Kisah Sepasang Naga 2
Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Sin Wan! Batu yang menduduki tempat mata ini dapat bergerak-gerak!"
Sin Wan cepat meraba batu mata kanan dan ternyata batu itupun dapat bergerak-gerak. Dengan berbareng Sin Wan dan Giok Ciu menekan-nekan kedua batu yang merupakan mata naga itu. Ini sebetulnya terjadi kebetulan saja, tapi sungguh mengagetkan mereka ketika tiba-tiba terdengar bunyi berkerotokan seperti barang yang sangat berat bergerak pindah dan perlahan-lahan batu yang menempati mulut itu bergeser dan terbuka! Sin Wan dan Giok Ciu loncat mundur dengan takut dan menunggu-nuggu kalau-kalau dari lubang itu akan keluar makhluk yang dahsyat. Tapi ternyata setelah ditunggu-tunggu dengan hati berdebar, tak tampak sesuatu keluar dari situ. Dalam kegelapan hati mereka, kalau saja pada saat itu ada seekor tikus kecil keluar dari lubang itu tentu keduanya akan terperanjat sekali!
"Giok Ciu biarlah aku memasuki lubang ini untuk memeriksa. Kau tinggal saja disini."
"Tidak, Sin Wan. Aku tidak mau berada seorang diri disini. Kita terjerumus di tempat ini berdua, maka sekarang maju harus berdua pula."
"Giok Ciu lubang ini terjadi karena kita berdua menggerakkan batu-batu yang membentuk mata naga, maa tentu ini bukan hal kebetulan saja. Pasti lubang dan batu-batu ini sengaja dibuat oleh orang, atau setidaknya oleh makhluk hidup. Maka kurasa tentu ada apa-apa menanti dibalik lubang dan bukan tidak berbahaya. Kalau aku saja yang masu biarpun ada bahaya menimpa, hanya aku yang menghadapinya. Biarpun sampai mati, tapi masih ada engkau. Lebih baik kurban hanya seorang daripada kedua duanya."
Tak tersangka ketika mendengar kata-kata ini, Giok Ciu marah sekali. Sepasang matanya yang lebar memancarkan cahaya yang mengingatkan Sin Wan akan sepasang mata naga yang dilihatnya didalam hujan ribut tadi pagi!
"Sin Wan, kau anggap aku orang apakah? Aku bukan seorang pengecut, dan Ayahku ialah seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang gagah perkasa dan dihormati orang! Kalau kau tidak takut menghadapi bahaya, apa kau kira akupun takut mati? Pendeknya kau pilih saja, kita masuk berdua atau kalau hanya seorang yang boleh masuk, kau yang tinggal disini dan aku yang masuk sendiri!"
Sin Wan pandang gadis cilik yang usianya sepantaran dia tapi sudah bersemangat gagah ini dengan kagum. Maka iapun mengalah. Ia hendak masuk lebih dulu, tapi Giok Ciu tetap hendak masuk berbareng. Karena lubang itu cukup besar, maka dengan merangkak berdampingan mereka dapat juga menerobos masuk. Tapi, dalam keadaan masih merangkak bagaikan dua ekor binatang kaki empat, kedua anak itu dengan mata terbelalak dan mulu ternganga serta wajah pucat memandang sambil berdongak ke depan mereka, sedang tubuh mereka tak bergerak bagaikan berubah menjadi patung! Di depan mereka tidak ada tiga tombak jauhnya, terdapat rangka dua ekor ular besar sekali dengan tengkorak menghadap mereka dan mulut tengkorak ular itu terbuka lebar seakan-akan hendak telan mereka! Sin Wan dapat tenteramkan goncangan hatinya lebih dulu dan ia berkata.
"Ah, tidak apa-apa Giok Ciu. Hanya rangka yang telah mati. Hayo berdirilah." Tapi biarpun mulutnya berkata begini, ketika berdiri SinWan merasa heran karena kedua kakinya agak menggigil! Giok Ciu berpegang kepada tangan Sin Wan yang diulurkan dan gadis cilik itupun berdiri dengan wajah masih pucat. Mereka maju selangkah demi selangkah ketempat di mana dua rangka ular itu berada.
"Aduh besarnya!" Giok Ciu berbisik ketika mereka telah dekat dengan rangka itu. Memang rangka itu besar dan panjang dengan tubuh kedua ular saling belit.
"Jangan-jangan masih ada ularnya yang hidup." Giok Ciu berbisik kepada Sin Wan, tapi pemuda kecil ini sedang pandang kedua tengkorak ular dengan penuh perhatian dan tertarik. Bayangan dua ekor naga sakti bersisik putih dan hitam terbayang depan matanya. Apakah ini rangka naga sakti itu? Demikian hatinya berbisik dengan takjub. Melihat betapa Sin Wan berdiri bengong di depan tengkorak ular, Giok Ciu segera betot tangan kawannya itu.
"Sin Wan, hayo kita kesana. Lihat ada apa itu di sana?"
(Lanjut ke Jilid 02)
Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
Sin Wan memandang dan ternyata di bagian sebelah dalam terdapat semacam tetumbuhan yang mengeluarkan bau harum. Mereka segera menghampiri tetumbuhan itu dan ternyata daun tetumbuhan itu seperti daun anggur dan disitu terdapat enam butir buah yang berwarna putih. Buah itu besarna sekepalan tangan dan macamnya seperti apel, tapi baunya sangat harum. Giok Ciu yang merasa lapar sekali dan belum puas makan roti kering pemberian Sin Wan, segera petik buah itu dan bawa ke mulutnya.
"Giok Ciu, tahan dulu!" kata Sin Wan cepat.
"Ada apa? Kalau kau mau, petiklah itu." Jawab Giok Ciu.
"Buka begitu, Giok Ciu. Buah ini kita tidak tahu apakah boleh dimakan atau tidak. Bagaimana kalau mengandung racun?" Tapi baunya enak sekali, kurasa tidak beracun," jawab Giok Ciu.
"Pula lebih mati makan buah beracun daripada mati kelaparan."
"Kalau begitu, biarlah aku yang mencobanya dulu!" kata Sin Wan.
"Ah, kau ini anak laki-laki memang hendak mencari enaknya sendiri saja! Apa-apa hendak mendahului!"
"Kalau begitu, biarlah kita makan bersama," kata Sin Wan yang lalu petik sebuah lagi. Mereka berbareng gigit buah itu dan saling pandang heran. Ternyata buah itu manis dan harum sekali, rasanya lezat dan segar! Karena hanya ada enam butir di situ, maka masing-masing makan tiga. Dan betul-betul heran, setelah makan tiga butir buah mereka merasa kenyang dan mengantuk sekali hingga hampir-hampir tak kuat menahan pula. Bagaikan orang mabuk, Giok Ciu terhuyung-huyung dan hampir jatuh. Sin Wan berseru, "Celaka, kita makan buah beracun!" dan ia masih sempat peluk tubuh kawannya yang hendak roboh.Tapi ternyata Giok Ciu telah tidur pulas dalam pelukannya. Dengan hati-hati dan perlahan Sin Wan baringkan tubuh kawannya itu di atas tanah, sedangkan ia sendiri ang sudah tak dapat menahan rasa kantuknya lagi, segera rebahkan diri di atas tanah yang tertutup pasir itu.
Sebentar saja ia mengeros karena tertidur pulas! Kedua anak itu tidak merasa bahwa mereka terus tidur sampai sumur itu menjadi gelap karena matahari telah terbenam. Semalam penuh lewat tanpa mereka ketahui samasekali, juga mereka tidak merasa betapa hawa dingin mengalir masuk dari lubang mulut naga itu karena mereka telah tertidur lelap sekali. Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari telah masuk ke dalam sumur, Giok Ciu bangun lebih dulu. Gadis cilik ini merasa perutnya mulas dan sakit bagaikan diremas-remas dari dalam hingga ia bangun duduk sambil pegang-pegang perutnya. Ia merasa hendak buang air besar, maka ia bingung sekali dan tidak berani bangunkan Sin Wan yang masih tidur enak, karena malu. Ia lari kesana kemari mencari tempat untuk buang air, tapi sekelilingnya hanya dinding batu.
Sedangkan perutnya terasa makin sakit dan terdengar suara berkeruyukan di dalam perutnya. Peluh dingin memenuhi muka Giok Ciu yang menahan-nahan rasa sakit, dan akhirnya ia tak kuat lagi. Dengan cepat ia loncat di sebelah kiri rangka kedua ular itu dan cepat buka pakaiannya. Dan disudut situlah ia buang air besar yang banyak sekali seakan-akan perutnya dikuras habis. Kotoran keluar dari perutnya tiada hentinya hingga Giok Ciu hampir menangs karena malu. Ah, bagaimana kalau Sin Wan tahu? Ia tekap muka dengan kedua tangan dan tubuhnya terasa lemas sekali karena benar-benar semua kotoran dalam perutnya terkuras keluar! Tapi tiba-tiba Giok Ciu pasang telinga dan mendengarkan dengan teliti. Ia mendengar suara Sin Wan mengeluh dan sebentar lagi ia mendengar suara orang buang air di sebelah kanan rangka ular itu!
Hampir Giok Ciu tak dapat menahan rasa gelinya karena ia maklum apa yang telah terjadi di balik rangka yang menghalangi mereka itu! Ternyata Sin Wan juga telah sadar dari tidurnya dan mengalami nasib yang sama seperti dia! Maka legalah hati Giok Ciu. Kenapa mesti malu kalau pemuda itupun berhal seperti dia? Karena perut kedua anak itu dikuras bersih dan habis, dan di dalam ruangan itu tersiar bau yang tidak sedap hingga keduanya merasa jengah dan malu. Masing-masing tidak berani berdiri, biarpun buang air itu telah selesai dan tidak ada apa-apa lagi di dalam perut mereka yang dapat keluar. Giok Ciu hanya mendengarkan saja dan tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Juga suara rintihan Sin Wan sudah lenyap dan ia tidak tahu apakah pemuda itu masih berada di balik rangka ular aau tidak.
Tak lama kemudian terdengar suara Sin Wan, dibalik rangka.
"Giok Ciu, ternyata kita telah makan buah beracun hingga perut kita dikuras habis! Barusan aku menuju ke tikungan sebelah kiri dan tak jauh dari situ jika kau berjalan terus kau akan menemukan sebuah pancuran air. Tadi aku telah ke situ untuk cuci badan dan cuci pakaian. Kau kesanalah, Giok Ciu!"
Giok Ciu tidak menjawab, tapi diam-diam ia melangkah ke tikungan yang ditunjuk oleh Sin Wan itu.
Ketika memasuki tikungan, ia mengerling ke arah Sin Wan dan hatinya berterima kasih sekali ketika melihat Sin Wan sengaja berdiri membelakangi tikungan itu hingga tidak melihatnya. Biarpun tubuhnya lemas tidak bertenaga, Giok Ciu cepat lari ke depan dan betul saja, tak jauh dari situ ia melihat air memancur keluar dari sebuah batu yang terbelah. Ia cepat cuci tubuhnya dan bersihkan dir, maka ia makan waktu yang agak lama. Ketika dengan badan lemas tapi hati lega ia pakai kembali pakaiannya dan pergi ke ruang rangka ular itu, ia melihat betapa Sin Wan telah menggali lantai pasir di situ dan telah pendam semua kotoran yang berada disitu, juga kotoran Giok Ciu! Perbuatan Sin Wan ini tepat sekali karena dengan terpendamnya semua kotoraan itu, maka bau busuk juga lenyap. Tapi Giok Ciu merasa malu sekali karena kawannya itu dengan tak merasa jijik telah pendam kotorannya pula.
"Kenapa tidak kau biarkan aku melakukan itu sendiri?" ia mencela dengan mulut memberengut, tapi sepasang matanya memandang dengan berterima kasih.
"Ah, apa bedanya Giok Ciu? Tak perlu hal seremeh itu dibicarakn. Yang penting sekarang marilah kita pikirkan nasib kita. Ternyaa bahwa buah putih yang lezat itu mengandung racun hingga is perut kita terkuras kosong! Bagaimana sekarang? Masih baik kita tidak terracun mati, tapi dengan perut kosong dan lapar seperti ini, kita dapat bertahan sampai kapan?"
"Baiknya masih ada air dan kita boleh minum secukupnya," kata Giok Ciu. Sin Wan tak sengaja memandang ke atas melihat semacam tetumbuhan di dinding sumur. Tetumbuhan kecil itu juga berbuah dan buahnya berwarna merah dan kecil-kecil. Sayang sekali tempat tetumbuhan itu sangat tinggi hingga tak mungkin ia meloncat mengambilnya.
"Itu ada buah merah, entah buah apa." Kata Sin Wan dengan sedih. Giok Ciu berdongak dan juga melihat buah itu. Ia lalu enjot tubuhnya yang lemah ke atas. Dan Sin Wan kagum sekali melihat betapa tubuh gadis cilik itu melaang ke atas dan dapat memetik sekepal buah-buah kecil!
"Kau hebat betul, Giok Ciu!" ia memuji, tapi Giok Ciu pandang ia dengan mata terbelalak.
"Sin Wan sungguh aneh. Mengapa tubuhku menjadi begini ringan? Biasanya tak mungkin aku dapat loncat setinggi dan semudah itu! Apa yang terjadi?"
Sin Wan memang cerdik dan otaknya dapat bekerja cepat. Tentu ini adalah pengaruh buah mujijat yang mereka makan itu. Kalau pengaruhnya menguasai tubuh Giok Ciu, mengapa ia tidak? Sin Wan lalu berdiri di bawah tetumbuhan itu dan iapun enjot tubuhnya. Sungguh heran! Hampir ia berteriak girang karena tubuhnya melayang ke atas demikian cepat dan ringan hingga dengan mudah ia dapat ambil buah-buah itu! Kedua anak itu girang sekali hingga mereka makan buah yang rasanya manis itu sambil tertawa-tawa. Buah kecil merah itu ternyata berat sekali, tidak sesuai dengan kecilnya. Rasanyapun sedap dan manis, dan baru makan beberapa butir saja mereka telah merasa kenyang. Tentu saja kedua anak itu girang bukan main.
"Giok Ciu, ini tentu pengaruh kesaktian kedua rangka ini yang menolong kita. Kedua macam buah yang telah kita makan itu tentu buah dewa yang hanya terdapat di tempat suci ini. Hayo kita menghaturkan terima kasih kepada dua rangka itu," kata Sin Wan. Giok Ciu menyetujui pendapat ini dan mereka berlutut di depan dua buah rangka ular itu untuk menghaturkan terima kasih mereka. Setelah mendapat kenyataan bahwa tubuh mereka menjadi ringan sekali akibat khasiat yang mujijat dari buah-buah yang mereka makan, dua orang ini lalu mencoba keluar lagi dari dasar sumur.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya keduanya berhasil meloncat ke luar dari sumur. Ilmu ginkang mereka maju demikian pesatnya sehingga dalam melompat keluar ini, tidak saja amat mudah, bahwa mereka masih berhasil menjambret sisa buah-buah merah itu. Giok Ciu ternyata memiliki keringan dan kecepatan lebih hebat sehingga dia berhasil memetik lebih banyak buah-buah merah mujijat. Melihat bahwa Sin Wan hanya mendapatkan tidak berapa banyak, Giok Ciu dengan rela lalu membagi buah kepada Sin Wan sehingga mereka mendapat bagian jumlah yang sama. Bukan main girang dan gembira hati dua orang anak ini. Mereka lalu berlumba untuk mencoba ginkang mereka, berlari-lari saling kejar dan ternyata gerakan mereka luar biasa pesatnya bagaikan dua ekor burung terbang saja. Tiba-tiba keduanya berhenti berlari.
"Kau mendengar sesuatu?" tanya Sin Wan. Giok Ciu mengangguk. Keduanya lebih memperhatikan dan terdengarlah oleh mereka suara tiupan suling diselingi siulan-siulan aneh. Terkejutlah mereka karena masing-masing mengenal baik suara itu. Sin Wan mengenal suling itu yang bukan lain adalah tiupan suling Engkongnya, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dan kalau Engkongnya meniup suling itu, berarti sedang mainkan ilmu silatnya untuk melawan musuh berat. Sebaliknya, Giok Ciu juga mengenal siulan-siulan itu adalah siulan pertempuran dari Ayahnya, Kwie Cu Ek. Dua orang anak ini tidak membuang waktu lagi, cepat mereka melesat pergi, berlari-lari seperti terbang menuju ke arah suara itu.
Sukar untuk mengikuti gerakan bayangan mereka karena ginkang mereka yang betul-betul luar biasa itu. Ketika keduanya tiba di sebuah jalan tikungan, mendadak mereka berhenti dan berdiri di situ dengan bengong, keduanya tampak khawatir sekali melihat pertempuran antara dua orang yang bagi orang lain tentu dianggap main-main. Tapi Sin Wan dan Giok Cu maklum bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu berada dalam kedudukan berbahaya dan keduanya sedang keluarkan ilmu mereka yang tertinggi! Yang seorang adalah Kang Lam Ciu hiap Kakek yang lihai dari Sin Wan. Kakek itu bertempur sambil pegang sebatang suling dan tiup-tiup suling itu dalam lagu yang tak keruan dan membuat sakit anak telinga! Ia bersilat dengan tenang dan gerak kaki yang teguh sekali sedangkan kedua tangannya memegang sulingnya yang ditiup-tiup hanya kadang-kadang.
Ia angkat tangan kanan dan kiri untuk menangkis atau menyerang! Dengan cara demikian gerakannya tak terduga lawannya. Lawannya juga mempunyai cara bertempur yang aneh. Ia adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan gerak-geriknya gesit sekali. Ia bersilat bagaikan gerakan seekor burung, kedua lengannya terpentang bagaikan sayap dan kakinya berloncat-loncatan keatas, kadang-kadang tinggi sekali dan turunnya langsung menerjang lawannya. Mulutnya dimoncongkan dan dari bibirnya keluarlah siulan-siulan aneh dan nyaring, dan dalam hal menyakiti anak telinga, siulan itu tidak kalah oleh suara suling! Laki-laki ini bukan lain ialah Kwie Cu Ek Ayah Giok Ciu, seorang tokoh Kun-Lun-Pai yang sangat terkenal dan digelari orang Hui-Houw atau Macan terbang.
Bagaimana kedua orang gagah itu dapat terlibat pertempuran mati-matian ini? Sebenarnya ini hanyalah suata kesalah-pahaman yang timbul dari hati bingung karena masing-masing telah sehari semalam berkeliaran di seluruh permukaan bukit Kam-Hong-San, yang seorang mencari cucunya yang seorang mencari anaknya! Ketika Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, empek yang lihai itu sedang mencari-cari cucunya dengan hati cemas dan bingung karena telah sehari semalam ia mencari dengan sia-sia, ia mulai berteriak-teriak memanggil nama Sin Wan. Karena ia gunakan tenaga Tian-tan yang dikerahkan ke dalam suaranya, maka suara itu dapat terdengar oleh Kwie Cu Ek yang memang semenjak kemarin telah meencari sambil memanggil-manggil. Karena jarak mereka tadinya sangat jauh, seorang di lereng sebelah timur dan yang seorang laagi di sebelah barat, maka tadinya suara mereka tidak terdengar.
Tapi kini mereka telah saling mendekati hingga Kwie Cu Ek mendengar juga teriakan Bun Gwat Kong. Cu Ek sendiri telah berteriak-teriak memanggil nama anaknya sehingga Bun Gwat Kong mendengar pula suaranya. Setelah saling mendengar suara masing-masing, maka kedua orang tua itu timbul harapan baru dan cepat menuju ke suara yang mereka dengar. Tapi alangkah kecewa hati mereka ketika mereka saling bertemu di sebuah lereng gunung dan melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang asing. Timbullah hati curiga di kedua belah pihak. Kang Lam Ciuhiap yang beradat keras segera mendakwa Kwie Cu Ek menculik cucunya, sebaliknya Kwie Cu Ek melihat seorang Kakek yang aneh dan berada keras itu, memakinya sebagai siluman gunung yang mencuri anaknya.
Tak dapat dicegah pula keduanya lalu bertarung! Baru segebrakan saja, terkejutlah kedua fihak karena ternyata masing-masing memiliki kepandaian silat tinggi dan merupakan lawan yang berat. Namun karena hati mereka telah nekad dan terdorong oleh rasa duka dan bingung kehilangan anak-anak yang dikasihi, merka tidak mau saling mengalah. Setelah bertempur ratusan jurus dengan keadaan masih seimbang, tiba-tiba Kang Lam Ciuhiap cabut keluar sulingnya dari ikat pinggang. Ia memang memiliki dua macam kepandaian hebat, yakni yang pertama, ia pandai gunakan arak untuk disemburkan dengan kekuatan lweekang sepenuhnya hingga arak biasa itu dapt menjadi senjata yang ampuh, karena lawan yang kena sembur mukanya jika tidak cepat berkeliat bisa menjadi buta matanya.
Kelihaiannya yang kedua juga berdasarkan ilmu lweekang yang dalam dan terlatih sempurna, jika sambil bertempur ia tiup sulingya dengan suara demikian nyaring dan tinggi rendah tak keruan hingga tidak saja dapat membingungkan dan menyakiti hati dan telinga lawan, juga bisa membuat jantung berdebar-debar dan melemahkan lawannya! Gerakan bersilat sambil meniup suling juga menjadi lambat dan Kokoh kuat, namun semua gerakan disertai tenaga lweekang yang hebat! Melihat kehebatan lawannya dan merasa betapa isi perutnya bagaikan diaduk dan jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk pisau tajam ketika mendengar suara tiupan suling, Kwie Cu Ek merasa terkejut sekali, maka iapun buru-buru mengeluarkan kepandaian simpanannya. Dengan mengatur napasnya menjadi panjang dan lama ia kerahkan lweekang dan ginkangnya lalu mainkan silat Rajawali Sakti,
Yakni ilmu pukulan rahasia yang telah dipelajarinya bertahun-tahun dan merupakan kepandaian simpanan yang membuat ia tak terkalahkan sampai berpuluh-puluh tahun lamanya menjagoi di dunia kang-ouw. Tubuhnya berubah ringan sekali dan berloncatan bagaikan seekor rajawali menyambar-nyambar dari segala jurusan, sedangkan dari mulutnya keluar siulan-siulan tajam mengiris jantung untuk mengimbangi suara suling lawannya. Demikianlah, yang seorang bergerak lambat-lambatan tapi Kokoh-kuat sedangkan yang seorang lagi bergerak cepat dan lincah sekali hingga merupakan tandingan yang jarang terdapat, tapi keadaan mereka tetap seimbang. Sin Wan dan Giok Ciu yang berdiri berdampingan sambil melihat pertempuran itu, merasa kagum berbareng khawatir kalau-kalau seorang di antara keduanya terluka. Oleh karena itu maka keduanya lalu berseru,
"Hai! Jangan bertempur, kami berada disini!" Mendengar teriakan kedua anak itu, Kang Lam Ciuhiap dan si Macan terbang kenali cucunya dan anaknya masing-masing, maka dengan heran sekali mereka loncat mundur lalu memandang. Diam-diam kedua orang tua kosen ini merasa terkejut sekali. Bagaiman mereka berdua sampai tidak mendengar kedatangan kedua anak itu? Padahal, biarpun mereka sedang bertempur mati-matian, mereka pasti akan dapat mendengar jika ada orang lain datang di dekat situ. Untuk ini telinga mereka sudah cukup terlatih. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa kedua anak itu telah memiliki ilmu ginkang yang berlipat ganda kehebatannya dengan kepandaian mereka sebelum mengalami hal-hal yang berbahaya itu.
"Ayah!"
"Ngkong!" Kedua anak itu lari ke masing-masing orang tuanya dengan gerakan demikian cepatnya hingga membuat Bun Gwat Kong dan Kwie Cu Ek melenggong!
"Eh, eh, anak nakal. Kau datang dari mana?" kedua orang tua itu berbareng tegur mereka. Maka ramailah keduanya menceritakan pengalaman mereka kepada masing-masing orang tua itu yang mendengarkan dengan mulut ternganga keheranan. Setelah kedua anak itu habis bercerita, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu menghampiri Kwie Cu Ek dan berkata sambil tertawa dan elus-elus jenggotnya,
"Sungguh lucu, kita orang-orang tua saling sibuk gebuk kaya kerbau gila, sedangkan kedua anak yang kita cari tahu-tahu selamat tidak apa-apa, bahkan mendapat untung besar." Kwie Cu Ek juga tertawa besar.
"Kau orang tua sungguh lihat sekali membuat aku yang muda tunduk. Bolehkan kiranya aku ketahui nama besarmu?"
"Ha, ha, ha! Mana aku tua bangka dapat dibandingkan dengan kau yang gagah? Aku sudah lama tinggalkan dunia kang-ouw dan tenaga makin habis tubuh juga makin tua dan bobrok. Namaku Bun Gwat Kong, dan siapakah kau yang selihai ini?" Terkejutlah Kwi Cu Ek mendengar nama ini, ia lalu tertawa girang dan menjura tanda hormat.
"Ah, ah, sungguh benar kata orang. Kalau sengaja dicari-cari, sampai di ujung dunia juga tidak bertemu, kalau tidak disengaja, tiba-tiba saja berhadapan denga Kang Lam Ciuhiap yang terkenal. Sungguh beruntung! Telah bertahun-tahun aku mendengar nama Kang Lam Ciuhiap yang besar dan hari ini aku Kwie Cu Ek telah membuktikan sendiri kebenaran nama besar itu!"
"Apa? Jadi kau ini Kwie Cu Ek si Harimau Terbang?" berkata Bun Gwat Kong dengan heran. "Pantas saja kau lihai sekali dan masih untung tubuhku tidak terbinasa dalam tanganmu. Tapi yang mengherankan sekali, kenapa kau juga berada disini? Apakah kau juga tinggal di atas gunung ini?" Kwie Cu Ek menghela napas duka.
"Dunia sudah berubah banyak semenjak kau pergi. Dulu aku mendengar tentang malapetaka yang menimpa diri putera mantumu dan aku tahu pula bahwa yang membunuh para pembesar anjing itu adalah kau orang tua. Tapi, memang nasi rakyat jelata yang buruk! Kata orang Kaisar adalah manusia pilihan Thian, tapi agaknya kali ini Thian telah salah memilih orang yang menjadi Kaisar! Raja lalim itu hanya tahu berpelesir dan bersenang-senang saja hingga ia tidak tahu sama sekali keadaan rakyatnya yang tertindas. Tidak tahu bahwa para dorna dan pembesar anjing memegang kekuasaan penuh di seluruh negeri. Rakyat yang sudah tertindas, makin menderita lagi dengan turunnya wabah penyakit bermacam-macam dan bencana alam berupa banjir besar yang menghabiskan jiwa dan harta. Keluargaku juga terkena bencana ketika kampung kami terserang wabah penyakit, hingga isteriku, Ibu anakku Giok Ciu ini meninggal dunia."
Sampai disini Kwie Cu Ek berhenti dan tampak berduka. Giok Ciu yang mendengar bicara Ayahnya disamping dan melihat Ayahnya bersedih, lalu menubruk orang tua itu. Kang Lam Ciuhiap menghela napas dan diam-diam ia merasa kasih kepada si Harimau Terbang yang biarpun usianya baru empat puluh tahun, tapi sebagian besar rambut kepalanya telah putih. Tapi hanya sebentar saja Kwie Cu Ek berduka, karena ia segera tindas perasaannya yang tertekan dan sambil memandang Sin Wan ia berkata,
"Anak ini cucumu, bukan? Hm, ia baik juga, tidak mengecewakan menjadi cucu Kang Lam Ciuhiap!" demikian ia memuji sejujurnya.
"Anakmu juga berbakat baik," si Kakek memuji juga. Tiba-tiba Kwie Cu Ek bangun berdiri.
"Setelah kau tersesat sampai disini, kau harus mampir di tempat tinggalku. Tidak jauh dari sini, tuh di atas bukit sebelah timur itu!"
"Baik, baik. Kita memang tetangga dekat dan sudah sepantasnya saling mengunjungi." Jawab Bun Gwat Kong gembira.
"Giok Ciu, kau ajak temanmu itu pergi dulu dan di rumah kau boleh sediakan makan seadanya untuk tamu-tamu kita!" kata si Harimau Terbang kepada anaknya.
"Baik, Ayah," jawab Giok Ciu yang lalu berpaling kepada Sin Wan dan berkata,
"Hayo, Sin Wan, kita berlumba kerumahku!" Sin Wan tersenym gembira dan kedua anak itu segera loncat dan lari cepat sekali ke arah bukit yang di tunjuk oleh Kwie Cu Ek tadi. Kwie Cu Ek tertawa gembira melihat tingkah anaknya dan ia berkata kepada Kang Lam Ciuhiap.
"Mereka dapat bergaul rapat sekali!" Tiba-tiba kedua mata Kakek itu bersinar gembira dan wajahnya berseri.
"Eh Kwie Enghiong bagaimana kalau mereka itu dijodohkan saja? Kalau kau tidak mencela Sin Wan dan tidak keberatan mempunyai mantu sebodoh ia, sekarang juga kulamar anakmu itu untuk Sin Wan!"
Kwie Cu Ek terperanjat dan pandang muka Kakek itu dengan heran.
"Aah, Ciuhiap mengapa begini aneh? Anakku baru berusia sepuluh tahun dan cucumu itupun paling banyak baru..."
"Ia juga sepuluh tahun lebih, hampir sebelas..." Kakek itu memotong.
"Nah, mereka itu keduanya masih kanak-kanak, tidak pantas dikawinkan!" Maka tertawalah Kang Lam Ciuhiap dengan keras,
"Bukan kawin sekarang, maksudku kita ikat mereka dengan tali pertunangan. Mereka itu kulihat berjodoh." Keduanya saling pandang agak lama, agaknya untuk menyelami hati dan pikiran masing-masing, kemudian Kwie Cu Ek maju pegang lengan Kakek itu sambil berkata gembira,
"Baik, orang tua, aku percaya penuh kepadamu. Kau orang jujur. Eh, siapa nama cucumu itu?"
"Bun Sin Wan."
"Nah, biarlah, mulai saat ini Kwie Giok Ciu anakku itu menjadi calon isteri atau tunangan Bun Sin Wan, cucu Kang Lam Ciuhiap."
"Ha, ha, ha, ha, bagus, bagus! Kalau kau perlu tahu, dapat juga aku ceritakan tentang almarhum Ayahnya, mantuku itu."
"Ah, siapakah yang tidak kenal Bun taijin? Mantumu adalah pembesar yang adil dan jujur, kalau tidak demikian sifatnya, mana dia bisa dihukum mati oleh Kaisar lalim?"
"Kau pintar, sungguh Sin Wan boleh bangga mempunyai mertua seperti kau ini!" Sekali lagi empek gagah itu tertawa senang.
"Nah, hayo kita susul mereka. Kita harus rayakan ikatan ini dengan arak wangi. Kebetulan sekali aku mempunyai simpanan arak dari Hunlim yang telah puluhan tahun umurnya.Wajah Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba berseri.
"Apa kau kata? Arak wangi dari Hunlim? Aah, bagus sekali. Hayo kita pergi, mau tunggu apa lagi?" Maka keduanya menggunakan ilmu lari cepat menyusul kedua anak yang telah pergi lebih dulu itu.
"Eh, Kwi Enghiong, tahukah kau bahwa kedua anak kita kelak akan menjadi pendekar-pendekar yang tiada taranya di muka bumi ini?"
"Akupun sedang berpikir dan tak habis mengerti, Lo-Ciuhiap," kata Kwie Cu Ek sambil berlari cepat di samping Kakek itu. "Kedua anak itu belum lama mendahului kita, tapi sampai sekarang belum juga kita bisa mengejar mereka. Sungguh ajaib sekali, buah apakah gerangan yang demikian mujijat dan menambah tenaga mereka berlipat ganda?"
"Itulah kurnia Thian Yang Maha Esa, Kwie Enghiong. Dan tepat sekali kalau kukatakan tadi bahwa mereka memang berjodoh satu kepada yang lain," kata si empek gagah. Biarpun mereka percepat lari mereka, ternyata ketik mereka tiba di depan pondok kayu tempat tinggal Macan Terbang, kedua anak itu telah bisa isitu dan Giok Ciu sedang sibuk mencabuti bulu ayam dan Sin Wan sibuk mengumpulkan kayu kering. Ternyata menghadapi Giok Ciu yang tentu saja lebih pandai masak dari padanya, Sin Wan tunduk dan taat akan segala perintah Giok Ciu ketika ia menawarkan diri untuk membantunya.
"Kami mempunyai beberap belas ekor ayam," kata gadis kecil itu dengan gembira, "Ayah dulu membeli beberapa ekor induk ayam dan kini telah menjadi belasan ekor." Kemudian Giok Ciu tangkap dua ekor ayam yang paling gemuk dan suruh Sin Wan memotongnya. Dengan cekata gadis yang sejak masih kecil telah ditinggal Ibunya dan pandai masak karena terpaksa itu, memotong-motong daging ayam dan memasaknya, dibantu oleh Sin Wan, sedangkan Kang Lam Ciuhiap dan Hui-Houw Kwie Cu Ek bercakap-cakap dengan gembira di luar pondok yang kecil itu. Kang Lam Ciuhiap memuji Kwie Cu Ek yang dikatakan pandai memilih tempat. Memang tempat di situ indah sekali pemandangannya, lagipula nyaman hawanya.
Dibanding dengan lereng-lereng lain di gunung itu tempat ini yang terindah dengan puncak Kam-Hong-An yang tinggi menjulang di atasnya merupakan atap tertutup awan. Kwie Cu Ek semenjak ditinggal mati isterinya, telah lima tahun tinggal di situ dengan anaknya, dan agar Giok Ciu tidak terasing sama sekali dari pergaulan manusia, ia seringkali ajak anak gadisnya turun gunung di kaki gunung. Setelah Giok Ciu agak besar dan memiliki kepandaian hingga tidak berbahaya baginya untuk turun gunung seorang diri, seringkali anak perempuan ini mengunjungi kampung-kampung itu dan bermain-main. Karena ini maka Giok Ciu tidak merasa sangat kesunyian. Setelah masakan siap, mereka berempat lalu makan dengan gembira, dan tuan rumah serta anak perempuannya kagum melihat betapa Kang Lam Ciuhiap minum arak bagaikan minum air tawar saja!
"Arak baik, arak baik!" berkali-kali Kakek itu memuji tiap habis minum semangkuk besar. Kwie Cu Ek walaupun seorang peminum yang kuat juga, namun tiap kali minum ia hanya dapat tuang semangkuk kecil kedalam perutnya, karena arak yang mereka minum itu adalah arak tua yang sangat keras. Sebentar saja, habislah arak wangi seguci besar dan Kakek Bun Gwat Kong itu elus-elus perutnya dengan puas sekali.
"Engkong ini sungguh kuat sekali minum arak!" Berkata Giok Ciu yang ikut-ikutan menyebut Engkong atau Kakek kepada Kang Lam Ciuhiap, meniru Sin Wan. Mendengar dirinya disebut Kakek, Bun Gwat Kong girang sekali.
"Bagus Giok Ciu, memang kau selayaknya menyebut Engkong padaku." Lalu ia tertawa bergelak-gelak hingga semua orang ikut tertawa, sedangkan Sin Wan diam-diam agak heran karena tidak pernah ia melihat Kakeknya segembira itu.
"Giok Ciu, kau tidak tahu, Kakek ini adalah Kang Lam Ciuhiap si Pendekar Arak dari Kang Lam. Ia tidak hanya kuat minum, tapi arak di dalam mulutnya dapat dipakai membunuh seekor kerbau besar!"
"Hebat sekali!" kata Giok Ciu ambil leletkan lidahnya, "Kong-kong, perlihatkan ilmu kepandaianmu menyembur dengan arak itu!" Melihat kegembiraan Giok Ciu, maka empek itu menengok kesana-sini mencari sasaran, kemudian sambil tersenyum dan elus-elus jenggotnya ia berkata kepada Kwie Cu Ek,
"Kwie Enghiong, bolehkah aku bereskan tiang di atas itu?" Tuan rumah mengangguk dengan tersenyum juga. Kang Lam Ciuhiap lalu tuang sedikit arak yang masih tertinggal di dalam mangkok, dan setelah mengejapkan sebelah matanya kepada Giok Ciu dengan cara yang lucu hingga anak perempuan itu tertawa geli, si empek lalu semburkan arak dari mulutnya, Giok Ciu melihat sinar keputih-putihan tersembur keluar dari mulut orang tua itu bagaikan seekor ular meluncur ke atas dan menyambar tian melintang yang agak kelebihan menumpang di tiang besar dan agaknya dulu lupa dipotong oleh Kwie Cu Ek ketika ia membangun pondok itu. Sinar putih itu melanggar ujung kayu sebesar lengan itu dan,
"Krak!" ujung itu patah dan jatuh ke bawah! Kwie Cu Ek memuji,
"Bagus sekali, Lo-Ciuhiap! Kau benar-benar patut di sebut ciuhiap, bahkan bagiku kau pantas disebut ciusian karena kau benar-benar dewa arak!" Juga Sin Wan dan Giok Ciu bertepuk tangan memuji.
"Kong-kong!" kata Giok Ciu lagi, sedangkan matanya yang bagus memandang Kakek itu seperti seorang anak yang meminta sesuatu.
"Apa lagi?" Kakek itu bertanya.
"Itu... suling yang kau selipkan di pinggang itu! Tadi kudengar kau tiup sulingmu ketika kau bertempur melawan Ayah, tapi lagunya buruk sekali hingga telingaku tak sedap mendengarnya! Apakah kau bisa mainkan lagu yang enak didengar? Aku suka sekali mendengar suling!" Giok Ciu menunjuk ke arah pinggang Kakek itu dimana tampak ujung suling tersembul keluar.
"Giok Ciu, jangan kau main-main dengan tiupan Kakekmu! Kalau aku tadi tidak kerahkan seluruh tenaga dan barengi keluarkan siulan untuk menahan pengaruh tiupan suling, aku sudah dirobohkan oleh daya tiupan suling itu! Jangan kau pandang rendah tiupan tadi karena itu adalah sesuatu ilmu yang mujijat dan dapat mematahkan lawan dan melemahkan semangat serta membuat lawan bingun hingga gerak-geriknya menjadi kacau!" Giok Ciu leletkan lidah, satu kebiasaan darinya untuk menyatakan kekaguman atau keheranan.
"Kalau begitu, jangan kau mainkan lagi lagu yang buruk tadi, Kong-kong! Coba mainkan saja lagu merdu yang dapat menghibur kita!" Kang Lam Ciuhiap sedang gembira, maka mendengar permintaan Giok Ciu ini, ia cabut sulingnya dan pandang Kwie Cu Ek dengan tak berdaya. Ia angkat pundaknya dan berkata,
"Anakmu memang benar, Kwie Enghiong, aku hanya dapat tiup lagu-lagu buruk yang tak sedap didengar. Sebenarnya tadi aku hanya tiup suling untuk menghibur-hibur hatiku yang bingung tak karuan karena serangan-seranganmu yang hebat!" Lau sambil ulur tangan dan elus-elus rambut di kepala Giok Ciu, Kakek itu berkata,
"Kau ingin mendengar lagu merdu? Nah, kau mintalah Sin Wan untuk meniup suling ini. Selain dia tidak ada yang bisa meniup lagu merdu!" Sin Wan mendengar pujian ini, mukanya berubah merah karena jengah di puji Kakeknya di depan Giok Ciu dan Ayahnya. Sebaliknya, Giok Ciu menjadi girang sekali. Ia ambil suling itu dari tangan Bun Gwat Kong dan geser duduknya mendekati Sin sambil angsurkan suling kecil itu.
"Sin Wan, kau mainlah barang satu dua lagu untuk kami!" Berkata demikian, gadis itu pandang wajah Sin Wan dengan senyum menarik.
Sin Wan tak dapat menolak lagi, karena Kwie Cu Ek juga berkata bahwa iapun ingin sekali mendengar tiupan suling anak itu. Dengan tenang ia ambil suling itu lalu atur jari-jari tangannya diatas lubang-lubang kecil di batang suling, tempelkan peniup di bibirnya dan dengan mata setengah terkatup meniup suling itu. Mula-mula terdengar bunyi lengking yang rendah dan bening serta disertai getaran halus merdu, kemudian lengking rendah itu makin meninggi dengan perlahan dan mulailah terdengar nyanyian suara suling yang merdu, indah dan menggetarkan kalbu. Giok Ciu dan Kwie Cu Ek tadinya hanya kagum karena pandainya Sin Wan meniup suara yang meninggi rendah, tapi tak lama kemudian kedua Ayah dan anak itu duduk bengong dengan bibir setengah terbuka dan mata tak pernah berkejab menatap wajah Sin Wan.
Mereka merasa sekan-akan dibaw melayang naik oleh gelombang ombak yang mengalun tinggi diangkasa dan dibawa ke alam mimpi yang halus dan menakjubkan. Mula-mula suara suling terdengar gagah dan riang membuat Giok Ciu merasa dadanya berdebar dan wajahnya panas, tapi ketika suara itu makin lama makin lambat dan rendah,ia merasa terharu sekali, ketika ia berpaling kepada Ayahnya dengan perlahan, ia melihat betapa dari kedua mata Ayahnya itu mengalir air mata! Nyata sekali bahwa suara suling itu telah mempesona dan menimbulkan keharuan hebat di sanubari Kwie Cu Ek hingga pendekar gagah ini teringat akan isterinya dan membuatnya tak dapat menahan kesedihannya. Melihat keadaan Ayahnya sedemikian itu, Giok Ciu berteriak kepada Sin Wan,
"Sin Wan, cukup! Simpan sulingmu!" dan anak perempuan itu menubruk Ayahnya dan menangis di atas pangkuan orang tua itu! Sin Wan tunda sulingnya dan buka kedua matanya yang tadi hampir tertutup sama sekali, lalu memandang heran. Kwie Cu Ek duduk bengong dengan wajah pucat dan pendekar ini menghela napas berulang-ulang.
"Bukan main! Suara sulingmu sungguh luar biasa, Sin Wan! Lebih hebat dan kuat daripada tiupan Kakekmu, bukankah demikian. Lo-Ciuhiap?" Kang Lam Ciuhiap yang tadipun duduk sambil tunduk karena terpengaruh tiupan suling cucunya, mengangguk-angguk membenarkan.
"Memang hebat lagu itu, entah bagaimana Sin Wan dapat menciptakan lagu sehebat itu." Mendengar ini tiba-tiba Giok Ciu menunda tangisnya dan dengan senyum girangia berkata kepada Sin Wan,
"Jadi kau sendirikah yang mencipta lagu tadi?" Kang Lam Ciuhiap dan Sin Wan kini merasa heran sekali melihat sifat Giok Ciu. Baru saja manis menangis sesunggukan, tiba-tiba bisa tersenyum manis. Alangkah ganjilnya! Sin Wan hanya mengangguk sebagai jawab atas pertanyaan Giok Ciu padanya itu.
"Ah, pandai sekali kau! Bagaimana kau bisa mencipta lagu sehebat ini?"
"Sederhana saja," kata Sin Wan merendah. "Pada suatu hari ketika aku sedang menggembala kerbauku dan duduk di punggung kerbau yang sedang makan rumput di pinggir anak sungai di pagi hari, aku mendengar suara air sungai berpercikan memukul batu mengeluarkan suara seperti sedang berdendang. Dan di atas pohon terdengar burung-burung berkicau girang, diseling bunyi kerbau-kerbauku menguak senang. Tiba-tiba, entah mengapa, seekor monyet kecil yang tadinya bergetungan di dada induknya, terlepas jatuh ke tengah sungai riak menangis, mencicit-cicit menimbulkan suara mengharukan. Nah, ketika itu aku telah keluarkan sulingku dan entah bagaiman, tiba-tiba dapat melagukan nyanyian itu yang kusesuaikan dengan pendengaranku akan keadaan di sekeliling pada saat itu. Dan semenjak itu, aku suka sekali meniup lagu ini."
"Memang indah!" Giok Ciu memuji kagum. "Aku harus bersihkan mangkuk-mangkuk ini dan mencucinya di belakang," katanya kemudian.
"Mari kubantu," kata Sin Wan yang lalu ikut mengangkat mangkuk-mangkuk yang telah kosong untuk dicuci di belakang rumah. Sementara itu, dengan bangga dan suara berbisik, Kang Lam Ciuhiap berkata kepada tuan rumah.
"Bukankah mereka itu rukun sekali? Mereka sudah berjodoh!" Kwie Cu Ek mengangguk-angguk senang, lalu ia minta diri dari tamunya untuk masuk ke kamar sebentar. Ketika keluar lagi, ia membawa sepasang sepatu kecil dan serahkan benda itu kepada Kang Lam Ciuhiap,
"Kami orang-orang miskin tidak punya apa-apa untuk tanda pengikat perjodohan anakku. Nah ini sepasang sepatu sulam adalah sepatu Giok Ciu ketika ia berusia setahun. Sepatu ini tadinya kami simpan sebagai barang keramat karena ini adalah buah tangan Ibunya!" Kang Lam Ciuhiap terima sepasang sepatu kecil itu dan masukkan benda itu kedalam saku bajunya yang lebar. Kemudian ia ambil suling yang tadi ditiup Sin Wan dan berikan barang itu kepada Kwie Cu Ek sambil berkata,
"Dan suling ini kubut ketika Sin Wan masih kecil dan baru bisa merangkak. Maksudku hanya untuk barang mainan, tapi ternyata sampai besar Sin Wan suka sekali bermain-main dengan suling ini. Nah, biarlah barang ini menjadi tanda mata dan tanda pengikat perjodohannya dengan putrimu!"
Kwie Cu Ek terima suling itu dengan girang dan cepat menyimpannya ke dalam kamar, lalu keluar lagi dan bercakap-cakap. Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu muncul dari belakang karena pekerjaan mereka telah selesai. Bun Gwat Kong lalu berpamit kepada tuan rumah dan ajak Sin Wan pulang, karena Ibu Sin Wan tentu mengharap-harap kembalinya yang telah dua hari pergi itu. Setelah saling memberi hormat, Kakek dan cucu itu gunakan ilmu lari cepat tinggalkan tempat itu dan beberapa kali Sin Wan menengok dan melambaikan tangan ke arah Giok Ciu sampai bayangan Sin Wan lenyap di satu tikungan jalan. Alangkah terkejutnya hati Sin Wan dan Gwat Kong ketika mereka tiba di rumah, karena Ibu Sin Wan ternyata jatuh sakit dan muntahkan darah!
Sin Wan tubruk Ibunya sambil menangis sedih Nyonya muda yang banyak menderita ternyata tak dapat menindas tekanan dan kekhawatiran hatinya ketika dua hari Sin Wan tidak pulang. Ia cemas sekali hingga tidak dapat tidur, setiap saat memikirkan anaknya itu, hingga akhirnya ia jatuh pingsan. Ketika melihat Sin Wan kembali dengan selamat, nyonya muda itu sembuh seketika! Tapi kesehatannya makin buruk. Sin Wan menyesal sekali dan berlutut di depan Ibunya meminta ampun dan berjanji bahwa semenjak saat itu ia takkan berani pergi lagi tanpa ijin Ibunya! Diluar tahunya Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap beri tahu anak perempuannya akan ikatan jodoh antara Sin Wan dan puteri Kwie Cu Ek. Nyonya muda itu merasa girang sekali, ia terima sepasang sepatu kecil itu dengan girang. Warta baik ini membuat ia banyak terhibur.
Ia percaya sekali akan pilihannya Ayahnya tapi ia nyatakan bahwa ia ingin sekali melihat gadis cilik itu dengan mata sendiri karena ia ingin mengagumi nona calon mantunya! Semenjak hari itu, Sin Wan makin tekun mempelajari ilmu silat dan ia di gembleng oleh Kakeknya yang ingin turunkan seluruh kepandaian yang dimilikinya kepada cucu yang terkasih itu. Ia tahu bahwa dengan bantuan keganjilan alam yang telah dialami Sin Wan, maka dengan latihan-latihan keras, anak itu akan menjadi seorang yang mempunyai tenaga dan kesanggupan jah lebih tinggi dari dia sendiri. Hal ini membuat ia tak kenal lelah dan selain ilmu silat tinggi, ia juga menuturkan dunia kang-ouw dan aturan-aturannya kepada Sin Wan. Ketika Sin Wan menanyakan sulingnya yag dibawa oleh Kakeknya itu, Kang Lam Ciuhiap terus terang katakan bahwa suling itu diberikannya kepada Giok Ciu sebagai tanda mata.
"Menyesalkah kau?" tanyanya. Sin Wan geleng kepala dan matanya berseri.
"Ah, tidak Ngkong, biarlah. Aku melihat ada bambu kuning di kaki gunung sebelah sana, bambu itu indah lagi kecil. Aku hendak membikin suling sendiri." Pada keesokan harinya, Sin Wan telah membuat sebatang suling yang panjanganya tidak kurang dari tiga kaki. Karenanya Engkongnya ahli pembuat suling, ia lalu minta Kakeknya itu yang membuat lobang-lobang agar suaranya tidak sumbang. Ketika Kang Lam Ciuhiap sedang asyik gunakan api melobangi batang suling bambu itu, ia teringat sesuatu dan dengan sungguh-sungguh ia berkata.
"Sin Wan, aku hendak ajar kau menggunakan batang sulingmu sebagai senjata istimewa!"
Sin Wan girang sekali dan mulai saat itu Kakeknya mengajar ia mainkan suling itu bagaikan sebatang petang dan karena semua gerakan adalah pukulan-pukulan merupakan totokan hebat dan disertai tenaga lweekang, maka suling itu merupakan senjata yang ampuh sekali. Juga Kang Lam Ciuhiap mengajar cucunya untuk bersilat sambil tiup suling untuk mengacaukan gerakan lawan, seperti yang pernah ia lakukan ketika menghadapi si Harimau Terbang dulu! Karena memang suka sekali meniup sulingmaka mendapat pelajaran baru ini, Sin Wan merasa girang sekali dan ia lebih giat melatih ilmu silatnya hingga memperoleh kemajuan pesat. Juga Sin Wan yang sangat mencinta dan berbakti kepada Ibunya, mentaati permintaan Ibunya dan membuat nyonya muda itu puas melihat kemajuan yang dicapai oleh Sin Wan dalam ilmu surat.
Dengan pesat sekali waktu berjalan tanpa terasa oleh manusia, Tahu-tahu tiga tahun telah lewat. Selama itu Sin Wan yang kini telah berusia hampir empat belas tahun ,mendapat kemajuan besar hingga dalam hal ilmu silat ia telah menyusul Kakeknya! Kalau dibuat perbandingan, mungkin Sin Wan lebih gesit dan cepat daripada Kakeknya, tapi tentu saja ia masih kalah dalam hal tenaga lweekang. Selama tiga tahun itu, tidak jarang Sin Wan terkenang kepada Giok Ciu, teman baru yang begitu bertemu telah mengalami peristiwa-peristiwa aneh bersama dia itu. Semenjak perjumpaan pertama, belum pernah mereka bertemu lagi dan ia sedikitpun tidak menyangka bahwa dirinya telah terikat jodoh dengan anak perempuan itu!
Musim semi telah tiba dan orang-orang dikampung kecil itu menyambut musim chun dengan pesta gembira. Penduduk kampung yang hanya berjumlah dua puluh keluarga dan semuanya kurang dari seratus jiwa itu saling mengantar makanan dan saling selamat. Mereka mengenakan pakaian yang paling baik dan memasang petasan yang didatangkan oleh seseorang dari kota. Sin Wan juga tidak ketinggalan. Sejak pagi-pagi sekali Ibunya telah menyuruh dia bertukar pakaian dan mengenakan baju warna kuning yang indh. Pemuda itu tidak melupakan kerbaunya dan ia mencari kembang-kembang dan daun-daun yang lalu dibuat karangan bunga dan dikalungkan di leher semua kerbaunya! Kemudian ia pergi dengan anak-anak lain yang berkumpul memasang petasan.
Tiba-tiba dari luar pintu kampung itu terdengar suara kaki kuda banyak sekali. Semua orang kampung terkejut dan heran karena belum pernah kampung itu dikunjungi orang luar. Ketika orang-orang berkuda itu telah melewati pintu kampung, terkejutlah Sin Wan karena yang datang memasuki kampungnya adalah belasan orang besar berpakaian tentara seragam dengan golok atau pedang terhunus di tangan! Para wanita cepat memanggil anak mereka dan melarikan diri bersembunyi di belakang rumah atau di dalam kamar, sedangkan orang-orang lelaki memandang dengan membongkok hormat dan ketakutan. Ternyata rombongan orang itu berjumlah lima belas orang. Seorang kate gemuk yang agaknya menjadi pemimpin karena pakaiannya paling mewah, loncat turun menghampiri seorang petani tua yang berdiri terdekat.
"He, orang tua! Di manakah rumah Bun Gwat Kong dan anaknya?" Biarpun orang-orang kampung itu terdiri dari petani-petani lemah, tapi mereka adalah orang-orang jujur dan penuh rasa setiakawan. Melihat lagak rombongan ini ternyata tidak membawa maksud baik, maka Kakek itupun menggelengkan kepala dan berkata,
"Aku tidak tahu!" Baru saja jawaban itu terlepas dari mulutnya, Kakek itu terlempar ke belakang karena di dorong oleh seorang anggauta rombongan yang berdiri di dekat pimpinannya.
"Hayo kalian mengaku, dimana adanya bangsat tua she Bun itu? Kalau tidak mau mengaku kalian semua akan dihukum seratus cambukan!" demikian pendorong Kakek itu berkata dengan putar mata galak sekali. Bun Sin Wan merasa gemas sekali, tapi ia masih hendak menunggu apa ayng akan terjadi, juga ia heran sekali mengapa orang-orang ini mencari Kakeknya. Tapi sebelum rombongan tentara Kaisar itu dapat mengganas lebih jauh terdengar bentakan keras.
"Aku orang she Bun ada disini, kamu anjing-anjing Kaisar lalim mau apakah?" dan Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong dengan tolak pinggang berdiri angket menghadapi rombongan itu. Sikapnya yang gagah membuat lima belas orang tinggi besar bersenjata tajam itu mundur beberapa tindak dengan jeri. Tapi orang kate gemuk yang menjadi pemimpin dapat tetapkan hatinya. Ia cabut sepasang ruyung dari pinggangnya dan membentak kepada para anak buahnya.
Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pemberontak she Bun ada disini, hayo tangkap dia!" Berbareng dengan bentakan itu ia maju ayun ruyungnya di atas kepala lalu maju menyerang, diikuti oleh anak buahnya yang menerjang dengan masing-masing senjata di tangan.
"Ha, ha, ha! Kamu anjing-anjing kecil berani menggonggong di depan tuanmu? Pergilah!" Kakek itu lalu bergerak cepat dan tahu-tahu dua orang pengeroyoknya telah kena dipegang dan dilempar sampai beberapa tombok jauhnya bagaikan seorang melempar rumput saja!
Kang Lam Ciuhiap lalu perlihatkan kepandaiannya. Dengan kedua tangan kosong ia bergerak cepat dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak, tentu terdengar pekik kesakitan dan tubuh seorang pengeroyok terlempar atau roboh. Sebentar saja ia dapat merobohkan delapan orang pengeroyoknya dan kini yang mengeroyoknya hanya pemimpin yang bersenjata sepasang ruyung itu dan dua orang lain bersenjata pedang. Yang lain telah cemplak kuda dan lari pergi, tak pedulikan makian dan teriakan pemimpin mereka! Ternyata pemimpin kate gemuk itu lihai juga. Sepasang ruyungnya bergerak-gerak cepat dan kuat hingga untuk beberapa saat tak mudah bagi Kakek itu untuk merobohkannya. Kemudian Kang Lam Ciuhiap mendapat pikiran untuk menguji cucunya. Ia segera merobohkan dua pengeroyok lain hingga kini tinggal si kate gemuk seorang.
"Sin Wan, kau ke sinilah!" Kakek itu berteriak. Sin Wan yang sejak tadi memang berada di dekat situ dan sengaja tidak mau bantu Kakeknya karena melihat bahwa Kakeknya tak perlu dibantu, dan menonton dengan kagum melihat kegagahan Kakeknya, kini loncat maju.
"Ada apa, Ngkong?" jawabnya.
"Coba kau layani anjing kate gemuk itu," perintah Kakek itu yang loncat mundur ke belakang. Si kate gemuk memang telah terdesak hebat oleh Kang Lam Ciuhiap, kini melihat orang tua lihai itu mundur dan diganti oleh seorang pemuda tanggung yang pegang sebatang suling bambu panjang, ia merasa agak lega.
Ia pikir, tidak apa kemudian terbunuh oleh Kakek gagah itu asal sudah bisa menjatuhkan anak muda ini. Dengan demikian, maka ia tidak penasaran lagi dan tidak rugi. Maka ia lalu putar-putar kedua ruyungnya dan menyerang tanpa berkata apa-apa lagi. Sin Wan telah siap dan waspada. Biarpun ia telah mendapat latihan sampai masak oleh Kakeknya, tapi ia belum pernah bertempur betul-betul melawan musuh. Baiknya ia memang mempunyai nyali yang besar dan ketabahannya ini membuat ia dapat bersilat dengan baik. Baru bertempur beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa ilmu kepandaian lawannya ini tidak seberapa hebat. Maka ia tidak mau kasih hati lagi dan balas menyerang dengan sulingnya. Terkejutlah si kate itu, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa suling bambu kecil itu ternyata lihai dan berbahaya sekali karena selalu meluncur ke arah jalan darahnya!
Pula gerakan-gerakan suling itu terlalu cepat dan tidak terduga olehnya higga ia menjadi sibuk sekali karena harus putar-putar ruyung menangkis atau loncat ke sana kemari hindarkan diri dari totokan. Tentu saja Sin Wan tidak mau sulingnya terusak oleh tangkisan ruyung, maka ia tidak mau adukan senjatanya dan percepat gerakannya. Ketika pada suatu saat lawannya berkelit ke kiri, Sin Wan tusukan sulingnya dan getarkan ujung suling dengan tenaga lweekangnya hingga ujung suling itu menjadi tiga dan sekaligus menyerang tiba bagian tubuh! Lawannya tidak dapat menangkis atau menyingkir dari serangan lihai ini dan tak ampun lagi iganya tertotok dan ia roboh tak berdaya. Tapi pemimpin tentara itu memang seorang peperangan yang berani mati dan keras hati. Ia merasa malu sekali terjatuh dalam tangan seorang pemuda yang masih anak-anak, maka ia segera membentak,
"Kau telah robohkan aku, tidak lekas bunuh mau tunggu apa lagi?" Sin Wan marah dan hendak jatuhkan pukulan maut dengan sulingnya, tapi tiba-tiba Kakeknya mencegah.
"Tahan, Sin Wan"!" Kakek ini memang suka melihat orang yang gagah dan berani mati. Selama ia merantau di dunia kang-ouw, jika menemukan lawan yang sifatnya penakut dan jika terluka merintih-rintih, ia segera bunuh lawan itu. Tapi jika lawannya seorang pemberani, ia bahkan selalu memberi ampun! Kini mendengar si kate berkata demikian, ia larang cucunya membunuh orang itu.
"Kau pergilah!" Kata Kang Lam Ciuhiap kepada si kate gemuk itu, "Dan bawa pergi semua kawan-kawanmu itu." Tangan kirinya dilambaikan ke arah orang-orang yang merintih-rintih di atas tanah.
Pemimpin rombongan tentara itu berkata,
"Baik, bagimu sama saja, bunuh aku atau tidak, akhirnya kau juga bakal tertangkap. Ketahuilah, kami diperintahkan menangkapmu oleh Suma Cian Bu, dan sebentar lagi dia dan juga Siauw-San Ngo-Sinto tentu datang kesini!" Sehabis berkata demikian dengan mata mengandung penuh ancaman, si kate itu lalu bantu anak buahnya yang terluka untuk naiki kuda mereka dan perlahan-lahan tinggalkan kampung itu, disoraki oleh penduduk kampung. Tapi Sin Wan yang memperhatikan Kakeknya betapa Kang Lam Ciuhiap tiba-tiba menjadi pucat dan tampak gelisah. Ia segera menghampiri dan memegang lengan Kakeknya,