Ceritasilat Novel Online

Kasih Diantara Remaja 8


Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




"Aneh," kata suara kedua. "Kongcu sama sekali tidak mengganggu bocah dusun itu. Memasuki kamarnyapun tidak! Malah mengintai. Apa artinya ini? Belum pernah terjadi hal seperti ini. Apa dia takut?"

"Goblok!" terdengar suara Ang-hwa mencela. "Kongcu takuti siapa? Tentu dia ". Dia telah jatuh cinta "." Suaranya menjadi sedih.

Orang kedua menghela napas. "Hemmm, untung orang tak dapat diduga. Tadinya kami kira kau yang akan menjadi kekasihnya, Ang-hwa. Tidak tahunya kau juga sama dengan kami, hanya barang-barang permainan belaka. Tadinya kami kira dia tidak mempunyai hati untuk menyintai orang, menyinta dengan sungguh-sungguh seperti seorang pria menyinta wanita, kami kira dia memang hanya menganggap wanita sebagai barang mainannya. Tidak tahunya, dia menyinta gadis dusun "! Ah, Ang Hwa, belum pernah dia memandang kau seperti ketika memandang perempuan itu "" Haiii ".. nasib!"

Terdengar Ang Hwa mendengus, lalu suara itu sirep, Bi Eng terheran dan tidak mengerti sama sekali bahwa yang dimaksudkan dengan "gadis dusun" adalah dia sendiri! Karena itu dia tidak menaruh perhatian lagi dan mulai layap-layap hendak pulas.

Tiba-tiba ia mendengar pintu dibuka orang. Ketika ia membuka mata, ia melihat sinar kuning melayang ke arahnya dan di lain saat ia merasa lengan kirinya sakit sekali. Ia melihat dan ".. Bi Eng menjerit kaget. "Ular ". menggigit ".. celaka ".!"

Ia melihat seekor ular belang kuning sudah menggigit lengannya dan melingkar di situ.

Tiba-tiba daun jendela terpentang dan sesosok bayangan melayang masuk. Bhok Kian Teng telah berada di situ. "Celaka "..!" Pemuda itu berseru. Sekali tangannya diulur, kepala ular itu dipencet remuk. Tubuhnya lalu berkelebat ke arah pintu, terdengar suara gedebukan dan di lain saat ia telah kembali ke dalam kamar, menyeret ". Ang Hwa yang dilemparkannya ke atas lantai. Kemudian tanpa banyak cakap ia lalu menarik lengan Bi Eng yang tergigit ular dan memeriksa.

"Tenang, nona Cia. Aku akan menolongmu." Tanpa sangsi-sangsi lagi Bhok Kian Teng lalu merobek baju bagian lengan ini sehingga nampak kulit lengan kiri Bi Eng yang putih, di mana kini terdapat bintik-bintik merah bekas gigitan ular. "Duduklah baik-baik, aku akan mengeluarkan racun dari lenganmu." Setelah berkata demikian, Bhok-kongcu lalu menempelkan bibirnya pada lengan itu dan menghisapnya!

Bi Eng yang masih belum hilang kagetnya, kini terkesima dan tak dapat bergerak. Ia merasa ngeri, kaget, dan juga malu bukan main. Ketika merasa mulut pemuda itu yang hangat basah menempel di kulit lengannya dan menghisap, ia meramkan mata, mukanya merah dan hampir ia merenggutkan lengannya saking malu. Akan tetapi ia ingat bahwa pemuda ini sedang berusaha mengeluarkan racun, maka ia pertahankan dirinya.

Sehabis menghisap, pemuda itu lalu meludahkan darah yang berwarna hitam, lalu menghisapkan lagi, meludah lagi sampai lima kali, baru darah yang diludahkan berwarna merah. Lalu Bhok-kongcu mengeluarkan sebutir pil warna merah. "Telanlah ini," katanya kepada Bi Eng sambil menyodorkan secawan air bersih.

Bi Eng tidak membantah. Ditelannya pil itu dengan air dan ia merasa dadanya hangat-hangat nyaman. Rasa sakit pada lengannya masih ada, akan tetapi tidak ada lagi rasa gatal-gatal. Bhok-kongcu lalu menempelkan sehelai koyo (obat tempel) pada bekas luka, lalu menarik napas panjang karena lega sambil menyusuti peluhnya di jidat.

"Sudah selamat "".syukurlah ".." Kemudian pemuda itu menoleh ke arah Ang-hwa yang masih berlutut di atas lantai dengan muka pucat. "Keluar kau, ikut aku!" Tanpa menoleh lagi pemuda itu keluar dari kamar Bi Eng. Ang-hwa berdiri dan dengan kepala tunduk dan isak tertahan iapun ikut keluar.

Berdebar hati Bi Eng menyaksikan ini, hatinya merasa tidak enak sekali. Biarpun tubuhnya masih terasa lemah gemetar dan kepalanya pening, ia lalu membetulkan pakaiannya, mengeluarkan saputangan dan mengikat lengan bajunya yang robek tadi. Kemudian ia turun dari pembaringan dan keluar dari dalam kamarnya.

Ia melihat mereka semua sudah berkumpul di atas dek, diterangi bulan, nampaknya menyeramkan. Bhok Kian Teng duduk di tengah-tengah, di atas sebuah kursi. Ang-hwa yang menundukkan kepalanya berdiri tak jauh di depannya dan disekeliling mereka berdiri belasan orang wanita. Para anak buah perahu masih di tempat masing-masing, tak bergerak seperti patung, menambah keseraman pemandangan itu.

"Ang Hwa, sudah tahukah kau akan dosa-dosamu dan hukumannya?" terdengar suara Bhok Kian Teng, terdengar tidak bernada, akan tetapi masih halus sekali.

Ang Hwa mengangguk. "Siauw-moi berusaha mencelakakan wanita pilihan baru kongcu dan hukumannya seperti biasa, siauw-moi akan menjadi pelayan wanita itu untuk setahun dan selama itu ".. selama itu ". kongcu tidak akan mendekati siauw-moi ".." Ucapan terakhir ini dikeluarkan dengan isak tertahan dan sedih sekali kedengarannya.

"Kau telah berani mati mencoba untuk membunuh nona Cia!" terdengar lagi suara Bhok Kian Teng, masih halus akan tetapi sekarang mengandung kemarahan besar sehingga di sekelilingnya tidak ada orang berani mengeluarkan suara, bahkan bernapaspun ditahan-tahan. "Karena itu, kau harus mati! Nih, hui-to (golok terbang), tublas dadamu dan keluarkan hatimu yang hitam hendak kulihat!"

Ucapan ini seperti petir menyambar bagi semua wanita di situ. Biarpun mereka tahu bahwa Bhok Kian Teng dapat membunuh orang tanpa berkedip, namun belum pernah ia memberi hukuman mati kepada para selirnya yang ia sayang. Lebih-lebih lagi terhadap Ang Hwa yang selama ini dianggap seorang di antara selir-selirnya yang paling disayang, dan sebabnya hanya karena hendak membunuh seorang gadis dusun!

"Kongcu ""..!" Seorang wanita baju kuning, Oey Hoa, berkata dengan suara memohon. Dia juga seorang di antara mereka yang disayang.

"Siapakah yang hendak membelanya, boleh mengantarnya ke neraka!" kata Bhok Kian Teng dan Oey Hoa menjadi pucat, lain-lain wanita tidak ada yang berani mengeluarkan suara lagi. Dengan isak tertahan Ang-hwa lalu melangkah maju dan menerima golok kecil dari tangan Bhok Kian Teng.

"Bhok-kongcu-ya "" demi cinta kasihku yang suci kepadamu "", aku rela mati "", hanya aku kuatir " dia " dia " takkan dapat membahagiakanmu """

Sampai di situ, Bi Eng tak dapat menahan lagi gelora hatinya. Ia melompat maju dan berseru, "Tahan hukuman ini!"

Semua orang terkejut. Bhok Kian Teng cepat menengok dan melihat gadis itu berdiri dengan muka pucat akan tetapi dengan sikap gagah dan dalam pandang matanya makin cantik jelita, ia berkata lirih, penuh kasih sayang. "Nona Cia ".. kau jangan keluar dari kamar. Lukamu belum sembuh benar, jangan kau terkena angin malam ".."

Alangkah mesra penuh kasih sayang kata-kata ini, membuat semua wanita di situ saling pandang dan melongo. Belum pernah mereka mendengar kongcu mereka memperlihatkan kasih sayang demikian besarnya, kasih sayang sewajarnya, bukan hanya karena dorongan nafsu.

"Bhok-kongcu, kuanggap kau seorang yang baik budi, siapa kira kau bisa berlaku sekejam ini, menghukum mati begitu saja seorang wanita!" Bi Eng menegurnya dengan suara keras dan marah. Semua wanita sekali lagi terheran-heran, masa ada gadis yang begitu berani mencela kongcu mereka, padahal begitu disayang. Mereka yang mencari muka, mengambil-ambil hati minta dicinta, masih belum mendapat cintanya. Gadis ini begitu kasar dan berani mencela, malah dicinta. Anehnya cinta

"Dia ".. dia hendak membunuhmu!" kata Bhok Kian Teng sambil memandang ke arah Ang-hwa dengan marah.

"Aku yang hendak dibunuh, bukan kau. Mengapa kau yang hendak menghukumnya? Sepatutnya akulah yang bersakit hati." Setelah berkata demikian Bi Eng melompat maju ke depan Ang-hwa dan sekali ia menggerakkan tangan, hui-to itu telah dirampasnya dan dikembalikannya kepada Bhok-kongcu. Kemudian Bi Eng menghadapi Ang-hwa dan bertanya.

"Enci Ang-hwa, tadi sikapmu baik sekali kepadaku. Kenapa kau melepas ular beracun hendak membunuhku? Apa salahku kepadamu?"

Ang-hwa dengan muka pucat memandang Bi Eng penuh selidik, seakan-akan hendak mencari tahu rahasia apakah yang membuat gadis ini demikian mudah merebut hati kongcunya. Kemudian ia menarik napas panjang dan dengan suara terisak-isak ia berkata,

"Aku tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan engkau. Akan tetapi kenapa kau datang-datang merampas hati kongcu? Aku yang sudah dua tahun melayaninya, mengurbankan nama, kehormatan, orang tua dan merendahkan diri sendiri dari puteri seorang hartawan menjadi pelayannya, mencuci kakinya, melakukan segala perintahnya dengan segala senang hati, aku tidak dapat mengambil hatinya. Akan tetapi, kau ".. ah, bagaimana aku takkan iri hati dan cemburu? Aku sudah gagal membunuhmu, sekarang kau hendak berbuat apa, sesukamulah. Boleh bunuh, boleh siksa "".!"

Wajah Bi Eng sebentar merah sebentar pucat. Tak disangkanya sama sekali bahwa keadaan menjadi begitu macam. Tak disangkanya sama sekali bahwa kehadirannya di situ menimbulkan kekacauan yang amat hebat, menimbulkan kebencian yang hampir merenggut jiwanya. Padahal ia tidak merasa berdosa.

"Goblok! Siapa yang berebut denganmu? Aku hanya seorang tamu, seorang sahabat baru yang baik dari Bhok-kongcu. Kau bicara ngaco-belo, apakah otakmu sudah gila?" Ia lalu menghadapi Bhok-kongcu dan berkata tegas, "Bhok-kongcu, aku minta dengan sangat supaya wanita ini diampuni. Jangan kau bunuh padanya!"

Bhok Kian Teng bangun berdiri dan menjura di depannya. "Nona Cia adalah seorang tamuku yang terhormat. Namanya sudah dihina perempuan rendah ini, malah hendak dibunuhnya. Akan tetapi sekarang nona mengampuni dia, itu menandakan budi nona yang mulia dan hati nona yang bersih. Baiklah, aku memenuhi permintaan nona. Ang-hwa, kau telah diampuni oleh nona Cia, akan tetapi aku tetap tidak bisa melihat mukamu. Kau kira kau ini terlalu cantik maka hendak menjual lagak di sini? Hendak kulihat kalau kau tidak mempunyai hidung, bagaimana macamnya!"

Baru saja Bi Eng hendak mencegah, tangan Bhok-kongcu bergerak, sinar terang meluncur bagaikan api terbang, terdengar jerit mengerikan dan sinar terang dari hui-to itu setelah membabat hidung Ang-hwa, ternyata dapat terbang kembali ke tangan Bhok-kongcu!

Ang-hwa memegangi mukanya di bagian hidung yang berdarah, hidungnya yang kecil mancung sudah lenyap dibabat golok terbang, dia menangis tersedu-sedu.

"Pergilah, aku tidak sudi lagi melihat mukamu!" kata Bhok-kongcu.

Sambil mengeluarkan jerit menyayat hati, Ang-hwa melompat dan tubuhnya merupakan bayangan merah melesat ke arah daratan. Sebentar saja ia lenyap di antara pohon-pohon, hanya jeritnya yang melengking saja berkali-kali masih terdengar dari jauh.

"Bhok-kongcu, kau terlalu sekali menyakiti dia. Kenapa tidak diampuni dan diusir saja?" Bi Eng menegur.

Bhok Kian Teng tertawa. "Mana ada kesalahan yang tidak dihukum? Kalau semua menuruti engkau, dunia ini makin penuh kejahatan, nona."

Semenjak terjadi peristiwa itu, hati Bi Eng makin tidak enak tinggal di perahu Bhok-kongcu. Akan tetapi karena ia harus menanti kakaknya dan Yo Leng Nio belum juga datang, terpaksa ia menahan hatinya dan selalu bersikap hati-hati sekali. Terhadap wanita-wanita lain ia bersikap manis dan terhadap Bhok-kongcu ia bersikap dingin dan sombong.

Diam-diam ia sering memikirkan, siapakah gerangan Bhok-kongcu ini. Begitu kaya raya nampaknya, begitu agung dan aneh, beberapa kali ia berusaha memancing, bertanya kepada wanita-wanita itu, akan tetapi tak seorangpun berani membuka mulut. Ketika Bi Eng mencoba bertanya kepada para anak buah perahu, alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa mereka ini tidak berlidah dan telinga mereka rusak! Tidak dapat bicara dan tidak mendengar!

Memang Bhok Kian Teng bukanlah orang biasa. Dia itu sebetulnya memiliki kedudukan tinggi sekali baik di kalangan pemerintah Ceng maupun di dunia kang-ouw. Di kalangan pemerintah, siapakah yang tidak mengenal pangeran Bhok, atau pangeran muda, putera dari pangeran tua Bhok Hong? Di dunia kang-ouw, siapakah yang tak pernah mendengar nama besar Bhok-kongcu, seorang bun-bu-coan-jai yang lihai ilmu silatnya dan tinggi pengertiannya tentang kesusasteraan? Siapa pula tidak pernah mendengar nama yang menggemparkan dunia kang-ouw dari tokoh besar dari utara yang berjuluk Pak-thian-tok (Si Racun dari Utara), yaitu julukan dari pangeran Bhok Hong?

Pada saat itu, seluruh daratan Tiongkok sampai ke Korea telah diduduki oleh orang-orang Mancu yang mendirikan kerajaan Ceng dengan kaisar Kang Shi. Dalam penyerbuannya ke Tiongkok ini bala tentara Mancu dapat bantuan besar dari bangsa Mongol, terutama para pangeran yang masih penasaran karena bangsa mereka terusir dari Tiongkok yang pernah mereka jajah.

Kaisar Kang Shi naik tahta pada tahun 1663 dan semenjak kekuasaan Mancu makin besar dan kedudukan para patriot yang masih berusaha mempertahankan wilayah masing-masing makin terdesak dan ambruk, mulailah pemerintah penjajah yang baru ini mengadakan peraturan-peraturan yang amat menghina bangsa Tiongkok.

Penduduk dibagi dalam empat lapisan atau empat tingkat. Tingkat paling tinggi tentu saja diduduki oleh bangsa Mancu sendiri sebagai penjajah. Tingkat kedua terdiri dari bangsa Mongol yang sudah banyak membantu bangsa Mancu dalam penyerbuan ke Tiongkok, dan hal ini menunjukkan betapa cerdiknya bangsa Mancu yang hendak mengambil hati orang-orang Mongol agar tetap setia kepada mereka.

Selain bangsa Mongol juga suku bangsa lain yang telah membantu pemerintah Mancu, seperti suku bangsa Hui dan lain-lain. Tingkat ketiga diberikan kepada penduduk Tiongkok utara. Hal ini bukan saja karena penduduk Tiongkok utara lebih dulu ditaklukkan, juga karena di daerah ini telah terdapat percampuran darah karena antara penduduk Tiongkok asli dengan orang-orang Mongol dan Mancu sendiri. Setelah ini, barulah pada lapisan keempat atau tingkat paling rendah duduk orang-orang Tiongkok selatan yang masih saja ada yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Mancu di sana sini.

Banyak sekali orang-orang gagah, pahlawan-pahlawan rakyat di daerah selatan merasa sedih sekali dan memberontak terhadap pemerintah penjajah. Para patriot ini makin berduka dan mendongkol kalau ingat akan kerajaan Beng yang telah jatuh dan memeberikan tampuk kekuasaan kepada penjajah.

Semua ini dapat terjadi karena kaisar dan pembesar-pembesar Beng tidak becus mengurus negara. Korupsi dan penyuapan merajalela, tidak ada seorangpun pembesar yang jujur, semuanya ahli korupsi dan pemakan sogokan. Kalau ada pembesar yang jujur dan setia, tentu pembesar ini akan dimakan oleh rekan-rekan sendiri yang mengkhianati dan mencelakakannya dengan pelbagai jalan rendah.

Itulah yang menyebabkan lemahnya pemerintah Beng, pemerintah yang dipegang oleh bangsa sendiri. Karena kaisarnya lalim dan para petugasnya menyeleweng dari kebajikan. Negara yang dipimpin oleh kaisar yang kurang tegas, yang membiarkan petugas-petugas menyeleweng tanpa bertindak keras karena dia sendiri mabok kesenangan dunia, sudah tentu menjadi lemah dan mudah diserbu oleh bangsa lain. Demikianlah keadaan kerajaan Beng di Tiongkok dan setelah negara dijajah oleh bangsa Mancu, barulah rakyat yang merasakan pahit-getirnya dan para pendekar mati-matian melakukan perlawanan.

Namun semua perlawanan sia-sia belaka karena keadaan pemerintah Mancu sudah amat kuat. Tidak saja mempunyai bala tentara yang kuat dan mendapat bantuan suku-suku bangsa di utara, juga sebentar saja muncul pengkhianat-pengkhianat bangsa. Mereka ini tidak lain adalah bangsawan-bangsawan Beng dan tuan-tuan tanah yang pada waktu kerajaan Beng sudah hidup enak-enak, sekarang mempergunakan siasat bunglon. Mengandalkan harta mereka, dengan muka menjilat-jilat dan ekor dilipat seperti anjing-anjing rendah, mereka datangi "tuan-tuan baru" mereka ini sambil membawa hadiah-hadiah. Akhirnya mereka diterima oleh pemerintah baru, bahkan dijadikan kaki tangan dan pembantu pemerintah Mancu.

Memang orang-orang Mancu itu cerdik sekali. Mereka tahu bahwa rakyat kecil tidak suka melihat tanah air dijajah dan tentu mereka akan menjumpai tentangan dan perlawanan rakyat. Akan tetapi mereka cukup maklum pula akan kehidupan rakyat yang melarat, akibatnya dari pada ketidak becusan pemerintah Beng yang lalu. Jika rakyat ini tidak mendapat sokongan orang-orang kaya, tuan-tuan tanah dan bangsawan-bangsawan Beng, sudah dapat dipastikan perlawanan rakyat itu takkan ada artinya. Apa sih tenaga perlawanan rakyat yang sudah hampir kelaparan? Karena ini maka pemerintah penjajah ini dengan sengaja membaiki orang-orang bangsawan, hartawan dan tuan tanah, mengumumkan takkan mengganggu harta milik mereka asal saja mereka ini mau tunduk kepada kerajaan Ceng.

Yang paling hebat di antara praturan yang menghina bangsa Tiongkok adalah kewajiban bagi orang-orang Tiongkok untuk memelihara rambut dan mengelabangnya ke belakang seperti ekor! Biarpun lambat laun hal ini bahkan merupakan semacam "mode baru", namun pertama kalinya benar-benar dirasakan sebagai penghinaan hebat dan entah berapa puluh ribu orang yang tewas karena memberontak dan sengaja tidak mau memenuhi perintah menghina ini!

Demikianlah sedikit tentang keadaan orang-orang Tiongkok setelah pemerintah penjajah Mancu berkuasa di sana. Tentu saja banyak sekali hal-hal terjadi, banyak cerita-cerita tentang keadaan ini yang kalau ditulis semua mungkin akan menghabiskan beberapa jilid buku. Pendeknya, kaum penjajah selalu berusaha melemahkan penduduk tanah jajahannya dengan berbagai jalan, menindas lahir batin.

Akan tetapi ada hal aneh terjadi di Tiongkok, yang menjadi kebalikan dari pada keadaan tanah-tanah terjajah lain di dunia ini, dan sekali gus menunjukkan betapa tebal kepribadian bangsa Tiongkok serta betapa hebat pengaruh kebudayaan mereka. Sejarah menunjukkan betapa kaum penjajah itu selain menghisap kekayaan tanah jajahan, juga memasukkan kebudayaan, agama dan lain-lain ke tanah jajahan untuk dijejalkan kepada penduduk tanah jajahan. Akan tetapi keadaan di Tiongkok malah sebaliknya.

Kepribadian asli penduduk Tiongkok demikian tebal sehingga tidak dapat ditembus oleh cara-cara penjajah. Kebudayaan Tiongkok demikian kuatnya sehingga tidak goyah oleh kebudayaan baru yang dibawa penjajah. Malah sedemikian kuatnya lambat laun para penjajah itu sendiri yang terbawa hanyut oleh kebudayaan Tiongkok.

HAL ini agaknya sukar dipercaya akan tetapi kembali sejarah yang mencatatkan betapa bangsa Mancu itu setelah menjajah Tiongkok, melihat kebudayaan dan kepribadian Tiongkok lalu terpicuk. Mereka mulai berbahasa Tiongkok, tidak hanya dengan penduduk asli, malah membawa bahasa tanah jajahan ini ke dalam rumah tangga.

Hidup mereka juga seperti orang Tiongkok, berpakaian seperti orang Han, bahkan mereka mengundang guru-guru bangsa Han untuk mengajar mereka dalam hal membaca dan menulis, mempelajari kesusasteraan dan filsafat Tiongkok. Dengan cara ini, dalam satu dan dua generasi saja orang-orang Mancu ini boleh dibilang sudah melebur diri dengan menjadi orang Han, hidup, berpakaian dan bicara seperti orang Han dan sebagian besar di antara mereka sudah tidak dapat bicara dalam bahasa Mancu lagi! Ini aneh tapi kenyataan!

Baiklah kita kembali kepada cerita kita. Dalam penyerbuan ke Tiongkok seperti sudah dituturkan tadi, bangsa Mancu banyak mendapat bantuan orang-orang Mongol. Orang yang banyak sekali jasanya dalam bantuan ini kiranya adalah pangeran Bhok Hong. Menurut kata orang-orang Mongol. Pangeran Bhok Hong ini masih keturunan kaisar Jenghis Khan yang amat termasyhur di Mongol, kaisar yang menaklukkan hampir separuh dunia itu.

Dan di dunia kang-ouw, pangeran Bhok Hong ini dijuluki Pak-thian-tok, nama julukan yang membuat setiap orang gagah menggigil karena nama ini terkenal sakti, aneh dan kejam. Tentu saja pemerintah Mancu amat menghargai pangeran ini dan segera pangeran ini diberi kedudukan sebagai Raja Muda, diberi gedung indah besar di Peking dan mendapat penghormatan besar. Karena itu kekuasaan pangeran Bhok Hong juga besar sekali, dan otomatis putera tunggalnya, Bhok-kongcu, juga amat terkenal dan berpengaruh.

Bhok-kongcu atau Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang memiliki otak luar biasa tajamnya, mempelajari ilmu kesusasteraan. Ia pandai sekali dan bakatnya untuk ilmu silat juga jarang bandingannya. Sudah banyak ia mewarisi ilmu silat ayahnya, dan semua guru-guru sastera yang pandai di ibu kota rata-rata memuji ketajaman otaknya. Maka tidak berlebihan kalau Bhok-kongcu segera mendapat sebutan bun-bu-coan-jai di kota raja.

Dia tampan dan halus tutur sapanya, siapa melihatnya tentu menjadi suka, apalagi gadis-gadis yang melihat pemuda tampan dan halus serta amat pandai ini, siapa yang takkan jatuh hati? Sayang seribu sayang, di balik semua kebaikan ini pada dasar hatinya Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang sudah dikuasai oleh nafsu-nafsunya.

Ia mengumbar nafsu, mengambil setiap gadis yang menarik hatinya sebagai selir dan pelayan, dan dalam cara mendapatkan gadis-gadis ini ia menggunakan jalan apa saja. Dengan cara membeli, membujuk, atau kalau perlu dengan kekerasan! Dan disamping amat pesolek dan cabul, juga pemuda ini agaknya mewarisi watak ayahnya yang amat aneh dan kejam sekali. Inilah Bhok-kongcu yang dalam pesiarnya telah bertemu dengan Bi Eng!

Tentu saja gadis ini tidak pernah mimpi orang macam apa adanya pemuda yang ia anggap baik budi itu! Kalau ia tahu siapa adanya Bhok-kongcu, tentu ia akan menjadi ngeri. Akan tetapi, sejahat-jahat dan sepandai-pandai manusia, ia tentu lemah tak berarti kalau menghadapi kekuasaan alam.

Demikianpun dengan Bhok-kongcu. Keanehan terjadi pada dirinya. Biasanya, kalau melihat gadis cantik yang menarik hatinya, tanpa banyak cincong lagi tentu akan mendapatkan gadis ini sebagai kekasih dan selirnya dan di antara seratus orang gadis, kiranya belum tentu satu yang dapat lolos dari jari-jari tangannya. Akan tetapi aneh bin ajaib, begitu berhadapan dengan Bi Eng, hati Bhok Kian Teng tiba-tiba menjadi lunak! Ia tidak sampai hati mengganggu Bi Eng, tidak tega menggunakan cara-caranya yang sudah biasa, yaitu dengan kekerasan mengandalkan kepandaiannya, dengan bujukan disertai minuman-minuman beracun yang memabukkan, dan cara-cara keji lainnya.

Tidak, ia tidak mau menggunakan cara ini menghadapi Bi Eng. Malah anehnya, ia mengharapkan cinta kasih yang suci dan sewajarnya dari gadis ini! Memang, aneh sekali cinta kalau sudah menempati hati manusia. Yang lemah menjadi kuat, yang halus menjadi kasar, yang kuat menjadi lemah, yang kasar menjadi halus, yang baik menjadi jahat, yang jahat menjadi baik dan sebagainya!

Bi Eng sama sekali tidak tahu bahwa Bhok Kian Teng sebetulnya merupakan orang yang jauh lebih berbahaya dari pada orang-orang jahat yang pernah ia jumpai, lebih jahat dari pada hwesio Goan Si malah. Juga ia tidak tahu bahwa dibalik semua penghormatan, selain pemuda ini betul-betul telah jatuh cinta kepadanya, juga di dalam otak yang cerdik dari Bhok-kongcu telah diatur rencana yang hebat.

Tentu saja sebagai seorang muda yang luas pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, Bhok Kian Teng sudah mendengar pula tentang adanya surat wasiat Lie Cu Seng dan ia dapat mengetahui pula bahwa surat wasiat itu tentu berada di tangan Cia Han Sin. Inilah sebabnya ia tidak ragu-ragu lagi menitah Yo Leng Nio untuk pergi menolong Han Sin! Jika ia bisa mendapatkan surat wasiat itu, ah, itulah sesuai dengan cita-citanya yang maha besar, cita-cita yang dahulu pernah dimiliki dan dilakukan dengan berhasil oleh nenek moyangnya, Jengis Khan! Cita-cita untuk menguasai Tiongkok kembali, menguasai Asia, menguasai dunia!

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Han Sin, marilah kita menengoknya. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini ketika hendak melarikan diri pundaknya terkena paku Coa-kut-teng (Paku Tulang Ular) yang dilepas oleh Tok-gan Sin-kai si pengemis mata satu dari Coa-tung Kai-pang sehingga Han Sin terguling dan bersama Siauw-ong terjerumus ke dalam sebuah jurang! Sungguh masih untung baginya, atau lebih tepat lagi, nyawanya masih dilindungi Tuhan.

Jurang itu biarpun amat dalam, namun di lerengnya tumbuh pohon-pohon kecil sehingga ketika tubuh pemuda itu menggelundung ke bawah, ia tertahan-tahan oleh tetumbuhan itu. Memang pakaiannya koyak-koyak berikut kulit tubuh dan sedikit dagingnya, namun ia tidak sampai mengalami patah tulang atau luka parah.

Pula, ia sudah pingsan ketika jatuh sehingga tubuhnya menjadi lemas dan hal ini amat menguntungkan baginya. Orang yang terjatuh dalam keadaan tidur atau pingsan sehingga tubuhnya lemas, tidak akan mengalami luka lebih hebat dan parah dari pada kalau orang jatuh dalam keadaan sadar. Dalam sadar tentu orang yang jatuh melakukan perlawanan, tubuhnya menegang dan karenanya malah terbanting hebat.

Dengan mandi darah dari kulit-kulit yang lecet, Han Sin menggeletak di dasar jurang. Siauw-ong yang sebagai seekor monyet tentu saja lebih gesit, tadi sudah berhasil menjambret tetumbuhan dan berlompatan turun. Kini dengan cecowetan sedih binatang ini menangisi tubuh tuannya. Luka-luka kecil yang diderita oleh Han Sin sebetulnya tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah luka di pundaknya di mana masih menancap sebatang paku yang mengandung racun.

Hanya sebentar Han Sin pingsan. Biarpun pemuda ini tidak pernah melatih diri dengan ilmu silat, namun latihan-latihan samadhi dan bernapas yang ajaib membuat tanpa ia sadari, tubuhnya menjadi amat kuat dan jalan darahnya benar-benar sempurna. Juga sinkang di dalam tubuhnya sudah luar biasa sekali sehingga hawa beracun dari ujung paku itu dapat tertahan, tidak menjalar turun.

Ketika membuka mata dan melihat Siauw-ong menangis di dekatnya, Han Sin ingat akan semua kejadian. Ia bangun duduk dan menarik napas panjang, sama sekali tidak mengeluh biarpun seluruh tubuhnya terutama pundaknya, sakit-sakit. Ia melirik kepada Siauw-ong lalu merangkul monyet itu dan mengelus-elus kepalanya. Hatinya terharu.

Tidak dinyana sama sekali bahwa berkali-kali ia bertemu dengan manusia-manusia yang begitu jahat. Tadinya ia berpikir bahwa manusia-manusia di dunia ini tentulah baik dan cinta sesama. Akan tetapi kenyataannya, begitu turun gunung ia sudah menemui orang-orang seperti para tosu Cin-ling-pai yang tanpa sebab menyerang dan menawannya.

Ban Kim Cinjin yang suka membunuh orang, Thio Li Hoa yang demikian cantik akan tetapi ternyata kejam dan palsu, kemudian para pengemis tua yang juga jahat dan telah melukainya. Semua ini membuat hati Han Sin terheran-heran dan tercengang. Siauw-ong, biarpun seekor monyet, bukan manusia ternyata lebih baik dari pada manusia-manusia itu, pikirnya. Benar-benar Han Sin tidak mengerti dan penasaran sekali.

Lalu ia teringat akan kata-kata suhunya, Ciu-ong Mo-kai yang dahulu menyatakan bahwa di dunia kang-ouw banyak orang jahat. Dahulu ia mentertawakan gurunya ini, akan tetapi sekarang, baru beberapa lama turun gunung ia sudah menjadi korban kejahatan manusia. Entah kejahatan-kejahatan lebih hebat bagaimana lagi yang akan ia lihat kelak. Ia bergidik dan merasa khawatir sekali akan keselamatan adiknya Bi Eng.

"Aku harus dapat pergi dari sini menyusul Bi Eng," pikirnya dengan hati tetap. Ketika ia bangkit berdiri, ia merasa pundaknya sakit sekali. Dilihatanya pundaknya itu dan kelihatan sebuah kepala paku menancap. "Ah, pengemis tuia itu menyambit dengan paku," pikirnya. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengulur tangan dan mencabut paku itu dari pundaknya.

Tenaga lweekang pemuda ini luar biasa besarnya tanpa ia ketahui sendiri. Ke mana jalan pikirannya menuju, ke situlah tersalur tenaga sinkang di dalam tubuhnya. Inilah tingkat yang sudah amat tinggi. Begitu ia berpikir hendak mencabut paku itu, tenaga yang amat besar sudah tersalur ke dalam jari-jari tangannya dengan amat mudah ia mencabut paku Coa-ku-teng. Darah hitam muncrat keluar.

Han Sin kaget. "Celaka," pikirnya. "Paku ini mengandung racun, harus kukeluarkan semua racun dari pundak." Begitu pikirannya memikir demikian, hawa sinkang mendorong ke pundak, memaksa jalan darahnya mengalir cepat ke arah pundak dan segera darah hitam keluar banyak sekali seperti pancuran. Akhirnya darah hitam habis, terganti darah merah. Han Sin menutupi luka dengan jari tangannya, namun tidak berhasil menghentikan keluarnya darah. Makin banyak darah keluar membuat ia bingung sekali.

"Celaka, mengapa darah keluar terus? Kalau habis darahku, bukankah aku mati?" Dengan sekuat tenaga pikirannya ia menghendaki darah berhenti dan ".. tiba-tiba darah itu berhenti keluar. Hatinya lega dan perasaannya menjadi nyaman. Tak terasa sakit lagi luka dipundaknya, akan tetapi ia merasa tubuhnya lemas. Terlampau banyak darah ia keluarkan.

"Siauw-ong, kita harus bisa keluar dari jurang ini," kata pemuda itu kepada monyetnya. Siauw-ong agaknya mengerti akan maksud majikannya. Maka binatang ini mulai mencari ke sana ke mari, jalan keluar. Akan tetapi agaknya jalan keluar hanya satu, yaitu merayap kembali melalui tetumbuhan ke atas. Maka sambil cecowetan monyet itu lalu mulai melompat-lompat dan merayap ke atas.

"Tidak, Siauw-ong. Tidak boleh lewat sana. Selain sukar dan aku tidak sanggup, juga di atas banyak orang-orang....." Ia hendak menyebut "jahat" akan tetapi dasar hati pemuda ini mudah memaafkan orang, ia melanjutkan. "..... sedang marah! Marah kepada kita. Mari kita mencari jalan lain!"

Iapun mulai menengok ke sana ke mari. Jurang ini dikurung batu karang yang tinggi, di sebelah kiri terdapat jurang yang lebih dalam lagi. Akan tetapi jalan menuruni jurang ini melalui batu-batu karang yang menonjol dan agaknya bisa dilalui. Maka dengan nekad Han Sin lalu merayap turun melalui jalan berbahaya itu. Siauw-ong sendiri mengeluarkan bunyi ketakutan dan ngeri melihat ke bawah yang dalamnya sampai ratusan meter. Sekali terpeleset ".. habislah riwayat! Akan tetapi karena melihat Han Sin nekat, iapun lalu merambat turun, malah mendahului pemuda itu.

Setelah turun sejauh puluhan meter, tiba-tiba Siauw-ong berseru cecowetan, kelihatan girang. Ternyata dia tiba di sebuah guha yang besar. Han Sin juga menuju ke situ dan keduanya lalu memasuki guha, untuk beristirahat karena jalan yang dilalui tadi amat sukar dan melelahkan, apalagi bagi Han Sin yang sudah lemas tubuhnya.

Siauw-ong tentu saja tidak begitu merasa lelah dan monyet ini tidak mau diam, terus menggeretak ke sana ke mari di dalam gua. Tiba-tiba monyet itu memekik dan mencongkel batu bentuknya lonjong. Batu itu bergoyang lalu tergeser dan terbukalah sebuah lubang selebar dua kaki lebih dan pada saat itu terdengar suara mendesis dan tahu-tahu tubuh Siauw-ong telah dibelit oleh seekor ular putih yang panjangnya ada satu setengah meter dan besarnya selengan orang! Siauw-ong menjerit dan menggigit sekenanya. Ia kena menggigit ekor ular itu dan dia sendiri digigit pundaknya oleh ular tadi. Siauw-ong bergulingan, akan tetapi belitan ular makin mengeras.

Melihat Siauw-ong dibelit dan digigit ular, bukan main bingung dan kagetnya hati Han Sin. Dia merasa ngeri, akan tetapi untuk menolong monyet itu, cepat ia meloncat mendekat. Ia berusaha melepaskan belitan, dan menggunakan tangannya untuk merenggangkan tubuh ular dari Siauw-ong. Akan tetapi tiba-tiba lengannya dibelit juga dan ular itu saking marahnya, sudah membalikkan kepalanya, melepaskan gigitan dari pundak Siauw-ong dan kini secepat kilat ia menyerang Han Sin, menggigit lambung pemuda itu sebelah kanan!

Tadinya Han Sin tidak bermaksud membunuh ular itu. Hatinya terlampau baik untuk gampang-gampang membunuh, biarpun seekor ular. Akan tetapi melihat ular itu masih mengancam keselamatan Siauw-ong, malah sekarang menggigitnya, ia menjadi marah. Begitu menggigit ia merasa separuh tubuhnya yang sebelah kanan mati dan kaku, gatal-gatal dan sakit luar biasa. Ia mencoba menggerakkan kedua tangan, akan tetapi tangan kirinya sudah dibelit dan tangan kanannya juga ikut mati kaku.

Dalam gugupnya, tanpa pikir panjang lagi Han Sin menggunakan senjatanya yang paling sederhana, yaitu ". giginya! Ia menunduk dan di lain saat ia sudah berbuat seperti Siauw-ong tadi, menggigit sekenanya. Kebetulan sekali ia menunduk ke kanan, maka ketika ia membuka mulut menggigit, ia dapat menggigit leher ular itu.

Ia menggigit sekerasnya, darah muncrat keluar dari tubuh ular memenuhi mulutnya. Ia tidak perduli, malah menelan darah itu terus menggigit dan menghisap. Aneh sekali, darah ular itu biarpun berbau amis dan memuakkan, namun terasa ada manis-manisnya. Mati-matian Han Sin terus menghisap dan menelan darah ular seperti orang minum! Sampai tenggorokannya terdengar berceglukan!

Ular putih itu kesakitan, belitan dan gigitannya makin keras dan akhirnya Han Sin roboh terguling sambil terus menggigit. Ular itu bergulingan di dalam guha, membawa Han Sin dan Siauw-ong sehingga tiga macam makhluk itu bergulingan menjadi satu dalam keadaan kacau balau. Seperti Han Sin, Siauw-ong juga masih menggigit ekor dan kera inipun menghisap dan menelan darah ular yang memasuki mulutnya. Benar-benar perkelahian ini merupakan perkelahian liar dan keadaan Han Sin pada saat itu sudah bukan seperti manusia lagi, melainkan seperti seekor binatang yang marah dan sedang berkelahi.

Gigitan ular mengeluarkan bisa, membuat separuh tubuh Han Sin dan tubuh Siauw-ong juga kaku-kaku rasanya. Akan tetapi sebaliknya, gigitan Siauw-ong dan Han Sin malah mengisap darah. Tentu saja darah ular itu makin lama makin berkurang, apalagi bagi Han Sin yang menghisap dengan kekuatan luar biasa, sehingga setengah jam kemudian ular itu kehabisan darah, lemas dan tidak berkutik lagi. Sembilan puluh persen lebih darah ular itu berikut semua racun dan benda cair di dalam tubuhnya telah pindah ke dalam perut Han Sin, yang sepuluh persen kurang pindah ke dalam perut Siauw-ong! Ular mati dan Han Sin bersama Siauw-ong masih terus menggigit, juga tidak bergerak seperti mati karena sesungguhnya mereka berdua sudah pingsan!

Sejam kemudian Han Sin siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya panas membara dan ringan seakan-akan hendak melayang. Ketika ia melirik ke arah Siauw-ong, ia melihat monyet itu sudah duduk bersandar di dinding guha sambil cengar-cengir dan.... makan ekor ular mentah!

"Eh, Siauw-ong, kenapa kau makan daging ular yang mentah?" teriak Han Sin dan telinganya menjadi sakit sendiri mendengar suaranya yang tinggi nyaring seperti orang berteriak-teriak. Siauw-ong tidak menjawab, melainkan meloncat dan menginjak-injak tubuh ular sambil menepuk-nepuk pundaknya yang mana tampak bekas gigitan ular yang sudah kering. Ia merasa heran dan cepat melihat ke arah lambungnya sendiri yang tadipun digigit ular. Juga di situ terdapat bekas gigitan, akan tetapi sudah kering sama sekali!

Han Sin mencoba untuk memikirkan perbuatan Siauw-ong. Akhirnya ia mengerti maksudnya. Kera itu lapar, dan karena ular itu sudah menggigitnya, maka untuk melampiaskan marahnya, kera itu lalu makan dagingnya! Han Sin juga merasa perutnya lapar sekali. Karena di situ tidak ada makanan lain dan Siauw-ong kelihatan enak sekali makan daging ular, iapun lalu meraih bangkai ular dan menggigit dagingnya.

Luar biasa! Daging itu biar mentah, akan tetapi tak dapat dibantah lagi rasanya enak! Gurih dan manis, biarpun agak amis-amis sedikit. Ia makan dengan bernafsu, malah anehnya, makin mendekati kepalanya makin enak. Akhirnya Han Sin makan kepala ular itu!

Tanpa mereka sadari, Han Sin dan Siauw-ong telah makan obat pemusnah racun ular itu. Ular itu bukanlah sembarang ular, melainkan sejenis binatang beracun yang hanya keluar seribu tahun sekali. Binatang ular ini oleh ahli-ahli pengobatan disebut Pek-hiat-sin-coa (Ular ajaib darah putih). Biasanya tidak seberapa besar, maka ular yang telah mencapai panjang satu setengah meter ini entah sudah berapa ratus tahun usianya. Ular ini beracun sekali, gigitannya tidak ada obatnya, juga darahnya amat berbisa. Akan tetapi penolak racun itu terletak dalam daging-dagingnya sendiri!

Maka setelah Han Sin dan Siauw-ong digigit, mereka tanpa disadari telah minum darah ular yang berbisa luar biasa itu, kemudian makan dagingnya. Otomatis racun yang berbahaya lenyap pengaruhnya dan sebaliknya, mereka telah mendapatkan obat kuat yang tiada bandingnya di dunia ini. Apalagi bagi Han Sin yang sudah minum darah ular sebanyak sembilan puluh persen lebih, ditambah lagi baru saja ia kehilangan banyak darah sehingga sebagian dari pada darah dalam tubuhnya terganti oleh zat darah ular itu, akibatnya bukan main.

Memang di dalam tubuh pemuda ini sudah terdapat sinkang (hawa sakti) yang mujizat, sekarang ditambah kemujizatan darah dan daging ular. Benar-benar hal yang amat jarang terjadi. Oleh karena pengaruh darah inilah ia merasa tubuhnya menjadi ringan seperti mau melayang. Adapun rasa panas yang membakar tubuhnya, setelah ia makan daging ular perlahan-lahan lenyap dan di dalam pusarnya malah terasa amat nyaman dan adem.

Keadaan Siauw-ong juga mendapat banyak sekali keuntungan. Tanpa diketahui, tubuh monyet ini sekarangpun menjadi sepuluh kali lebih kuat dari pada tadinya. Dia bertubuh kecil, darahnya juga tidak sebanyak darah manusia, maka sepuluh persen darah ular itu sudah lebih dari cukup untuk membuat ia menjadi seekor monyet yang jarang keduanya di dunia ini. Kegesitannya bertambah lipat ganda, kekuatannya juga menjadi hebat dan kecerdikannya meningkat.

"Siauw-ong, sekarang kita harus mencari jalan keluar dari tempat ini! kata Han Sin setelah menghabiskan daging ular dan merasa tubuhnya sehat dan segar kembali.

Siauw-ong memang sedang menyelidiki lubang yang tadi tertutup dan dari mana ular tadi keluar. Ia merayap masuk dan terdengar suaranya memanggil-manggil. Han Sin menghampiri dan ikut merayap ke dalam lubang itu. Ternyata lubang itu makin lama makin besar, merupakan terowongan di dalam batu karang atau gunung karang.

Mereka terus mengikuti terowongan ini dan seperempat jam kemudian mereka tiba di ruangan dalam tanah yang amat besar. Dinding-dinding di ruangan ini terang sekali buatan manusia, bekas pahatan. Han Sin melangkah maju dengan heran, sedangkan Siauw-ong sudah melompat ke atas pundaknya. Agaknya binatang ini mencium bau manusia, maka mengingat pengalaman yang sudah-sudah, ia menjadi jerih dan pergi ke tempatnya yang paling aman, yakni pundak Han Sin.

Pada saat itu telinga Han Sin mendengar suara bersiutan yang amat aneh dari sebelah kiri, diseling suara orang mengeluh panjang pendek. Ia segera berindap-indap menuju ke kiri di mana terdapat sebuah pintu yang tidak berdaun. Karena tidak ingin mengganggu orang, atau sebetulnya karena sudah agak kapok bertemu dengan orang jahat, Han Sin sengaja bertindak perlahan sekali agar jangan menimbulkan suara.

Padahal ia tidak usah bersusah payah begini. Kalau saja ia memusatkan pikiran untuk berjalan perlahan, tentu tubuhnya yang sudah ringan itu takkan menerbitkan suara apa-apa. Setibanya di situ, ia lalu berlutut dan mengintai dari balik pintu, melihat ke dalam. Tempat ini agak terang karena dari atas terdapat lubang-lubang di mana sinar matahari dapat menerangi kamar itu.

Kamar yang diintainya itu cukup lebar, berbentuk segi empat dengan ukuran lima meter persegi. Di sudut kamar terdapat sebuah patung sebesar manusia. Patung yang telanjang bulat dan pada tiap anggauta tertentu ada titik-titiknya, ada yang hitam, ada yang merah, ada pula yang putih. Di tengah ruangan kamar ini terdapat sehelai tikar bundar dan di atas tikar duduk seorang kakek yang sudah amat tua.

Kakek ini kurus sekali, tinggal kulit membungkus tulang. Kepalanya hampir botak karena rambutnya yang putih tipis itu tinggal beberapa helai lagi saja. Pakaiannya putih, seperti pakaian tosu. Ternyata kakek inilah yang mengeluarkan suara keluhan panjang pendek dan kini dengan jelas Han Sin mendengar kakek itu mengeluh penuh kesedihan. "Maut ".. maut ". Tunggulah dulu, bersabarlah """

Han Sin merasa mengkirik (meremang) gitoknya (bulu tengkuknya) Masa ada orang bicara dengan maut? Gilakah kakek ini atau benar-benarkah di tempat itu ada setan atau malaikat pencabut nyawa?

Tiba-tiba terdengar suara bersiutan seperti tadi dan dengan penuh perhatian Han Sin memandang ke dalam. Ternyata kakek itu dengan duduk bersila, sedang menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti orang bersilat. Ia menggerakkan kedua tangannya perlahan saja, akan tetapi hebatnya, tiap kali tangannya bergerak terdengar angin bersiut dan patung di pojok kamar bergoyang-goyang.

Ternyata kakek itu sedang menyerang patung itu dari jarak jauh dan tiap kali tangannya memukul, angin tajam bersiut ke arah titik tertentu dari tubuh patung itu. Han Sin melihat betapa pada titik yang terpukul itu, tubuh patung itu melesak ke dalam, akan tetapi lalu membal kembali. Ternyata patung itu terbuat dari pada karet yang keras.

Sambil bersilat dengan kedua tangan, kakek itu menyebut-nyebut jurus yang dimainkan itu satu demi satu. Pertama-tama ia menyebut "Hui-kiam-thian-sia" (Pedang Terbang Turun Dari Langit) dan tangannya bergerak menyerang patung dari atas. Angin bersiut keras dan batok kepala patung karet itu melesak sebentar. Disusul seruan, "Hui-kiam-ci-tiam (Pedang Terbang Keluarkan Kilat)!" lalu kedua tangannya berturut bergerak. Makin nyaring angin bersiutan dan dua titik di kedua pundak patung itu melesak!

Terus saja kakek itu bersilat dan menyebut jurus-jurus yang serba pakai "Hui-kiam" atau Pedang Terbang! Semua ada tiga puluh enam jurus dan setelah habis dimainkan, kakek itu terengah-engah, terbatuk-batuk dan nampaknya kehabisan tenaga. Lalu ia mengeluh panjang pendek lagi.

"Tiga puluh enam jurus Lo-hai-hui-kiam (Pedang Terbang Pengacau Laut) sudah lengkap! Sudah sempurna " uh ".uhhh " apa artinya? Apa gunanya? Kitab yang ditutup takkan ada gunanya! Ilmu dipelajari tanpa digunakan juga apa artinya? Lo-hai-hui-kiam akan lenyap bersama penciptanya, tak dikenal dunia ""uh "".uhhh "..!" Makin terengah napas si kakek itu dan tubuhnya bergoyang-goyang. Akan tetapi, tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya lagi dan mulai bersilat seperti tadi!

Sementara itu, Han Sin yang mengintai merasa berdebar hatinya. Kata-kata kakek tadi seakan-akan menyindirnya. Ilmu dipelajari tanpa digunakan, bukankah itu menyindir dia? Dia sudah mempelajari banyak ilmu silat dari Ciu-ong Mo-kai, akan tetapi tak pernah mempergunakannya, malah melatih diripun tak pernah, padahal ia hafal di luar kepala segala gerakan dan rahasia ilmu silat Liap-hong Sin-hoat yang hebat dari gurunya.

Sekarang ia tanpa sengaja menyaksikan ilmu silat yang lebih hebat lagi. Ilmu silat Lo-hai-hui-kiam! Dasar otaknya memang cerdas luar biasa, satu kali melihat saja ketika kakek tadi berlatih, ia sudah dapat hafal semuanya, tiga puluh enam jurus sudah ia hafal di luar kepala, malah nama-nama jurusnya pun ia sudah ingat betul. Sekarang melihat kakek itu mengulang latihannya, diam-diam ia menggeleng kepala.

"Gila benar kakek ini, napas sudah empas-empis masih terus berlatih, apa dia sudah bosan hidup? Akan tetapi kenapa ia selalu minta maut bersabar?"

Diam-diam ia memandang lagi dengan penuh perhatian, malah ia lalu mencocokkan ingatannya dengan latihan kedua ini. Ia melihat tenaga pukulan kakek itu sudah banyak kurang kuat, gerakannya lambat, akan tetapi amat sempurna sehingga tiap serangan selalu mengenai sasaran titik-titik pada tubuh patung itu dengan tepat. Akan tetapi segera kakek itu nampak kehabisan tenaga sekali, napasnya terengah-engah, dari ubun-ubun kepalanya mengebul uap putih, tubuhnya menggigil dan mukanya pucat sekali. Padahal ia baru menjalankan jurus ke duapuluh, masih enam belas jurus lagi! Tapi toh kakek itu dengan keras kepala melanjutkan latihannya dan napasnya kini benar-benar seperti seekor kerbau disembeli.

Han Sin merasa kasihan sekali. Tak dapat ia tinggal diam saja melihat orang tua itu mau mati kehabisan napas. Sebetulnya, mengingat prikesopanan, ia segan untuk memasuki kamar orang tanpa izin. Akan tetapi, hatinya yang penuh welas asih lebih kuat dan melangkahlah ia memasuki pintu sambil berkata,

"Kakek yang baik, kenapa memeras tenaga secara begitu? Harap kau mengaso dan tidak menyiksa diri "."

Kakek itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya membalik dan tahu-tahu tangan kanannya menusuk ke depan dengan dua jari sedangkan tangan kirinya diputar setengah lingkaran ke depan dada. Han Sin sudah hafal di luar kepala akan semua jurus yang dilihatnya tadi, maka dengan kaget ia mengenal itu sebagai jurus ke tujuh belas yang bernama Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan) dan maklum bahwa dadanya ditengah-tengah akan mendapat serangan.

Otomatis ia mengangkat tangannya ke depan dada untuk menyambut serangan itu. Benar saja, angin yang dingin dan kuat sekali bersiut ke arah dadanya dan ia merasa telapak tangannya yang ditutupkan di depan dada itu disambar hawa pukulan yang tajam. Akan tetapi, pukulan atau tusukan yang tidak kelihatan ini segera buyar dan kakek itu hampir terjengkang!

"Uuhh "" uhhh "". Celaka. Ilmuku dicuri orang ""..!" Kakek itu berseru, napasnya memburu. Baiknya karena kehabisan tenaga, serangannya tadi hanya tinggal sepersepuluh kuatnya, maka Han Sin yang memiliki sinkang luar biasa itu tentu saja tidak merasa apa-apa, malah si kakek yang hampir terpukul terjengkang oleh tenaganya sendiri yang membalik.

Han Sin cepat menjura dengan hormat sekali. "Tidak, kakek yang baik. Aku bukan pencuri."

"Kau "". Kau setan ".."

"Bukan, kakek. Aku bukan setan, hanya manusia biasa, namaku Cia Han Sin. Aku mohon maaf sebesarnya kalau sudah lancang memasuki tempat kakek karena aku sesat jalan, tidak kusengaja ".."

Melihat sikap sungguh-sungguh dan lemah lembut ini, kakek itu nampak lebih tenang dan sabar. "Kau ".. kau yang bisa menahan jurus Hui-kiam-ci-tiam ".. kau mau apa datang ke sini......?"

"Bukan Hui-kiam-ci-tiam, lo-enghiong. Melainkan jurus Hui-kiam-kan-goat yang kau gunakan untuk menyerangku tadi. Kau agaknya sudah terlampau tua sampai lupa lagi......."

Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan jeritan mengerikan dan muntahkan darah segar! Mendengar ucapan pemuda tadi ia menerima pukulan batin yang amat hebat karena kagetnya. "Kau...... kau......" dan ia roboh pingsan.

Han Sin kaget bukan main. Cepat ia melompat dan menolong kakek itu. Ia mengangkat kepala orang dan memangkunya, lalu mengurut-urut dada yang panas dan turun naik itu. "Siauw-ong, kau cari air....." katanya.

Monyet yang tadi bersembunyi ketakutan, kini muncul lalu bingung mencari air. Tak lama ia datang lagi, kedua tangannya membawa sedikit air yang tentu saja tumpah ke sana sini. Akan tetapi sedikit air itu dipergunakan oleh Han Sin untuk membasahi muka si kakek yang segera membuka matanya yang memandang sayu, nampaknya lemah sekali sampai menggerakkan tubuh juga tidak sanggup lagi. Setelah memangku kakek itu, tahulah Han Sin bahwa kakek ini memang sudah tua sekali.

"Kau bilang tidak mencuri ilmu, tapi dapat mengenal jurus-jurusku ".." kata kakek itu dengan suara perlahan sekali. "Jangan kau bohong """

"Sesungguhnya, lo-enghiong, aku berani bersumpah bahwa aku tidak mencuri apa-apa. Aku terjatuh ke dalam jurang lalu mendapatkan jalan terowongan menuju ke sini. Kebetulan kau berlatih ilmu Lo-hai-hui-kiam tadi. Tanpa kusengaja aku telah melihat dan mendengar semua dan telah hafal di luar kepala. Akan tetapi aku bukanlah ahli silat, harap kau tidak khawatir, kalau kau menghendaki, aku bisa lupakan lagi."

Tiba-tiba mata kakek itu bersinar dan dengan payah ia bangun duduk. "Hebat ".. hebat ".. orang dengan bakat Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tak bisa lupa lagi) seperti kau ini sukar dicari keduanya di dunia ".. eh, bocah, siapa namamu dan siapa gurumu?"

"Sudah kukatakan tadi, namaku Cia Han Sin ".."

"She Cia.....?" kakek itu memotong cepat. "She Cia "". Kenalkah kau dengan Cia Hui Gan dan Cia Sun?"

"Yang pertama adalah kongkongku, yang kedua ayahku," jawab Han Sin sederhana.

Kakek itu bersorak. "Kau anak Cia Sun...? Thian Yang Maha Mulia, agaknya Engkau sendiri yang menuntun bocah ini ke sini! Eh, siapa nama gurumu?"

Han Sin tidak berani menyebut nama Ciu-ong Mo-kai sebagai gurunya. Pertama karena memang ia tidak pernah mempelajari ilmu silat dari pengemis sakti itu secara praktek, kedua kalinya karena melihat betapa orang-orang kang-ouw saling bermusuhan seperti yang terjadi di puncak Cin-ling-san, ia tidak mau menyebut-nyebut nama orang kang-ouw, takut menimbulkan hal yang bukan-bukan lagi.

"Guruku Thio-sianseng, siucai miskin akan tetapi kaya akan pengetahuan tentang sastera kuno dan dialah yang semenjak aku kecil mengajar segala macam ilmu sejarah, filsafat dan lain-lain."

Kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Segala ilmu tiada guna! Apa kau tidak pernah belajar silat?"

"Tidak, lo-enghiong, tidak pernah. Malah sebetulnya saja, aku tidak suka akan ilmu silat yang kuanggap sebagai ilmu menyiksa, melukai atau membunuh orang."

"Tutup mulutmu! Kau bicara begitu tentang ilmu silat? Kau yang sudah kekenyangan filsafat dan dongeng, tidak tahukah kau betapa para dewa, para nabi, juga Tat Mo Couwsu sendiri, disamping kebijaksanaan dan kesucian mereka, juga mereka itu memiliki ilmu-ilmu yang tinggi? Tentang menyiksa atau membunuh yang kaukatakan tadi, apa kau kira orang yang tidak bisa silat tak mampu menyiksa dan membunuh? Huk huk, anak hijau! Dengan pena dan tulisan orang malah dapat membunuh secara besar-besaran dan lebih kejam lagi dari pada dengan pedang! Manusia macam Cheng Kui itu, tanpa pedang ia dapat membunuh pahlawan besar Gak Hui dan ribuan orang gagah! Lihat tuan-tuan tanah, tanpa ilmu silat, hanya dengan goyang kaki di kursi dengan emas penuh di kantong, berapa banyak manusia baik-baik ia dapat membunuhnya?"

Setelah bicara dengan bernafsu sampai terengah-engah napasnya, tiba-tiba kakek itu teringat akan sesuatu dan memandang kepada Han Sin. Pemuda itu balas memandang dan kakek itu melihat sinar mata yang luar biasa dari pemuda ini.

"Eh, betul-betul kau tidak bisa ilmu silat?" tanyanya dan tahu-tahu tangan kanannya dengan cepat luar biasa sudah menepuk pundak Han Sin. Pemuda itu sama sekali tidak mengira akan ditepuk pundaknya, akan tetapi hawa sinkang di tubuhnya secara otomatis tersalur ke tempat yang ditepuk tadi.

"Ayaaa "..!" Kakek itu ketika menepuk bagian tubuh yang segera melesak ke dalam dan menjadi lunak sekali akan tetapi di dasarnya mengeluarkan hawa yang kuat dan amat panas sehingga tangannya terasa sakit lalu berteriak dan memeriksa tangannya. Ternyata tangannya itu telah menjadi bengkak dan biru, terkena racun!

"Jangan main gila! Kau ahli lweekeh, malah telah mempelajari ilmu menggunakan hawa beracun. Sungguh ganas!"
Han Sin menjadi bingung dan cepat berlutut.

"Ah, lo-enghiong yang mulia, kau tolonglah diriku. Sesungguhnya aku tidak pernah belajar silat, akan tetapi entah bagaimana, tiap kali ada orang memukulku, tentu dia terluka, malah ada yang mati ketika memukulku. Harap kau orang tua yang berkepandaian tinggi suka menolongku."

Kakek itu duduk melenggong dengan heran. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Cia Han Sin, bersumpahlah bahwa kau benar-benar putera Cia Sun!" Suaranya biarpun lemah amat berpengaruh.

"Boanseng bersumpah bahwa memang Cia Sun adalah ayahku."

"Di mana ayahmu sekarang?" tanya pula kakek itu, suaranya bengis. Han Sin terkejut akan tetapi ia menjawab juga. "Semenjak aku masih kecil sekali ayah telah dibunuh orang, juga ibuku. Akan tetapi siapa pembunuhnya sampai sekarang akupun belum tahu."

Kakek itu menarik napas lega, agaknya puas mendengar jawaban ini. "Kalau begitu kau betul puteranya, memang mukamu hampir sama dengan muka ayahmu. Cia Han Sin, sekarang kau ceritakanlah sebenarnya. Apakah kau benar-benar tidak pernah belajar ilmu silat?"

"Hanya mempelajari teori-teorinya dan menghafal semua gerakan dari ilmu silat yang diturunkan oleh suhu Ciu-ong Mo-kai kepada adikku, akan tetapi aku sendiri tidak pernah melatihnya." Mendengar ini, Siauw-ong yang sejak tadi diam saja kini tiba-tiba cecowetan lalu mencak-mencak, memperlihatkan ilmu silatnya kepada kakek itu. Kakek itu mengangguk-angguk memuji. "Ciu-ong Mo-kai makin tua makin lihai, adikmu beruntung sekali menjadi muridnya." Kemudian ia menatap wajah Han Sin dengan tajam lalu bertanya lagi. "Dan kau tidak pernah melatih diri dengan ilmu lweekang?"

"Apa itu ilmu lweekang, aku sendiripun tidak tahu," jawab Han Sin sejujurnya.

"Pernah kau berlatih samadhi dan mengatur pernapasan?"

Wajah Han Sin berseri. "Tentu saja, semenjak berusia lima enam tahun aku sudah melatih diri bersamadhi dan mengatur napas menurut petunjuk kitab-kitab kuno. Malah sampai sekarangpun setiap saat aku berada dalam keadaan samadhi kalau diam dan setengah samadhi kalau bicara dengan orang."

Wajah kakek itu nampak tegang. "Hebat, coba kau perlihatkan bagaimana kedudukan tubuhmu kalau kau bersamadhi."

"Harap lo-enghiong jangan mentertawai aku yang bodoh," kata Han Sin lalu ia berjungkir balik, dengan kepala di bawah kaki di atas ia "berdiri" di depan kakek itu, kedua lengannya bersedekap. Namun biarpun tubuhnya berada dalam keadaan seperti itu, ia dapat "berdiri" tegak seperti sebatang tonggak, sedikitpun tidak goyang dan kelihatan "enak" sekali. Melihat kongcunya melakukan perbuatan yang belum pernah dilihat sebelumnya itu, Siauw-ong lalu meniru-niru dan berjungkir balik. Akan tetapi setiap kali tubuhnya menggelundung lagi dan mengusap-usap kepalanya yang menjadi sakit.

"Coba kau bernapas seperti kalau melakukan latihan samadhi," kata kakek itu makin tegang sambil menghampiri. Han Sin tak usah diperintah lagi karena memang selalu pernapasannya wajar seperti kalau bersamadhi. Kakek itu lalu meraba-raba tubuhnya, dada, pundak, punggung, lambung dan tiap kali ia mengeluarkan suara "ck.... ck..... ck....." seperti orang bingung, heran dan kagum bukan main.

Cari Blog Ini