Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Naga 11


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




Sambil berkata demikian, ia maju makin dekat. Terdengar seruan tertahan dari Giok Ciu, karena gadis ini ketika mendengar pengakuan dan keterangan Li Lian yang membuka rahasia persoalan menjadi demikian terkejut dan terharu hingga ia memekik perlahan dan menangis sambil menggunakan kedua tangan menutupi mukanya! Ia merasa malu, menyesal dan marah kepada Gak Bin Tong.

Ternyata Sin Wan benar-benar tak pernah melakukan perbuatan sesat sebagaimana yang dikiranya! Sin Wan tetap bersih, dan Gak Bin Tong pemuda jahanam itulah gara-gara semuanya. Kini terbuka matanya betapa ia telah tertipu oleh pemuda muka putih itu, betapa pemuda itu sebenarnya adalah pengkhianat dan "Pertolongan" yang diberikan padanya sekarang ini sebetulnya hanyalah sebuah perangkap untuk menangkap dan menjatuhkannya! Ah, betapa bodohnya, betapa tololnya. Benar belakalah kata-kata Li Lian tadi yang mengatakan bahwa ia adalah seorang gadis bodoh dan tolol! Tapi, demikian pikirnya, setolol-tolol dia masih lebih tolol Suma Li Lian yang dapat terpedaya oleh Gak Bin Tong! Maka ia lalu membuka tangannya dan sambil menahan tangis ia melihat kepada gadis yang telah berada di hadapan Gak Bin Tong. Pemuda muka putih itu dengan bibir gemetar berkata,

"Li Lian... Li Lian... ampunilah aku... Biarlah aku menebus dosa-dosaku dan merawatmu baik-baik... Li Lian, mana anakku...? Marilah kita mulai hidup baru lagi, kau ampunilah aku, Li Lian?" Terdengar pekik ngeri dari mulut Li Lian, seakan-akan kata-kata ini menusuk anak telinganya.

"Bangsat rendah! Jangan ulangi kata-kata palsu itu! Siapa yang sudi mendengarnya? Tahukah kau bahwa jika kuketahui kaulah orangnya yang menggangguku, pada saat itu juga aku lebih baik membunuh diriku? Siapa sudi dicinta olehmu? Cintamu kotor dan hina. Rasakanlah sekarang pembalasanku!"

Setelah berkata demikian, Li Lian maju menyerang dengan kedua pedang di kanan kiri, menyabet ke arah leher Gak Bin Tong. Sebetulnya kepandaian Gak Bin Tong bukanlah lemah dan kalau baru Li Lian saja yang hanya belajar silat selama satu bulan, tak mungkin dapat melawannya, biarpun gadis itu menyakinkan ilmu silat yang mujijat. Akan tetapi, pada saat itu Gak Bin Tong telah kehilangan tiga perempat bagian semangatnya yang membuatnya lemas da lambat. Ia telah putus asa melihat ancaman-ancaman Sin Wan dan kini setelah rahasianya terbuka oleh Li Lian, tentu Giok Ciu takkan dapat mengampuninya pula. Juga, selain tiga orang ini, masih ada lagi kakek gila yang duduk melenggut sambil mendengkur itu.

Ia maklum bahwa jembel itu tentu seorang sakti, karena ia dapat menduga bahwa dua puluh orang pahlawan yang kini tidak muncul-muncul itu tentu telah dibuat tak berdaya oleh kakek jembel itu! Maka apakah harapannya untuk tinggal hidup? Keputus-harapan inilah membuat ia setengah hati untuk menahan serangan Li Lian yang biarpun lemah tapi telah mempelajari ilmu silat aneh. Dengan mudah saja sambil menundukkan kepala, Gak Bin Tong dapat mengelit dua pedang yang menyambar di atas kepalanya, tapi pada saat itu Li Lian mengeluarkan teriakan demikian gila dan menyeramkan hingga seluruh tubuh Gak Bin Tong terasa lemas! Inilah lweekang luar biasa yang diajarkan oleh kakek gila itu, dan teriakan ini cukup untuk melumpuhkan seorang yang lweekangnya belum begitu tinggi.

Bahkan Sin Wan dan Giok Ciu yang mendengar pekik gila ini, merasa betapa dada mereka berdebar aneh dan keras! Pada saat Gak Bin Tong memandang kepada Li Lian dengan mata terbelalak takut dan tubuhnya lemas, sepasang pedang hitam dan putih itu meluncur cepat dan tahu-tahun telah menusuk dada Gak Bin Tong hingga tembus! Li Lian tertawa bergelak-gelak, tapi pada saat itu dari pintu di belakang Gak Bin Tong yang terbuka menyambar angin besar yang membuat tubuh Li Lian terlempar keras dan jatuh di pangkuan kakek jembel gila yang sedang melenggut. Ketika kakek gila itu membuka matanya, ternyata muridnya telah meringkuk di atas pangkuannya dalam keadaan mati! Juga Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali. Mereka tahu bahwa Li Lian telah terkena pukulan dari jauh yang dilakukan oleh orang berilmu tinggi.

Mereka tidak berani sembarangan bergerak, hanya berlaku waspada dan hati-hati menjaga segala kemungkinan. Jembel gila itu beberapa kali meraba jidat Li Lian. Tiba-tiba ia meletakkan tubuh muridnya di atas lantai, lalu ia berdiri dan menangis! Suara tangisan ini diseling-seling suara tertawa yang terdengar sangat aneh dan membuat bulu tengkuk Sin Wan dan Giok Ciu meremang karena merasa ngeri. Dan pada saat itu dari pintu di dekat tempat Gak Bin Tong berdiri, muncullah seorang tosu tua sekali dengan tubuh bongkok dan tongkat di tangan. Ia memasuki ruangan itu dan kedua matanya yang tajam menyambar-nyambar. Ia melihat betapa Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu rebah mandi darah dan mati di atas lantai, maka ia membuka mulutnya dan bertanya dengan suara kecil tinggi bagaikan suara kanak-kanak.

"Siapa orangnya yang berani membunuh kedua orang ini?" Tapi pada saat itu, lain suara terdengar, dan sungguh jauh bedanya dengan suara kakek bongkok tadi, karena suara ini terdengar besar, parau, dan bernada aneh dan janggal.

"Siapa orangnya yang berani membunuh muridku ini?" Kakek bongkok ini tujukan pandang matanya kepada si jembel gila yang berdiri di sudut lain. Ia memandang heran dan bertanya,

"Siapa pulakah orang gila ini?" tanyanya. "He, siapa namamu dan ada apakah kau berada di sini?" Jembel gila itu balas memandang.

"Siapa aku, siapa namamu? Aku sendiri tidak tahu. Aku adalah aku, dan mengapa aku berada di sini, entahlah. Tapi siapa yang telah membunuh muridku ini? Kaukah, orang bongkok?" Si bongkok tersenyum.

"Ya, akulah yang melakukan itu. Kau tidak mau memberitahukan nama, tapi aku tidak demikian pengecut. Pinto adalah Beng Hoat Taisu dan kedua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Nah, sekarang jawablah, kau siapa orang gila?" Si jembel gila itu mendengar pengakuan ini maju perlahan-lahan dan tertawa-tawa sambil menangis.

"Kau membunuh mati dia? Kalau begitu aku harus membunuhmu juga!" Beng Hoat Taisu tertawa kecil. Ia belum pernah melihat orang ini dan belum pernah pula mendengar seorang tokoh persilatan yang seperti orang gila ini, maka ia memandang rendah sekali. Sebaliknya, ia berhati-hati terhadap Sin Wan dan Giok Ciu, karena kedua anak muda ini tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka ia lalu menujukan pertanyaannya kepada mereka,

"He, orang-orang muda! Siapakah yang membunuh Cin Cin Hoatsu dan Kwi Kai Hoatsu?"

"Aku yang membunuh mereka!" jawab Sin Wan dengan gagah.

"Bukan, akulah yang membunuh mereka!" kata Giok Ciu tak mau kalah. Tiba-tiba terdengar gelak tawa si jembel gila dan dari tangannya menyambar seutas tali panjang yang meluncur cepat dan membelit gagang kedua pedang yang masih menancap di tubuh Gak Bin Tong yang telentang. Sekali sendal saja, kedua pokiam itu tercabut keluar dan sendalan kedua membuat kedua pedang itu melayang ke arah Sin Wan dan Giok Ciu! Kedua pemuda pemudi itu segera mengulurkan tangan dan menyambut pedang mereka dengan girang dan kagum sekali. Sebenarnya mereka tadi hendak mengambil pedang mereka dari tubuh Gak Bin Tong, tapi mereka kuatir kalau-kalau kakek bongkok yang lihai itu menyerang mereka. Melihat kelihaian jembel gila itu, si kakek bongkok merasa heran sekali. Ia lalu menjura dan sekali lagi bertanya,

"Toheng siapakah sebenarnya nama dan julukanmu?" Si jembel kini telah maju dekat dan berdiri di hadapan Beng Hoat Taisu.

"Aku adalah aku dan mengapa kau bunuh mati muridku? Aku harus membunuh kau!" Marahlah Beng Hoat Taisu mendengar ini karena ia merasa dipandang rendah sekali.

"Orang gila, baiklah kuantar kau menyusul muridmu!" Baru saja kata-katanya habis diucapkan tiba-tiba tongkatnya bergerak dan cepat sekali meluncur ke arah dada si jembel gila merupakan totokan maut yang berbahaya sekali. Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali, tapi si jembel gila sambil mengeluarkan suara ketawa bergelak lalu bergerak dengan aneh dan tahu-tahu ia telah dapat berkelit dan talinya yang kecil panjang itu meluncur dalam serangan balasan! Beng Hoat Taisu tak berani memandang rendah serangan ini dan menangkis dengan tongkatnya. Tapi tali itu bergerak bagaikan ular dan ujungnya dapat membelit tongkat itu lalu ditarik untuk merampas tongkat lawan. Mereka berdua mengerahkan tenaga, tapi ternyata tenaga lweekang mereka sama kuat hingga tali dan tongkat itu masing-masing masih terpegang kencang, sama sekali tidak dapat terbetot!

Si jembel gila tertawa keras dan talinya mengendur dan melepaskan belitan, lalu mereka bertempur pula. Sin Wan dan Giok Ciu yang tahu bahwa jembel gila itu berdiri di fihak mereka, lalu maju membantu dengan pedang mereka di tangan. Tapi mereka segera mundur kembali dengan kaget, karena sekali saja pedang mereka beradu dengan tongkat Beng Hoat Taisu, mereka merasakan tangan mereka linu dan lemas, tenaga mereka terpukul kembali oleh tenaga si bongkok yang benar-benar lihai dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari mereka. Pada saat itu, terdengar seruan-seruan ramai dan ternyata dua puluh pengawal keraton Kaisar yang tadinya tertotok tak berdaya oleh si jembel gila, kini berserabutan masuk dengan senjata di tangan mereka.

Mereka tadi telah tertolong oleh Beng Hoatsu Taisu yang baru saja datang, dan setelah mereka dapat bergerak kembali, lalu membawa senjata masing-masing dan maju menyerbu! Karena tidak tahu akan kelihaian si jembel, mereka sambil berteriak-teriak membantu Beng Hoat Taisu dan menyerang si jembel. Tapi sekali saja si jembel gila itu menggerakkan talinya yang aneh, tali itu bersiutan nyaring dan empat orang roboh dengan kulit terbeset dan mengeluarkan darah karena kena di cambuk oleh ujung tali itu! Kini mereka mundur dengan jerih, lalu menujukan perhatian mereka kepada Sin Wan dan Giok Ciu. Melihat kedua anak muda ini, ramailah mereka menyerbu hendak menangkap. Sin Wan dan Giok Ciu memutar pedang mereka dan pertempuran hebat terjadi di dalam ruang gedung yang sangat luas itu.

Sementara itu, Beng Hoat Taisu dan si jembel gila telah lenyap dari pandangan mata. Tubuh kedua orang tua aneh dan berilmu tinggi itu telah tertutup sama sekali oleh sinar kedua senjata mereka yang walaupun hanya tongkat biasa dan tali saja, namun kehebatannya jauh melebihi puluhan senjata tajam terbuat daripada baja tulen! Angin gerakan kedua kakek itu membuat kursi dan meja bergoyang-goyang dan menimbulkan suara berdesir-desir. Karena tidak merasa puas dengan adu tongkat dan tambang, mereka lalu melempar kedua senjata itu ke lantai, dan mulai berhantam dengan menggunakan sepasang kaki dan tangan! Pertempuran dilanjutkan dengan lebih mati-matian. Beng Hoat Taisu merasa penasaran dan heran sekali, karena selama hidupnya yang sudah lebih dari tujuh puluh tahun itu, belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang demikian tangguhnya.

Mungkin tak lebih tangguh daripada Bu Beng Lojin yang pernah juga menjatuhkannya, tapi ilmu pukulan si jembel ini sungguh-sungguh aneh sekali! Gerakan-gerakannya tak teratur sama sekali, pukulan-pukulannya ngawur belaka namun, tiap kali serangannya seperti akan mendatangkan hasil baik, tiba-tiba saja gerakan si jembel itu berubah dan tepat sekali dapat menangkisnya atau berkelit seakan-akan di seluruh bagian tubuh jembel itu ada matanya yang melihat datangnya bahaya! Juga, serangan-serangan ngawur yang dilancarkan oleh si jembel ini, sungguh-sungguh sukar diduga. Kalau serangannya seperti yang tepat dan hampir berhasil, tiba-tiba jembel itu dan menarik kembali tangannya, sedangkan jika serangannya dapat ditangkis atau dikelit oleh Beng Hoat Taisu, tiba-tiba serangan yang gagal itu masih dapat dilanjutkan dengan serangan lain yang terlebih lihai dan aneh!

Beng Hoat Taisu adalah seorang tosu kelas satu dari pegunungan Tibet dan ia telah terkenal sekali sebagai seorang jagoan kelas tertinggi dan sukar dicari bandingannya pada masa itu. Hampir semua jago-jago silat di Tibet mapun di daratan Tiongkok, telah dicobanya dan belum pernah ia menderita kekalahan. Paling buruk tentu bermain seri, yakni ketika ia melawan jago-jago dari seluruh Tiongkok Selatan dan jago-jago dari seluruh Mongol. Baru tiga kali ia pernah benar-benar dikalahkan orang, yakni ketika bertemu dan melawan Bu Beng Lojin dan paling akhir ketika ia bertemu dengan Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin dua orang tokoh terbesar di Tiongkok timur. Tapi ketiga orang inipun hanya menang sedikit saja darinya.

Ia mengira tadinya bahwa hanya tiga orang itulah yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya. Tapi sungguh tidak dinyana, ini hari ia bertemu dengan seorang jembel gila yang memiliki kepandaian sungguh-sungguh istimewa dan aneh. Pula, angin gerakan pukulan si jembel gila itu seperti mendatangkan hawa gila yang menyeramkan dan aneh, hingga seakan-akan ia merasa seperti sedang bertempur melawan mahluk bukan manusia. Ia takkan ragu-ragu untuk percaya jika dikatakan bahwa ia sedang bertempur melawan iblis sendiri Gerakan silat macam ini memang tak mungkin dicipta oleh manusia kecuali manusia iblis! Beng Hoat Taisu mengerahkan tenaga batin dan lweekangnya untuk menjatuhkan jembel gila itu tapi selalu tenaganya ini buyar dan terpukul oleh hawa aneh yang keluar dari pukulan-pukulan dan gerakan si jembel. Tiba-tiba jembel gila itu tertawa lagi, nyaring dan panjang,

"Ha, ha, ha! Kau sungguh lihai, kau hampir selihai... Bu Beng...! Ya, kau hampir selihai Bu Beng!" Mendengar ini, Beng Hoat Taisu menjadi terkejut.

"Pernah apakah kau dengan Bu Beng Lojin?" tanyanya sambil mengirim serangan.

"Ha, ha! Bu Beng kawan baikku. Kau kenal Bu Beng?" balas tanya jembel itu, suaranya mengandung keramahan hingga Beng Hoat Taisu menjadi heran.

"Aku kenal baik padanya," jawabnya. Tiba-tiba saja desakan si gila mengendur.

"Kalau begitu, aku tidak jadi membunuhmu! Kau kawan baik Bu Beng! Ah... Murid, kau tunggu sajalah. Pasti tiba saatnya pembunuh ini menemui maut, dan aku juga tentu akan menyusulmu kelak... Ha, ha, ha!" Setelah berkata demikian, jembel gila itu meniup keras ke arah muka lawannya. Tiupan ini demikian hebat dan bertenaga hingga cepat sekali Beng Hoat Taisu berkelit, namun masih saja jenggot dan rambutnya yang panjang putih berkibar-kibar bagaikan tertiup angin besar! Ia menjadi kaget sekali, tapi pada saat itu si jembel gila telah meloncat mendekati Sin Wan dan Giok Ciu.

Pada saat si jembel tadi bertempur dengan hebatnya melawan Beng Hoat Taisu, kedua orang muda itu mengamuk dan biarpun dikeroyok oleh belasan orang pengawal-pengawal Kaisar yang berkepandaian tinggi, namun Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam menyambar-nyambar demikian hebatnya hingga sebentar saja beberapa orang telah menjadi kurban dan sisa pengeroyok mereka menjadi jerih. Pada saat mereka masih mainkan pedang, tiba-tiba Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa lengan tangan mereka di betot orang dan mereka tahu bahwa si jembel itu mengajak mereka pergi. Mereka meloncat pula ke atas dan mengikuti si jembel yang telah lari lebih dulu sambil memondong tubuh Suma Li Lian yang telah menjadi mayat. Kakek jembel itu berhenti di sebuah hutan, lalu ia meletakkan muridnya di atas tanah sambil beberapa kali mengeluh,

"Muridku, kau sungguh kejam telah meninggalkan aku lebih dulu..." dan menitik keluarlah air mata dari kedua mata si kakek jembel. Sementara itu, malam telah berganti fajar dan ayam mulai berkeruyuk, tapi masih saja kakek jembel itu berlutut di dekat jenazah muridnya, sedangkan Sin Wan dan Giok Ciu berdiri memandang keadaan kakek aneh itu dengan terharu. Tiba-tiba kakek itu tertawa lagi, dan suara ketawanya terdengar seperti biasa, terlepas dan gembira.

"Aah, lebih baik begini, muridku. Lebih baik begini. Bukankah sekarang kau telah terlepas dari semua kedukaan? Bukankah sekarang tiada orang lagi bisa mengganggumu? Aah, benar lebih baik begini biarlah aku yang melanjutkan penderitaanmu. Kau harus dikubur, ya, kau harus dikubur!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggunakan kedua tangannya menggaruk-garuk tanah dengan maksud menggali lubang! Sin Wan dan Giok Ciu merasa terharu sekali mendengar kata-kata itu.

Biarpun kakek itu sangat mencinta muridnya, namun ia rela muridnya itu mati agar terlepas dari segala kesengsaraan. Ah, inilah cinta! Inilah cinta suci, cinta yang tidak mengharapkan sesuatu untuk kesenangan diri. Cinta yang semata-mata didasarkan atas keinginan melihat orang yang dicintainya bahagia dan tidak menderita, biarpun harus mengurbankan perasaan sendiri! Memikir sampai di situ, Sin Wan dan terutama Giok Ciu, merasa tersinggung dan tersindir, maka mereka menundukkan muka dengan wajah merah. Sementara itu, kedua mata Giok Ciu mengalir air mata. Sin Wan dan Giok Ciu, tanpa diminta lalu menggunakan pedang mereka mereka untuk membantu menggali lubang untuk menguburkan Suma Li Lian. Setelah jenazah gadis yang bernasib malang itu dikubur baik-baik, jembel gila itu lalu berkata kepada Sin Wan dan Giok Ciu.

"Kalian anak-anak baik. Nah, aku pergi hendak mencari Bu Beng." Melihat betapa pikiran kakek itu agaknya mulai ingat, Sin Wan cepat berkata,

"Lo-Cianpwe, teecu berdua adalah murid-murid Bu Beng Lojin!" Kakek itu memandang tajam kepada mereka.

"Bagus, dimana sekarang adanya Bu Beng?" Sin Wan tak dapat menjawab, dan Giok Ciu yang menjawab,

"Teecu tidak tahu di mana Suhu berada, karena Suhu telah meninggalkan Kam-Hong-San dan berjanji hendak bertemu dengan teecu berdua sepuluh tahun kemudian."

"Ha, ha! Bu Beng memang gila!" kata kakek itu dan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari situ! Sin Wan dan Giok Ciu yang ditinggal di situ saling pandang. Giok Ciu lalu berlutut di depan makam Suma Li Lian dan berkata dalam bisikan,

"Li Lian... Li Lian... Aku telah banyak menyakiti hatimu. Kau orang baik dan setia, tidak seperti... ah, Li Lian, kau tentu dapat mengampunkan aku, sungguhpun aku sendiri tidak akan sanggup mengampunkan diri sendiri." Sin Wan lalu berkata kepada Giok Ciu,

"Sumoi, marilah di depan makam Li Lian kita mengadakan pembicaraan sungguh-sungguh dan dari hati ke hati." Kedua anak muda itu di pagi hari yang cerah itu duduk di depan makam yang masih baru, saling berhadapan. Sikap mereka tenang dan sungguh-sungguh.

"Giok Ciu," kata Sin Wan sambil memandang wajah yang menunduk di depannya itu,

"Bagaimanakah pikiranmu setelah sekarang semua menjadi terang dan kau tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya?" Giok Ciu mengangkat mukanya dan menahan air matanya yang hendak menitik turun.

"Suheng, untuk apa kita bicarakan hal ini? Kau tahu, aku merasa menyesal dan malu sekali."

"Bukan begitu, Sumoi, hal itu tak perlu lagi dimalukan atau disesalkan. Semua telah lewat dan habis, seperti halnya Li Lian yang telah menjadi gundukan tanah ini. Tak perlu lagi dipersoalkan. Yang penting adalah persoalan kita, yang akan datang, Sumoi. Kesalahpahaman diantara kita telah lenyap. Bagaimanakah sekarang pendirianmu mengenai.... perjodohan kita?" Gadis itu sekali lagi mengangkat muka dan memandang wajah Sin Wan dengan terharu,

"Kau sendiri bagaimana, Suheng? Bagaimana pendirianmu?" Sin Wan merasa tak enak mendengar sebutan gadis itu kepadanya kini telah berubah. Dulu menyebut koko atau kanda, sekarang menyebut Suheng atau kakak seperguruan. Ia lalu mengangkat tangan ke arah leher dan mengeluarkan sepatu kecil yang tergantung di lehernya.

"Kau lihatlah sendiri, barang ini selalu masih menempel di dadaku! Masih kurang jelaskah ini?" Giok Ciu merasa terpukul dan teringatlah ia akan suling tanda perjodohan yang dulu ia hancurkan, maka tiba-tiba ia menangis perlahan.

"Giok Ciu terus terang saja kukatakan bahwa betapapun juga dan apapun yang terjadi, cintaku kepadamu tetap tak berubah. Mungkin terjadi perubahan sedikit, yakni tentang sifat cintaku itu. Kalau dulu cintaku disertai kandungan harapan untuk menjadikan kau sebagai isteriku sekarang sifat cintaku itu berubah setelah mendengar kata-kata Li Lian. Cintaku bukan berdasarkan hendak mengawinimu saja, tapi hendak melihat kau bahagia, Giok Ciu." Giok Ciu makin terharu dan tak dapat menjawab, maka Sin Wan lalu melanjutkan kata-katanya.

"Sumoi, jangan kau terlalu bersedih, Yang lalu biarlah lalu, sekarang marilah kita hadapi kenyataan. Aku hendak berterus terang saja kepadamu agar jangan sampai terulang lagi kesalahpahaman di antara kita. Aku masih tetap cinta kepadamu, tetapi aku sekali-kali tidak akan menggunakan hakku dan memaksamu menjadi isteriku. Terserah kepadamu, Sumoi, apakah kau hendak melanjutkan perjodohan kita atau tidak. Tapi yang pasti, selain dengan engkau, selama hidup takkan ada wanita lain yang dapat menjadi isteriku!" Giok Ciu tunduk untuk beberapa lama, akhirnya ia dapat juga menjawab,

"Suheng, kau memang seorng pemuda yang mulia. Hal ini seharusnya telah kuketahui sejak dulu dan seharusnya memperkuat kepercayaanku. Tapi memang aku gadis bodoh. Bodoh, lemah, dan tolol, tepat seperti dikatakan oleh Li Lian dulu! Setelah segala kebodohan yang kulakukan, termasuk penghancuran tanda perjodohan yang kuterima darimu, rasanya tak mungkin aku ada muka untuk menjadi isterimu, Suheng! Tentang cinta dan perasaan hatiku kepadamu... Entahlah! Aku menjadi ragu-ragu sekali untuk memikirkan tentang ini setelah mendengar ucapan-ucapan Li Lian dulu itu. Aku menjadi ragu-ragu apakah benar-benar ada cinta suci di dunia ini! Kalau kusesuaikan dengan ajaran Suhu kepada kita tentang pemiliharaan tenaga rohani, aku menjadi ragu-ragu. Aku... Aku tidak berani berkata secara membuta membuat pengakuan bahwa aku" aku cinta padamu, Suheng. Maafkan aku yang bodoh..." Sin Wan tersenyum pahit dan memegang lengan Sumoinya.

"Bagus, Sumoi, memang seharusnya demikianlah sikap kita sebagai orang-orang yang telah mendapat latihan Suhu. Kita harus beani menghadapi kenyataan, betapa pahit dan tidak enaknya kenyataan itu." Giok Ciu memandang Sin Wan dengan kasihan.

"Maafkan kalau aku menyakiti hatimu, Suheng. Aku juga tidak berani berkata bahwa aku tidak cinta kepadamu, karena percayalah bahwa selain dengan engkau, akupun tak mungkin kawin dengan seorang pemuda lain. Aku hanya malu dan ragu-ragu mengaku akan cintaku padamu, karena kalau benar-benar cinta, mengapa sikap dan tindakanku yang sudah-sudah demikian macamnya terhadapmu? Sekarang, biarlah kita berpisah dan meluaskan pengalaman masing-masing, sementara itu, berilah waktu padaku, Suheng." Sin Wan menghela napas panjang dan dengan jari-jari tangan gemetar ia melepaskan tali pengikat sepatu kecil itu, lalu diberikannya kepada Giok Ciu.

"Terimalah ini, Sumoi. Aku tak berhak menyimpannya." Giok Ciu menganggap bahwa hal itu sepantasnya, maka sambil mengeraskan hatinya yang sangat terharu, iapun menerima barang itu dengan tangan gemetar pula.

"Sebelum kita berpisah, beritahukanlah di mana kau titipkan anak Li Lian dulu itu Suheng?" Karena tidak menduga sesuatu, Sin Wan lalu menceritakan betapa Li Lian meninggalkan anaknya demikian saja hingga ia menjadi bingung dan akhirnya menitipkan anak Li Lian itu kepada seorang janda she Thio di kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San itu. Kemudian mereka lalu berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing. Biarpun kini di dalam lubuk hati kedua anak muda itu terdapat sesuatu yang mengganjal dan membuat mereka merasa sunyi dan kosong, namun tidak ada pula segala kejengkelan, kekecewaan dan kemarahan mengganggu mereka. Sin Wan merantau ke daratan sebelah Timur dan ia melakukan perjalanan menjelajah sepanjang pantai timur. Pada waktu itu, daratan timur di Tiongkok seringkali terganggu oleh bajak-bajak laut yang ganas.

Bajak-bajak laut itu menggunakan perahu-perahu layar yang cepat gerakannya dan mereka terkenal mempunyai anggauta-anggauta yang rata-rata berilmu silat tinggi. Tubuh mereka pendek dengan tangan yang panjang-panjang, sedangkan mereka biasa bersenjata pedang panjang yang mereka mainkan dengan secara cepat dan ganas. Banyaklah sudah dusun-dusun di pinggir pantai yang menjadi kurban keganasan para bajak laut ini, dan para penduduk dusun itu tidak tahu dari manakah datangnya bajak-bajak itu. Bahasa yang digunakan oleh para bajak laut itu walaupun tidak mereka mengerti, namun ada persamaan dengan Bahasa dusun pantai timur. Pemerintah setempat telah pula mendengar tentang gangguan bajak laut ini, tapi karena pemerintah pada waktu itu sangat lemah dan sama sekali kurang menaruh perhatian akan nasib rakyat, maka hal itupun tidak diperdulikan.

Pendirian pemerintah Tiongkok di kala itu, asalkan kedudukan para bangsawan dan Kaisar tidak terancam dan tidak terganggu, maka amanlah! Rakyat dirampok? Rakyat diganggu bajak laut? Rakyat kelaparan? Aah, itu soal kecil dan soal biasa, tidak ada sangkut pautnya dengan mereka yang menduduki pangkat. Asal saja gangguan-gangguan itu tidak merugikan mereka! Karena keadaan pemerintah yang lalim dan alat-alat pemerintah yang buruk sekali ini, maka para bajak laut itu makin ganas dan kurang ajar. Mereka bahkan berani menculik wanita-wanita dan membawanya ke pulau tempat tinggal mereka. Bahkan tiga buah dusun kecil di dekat pantai yang tadinya merupakan dusun nelayan yang ramai dan makmur, kini boleh dibilang menjadi dusun para bajak laut itu!

Tiga dusun itu dijadikan seksi pendaratan mereka, bahkan yang memerintah disitu sekarang orang-orang anggauta bajak laut itu! Bukan tidak ada orang-orang gagah dan hohan-hohan yang mencoba untuk memberantas keganjilan ini, tapi karena jumlah bajak laut sangat banyak dan semua memiliki kepandaian berkelahi yang baik sekali sedangkan fihak orang-orang gagah hanya ada beberapa orang saja sedangkan alat pemerintah tidak ada yang membantu, beberapa kali mereka ini tidak berhasil, bahkan mengalami kekalahan yang pahit! Ketika di dalam perantauannya mendengar tentang hal ini, Sin Wan merasa marah dan penasaran sekali. Ia lalu langsung menuju ke dusun Tin-Siang, sebuah daripada tiga dusun yang menjadi sarang bajak laut di timur itu. Tapi alangkah herannya ketika ia memasuki dusun itu, karena keadaan dusun bukanlah seperti yang disangkanya semula.

Tadinya ia menduga akan melihat sebuah dusun yang sengsara di mana penduduknya hidup tertindas dan serba kekurangan. Sebaliknya, dusun itu ramai sekali dan penghidupan penduduk dusun Tin-Siang tampak seperti biasa, juga wajah orang-orang disitu tidak kelihatan sedih! Ini sungguh aneh sekali, pikir Sin Wan. Lalu ia berjalan-jalan ke pantai laut melihat kapal-kapal layar yang berlabuh disitu. Ternyata kapal-kapal dari pedalaman, juga mengangkut kayu-kayu dari hutan, yakni kayu untuk pembangunan yang disebut kayu besi yang sukar dicari dan mahal harganya. Semua pekerjaan dilakukan oleh penduduk dusun itu dan yang mengepalai mereka adalah beberapa orang pendek yang tampaknya ramah tamah. Maka otak yang cerdik dari pemuda itu lalu dapat menduga.

Ia pikir bahwa bajak-bajak laut itu tentu menggunakan siasat halus untuk membujuk para penduduk dusun itu hingga tenaga mereka digunakan. Bajak-bajak itu tentu tidak mengganggu mereka, tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari mereka, karena hasilnya tak seberapa besar. Sebaliknya, mereka melakukan perampokan di dalam hutan-hutan dan mengangkut pergi hasil-hasil bumi Tiongkok yang kaya, dan yang mengerjakan semua itu adalah tenaga-tenaga penduduk dusun itu, mungkin dengan diberi sedikit upah! Sin Wan melanjutkan penyelidikannya. Ia memasuki sebuah rumah makan dan memesan arak serta makanan. Karena ada beberapa orang yang sedang duduk di dalam rumah makan itu dan tampaknya seperti orang-orang pedagang dari lain tempat, sengaja Sin Wan mendekati mereka, lalu secara iseng-iseng ia berkata,

"Dusun ini tampaknya ramai dan penduduknya hidup senang." Seorang di antara mereka yang menengok dan mendengar kata-katanya itu, lalu menghampiri. Agaknya orang ini telah minum arak agak terlampau banyak, maka lidahnya terlepas,

"Mengapa tidak, kawan? Kau tentu bukan orang sini maka agaknya heran melihat keadaan kami! Sudah banyak orang-orang seperti engkau yang datang ke sini. Tentu kau tadinya menyangka bahwa kita tentu hidup sengsara, bukan? Ha, ha! Tidak, kita tidak merasa terganggu. Mereka itu mengangkut hasil-hasil hutan dan tanah bukan milik kami. Mereka menguasai kami tapi tidak membuat kami sengsara. Tahukah kau bahwa dulu sebelum mereka datang, kepala dusun ini, seorang bangsa kita sendiri, bahkan merupakkan lintah darah yang menghisap habis darah kami? Aah, kami lebih senang mempunyai kepala dusun bangsa lain daripada kepala dusun bangsa sendiri yang menindas kami!" Mendengar kata-kata ini Sin Wan merasa muak sekali.

Celaka dua belas! Beginilah kalau pemerintah sendiri tidak becus memerintah dan buruk keadaannya! Rakyat menjadi penasaran dan sakit hati, hingga bahkan mereka lebih suka diperintah oleh pemerintah asing daripada oleh pemerintah bangsa sendiri, karena mereka itu hanya menghendaki hidup senang! Celaka sekali! Tentu saja bagi orang-orang beriman dan mempunyai jiwa gagah perkasa seperti Sin Wan, diperintah oleh orang-orang asing itu merupakan hinaan yang besar sekali. Apalagi ketika melihat betapa kekayaan tanah air dibawa dan diangkut pergi oleh orang-orang kate itu, Sin Wan merasa mendongkol sekali. Pada saat itu, tiba-tiba orang yang doyan mengobrol itu diam bagaikan orong-orong terpijak, karena dari luar masuklah seorang kate yang agak gemuk. Orang kate itu memandang Sin Wan dengan curiga dan ia lalu menunding ke arah Sin wan sambil bertanya kepada pengobrol tadi,

"Siapakah orang ini? Dan dari mana datang?" Sebelum ada yang menjawab, Sin Wan menghampiri orang itu dan bertanya,

"Kau perduli apakah? Kau siapa dan apa hakmu maka bertanya demikian?" Orang itu tersenyum menghina.

"Kau mencari susah sendiri!" Dan ia membalikkan tubuh hendak pergi, tetapi Sin Wan telah menangkap lengan tangan orang itu.

"Tahan dulu, bukankah kau ini anggauta bajak-bajak asing yang mengganggu pantai Tiongkok?" orang itu memandang dengan ancaman di matanya.

"Habis kau mau apa?" Sehabis berkata demikian, dengan sekali renggut terlepaslah tangannya dari pegangan Sin Wan sehingga pemuda itu diam-diam terkejut sekali karena tidak disangkanya bahwa si pendek ini memiliki tenaga besar.

Kemudian si pendek itu menyerang dengan pukulan yang mempunyai gerakan aneh. Datangnya serangan ini cepat sekali dan kedua tangannya digunakan bagaikan cengkeraman garuda. Inilah semacam ilmu Eng-Jiauw-Kang atau Cengkeraman Garuda, dan ilmu ini mengandalkan tenaga dan kecepatan mencengkeram tubuh atau tangan musuh. Tapi Sin Wan dengan mudahnya dapat berkelit dan balas menyerang. Setelah bergerak tiga jurus saja, Sin Wan berhasil mendorong tubuh yang kate itu sehingga bergulingan menabrak meja. Orang kate itu bersuit keras dan dari arah pantai berlari-larilah beberapa orang kate lain, yakni anggauta-anggauta dan anak buah bajak laut yang bertugas di situ. Bahkan ada beberapa penduduk aseli, yakni orang-orang kampung di situ ikut pula datang dengan wajah mengancam seakan-akan mereka juga hendak mengeroyok Sin Wan!

Sin Wan mencabut pedangnya dan sebentar saja ia dikeroyok banyak orang yang bersenjata pedang panjang dan yang kesemuanya memiliki ilmu pedang yang cukup baik. Tapi menghadapi Pek Liong Kiam-sut, mereka ini tidak berdaya. Yang mengherankan Sin Wan ialah betapa pedang-pedang mereka ini kesemuanya terbuat daripada bahan yang baik dan keras hingga tidak mudah terbabat putus oleh pokiamnya! Ini sungguh mengagumkan! Kemudian, penduduk kampung ikut pula mengeroyok dengan segala macam senjata yang dapat mereka pakai, karena mereka menganggap bahwa pemuda itu hanya membuat kacau saja di kampung mereka. Melihat hal ini, Sin Wan lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga empat orang kate roboh dengan mandi darah, kemudian Sin Wan berseru keras,

"Hai, saudara-saudara! Tidak tahukah kalian bahwa bajak-bajak kate ini menguras kekayaan di negeri kita? Mereka ini tidak saja membajak bangsa kita, tapi juga merampok hasil bumi kita! Hayo kita usir mereka ini!" Tapi orang-orang kampung init tak seorangpun mau mendengarkan kata-katanya, bahkan ada seorang yang berteriak keras,

"Aah, obrolan apa yang kau jual ke sini? Kau rupanya bukan hendak menolong, tetapi bahkan hendak mengacau dan mencelakakan kami!" Tiba-tiba Sin Wan ingat bahwa kalau ia mengusir bajak-bajak ini, tentu para banyak yang banyak sekali jumlahnya itu akan sakit hati sekali kepada orang-orang kampung dan akhirnya penduduk dusun itulah yang akan menerima balasan dan tertimpa bencana besar. Mengingat demikian, Sin Wan lalu meloncat pergi dan lari keluar dari dusun itu dengan cepat.

Ia merasa bingung dan tidak tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengusir para bajak laut itu. Malam itu ia bermalam di dalam sebuah dusun yang terdapat di hutan yang memanjang di tepi laut. Berbeda dengan keadaan dusun yang dikuasai para bajak itu, di dusun ini orang-orang hidup sederhana sekali dan keadaan mereka sungguh-sungguh miskin! Tapi mereka sangat ramah tamah dan seorang keluarga yang terdiri dari seorang kakek dan seorang puteranya yang sudah duda, menerima Sin Wan dan memberi tempat kepadanya untuk bermalam. Karena lelahnya Sin Wan tidur nyenyak sekali. Tapi menjelang fajar, ia dikejutkan oleh suara gemuruh dari kaki kuda dan sepatu-sepatu dari ratusan pasang kaki orang yang mendatangi ke arah dusun itu! Ia segera bangun dan terdengar pekik dan jerit tangis penduduk dusun di situ.

"Ada apakah?" Sin Wan meloncat keluar dan bertanya kepada seorang yang lari ketakutan.

"Bajak-bajak itu mengganas lagi!" katanya, Sin Wan menjadi gemas sekali. Jadi kalau di sekitar pantai bajak-bajak itu berlaku baik terhadap penduduk di situ untuk memikat hati mereka, di pedalaman mereka merampok dengan kejam. Dalam marahnya, Sin Wan mencabut pedangnya dan lari memapaki kedatangan para bajak itu. Dan apa yang dilihatnya membuat dia kaget sekali! Yang datang itu, bukanlah bajak-bajak biasa, karena pakaian yang dipakai oleh orang-orang kate itu adalah seragam hingga mereka lebih tepat disebut tentara yang berdisplin dan teratur!

Pergerakan mereka teratur sekali dan disana-sini terdengar aba-aba yang dikeluarkan dengan suara keras dari atas kuda! Tentara yang bergerak ini jumlahnya cukup besar, ditaksir tidak kurang dari lima puluh orang. Hendak menyerbu kemanakah rombongan bajak yang merupakan barisan teratur ini, pikir Sin Wan. Tapi pada saat itu telah terlihat oleh seorang anggauta barisan itu dan atas aba-aba seorang pemimpin, beberapa belas orang dengan pedang dan tombak lari menyerbu. Sin Wan menerima kedatangan mereka dengan pedang di tangan dan ia lalu mengamuk hebat! Tapi segera ia mendapat kenyataan bahwa para pengeroyoknya ini benar-benar orang berilmu silat lumayan juga dan jika dibandingkan dengan kepandaian para pengawal Kaisar, maka agaknya tidak boleh disebut lebih lemah! Terutama ilmu pedang mereka yang mempunyai gerakan aneh, sungguh sukar dilawan.

Baiknya ia memiliki ilmu pedang yang cepat dan hebat gerakannya, maka sebentar saja ia dapat merobohkan beberapa orang hingga tempat itu menjadi ramai dengan pekikan-pekikan mereka dan rumput-rumput di situ menjadi basah oleh darah! Tapi keberanian dan kenekatan orang-orang itu sungguh membuat Sin Wan merasa bingung dan gugup. Jatuh seorang datang dua dan jatuh dua datang empat! Ia sampai merasa kewalahan dan kini dirinya terkurung rapat! Ia telah merobohkan sepuluh orang lebih, tapi tenaganya mulai lemah karena ternyata musuh-musuhnya makin banyak saja. Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan kepungan Sin Wan menjadi buyar dan keadaan menjadi kacau balau! Ketika Sin Wan merasa kepungan yang mengurung dirinya mengendur, ia lalu meloncat keluar dari kepungan untuk melihat apa yang telah terjadi di luar kepungannya.

Ternyata terdapat dua bayangan putih dengan jubah lebar berkibar-kibar sedang mengamuk hebat! Dua bayangan itu menyambar-nyambar ke sana kemari dan dimana saja mereka tiba, tentu terdengar pekik ngeri dan tampak tubuh seorang pengeroyok roboh! Sin Wan terkejut sekali melihat kehebatan sepak terjang dua orang itu, karena mengingatkan ia akan kakek jembel gila. Tiba-tiba dua orang itu menghentikan gerakan mereka dan mereka berdiri di atas sebuah batu besar sambil bertolak pinggang. Ternyata bahwa mereka adalah dua orang kakek yang berwajah angker dan gagah sekali. Pakaian mereka seperti dua orang petani dan jubah mereka longgar, di punggung mereka tampak gagang pedang. Rambut mereka yang putih dan panjang digelung ke atas dan kini ujung rambut itu berkibar-kibar tertiup angin. Mereka sungguh gagah perkasa!

"He, kamu sekalain bajak laut, dengarlah! Kamu telah melihat sepak terjang kami berdua dan ternyata baru kami dua orang tanpa memegang senjata saja kalian sudah tak dapat melawan. Apalagi kalau bangsa kami bangkit serentak melawan kalian, pasti kalian akan dilempar semua ke laut! Kembalilah ke negarimu sendiri dan jangan mengganggu rakyat kami! Kalau dalam tiga hari kami masih melihat kamu, maka jangan harap akan mendapat ampun lagi!" Kedua kakek itu berbicara perlahan, lalu seorang diantara mereka berkata lagi dengan suara keras,

"Ketahuilah, kami berdua adalah Pai-San Sianjin dan Nam-Hai Sianjin. Dan jangan kira bahwa di negeri kami hanya ada kami dua orang saja yang memiliki kepandaian! Masih ribuan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kami. Kalian lihatlah pohon siong disana itu dan lihat apakah diantara kalian ada yang sanggup menahan serangan pedang kami seperti yang hendak kami lakukan kepada pohon itu!" Setelah berkata demikian dua orang kakek itu lalu mencabut pedang dari punggung, lalu berbareng mereka enjot tubuh mereka.

Dua bayangan putih berkelebat ke arah puncak pohon itu dan tiba-tiba daun-daun dan ranting-ranting kecil jatuh berhamburan ketika dua orang kakek itu gerakkan pedang mereka membabat! Sebentar saja keduanya telah melayang turun di atas batu yang tadi dan ketika semua orang melihat ke arah pohon, mereka leletkan lidah karena daun-daun pohon itu telah dicukur sedemikian rupa hingga pinggirnya rata dan potongannya bundar! Setelah menyaksikan demonstrasi ini, terdengar aba-aba keras di fihak bajak laut dan mereka lalu lari mundur dengan cepat! Kedua kakek itu tertawa bergelak-gelak menyaksikan mereka. Kemudian mereka memandang ke arah Sin Wan dan memberi tanda kepada pemuda itu supaya datang mendekat. Sin Wan lalu memberi hormat sambil berlutut.

"He, anak muda yang gagah perkasa. Bukankah kau mendapat pelajaran dari Bu Beng?" tegur Nam-Hai Sianjin.

"Benar, Lo-Cianpwe. Teecu adalah murid dari Bu Beng Lojin dan mendengar nama jiwi Lo-Cianpwe yang besar serta menyaksikan kehebatan ilmu pedang jiwi Lo-Cianpwe, sungguh teecu merasa beruntung sekali sudah dapat bertemu dengan jiwi Lo-Cianpwe!" Terdengar Pai-San Sianjin menghela napas,

"Sayang sekali orang-orang seperti kita kebanyakan berlaku sesat dan tidak melihat akan penderitaan rakyat. Kau mendengar tadi betapa kami membohong agar mereka jangan berani datang lagi. Nah, sampaikan salam kami kepada Suhumu?" Dan kedua tokoh persilatan yang terkenal itu berkelebat menghilang dari pandangan Sin Wan. Setelah kenyang merantau, lima tahun kemudian, Sin Wan kembali ke Kam-Hong-San. Maksudnya hendak mulai mendidik anak perempuan Li Lian yang dulu dititipkan kepada janda Thio. Tapi alangkah herannya ketika mendapat keterangan bahwa anak itu telah dibawa oleh Giok Ciu. Sin Wan lalu mengejar dan menjumpai Giok Ciu di bekas tempat tinggal Ayahnya, yakni di sebelah timur bukit Kam-Hong-San.

"Sumoi," katanya ketika bertemu dan melihat betapa benar-benar anak itu berada disitu. "Kau berikanlah anak ini kepadaku untuk kudidik menjadi muridku."

"Tidak Suheng. Akulah orangnya yang mempunyai dosa terhadap Li Lian, maka biarlah aku menebus dosa itu dengan memberi didikan kepada anaknya ini," jawab Giok Ciu. Mereka berdua mempertahankan pendirian mereka sendiri-sendiri, karena Sin Wan juga suka sekali melihat anak perempuan yang mungil itu dan yang wajahnya mirip sekali dengan Li Lian. Akhirnya sambil tersenyum Giok Ciu mencabut ouw Liong Pokiam dan berkata tenang,

"Suheng, kalau begitu, biarlah pedang kita yang memutuskan."

"Apa maksudmu?" tanya Sin Wan terkejut.

"Marilah kita mengukur kepandaian masing-masing, yang lebih tinggi berhak menjadi guru anak itu!" Sin Wan tersenyum dan heran, karena biarpun sikap dan bicara gadis itu telah berubah dan tenang tapi sebenarnya watak keras masih ada di dalam hatinya. Iapun lalu mencabut Pek Liong Pokiam dan menghadapi Sumoinya. Mereka lalu menggerakkan kedua pedangnya itu dan sebentar kemudian pertemuan mereka ini dirayakan dengan adu pedang!

Mereka dalam hal memberi pelajaran kepada kedua muridnya, Bu Beng Lojin tidak berlaku berat sebelah, maka kepandaian mereka berimbang. Sin Wan dapat merobohkan Sumoinya yang keras hati ini, tapi ia tidak tega dan pula agaknya ia takkan dapat merobohkan kalau tidak dengan menggunakan kekerasan. Karena inilah maka mereka bertempur sampai ratusan jurus bagaikan dua ekor naga sakti berebut mustika. Anak perempuan yang baru berusia kurang lebih lima tahun itu bertepuk-tepuk tangan gembira dan suka sekali melihat pertempuran itu, seakan-akan ia melihat pertunjukan yang bagus sekali. Tiba-tiba terdengar suara lemah lembut dan suara tertawa menyeramkan. Sin Wan dan Giok Ciu kenal suara ini maka mereka segera meloncat mundur dan menjatuhkan diri berlutut. Bu Beng Lojin dan kakek jembel gila yang lihai itu telah berada di depan mereka.

"Sin Wan dan Giok Ciu! Bagaimana keputusanmu yang terkahir? Perlukah kedua pokiam itu kau kembalikan kepadaku? Biarlah aku yang menyimpannya!" Sin Wan memberi hormat dan berkata,

"Suhu, hal ini murid hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Giok Ciu!" Giok Ciu menundukkan muka dan kulit mukanya berubah merah. Ia pandang Ouw Liong Pokiam di tangannya dan agaknya ia tak mungkin dapat berpisah dari pedang ini. Pula, niatnya untuk berumah tangga, biar dengan Sin Wan sekalipun, telah lenyap dari sanubarinya.

"Maaf, Suhu. Teecu telah bersumpah hendak hidup menyendiri dengan pokiam ini." Bu Beng Lojin tertawa bergelak-gelak, diiringi oleh suara tertawa oleh kakek jembel gila itu.

"Kalau begitu, kau bertapalah disini, dan Sin Wan boleh tinggal di gua naga. Ketahuilah murid-muridku, memang kalianlah yang berjodoh untuk mengembangkan Sin-Liong Kiam-Sut dan kelak kalian pulalah yang akan menurunkan kepandaian dan kedua pokiam ini kepada orang-orang atau murid-murid yang berbakat. Dengan demikian, takkan sia-sialah hidupmu di dunia ini. Kalian telah memilih jalan benar, karena sekarang aku mau membuka rahasia, yakni menurut penglihatanku, kalian mempunyai watak yang bertentangan dan jika tertangkap menjadi suami isteri, maka akan lebih banyak pahitnya daripada manisnya kalian rasakan!"

"Suhu, mohon petunjuk Suhu tentang anak ini," kata Sin Wan, juga Giok Ciu mendesak gurunya. Tiba-tiba si kakek jembel gila berkata dengan suaranya yang parau.

"Hanya akulah seorang yang berhak menjadi Suhunya!" Giok Ciu dan Sin Wan terkejut, tapi Bu Beng mengangguk-angguk,

"Kalian masih terlampau muda untuk menerima murid. Matangkanlah dulu kepandaianmu, dan kalian taruhlah kasihan kepada kawan baikku ini. Anak ini akan menjadi obat penawar baginya." Akhirnya Sin Wan dan Giok Ciu menurut dan mengalah.

Semenjak saat itu, Bun Sin Wan bertapa di puncak gunung Kam-Hong-San sedangkan Kwie Giok Ciu bertapa di bekas tempat tinggal Ayahnya. Keduanya telah dapat menahan segala nafsu keduniaan dan tekun memperdalam ilmu mereka. Tapi adat yang terbawa ketika lahir tak dapat dirobah dengan mudah, karena dalam beberapa tahun sekali, tentu Giok Ciu mengunjungi Sin Wan untuk diajak bertanding mengukur kepandaian! Sering pula Sin Wan atau Giok Ciu turun gunung untuk melakukan tugas sebagai pendekar-pendekar gagah pembela keadilan, hingga nama Pek Liong Pokiam dan Ouw Liong Pokiam makin terkenal di kalangan persilatan sebagai dua pedang naga sakti yang hebat dan sebagai penggempur kejahatan! Kelak, berpuluh puluh tahun kemudian, setelah mereka menjadi orang-orang tua, Bun Sin Wan akan menggunakan nama Kam Hong Siansu, sedangkan Kwie Giok Ciu tak mengubah nama hingga disebut orang Kwie Giok Ciu Suthai.

TAMAT

Penerbit : CV. GEMA - Solo
Pelukis : Yohanes & Antonius S.
Sumber Gambar : Djan M
Di Ketik oleh : Eddy Zulkarnaen
Di Posting di Grup : Cersil KhoPingHoo
Di Edit ke Doc, PDF, TXT oleh : Cersil KPH


Cari Blog Ini