Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Naga 3


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




"Engkong, kau kenapakah?" Kakeknya geleng-geleng kepala dan tanpa banyak cakap ia mengajak cucunya pulang. Kemudian, di depan anak perempuannya dan Sin Wan, Kang Lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh.

"Sin Wan, kau ajak Ibumu pergi, sekarang juga! Aku harus menghadapi hal ini sendiri, jangan sampai kalian juga tertimpa bencana!"

"Ayah, mengapa kau kata begitu? Apakah yang terjadi?" Ibu Sin Wan bertanya cemas.

"Ketahuilah, dulu aku telah membasmi habis orang-orang yang memfitnah suamimu. Tidak kurang dari enam jiwa melayang di tanganku. Karena yang kubunuh adalah orang-orang berpangkat, maka sejak saat itu pemerintah telah mencari-cariku. Agaknya kini mereka berhasil dan dapat mengetahui tempat sembunyiku disini." Kakek itu menghela napas.

"Tapi, Ngkong. Kalau baru orang-orang macam si kate saja yang datang hendak mengganggumu, jangankan baru satu dua orang, biar ada puluhan, kau dan aku masih sanggup mengusirnya!" kata Sin Wan dengan gagah. Kang Lam Ciuhiap tersenyum girang melihat sikap Sin Wan, tapi ia lalu menggeleng kepala perlahan.

"Kau tidak tahu, Sin Wan. Tidakkah kau dengar tadi bahwa ada seorang Cianbu she Suma dan Siauw Ngo-Sinto akan segera datang kesini?" Sin Wan merasa penasaran,

"Takut apa, Ngkong? Macam apakah orang she Suma itu? Aku ingin sekali mengukur kepandaiannya."

"Kapten she Suma itu sendiri sudah merupakah lawan berat," kata Kang Lam Ciuhiap perlahan seakan-akan tak mendengar kejumawaan Sin Wan, "tapi lima saudara dari Siauw-San yang dijuluki Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat benar-benar berat dilawan."

"Siapakah mereka itu dan mengapa mereka ikut datang membikin susah kau?" tanya Ibu Sin Wan yang merasa khawatir.

"Sum Cian Bu adalah seorang kapten yang sangat terkenal karena kegagahannya. Selain pandai mengatur tentara, iapun tinggi sekali ilmu pedangnya. Kedatangannya itu tentu dengan tugas menangkapku karena Kaisar pun tahu orang macam apakah aku, maka kapten yang konsen itulah yang diutus. Tapi agaknya Sum Cian Bu sendiri jerih untuk datang seorang diri, maka ia ajak kelima setan itu. Memang telah kudengar desas-desus bahwa Ngo-Sinto itu telah mengkhianati dunia kang-ouw dan rela menjadi anjing penjilat Kaisar asing! Mereka adalah lima orang pertapa atau Tosu dari Gunung Siauw-San. Agaknya mereka itupun runtuh iman mereka dan melihat sogokan berupa harta benda dan emas, seperti yang banyak dialami orang-orang gagah yang akhirnya menjadi kaki tangan Kaisar lalim. Sin Wan jangan sia-siakan waktu, kau bawalah Ibumu pergi ke rumah Kwie Cu Ek di balik gunung. Beri tahukan padanya tentang keadaan kita dan titipkan Ibumu disana untuk sementara waktu. Disini berbahaya sekali."

"Tapi, Ayah! Rasa takutku sudah lenyap dan segala kengerian telah pergi semenjak Ayah Sin Wan terfitnah oleh bangsat-bangsat itu. Biarlah merekia datang. Biarkan mereka membunuhku. Aku tidak takut!" Nyonya muda yang lemah dan berpenyakitan itu angkat dada dengan beraninya hingga Sin Wan kagum sekali serta bangga akan Ibunya.

"Kau benar, Ibu. Akupun tidak takut, dan akulah yang akan membelamu mati-matian Ibu!"
Kang Lam Ciuhiap jengkel sekali melihat anak dan cucunya itu. Ia membanting-banting kakinya, lalu bertindak keluar sambil mengomel,

"Kau Ibu dan anak sama-sama kepala batu!" Kakek itu yang merasa bingung dan mengkhawatirkan keselamatan anak dan cucunya, lalu pergi kerumah seorang temannya dikampung itu dan bersama temannya menenggak arak sampai habis beberapa guci. Kemudian ia menyuruh seorang teman untuk keluar dan pergi menyelidiki keadaan musuh yang hendak datang. Ia sendiri putar otak mencari akal untuk menyingkirkan anak dan cucunya. Terutama Sin Wan harus pergi dari kampung itu. Untuk dirinya sendiri, Kang Lam Ciuhiap tidak khawatir. Ia sudah cukup kenyang mengalami pertempuran, sudah cukup lama hidup di dunia yang penuh derita ini, dan mati baginya hanya berarti pulang ke kampung halaman.

Tapi bagaimana nasib Sin Wan dan Ibunya? Yah, tentang anak perempuannya ia telah tahu isi hatinya. Anak perempuannya yang bernasib malang itupun hanya hidup untuk Sin Wan saja, dan boleh dikata sebagian besar dari dirinya telah ikut mati dengan suaminya. Tentu saja soal mati bagi anak perempuannya yang malang itu bukan soal apa-apa. Tapi Sin Wan masih muda, pengharapannya masih banyak dan luas. Anak itu tidak boleh menjadi korban begitu saja, dan jika Suma Cianbu datang, ia tidak dapat tanggung tentang keselamatan Sin Wan. Walaupun ia tahu bahwa anak itu telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, namun keenam lawan yang mendatangi itu terlampau lihai. Kemudian Kang Lam Ciuhiap dengan diam-diam mengadakan perundingan dengan anaknya. Setelah dijelaskan tentang bahaya yang dapat mengancam jiwa Sin Wan, nyonya muda itu menjadi gugup.

"Ketahuilah, anakku. Kalau kaki tangan Kaisar mengetahui bahwa Sin Wan adalah putera tunggal suamimu, maka jangan harap jiwa puteramu akan tertolong. Mereka itu tentu berebut membuat pahala dan sedapat mungkin hendak menawan Sin Wan pula, hidup atau mati!" Maka lalu diambil keputusan oleh kedua orang itu untuk menyuruh Sin Wan pergi dari situ untuk sementara waktu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ibunya memanggilnya dan ketika Sin Wan menghadap, ternyata di situ sudah tampak Engkongnya sedang minum arak. Sepagi itu sudah minum arak, sungguh kuat sekali Engkongnya itu, demikian Sin Wan berpikir menghampiri.

"Sin Wan, kau masih ingat kepada keluarga Kwie di balik gunung itu?" tanya Kang Lam Ciuhiap kepadanya. Sin Wan pandang Kakeknya dengan tajam dan heran, dan ia mencoba membaca isi hati Kakeknya itu.

"Tentu saja aku masih ingat, Engkong."

"Mereka itu ramah tamah dan baik hati sekali, ya?" Sin Wan mengangguk.

"Katanya ada juga seorang anak gadisnya yang cantik, benarkah Sin Wan?" tanya Ibunya. Sin Wan makin heran dan dadanya berdebar, tapi dengan menindas perasaannya ia menjawab.

"Setahuku Kwie Pekhu hanya mempunyai seorang anak perempuan namanya Giok Ciu."
(Lanjut ke Jilid 03)

Kisah Sepasang Naga/Ji Liong Jio Cu (Seri ke 02 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmarainan S. Kho Ping Hoo

Jilid 03
"Bagaimana pendapatmu tentang anak perempuan itu, Sin Wan?" dengan cepat Ibunya bertanya hingga anak muda itu cepat memandang Ibunya.

"Apakah maksudmu, Ibu? Ia pandai silat, berwatak baik, dan pandai... masak." Ibunya tersenyum dan Ciuhiap tertawa bergelak.

"Sin Wan, karena mereka itu baik sekali dan masih tetangga dengan kita, yakni karena kita masih tinggal di satu gunung, maka untuk menyambut hari raya ini kita harus mengantar apa-apa kepada mereka. Aku sudah sediakan sedikit kue-kue dan sutera simpananku di dalam bungkusan itu, kau antarlah bungkusan ini kepada mereka sekarang juga." Sin Wan memandang ke atas meja di depan Kakeknya dimana memang terdapat sebuah bungkusan besar. Kemudian ia memandang Kakeknya dan berkata dengan sangsi,

"Tapi, Ngkong. Perlu sekalikah itu? Apakah tenagaku tidak diperlukan disini? Aku harus menjaga keselamatan Ibu."

"Aku cukup kuat untuk menjaganya, Sin Wan."

"Dan kalau musuh-musuh itu datang aku dapat membantumu, Ngkong."
"Aah, musuh-musuh macam itu saja? Tak perlu, Sin Wan."

"Tapi, Ngkong, kalau Suma Cianbu dan Ngo-Sinto ikut datang?"

"Ha, ha ! Mereka boleh datang, dengan batang suling dan kepalan akan kuhancurkan kepala mereka seorang demi seorang!"

"Tapi, bukankah kemarin kau katakan bahwa mereka itu tangguh sekali?"

"Aku kemarin hanya membohong."

"Tapi... tapi... Aku khawatir, Ngkong..." Kakeknya berdiri serentak dan membentaknya,

"Sin Wan! Tidak percayakah kau kepada Kang Lam Ciuhiap? Tidak taatkah kau kepada Engkong dan gurumu?" Melihat sikap Kakeknya Sin Wan tak berani membantah lagi. Ia mengambil bungkusan kain itu dari atas meja, lalu menghampiri Ibunya dan memegang tangan Ibunya dengan rasa sayang,

"Ibu, jaga baik-baik dirimu, ya? Aku akan segera kembali, kalau mungkin sore nanti juga aku sudah kembali."

"Sin Wan, sampaikan salamku kepada Kwie Cu Ek, dan engkau jangan sampai memalukan kami dengan berlaku kurang sopan. Jika mereka minta kau bermalam disana, biarpun hanya untuk semalam, kau harus menerima dan jangan kukuh menampik hingga mereka akan menyangka bahwa kau sombong dan tidak ramah-tamah."

Setelah sekali lagi memandang Ibunya dengan mesra, pemuda itu lalu berangkat meninggalkan rumahnya dengan lari secepat mungkin agar ia segera sampai di tempat tujuan dan segera kembali. Dulu ketika ia dan Kakeknya pulang dari rumah keluarga Kwie, mereka gunakan waktu hampir sehari penuh. Tapi sekarang ilmu larinya telah maju berlipat ganda hingga ketika matahari telah naik sampai tepat di atas kepalanya ia telah sampai di rumah Giok Ciu. Hati Sin Wan berdebar keras ketika ia melihat seorang gadis berbaju merah muda dan bercelanaa biru berdiri di depan rumah sambil mengambil baju yang dijemur disitu. Ia segera mengenal gadis itu yang bukan lain ialah Giok Ciu adanya!

Biarpun gadis itu sedang berdiri membelakanginya, tapi ia tidak lupa melihat potongan badan gadis itu. Ketika ia telah menghampiri dekat, gadis itu berpaling dan seketika itu juga kain yang sedang dipegangnya terlepas dari tangannya dan didiamkannya saja karena kedua matanya yang indah itu memandang bengong kepada pemuda tampan yang berdiri di depannya. Juga Sin Wan merasa malu-malu dan sungkan sekali karena kini Giok Ciu telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya. Kedua pipinya kemerah-merahan, kulit leher dan lengannya demiian halus dan putih, apa lagi sepasanga mata yang gemilang dan bibir yang merah dan manis itu! Untuk beberapa saat keduanya hanya saling pandang tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun Kemudian Sin Wan maju dan membungkuk untuk mengambil kain yang terjatuh itu, lalu memberikannya kepada Giok Ciu.

"Terima kasih," kata gadis itu dengan bibir sedikit gemetar.

"Giok Ciu!" Sin Wan menegur perlahan, dan menatap wajah yang selalu ditundukkan itu. Giok Ciu menangkat kepalanya dan memandang dengan senyum malu-malu.

"Hm??" hanya demikian mulutnya menggumam.

"Kau... kau sudah lupakah kepadaku? Kenapa diam saja?" kata Sin Wan lagi dengan agak heran. Mengapa gadis yang dulu genit dan lincah itu sekarang menjadi begini kikuk? Giok Ciu tundukkan lagi mukanya dan mengerling pemuda itu serta memandangnya dari sudut matanya. Gerakan mata ini manis dan menarik sekali.

"Masak begitu mudah melupakan orang?" jawabnya perlahan.

"Giok Ciu!, aku tidak pernah lupakan kau. Mana bisa aku melupakanmu, teman baikku yang telah mengalami hal-hal aneh dan hebat bersamaku." Diingatkan akan peristiwa yang dialami bersama-sama Sin Wan dulu, Giok Ciu tiba-tiba merasa gembira dan wajahnya berseri. Kemudian ia teringat bahwa pada saat itu Sin Wan adalah seorang tamu, maka dengan gugup ia berkata,

"Kau..., masuklah , marilah." Dan ia mendahului pemuda itu ambil tempat duduk.

"Dimana Kwie Pekhu? Apakah ia baik-baik saja selama ini?"

"Baik, terima kasih. Ia sekarang sedang turun ke kampung di bawah bukit untuk membeli kain."

"Aku disuruh oleh Ibuku untuk mengantar sedikit barang tak berharga ini dan sekalian menyambangi kau."

"Aku? Bukan menyambangi Ayah?" Wajah Sin Wan memerah.

"Ya Ayahmu juga!" Kemudian sambil menatap wajah gadis jelita itu ia berkata sungguh-sungguh,

"Giok Ciu, aku heran benar melihat engkau." Giok Ciu balas memandang.

"Heran? Mengapa? Apakah aku berubah dan... Jelek?" Sin Wan tersenyum.

"Berubah sih tentu. Kau sekarang menjadi tinggi dan... dan... makin manis!" Giok Ciu segera tundukkan muka, tapi senyum yang menghias bibirnya itu menandakan bahwa hatinya senang sekali.

"Tapi yang membuat aku heran sekali adalah perubahan yang sangat menyolok pada dirimu. Kau sekarang begitu... Begitu pendiam dan agaknya malu-malu padaku, mengapakah?" Giok Ciu memandang lagi tapi tidak berani menentang mata Sin Wan terlalu lama.

"Kau tidak mempunyai perasaan... malu kepadakukah?"

"Mengapa aku mesti malu-malu kepadamu? Bukankah kau ini sahabatku yang baik, kawan sependeritaan ketika kita terjeblos dalam jurang dan akhirnya keluar dari sumur itu?" Untuk sejenak gadis itu memandang heran, kemudian tiba-tiba saja sikapnya yang malu-malu itu lenyap dan ia berubah menjadi seperti biasa, bahkan gembira sekali seakan-akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal di dalam hatinya telah disingkirkan.

"Sin Wan, kau tentu sudah maju sekali dalam ilmu silat, bukan?"

"Ah, belum tentu semaju engkau!"

"Hayo, kita mencoba kepandaian kita, boleh?" ajak Giok Ciu gembira. Sin Wan geleng-gelang kepala.

"Sebenarnya aku tergesa-gesa sekali, Giok Ciu." Katanya perlahan dan tiba-tiba lenyap kegembiraannya karena ia teringat akan Ibu dan Kakeknya yang mungkin diancam bahaya dan bencana besar. Melihat betapa pemuda itu kehilangan seri wajahnya dan keningnya tampak berkerut seperti orang bingung dan susah, gadis itu menjadi heran dan buru-buru bertanya,

"Sin Wan, apakah yang terjadi? Kau agaknya bingung, apakah yang menyusahkanmu? Katakan padaku, aku pasti akan membantumu!" Melihat sikap gadis yang sangat memperhatikan padanya itu, hati Sin Wan terhibur dan ia merasa berterima kasih sekali. Ternyata gadis ini sama sekali tidak berubah, bahkan lebih baik dan setia kawan. Karena ini ia lalu ceritakan dengan sejelasnya apa yang telah terjadi, yakni tentang pengeroyokan yang terjadi atas diri Kakeknya dan betapa Kakeknya telah memberi hajaran kepada rombongan tentara itu, tapi kini telah datang ancaman bahaya baru yang sangat mengkhawatirkan.

"Karena itulah maka aku tidak dapat lama-lama berada disini, Giok Ciu, karena mungkin sekali tenaga bantuanku dibutuhkan sangat oleh Kakekku. Aku harus kembali sekarang juga!"

"Sebetulnya aku harus menyesal karena kau tak pernah mengunjungi kami dan sekarang begitu datang kau hendak pergi lagi. Tapi urusan di kampung itu memang gawat sekali. Tidak saja kau harus lekas pulang, bahkan akupun akan menyertai kesana. Kita lebih baik sama-sama menghajar orang-orang kurang ajar itu!" Sin Wan pandang gadis itu dengan heran, hatinya girang seklaik tapi ia ragu-ragu.

"Ah, Giok Ciu, apakah kau tidak akan dimarahi Ayahmu? Betapapun juga kau harus memberi tahu lebih dulu kepada Kwie Pekhu!"

"Untuk urusan sepenting ini, aku boleh pergi tanpa pamit. Apa pula untuk membela Ibumu dan Ayahmu adalah kewajibanku yang terutama! Biarlah aku meninggalkan surat saja untuknya agar kalau telah pulang ia bisa segera menyusul kita."

"Kau maksudkan... Kwie Pekhu juga akan ke sana membantu kami?" tanyanya girang sekali.

"Mengapa tidak? Ia pasti akan menyusul kita." Giok Ciu lalu cepat ambil alat tulis dan menulis surat pemberitahuan untuk Ayahnya di atas meja dalam kamar Ayahnya.

"Hayo kita pergi,tapi kau harus makan dulu. Bukankah kau tadi belum makan? Jangan kita nanti kelaparan lagi dijalan seperti dulu." Kata gadis itu menimbulkan kegembiraan lagi di dalam hati Sin Wan.

"Tak usah, Giok Ciu, kalau ada kuih, kau bawa kuih saja, kita makan di jalan nanti." Giok Ciu tidak membantah lalu mereka berangkat dengan lari cepat. Sin Wan sengaja lari cepat sekali dan sekuat tenaganya, tapi ternyata ilmu lari cepat gadis itu tidak berada dibawh tingkatnya hingga ia menjadi kagum dan girang. Ketika tiba di jurang yang lebar, dimana dulu mereka meloncatinya dengan bantuan pohon dan tambang, mereka loncati begitu saja dengan tidak terlalu sukar. Giok Ciu dengan gembira menunjuk ke sebuah batu karang yang tinggi dan runcing sambil berkata,

"Sin Wan, lihat I sana itu, masih ingatkah kau?" Sin Wan memandang dan melihat sebuah benda panjang keputih-putihan menggantung dari puncak karang. Ia ingat bahwa itu adalah tali tambang yang dulu ia pakai untuk meloncati jurang itu. Ia menghela napas dan berkata,

"Alangkah cepatnya waktu berjalan. Tiga empat tahun telah lalu dan tali itu masih tergantung di situ hingga kalau kita pergi berdiri di sini, seakan-akan peristiwa itu baru terjadi kemarin. Dan kitapun tak terasa pula sudah bukan kanak-kanak lagi, sudah setengah dewasa!"

"Kenapa dalam beberapa tahun itu kau atau Kong-kong tak pernah datang menengok kami? Tadinya kukira kalian sudah lupa!" Gadis itu berkata sambil cemberutkan bibirnya, tapi dalam pandangan Sin Wan malahan tampak lebih manis.

"Kakekku selalu sibuk mengajar silat padaku, sedangkan kalau aku hendak pergi sendiri, Ibu selalu melarangku setelah terjadi aku hilang dua hari dulu itu!" Giok Ciu padang wajah Sin Wan dengan iri hati,

"Ah, kau memang beruntung, mempunyai seorang Ibu menyayangimu." Dan mata gadis itu menjadi merah. Tapi Sin Wan segera menghiburnya,

"Tapi aku tidak mempunyai Ayah seperti kau. Keadaan kita sama. Giok Ciu, jangan kau bersedih. Biarlah kau anggap Ibuku seperti Ibumu sendiri." Tiba-tiba sikap Giok Ciu berubah dan ia lari menjauhi Sin Wan. Pemuda itu terheran dan tunda larinya, hingga Giok Ciu yang tidak kenal jalan terpaksa berhenti juga, agak jauh dari tempat Sin Wan berhenti.

"Giok Ciu, kau kenapakah? Marahkah kau?" Giok Ciu memandangnya dengan tajam seakan-akan hendak membaca isi hatinya. Kemudian gadis itu tampak tenang kembali dan bersikap biasa.

"Tidak apa-apa, hanya aku tadi terharu mendengar bahwa aku harus menganggap Ibumu seperti Ibuku sendiri. Alangkah baiknya, dan kau juga menganggap Ayahku seperti Ayahmu sendiri."

"Ya, begitulah lebih baik," kata Sin Wan sambil tunduk dan tidak tahu betapa Giok Ciu memandang padanya dengan mata setengah terkatup hingga sepasang mata yang bening itu mengincar dari balik bulu matanya yang panjang dan lentik.

"Marilah kita percepat perjalanan ini agar segera sampai dirumah," kata Sin Wan.

"Apakah kau tidak lapar? Ini, makanlah kueh ini." Gadis itu keluarkan sepotong kueh kering dari saku bajunya, dan mereka lalu makan kuih itu. Hal ini membuat mereka teringat lagi akan peristiwa dulu didalam jurang, dimana mereka juga makan kuih kering bekal Sin Wan. Setelah makan dan minum air gunung yang jernih, dingin, dan segar mereka lalu berangkat pula. Perjalanan kali ini berbeda dengan ketika Sin Wan berangkat dari rumah, karena dengan berdua mereka merasa gembira dan lebih menikmati pemandangan di kanan kiri. Tamasya alam yang tadi ketika berangkat tidak diindahkan, bahkan tidak terlihat oleh Sin Wan,

Kini nampak bagus dan menarik sekali hingga beberapa kali ini ia dan Giok Ciu berhenti untuk menikmati pemandangan indah itu beberapa lama. Dari perjalanan ini maka terbuktilah kekuatan dan keuletan tubuh Sin Wan. Pemuda itu boleh dibilang sehari penuh terus berlari cepat dan hanya berhenti sebentar, tapi ia sama sekali tidak merasa lelah! Karena sering berhenti, maka ketika mereka tiba di kampung Sin Wan telah mulai senja. Matahari telah sembunyi di balik puncak Kam-Hong-San dan keadaan telah sunyi senyap karena burung-burung telah kembali ke sarang mereka dan beristirahat setelah sehari penuh beterbangan mencari makan. Beberapa ekor burung kuntul yang berbulu putih terbang tergesa-gesa di bawah mega, gerakan sayap mereka perlahan tapi kuat hingga tubuh mereka meluncur maju bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

"Sin Wan kenapa kampungmu begini sunyi?" tanya Giok Ciu dengan heran ketika mereka mulai masuk perkampungan itu. Sin Wan tak menjawab, tapi ia sendiri juga heran sekali. Tiba-tiba telinga mereka dapat mendengar suara tangis sedih yang tertahan-tahan, agaknya orang-orang menangis tapi karena takut maka tidak berani menangis keras. Sin Wan terkejut dan ia memegang lengan Giok Ciu sambil berkata,

"Hayo cepat, Giok Ciu!" Gadis itu merasa betapa tangan Sin Wan yang memegang lengannya sangat dingin! Maka hatinyapun berdebar karena menyangka sesuatu yang tidak beres. Dan apa yang tampak oleh mereka sungguh mengerikan! Ketika mereka tiba di depan rumah Sin Wan, tampak tubuh-tubuh malang melintang di atas tanah yang telah menjadi merah karena aliran darah dari para korban itu.

"Sin Wan, apakah yang terjadi?" Giok Ciu dengan wajah pucat pegang lengan pemuda itu, tapi bagaikan orang kalap Sin Wan mengkipaskan tangan Giok Ciu dan meloncat masuk ke dalam rumahnya sambil berteriak-teriak,

"Ibu...! Kakek"!" Giok Ciu cepat mengikut pemuda itu dan meloncat masuk ke dalam pintu yang terpentang lebar. Dan ketika ia masuk kedalam, ia melihat Sin Wan telah berlutut dan memeluki tubuh Ibunya yang menggeletak mandi darah! Juga Kakeknya rebah dengan lengan kanan putus dan tidak ingat orang!

"Ibu... Kong-kong..." Giok Ciu berbisik perlahan dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Sin Wan seperti orang gila. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya kedua matanya melotot lebar dan dari pelupuk matanya mengalir air mata berbutir-butir membasahi pipinya. Ia angkat kepala Ibunya dan dipangkunya kepala yang lemas itu, di dekapnya muka Ibunya pada dadanya dan diciuminya jidat yang halus putih dan pucat itu. Kemudian, lama sekali, barulah Sin Wan dapat berbisik, suaranya tenggelam dalam keroNgkongannya,

"Ibu... Ibu" bangunlah, Ibu" bukalah matamu, aku datang, Ibu... aku Sin Wan anakmu"" Giok Ciu melihat keadaan pemuda itu dan mendengar ratap tangisnya, hanya bisa mencucurkan air mata dari belakang ia pegang lengan Sin Wan. Hatinya ingin menghibur, tapi tak sepatah kata-kata dapat keluar dari mulutnya. Tiba-tiba ia melihat Ibu Sin Wan menggerak-gerakkan kulit matanya.

"Sin Wan, lihat Ibumu siuman." Bisik Giok Ciu. Sin Wan pandang wajah Ibunya dan harapan timbul dalam hatinya.

"Ibu" bangunlah, Ibu..." ratapnya dan ia mencoba untuk mengangkat tubuh Ibunya, tapi tiba-tiba nyonya itu merintih kesakitan sehingga terpaksa Sin Wan menunda maksudnya dan ia baringkan kepala Ibunya di atas pangkuannya. Nyonya yang bernasib malang itu buka pelupuk matanya dan ia tersenyum ketika melihat Sin Wan.

"Sukur" kau" kau selamat, Sin Wan"" katanya perlahan.

"Ibu, bagaimana kau bisa berkata begitu? Kau... ah, siapakah yang melakukan ini, Ibu? Siapa? Katakanlah, hendak kubeset menjadi dua tubuhnya!"

"Siapa lagi, anakku... Kalau bukan orang-orangya" Kaisar... lalim..." Ibu Sin Wan melirik ke arah gadis yang berada di belakang Sin Wan dan ikut mengalirkan air mata itu. Wajahnya yang sudah menyuram tiba-tiba berseri dan berbisik,

"Sin Wan... inikah... Giok Ciu...?"

"Betul, Ibu," jawab Giok Ciu sambil mendekat. Ibu Sin Wan masih kuasa mengangkat lengan kanannya untuk meraba-raba muka dan rambut Giok Ciu, agaknya ia puas sekali.

"Kau... cantik" dan" baik, bahagialah kau dengan" anakku"" Giok Ciu tak kuasa menahan keharuan hatinya, ia hanya mengangguk-angguk sambil menciumi tangan yang membelainya itu.

"Sin Wan... jagalah baik-baik dia ini" dia ini calon isterimu" tanda perjodohannya... Sepatu kecil... kusimpan di peti pakaianku... Sin Wan... Giok Ciu... Aduh!" Dan Nyonya yang telah kepayahan karena kehabisan darah yang mengalir dari lukanya itu menjadi lemas dan napasnya berhenti!

"Ibu"! Ibu"!!" Sin Wan menjerit dan kedua matanya jelalatan bagaikan mencari-cari sesuatu. Kemudian ia turunkan kepala yang dipangkuannya perlahan, lalu ia loncat berdiri dan memburu ke depan. "Siapa yang membunuh Ibuku? Siapa?? Hayo keluar!!" Kemudian, karena yang dilihatnya hanya mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ia lari lagi ke dalam dan tubruk mayat Ibunya.

"Ibu... Ibu...! Mana Kong-kong, mana...? Kong-kong" dimana kau?" Sin Wan benar-benar seperti orang gila hingga ia tidak melihat Kong-kongnya yang menggeletak tak jauh dari situ. Giok Ciu sambil menangis lalu memegang tangan Sin Wan dan berkata,

"Sin Wan, tenanglah, Kong-kong ada disini, lihatlah...!" Sin Wan menengok ke bawah dan ketika melihat tubuh Kakeknya membujur di situ mandi darah, ketegangan di wajahnya lenyap seketika. Ia menubruk Kong-kongnya dan mengangkat kepala yang sudah putih itu.

"Kong-kong! Kau juga menjadi korban? Kong-kong" katakanlah siapa yang melakukan ini, siapa??" Ia menggoyang-goyang tubuh Kong-kongnya yang sudah lemas itu. Agaknya nyawa Kakek itu belum meninggalkan raganya, karena memang orang tua itu kuat sekali dan telah mempunyai latihan tenaga dalam yang luar biasa. Maka dalam keadaan yang bagi orang lain sudah tak mungkin dapat mempertahankan lebih lama itu karena selain lengannya yang kanan terpotong sebatas pundak, juga ia mendapat luka-luka di dada dan perutnya, ia masih dapat membuka matanya. Mata itu memandang kepada Sin Wan dengan tajam dan dengan paksaan tenaganya yang terakhir ia berkata dengan suara parau seakan-akan bukan suara manusia lagi,

"Sin Wan... yang melakukan ini ialah... Suma Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto...!" Kepala yang tadinya menegang itu lalu terkulai lemas dalam pelukan Sin Wan, tanda bahwa hayatnya telah meninggalkan tubuh! Sin Wan lepaskan kepala itu kebawah, lalu tiba-tiba ia betot suling bambu yang terpegang di tangan kiri Kakeknya, kemudian dengan geraman hebat Sin Wan meloncat keluar bagaikan seekor naga mengamuk! Pemuda itu tidak ingat apa-apa lagi, yang diingat hanya dendam kepada musuh-musuhnya! Ia tiba diluar dan matanya memandang jelalatan ke sana ke mari. Tiba-tiba ia meloncat ke samping ketika merasa betapa pundaknya dijamah orang dengan perlahan dari belakang. Sambil meloncat ia mengayun suling ke arah orang yang menjamahnya itu hingga Giok Ciu cepat berkelit dengan kaget sekali.

"Sin Wan, ingatlah, ini aku, Giok Ciu!" kata gadis itu sambil bertindak maju dan memegang lengan Sin Wan, "Sin Wan, begini lemahkah hatimu? Beginikah sikap seorang jantan yang gagah perkasa? Kau boleh marah dan sakit hati, tetapi kau tidak tahu dimana adanya musuh-musuhmu. Apakah kau telah melupakan jenazah Ibu dan Kakek? Apakah mereka itu tidak harus diurus lebih dulu dan dibiarkan saja? Ah, Sin Wan... Sin Wan..." Tubuh Sin Wan yang tadinya menegang dan matanya yang liar dan ganas itu melembut. Suling yang dicengkeram dalam tangannya terlepas dan jatuh di tanah tanpa terasa. Kemudian ia lari dengan tubuh lemas ke dalam rumah. Melihat mayat Kong-kongnya ia lalu berlutut dan sambil memandang wajah Kakeknya itu dan ia meratap dan menyesali Kakeknya.

"Kong-kong, kenapa kau suruh aku pergi? Kenapa? Kau sengaja menyuruh aku menyingkir. Aku tahu... Aku tahu...! Kong-kong, apa kau sangka aku penakut? Apa kau sangka aku takut mati? Ah, Kong-kong. Kalau saja aku tidak pergi... Kong-kong" kau bikin aku selamanya akan menyesali saat kepergianku itu... Kau bikin aku menjadi penasaran selalu..." Kemudian, sambil menyusut air mata dengan ujung baju, pemuda tanggung yang mengalami nasib buruk itu menubruk mayat Ibunya.

"Ibu... Ibu... anakmu tidak berbakti! Kau... kau diserang musuh, dilukai, dibunuh... sedangkan aku... anakmu... Pergi dan bergembira di luar! Ibu ampunkan anakmu, Ibu... aku bersumpah, sebelum dapat membunuh orang-orang terkututk itu, aku tidak mau menyebut namaku kepada orang lain"" Kemudian Sin Wan menangis lagi sambil berlutut di dekat mayat Ibunya. Ia pukul-pukulkan kepalanya di atas lantai hingga terluka dan kulit jidat itu mengeluarkan darah!

Demikian besar rasa penyesalannya telah pergi hingga Ibunya dibunuh orang pada saat ia tidak berada di situ, maka karena menyesal ia bentur-benturkan jidat di lantai dan akhirnya sambil memekik keras ia roboh pingsan di atas dada Ibunya! Semenjak tadi, Giok Ciu tak berdaya dan hanya ikut menangis. Ia adalah seorang yang keras hati, tapi menghadapi pemandangan demikian mengerikan dan mengharukan, ia tak dapat menahan mengucurnya ia mata dan rasa iba hati yang luar biasa sampai menyakitkan dadanya. Ia merasa iba sekali sekali melihat Sin Wan, pemuda tunangannya yang sebelum diberi tahu oleh Ibunya tidak mengerti bahwa Giok Ciu adalah tunangannya! Giok Ciu sendiri telah diberi tahu oleh Ayahnya, bahkan suling kecil pemberian Kang Lam Ciuhiap telah diserahkan kepadanya untuk disimpan. Inilah sebabnya maka ketika bertemu dengan Sin Wan, ia meraa malu sekali dan kikuk.

Tapi, kemudian dapat diterkanya bahwa pemuda itu agaknya belum tahu akan pertunangan mereka, maka lenyaplah rasa malunya terhadap Sin Wan. Hal ini membuat kegembiraannya timbul dan ia bisa bergaul lebih bebas dengan pemuda itu. Tapi, tidak disangkanya sama sekali, musuh telah mendahului mereka dan telah mengamuk demikian kejamnya! Kini melihat betapa Sin Wan jatuh pingsan, Giok Ciu merasa makin bingung dan ia merasa hatinya seperti diremas-remas! Ia lari keluar dan masuk ke dalam rumah terdekat. Di dalam rumah itu terdapat dua orang wanita tua dan muda saling peluk dengan tubuh gemetar, dan ditengah-tengah mereka ada tiga anak-anak kecil. Ternyata mereka masih ketakutan. Alangkah kaget mereka ketika da orang masuk ke rumah, mereka sangkat bahwa tentara-tentara yang kejam itu masih berada di luar. Tapi Giok Ciu berkata dengan halus,

"Encim dan cici, jangan takut-takut, musuh telah pergi semua. Marilah kau bantu aku untuk memberi tahu semua tetangga. Suruh mereka keluar dan menolong kawan-kawan kita." Maka berdirilah kedua wanita itu dan sebentar saja mereka berdua pergi ke rumah-rumah para tetangga. Semua orang keluarlah berbondong-bondong dan tangis dan pekik saling menyusul ketika mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan. Masing-masing keluar lalu mengangkat korban-korban yang masih menggeletak di luar dan menggotong tubuh-tubuh itu ke rumah masing-masing. Giok Ciu dengan bantuan beberapa orang lalu mengurus kedua jenasah Ibu Sin Wan dan Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong. Sedangkan Sin Wan setelah siuman, hanya duduk bengong menghadapi kedua mayat orang-orang tercinta itu.

Selama hidupnya ia hanya kenal Ibu dan Ayahnya, dan kini tiba-tiba saja kedua orang tua itu tinggalkan dia dalam cara yang demikian menyedihkan! Sementara itu Giok Ciu mendengarkan keterangan yang diberikan oleh orang-orang kampung yang tidak menjadi korban keganasan gerombolan kaki tangan Kaisar. Ternyata pada kira-kira tengah hari tadi, sebarisan tentara berkuda dan bersenjata lengkap menyerbu kampung itu, dipimpin oleh Suma Cianbu dan lima orang gagah, yakni Siauw-San Ngo-Sinto atau Lima Golok Malaikat dari Gunung Siauw-San. Mereka hendak menangkap Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, tapi Kakek yang gagah perkasa itu melawan hebat. Pertempuran seru terjadi dan orang-orang kampung yang jujur dan setia kawan ketika melihat betapa empek itu dikeroyok, lalu maju membantu.

Tapi mereka bukanlah tandingan para tentara yang terlatih hingga sebentar saja belasan orang roboh mandir darah. Kang Lam Ciuhiap dengan senjata suling mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Seorang pemuda yang berhasil menonton pertempuran itu sambil bersembunyi, menuturkan beriktu. Rombongan penyerbu itu terdiri dari dua puluh anggauta tentara dibawah pimpinan seorang tinggi besar yang brewokan dan mengaku bahwa Suma Cianbu, yakni kapten Suma. Kapten Suma itu bersenjatakan sepasang pedang. Di antara mereka terdapat lima orang Tosu atau Pendeta yang semua berbaju kuning dan rambutnya diikat ke atas. Mereka ini langsung menuju ke rumah Kang Lam Ciuhiap. Kakek yang gagah itu dengan tenang dan sedikitpun tidak jeri menyambut kedatangan mereka di luar rumahnya.

"Ha, ha! Kang Lam Ciuhiap! Sungguh aku beruntung sekali karena ternyata kau masih hidup hingga memberi kesempatan kepadaku untuk membunuhmu!" kata Kapten Suma itu sambil meloncat turun dari kudanya.

"Memang benar kata-katamu bahwa aku masih hidup, Suma Cianbu. Tapi tentang membunuh itu masih merupakan teka-teki siapa tahu, barangkali akulah yang akan berhasil membunuhmu."

"Hm, orang she Bun! Kau seorang yang berdosa tetapi masih berani membuka mulut besar!" menegur seorang diantara kelima Tosu itu.

"Tahukah kau akan dosa-dosamu?" Kang Lam Ciuhiap memandang ke arah Tosu itu dengan pandang mata menghina.

"Bukankah aku berhadapan dengan Siauw-San Ngo-Sinto yang terkenal? Kenapa kalian orang-orang pertapa meninggalkan tempat pertapaan dan bersatu dengan anjing-anjing penjilat Kaisar ini? Apakah kalian juga telah diberi makanan lezat? Marahlah Tosu tertua mendengar sindiran ini.

"Bun Gwat Kong! Ajalmu telah berada di depan mata, kau masih berani menghina orang! Kau telah memberontak dan membunuh banyak pembesar-pembesar negeri, mengikuti jejak anak mantumu yang juga menjadi pemberontak! Apakah dosa ini tidak terlalu besar dan kejam sehingga terpaksa kami turun gunung untuk menghajarmu?"

"Sudahlah, sudahlah" kalau negeri sedang kacau, memang selalu muncul tikus-tikus seperti kalian. Ternyata hanya namanya Siauw-San Ngo-Sinto besar, tapi orang-orangnya tak berjiwa bersih!" Kelima Tosu itu dengan marah lalu mencabut golok masing-masing. Golok mereka kecil dan panjang tapi gemerlapan karena tajamnya. Kemudian mereka maju mengepung Kang Lam Ciuhiap yang hanya bersenjatakan suling bambu di tangan!

Maka terjadilah pertempuran yang luar biasa serunya! Dengan suling bambunya Kang Lam Ciuhiap ternyata dapat bertahan dan melindungi dirinya dari serangan-serangan maut yang berpancaran dari golok kelima lawannya. Melihat betapa orang tua gagah itu dalam berpuluh jurus belum juga dapat dirobohkan, Suma Cianbu sendiri maju dengan sepasang pedang atau siang-kiamnya. Dan kini Kakek itu mulai sibuk dan terdesak hebat, karena kepandaian kapten ini tidak dibawah seorang dari para Tosu-Tosu itu. Akan tetapi, Kang Lam Ciuhiap benar-benar meperlihatkan bahwa nama besarnya bukanlah kosong belaka. Ia mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Beberapa orang anggauta tentara yang mencoba untuk mengeroyoknya dan berusaha mencari pahala telah roboh dibawah totokan sulingnya.

Tapi musuh terlalu banyak dan Kalng-lam Ciuhiap telah mendapat beberapa luka dibadannya. Kemudian terdengar jerit ngeri dari dalam rumah dan Kakek itu yang mengenal jerit anak perempuannya, segera berseru nyaring dan ia meloncat ke dalam rumah, di kejar oleh lawan-lawannya. Alangkah kaget Kakek itu ketika melihat betapa anaknya telah roboh mandi darah dan di dekatnya berdiri soerang anak buah rombongan itu sambil memegang goloknya yang berlumuran darah. Dalam marahnya Kang Lam Ciuhiap mengayun sulingnya dan pembunuh anaknya itu robohlah sambil berteriak ngeri, tapi Kang Lam Ciuhiap masih belum puas. Ia kerjakan kedua kakinya dan sulingnya untuk memukul dan mendendang sehingga orang itu andaikata mempunyai sepuluh nyawa tentu kesepuluh nyawanya juga akan terbang pergi meninggalkan raganya!

Akan tetapi pada saat itu Suma Cianbu dan kelima Tosu yang lihai telah masuk rumah pula dan dalam keadaan terdesak di tempat sempit itu akhirnya robohlah Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat kong, Kakek yang gagah perkasa itu! Sementara itu, orang-orang kampung yang melihat betapa Bun didatangi penyerbu-penyerbu lalu bersiap dan berusaha membantu. Akan tetapi mereka bukanlah lawan para anggauta tentara pemerintah asing yang telah terlatih dan sebentar saja belasan orang dapat dirobohkan dan yang lainnya lari bersembunyi. Maka sebentar saja penuhlah pekarangan rumah keluarga Bun dengan tubuh-tubh luka dan mayat bergelimpangan. Pemandangan yang mengerikan sekali! Setelah menjatuhkan malapetaka di kampung itu, rombongan Suma Cianbu segera meninggalkan kampung itu sambil membawa beberapa orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam Ciuhiap dalam amukannya tadi.

Biarpun para para penyerbu telah pergi lama, orang-orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam Ciuhiap dalam amukannya tadi. Biarpun para penyerbu telah pergi lama,orang-orang kampung masih belum juga berani keluar dari tempat persembunyian mereka sampai Sin Wan dan Giok Cu datang! Mendengar betapa lihainya musuh-musuh yang datang, maka Giok Ciu yang cerdik tahu mengapa empek gagah itu sengaja menyuruh Sin Wan pergi, karena kalau pemuda itu berada disitu, tentu takkan terluput dari kematian juga. Ketika orang-orang masih sibuk mengurus semua jenasah dan berkabung, malam hari itu datanglah Kwie Cu Ek ke kampung itu. Ia merasa terkejut sekali ketika Giok Ciu dan Sin Wan berlutut sambil menangis dengan sedih. Orang gagah itu menggertak gigi dan membangunkan kedua anak itu.

"Suma Kan Hu, kau binantang kejam! Dan kalian Siauw-San Ngo-Sinto pertapa-pertapa busuk. Perbuatan kalian ini sungguh keterlaluan. Aku Kwie Cu Ek bersumpah hendak mengadu jiwa dengan kalian!" Hui-Houw Kwie Cu Ek berseru keras dengan muka merah karena marahnya, dan suaranya yang keras menyeramkan penuh hawa marah itu di selingi isak tangis Sin Wan dan Giok Ciu hingga semua orang yang berada disitu tak dapat menahan turunnya air mata mereka. Untuk memudahkan pengurusannya, maka semua jenasah yang berjumlah tujuh belas orang itu dikumpulkan di satu rumah dan disitulah semua orang berkumpul dan bersembahyang. Pada keesokan harinya, dengan iringan ratap tangis mereka yang ditinggalkan, semua jenasah dikebumikan.

"Tia-tia, marilah kita bertiga mencari pembunuh-pembunuh itu dan menghajar mereka!" kata Giok Ciu kepada Ayahnya.

"Benar kata-kata Giok Ciu, Kwie Peh-peh. Aku harus mencari mereka dan membikin perhitungan!" kata Sin Wan penuh semangat. Tapi Kwie Cu Ek menggeleng-gelengkan kepala.

"Kalian bicara mudah saja. Lawan-lawan ini bukanlah orang lemah. Kita bertiga belum tentu bisa menangkan mereka, apalagi mereka berada di tengah-tengah pahlawan-pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi. Sekarang belum waktunya membalas denam. Sin Wan, kau ikutlah denga kami ke tempat tinggalku dan disana kau harus berlatih silat lebih lanjut. Kalau kepandaianmu sudah mencukupi barulah kau boleh turun gunung membalas sakit hati, dan percayalah, aku dan Giok Ciu tentu akan menyertaimu. Akupun gatal-gatal tangan untuk menghajar mereka, tapi segala hal lebih baik dilakukan dengan perhitungan masak-masak. Tahukah kau bahwa dengan menyuruh kau pergi hingga terbebas dari kematian adalah hal yang disengaja oleh Kakek dan Ibumu? Dan tahukah kau mengapa mereka lakukan hal itu? Tak lain agar kelas kau dapat membalas dendam ini! Dan kalau kau sekarang pergi membalas dendam lalu tidak berhasil bahkan kau sendiri terbinasa, bukankah itu sama dengan menyia-nyiakan pengharapan dan maksud Ibu dan Kakekmu?" Sin Wan menundukkan kepala dan ia merasa betapa tepat dan benar sekali omongan orang tua itu. Maka ia mengalah dan hanya berkata,


Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Terserah kepadamu, Kwie Peh-peh semenjak sekarang, tidak ada orang lain yang pantas saya taati selain kau orang tua!" Dengan ujung lengan bajunya Sin Wan menyusut air matanya.

"Nah, begitulah seharusnya, Sin Wan. Nah bersiaplah dan sekarang juga kita pindah ketempatku." Dengan hati terharu Sin Wan lalu minta diri dari semua orang kampung sambil bertangis-tangisan, dan ia hanya membawa pakaian dan barang seperlunya saja. Diam-diam ia mencari sepatu kecil yang dipesankan Ibunya itu dan ia memasukkan itu ke dalam buntalannya. Giok Ciu calon isterinya? Hanya kedukaan peristiwa hebat itulah yang membuat ia tidak perhatikan kenyataan ini dan membuatnya seakan-akan lupa akan hal itu. Tapi ini ada baiknya karena sikapnya terhadap Giok Ciu jadi tidak malu-malu lagi. Barang-barang lainnya ia berikan kepada orang-orang kampung. Kemudian, ketika mereka hendak berangkat, Sin Wan berkata keras kepada semua orang kampung yang mengantarnya,

"Saudara-saudaraku sekalian. Dengarlah aku janji dan sumpahku. Aku Bun Sin Wan, bersumpah bahwa kelak aku harus pergi mencari pembunuh-pembunuh yang menjatuhkan malapetaka kepada kita ini. Aku berjanji hendak membalaskan sakit hati kalian, maka kalian hendaknya suka menenteramkan hati dan jangan penasaran." Maka berangkatlah mereka dengan jalan cepat ke atas gunung tempat kediaman Kwie Cu Ek dan anaknya. Dan semenjak hari itu, Sin Wan dan Giok Ciu mempergiat pelajaran silat mereka dibawah pimpinan Kwie Cu Ek yang dalam kelihaian ilmu silat tidak kalah jika dibandingkan dengan Kang Lam Ciuhiap. Dan tak terasa lagi dua tahun telah lewat. Hubungan antara Giok Ciu dan Sin Wan akrab sekali, bagaikan seorang kakak dan adik. Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang pertunangan mereka karena jika hal ini disinggung,

Maka hanya mendatangkan rasa kikuk dan malu dalam hubungan mereka. Pada waktu itu, kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu sudahmendapat banyak kemajuan karena mendapat gemblengan dari Kwie Cu Ek, yang memiliki kepandaian berbeda dengan kepandaian Kakek Sin Wan. Dengan belajar kepada Kwie Cu Ek, maka Sin Wan telah mempelajari dua macam ilmu silat lihai hingga boleh dibilang ia menang setingkat jika dibanding dengan Giok Ciu. Tapi dalam hal ginkang atau ilmu meringankan tubuh, ia harus mengakui kalah setingkat oleh gadis yang bertubuh ringan itu, tapi sebaliknya Sin Wan lebih lihai dalam hal ilmu lweekang. Kwie Cu Ek maklum bahwa kedua anak muda itu telah memiliki ginkang dan lweekang yang luar biasa berkat buah-buah mujijat yang dulu mereka ketemukan dan makan secara kebetulan,

Maka ahli silat cabang Kun-Lun ini menggembleng mereka dengan penuh semangat dan tak kenal lelah. Tujuan satu-satunya dari orang tua ini ialah menurunkan seluruh kepandaian kepada Sin Wan dan Giok Ciu agar kedua anak mua itu dapat bersama-sama pergi dengan dia mencari musuh-musuhnya dan membalas dendam. Kini boleh dikata kepandaian Sin dan Giok Cu sudah hampir menyusul Kwie Cu Ek, dan usia Sin Wan juga sudah enam belas tahun dan termasuk dewasa. Pemuda itu bertubuh tinggi sedang, dadanya bidang dengan pinggang kecil. Wajahnya yang tampan nyata sekali membayangkan keagungan watak dan kehalusan budi, sedangkan lekuk di bawah bibirnya dan sinar mata yang tajam itu menunjukkan sifat ksatria dan gagah berani. Giok Ciu juga sudah menjadi dewasaa, usianya kurang lebih lima belas tahun. Gadis ini makin besar makin cantik dan manis.

Sepasang matanya yang bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi merupakan bagian yang menarik sekali, sedangkan hidung dan mulu yang kecil dihiasi bibir yang berbentuk indah berwarna merah segar membuat orang takkan dapat bosan menatap wajahnya. Rambutnya yang gombyok dan hitam dikepang dua merupakan sepasang kuncir itu yang panjang dan hitam dan dua kucir itu bagaikan dua ekor ular melibat-libat dan bergantung di leher dan pundaknya. Pada suatu sore, seperti biasa Sin Wan berlatih silat dengan Giok Ciu di belakang rumah. Mereka sedang tekun melatih gerak tipu ilmu pedang yang di sebut Pek-hong-koan-lit atau bianglala Putih Menutup Matahari. Tipu ini memang sukar digerakkan dan keduanya baru saja menerima pelajaran ini dari Kwie Cu Ek. Mereka silih berganti gunakan pedang melatih gerakan ini hingga sempurna betul.

"Mari kita berlatih,kau ambilah pedangmu," ajak Sin Wan.

"Baik, kau tunggulah sebentar," jawab Giok Ciu yang lalu pergi ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil. Sin Wan memandang gadis itu dengan gembira. Ia makin tertarik kepada gadis yang lincah dan gembira ini dan diam-diam ia menaruh rasa asmara yang mesra. Alangkah bahagianya kalau ia ingat bahwa gadis jelita ini akan menjadi isterinya kelak!

Sering kali pada malam hari, di dalam biliknya ia keluarkan sepatu kecil tanda tali perjodohan dari Giok Ciu itu dan mempermainkannya sambil membelainya penuh rasa kasih sayang. Darah kedewasaannya membuat ia sering merindukan gadis calon isterinya itu, tapi pada waktu mereka bertemu muka dan bercakap-cakap, dengan kekerasan hati luar biasa Sin Wan dapat menekan perasaannya dan sedikitpun tidak memperlihatkan sikap yang dapat menyinggung perasaan gadis itu. Sebaliknya Giok Ciu selalu bergembira dan dengan sikapnya yang jenaka membuat hubungan mereka tidak kaku. Gadis itu seakan-akan tidak perdulikan atau sudah lupa akan peralian jodoh yang mengikat mereka, tapi Sin Wan sedikitpun tidak menduga betapa pada malam hari, terutama di kala sinar bulan menyerbu masuk kamarnya melalui jendela,

Gadis itu sering melamun sambil memandang bulan dan tangannya memegang sebatang suling yang telah menjadi licin mengkilap karena sering digosok-gosok dan dibelai-belai! Ketika Giok Ciu masuk ke dalam kebun itu kembali sambil membawa sebaang pedang tajam, Sin Wan telah sadar dari lamunannya dan keduanya lalu berlatih silat pedang. Kedua pedang mereka saling sambar demikian cepatnya hingga sebentar saja tubuh mereka lenyap tertutup sinar pedang. Sungguh permainan mereka selain luar biasa, juga indah dipandang. Gerakan mereka gesit dan cepat, namun di dalam latihan ini walaupun tampaknya pedang mereka saling sambar seakan-akan mengancam jiwa, sesungguhnya mereka berlaku sangat hati-hati, dan menjaga jangan sampai mereka berlaku salah tangan!

"Bagus!" terdengar seruan orang memuji. Keduanya berhenti dan memberi hormat kepada Kwie Cu Ek yang memandang dengan girang. Sebetulnya, pujian orang tua ini tadi bukan ditujukan kepada permainan pedang mereka tapi pujian itu dikeluarkan rasa rasa girangnya melihat betapa di dalam latihan pedang itu tanpa disengaja keduanya memperlihatkan suara hati yang saling mencinta dan menyayangi! Inilah yang membuat Kwie Cu Ek merasa girang dan berseru "Bagus" tadi.

"Sin Wan, telah tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung dan mencari musuhmu," kata Kwie Cu Ek dengan suara halus. Sin Wan terkejut dan girang sekali. Ia buru-buru berlutut dan berkata,

"Kwie Peh-peh, terima kasih atas keterangan ini. Saat ini telah lama teecu tunggu-tunggu!" Karena kebiasaan, maka Sin Wan tetap menyebut "Peh-peh" atau Uwak kepada Kwie Cu Ek, sedangkan untuk diri sendiri ia menyebut teecu atau murid karena ia merasa menjadi murid orang she Kwie ini! Seharusnya ia menyebut Gakhu atau "Mertua", tapi ia merasa malu sekali untuk menyebut Ayah mertua, dan bersikap pura-pura belum tahu akan perjodohan itu. Kwie Cu Ek menghela napas.

"Aku maklum akan ketidaksabaranmu, Sin Wan, tapi segala hal harus dilakukan dengan pertimbangan masak-masak. Apa lagi dalam hal pembalasan sakit hati ini. Karena musuh-musuhmu bukanlah lawan ringan dan mudah dikalahkan. Bahkan sekarang uga aku masih selalu meragukan apakah kita akan sanggup membalas dendam keluargamu."

"Ayah, aku tentu ikut, bukan? Serahkan saja musuh-musuh kak Sin Wan, kepadaku, akan kubasmi seorang demi seorang." kata Giok Ciu dengan mata berseri. Kali ini Kwie Cu Ek tak dapat menerima kegembiraan puterinya. Ia menghela napas dan berkata,

"Kalian anak-anak muda memang sudah sepantasnya berhati tabah dan bersemangat besar, tapi hendaknya jangan kau pandang rendah musuh-musuh yang akan kita hadapi. Kalau kiranya aku tidak merasa telah menjadi makin tua dan berkurang tenaga hingga takut kalau-kalau takkan sempat membantumu lagi, barangkali sekarang aku belum mengijinkan kau pergi menemui musuh-musuhmu."

"Kwie Peh-peh, sebenarnya urusan balas dendam ini hanya tanggung jawab teecu seorang. Harap saja Peh-peh dan adik Giok Ciu tidak ikut mencapaikan hati dan membahayakan keselamatan diri. Biarlah teecu sendiri yang pergi melakukan pembalasan. Teecu akan merasa sangat berdosa bila sampai terjadi apa-apa atas diri Peh-peh atau Giok Ciu""

"Sin Wan! Omongan apakah yang kau ucapkan ini?" tiba-tiba Kwie Cu Ek membentak marah sambil melototkan matanya yang bundar besar, tapi ia dapat menekan perasaannya dan berkata lagi perlahan, "Aku mengerti maksudmu yang baik, Sin Wan. Tapi ketahuilah, biarpun tidak untuk membelamu, aku Kwie Cu Ek bukanlah orang yang dapat melihat terjadinya perkara penasaran ini dengan berpeluk tangan saja. Aku telah bersumpah di dalam hati untuk mengadu jiwa dengan binatang-binatang she Suma dan kelima bangsat dari Siauw-San. Mereka ini memang lihai, tapi kurasa kita akan dapat menghadapi mereka." Sin Wan lalu menghaturkan terima kasih dan menyatakan maaf telah menyinggung kehormatan dan kegagahan orang itu yang sebenarnya bukan menjadi maksudnya.

"Cuma saja," demikian ia melanjutkan. "Bukan maksud teecu untuk merendahkan adik Giok Ciu, tapi kalau bisa lebih baik adik Giok Ciu jangan ikut melakukan perjalanan dan tugas yang sangat berbahaya ini." Giok Ciu yang tadinya duduk di atas pot kembang kosong tiba-tiba meloncat berdiri dan sepasang ali matanya bergerak-gerak dan mulutnya ditajamkan sambil menatap wajah Sin Wan.

"Apa?" serunya marah. "Enak saja kau mau meninggalkan orang! Apa kau kira aku takut menghadapi bahaya? Apakah kau merasa takut ketika dulu kita bersama memasuki gua ular itu? Kak Sin Wan, jangan kau bicara seperti itu, aku akan marah kepadamu!" Kwie Cu Ek tersenyum melihat lagak anaknya.

"Sin Wan, Giok Ciu harus turut, karena betapapun juga ia merupakan tenaga pembantu yang boleh diandalkan. Kurasa, binatang she Suma dan kelima Tosu siluman dari Siauw-San itu takkan sanggup mengalahkan kita bertiga. Asal saja disana tidak terdapat orang-orang kuat lain, pasti mereka itu akan roboh di tangan kita dan sakit hatimu terbalas."

"Nah, apa kataku?" Giok Ciu berkata riang, lalu bertanya, "Kapan kita berangkat Ayah?" Sin Wan dan Kwie Cu Ek kagum juga melihat ketabahan hati Giok Cu karena sikap gadis kecil itu seakan-akan bukan hendak menjumpai musuh-musuh kuat, tapi bagaikan hendak pergi pelesir dan bertamasya saja!

"Bersiaplah, anak-anak. Besok pagi-pagi kita berangkat." Malam hari itu Sin Wan tidak dapat tidur. Ia meramkan mata dan membayangkan kembali peristiwa pembunuhan besar-besaran di kampungnya dulu. Terbayanglah Ibu dan Kakeknya yang mandi darah, dan bayangan ini membuat ia menggeretakkan gigi dan ingin sekali segera berhadapan dengan musuh-musuhnya untuk menuntut balas! Kemudian ia teringat akan Giok Ciu dan Ayahnya. Alangkah baik mereka itu hingga semenjak pertemuan pertama telah melepas budi yang besar sekali. Ia bersumpah di dalam hati bahwa ia tentu hendak membahagiakan hidup Giok Ciu, gadis yang ia cinta dan yang telah melepas budi besar kepadanya dan bahkan besok pagi hari bersikukuh hendak ikut ia membalas dendam kepada musuh-musuhnya, dan gadis itu rela ikut menempuh bahaya!

Mengingat ini semua, tak terasa pula kedua mata pemuda itu basah dengan air mata ang terdorong oleh rasa terharu, duka, dan girang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali tampak Kwie Cu Ek, Sin Wan dan Giok Ciu turun gunung dengan mempergunakan ilmu lari cepat. Kwie Cu Ek memakai pakaian serba biru sedangkan SinWan yang masih berkabung, berpakaian serba putih, bahkan pengikat rambutnya juga putih. Hanya sepatunya saja berwarna hitam, Giok Ciu mengenakan baju berwarna merah muda dan celana biru,pengikat rambut dan ikat pinggangnya dari sutera warna kuning emas yang berkibar-kibar di belakangnya ketika ia lari cepat. Sepatunya warna hijau dan potongan pakaiannya serba singset dan ringkas, hingga ia tampak cantik dan gagah.

Pada pinggang sebelah kiri ketiga orang itu tampak pedang tergantung yang menambah kegarangan dan kegagahan mereka. Kwie Cu Ek si Harimau Terbang mengajak kedua anak muda itu menujuke kota Wie-Kwan, karena mendengar dari hasil penyelidikannya bahwa Suma Cianbu kini telah dipindahkan ke sana dan memimpin pasukan penjaga keamanan di kota. Pada waktu itu, para durna yang berkali-kali mengalami serangan tiba-tiba dan secara menggelap dari para pendekar gagah dan yang menewaskan banyak juga pembesar-pembesar korup, telah berlaku hati-hati. Tiap kota yang dicurigai lalu dijaga keras dan siapa saja yang dicurigai lalu ditangkap hingga banyaklah sudah orang-orang tak berdosa terhukum mati karena penangkapan yang dilakukan membabi buta itu. Tapi sayang, tidak semua orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi melakukan perbuatan membasmi kejahatan ini.

Sebagian besar dari orang-orang ahli persilatan bahkan kena terbeli oleh para durna hingga mereka iu suka menghambakan diri. Oleh karena inilah, maka usaha para pendekar gagah selalu mengalami kegagalan, bahkan orang-orang kang-ouw saling serang dan saling gempur serta tumbuhlah banyak sekali aliran. Untuk ini pulalah maka Suma Cianbu yang terkenal gagah dan pandai mengatur barisan keamanan, diutus mengamankan daerah Wie-Kwan yang pada akhir-akhir ini sering dikunjungi orang orang gagah. Kwie Cu Ek dan kedua muridnya tak pernah berhenti, kecuali untuk mekan dan bermalam. Mereka sengaja mencari jalan-jalan yang sunyi agar dapat leluasa menggunakan ilmu lari cepat. Demikianlah, pada hari keempatnya, mereka bertiga akhirnya sampai juga di kota Wie-Kwan.

Cari Blog Ini