio bau!" Bi Eng memaki tiga kali.

Goan Si Hwesio menjadi marah, ia mendesak makin hebat dan Bi Eng sudah lelah sekali karena tadi sebelum menghadapi hwesio ini sudah bertempur melawan Yan Bu, tak dapat mengelak lagi ketika kedua tangan hwesio yang kasar itu tahu-tahu telah menggunakan tipu Eng-jiauw-kang menangkap kedua pergelangan tangannya! Gadis itu meronta-ronta, namun ia tak dapat melepaskan cekalan hwesio itu, malah pergelangan tangannya terasa sakit sekali. Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh, dari mulutnya keluar bau busuk seperti bangkai.

"Hah hah hah, nona manis. Sekarang kau harus cium aku satu kali, baru kulepaskan kedua tanganmu! Hah hah hah!"
Bi Eng menjadi muak dan marah sekali, namun ia tidak berdaya. Ia tak dapat berbuat lain kecuali meludahi muka hwesio itu sambil memaki-maki, "Hwesio bau! Hwesio tengik! Kau boleh bunuh aku!"

Pada saat itu terdengar suara suling yang merdu, terdengar amat jauh akan tetapi secara mengherankan sekali, dengan cepat suling itu terdengar makin dekat, makin dekat seakan-akan dibawa terbang ke tempat itu. Tiba-tiba suara suling itu terhenti, disusul suara seorang laki-laki yang terdengar halus dan merdu, suara orang yang jenaka. "Ha ha ha, memang dia itu hwesio kopet (belum mencuci tubuhnya), maka berbau tengik dan busuk!"

Tiba-tiba, entah dari mana munculnya, di situ sudah kelihatan seorang pemuda yang berpakaian indah dan mewah sekali, pakaian seorang sasterawan kaya, tangan kanan memegang sebatang suling berukir, tangan kiri memegang kipas indah yang dipakai mengebuti mukanya. Pemuda ini berusia kira-kira dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang wajahnya tampan sekali. Aneh dan sayangnya wajahnya yang tampan itu amat putih seperti dibedaki hingga nampak pucat.

Pemuda itu tersenyum-senyum dengan gerakan seenaknya kipasnya dikebutkan ke arah muka hwesio itu. Jarak antara dia dan Goan Si Hwesio ada tiga empat meter. Akan tetapi angin kebutan itu membuat Goan Si Hwesio merasa mukanya dingin dan napasnya sesak. Saking kagetnya ia terpaksa melepaskan cekalannya pada tangan Bi Eng dan melompat mundur.

"Setan cilik, siapakah kau berani kurang ajar padaku? Ayoh, kau menggelinding pergi dari sini!" Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan tangan kanannya dan tiga batang senjata rahasia piauw menyambar ke arah tubuh pemuda tampan pesolek itu. Goan Si yang tadinya sudah girang mendapatkan seorang gadis calon korban, menjadi marah sekali diganggu orang maka begitu bergerak ia menurunkan tangan maut. Tiga batang piauw itu disambitkan secara hebat sekali sehingga lebih dari cukup untuk mengantar nyawa orang menghadap Giam-kun di neraka.

"Hemmm, segala macam hwesio kopet!" dengan kipasnya pemuda itu masih mengebut-ngebut badannya dan... tiga batang piauw itu ketika menyambar tubuhnya tahu-tahu runtuh terkena angin kebutan kipas, malah ketika pemuda itu mendadak menutup kipasnya dua batang piauw kena di"bungkus" oleh kipas itu. Sambil tersenyum-senyum pemuda itu lalu membuka kipasnya secara mendadak dan..... dua batang piauw yang tadi ditangkap oleh kipas itu menyambar dan tanpa dapat dielakkan lagi telah mengenai jalan darah di lutut Goan Si Hwesio. Hwesio itu mengeluarkan seruan kaget, namun sudah terlambat ketika ia hendak meloncat karena tiba-tiba kedua kakinya itu dari lutut ke bawah tak dapat digerakkan lagi, membuat ia berdiri seperti patung dengan kedua kaki mati!

Hwesio itu membelalakkan kedua matanya, takut setengah mati melihat pemuda aneh yang luar biasa ini. "Kau..... kau siapakah.....?"

Pemuda itu kembali mengeluarkan dengus mengejek, lalu membuka kipasnya dan mengebut-ngebut badannya perlahan. Bau yang amat wangi keluar dari pakaiannya dan kini hwesio itu dapat melihat lukisan sebuah gunung putih tertutup salju di atas kipas. Seketika wajahnya pucat seperti mayat dan tubuhnya bagian atas menggigil.

"Kau.... kau.... Bhok.... Bhok-kongcu... dari Pak....."

"Hemm, kiranya matamu yang berminyak itu belum buta." Pemuda itu menegur, suaranya tetap halus merdu akan tetapi mengandung ancaman yang membuat Goan Si Hwesio makin takut. Ia ingin menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi kedua kakinya sudah mati tak dapat digerakkan. Maka ia lalu menjura dan memberi hormat dengan merendah sekali, mulutnya berkata.

"Mohon maaf sebesarnya..... mohon kongcu yang mulia mengampunkan hamba yang rendah. Siauwceng telah berani kurang ajar, biarlah Siauw-lim-si memberi hukuman kepada siauwceng dan kelak minta maaf kepada kongcu...."

"Ha, kau hendak bertopeng Siauw-lim-si untuk menakut-nakuti aku? Eh, hwesio kopet, kau tahu aku orang macam apa?"

"Siauwceng tidak berani.... tidak berani...."

Pemuda itu tidak memperdulikan lagi, lalu meniup sulingnya dan matanya yang jenaka itu mengerling ke arah Bi Eng. Gadis ini semenjak tadi memandang kepada pemuda itu dan merasa lucu sekali melihat seorang pemuda begitu pesolek seperti wanita, juga diam-diam heran melihat kelihaian pemuda yang ternyata amat ditakuti hwesio itu.

Kini ia melihat pemuda itu meniup sulingnya, tidak merdu dan indah seperti tadi, melainkan bersuara aneh dan menyeramkan, melengking tinggi rendah kadang-kadang menusuk anak telinga. Anehnya, hwesio itu menjadi makin ketakutan dan menggigil keras sedangkan kepala dan mukanya penuh keringat.

Tak lama kemudian terdengar suara "kresek-kresek" dari jauh, makin lama makin keras dan suling itupun ditiup makin hebat. Sebentar lagi suara berkresek makin dekat dan...." Ular....! Ular.....!" Bi Eng berteriak sambil melompat ke atas. Siapa takkan takut melihat banyak sekali ular besar kecil, dari berbagai macam dan warna, merayap-rayap datang ke tempat itu dari segenap penjuru?

"Jangan takut!" kata pemuda itu dengan suara merdu dan halus kepada Bi Eng. Akan tetapi mana bisa gadis itu tidak takut? Sebenarnya bukan takut, melainkan jijik dan geli. Otomatis gadis ini melompat ke dekat pemuda itu untuk mencari perlindungan karena ia tahu bahwa agaknya pemuda ini yang memanggil ular-ular itu.

Makin lama makin banyaklah ular berkumpul di situ, ada ular sendok, ular belang, ular hijau, ular hitam, ular sungai dan pendeknya, agaknya segala macam ular yang berada di daerah ini telah berkumpul di situ, tertarik oleh suara suling! Sekejap mata saja tempat mereka bertiga sudah dikurung oleh ratusan ekor ular beracun.

"Bhok-kongcu, ampun...... ampunkan siauwceng...." hwesio itu masih mengeluh, ngeri menyaksikan ular begitu banyak.

"Nona, hwesio kopet ini tadi kurang ajar padamu, bukan?" tanya si pemuda muka putih kepada Bi Eng, mulutnya tersenyum dan matanya jenaka.

Bi Eng merasa geli mendengar pemuda itu memaki Goan Si sebagai hwesio kopet. Benar-benar makian yang aneh, lucu dan menjijikkan. Kini melihat muka yang tampan sekali ini tersenyum dan matanya bergerak-gerak lucu, mau tak mau Bi Eng yang memangnya berwatak jenaka, timbul kegembiraannya dan iapun tersenyum.

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



"Dia kurang ajar, akan tetapi kau sudah menghajarnya," jawabnya. Jawaban ini sama saja dengan pujian kepada pemuda itu, dan si pemuda agaknya merasa juga bahwa nona jelita itu memujinya, maka senyumnya melebar, matanya yang bagus itu makin bersinar-sinar.

"Nona, namaku Bhok Kian Teng."

Melihat sikap orang yang sewajarnya tanpa ada sifat-sifat kurang ajar, Bi Eng merasa senang dan iapun memperkenalkan diri, "Dan aku Cia Bi Eng."

"Aku dari Al-tai-san di Pak-thian (daerah utara)." Kata pula Bhok Kian Teng.

"Dan aku dari.... dari Min-san," kata Bi Eng sejujurnya. Orang bersikap jujur kepadanya, mengapa dia tidak? Mendengar kata-kata ini, pemuda she Bhok itu tiba-tiba tertawa, lalu menoleh kepada Goan Si Hwesio dan berkata,

"Bukankah kau hwesio kopet dan bau tidak takut mampus? Berani kurang ajar kepada nona Cia Bi Eng, puteri pahlawan she Cia di Min-san? Hmm, benar-benar sudah bosan hidup!"

Hwesio itu makin pucat dan mengangguk-anggukkan kepala minta ampun. Sedangkan Bi Eng juga terheran mendengar ini. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya.

Bhok Kian Teng tersenyum. "Kau she Cia dari Min-san, di dunia ini mana ada orang she Cia dari Min-san lain lagi kecuali keturunan orang-orang gagah Cia Hui Gan dan Cia Sun?"

Girang hati Bi Eng mendengar orang tuanya dipuji-puji sebagai orang gagah. "Cia Hui Gan kakekku, Cia Sun ayahku!" katanya girang. Bhok Kian Teng mengangguk-angguk.

"Pantas saja kau begini gagah, nona. Kiranya puteri Cia Sun lo-enghiong. Terimalah hormatku." Pemuda itu menjura dan ketika ia bergerak, dari tubuhnya kembali tersiar bau yang harum wangi.

"Bhok-kongcu sudah menolongku terlepas dari tangan hwesio ko.... eh, hwesio bau tengik ini. Akulah yang harus menghormatmu." Bi Eng tidak sampai hati mengucapkan kata-kata "kopet", karena kata-kata ini biasanya ditujukan kepada orang yang tidak mencuci tubuh sehabis buang air!

"Nona, kadal ini tadi berlaku kurang ajar. Menurut pendapatmu, dia harus dihukum secara bagaimanakah?"

Bi Eng melirik-lirik memandang hwesio itu. Dia memang marah sekali kepada kepala gundul itu, dan amat benci. Apalagi kalau ingat betapa tadi dia disuruh menciumnya segala. Hemm, mau rasanya ia memenggal leher orang itu agar kepalanya yang gundul menggelundung di antara ratusan ular. Alangkah senangnya kalau melihat hwesio ini dikeroyok ular! Hampir saja ia mengucapkan keinginan hatinya ini kalau saja ia tidak ingat akan kakaknya. Terbayang wajah kakaknya yang halus budi, yang penuh kasih kepada sesamanya, yang mudah mengampunkan orang. Bergidik ia kalau teringat betapa kakaknya itu akan marah kepadanya kalau saja tahu bahwa ia menghukum hwesio supaya dikeroyok ular! Maka ia lalu berkata,

"Kalau ia sudah bertobat, biar dia menampari muka sendiri sampai bengap!"

Bhok Kian Teng tertawa. "Enak amat baginya! Eh, hwesio kadal kopet, ayoh kau maki dirimu sendiri hwesio kopet seratus kali sambil menampari mukamu sampai bengkak-bengkak!"

Inilah hinaan hebat. Akan tetapi Goan Si Hwesio agaknya takut dan ngeri menghadapi pemuda aneh itu. Begitu mendengar perintah ini, ia lalu menggunakan kedua tangannya menampari muka sendiri dari kanan kiri sambil mulutnya memaki, "Hwesio kopet.... hwesio kopet.....hwesio kopet....!" berulang-ulang sampai mukanya menjadi bengkak-bengkak, bibirnya juga bengkak tebal sehingga makiannya makin lama makin tak terdengar jelas lagi.

Bhok Kian Teng merogoh saku jubahnya yang lebar dan mengeluarkan sebuah pisau kecil berbentuk golok. Hwesio itu nampak kaget sekali melihat ini. Ia mengenal "huito" atau golok terbang ini, yang belum pernah dilihatnya akan tetapi sudah sering kali didengarnya.

"Kongcu.... am... ampun...." katanya.

Bhok Kian Teng tertawa. "Kedua tanganmu kotor sekali, berani kau tadi mencekal kedua tangan nona Cia yang putih bersih dan suci murni. Ayoh, kau buntungi kedua tanganmu!"

Ia melemparkan golok kecil itu ke arah Goan Si Hwesio yang menyambut dengan tangan kanan. Kemudian, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membacok putus tangan kirinya, kemudian ia menggigit gagang golok kecil itu dan membacok putus pula tangan kanannya! Golok itu jatuh ke bawah mengeluarkan bunyi berdencing dan hwesio itu roboh pingsan. Darah mengalir keluar dari kedua lengannya yang sudah buntung. Bi Eng mengeluarkan teriakan perlahan karena ngeri sungguhpun diam-diam di lubuk hatinya terdapat perasaan puas melihat penderitaan hwesio yang dibencinya itu.

Bhok Kian Teng tertawa. "Muak dan menjemukan sekali melihat hwesio ini, bukan? Mari kita tinggalkan dia, nona!"

Bi Eng mengangguk. Memang tidak menyenangkan tinggal di tempat itu, selain ngeri juga takut melihat banyaknya ular-ular beracun. Kian Teng lalu meniup sulingnya, pendek dan cepat, kemudian ia membungkuk kepada Bi Eng mempersilahkan Bi Eng berjalan dengan sikap yang amat hormat. Bi Eng senang, tersenyum dan di lain saat dan dua orang muda ini sudah berjalan, berendeng dan beromong-omong. Belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba terdengar pekik mengerikan. Bhok Kian Teng nampak tenang-tenang saja, akan tetapi Bi Eng dengan kaget memutar tubuh memandang.

Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat dan bulu tengkuknya berdiri. Apa yang ia lihat? Ternyata bahwa sepergi mereka, tubuh Goan Si Hwesio dikeroyok ular-ular itu yang menggigitnya, beratus banyaknya. Celakanya hwesio itu sudah siuman dari pingsannya sehingga dapat dibayangkan betapa takutnya sampai ia mengeluarkan pekik tadi. Tapi hanya sebentar karena dalam sekejap saja kulit dan daging hwesio itu sudah habis dimakan ular, tinggal tulang-tulangnya saja yang masih dijilat-jilat oleh ratusan ekor ular, yang masih merasa belum kenyang.

Bi Eng memutar lagi tubuhnya dan menutupi muka dengan ke dua tangannya. "Ah, alangkah ngerinya. Kenapa dia dibunuh?" katanya perlahan, agak gemetar karena merasa ngeri.

Terdengar suara Bhok Kian Teng bersungguh-sungguh. "Nona Cia, hatimu memang terlalu baik, karena itu banyak orang jahat suka mengganggumu. Manusia macam itu mampus dimakan ular, memang sudah sepatutnya. Apa kau dapat membayangkan betapa nasibmu akan lebih mengerikan dari pada nasibnya kalau tadi kau sampai terjatuh ke dalam tangannya? Nona, terus terang saja kukatakan, dia lebih jahat dari pada ular-ular tadi!"

Bi Eng menurunkan tangannya, memandang kepada pemuda itu dengan pucat. Ia hanya dapat setengah menduga apa yang akan terjadi padanya kalau tadi pemuda ini tidak muncul menolongnya. Hebat! Kenapa di dunia ini banyak sekali orang jahat? Ia memandang wajah pemuda ini dengan tajam penuh selidik. Wajah yang tampan dan gagah, pikirnya. Selalu tersenyum mulutnya, selalu berseri wajahnya, selalu bersinar matanya, halus kata-kata dan gerakan-gerakannya.

Akan tetapi dibalik itu semua, Bi Eng merasa sesuatu yang aneh, seakan-akan ada sesuatu yang mengancamnya dengan hebat, ada sesuatu yang lebih mengerikan dari pada hwesio tadi, dari pada ular-ular tadi. Dia tidak tahu apakah itu. Hanya di dasar hatinya ia merasa tidak senang dan takut kepada pemuda yang berwajah terlalu putih ini, yang bersikap terlalu baik, sungguhpun di luarnya ia merasa kagum dan suka mendengar omongan-omongannya yang halus merdu dan penuh pujian.

Dua orang muda-mudi ini berjalan perlahan, kembali ke pinggir sungai Wei-ho. Ketika tiba di tempat di mana tadi ia bertemu dengan Yan Bu, Bi Eng melihat sebuah perahu besar yang amat indah dengan cat merah berada di pinggir sungai dan ia melihat belasan orang wanita cantik di atas perahu itu.

Wanita-wanita itu masih muda-muda, rata-rata berusia dua puluh tahun, dan tak seorangpun di antara mereka yang berwajah buruk. Pakaian mereka dari sutera warna warni, amat indah dengan potongan yang ketat sehingga dari jauh nampak bentuk tubuh mereka yang penuh dan menggairahkan.

Akan tetapi pada wajah-wajah cantik itu bersinar sesuatu yang memuakkan hati Bi Eng, sinar dari wajah-wajah yang genit dan cabul yang hanya dapat ia rasai dalam hati akan tetapi yang tidak dimengertinya. Sebelum ia bertanya kepada Bhok Kian Teng siapa adanya wanita-wanita di atas perahu indah itu, ketika melihat pemuda ini serentak wanita-wanita itu mengeluarkan suara yang merdu dan girang.

"Kongcu-ya telah pulang....!" Suara itu merupakan sorakan dari hati yang amat girang.

Dari atas perahu melayang seorang wanita dengan gerakan yang amat ringan dan wanita ini meloncat ke depan Bhok Kian Teng. Ternyata dia seorang wanita yang cantik sekali, usianya lebih tua dari pada yang lain, kira-kira dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun, akan tetapi mempunyai kecantikan yang menonjol dengan bentuk tubuh yang amat bagus. Di punggungnya nampak gagang sepasang pedang dan dari gerakannya melompat tadi dapat diketahui bahwa kepandaiannya juga luar biasa.

"Kepergian kongcu meninggalkan perahu menggelisahkan kami," kata wanita ini dengan suara berlagu dan merayu. "Akan tetapi suara seruling kongcu tadi memberitahukan bahwa kongcu sedang menghajar seorang jahat." Ia mengerling ke arah Bi Eng dan pada mata yang tadinya berseri itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin. "Tidak tahu siapakah yang membikin kongcu tidak senang? Siauw-moi sekalian akan menghajar manusia itu!"

Bhok Kian Teng tersenyum, lalu menggerakkan kipasnya. "Tidak apa-apa, Leng-moi. Hanya seorang hwesio kopet yang mengganggu nona ini. Baiknya aku keburu datang merintangi maksudnya yang buruk."

Wanita itu tertawa genit. "Dan bagaimana dengan hwesio...... kopet itu?"

"Ha ha, dia sudah dimakan habis oleh ratusan ular."

"Bagus. Bagus!" Wanita itu bertepuk tangan. "Memang kongcu luar biasa dan berhati mulia. Dimana-mana melepas budi dan tak pernah ular-ular setempat tidak diberi makan. Makin lama kongcu akan makin terkenal dan dikagumi di antara para ular di dunia ini."

Para wanita di atas perahu tiba-tiba menyanyi dengan irama bersemangat dan merdu merayu:

"Lebih tampan dari pada Tan Po An
Lebih gagah dari pada Ciu Goan Ciang!
Dengan suling dan kipas menjagoi dunia
Melintasi gurun dan mengarungi lautan.
Siapa dia?
Bhok-kongcu kami yang tercinta!"

Nyanyian ini diulang sampai tiga kali. Diam-diam Bi Eng terheran. Bagaimanakah ada orang sampai dipuji setinggi langit seperti itu? Memang, dia sendiri tidak menyangkal bahwa Bhok Kian Teng memang tampan akan tetapi kalau lebih tampan dari Tan Po An, ini dia tidak dapat menerima. Pernah kakaknya, Han Sin yang suka membaca dongeng kuno, menceritakan bahwa ketampanan Tan Po An di jaman dahulu mengguncangkan dunia bahkan menggegerkan langit sehingga para bidadari menjadi keedanan dan turun ke dunia, bikin ribut untuk memperebutkan Tan Po An!

Dan biarpun ia sudah melihat bahwa Bhok-kongcu lihai, akan tetapi lebih gagah dari Ciu Goan Ciang pemimpin barisan rakyat yang berhasil mengusir penjajah Mongol? Ah, inipun obrolan besar! Diam-diam Bi Eng memandang wanita-wanita itu dengan hati tak senang. Ia menganggap mereka itu penjilat-penjilat besar.

"Kau lihat, nona Cia. Aku amat dimanja-manjakan mereka. Ah, lama-lama membosankan juga." Kata Bhok Kian Teng ketika melihat kening gadis itu mengerut. Ia lalu memberi tanda dengan tangannya dan para wanita itu berhenti menyanyi.

"Nona, ini adalah pembantuku nomor satu, namanya Yo Leng Nio. Leng-moi, nona ini adalah nona Cia Bi Eng, tamu kita yang terhormat. Mari, nona Cia, mari naik ke perahuku, kita bicara di sana."

BI ENG ragu-ragu, sebetulnya enggan kalau harus naik ke perahu orang.

"Aku.... aku menanti datangnya kakakku di sini...." katanya perlahan.

Kian Teng tertawa. "Perahuku memang berlabuh di sini. Apa bedanya menanti di darat ataupun di atas perahu? Kalau kakakmu datang, kan bisa kelihatan dari perahu? Nona, kami mengundangmu sebagai tamu, apakah kau tidak suka?"

Tentu saja Bi Eng tidak dapat menolak lagi. Orang sudah menolongnya dari malapetaka yang besar. Bagaimana dia bersikap kurang terima. Ia tersenyum. "Kau terlalu menghormat, Bhok-kongcu. Kau penolongku, tentu saja aku mau menerima undanganmu. Hanya aku khawatir membuat kalian repot saja."

"Tidak repot ".. tidak repot ""." Kata Bhok Kian Teng sambil mengajak Bi Eng naik ke perahu. Para wanita cantik itu sejak tadi sudah sibuk memasang papan tangga sehingga pemuda itu bersama Bi Eng dengan mudah dapat naik ke perahu, tak usah meloncat. Di belakang mereka berjalan Yo Leng Nio yang masih agak muram mukanya kalau melihat Bi Eng. Di sudut kerling matanya nampak jelas perasaan cemburunya. Melihat ini, Bi Eng hanya tersenyum mengejek. Kau tak usah takut, pikirnya, siapa sudi merampas kongcumu yang kalian dewa-dewakan?

Setelah naik ke atas perahu dan menghitung, Bi Eng mendapat kenyataan bahwa wanita-wanita itu bersama Yo Leng Nio berjumlah lima belas orang. Dan di pinggir-pinggir perahu, mungkin bekerja sebagai pengemudi dan anak buah perahu, kelihatan sepuluh orang laki-laki tinggi besar yang berpakaian tidak seperti orang Han, juga sikap mereka ini aneh, diam saja seperti patung. Malah pandangan mata mereka tidak langsung seakan-akan kosong. Orang-orang lelaki yang berada perahu itu sama sekali tidak memperdulikan segala keributan wanita-wanita yang menyambut Bhok-kongcu. Hanya mereka ini berdiri tegak seperti barisan untuk menghormat pemuda itu.

Bi Eng diajak ke sebuah ruangan dalam perahu dan di situ ia dipersilahkan duduk. Sementara itu, Bhok-kongcu sudah "dikeroyok" empat belas orang gadis cantik kecuali Yo Leng Nio yang berdiri dan bersikap sebagai penjaga. Bhok-kongcu duduk di atas kursi dan mulailah empat belas pasang lengan melayaninya. Wanita-wanita ini tersenyum dan melirik, menarik muka semanis-manisnya, tertawa kecil amat genit. Ada yang melepas sepatu dan kaus kaki Bhok-kongcu lalu mencuci kaki itu, ada yang menggantikan jubah luar, ada yang membuka topi lalu menyisir rambutnya.

Pendeknya keadaan Bhok-kongcu seperti seorang calon mempelai yang didandani! Hebatnya. Wanita-wanita itu dengan sikap menarik hati melakukan perbuatan yang membuat Bi Eng melongo lalu tak berani memandang lagi. Bayangkan saja, yang mencuci kaki ".. mencium kaki itu, yang menyisir rambut mencium rambut dan sebagainya. Benar-benar penglihatan yang amat aneh dan membikin Bi Eng tidak kuat memandang lebih lama, lalu gadis itu berdiri dan pura-pura melihat-lihat air di pinggir perahu.

Setelah selesai "mendadani" pemuda itu, seorang demi seorang para wanita itu menjual lagak. Ada yang berkata dengan suara halus merdu, "Kongcu, hidangan sudah siap siauw-moi bikin selezat-lezatnya." Ada yang merayu, "Apakah kongcu ingin melihat siauw-moi menari lebih dulu?" Ada pula yang berkata manja, "Tentu kongcu ingin mendengar siauw-moi bernyanyi?"

Akan tetapi Bhok Kian Teng menggerakkan tangan dan berkata, "Pergilah kalian mengaso. Keluarkan hidangan, aku hendak mengundang nona Cia makan minum. Jangan kalian mengganggu. Boleh keluarkan hiburan tarian dan nyanyian untuk nona Cia, akan tetapi agak jauh, jangan dekat-dekat."

"Ah, kongcu "..?" masih ada suara-suara halus merdu membantah.

Tiba-tiba Yo Leng Nio membentak, "Kongcu sudah keluarkan titah, kalian masih berani cerewet?" Sepasang mata wanita ini melotot dan undurlah wanita itu. Yo Leng Nio sendiri juga pergi untuk memenuhi perintah tuannya.

"Nona Cia, harap kau maafkan melihat mereka itu," kata Kian Teng setelah mengundang Bi Eng duduk kembali. "Sebetulnya akupun jemu dilayani oleh begitu banyak tangan. Ahh ".." Ia menarik napas panjang sambil menatap ke arah kedua tangan Bi Eng yang runcing halus. "Alangkah akan bahagianya kalau aku hanya dilayani oleh sepasang tangan yang penuh kasih sayang ".."

Entah mengapa, mungkin karena mata pemuda itu memandang ke arah tangannya, wajah Bi Eng menjadi merah dan ia otomatis menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja! Untuk menghilangkan dan menyembunyikan rasa bingung dan jengahnya, Bi Eng berkata sambil tertawa dan memandang wajah tuan rumah, "Bhok-kongcu, kau benar-benar seorang aneh. Belum pernah aku melihat orang dengan keadaan seaneh kau!"

Bhok Kian Teng tertawa terbahak dan ketika tertawa ini, lenyaplah keanehan yang menyeramkan yang menyelubungi dirinya, dia berubah menjadi seorang pemuda tampan yang gembira sehingga Bi Eng juga ikut gembira. "Apanya yang aneh? Nona, itu adalah karena kau belum mengenal aku. Bhok Kian Teng bukan orang aneh, orang biasa saja "." Kemudian suaranya berubah bersungguh-sungguh. "Tentu saja aku pun bukan gentong nasi yang tak mempunyai cita-cita! Aku seorang laki-laki dari darah dan daging, aku bercita-cita tinggi sekali. Nona Cia, mari minum!" Ia menuangkan arak ke dalam cawan ketika dua orang gadis datang mengeluarkan arak wangi.

Bi Eng tidak biasa minum arak, akan tetapi karena tidak sudi disangka "perawan dusun", terutama sekali oleh para gadis itu, ia menerima cawannya, menghaturkan terima kasih dan meneguknya habis. Arak itu wangi dan manis, enak sekali, akan tetapi hampir ia tersedak karena tidak biasa akan minuman keras. Diam-diam ia teringat akan suhunya. Kalau suhu mendapat suguhan arak seenak ini, tentunya akan dihabiskan segentong! Demikian pikirnya gembira.

Sementara itu, hidangan dikeluarkan di atas meja, hidangan-hidangan yang masih panas mengebul dan mewah. Gadis-gadis tadi keluar lagi membawa alat musik dan dalam jarak yang agak jauhmereka mulai menari dan bernyanyi sementara Bhok Kian Teng mengajak Bi Eng makan minum. Hidangan amat enak, arakpun wangi, ditambah tari-tarian yang lemah gemulai indah dan nyanyian dengan suara merdu merayu, bagaimana Bi Eng takkan senang? Apalagi ia memang sudah lapar, maka sebagai seorang gadis lincah dan terbuka, ia tidak malu-malu lagi dan menyikat makanan sampai kenyang

Melihat sikap gadis yang terbuka ini, timbul kegembiraan Bhok Kian Teng dan sambil menggerak-gerakan kipasnya ia lalu membaca sajak dengan lagak seorang sasterawan dan dengan suara yang lantang, sementara para gadis menabuh khim perlahan-lahan.

"Air We-ho mengalir gelisah di bawah perahu
kacau tak menentu, kemanakah kau hendak pergi?
Lebih senang duduk diperahu minum arak
menjamu tamu agung jelita gagah!
Menyaksikan tarian mendengar nyanyian
senyum madu mata bintang
Aku berhasil menyenangkan tamu agung!
Bawa arak! Biarkan aku minum sepuasnya!"

Tanpa banyak berpikir dapat membuat sajak bukanlah hal yang mudah. Bi Eng sudah pernah mempelajari ilmu surat bersama kakaknya, akan tetapi dalam hal kepandaian ini dia kalah jauh oleh kakaknya. Maka ia merasa kagum sekali melihat Bhok-kongcu dapat membuat syair yang merupakan sindiran dan pujian bagi dirinya. Tak terasa lagi mukanya menjadi merah jengah dan juga diam-diam girang karena ia disebut-sebut sebagai tamu agung jelita gagah bersenyum madu bermata bintang.

Setelah mengucapkan syairnya, sambil tertawa Kian Teng kembali mengisi cawan arak Bi Eng lalu berkata, "Sekarang kuharap Cia-siocia sudi membuatkan sebait-dua bait sajak untukku."

"Ah, aku tidak bisa, Bhok-kongcu," kata Bi Eng sambil tertawa.

"Siapa percaya? Nona seorang Bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat), tentu lebih pandai dari pada aku. Kalau nona tidak sudi memperlihatkan sedikit kepandaian untuk membuka mataku, terpaksa aku mendenda nona dengan tiga cawan arak!" Berkata demikian, pemuda itu tertawa-tawa gembira dan sewajarnya.

Bi Eng juga tertawa, lalu menarik napas panjang. "Ah, kalau saja Sin-ko berada di sini, tentu dia gembira sekali dan kau tak akan kecewa, karena dalam membuat sajak, kiranya di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkan Sin-ko."

Perhatian Bhok-kongcu segera tertarik. "Sin-ko? Siapakah dia?"

Bi Eng tidak tahu bahwa dalam pertanyaan ini terkandung cemburu yang amat besar. Dia sudah agak dipengaruhi arak, maka sedikit keadaan ini tidak terlihat olehnya.

"Sin-ko adalah kakakku "". Dan tiba-tiba Bi Eng menjadi berduka. Kakaknya masih tertahan di Cin-ling-san, usaha pertolongan dari Yan Bu juga belum ada ketentuan hasil tidaknya, dan dia enak-enak dan senang-senang di atas perahu ini bersama Bhok-kongcu. Wajahnya menjadi muram, senyumnya menghilang, bahkan di matanya terdapat dua titik air mata!

"Eh, nona Cia, kau kenapakah?" tanya Bhok Kian Teng, suaranya terdengar demikian menaruh perhatian dan berkhawatir sehingga dilain saat Bi Eng menjadi begitu sedih dan menangis benar-benar.

Di luar tahu Bi Eng, Kian Teng memberi isyarat dengan matanya dan semua wanita di situ mengundurkan diri, meninggalkan pemuda itu berdua saja dengan Bi Eng. Bahkan anak buah perahu juga tidak menampakkan diri. Senja telah terganti malam dan bulan muda sudah muncul di angkasa raya, memuntahkan cahaya gemilang di permukaan air sungai, menimbulkan pemandangan indah dan suasana yang romantis.

Bi Eng yang sedang menangis dan menutupi mukanya di atas meja tidak melihat bahwa dia sekarang hanya berdua saja dengan pemuda itu. Ketika merasa betapa sebuah tangan dengan mesra dan halus menepuk-nepuk pundaknya, ia kaget dan mengangkat kepala. Dilihatnya kongcu itu sudah berdiri dari kursinya, berdiri dekat dengan dia dan menepuk-nepuk pundak dengan sikap menghibur. Ia menjadi jengah dan melihat ke kanan kiri, akan tetapi tidak ada seorang pun di situ, bahkan Yo Leng Nio juga tidak ada lagi di situ.

"Nona Cia, tenanglah dan sabarlah. Kau agaknya berduka sekali, bolehkah aku mengetahui persoalannya? Percayalah, selama masih ada Bhok Kian Teng hidup di dunia ini, tidak seorang pun boleh menyusahkan hatimu. Aku menyediakan selembar nyawaku untuk membela dan melindungimu, nona." Suara ini demikian mesra, demikian halus mengharukan sehingga biarpun tak senang disentuh pundaknya, namun Bi Eng tidak tega bersikap kasar.

"Bhok-kongcu, duduklah baik-baik. Aku sangat berterima kasih padamu dan akan kuceritakan kesukaranku, biarpun agaknya kaupun takkan dapat menolongku."

Bhok Kian Teng melangkah mundur, membungkuk lalu duduk di kursinya, senyumnya masih membayang di mulut, wajahnya tampak tenang dan sabar, kelihatan amat halus budi dan baik hati. "Kau berceritalah, nona, aku siap mendengarkan."

Bukan maksud hati Bi Eng untuk menceritakan semua riwayatnya, ia hanya merasa tidak enak kalau menyimpan rahasia hatinya, dan pula, melihat kelihaian kongcu ini, iapun mengharapkan petunjuk-petunjuknya. Maka dengan singkat ia bercerita, "Bhok-kongcu, maafkan kalau tadi aku tidak dapat menahan perasaan dan menangis, membikin kau jemu saja. Aku bersama kakakku, Cia Han Sin, dan seekor monyet peliharaan kami, turun dari Min-san untuk " untuk lihat dunia ramai." Ia mulai menutur. Kian Teng yang cerdik tentu saja tahu akan keraguan nona ini ketika hendak bicara tentang maksudnya turun gunung, namun ia tidak bertanya, tidak mencela dan mendengarkan dengan sabar.

"Kami sudah yatim piatu, dan hidup kami hanya bertiga dengan monyet kami itu. Kami kira dunia ini indah dan manusia-manusianya baik-baik. Tidak tahunya, baru tiba di Cin-ling-san kami menemui malapetaka. Tosu-tosu bau dari Cin-ling-pai, entah mengapa, marah-marah kepada kami dan tidak mau membiarkan kami lewat dengan aman. Mereka malah hendak menyerang dan menangkap kami. Tentu saja aku melawan mereka dan kakak ". Sin-ko yang tidak bisa ilmu silat sudah bersikap gagah melindungi aku. Lalu datanglah seorang kakek bernama Ban Kim Cinjin, katanya utusan pemerintah dan antara kakek ini dan orang-orang Cin-ling-pai timbul perkelahian hebat sehingga banyak tosu Cin-ling-pai tewas di tangan Ban Kim Cinjin."

Bhok Kian Teng mengangguk-angguk." Sudah kudengar nama Ban Kim Cinjin. Dia memang lihai."

"Melihat orang itu melakukan banyak pembunuhan, Sin-ko tidak tega dan mencegah. Akan tetapi dia malah beberapa kali dipukul oleh Ban Kim Cinjin. Kemudian "..

"Kemudian bagaimana, nona?" Kian Teng bertanya penuh perhatian, agaknya ia tertarik sekali.

"Ban Kim Cinjin memukul Sin-ko dan " tahu-tahu kakek itu roboh binasa ".."

"Aahhh ".!" Bhok Kian Teng melongo saking herannya.

"Siapa yang membunuhnya?"

"Akupun tidak tahu. Dia mati mendadak. Para tosu Cin-ling-pai lalu menyalahkan kami. Kakakku bertanggung jawab untuk semua itu, menyuruh aku pergi lebih dulu menanti di sini dan dia hendak memikul semua pertanggungan jawab. Padahal, kakakku yang tidak bisa silat mana bisa membunuh seorang seperti Ban Kim Cinjin?"

"Memang tak bisa ".. tak bisa "." Kongcu itu menggeleng-geleng kepala lalu merenung, nampaknya berpikir keras.

"Begitulah, Sin-ko ditawan. Aku tadinya hendak membelanya, akan tetapi Sin-ko tidak mau dan memaksa aku harus pergi dulu. Aku tidak berani membantah, lalu pergi dan hanya suruh Siauw-ong monyetku itu mengawaninya. Sin-ko masih ditawan orang, entah bagaimana nasibnya dan aku ". Aku bersenang-senang di sini, siapa yang tak sedih "..?"

Tiba-tiba Bhok Kian Teng memukulkan tangannya kepada ujung meja, perlahan saja, akan tetapi alangkah kagetnya hati Bi Eng melihat betapa ujung meja yang tebal dan keras itu menjadi hancur!

"Nona Cia, kenapa tidak tadi-tadi kau ceritakan hal ini kepadaku? Jangan kau kuatir, orang-orang Cin-ling-pai mana berani mengganggu kakakmu kalau ada aku? Hee! Leng-moi "..! Kesinilah!"

Yo Leng Nio cepat muncul, wajahnya tetap muram dan ia melirik satu kali ke arah Bi Eng.

"Kongcu memanggil siauw-moi?" tanyanya sambil menghadap Bhok Kian Teng.

"Leng-moi, sekarang juga kau berangkatlah ke Cin-ling-san, kau temui tosu-tosu pengurus Cin-ling-pai, atau kalau perlu boleh kau minta bertemu sendiri dengan Giok Thian Cin Cu ketuanya, tunjukkan kartu namaku dan kau minta atas namaku agar Cin-ling-pai suka membebaskan seorang bernama Cia Han Sin. Setelah bebas, kau ajak pemuda itu ke sini, katakan bahwa adiknya, nona Cia Bi Eng, menantinya di sini dalam keadaan selamat."

Yo Leng Nio mendengar penuh perhatian. Kemudian berkata, "Siauw-moi telah menerima perintah. Hanya sebuah pertanyaan, kongcu, bagaimana kalau ".."

"Kalau mereka menolak, jangan bikin malu aku! Kalau kau tidak sanggup mengalahkan mereka, katakan aku akan datang sendiri!" Bhok-kongcu memotong tak sabar lagi sambil menggerakkan tangannya menyuruh gadis itu pergi. Yo Leng Nio mengangguk, lalu sekali meloncat gadis ini sudah berada di darat!

Diam-diam Bi Eng kagum sekali.

"Jangan kau gelisah, nona Cia. Kakakmu pasti akan selamat dan segera datang ke sini."

"Bhok-kongcu, kau baik sekali. Banyak terima kasih atas segala jerih payahmu."

"Ah, setelah kita menjadi sahabat, mana perlu segala ucapan sungkan? Nona, sekarang mengasolah, dan jangan berduka." Kongcu itu menepuk tangan tiga kali dan lima orang gadis cantik muncul. "Antarkan nona Cia ke dalam kamar biar dia beristirahat."

Melihat kebaikan orang, Bi Eng terharu dan tidak sampai hati menolak. Memang lebih baik bermalam di dalam perahu dari pada di pinggir sungai. Ia lalu diantar oleh gadis-gadis itu dan ternyata di dalam perahu besar itu disediakan kamar-kamar yang indah dan bersih. Ia mendapat sebuah kamar dan setelah sampai di kamarnya, dia dilayani oleh seorang gadis cantik berbaju merah.

"Nona, kongcu telah berlaku baik sekali padamu, kau beruntung," kata nona baju merah itu sambil menarik napas panjang, di dalam suaranya terkandung iri hati besar. Namun Bi Eng tidak merasa ini dan dia tersenyum.

"Kalian semua orang-orang baik," katanya. "Enci, siapakah namamu?"

"Aku hanya pelayan, kau tamu agung. Panggil saja aku Ang-hwa (Bunga Merah)," katanya.

Bi Eng dapat menduga bahwa nama ini hanya nama samaran, sesuai dengan bajunya yang merah. Namun ia tidak perdulikan lagi karena matanya sudah mengantuk, kepalanya agak pening karena banyak minum arak. Begitu ia merebahkan diri di atas kasur yang empuk, segera ia tidur pulas.

Menjelang tengah malam, ia terbangun dan mendengar suara orang menarik napas panjang. Suara itu seperti di dalam kamarnya, maka Bi Eng segera memandang ke sana ke mari tanpa bergerak. Ia melihat lampu masih menerangi kamarnya dan ketika melirik ke arah jendela, lapat-lapat ia melihat sepasang mata yang tajam mengintai ke dalam kamarnya.

Ia mengenal mata ini, seperti mata Bhok-kongcu. Dan kembali terdengar tarikan napas panjang, juga dari balik jendela itu. Kemudian menyusul bisikan-bisikan perlahan, "Bhok Kian Teng " kau sudah gila. Mengapa tiba-tiba hatimu lemah? Gila ". Gila "." Dan suara itu makin menjauh sedangkan sepasang mata itupun lenyap.

Bi Eng terkejut dan heran, juga takut. Belum pernah ia merasa takut, akan tetapi berada dalam tempat asing di antara orang-orang asing yang aneh, ia merasa ngeri juga. Kau bodoh, pikirnya. Mereka itu orang-orang baik, mengapa takut? Tiba-tiba ia mendengar suara bisik-bisik dari balik dinding kamarnya. Ia mengulet dan mendekatkan telinga mepet di dinding kamarnya karena kebetulan tempat tidurnya mepet di dinding itu. Kini ia dapat mendengar suara dua orang wanita berbicara berbisik-bisik. Yang satu ia kenal sebagai suara Ang Hwa.

Cari Blog Ini